• Tidak ada hasil yang ditemukan

The life strategy of Arfak Tribe based on craniofacial shape, growth rate, and sexual maturation

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "The life strategy of Arfak Tribe based on craniofacial shape, growth rate, and sexual maturation"

Copied!
161
0
0

Teks penuh

(1)

STRATEGI KEHIDUPAN SUKU ARFAK DITINJAU DARI

BENTUK KRANIOFASIAL, LAJU PERTUMBUHAN, DAN

KEMATANGAN SEKSUAL

ELDA IRMA JEANNE JOICE KAWULUR

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Strategi Kehidupan Suku Arfak ditinjau dari Bentuk Kraniofasial, Laju Pertumbuhan, dan Kematangan Seksual adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi.

Bogor, September 2012

(4)
(5)

ELDA IRMA J. J. KAWULUR. The life strategy of Arfak Tribe based on craniofacial shape, growth rate, and sexual maturation. Supervised by BAMBANG SURYOBROTO, SRI BUDIARTI and ALEX HARTANA

Arfak tribe is one of traditional tribes living in Manokwari, West Papua Province. The tribe has an unique natural life differently with other tribes in Indonesia. The nature of a life cycle is a result of an adaptive response of the organism to the environmental conditions that reflect to the phenomenon of evolution of bio-culture and natural selection. The research concerned to the potential evolution characters was divided into three parts. The first study discussed the diversity of craniofacial shapes of Arfak tribe in Manokwari, West Papua Province, based on 26 landmark frontal side and 16 landmark lateral side of face. Distribution individual in morphology space first five RW components have ellipsoidal pattern distribution. This means face variability relatively heterogen and polarized. The second study discussed a cross-sectional study of body size growth patterns of Arfak children and adolescents aged 6-23 years for boys and aged 6-19 years for girls. Growth rate of body weight of Arfak children at juvenile phase tend to faster than that of other population. The strategy of faster growth during juvenile phase is as a manifestation of unstable environmental condition. One of unstable environment conditions is a risk of death caused by diseases. The most common diseases suffered by children in West Papua is malaria diseases. The third study reviewed a cross-sectional study of the age at menarche and age at spermarche among the Arfak children, and the association between somatic maturation and gonad maturation. We found that median age at menarche of Arfak girls is 12,2 years, while median age at spermarche is 13,6 years. A possible factor causing young age at menarche is due to adaptation to unstable environmental conditions because of high risk of death by malaria disease in childhood. The events of menarche and spermarche achieved one year after the peak of body height velocity, and just before or at the same time with the time of maximum growth rate of body weight, body mass index, and body fat. Boys and girls accumulate body fat before puberty to be used as an energy reserve for the occurrence of gonad maturation. BF growth rate reached the lowest point at the age 16 years old, and then increase linearly with age until adulthood showed the adiposity rebound post-spermarche phenomenon. Based on these three aspects, namely smaller body size, younger age at menarche, and rapid growth rate of body weight at juvenile phase, Arfak tribe show fast life history strategy in an unstable environment. Malaria disease is a main factor of unstable environment which play a role in generating the adaptive response. On the other hand, the diversity of craniofacial since ancient still exist until now and do not show a unique typology as the three characters previously mentioned.

(6)
(7)

ELDA IRMA J. J. KAWULUR. Strategi Kehidupan Suku Arfak ditinjau dari Bentuk Kraniofasial, Laju Pertumbuhan, dan Kematangan Seksual. Dibimbing oleh BAMBANG SURYOBROTO, SRI BUDIARTI dan ALEX HARTANA

Suku Arfak merupakan salah satu suku tradisional yang menghuni daerah Manokwari Provinsi Papua Barat. Suku ini memiliki kehidupan alamiah yang unik dan cenderung berbeda dengan suku-suku lain yang berada di Indonesia. Kehidupan Suku Arfak, dengan mata pencaharian pemburu, pengumpul, dan petani subsisten dengan sistem ladang berpindah, sangat bergantung pada hutan. Lingkungan habitat hutan hujan tropis merupakan lingkungan yang membutuhkan proses adaptasi morfologi ukuran tubuh dan perkembangan seksual suatu populasi. Diketahui oleh beberapa peneliti bahwa mortalitas juga ikut berperan dalam menghasilkan ukuran tubuh seseorang, mempercepat pertumbuhan dan kematangan reproduktif. Strategi kehidupan Suku Arfak untuk menghadapi kondisi lingkungan belum pernah dilaporkan dalam kajian ilmiah. Untuk itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui strategi kehidupan Suku Arfak dalam menghadapi tantangan lingkungan dengan meninjau dari sisi bentuk kraniofasial, laju pertumbuhan, dan kematangan seksual.

Keragaman kraniofasial dikonstruksi dari 37 pria dan 43 wanita, berdasarkan 26 titik anatomi wajah depan dan 16 titik anatomi wajah samping. Bentuk umum dan pola variasi kraniofasial dianalisis menggunakan Generalized Procrustes Analysis (GPA), Thin Plate Spline (TPS), dan analisis Relative Warp. Sejumlah 514 orang Suku Arfak terdiri atas 231 anak perempuan (usia 6-19 tahun) dan 283 anak laki-laki (usia 6-23 tahun) telah diamati pertumbuhannya dengan metode GAMLSS (Generalized Additive Models for Location, Scale, and shape). Analisis kematangan seksual dipilih pada anak-anak perempuan usia antara 8-19 tahun (n=178), anak laki-laki antara 9-18 tahun (n=187).

