• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konvergensi Penyerapan Tenaga Kerja Antarkabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Konvergensi Penyerapan Tenaga Kerja Antarkabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

KONVERGENSI PENYERAPAN TENAGA KERJA

ANTARKABUPATEN/KOTA DI PROVINSI JAWA BARAT

GINA RATNA SUMINAR

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Konvergensi Penyerapan Tenaga Kerja Antarkabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

ABSTRAK

GINA RATNA SUMINAR. Konvergensi Penyerapan Tenaga Kerja Antarkabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. Dibimbing oleh WIWIEK RINDAYATI.

Selama 13 tahun kebijakan otonomi daerah berjalan belum mampu mengurangi ketimpangan pendapatan antarkabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. Ketimpangan pendapatan ini memiliki dampak terhadap ketimpangan dalam penyerapan tenaga kerja. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis proses konvergensi penyerapan tenaga kerja di Jawa Barat selama periode 2008-2012. Berdasarkan hasil pemetaan pertumbuhan PDRB dan tingkat pengangguran, terdapat pergeseran posisi daerah pada tahun 2008 dan tahun 2012. Penelitian ini menghasilkan rata-rata indeks ketimpangan penyerapan tenaga kerja sebesar 0,61 tahun 2008-2012. Hasil ini tidak sesuai dengan analisis data panel dimana koefisien koefisien lag dependen sebesar 0,6720 yang nilainya lebih kecil dari satu artinya terjadi proses konvergensi penyerapan tenaga kerja dengan kecepatan konvergensi sebesar 39,74 persen. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa seluruh variabel yang diestimasi berpengaruh positif terhadap penyerapan tenaga kerja kecuali upah.

Kata kunci: Data Panel, Ketimpangan Penyerapan Tenaga Kerja, Konvergensi.

ABSTRACT

GINA RATNA SUMINAR. Employment Convergence Among Districs/cities in Province of West Java. Supervised by WIWIEK RINDAYATI.

For 13 years running the regional autonomy policy has not been able to reduce income inequality among districts/cities in West Java Province. This inequality has an impact on inequality in employment. The purpose of this study is to analyze the convergence process of employment in West Java during 2008-2012. Based on economic growth and unemployment rate mapping result, there is a movement of each region position in 2008 and 2012. This study resulted in an average index of inequality of employment is 0,61 from 2008 to 2012. These results do not correspond with panel data analysis where the coefficients of lagged dependent coefficient value is 0.6720 which is less than one means there is a process of convergence employment with 39.74 percent of the speed of convergence. The results also show that all variables are estimated positive effect to employment level except wages.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Ilmu Ekonomi

KONVERGENSI PENYERAPAN TENAGA KERJA

ANTARKABUPATEN/KOTA DI PROVINSI JAWA BARAT

GINA RATNA SUMINAR

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)
(7)

Judul Skripsi : Konvergensi Penyerapan Tenaga Kerja Antarkabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat

Nama : Gina Ratna Suminar NIM : H14100013

Disetujui oleh

Dr. Ir. Wiwiek Rindayati Pembimbing

Diketahui Oleh

Dedi Budiman Hakim, Ph.D. Ketua Departemen

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2014 ini ialah konvergensi, dengan judul Konvergensi Penyerapan Tenaga Kerja Antarkabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat.

Pada Kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada orang tua dan keluarga penulis, yakni Bapak Uun Aonul Malik dan Ibu Rd Eem Siti Masitoh serta adik-adik tercinta dari penulis, Gita Nurul Fadillah Suminar dan Gizka Nur Laila Suminar atas segala doa dan dukungan yang selalu diberikan. Selain itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dr Ir Wiwiek Rindayati selaku dosen pembimbing skripsi yang telah

memberikan arahan, bimbingan, saran dan motivasi dengan sabar dan membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

2. Penguji Prof Dr M Firdaus selaku dosen penguji utama dan Dr Alla Asmara selaku dosen penguji dari komisi pendidikan atas kritik dan saran yang telah diberikan untuk perbaikan skripsi ini.

3. Para dosen, staf, dan seluruh civitas akademik Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB yang telah memberikan ilmu dan bantuan kepada penulis.

4. Sahabat penulis Ade Surahman, Ratna Melyasari, Merizka Elfiza yang memberikan bantuan, motivasi dan dukungannya dalam penyelesaian skripsi ini serta Dyah Ayu Fajar Prabaningrum yang telah setia menjadi rekan bertukar pikiran dan telah memberikan semangat tanpa henti kepada penulis.

5. Sahabat penulis Nurnidya Btari Khadijah, Kumala Fitriyanita, Nia Verba, Yola Juwita, Zulfati Rahma, Hidayati, Risti Laily, Mirza Andina, Efita Meylina, Novia La Prima, dan Monalisa Silalahi.

6. Teman-teman satu bimbingan, Hesti Ambarsary, Mega Wahyu Wulandari, Tazkiya Azhara, Ilza Putra yang telah banyak memberikan bantuan, saran, kritik, motivasi, dan dukungannya dalam penyelesaian skripsi ini.

7. Seluruh keluarga Ilmu Ekonomi 47 terima kasih atas doa dan dukungannya yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini yang tidak bisa disebutkan satu per satu.

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 4

Tujuan Penelitian 6

Manfaat Penelitian 6

Ruang Lingkup Penelitian 7

TINJAUAN PUSTAKA 7

Definisi Tenaga Kerja dan Kesempatan Kerja 7

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penyerapan Tenaga Kerja 9

Ketimpangan 10

Konvergensi 11

Penelitian Terdahulu 11

Kerangka Pemikiran 15

METODE 16 Jenis dan Sumber Data 16 Metode Analisis 16 Analisis Deskriptif dengan Indeks Ketimpangan Penyerapan Tenaga Kerja 16 Analisis Data Panel Dinamis 17

First-difference GMM (FD-GMM) 18

System GMM (SYS-GMM) 20

Kriteria Model terbaik 21

Model Konvergensi Penyerapan Tenaga Kerja 21

GAMBARAN UMUM Kondisi Geografis Daerah 22

Wilayah Administratif dan Penduduk 22

Penyerapan Tenaga Kerja di Jawa Barat 24

(10)

Kondisi PDRB dengan Penyerapan Tenaga Kerja 26 Kondisi Panjang Jalan dengan Penyerapan Tenaga Kerja 27

Kondisi Hubungan Investasi dengan Penyerapan Tenaga Kerja 28

HASIL DAN PEMBAHASAN 29

Analisis Deskriptif dengan Pemetaan Berdasarkan Pertumbuhan PDRB dan

Besaran Penyerapan Tenaga Kerja 29 Tingkat Ketimpangan Penyerapan Tenaga Kerja di Provinsi Jawa Barat 32

Hasil Estimasi Model Konvergensi Penyerapan Tenaga Kerja 33 Analisis Sumber Perndorong Tingkat Penyerapan Tenaga Kerja 35

SIMPULAN DAN SARAN 37

Simpulan 37

Saran 37

DAFTAR PUSTAKA 38

LAMPIRAN 41

(11)

DAFTAR TABEL

1 Kontribusi PDRB ADHK 2000 terhadap PDRB ADHK 2000 Provinsi Jawa Barat menurut Kabupaten/Kota Tahun 2008-2012 2 2 Persentase Jumlah Tenaga Kerja menurut Kabupaten/Kota di Provinsi

Jawa Barat, Tahun 2008-2012 (persen) 3

3 Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat

Tahun 2008-2012 5

4 Luas Wilayah, Jumlah Penduduk, dan Kepadatan Penduduk Kabupaten

dan Kota di Provinsi Jawa Barat, 2012 23

5 Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas menurut Kegiatan Utama di

Provinsi Jawa Barat Tahun 2008-2012 24

6 Hasil Estimasi Konvergensi Penyerapan Tenaga Kerja AntarKabupaten/Kota di provinsi Jawa Barat dengan Sys-GMM serta Perbandingan Koefisien antara Sys-GMM, PLS, dan Fe 34

DAFTAR GAMBAR

1 Diagram Ketenagakerjaan 8

2 Kerangka Pemikiran 15

3 UMR Menurut Kabupaten/Kota di Jawa barat Tahun 2012 25 4 PDRB Menurut Kabupaten/Kota di Jawa Barat tahun 2012 26 5 Panjang Jalan Menurut Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2012 27 6 Investasi Menurut Kabupaten/Kota di Jawa barat Tahun 2012 28 7 Pemetaan Kabupaten/Kota Berdasarkan Pertumbuhan PDB dan Besaran

Penyerapan Tenaga Kerja Tahun 2008 30

8 Pemetaan Kabupaten/Kota Berdasarkan Pertumbuhan PDB dan Besaran

Penyerapan Tenaga Kerja Tahun 2012 31

9 Trend Ketimpangan Penyerapan Tenaga Kerja Kabupaten/Kota

Provinsi Jawa Barat 2008-2012 33

DAFTAR LAMPIRAN

1 Perhitungan Pemetaan Berdasarkan Pertumbuhan PDRB dan Besaran

Penyerapan Tenaga Kerja 41

2 Nilai Ketimpangan Penyerapan Tenaga kerja Antarkabupaten/kota di

Jawa Barat tahun 2008 42

3 Nilai Ketimpangan Penyerapan Tenaga kerja Antarkabupaten/kota di

Jawa Barat tahun 2009 43

4 Nilai Ketimpangan Penyerapan Tenaga kerja Antarkabupaten/kota di

Jawa Barat tahun 2010 44

5 Nilai Ketimpangan Penyerapan Tenaga kerja Antarkabupaten/kota di

Jawa Barat tahun 2011 45

6 Nilai Ketimpangan Penyerapan Tenaga kerja Antarkabupaten/kota di

(12)