Keragaman kraniofasial Suku Arfak sejak masa purba masih terus bertahan hingga saat ini tidak menunjukkan tipologi unik seperti pada pertumbuhan dan kematangan seksual. Distribusi individu dalam bidang morfologi pada lima komponen RW (Relative Warp) pertama memiliki pola distribusi elipsoid berdasarkan analisis Relative Warp. Ini berarti variabilitas wajah relatif heterogen dan terpolarisasi. Selain itu hasil pengelompokkan dengan metode Neighbour Joining juga menunjukkan variasi, dan hanya beberapa individu mengelompok karena wajah yang mirip.

(8)

sementara usia spermarke sebesar 13,6 tahun berdasarkan metode Probit-GLM (Generalized Liner Model). Kejadian menarke dan spermarke dicapai satu tahun sesudah puncak laju tumbuh tinggi badan, dan sebelum atau bersamaan dengan laju pertumbuhan berat badan, indeks massa tubuh, dan persentase lemak tubuh. Rata-rata indeks massa tubuh anak perempuan Suku Arfak adalah 21,9 kg/m2 pada saat menarke. Anak perempuan mengakumulasi lemak tubuh sebelum pubertas untuk digunakan sebagai cadangan energi pada saat menarke, setelah itu laju tumbuh lemak tubuh menurun dengan tajam. Pada anak laki-laki, laju pertumbuhan lemak tubuh berhenti di usia 11 tahun, kemudian bertumbuh secara negatif karena anak laki-laki menggunakan massa lemak untuk kejadian spermarke. Laju pertumbuhan lemak tubuh mencapai titik terendah di usia 16 tahun, kemudian meningkat secara linier pada masa remaja hingga dewasa di usia 23 tahun. Usia menarke Suku Arfak yang lebih muda merupakan manifestasi dari kondisi lingkungan yang miskin/buruk. Salah satu kondisi lingkungan yang buruk adalah resiko kematian yang disebabkan oleh penyakit. Penyakit yang paling umum di derita oleh anak-anak di Papua adalah penyakit malaria. Penyakit yang meningkatkan resiko kematian akan mempengaruhi fitness individu di dalam populasi. Untuk memaksimalkan fitness dalam kondisi panjang hidup yang terbatas, Suku Arfak merespons dengan maturasi seksual (usia menarke) yang lebih awal guna mendapatkan usia reproduksi yang muda.

Ukuran tubuh yang kecil dan usia menarke yang lebih muda pada Suku Arfak merupakan produk dari laju tumbuh berat badan yang cepat di masa yuwana (usia 6-10 tahun), untuk kemudian menurun ketika dan setelah pubertas. Berdasarkan hasil penelitian ini, rataan laju pertumbuhan berat badan anak Arfak baik perempuan (2,97 kg/tahun) maupun laki-laki (2,59 kg/tahun) lebih tinggi dari populasi India, Karawang dan Purwakarta, kecuali Amerika pada masa yuwana.

Berdasarkan ketiga aspek tersebut, yaitu ukuran tubuh yang kecil, usia menarke yang lebih muda, dan laju tumbuh yang cepat di masa yuwana, Suku Arfak menunjukkan starategi sejarah kehidupan yang cepat untuk menghadapi lingkungan yang tidak stabil. Lingkungan yang tidak stabil yaitu penyakit malaria merupakan faktor utama yang diduga paling nyata berperan dalam menghasilkan respon adaptif tersebut.

Suku Arfak menunjukkan strategi kehidupan yang cepat untuk meningkatkan andil genetik ke generasi berikut. Hal ini dilakukan dalam rangka menjaga kelangsungan hidup agar populasi suku tersebut tidak punah. Strategi sejarah kehidupan yang cepat merupakan strategi mengoptimalkan proses reproduksi yaitu dengan memaksimalkan keberhasilan reproduksi jangka pendek ketika lingkungan berada dalam kondisi tidak menguntungkan. Ketiga kegiatan studi yang dilaporkan di sini yaitu laju pertumbuhan besar tubuh, kematangan seksual, dan bentuk kraniofasial secara jelas menggambarkan proses evolusioner yang dinamis dalam kondisi lingkungan yang berubah.

(9)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(10)
(11)

BENTUK KRANIOFASIAL, LAJU PERTUMBUHAN, DAN

KEMATANGAN SEKSUAL

ELDA IRMA JEANNE JOICE KAWULUR

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Biosains Hewan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)
(13)

1. Ujian Tertutup Tanggal 13 Agustus 2012 Penguji Luar Komisi Pembimbing:

a. Prof. Dr. drh. Clara Meliyanti Koesharto, M.Sc (Guru Besar Fakultas Ekologi Manusia IPB, Bogor)

b. Prof. Dr. dr. Agus Purwodianto, SH, M.Si, Sp F (K) (Staf Ahli Menteri Bidang Teknologi Kesehatan dan Globalisasi, dan Guru Besar Fakultas Kedokteran UI)

2. Ujian Terbuka Tanggal 24 September 2012 Penguji Luar Komisi Pembimbing:

a. Prof. Dr. dr. Agus Purwodianto, SH, M.Si, Sp F (K) (Staf Ahli Menteri Bidang Teknologi Kesehatan dan Globalisasi, dan Guru Besar Fakultas Kedokteran UI)

(14)
(15)

Nama NIM

: :

Kraniofasial, Laju Pertumbuhan, dan Kematangan Seksual Elda Irma Jeanne Joice Kawulur

G362070011

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Bambang Suryobroto Ketua

Dr. dr. Sri Budiarti Prof. Dr. Ir. Alex Hartana, M.Sc Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Biosains Hewan

Dr. Bambang Suryobroto Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(16)
(17)

Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus, atas karuniaNya penulis dapat menyelesaikan penulisan disertasi ini. Disertasi berjudul “Strategi kehidupan Suku Arfak ditinjau dari bentuk kraniofasial, laju pertumbuhan, dan kematangan seksual” merupakan suatu seri penelitian yang terbagi menjadi tiga kegiatan studi. Keseluruhan seri penelitian ini bertujuan untuk mempelajari strategi sejarah kehidupan Suku Arfak sebagai respon adaptif terhadap tekanan lingkungan serta melihat potensi biologi suku Arfak dalam menghadapi perubahan lingkungan. Sebagian dari penelitian ini sudah diterima untuk dipublikasi di Hayati Journal of Biosciences dengan judul “Association of sexual maturation and body size of Arfak children”.

Penelitian ini dapat terselesaikan karena kontribusi tak ternilai dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih tak terhingga kepada ketua pembimbing, Dr. Bambang Suryobroto, yang selama ini telah mencurahkan waktu dan perhatian dalam proses penelitian hingga penyelesaian penulisan disertasi ini. Terima kasih pula sudah menjadi guru, orang tua dan teman bagi penulis. Penulis juga menyampaikan terima kasih tak terhingga kepada kedua anggota pembimbing, Dr. dr. Sri Budiarti dan Prof. Dr. Ir. Alex Hartana, M.Sc, yang telah membimbing, mengarahkan, dan mendukung penulis dalam keseluruhan proses penelitian dan penulisan disertasi.

Penyelesaian disertasi ini tidak terlepas pula dari dukungan Kementerian Pendidikan Nasional RI yaitu Dirjen Pendidikan Tinggi melalui bantuan Beasiswa Pendidikan Pasca Sarjana (BPPS) tahun 2007-2010, dan hibah bantuan penyelesaian studi tahun 2012. Untuk itu, penulis menyampaikan terimakasih.

Kepada Rektor Institut Pertanian Bogor, Pimpinan Program Pascasarjana IPB, Rektor Universitas Negeri Papua dan Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, penulis ucapkan terimakasih atas kesempatan yang diberikan untuk mengikuti program pendidikan S3 di Program Pascasarjana IPB.

(18)

xviii

Dowansiba, Matias Dowansiba, dan Nelson Sayori yang telah banyak membantu dalam proses pengambilan data dan memberikan informasi tentang kehidupan Suku Arfak.

Kepada rekan-rekan Program Studi Biosains Hewan IPB (secara khusus di Zoo Corner), rekan-rekan Forum Pascasarjana Papua, rekan-rekan staf dosen Jurusan Biologi FMIPA Unipa, dan secara khusus kepada Zita Sarungallo dan Sritina Paiki, penulis sampaikan terima kasih atas dukungan, semangat kebersamaan, persahabatan, dan persaudaraan yang selama ini telah terjalin. Terima kasih juga kami sampaikan kepada semua pihak yang telah memberi sumbang saran demi sempurnanya karya ilmiah ini.

Akhirnya, penulis sampaikan terima kasih kepada orang tua, mertua, dan saudara, juga secara khusus kepada suami tercinta Dr. Ir. Julius Dwi Nugroho, M.Sc dan Ananda Ignacio Simeon Nugroho atas doa, dukungan, pengorbanan, kesabaran, dan kasih sayang yang tanpa syarat.

(19)

Penulis dilahirkan di Abepura tanggal 24 Januari 1974 sebagai anak kedua dari 4 bersaudara, dari ayah Daniel P. Kawulur dan ibu Elsye Roring. Penulis menikah dengan Julius Dwi Nugroho dan dianugerahi seorang anak, Ignacio Simeon Nugroho.

Pada tahun 1992 penulis melanjutkan pendidikan di Fakultas Pertanian Universitas Cenderawasih. Kemudian pada tahun 1993 penulis mendapat beasiswa CIDA (Canadian International Development Agency) untuk melanjutkan studi S-1 di Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Hasanuddin. Penulis mendapat gelar sarjana Sains pada tahun 1997.

(20)
(21)

Halaman

DAFTAR TABEL……… xxiii

DAFTAR GAMBAR ..……… xxv

DAFTAR LAMPIRAN ……….. xxvii

PENDAHULUAN ………....……… 1

Latar Belakang ………. 1

Tujuan Penelitian ……… 4

TINJAUAN PUSTAKA ………. 7

Sejarah Geografi Papua ……… 7

Kolonisasi Manusia Purba di Australia ………. 8

Asal Usul Ras Papua ……….. 10

Suku Arfak ……….. 11

Wajah Suku Arfak ……….. 12

Tahap-tahap Pertumbuhan Manusia……… 16

Periode Pertumbuhan Anak-anak…... 16

Periode Pertumbuhan Yuwana………. 17

Periode Pertumbuhan Remaja ……… 17

Pubertas ……….……….…..… 19

Menarke ………. 20

Spermarke ………. 21

Komposisi Tubuh ………. 22

BAHAN DAN METODE ……… 29

Indeks Massa Tubuh ……… 24

Waktu dan Tempat ……….. 29

Alur Penelitian ……… 29

VARIASI KRANIOFASIAL SUKU ARFAK ……….. 35

Abstrak ……… 35

Abstract ……… 35

Pendahuluan ……… 35

Bahan dan Metode ……… 39

Koleksi Data ……… 39

Pengambilan Citra Wajah ……… 39

Digitasi Bentuk Wajah ………. 40

Analisis Data ……….. 41

Hasil ………. 45

Bentuk Umum Wajah Suku Arfak ……… 45

Variasi Wajah ……… 49

Pembahasan ……… 59

(22)

xxii

Abstrak ……… 65

Abstract ……… 65

Pendahuluan ……… 66

Bahan dan Metode ……… 67

Waktu dan Tempat Penelitian ……… 67

Metode ……….. 68

Analisis Data ……….. 68

Hasil ………. 69

Pembahasan ……… 71

ASOSIASI ANTARA KEMATANGAN SEKSUAL DAN BESAR

TUBUH ANAK ARFAK ……… 75

Abstrak ……… 75

Abstract ……… 75

Pendahuluan ……… 76

Bahan dan Metode ………. 78

Waktu dan Tempat Penelitian ……….. 78

Subyek ………. 79

Metode ……….. 79

Analsis Data ……….. 80

Hasil ………...… 81

Pembahasan ……….. 85

Usia Menarke dan Spermarke ……….…….. 85

Asosiasi Kematangan Seksual dan Besar Tubuh …..……… 87

PEMBAHASAN UMUM ……… 91

KESIMPULAN UMUM ………. 95

DAFTAR PUSTAKA ………. 97

(23)