7 Estimasi Konvergensi dengan Sys-GMM 47

8 Estimasi Konvergensi dengan PLS 48

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pembangunan adalah suatu proses multidimensional yang melibatkan berbagai perubahan-perubahan mendasar dalam struktur sosial, tingkah laku sosial, dan institusi sosial, disamping akselerasi pertumbuhan ekonomi, pemerataan ketimpangan pendapatan, serta pemberantasan kemiskinan (Todaro 2006). Tujuan dari pembangunan itu sendiri adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat diperlukan pertumbuhan ekonomi yang meningkat dan distribusi pendapatan yang merata. Pertumbuhan ekonomi yang cepat yang tidak diimbangi dengan pemerataan, akan menimbulkan ketimpangan wilayah. Ketimpangan wilayah (regional disparity) tersebut, terlihat dengan adanya wilayah yang maju dengan wilayah yang terbelakang atau kurang maju. Hal ini dikarenakan tidak memperhatikan apakah pertumbuhan tersebut lebih besar atau lebih kecil dari tingkat pertumbuhan penduduk atau pertumbuhan struktur ekonomi.

Perbedaan karakteristik dan keragaman yang tinggi antardaerah meliputi sumberdaya alam, ekonomi, sosial, budaya, adat istiadat, jumlah dan kepadatan penduduk, mutu sumberdaya manusia, letak geografis serta sarana dan prasarana yang tersedia serta faktor-faktor lainnya, berpengaruh terhadap kemampuan pertumbuhan dan pembangunan ekonomi di daerah tersebut. Sehingga ada daerah yang mampu tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan daerah lainnya serta dapat menimbulkan adanya ketimpangan pendapatan antarwilayah. Untuk mengatasi hal tersebut, maka ditetapkannya Undang-undang No. 25/Tahun 1999 yang direvisi menjadi Undang-undang No.32/Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, yang berarti bahwa dalam hal pembangunan di daerah diserahkan pada masing-masing pemerintah daerah. Pemerintah pusat hanya sebagai pengawas/pengontrol, maka mau tidak mau masing-masing wilayah harus berusaha semaksimal mungkin untuk menentukan kebijakan dan pembangunannya guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mengejar ketertinggalan daerah masing-masing.

Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memberikan peranan penting dalam pembangunan nasional. Hal ini disebabkan secara geografis Jawa Barat memiliki letak yang strategis karena berdekatan dengan Kota Jakarta sebagai ibu kota negara Indonesia serta Provinsi Jawa Barat memiliki sumberdaya alam yang beragam seperti sumberdaya air, lahan dan sumberdaya yang meliputi infrastruktur wilayah yang memadai, dan sumberdaya manusia yang meliputi ketersediaan tenaga kerja yang melimpah dan berkualitas. Akibat dari semua potensi yang dimiliki Provinsi Jawa Barat serta posisi Provinsi Jawa Barat yang strategis mengakibatkan pertumbuhan perekonomian Jawa Barat relatif lebih cepat dibandingkan dengan Provinsi lain.

(14)

2

Provinsi Jawa Barat menempati urutan ketiga provinsi yang memiliki PDRB tertinggi setelah Provinsi DKI Jakarta dan Provinsi Jawa Timur. Walaupun Provinsi Jawa Barat memiliki pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, namun hal ini tidak lepas dari ketimpangan pembangunan. Hal ini terlihat pada PDRB kabupaten dan kota Provinsi Jawa Barat yang sangat berbeda. Ada beberapa wilayah kota yang tingkat perkembangan PDRBnya cukup rendah. Pada Tabel 1 menunjukkan data kontribusi PDRB kabupaten/kota terhadap PDRB Provinsi Jawa Barat. Dapat dilihat bahwa terjadi ketimpangan pendapatan dimana Kabupaten Bekasi memiliki rata-rata kontribusi PDRB dari tahun 2008-2012 adalah sebesar 17,49 persen atau rata-rata sekitar 55.316.452 Juta rupiah. Hal ini berbeda sekali dengan Kabupaten Banjar yang hanya memiliki rata-rata kontribusi PDRB dari tahun 2008-2012 sebesar 0,24 persen atau rata-rata sekitar 752.192 juta rupiah sehingga perbedaannya mencapai 72,87 kali lipat antardaerah maju dengan daerah yang tertinggal.

Tabel 1 Kontribusi PDRB Kabupaten/Kota terhadap PDRB Provinsi Jawa Barat ADHK 2000 Tahun 2008-2012 (persen)

(15)

3 strategy (pro growth, pro job, dan pro poor). Salah satu aspek dari triple track strategy yang penting untuk diperhatikan adalah pro job. Bidang ketenagakerjaan merupakan salah satu hal yang sangat esensial dalam usaha memajukan perekonomian. Usaha yang dimaksud di bidang ini adalah penyediaan lapangan kerja yang cukup untuk dapat mengimbangi pertambahan angkatan kerja yang akan masuk ke pasar kerja, dimana pada umumnya pertumbuhan angkatan kerja selalu lebih cepat jika dibandingkan dengan pertumbuhan kesempatan kerja. Pertumbuhan kesempatan kerja yang semakin lambat ini adalah akibat dari kurang tersedianya lapangan pekerjaan di pasar kerja. Penyerapan tenaga kerja merupakan masalah penting dalam pembangunan daerah. Tenaga kerja dapat dijadikan tolak ukur keberhasilan pembangunan suatu daerah, artinya penyerapan tenaga kerja mendukung keberhasilan pembangunan daerah secara keseluruhan. Sehingga kondisi ketenagakerjaan dapat juga menggambarkan kondisi perekonomian, sosial, bahkan tingkat kesejahteraan penduduk di suatu wilayah dalam kurun waktu tertentu.

Tabel 2 Persentase Jumlah Tenaga Kerja menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat, Tahun 2008-2012 (persen)

Sumber: Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, 2013

(16)

4

cenderung tumbuh lebih cepat akan tetapi bagi daerah yang memiliki tingkat aglomerasi rendah akan membuat daerah tersebut semakin terbelakang salah satunya dalam penyerapan tenaga kerja. Pada Tabel 2 menunjukkan persentase jumlah orang yang bekerja antarkabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat dari tahun 2008-2012 mengalami ketidakmerataan. Pada Tabel 2 terdapat dua daerah yang memiliki jumlah tenaga kerja yang jauh meninggalkan daerah lainnya yaitu Kabupaten Bogor dan Kabupaten Bandung yang masing-masing memiliki rata-rata jumlah pekerja sebesar 1.714.882 dan 1.253.796 orang atau sebesar 9,93 dan 7,28 persen. Sedangkan daerah dengan jumlah pekerja terendah adalah Kota Banjar yang memiliki rata-rata jumlah pekerja sekitar 25 kali lipat tertinggalnya dari dua daerah yang memiliki jumlah tenaga kerja tinggi yaitu sebesar 69.855 orang atau sebesar 0,406 persen.

Lebaranya jarak tersebut menunjukkan bagaimana kondisi perbedaan dalam menggali potensi daerah masing-masing yang dapat menyerap tenaga kerja. Perbedaan pencapaian penyerapan tenaga kerja dalam jangka panjang dapat menyebabkan suatu wilayah akan semakin timpang (divergen) dalam penyerapan tenaga kerja yang nantinya akan menyebabkan ketimpangan pendapatan kembali sesuai dengan penelitian (Asman 2011) yang menjelaskan bahwa tingkat pengangguran memiliki hubungan positif dengan ketimpangan pendapatan atau dapat berkurang jika daerah yang rendah dalam penyerapan tenaga kerja dapat menjadi lebih cepat dari pada daerah yang memiliki tingkat penyerapan tenaga kerja yang tinggi yang nantinya akan cenderung semakin seragam (konvergen) sehingga gap kemakmuran antardaerah semakin kecil. Untuk mengetahui tingkat penyerapan tenaga kerja antarkabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat periode 2008-2012 menunjukkan semakin timpang (divergen) atau kecenderungan untuk makin seragam (konvergen) seperti yang diharapkan maka analisis mengenai konvergensi penyerapan tenaga kerja di Provinsi Jawa Barat menarik untuk diteliti.

Perumusan Masalah

Provinsi Jawa Barat merupakan Provinsi yang memiliki jumlah penduduk terbanyak dari Provinsi-Provinsi di Indonesia. Total jumlah penduduk Provinsi Jawa Barat sampai tahun 2012 yaitu sebesar57.927.003ribu jiwa. Jika dilihat dari kepadatan penduduknya, Provinsi Jawa Barat sebagai urutan kedua paling tinggi setelah DKI Jakarta. Dengan kepadatan dan jumlah penduduk yang tinggi ini, kesenjangan antardaerah di Jawa Barat masih merupakan kondisi nyata yang sampai saat ini masih dirasakan oleh masyarakat.