Halaman 1. Beberapa metode yang digunakan dalam menilai komposisi tubuh ... 24 2. Jumlah anak Suku Arfak di setiap lokasi penelitian ... 30 3. Jumlah subyek setiap kelompok usia ... 31 4. Jumlah subyek bentuk kraniofasial dan asal wilayah ... 31 5. Letak dan dekripsi titik-titik anatomis wajah tampak depan (frontal) .. 41 6. Letak dan deskripsi titik-titik anatomis wajah tampak samping ……. 42 7 Laju tumbuh tinggi badan dan berat badan anak Arfak ………. 71 8. Klasifikasi BF anak Suku Arfak berdasarkan Bio-Impedance …….. 84

9. Variasi usia menarke ………. 85

(24)
(25)

Halaman

1. Titik anatomi wajah (A) tampak depan dan (B) tampak samping ... 40 2. Bentuk rata-rata. (A) Titik-titik (tertutup dan terbuka) merupakan

landmark anatomi untuk dua morf, (B) Penentuan sentroid, (C) landmark dan sentroidnya tanpa outline bentuk, (D) Superimposisi koordinat landmark ke sentroidnya, (E) Rotasi dan penyetaraan skala koordinat landmark, (F) Penentuan koordinat rata-rata titik

yang homolog (titik dalam lingkaran) ... 43 3. Visualisasi wajah umum, grid deformasi dan koordinat landmark

wajah depan pria Suku Arfak yang dikonstruksi dari wajah

gabungan 37 orang berdasarkan 26 titik anatomi ... 45 4. Visualisasi wajah umum, grid deformasi dan koordinat landmark

wajah samping pria Suku Arfak yang dikonstruksi dari wajah

gabungan 37 orang berdasarkan 16 titik anatomi ... 46 5. Visualisasi wajah umum, grid deformasi dan koordinat landmark

wanita Suku Arfak yang dikonstruksi dari wajah gabungan 43 orang berdasarkan 26 titik anatomi wajah depan (atas), dan 16 titik anatomi

wajah samping (bawah) ... 47 6. Wajah depan pria Suku Arfak dan grid deformasinya. (a) wajah

individu no. 4, (b) wajah umum, (c) wajah individu no. 13 ... 48 7. Wajah depan wanita Suku Arfak dan grid deformasinya. (a) wajah

individu no. 1, (b) wajah umum, (c) wajah individu no. 19 ... 49 8. Perbandingan RW 1 hingga RW 5 pada wajah depan pria (kiri atas),

wajah depan wanita (kanan atas), wajah samping pria (kiri bawah),

dan wajah samping wanita (kanan bawah) ... 51 9. Pengelompokan wajah depan pria Arfak yang mirip dengan metode

Neigbour Joining (A), visualisasi gambar (B), grid deformasi

terhadap bentuk umum (C), dan koordinat landmarknya (D) ... 53 10. Pengelompokan wajah samping pria Arfak yang mirip dengan

metode Neigbour Joining (A), visualisasi gambar (B), grid deformasi

terhadap bentuk umum(C), dan koordinat landmarknya (D) ... 54 11. Pengelompokan wajah depan wanita Arfak yang mirip dengan

metode Neigbour Joining (A), visualisasi gambar (B), grid deformasi

terhadap bentuk umum(C), dan koordinat landmarknya (D) ... 55 12. Pengelompokan wajah samping wanita Arfak yang mirip dengan

metode Neigbour Joining (A), visualisasi gambar (B), grid deformasi

(26)

xxvi

13. Perbandingan RW 1 hingga RW 3 pada pengelompokan wajah depan pria Arfak yang mirip (kiri): subtipe PD1 (titik warna merah), subtipe PD2 (titik warna hitam), subtipe PD3 (titik warna biru); dan wajah

samping pria Arfak yang mirip (kanan) ... 58 14. Perbandingan RW 1 hingga RW 3 pada pengelompokan wajah depan

wanita Arfak yang mirip (kiri): subtipe WD1 (titik warna hitam), subtipe WD2 (titik warna merah), subtipe WD3 (titik warna biru); dan wajah samping wanita Arfak yang mirip (kanan): subtipe WS1 (titik warna hitam), subtipe WS2 (titik warna merah), subtipe WS3

(titik warna biru), dan subtipe WS4 (titik warna hijau) ... 59 15. Kurva pertumbuhan tinggi badan anak laki-laki (kiri) dan anak

perempuan (kanan), serta gabungan kurva laki-laki dan perempuan

(bawah) berdasarkan kurva persentil 50% ... 69 16. Kurva pertumbuhan berat badan anak laki-laki (kiri) dan anak

perempuan (kanan), serta gabungan kurva laki-laki dan perempuan

(bawah) berdasarkan kurva persentil 50% ... 70 17. Perbandingan tinggi dan berat badan anak laki-laki dan perempuan

hasil studi saat ini dengan populasi yang berbeda ... 73 18. Rata-rata usia menarke perempuan Arfak (kiri). Rata-rata usia

spermarke laki-laki Arfak (kanan) ... 81 19. Laju pertumbuhan BH anak perempuan dan usia menarke