(17)

5 lainnya sampai 26 kali lipat. Apabila kesenjangan ini terus dibiarkan maka akan dapat membuat kinerja perekonomian semakin timpang antardaerah di Provinsi Jawa Barat yang dapat diukur melalui PDRB.

Tabel 3 Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat Tahun 2008-2012 (persen)

Berdasarkan Tabel 3 menunjukkan laju pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat berfluktuatif. Kota Banjar dan Kota Sukabumi adalah dua daerah dimana memiliki kontribusi PDRB terendah dibandingkan dengan daerah yang lain di Provinsi Jawa Barat. Namun, kedua daerah tersebut memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang hampir sama dengan laju pertumbuhan daerah yang memiliki kontribusi PDRB tertinggi yaitu Kabupaten Bekasi. Secara berurutan rata-rata laju pertumbuhan Kota Banjar dan Kota Sukabumi adalah sebesar 5,168 dan 5,992 persen sedangkan laju pertumbuhan Kabupaten Bekasi sebesar 5,954 persen. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa kemungkinan daerah yang tertinggal nantinya dapat mengejar ketertinggalannya dari daerah yang lebih maju. Sehingga dapat membuat proses konvergensi pendapatan yang nantinya akan berdampak salah satunya pada konvergensi penyerapan tenaga kerja.

(18)

6

dan faktor-faktor yang mendukung konvergensi penyerapan tenaga kerja. Untuk menjawab permasalahan penelitian tersebut adalah dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana posisi masing-masing daerah di Jawa Barat jika dilihat berdasarkan pertumbuhan PDRB dan besaran penyerapan tenaga kerja?

2. Bagaimana ketimpangan penyerapan tenaga kerja kabupaten/kota di Jawa Barat?

3. Apakah pergerakan penyerapan tenaga kerja kabupaten/kota di Jawa Barat menunjukkan suatu proses yang konvergen dan faktor-faktor apa saja yang dapat mendorong proses konvergensi penyerapan tenaga kerja terutama bagi daerah tertinggal agar dapat mengejar ketertinggalannya?

Tujuan Penelitian

Sesuai dengan latar belakang dan permasalahan, secara spesifik tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Memetakkan daerah di Jawa Barat jika dilihat berdasarkan pertumbuhan PDRB dan besaran penyerapan tenaga kerja.

2. Mengukur dan menganalisis tingkat ketimpangan penyerapan tenaga kerja kabupaten/kota di Jawa Barat

3. Menguji apakah kestabilan penyerapan tenaga kerja menuju ke kestabilan yang konvergen dan mengestimasi faktor-faktor yang mendukung proses konvergensi penyerapan tenaga kerja antarkabupaten/kota di Jawa Barat sehingga diketahui faktor-faktor yang dapat didorong untuk membantu meningkatkan penyerapan tenaga kerja terutama bagi daerah tertinggal agar dapat mengejar ketertinggalannya.

Manfaat Penelitian

(19)

7

Ruang Lingkup Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah maka penelitian ini dibatasi pada analisis penelitian konvergensi penyerapan tenaga kerja kabupaten/kota di Jawa barat hanya fokus untuk mengetahui pergerakan penyerapan tenaga kerja menuju ke kestabilan yang konvergen antardaerah di Provinsi Jawa Barat untuk periode 2008-2012. Selain itu, dilakukan analisis mengenai faktor-faktor yang mendukung konvergensi penyerapan tenaga kerja kabupaten/kota di Jawa Barat menggunakan data-data yang terdiri dari: PDRB per kabupaten/kota di Jawa Barat, upah per kabupaten/kota di Jawa Barat, infrastruktur yang diukur dengan panjang jalan per kabupaten/kota di Jawa Barat, serta investasi per kabupaten/kota di Jawa Barat dari tahun 2008-2012.

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi Tenaga Kerja dan Kesempatan Kerja

Tenaga kerja merupakan faktor penting dalam proses produksi, karena manusialah (tenaga kerja) yang mampu menggerakan faktor-faktor produksi yang lain untuk menghasilkan suatu barang. Menurut Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Pasal 1, tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat (Huda 2008). Pengertian tenaga kerja secara mikro adalah orang yang tidak saja mampu bekerja, tapi secara nyata menyumbangkan potensi kerja yang dimilikinya kepada lingkungan kerjanya dan menerima imbalan upah. Tenaga kerja adalah semua orang yang bersedia dan sanggup bekerja, termasuk mereka yang menganggur meskipun bersedia dan sanggup bekerja dan mereka yang menganggur terpaksa akibat tidak ada kesempatan kerja (Djojohadikusumo 1987).

(20)

8

terhadap pembangunan dalam bentuk investasi dan pengeluaran, dan keduanya diperkirakan akan berdampak positif terhadap kesempatan kerja (Fudjaja, 2002).

Sumber: Simanjuntak, 1985

Gambar 1 Diagram Ketenagakerjaan

(21)

9 yang mengurus rumah tangga yaitu mereka yang mengurus rumah tangga tanpa memperoleh upah dan golongan lainnya (Simanjuntak 1985). Golongan yang masih bersekolah dan yang mengurus rumah tangga sewaktu-waktu dapat masuk ke pasar kerja sehingga kelompok ini dapat juga disebut sebagai angkatan kerja potensial. Sektor formal didefinisikan sebagai usaha yang dimiliki badan usaha dengan memiliki tenaga kerja, sedangkan sektor informal adalah usaha yang dilakukan sendiri atau dibantu orang lain dan atau pekerja bebas serta pekerja yang tak dibayar. Penggolongan semua penduduk tersebut dapat dilihat pada diagram ketenagakerjaan.

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penyerapan Tenaga Kerja

Teori permintaan menerangkan tentang ciri hubungan antara jumlah permintaan dengan harga. Sehubungan dengan tenaga kerja, permintaan tenaga kerja berarti hubungan antara tingkat upah dengan kuantitas tenaga kerja yang dikehendaki untuk dipekerjakan. Permintaan pengusaha atas tenaga kerja berlainan dengan permintaan masyarakat terhadap barang dan jasa. Masyarakat membeli barang dan jasa karena barang dan jasa tersebut memberikan kepuasan kepadanya. Sementara pengusaha mempekerjakan seseorang karena orang tersebut membantu memproduksi barang dan jasa untuk dijual kepada masyarakat. Dengan kata lain, pertambahan permintaan terhadap tenaga kerja bergantung pertambahan permintaan masyarakat akan barang dan jasa diproduksi. Permintaan tenaga kerja yang seperti itu dinamakan derived demand (Simanjuntak 1985).

Terdapat perbedaan antara permintaan tenaga kerja dan jumlah tenaga kerja yang diminta atau dalam hal ini tenaga kerja yang diserap oleh sektor usaha tertentu di suatu wilayah. Permintaan tenaga kerja adalah keseluruhan hubungan antara berbagai tingkat upah dan jumlah tenaga kerja yang diminta untuk dipekerjakan. Sedangkan jumlah tenaga kerja yang diminta lebih ditunjukkan pada kuantitas dan banyaknya permintaan tenaga kerja pada tingkat upah tertentu. Sehingga menurut (Rahardjo 1984) penyerapan tenaga kerja didefinisikan sebagai jumlah tenaga kerja yang terserap pada suatu sektor dalam waktu tertentu.

Penyerapan tenaga kerja diturunkan dari fungsi produksi suatu aktivitas ekonomi. Produksi merupakan transformasi dari input atau masukan (faktor produksi) ke dalam output atau keluaran. Jika diasumsikan bahwa suatu proses produksi hanya menggunakan dua jenis faktor produksi yaitu tenaga kerja (L) dan modal (K), maka fungsi produksinya adalah :

Qt = f(Lt, Kt) (1)

Sedangkan persamaan keuntungan yang diperoleh suatu perusahaan menurut Model Neoklasik adalah sebagai berikut :

Πt = TR – TC (2)

Dimana:

TR = Pt. Qt (3)

(22)

10

Tenaga Kerja (L) diukur dengan tingkat upah yang diberikan kepada pekerja (w) sedangkan untuk Kapital (K) diukur dengan tingkat suku bunga (r).

TC = rt Kt + wt Lt (4)

Dengan mensubstitusikan persamaan (1), (3), (4) ke persamaan (2) maka diperoleh :

wt Lt = Pt . f(Lt,Kt) – rt Kt - (6)

Lt = [Pt . f(Lt,Kt)]/wt– rt Kt/wt - πt/wt (7)

Dimana :

Lt = Permintaan Tenaga Kerja

wt = Upah Tenaga Kerja

Pt = Harga jual barang per unit

Kt = Kapital (Investasi)

rt = Tingkat Suku Bunga

Qt = Output (PDRB)

Berdasarkan pada persamaan di atas, dapat diketahui bahwa permintaan tenaga kerja (Lt) merupakan fungsi dari kapital (investasi), output (pendapatan), tingkat suku bunga (r) dan tingkat upah (w).

Ketimpangan

Menurut (Todaro 2006), pemerataan yang lebih adil di negara berkembang merupakan suatu kondisi atau syarat yang menunjang pertumbuhan ekonomi. Terjadinya ketimpangan antardaerah juga diterangkan oleh (Myrdal 1957) yang membangun teori keterbelakangan dan pembangunan ekonominya di sekitar ide ketimpangan regional pada taraf nasional dan internasional dengan menggunakan

(23)

11

Konvergensi

Pada permulaan proses pembangunan menurut hipotesa neo klasik ketimpangan pembangunan antar wilayah cenderung meningkat sampai ketimpangan tersebut mencapai titik puncak (divergence). Bila pembangunan terus berlanjut, maka setelah itu secara berangsur-angsur ketimpangan pembangunan antar wilayah tersebut akan menurun (convergence). Dengan kata lain, berdasarkan hipotesa ini kurva ketimpangan pembangunan antar wilayah atau ketimpangan regional adalah berbentuk U terbalik (Reserve U-Shape Curve) (Sodik 2006).

Menurut teori pertumbuhan Neo Klasik, konvergensi adalah kondisi dimana daerah tertinggal yang belum mencapai kemapanan cenderung tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan daerah maju yang telah mencapai kemapanan. Teori konvergensi menyatakan bahwa tingkat kemakmuran yang dialami oleh daerah-daerah maju dan daerah-daerah-daerah-daerah berkembang pada suatu saat akan konvergen (bertemu pada satu titik). Ilmu ekonomi juga menyebutkan bahwa akan terjadi catching up effect, yaitu ketika daerah-daerah berkembang berhasil mengejar daerah-daerah maju (Tajerin 2007).

Terdapat dua konsep konvergensi dalam perekonomian yaitu konvergensi β yang terdiri dari konvergensi mutlak dan bersyarat serta konvergensi α (Barro dan Martin 2004). Terjadinya proses konvergensi dimana daerah tertinggal cenderung tumbuh lebih cepat tidak serta merta menyebabkan menurunnya disparitas dalam

hal ini adalah disparitas penyerapan tenaga kerja. Konvergensi α digunakan untuk

mengukur tingkat dispersi dari penyerapan tenaga kerja. Jika dispersi penyerapan tenaga kerja menurun, maka ketimpangan antardaerah/negara juga semakin menurun, sehingga kemungkinan telah terjadi konvergensi penyerapan tenaga kerja. Pengukuran dispersi dilakukan dengan melihat nilai koefisien variasi dan

standar deviasi dari nilai logaritma variabel dependen. Sedangkan konvergensi β

memiliki kelebihan yaitu analisisnya bersifat dinamis karena jika pengamatan jangka pendek tidak mampu memberi jawaban tentang dampak dari kebijakan publik maka kita tidak dapat melihat dampak tersebut dalam kecenderungan

jangka panjang. Dengan analisis konvergensi β, dapat diketahui seberapa besar kecepatan konvergensi yang terjadi secara pasti. Selain itu, konvergensi β berguna

untuk melihat faktor-faktor yang kemungkinan memengaruhi konvergensi. Dengan menguji konvergensi kondisional dapat diketahui apakah daerah terbelakang memiliki tingkat penyerapan tenaga kerja yang lebih cepat dibandingkan dengan daerah maju jika variabel lain dianggap konstan.

Penelitian Terdahulu

(24)

12

dari koefisien dari estimasi fixed effects karena masalah instrumen lemah. Sistem-GMM (SYS-Sistem-GMM) penduga yang ditemukan bias, konsisten dan valid. Mereka menunjukkan bahwa proses konvergensi berlaku diantara provinsi di Indonesia untuk periode 1983-2003. Namun kecepatan konvergensi relatif sangat lambat (0,29) dibandingkan dengan penelitian lain di negara-negara berkembang.

Pebriani dan Sukadana (2013) melakukan penelitian dengan judul

“Konvergensi Pendapatan Perkapita: Studi Kasus Antar Kabupaten di Indonesia

Pada Era Otonomi Daerah”. Tujuan dari penelitian ini untuk menguji tentang keberadaan konvergensi pendapatan per kapita antar kabupaten di Indonesia pada era Otonomi daerah (tahun 1999 sampai 2010). Untuk menguji hipotesis tersebut digunakan teknik analisis data regresi dengan metode Ordinary Least Squares (OLS) dengan menggunakan data cross section 187 kabupaten di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan variabel PDRB perkapita tahun 2010 dengan PDRB per kapita tahun 1999, hal tesebut berlawanan dengan hipotesis mengenai konvergensi, sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi konvergensi, melainkan terjadi divergensi. Pengujian secara parsial terhadap variabel jarak juga menunjukkan hasil yang serupa dengan variabel PDRB perkapita 2010 yang tidak mendukung hipotesis mengenai konvergensi. Sehingga secara umum dapat disimpulkan bahwa otonomi daerah belum mampu untuk mengatasi ketimpangan pendapatan antar kabupaten di Indonesia dalam kurun waktu 10 tahun era Otonomi Daerah.

Wardaya (2005) melakukan penelitian untuk mencoba mengidentifikasi proses β-convergence antardaerah di Jawa Timur menggunakan data cross-section dari 30 daerah untuk periode 1983-2001, dengan mempertimbangkan adanya heterogenitas spasial dan ketergantungan spasial. Deteksi rezim spasial menggunakan GI* statistik pada nilai-nilai PDB per kapita daerah pada tahun 1983 menemukan cluster daerah berpenghasilan tinggi (kelompok “kaya”) di bagian tengah dan timur Jawa Timur, dan cluster daerah berpenghasilan rendah

(kelompok “miskin”) di bagian barat. Hasil OLS dan GLS regresi pada model konvergensi mutlak tidak menemukan proses konvergensi dalam pendapatan regional Jawa Timur. Proses konvergensi hanya ditemukan di ruang lintas regresif mutlak model β-convergence diperkirakan untuk klub spasial A (kelompok

“kaya”), tetapi tidak ada bukti untuk proses konvergensi sama terjadi di ruang klub B (kelompok “miskin”). Dengan menggunakan model cross-regresif tata ruang β-absolute pada penelitian ini mengatakan bahwa koefisien lag spasial

pendapatan awal (τ) adalah positif dan siginifikan dalam setiap persamaan yang artinya pertumbuhan suatu daerah dipengaruhi oleh pendapatan awal dari tetangganya yang kaya sehingga tumbuh lebih cepat dari wilayah yang dikelilingi oleh tetangga miskin.

Ralhan dan Dayanandan (2005) melakukan penelitian untuk menguji konvergensi pendapatan tanpa syarat dan kondisional antar provinsi di Kanada selama periode 1981-2001. Pada penelitian ini menerapkan estimasi FD-GMM ke model pertumbuhan Solow dinamis dan membandingkan hasilnya dengan data panel lain dengan pendekatan fixed effects dan random effects. Metode yang digunakan dalam penelitian ini memberikan informasi bahwa tidak hanya provinsi-spesifik tingkat teknologi awal tetapi juga untuk heterogenitas tingkat

kemajuan teknologi antara „kaya‟ dan „tidak begitu kaya‟ di Kanada. Salah satu

(25)

13 tingkat konvergensi sekitar 6% menjadi 6,5% sedangkan penelitian sebelumnya menggunakan OLS dan teknik lain mengatakan bahwa tingkat konvergensi sekitar 1,05% untuk PDB per kapita dan 2,89% untuk pendapatan pribadi.

Solihin (2011) dalam penelitiannya mengidentifikasi apakah telah terjadi konvergensi inflasi di negara-negara ASEAN+6 dan menganalisis faktor yang mendukung dan berpengaruh dalam pembentukan konvergensi inflasi di kawasan tersebut. Selain itu, penelitian ini juga menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat inflasi di negara-negara ASEAN+6. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang dikumpulkan dari berbagai sumber. Data yang dikumpulkan tersebut merupakan data panel dengan time series 2000-2009 dan cross section sebelas negara ASEAN+6, yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand, Cina, Jepang, Korea Selatan, Australia, India, dan New Zealand. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah data panel dinamis (dynamic panel data) melalui pendekatan Generalized Method of Moment (GMM).

Hasil pengujian dengan menggunakan analisis System-Genarilized Method of Moments (SYS-GMM) dalam estimasi twostep noconstant, ternyata didapatkan hasil estimasi nilai koefisien yang lebih kecil dari pada satu, sehingga terjadi konvergensi inflasi di negara-negara ASEAN+6 atau dengan kata lain inflasi di negara-negara ASEAN+6 adalah konvergen pada periode 2000-2009. Selain itu, variabel suku bunga nominal dan nilai tukar efektif nominal mendukung dan berpengaruh dalam pembentukkan konvergensi inflasi di negara-negara ASEAN+6. Kedua hasil estimasi faktor-faktor yang memengaruhi tingkat inflasi di kawasan ASEAN +6 dilakukan dengan menggunakan Arellano-Bond Generalized Method of Moments (AB-GMM) dalam estimasi twostep noconstant. Secara keseluruhan dapat dikemukakan bahwa signifikasi pengaruh variabel makroekonomi, seperti lag dependent (inflasi), output gap, nilai tukar efektif nominal, dan suku bunga nominal menunjukkan berpengaruh terhadap pergerakan tingkat inflasi negara-negara ASEAN+6. Selain itu variabel pengeluaran konsumsi pemerintah (General Government Final Consumption Expenditure) tidak berpengaruh nyata atau tidak signifikan dalam mempengaruhi pergerakan tingkat inflasi di negara-negara ASEAN+6. Semua pengujian juga didukung oleh pemenuhan asumsi yang dtunjukkan oleh konsistensi (estimasi Arellani-Bond) dan validitas (estimasi sargan) pada model penelitian. Namun, pada penelitian ini masih ditemukan biased pada sampel penelitian sehingga menyebabkan instrumen yang digunakan masih bersifat lemah.