(kiri), laju pertumbuhan BH anak laki-laki dan usia

spermarke (kanan) ... 82 20. Laju pertumbuhan BW anak perempuan dan usia menarke

(kiri), laju pertumbuhan BW anak laki-laki dan usia

spermarke (kanan) ... 82 21. Laju pertumbuhan BMI anak perempuan dan usia menarke

(kiri), laju pertumbuhan BMI anak laki-laki dan usia

spermarke (kanan) ... 83 22. Laju pertumbuhan BF anak perempuan dan usia menarke

(kiri), laju pertumbuhan BF anak laki-laki dan usia

(27)

Halaman

1. Grid deformasi komponen non-affine wajah depan pria……… 113 2. Grid deformasi komponen non-affine wajah depan wanita….…….. 113 3. Grid deformasi komponen non-affine wajah samping pria.………… 114 4. Grid deformasi komponen non-affine wajah samping wanita……… 114 5. Perbandingan subtipe wajah depan dan samping pria dan wanita

Suku Arfak berdasarkan koordinat landmark konsensus ………… 115 6. Kuisioner penelitian pola pertumbuhan dan perkembangan Suku

Arfak ……….. 116

7. Association of sexual maturation and body size of Arfak

(28)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Daerah Papua (Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat) terkenal akan keragaman suku dan kultur budaya. Sekitar 269 bahasa ditemukan di Papua (Mansoben 2007) sehingga diperkirakan Papua memiliki sekitar 269 kelompok suku dengan latar belakang kultur dan sosial budaya yang berbeda. Suku Arfak merupakan salah satu suku tradisional yang menghuni Daerah Manokwari, Provinsi Papua Barat. Suku ini memiliki kehidupan alamiah yang unik dan cenderung berbeda dari suku-suku lain yang berada di Indonesia. Suku Arfak terbagi menjadi 4 subsuku, yaitu Hattam, Meyah, Sougb, dan Moile (Sumule 1994; Laksono et al. 2001). Pembentukan subsuku dalam kehidupan Suku Arfak menimbulkan variasi yang terekspresi dalam bentuk perbedaan lokasi permukiman yang tersebar dari daerah pantai hingga pegunungan, perbedaan dialek dan marga. Wilayah permukiman yang dulunya berbeda-beda berdasarkan subsuku, kini cenderung telah berbaur. Demikian juga bahasa yang digunakan adalah bahasa campuran dari keempat dialek subsuku sehingga seseorang dapat memahami lebih dari satu dialek. Nama marga pun yang semula dapat dijadikan patokan asal subsuku, kini sudah tidak dapat digunakan lagi karena seseorang dapat berganti marga sesuai dengan keinginannya. Pergantian marga dapat terjadi karena beberapa alasan, seperti pindah tempat tinggal, perkawinan, warisan, atau marga pemberian. Karena itu, meskipun sebagian besar orang Arfak menganut sistem patrilineal, sekelompok kecil orang menganut sistem ambilineal, yaitu kadang-kadang menganut sistem matrilineal atau patrilineal sesuai dengan keinginannya (Craven & de Fretes 1987; Laksono et al. 2001; Mansoben 2007).

(29)

Habitat hutan hujan tropis merupakan lingkungan yang membutuhkan proses adaptasi morfologi ukuran tubuh dan perkembangan seksual (Walker et al. 2006; Perry & Dominy 2008). Secara umum masyarakat pemburu dan pengumpul yang hidup di daerah hutan hujan tropis yang panas, lembab, dan ketersediaan makanan terbatas menunjukkan respons adaptif berupa tubuh berukuran kecil atau pigmoid (pygmoid) (Perry & Dominy 2008). Di lain pihak, Walker & Hamilton (2008) menerangkan bahwa pengaruh mortalitas juga ikut berperan dalam menghasilkan ukuran tubuh pigmoid, mempercepat pertumbuhan dan kematangan reproduktif. Strategi kehidupan yang cepat ini dilakukan dalam rangka memaksimalkan fitness. Secara umum, suatu organisme memiliki sejumlah energi terbatas yang harus dialokasikan untuk fungsi somatik (seperti pertumbuhan dan perkembangan) dan reproduktif (Stearn 2000). Dibandingkan dengan mamalia lain, manusia cenderung memperlihatkan strategi sejarah kehidupan yang lambat. Namun, bila kondisi lingkungan berubah, individu-individu manusia dalam pergantian generasi memperlihatkan fleksibilitas dalam memposisikan dirinya dalam strategi sejarah kehidupan yang lambat atau cepat. Strategi sejarah kehidupan yang cepat merupakan strategi mengoptimalkan proses reproduksi, yaitu dengan memaksimalkan keberhasilan reproduksi jangka pendek ketika lingkungan berada dalam kondisi tidak menguntungkan. Sebaliknya, ketika laju mortalitas rendah maka strategi sejarah kehidupan yang lebih lambat menjadi dominan (Buunk et al. 2009).

(30)

menggambarkan proses evolusioner yang dinamis dalam kondisi lingkungan yang berubah.