(26)

14

konvergensi dari 5% menjadi 7,5%, lebih tinggi dari apa yang biasanya diperoleh dalam studi cross-sectional dengan 2-3%. Dari penelitian ini pula didapatkan jika pangsa lapangan kerja pertanian memiliki hubungan negatif dalam memengaruhi pertumbuhan regional.

Penelitian terdahulu menggunakan metode panel data oleh Rosalina (2013) melakukan penelitian yang bertujuan untuk menganalisis kondisi penyerapan tenaga kerja di Indonesia dan menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi penyerapan tenaga kerja di Indonesia. Penelitian ini menggunakan data sekunder dari tahun 2008 sampai tahun 2011 meliputi data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan 2000, investasi baik Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Penanaman Modal Asing (PMA), dan upah riil. Hasil analisis dari penelitian ini menunjukkan jika Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB), upah riil dan investasi secara signifikan berpengaruh positif terhadap penyerapan tenaga kerja. Artinya, peningkatan PDRB, upah, dan investasi dapat meningkatkan penyerapan tenaga kerja.

Kerangka Pemikiran

Adanya realitas kesenjangan regional dan distribusi spasial atas sumber daya merupakan dampak dari proses pembangunan yang tidak merata. Pembangunan sarana dan prasarana umumnya lebih diutamakan untuk daerah dengan kepadatan penduduk yang tinggi. Sehingga dapat juga dikatakan bahwa ketimpangan antardaerah erat kaitannya dengan ketimpangan penyebaran penduduk. Daerah-daerah yang padat penduduk dan dengan sarana/prasarana yang memadai akan menjadi pusat kegiatan ekonomi, akibatnya penyebaran kegiatan ekonomi menjadi tidak merata.

Sejak diberlakukannya Undang-Undang tentang Otonomi daerah yang bertujuan agar setiap daerah dituntut untuk mampu mengelola potensi daerah yang dimilikinya secara tepat, sehingga akan mendorong terciptanya proses pembangunan dengan tingkat pemerataan yang baik dan kesenjangan yang terjadi akan semakin menurun. Namun fakta yang ada setelah berjalan selama 13 tahun kebijakan otonomi daerah belum mampu mengurangi ketimpangan pendapatan antarkabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. Ketimpangan pendapatan ini akan memiliki dampak luas dalam menyebabkan ketimpangan lain salah satunya adalah ketimpangan dalam penyerapan tenaga kerja.

Berdasarkan Tabel 2 menunjukkan bahwa jumlah tenaga kerja antarkabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat sangat bervariasi. Hal ini terlihat bahwa ada daerah yang memiliki jumlah tenaga kerja yang jauh meninggalkan daerah lainnya sampai 26 kali lipat. Perbedaan pencapaian penyerapan tenaga kerja dalam jangka panjang dapat menyebabkan suatu wilayah akan semakin timpang (divergen) dalam penyerapan tenaga kerja atau dapat berkurang jika daerah yang rendah dalam penyerapan tenaga kerja dapat menjadi lebih cepat dari pada daerah yang memiliki tingkat penyerapan tenaga kerja yang tinggi yang nantinya akan cenderung semakin seragam (konvergen) sehingga gap kemakmuran antardaerah semakin kecil.

(27)

15

Provinsi Jawa Barat

1. Perbedaan potensi SDA, SDM, budaya, dll 2. Pencapaian penyerapan tenaga kerja yang beragam 3. Ketimpangan tingkat penyerapan tenaga kerja

Konvergensi Penyerapan Tenaga Kerja Antarkabupaten/kota di Jawa

Barat

Analisis Deskriptif Analisis Data Panel

Pemetaan Berdasarkan Pertumbuhan PDRB

dan Besaran Penyerapan Tenaga

Kerja

Indeks Ketimpangan Penyerapan Tenaga

Kerja

Konvergen atau Divergen

Faktor-faktor apa saja yang harus diperhatikan untuk meningkatkan laju konvergensi dalam penyerapan tenaga kerja Jawa Barat serta menganalisis faktor-faktor yang mendukung konvergensi penyerapan tenaga kerja di Provinsi Jawa Barat. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis panel data dengan time series sebanyak 5 dan data cross section sebanyak 26. Variabel-variabel yang akan dianalisis dalam penelitian ini seperti PDRB (Produk Domestik Regional Bruto), investasi, upah, serta infrastruktur yang diukur dengan panjang jalan. Dengan mengacu pada dasar pemikiran yang bersifat teoritis dan berdasarkan studi empiris yang pernah dilakukan berkaitan dengan penelitian di bidang ini, maka hipotesis penelitian untuk konvergensi penyerapan tenaga kerja di Provinsi Jawa Barat adalah sebagai berikut :

1. Kesenjangan penyerapan tenaga kerja dan trend ketimpangan kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat selama periode analisis cenderung menurun.

2. Diduga konvergensi penyerapan tenaga kerja terjadi antardaerah di Provinsi Jawa Barat terjadi.

3. Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB), diduga berpengaruh positif dalam meningkatkan kecepatan konvergensi penyerapan tenaga kerja.

4. Investasi, diduga berpengaruh positif dalam meningkatkan kecepatan konvergensi penyerapan tenaga kerja.

5. Upah, diduga berpengaruh negatif dalam meningkatkan kecepatan konvergensi penyerapan tenaga kerja.

6. Panjang jalan, diduga berpengaruh positif dalam meningkatkan kecepatan konvergensi penyerapan tenaga kerja.

(28)

16

METODE

Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang diperoleh dari berbagai sumber. Jenis data yang digunakan adalah data panel, yaitu gabungan data cross section dan time series. Data panel yang dikumpulkan berupa data cross section yang terdiri dari 26 kabupaten/kota di Jawa Barat meliputi 17 kabupaten dan 9 kota serta data time series tahunan periode 2008-2012. Adapun data yang digunakan sebagai variabel penelitian meliputi data PDRB ADHK 2000, jumlah tenaga kerja, upah, panjang jalan serta investasi. Data sekunder ini berasal dari instansi yang terkait, yaitu Badan Pusat Statistik Republik Indonesia, Kementrian Tenaga Kerja dan Trasmigrasi Republik Indonesia, Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat, Badan Koordinasi Penanaman Modal, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jawa Barat serta memanfaatkan literatur yang ada seperti dari buku, jurnal, media massa, media elektronik, untuk menunjang kelengkapan bahan-bahan penulisan ini.

Metode Analisis Data

Analisis Deskriptif dengan Indeks Ketimpangan Penyerapan Tenaga Kerja

Koefisien variasi tidak hanya digunakan untuk menghitung ketimpangan pendapatan saja, namun juga dapat digunakan untuk ketimpangan tingkat harapan hidup, tingkat melek huruf dan salah satunya adalah dalam penyerapan tenaga kerja (Todaro 2006). Mengadopsi dari rumus koefisien variasi williamson, untuk mengetahui ketimpangan penyerapan tenaga kerja antarkabupaten/kota yang terjadi di Provinsi Jawa Barat tahun 2008-2012 dapat dianalisis dengan menggunakan indeks ketimpangan regional (regional inequality) yang disebut sebagai Indeks Ketimpangan penyerapan tenaga kerja. Rumus dari Indeks ketimpangan penyerapan tenaga kerja adalah sebagai berikut :

√∑

Dimana :

CV = Indeks ketimpangan penyerapan tenaga kerja

= Jumlah tenaga kerja di kabupaten/kota i di Jawa Barat

Ȳ

= Rata-rata jumlah tenaga kerja di Provinsi Jawa Barat AKi = Jumlah angkatan kerja di kabupaten/kota i di Jawa Barat

n = Jumlah angkatan kerja di Provinsi Jawa barat

(29)

17 ketimpangan penyerapan tenaga kerja maka Indeks ketimpangan penyerapan tenaga kerja akan semakin mendekati 0. Oshima dalam Soetopo menetapkan kriteria yang digunakan untuk menentukkan apakah kesenjangan ada pada taraf rendah, sedang atau tinggi dengan kriteria sebagai berikut :

CV< 0,35 = Kesenjangan taraf rendah 0,35 ≤ CV≤ 0,5 = Kesenjangan taraf sedang CV > 0,5 = Kesenjangan taraf tinggi

Analisis Data Panel Dinamis

Data panel merupakan kombinasi data cross section dengan time series. Data cross section adalah data yang dikumpulkan dalam satu waktu terhadap banyak individu, sedangkan data time series adalah data yang dikumpulkan dari waktu ke waktu terhadap suatu individu (Gujarati 2003). Suatu panel data dikatakan balanced panel jika masing-masing unit cross section memiliki jumlah observasi time-series yang sama. Sedangkan jika jumlah observasi time-seriesnya berbeda antar individu atau anggota panel lainya, maka disebut unbalanced panel (Gujarati 2003). Menurut Baltagi (2005), keunggulan penggunaan data panel memberikan banyak keuntungan diantaranya sebagai berikut :

1. Data panel mampu menyediakan data yang lebih banyak, sehingga dapat memberikan informasi yang lebih lengkap. Sehingga diperoleh degree of freedom (df) yang lebih besar sehingga estimasi yang dihasilkan lebih baik. 2. Dengan menggabungkan informasi dari data time series dan cross section

dapat mengatasi masalah yang timbul karena ada masalah penghilangan variabel (omitted variable).

3. Data panel mampu mengurangi kolinearitas antar variabel.

4. Data panel lebih baik dalam mendeteksi dan mengukur efek yang secara sederhana tidak mampu dilakukan oleh data time series murni dan cross section murni.

5. Dapat menguji dan membangun model perilaku yang lebih kompleks. Sebagai contoh, fenomena seperti skala ekonomi dan perubahan teknologi. 6. Data panel dapat meminimalkan bias yang dihasilkan oleh agregat individu,

karena data yang diobservasi lebih banyak.

(Indra 2009) relasi di antara variabel-variabel ekonomi pada kenyataannya banyak yang bersifat dinamis. Analisis dapat digunakan sebagai model yang bersifat dinamis dalam kaitannya dengan analisis penyesuaian dinamis (dynamic of adjustment). Manfaat penggunaan data panel dinamis salah satunya adalah untuk menganalisis penyesuaian dinamis (dynamic adjustment). Hubungan dinamis tersebut dapat dideteksi dari adanya lag variabel dependen pada persamaan regresi. Hal tersebut dapat ditunjukkan pada persamaan berikut:

(30)

18

...(3.2)

Dengan efek individu yang diasumsikan dan adalah error term yang diasumsikan dan saling bebas satu sama lain.

Ketika suatu persamaan mengandung lag dari variabel dependen maka akan muncul masalah berupa korelasi antara variabel dengan . Hal itu dapat dikarenakan merupakan fungsi dari dan berarti juga merupakan fungsi dari . Sehingga estimasi dengan panel data statis seperti OLS, fixed effect, dan random effect pada persamaan panel dinamis menjadi bias dan inkonsisten, meskipun tidak berkorelasi secara serial (Baltagi 2005). Konsistensi (robustness) dan efisiensi mengenai perlakuan ketika menggunakan Fixed Effect Method (FEM) maupun Random Effect Method (REM) pada model panel statis bisa didapatkan. Sedangkan pada panel dinamis hal ini tidaklah sama, karena tergantung pada .

Permasalahan inkonsistensi tersebut dapat diatasi dengan menggunakan pendekatan method of moments atau Generalized Method of Moment (GMM). Dua jenis prosedur estimasi GMM yang biasa digunakan untuk mengatasi hal tersebut adalah :

1. First-difference GMM (FD-GMM) 2. System GMM (SYS-GMM)

First-difference GMM (FD-GMM)

Ide dari penggunaan FD-GMM pada persamaan panel dinamis, yakni dengan menghilangkan efek individu, diantaranya diusulkan oleh Arellano dan Bond (Baltagi, 2005). Pada persamaan first difference, instrumen yang tepat untuk digunakan adalah variabel lag dari level. Estimasi yang konsisten dengan N→∞ dengan T tetap diperoleh dengan melakukan first-difference pada persamaan di bawah untuk menghilangkan pengaruh individual (

; | | ,..., T...(3.3) Dengan dimana ~ IID ( )dan νit ~ IID ( ) saling bebas satu sama lain. Sehingga:

( ) ( ) (3.4)

Estimasi dengan OLS pada persamaan di atas akan menghasilkan penduga yang

inkonsisten meskipun jika T→∞, sebab dan berkorelasi. Maka pendekatan instrumen dianjurkan untuk digunakan (Verbeek 2004). Sebagai contoh, akan digunakan sebagai instrumen, berkorelasi dengan ( ) tetapi tidak berkorelasi dengan , dan tidak berkorelasi serial. Penduga variabel instrumen untuk adalah sebagai berikut:

̂

∑ ∑

(31)

19

Syarat perlu agar penduga ini konsisten adalah:

∑ ∑ ( ) ... (3.6) Penduga (3.5) merupakan salah satu penduga yang diajukan oleh Anderson Hsiao. Mereka juga menganjurkan penduga alternatif dimana ( ) digunakan sebagai instrumen. Penduga variabel instrumen bagi adalah:

̂

∑ ∑ ( )

∑ ∑ ( ) ... ...(3.7) Syarat perlu agar penduga tersebut konsisten adalah:

∑ ∑ ( ) ...(3.8) Penduga variabel instrumen yang kedua (IV(2)) membutuhkan tambahan lag variabel untuk menciptakan instrumen, sehingga jumlah efektif pada observasi pada estimasi berkurang satu periode sampel. Kerugian dari pengurangan ukuran sampel dapat dieliminasi dengan pendekatan metode momen, pendekatan ini juga dapat menyatukan penduga. Langkah pertama pada pendekatan tersebut adalah menetapkan kondisi momen (moment condition), yakni:

∑ ∑ ( ) [( ) ] ...(3.9)

dan

∑ ∑ ( ) [( )( )] ....(3.10)

Estimator IV dan IV(2) diberi kondisi momen pada saat estimasi. Semakin banyak kondisi momen yang digunakan, efisiensi dari penduga akan meningkat. Jika terdapat ukuran sampel sebanyak T, maka vektor transformasi error dapat ditulis sebagai:

[

]... (3.11)

Dan matriks instrumen berupa

[ [ ]

[ ]

[ ]]

... (3.12)

Setiap baris matriks Zi berisi matriks yang valid untuk periode yang diberikan.

(32)

20

Dengan kondisi 1+2+3+...+T-1. Untuk menurunkan estimator GMM, tuliskan persamaan sebagai:

[ ] = 0... (3.14)

Estimasi akan dilakukan dengan meminimumkan bentuk kuadrat momen sampel yang berkoresponden karena jumlah kondisi momen biasanya melebihi jumlah koefisien yang belum diketahi. Dengan demikian, penduga GMM adalah:

̂ ((∑ ) (∑

))

(∑ ) (∑ ) ... (3.15)

Penduga konsisten selama matriks penimbang WN merupakan definit positif.

Matriks penimbang yang optimal mampu memberikan penduga yang paling efisien, yaitu yang memberi matriks kovarian asimtotik terkecil untuk ̂

Blundell dan Blond (1998) menyatakan bahwa pada sampel yang berukuran kecil, penduga FD-GMM dapat mengandung bias dan ketidaktepatan. Selain itu, instrumen berupa lagged level pada persamaan first-difference merupakan instrumen yang lemah pada FD-GMM. Estimasi dengan least square pada panel data dengan model AR(1) akan menghasilkan koefisien yang bias ke atas (biased upward) dan pendugaan dengan fixed effect akan menghasilkan koefisien yang bias ke bawah (biased downward). Penduga koefisien yang konsisten dapat diperoleh jika nilai koefisien terdapat di antara penduga least square atau fixed effect (Firdaus, 2011). Penduga FD-GMM yang memiliki nilai di bawah penduga fixed effect kemungkinan disebabkan oleh instrumen yang lemah (Indra, 2009).

System GMM (SYS-GMM)

Inti dari metode System GMM (SYS-GMM) adalah pengestimasian sistem persamaan baik pada first-difference maupun pada level. Instrumen yang digunakan pada level adalah lag first-difference. Asumsi tambahan pada metode SYS-GMM adalah untuk i=1,....,N. Adapun matriks instrumen bagi SYS-GMM adalah (Firdaus, 2011):

[

[ ]

[ ]]

... (3.16)

Himpunan kondisi momen dapat dituliskan sebagai:

(33)

21 Maka System GMM memiliki kombinasi instrumen berupa level pada persamaan first difference dan instrumen berupa first difference pada persamaan level. Blundell dan Bond (1998) mendapatkan bahwa estimasi dengan model ini merupakan salah satu cara untuk menghindari masalah bias pada sampel yang sedikit dan ketidaktepatan yang ada pada FD-GMM pada saat T yang digunakan kecil.

Kriteria Model Terbaik

Pada analisis dengan menggunakan model panel dinamis, kriteria yang digunakan untuk menguji model sedikit berbeda dengan uji pada panel statis. Pengujian model yang dilakukan adalah uji validitas dan konsistensi. Untuk menguji validitas instrumen dapat dilakukan dengan melakukan Uji Sargan. Hipotesis nol pada Uji Sargan adalah instrumen valid, berarti instrumen tidak bermasalah. Selanjutnya adalah uji konsistensi yang dapat didapat dari statistik Arellano-Bond m1 dan m2. Jika statistik m1 menunjukkan nilai yang menolak

hipotesis nol dan m2 menujukkan nilai yang menerima hipotesis nol, maka

estimator konsisten. Selain itu, estimator yang tidak bias adalah yang berada di antara estimator pooled least squares dan fixed effect (Firdaus, 2011).