Pembentukan morfologi kraniofasial Suku Arfak dilatarbelakangi oleh karakter geografi yang kompleks, sistem biokultur yang dinamis, dan berkaitan dengan percampuran ras. Di samping itu, kolonisasi manusia pertama yang berasal dari berbagai tempat di daerah Paparan Sahul (dulunya meliputi daerah New Guinea dan Australia) juga turut berperan mempengaruhi pembentukan morfologi fisik, termasuk kraniofasial, orang Papua (Verneau 1881; Koentjaraningrat 2007). Berdasarkan laporan Verneau (1881), keragaman morfologi kraniofasial yang besar terdapat pada orang Papua, termasuk Suku Arfak. Walaupun identifikasi morfologi wajah Suku Arfak telah dilakukan secara verbal oleh Verneau (1881), kekinian (update) bentuk kraniofasial Suku Arfak masih perlu diteliti atau dilakukan secara lebih komperehensif dengan pendekatan baru, yaitu melalui metode morfometrika geometris berdasarkan koordinat titik anatomi wajah.

Kraniofasial merupakan bagian tubuh manusia yang meliputi wajah dan kepala. Setiap orang memiliki bentuk kepala dan karakter wajah yang unik sehingga kedua penanda tersebut sering kali digunakan dalam proses mengidentifikasi untuk membedakan individu satu dari lainnya, dan menganalisis variabilitas antarpopulasi manusia. Penelitian ini mengulas tentang bentuk kraniofasial pria dan wanita Suku Arfak tampak depan dan tampak samping berdasarkan struktur anatomi dengan menggunakan metode morfometrika geometris. Metode ini merupakan pendekatan baru dalam mengevaluasi variabilitas morfologi, tidak hanya dalam bidang biologi, tapi juga dalam bidang biomedis, bioarkeologi, evolusi, dan ekologi (Bigoni et al. 2010). Dengan menggunakan prosedur morfometrika geometris maka kuantifikasi bentuk dan ukuran yang dihasilkan lebih akurat dan spesifik. Variasi morfologi yang tergambarkan oleh pendekatan ini akan memperlihatkan potensi genetis populasi Arfak.

(31)

subjek dan umur ketika pengukuran dan pengamatan mewakili kelas umur dalam suatu populasi. Metode ini lebih efisien dan tidak membutuhkan waktu yang lama dalam pengambilan data.

Tinggi, berat badan, dan massa lemak merupakan dimensi utama yang menjadi perhatian utama WHO. Karena itu, WHO merekomendasikan kurva pertumbuhan yang dikembangkan oleh the National Center for Health Statistics/Center for Disease Control (NCHS/CDC) untuk digunakan sebagai kurva referensi dalam studi status gizi dan kesehatan oleh semua negara (Kuczmarski et al. 2002; Kamal et al. 2004). Gambaran umum tentang norma pertumbuhan besar tubuh anak Arfak, yaitu tinggi, berat badan, dan massa lemak, diukur untuk dibandingkan dengan beberapa populasi lainnya, termasuk data referensi yang diusulkan WHO.

Pertumbuhan besar tubuh biasanya berasosiasi dengan kejadian kematangan seksual (Chang et al. 2000; Anderson et al. 2003). Spermarke (kejadian mimpi basah pertama yang dialami seorang anak laki-laki) dan menarke (kejadian menstruasi pertama yang dialami seorang anak perempuan) merupakan peristiwa yang mengindikasikan awal kematangan gonad seorang anak. Kejadian ini biasanya beriringan dengan kematangan somatik pada masa pubertas (Marshall 1978). Lonjakan pertumbuhan pada masa pubertas merupakan peristiwa penting yang sering kali digunakan sebagai indikator dalam menilai kematangan somatik dan kematangan seksual. Tiga parameter yang sering digunakan dalam menilai lonjakan pertumbuhan tinggi, berat badan, dan massa lemak, yaitu usia dan laju pertumbuhan saat mulai meningkat (take off), mencapai puncak (peak), dan kembali menurun hingga mencapai laju yang sama saat mulai meningkat (return to take off) (Abbassi 1998; Malina et al. 2004). Karena itu, salah satu studi dari penelitian ini menekankan pada hubungan antara kematangan seksual dan kematangan somatik yang berperan dalam menilai kondisi kesehatan dan kualitas hidup suatu populasi (Keiser-Schrama & Mul 2001).

Tujuan Penelitian

(32)

suatu generasi di masa yang akan datang. Untuk mempelajari bagaimana strategi kehidupan Suku Arfak menghadapi perubahan lingkungan maka penelitian ini bertujuan:

1. Mengarakterisasi variabilitas wajah Suku Arfak dan mempelajari pola distribusi morfologi wajah Suku Arfak untuk melihat potensi biologi Suku Arfak dalam menghadapi perubahan lingkungan

2. Menentukan pola pertumbuhan besar tubuh anak dan remaja Suku Arfak usia 6-23 tahun (laki-laki) dan usia 6-19 tahun (perempuan)

3. Menentukan usia menarke dan usia spermarke anak Arfak serta asosiasinya dengan pertumbuhan besar tubuh

(33)
(34)

TINJAUAN PUSTAKA

Sejarah Geografi Papua

Daerah New Guinea, termasuk daerah Kepala Burung, relatif baru terbentuk sebagai hasil pergerakan dan tumbukan lempeng tektonik Indo-Australia ke arah utara dengan lempeng Pasifik ke arah timur, yang mencapai puncaknya sekitar akhir Miosen, yaitu sekitar 5-15 juta tahun yang lalu. Pegunungan tengah daerah kepala burung diperkirakan terpisah dari benua Australia dan dataran utama New Guinea pada pertengahan hingga akhir masa Eosen (sekitar 40 juta tahun yang lalu). Kemudian, kepala burung terhubung dengan daratan utama New Guinea dengan munculnya Lengguru Fold Belt, yaitu “bagian leher” sekitar akhir Pliosen atau awal Pleistosen (sekitar 1-2 juta tahun yang lalu). Pada saat yang sama muncul pula pulau di teluk Cenderawasih, yaitu Batanta dan Waigeo. Benua Australia kemudian terpisah dengan daratan utama New Guiena sekitar 8000 tahun yang lalu (Miedema & Reensik 2004).