Model Konvergensi Penyerapan Tenaga Kerja

Konvergensi penyerapan tenaga kerja dilihat dari penurunan dispersi penyerapan tenaga kerja antardaerah dengan menghitung koefisien atau standar deviasi dari logaritma jumlah tenaga kerja antardaerah dari tahun ke tahun. Konvergensi dengan pendekatan tersebut dinamakan konvergensi sigma (sigma(σ) convergece). Pendekatan kedua dalam konvergensi adalah beta (beta (β) convergence). Pendekatan ini menyatakan bahwa konvergensi terjadi ketika daerah dengan penyerapan tenaga kerja yang rendah mampu mengejar (catch up) daerah dengan penyerapan tenaga kerja yang tinggi.

Untuk melihat hal tersebut terdapat dua jenis konvergensi beta, pertama konvergensi absolut dan kedua konvergensi kondisional. Konvergensi absolut dilihat dengan tanpa memasukkan variabel kontrol yang merupakan karakteristik masing-masing daerah. Sedangkan konvergensi kondisional memasukkan variabel kontrol yang merupakan karakteristik masing-masing daerah. Persamaan untuk konvergensi kondisional pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

Dengan:

= Tingkat penyerapan tenaga kerja pada tahun akhir (%)

= Tingkat penyerapan tenaga kerja pada tahun sebelumnya (%)

PDRB = Produk Domestik Regional Bruto (juta rupiah) UMR = Upah minimum Regional (rupiah)

(34)

22

Menurut Mutaqin dan Ichihashi (2012) menyatakan bahwa model konvergensi di atas dapat dituliskan kembali menjadi:

Jika nilai β berada diantara 0 dan -1 maka dapat dikatakan terjadi konvergensi penyerapan tenaga kerja antarkabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. Semakin mendekati -1 maka penyerapan tenaga kerja antarkabupaten/kota di Provins Jawa

Barat semakin konvergen. Sedangkan jika β>0 dan β<-1 maka penyerapan tenaga kerja menuju pada pergerakan yang divergen dan menyebar. Atau dapat pula dituliskan konvergensi terjadi ketika kurang dari satu. Menurut Firdaus (2011) Tingkat konvergensi dinyatakan –ln (β). Adapun waktu yang diperlukan untuk menutup setengah dari kesenjangan awal yang disebut dengan half-life of convergence dihitung dengan (Jan dan Chaundhary 20011):

Gambaran Umum

Kondisi Geografis Daerah

Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5050‟ – 7050‟ Lintang

Selatan dan 104048‟ –108048‟ Bujur Timur, dengan batas-batas wilayah:  Sebelah Utara, berbatasan dengan Laut Jawa dan DKI Jakarta

 Sebelah Timur, berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah  Sebelah Selatan, berbatasan dengan Samudra Indonesia  Sebelah Barat, berbatasan dengan Provinsi Banten

Selain itu, Provinsi Jawa Barat memiliki kondisi alam dengan struktur geologi yang kompleks dengan wilayah pegunungan berada di bagian tengah dan selatan serta dataran rendah di wilayah utara. Memiliki beberapa taman nasional, cagar alam, kawasan hutan lindung dan hutan produksi yang proporsinya mencapai 21 persen dari luas Jawa Barat. Curah hujan berkisar antara 2000-4000 mm/th dan termasuk wilayah dengan intensitas hujan tinggi, memiliki 40 Daerah Aliran Sungai (DAS) dengan debit air permukaan 81 milyar m3/tahun dan air tanah 150 juta m3/th.

Wilayah Administratif dan Penduduk

(35)

23 Padahal dalam kurun waktu tersebut telah banyak perubahan baik dalam bidang pemerintahan, ekonomi maupun kemasyarakatan.

Dalam kurun waktu 1994-1999, secara kuantitatif jumlah wilayah pembantu gubernur tetap 5 wilayah dengan terdiri dari: 20 kabupaten dan 5 kotamadya, dan tahun 1999 jumlah kotamadya bertambah menjadi 8 kotamadya. Kota administratif berkurang dari enam daerah menjadi empat, karena kotip Depok pada tahun 1999 berubah status menjadi kota otonom. Dengan lahirnya UU No.23 Tahun 2000 tentang Provinsi Banten, maka Wilayah Administrasi Pembantu Gubernur Wilayah I Banten resmi ditetapkan menjadi Provinsi Banten dengan daerahnya meliputi: Kabupaten Serang, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Lebak dan Kabupaten dan Kota Tangerang serta Kota Cilegon. Adanya perubahan itu, maka sejak tahun 2000 Provinsi Jawa Barat terdiri dari 16 Kabupaten dan 9 Kota, dengan membawahi 584 Kecamatan, 5.201 Desa dan 609 Kelurahan. Pada tahun 2012 bertambah menjadi 17 Kabupaten dan 9 Kota dengan membawahi 626 Kecamatan, 5.918 Desa dan 634 Kelurahan.

Tabel 4 Luas Wilayah, Jumlah Penduduk, dan Kepadatan Penduduk Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Barat, 2012

No Kabupaten dan Kota Luas Wilayah (Km2)

6. Kab. Tasikmalaya 2.702,85 1.722.514 637,26 7. Kab. Ciamis 2.740,76 1.562.886 570,24 8. Kab. Kuningan 1.189,60 1.056.275 887,92 9. Kab. Cirebon 1.071,05 2.110.147 1970,17 10. Kab. Majalengka 1.343,93 1.189.191 3457,65 11. Kab. Sumedang 1.560,49 1.124.902 720,87 17. Kab. Bandung Barat 1.335,60 1.563.389 1170,55

18. Kota Bogor 111,73 987.448 8837,81

25. Kota Tasikmalaya 184,38 653.085 3542,06

26. Kota Banjar 130,86 180.030 1375,75

Jawa Barat 37.173,97 44.458.431 1198,38

Sumber: BPS RI, 2013

(36)

24

penduduknya mencapai rata-rata 1198,38 jiwa/km2 berdasarkan data kependudukan tahun 2012. Dengan tingkat kepadatan penduduk yang relatif tinggi ini merupakan salah satu masalah yang harus diantisipasi, adalah menyempitnya luas lahan yang ada sehingga berpeluang menjadi tidak seimbang dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan yang ada serta kurangnya lapangan pekerjaan karena semakin bertambahnya jumlah penduduk. Selain masalah-masalah tersebut, masalah kependudukan yang seharusnya dapat ditanggulangi yang berkaitan dengan penyebaran penduduk yang tidak merata. Hal ini dapat dilihat dengan membandingkan antara jumlah penduduk yang berada disetiap kabupaten/kota.

Penyerapan Tenaga Kerja di Jawa Barat

Jawa barat merupakan provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia, sepanjang tahun 2008 hingga 2012 rata-rata18 persen per tahun jumlah penduduk di Indonesia tersebar di Provinsi Jawa Barat. Besarnya jumlah penduduk di Provinsi Jawa Barat antara lain disebabkan oleh tingginya arus migrasi dan urbanisasi dari daerah lain. Sarana dan prasarana penunjang kegiatan ekonomi yang relatif lengkap dibandingkan daerah lainnya di Indonesia menjadi salah satu faktor penarik para migran untuk mengadu nasib di Jawa Barat.

Jumlah penduduk usia kerja atau biasa disebut tenaga kerja terkait dengan pola struktur umur penduduk suatu daerah. Seiring dengan mengecilnya jumlah penduduk usia muda, jumlah penduduk usia kerja akan mengalami peningkatan. Pada tahun 2012, penduduk usia kerja (berusia 15 tahun ke atas) di Jawa Barat mengalami peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya yaitu menjadi sekitar 31,87 juta jiwa. Jika dibandingkan dengan keadaan tahun 2011 jumlah penduduk usia kerja meningkat sebesar 0,79 ribu jiwa atau meningkat sebesar 2,5 persen.

Tabel 5 Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas menurut Kegiatan Utama di Provinsi Jawa Barat Tahun 2008-2012

Kegiatan Utama 2008 2009 2010 2011 2012

1. Penduduk Usia Kerja (15+) (juta jiwa) 29,71 30,18 30,29 31,08 31,87 2. Angkatan Kerja (juta jiwa) 18,74 18,98 18,89 19,36 20,15 a. Bekerja 16,48 16,90 16,94 17,45 18,32 b. Pengangguran 2,26 2,08 1,95 1,90 1,82 3. Bukan Angkatan Kerja (juta jiwa) 63,09 62,89 62,38 62,27 62,17 4. Tingkat Pengangguran Terbuka (persen) 12,08 10,96 10,33 9,83 9,08

Sumber: BPS RI, 2013

(37)

25

pada Indonesia sebesar 7,22 persen. Banyaknya jumlah pengangguran yang ada di Jawa Barat diakibatkan semakin kecilnya lapangan pekerjaan untuk masyarakat di perkotaan serta meningkatnya urbanisasi masyarakat pedesaan yang datang ke kota tanpa memiliki keterampilan khusus. Sehingga mengakibatkan meningkatnya jumlah pengangguran yang ada di kota.

Kondisi Upah AntarKabupaten/Kota di Jawa Barat

Tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi penting dalam struktur biaya usaha, karena perusahaan membayar upah sebagai balas jasa terhadap perusahaan. Upah yang merupakan biaya input yang harus dikeluarkan oleh perusahaan memiliki kebijakan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah untuk mendukung dan melindungi kedua belah pihak. Penetapan UMR yang terlalu tinggi disuatu daerah akan menyebabkan peningkatan biaya produksi yang harus dikeluarkan oleh suatu perusahaan. Sehingga salah satu daya tarik keputusan berlokasi di suatu tempat adalah dengan tingkat upah yang rendah. Berikut merupakan gambaran UMR kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat tahun 2012.

Sumber: DISNAKERTRANS Jawa Barat, 2013 (diolah)

(38)

26 perusahaan adalah sesuai dengan kebijakan pemerintah masing-masing daerah. Hal ini berdasarkan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang berbeda-beda di setiap daerah. Hipotesis yang digunakan adalah UMR yang semakin besar pada suatu wilayah akan menurunkan tingkat penyerapan tenaga kerja karena upah dianggap sebagai beban bagi perusahaan yang dapat menurunkan tingkat keuntungan seiring dengan meningkatnya upah. Oleh karena kenaikan upah itu, perusahaan merespon dengan menurunkan tingkat penyerapan tenaga kerja. Variabel ini akan dianalisis untuk melihat keterkaitannya secara signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja.

Kondisi PDRB AntarKabupaten/Kota di Jawa Barat

Salah satu tolak ukur dari keberhasilan pembangunan ekonomi suatu daerah diantaranya adalah PDRB daerah tersebut dan pertumbuhan penduduk yang nantinya ditunjukan pada tingkat penyerapan tenaga kerja. PDRB menurut harga konstan adalah merupakan ukuran kemakmuran ekonomi yang lebih baik, sebab perhitungan output barang dan jasa perekonomian yang dihasilkan tidak dipengaruhi oleh perubahan harga. Berikut merupakan gambaran PDRB ADHK kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat tahun 2012.

Sumber: BPS Jawa Barat, 2013 (diolah)

Gambar 4 PDRB Menurut Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2012 (juta rupiah)

(39)

27 mempercepat penyerapan tenaga kerja. Pertumbuhan ekonomi yang meningkat di suatu daerah berdampak pada derasnya modal yang masuk sehingga memberikan kesempatan kerja yang ditandai pada banyaknya sektor usaha baru yang muncul yang sistemnya berorientasi pada padat karya, sehingga mengurangi jumlah pengangguran. Dalam teori relevannya, setiap adanya peningkatan dalam pertumbuhan ekonomi suatu daerah dapat meningkatkan jumlah tenaga kerja yang terserap sehingga dapat mengurangi pengangguran.

Kondisi Panjang Jalan AntarKabupaten/Kota di Jawa Barat

Pembangunan infrastruktur transportasi dapat memberikan peningkatan keunggulan daya saing suatu daerah. Sistem transportasi yang efisien akan memecahkan permasalahan distribusi biaya tinggi. Hal tersebut terjadi karena sistem transportasi yang efisien tersebut membuat proses mobilitas barang dan manusia menjadi cepat, aman, dan murah. Sebagai salah satu infrastruktur transportasi, jalan merupakan sarana transportasi yang digunakan dalam mendukung transportasi jangka pendek dalam suatu daerah. Sejak Otonomi Daerah diberlakukan, perencanaan, pemeliharaan, dan pelaksanaan pembangunan jaringan jalan provinsi, kabupaten, kota dan desa merupakan wewenang pemerintah daerah. Dengan demikian, pemerintah daerah saat ini memiliki peran yang lebih besar dalam mengelola infrastruktur daerahnya masing-masing. Berikut merupakan gambaran panjang jalan kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat tahun 2012.

Sumber: BPS RI, 2013 (diolah)

(40)

28

Gambar 5 menunjukkan bahwa daerah dengan panjang jalan tertinggi adalah Kabupaten Karawang sebesar 2640,03 km. Selanjutnya diikuti dengan Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi dan Kota Bekasi. Daerah dengan panjang jalan terendah adalah Kota Cimahi sebesar 120,453 km. infrastruktur jalan yang baik akan menarik investor dan menciptakan lapangan pekerjaan serta meningkatkan konsumsi masyarakat. Akhirnya pendapatan daerah meningkat dan pengeluaran pemerintah untuk pembangunan daerah dapat meningkat pula. Secara keseluruhan hal tersebut akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah yang dilihat dari peningkatan PDRB. Daerah yang memiliki infrastruktur jalan yang baik, tentu lebih memiliki kesempatan untuk mengembangkan perekonomian wilayahnya dan sebaliknya.

Kondisi Investasi AntarKabupaten/Kota di Jawa Barat

Investasi merupakan suatu hal yang penting dalam pembangunan ekonomi karena investasi dibutuhkan sebagai faktor penunjang di dalam meningkatkan proses produksi Investasi merupakan langkah awal mengorbankan konsumsi untuk memperbesar konsumsi di masa yang akan datang. Selain itu, mendorong terjadinya akumulasi modal. Berikut merupakan gambaran investasi kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat tahun 2012.

Sumber: BKPM dan BPS RI, 2013 (diolah)

Gambar 6 Investasi Menurut Kabupaten/Kota di Jawa barat Tahun 2012 (rupiah)

(41)

29 banyak investasi maka akan semakin banyak tenaga kerja yang diserap. Investasi merupakan salah satu faktor yang menentukan laju pertumbuhan ekonomi, karena selain akan mendorong kenaikan output secara signifikan, investasi juga akan meningkatkan permintaan input yang salah satunya adalah tenaga kerja, sehingga akan memengaruhi pada penyediaan kesempatan kerja dan penyerapan tenaga kerja pun tinggi pada suatu daerah. Sehingga, investasi dapat dikatakan salah satu kunci untuk dapat meningkatkan penyerapan tenaga kerja pada suatu daerah.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Deskriptif dengan Pemetaan Berdasarkan Pertumbuhan PDRB dan Besaran Tingkat Pengangguran

(42)

30

Sumber: BPS, 2013 (diolah)

Keterangan

Kuadran I: Kuadran II

Kuadran III Kuadran IV

Kuadran III

Gambar 7 Pemetaan Kabupaten/Kota Berdasarkan Pertumbuhan PDRB dan Besaran Penyerapan Tenaga Kerja Tahun 2008

Kab. Karawang Kota Bandung Kab. Bogor Kota Bekasi Kab. Bekasi Kota Depok

Kab. Sukabumi Kab. Bandung Kab. Cianjur Kab. Tasikmalaya Kab. Garut Kab. Cirebon Kab. Ciamis Kab. Indramayu Kab. Subang

Kab. Purwakarta Kab. Kuningan Kab. Majalengka Kab. Sumedang Kota Cimahi Kota Banjar

Kota Bogor Kota Cirebon Kota Tasikmalaya Kab. Bandung Barat Kota Sukabumi

Kuadran I

Kuadran II Kuadran III

(43)

31

Sumber: BPS, 2013 (diolah)

Keterangan

Kuadran I: Kuadran II

Kuadran III Kuadran IV

Kuadran III

Gambar 8 Pemetaan Kabupaten/Kota Berdasarkan Pertumbuhan PDRB dan Besaran Penyerapan Tenaga Kerja Tahun 2012

Kota Bandung Kab. Bogor Kota Bekasi Kab. Bekasi Kota Depok Kab. Bandung

Kab. Sukabumi Kab. Cianjur Kab. Tasikmalaya Kab. Garut Kab. Cirebon Kab. Ciamis Kab. Indramayu Kab. Subang Kab. Karawang

Kab. Kuningan Kab. Majalengka Kab. Sumedang Kota Cimahi Kota Banjar Kota Sukabumi

Kota Bogor Kota Cirebon Kota Tasikmalaya Kab. Bandung Barat Kab. Purwakarta

Kuadran I

Kuadran II Kuadran III

Gambar

Tabel 1 Kontribusi PDRB Kabupaten/Kota terhadap PDRB Provinsi Jawa Barat
Tabel 2  Persentase Jumlah Tenaga Kerja menurut Kabupaten/Kota di Provinsi
Tabel 3 Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat
Gambar 1 Diagram Ketenagakerjaan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam Tugas Akhir ini akan dikaji masalah pengendalian sistem tracking robot pendulum terbalik beroda dua model segway dengan menggunakan kontrol fuzzy-LQR yang

Kedua, mendukung negara-negara seperti Rusia yang mengeluarkan kebijakan untuk mensupport pemerintah Suriah dan presiden Suriah Bashar al-Assad, seperti

pengumpulan data utama ( primary data collection) yang mana ia merupakan satu kaedah yang asli digunakan oleh para pengkaji dengan menggunakan soal selidik. Kelebihan

[r]

Demikian atas perhatian dan partisipasinya diucapkan terima kasih. Semarang, 18 Juni 2013

Sistem ini berfungsi sebagai jemuran pakaian yang bekerja secara otomatis sesuai dengan output dari sensor cahaya (LDR) dan sensor hujan dimana output dari sensor

Berdasarkan kriteria kesesuaian lahan tanaman buah naga tersebut, penelitian ini dilakukan guna mencocokkan antara karakteristik lahan di Kota Metro dan syarat

Oleh karena itu ketika dilakukan uji Mann-Whitney U didapatkan nilai p &lt; 0,05, yaitu 0,038 yang artinya ada perbedaan antara usia ibu pada kelompok bayi berat