(35)

hutan, seperti walabi (Dorcopsis muelleri) (Miedema & Reensik 2004; Pasveer 2007).

Kolonisasi Manusia Purba di Australia

(36)

Penemuan terbaru dengan menggunakan serangkaian kombinasi teknik yang berbeda, merevisi kembali usia fosil manusia gracile yang diwakili oleh Lake Mungo 1 dan 3. Kedua fosil itu diperkirakan berusia sekitar 62.000 tahun yang lalu. Selain itu, manusia robust yang diwakili oleh WLH-50 diperkirakan berusia sekitar 14.000 tahun yang lalu, dan manusia robust Kow swamp berusia sekitar 19.000-22.000 tahun yang lalu (Stringer 2002; Stone & Cupper 2003). Hal ini menunjukkan bahwa manusia pertama yang menghuni Australia bukanlah manusia robust, melainkan manusia gracile.

Penemuan ini juga didukung oleh studi Curnoe (2009) yang berpendapat bahwa manusia gracile WLH1 dan WLH3 merupakan manusia pertama yang menghuni Australia sekitar 50.000-70.000 tahun yang lalu. Kedua fosil ini dianggap merupakan manusia modern tertua yang berasal dari Afrika. Kemudian, kelompok kedua merupakan manusia robust yang diwakili oleh WLH-50 sekitar 14.000 BP, dan beberapa fosil dari Kow Swamp, Cohuna, dan Nacurrie diperkirakan menghuni Australia sekitar 20.000 tahun yang lalu.

Selain bukti arkeologi, pandangan lain tentang migrasi ke Australia adalah bukti genetik yang menerangkan bahwa manusia modern tertua yang menghuni Australia berasal dari Afrika melalui lebih dari dua migrasi. Multiple dispersal model ini menekankan bahwa keturunan yang berasal dari migrasi yang lebih awal berasimilasi atau digantikan oleh populasi yang bermigrasi lebih akhir. Dari Afrika, nenek moyang Aborigin Australia kemudian terpisah dari populasi Eropa sekitar 62.000-75.000 tahun yang lalu, sebelum populasi Eropa dan populasi Asia terpisah sekitar 25.000-38.000 tahun yang lalu. Kemudian sekitar 50.000 tahun yang lalu, nenek moyang Aborigin Australia menghuni Australia. Penemuan ini juga menunjukkan bahwa terdapat aliran gen antara populasi Asia dan Aborigin Australia, namun tidak terdapat bukti adanya percampuran dengan populasi Eropa (Rasmussen et al. 2011).

(37)

Pleistosen/awal Holosen. Studi ini berbeda dari teori multiregional evolution model (Stringer 2002). Teori itu menekankan peran kontinuitas genetik yang terjadi dari waktu ke waktu di berbagai daerah dan adanya aliran gen antara populasi yang hidup pada masa yang sama. Karena itu, manusia modern tidak hanya berasal dari Afrika (seperti penjelasan teori Out of Africa), melainkan juga berasal dari Asia dan Eropa.

Asal Usul Ras Papua

Sejak zaman prasejarah terdapat beberapa kelompok imigran yang datang ke berbagai daerah di dataran New Guinea, kemudian menghuni daerah New Guinea dan tinggal terpisah satu dari yang lain. Karena itulah karakter morfologi fisik orang Papua saat ini beraneka ragam (Koentjaraningrat 2007). Verneau (1881) dan Lawes (1882) menjelaskan bahwa orang Papua berasal dari ras campuran. Pernyataan ini berdasarkan beberapa perbedaan pada 12 tengkorak yang ditemukan di daerah pedalaman New Guinea, Amberbaken (Manokwari), Rawak, Boni, dan Kep. Toud, dari tengkorak dari ras Negrito yang dijumpai di daerah Kepulauan Filipina, Kepulauan Sunda, Semenanjung Malaka, dan Kepulauan Andaman. Tengkorak dari ras intermediet ini sedikit lebih memanjang, dengan indeks kepala rata-rata menurun hingga 60,15; sedangkan indeks wajahnya meningkat hingga 67,17, dan maxillary prognathism lebih runcing daripada ras Negrito. Dalam beberapa hal, Negrito-Papua juga membentuk transisi antara ras Negrito asli dengan ras Tasmania.

(38)

Bentuk kepala dicirikan panjang, sempit, dan tinggi. Dahi sempit menyebabkan tulang pipi sangat menonjol. Secara keseluruhan, wajah berbentuk panjang/tinggi dan sempit, tulang hidung agak panjang dan sedikit melengkung. Prognathisme ras ini sangat tajam. Sudut fasial bervariasi antara 73o dan 76o. Perempuan Papua umumnya kurang dolichocephalus dan hypsistenocephalus daripada prianya (Verneau 1881, Morris 1900).

Papua murni atau Papua campuran ditemukan hidup di Ternate, Seram Timor, dan Malaysia. Tipe murni terdapat di New Britain dan Yanikoro di New Hebrides, tetapi di bagian lain dari Melanesia terjadi percampuran dengan Negrito-Papua atau tipe Polinesia. Jejak Negrito Papua campuran dijumpai di Kep. Toud (Selat Torres), namun sebagian besar penduduk dari pulau-pulau tersebut dan daerah New Guinea adalah Papua asli (Verneau 1881).

Lawes (1882) telah melihat adanya bukti variasi yang besar pada fisiognomi wajah dan bentuk tengkorak kepala orang Papua, yang didukung oleh pernyataan Prof Giglioli dari Florence. Ia mengatakan bahwa telah melihat sebagian besar koleksi tengkorak yang dibuat oleh Signor D‟Albertis dalam perjalanannya menyusuri sungai Fly (Merauke, Papua) dan Ia mengatakan adanya keragaman yang tinggi dalam bentuk cranium dari beberapa penduduk asli pedalaman. Dengan demikian, hanya satu kemungkinan penjelasan tentang hal tersebut, yaitu telah terjadi percampuran antarras di daerah tersebut. Salah satu indikasinya adalah perbedaan warna kulit yang sangat nyata. Ke arah Barat dijumpai penduduk asli dengan warna kulit hitam, sedangkan dari Teluk Redscar ke arah timur, yaitu ras yang tinggal di daerah pantai, memiliki warna kulit cokelat terang. Penduduk di daerah pegunungan dan daerah pedalaman memiliki warna kulit di antara keduanya. Ia kemudian menyimpulkan bahwa orang-orang di daerah pegunungan dan pedalaman merupakan penduduk asli Papua, sedangkan penduduk yang mendiami daerah pantai dengan warna kulit cokelat dan hitam kemungkinan adalah pendatang (Lawes 1882).

Suku Arfak

(39)

Numfor dan juga digunakan oleh orang Biak pantai untuk menyebut penduduk asli di pedalaman Pulau Biak (Craven & de Fretes 1987). Mereka terdiri atas empat subsuku, yaitu Hattam, Sougb, Moile, dan Meyah, yang dikenal dengan

istilah „Suku Besar Arfak”. Hattam merupakan kelompok suku yang dominan di

Pegunungan Arfak (Sumule 1994; Laksono et al. 2001).

Secara geografi, asal suku keempat subsuku itu berbeda-beda. Craven & de Fretes (1987) membagi Suku Arfak menjadi tiga subsuku, yaitu Hattam, Meyah, dan Sougb. Kemudian subsuku Hattam terbagi lagi menjadi tiga kelompok (rumpun), yaitu Moile di sebelah utara dan daerah pantai; Tinam di daerah hulu sungai Ingamou dan sisi timur sungai Ransiki sampai sejauh Sower di sebelah selatannya; dan Urwam sebuah kelompok di daerah pantai sebelah utara Oransbari. Rumpun ini terbagi lagi ke dalam marga yang berbeda-beda.

Suku Sougb umumnya dikenal orang luar sebagai Suku Manikion. Kata Manikion berasal dari bahasa Biak. Daerah kekuasaan suku ini terletak di sebelah barat daerah suku rumpun Tinam. Suku Meyah berlokasi di sebelah barat daerah rumpun Moile dan tanah sukunya membentang jauh sampai ke pedalaman kepala burung. Oleh orang Hattam mereka disebut orang Arfak asli (Craven & de Fretes 1987).

Identitas subsuku awalnya dibedakan menurut lokasi pemukiman, bahasa dan marga, namun saat ini keempat subsuku tersebut mulai sulit untuk dibedakan. Karena itu, bahasa yang digunakan sebagai sarana komunikasi antarsuku adalah bahasa campuran sehingga umumnya setiap orang menguasai lebih dari satu dialek. Secara keseluruhan, kehidupan Suku Arfak masih jauh tertinggal dengan fasilitas air bersih, listrik, transportasi, dan sarana kesehatan yang terbatas. Di samping itu, tempat tinggal sebagian besar Suku Arfak adalah semi-permanen.

Wajah Suku Arfak

(40)

agak panjang dan sedikit melengkung, prognathisme sangat tajam. Untuk memperjelas dan mengupdate bentuk wajah Suku Arfak yang telah terdeskripsi secara visual, maka penelitian ini menggunakan metode yang relatif baru berdasarkan koordinat titik anatomi wajah, yaitu morfometrika geometris.

Morfometrika geometris merupakan suatu metode statistik yang berkembang sekitar tahun 1990. Pada tahun sebelumnya, yaitu sekitar tahun 1960 dan 1970, perangkat statistika multivariat digunakan sebagai alat dalam menggambarkan pola variasi bentuk dan kovariatnya di dalam maupun antarkelompok. Pendekatan ini dikenal dengan istilah morfometrika tradisional atau morfometrika multivariat. Mulanya, morfometrika diaplikasikan untuk menggambarkan secara kuantitatif suatu organisme. Biasanya pengukuran jarak linear, sudut, rasio, dan area yang homolog yang digunakan dalam analisis multivariat. Oleh karena itu, pengukuran ini menggambarkan ukuran suatu organisme tanpa mempertimbangkan bentuk. Melalui pendekatan ini, kovariasi dalam pengukuran morfologi dapat dikuantifikasi dan pola variasi di dalam dan di antara kelompok dapat dinilai. Sayangnya, pendekatan ini tidak mampu menggambarkan secara grafis perbedaan antara bentuk-bentuk yang ada, akan tetapi memiliki keunggulan karena mampu memetakan data individu ke ruang karakter hiper-dimensional. Analisis statistika yang termasuk dalam metode ini meliputi Analisis Komponen Utama (AKU), analisis faktor, Canonical Variat Analysis (CVA), dan analisis fungsi diskriminan (Adams et al. 2004).

Pada akhir tahun 1980 dan awal tahun 1990 terjadi perubahan dalam menganalisis data kuantitatif struktur morfologi suatu organisme. Pendekatan baru ini, yang membawa paradigma baru dalam morfometrika, dikenal dengan istilah morfometrika geometris atau analisis bentuk geometri. Pada metode ini, kerangka analisis koleksi data bergeser dari pengukuran skalar menjadi pembangkitan koordinat Kartesius (x, y, dan z untuk 3 dimensi) dari titik-titik anatomis suatu bentuk biologis. Dengan jumlah titik anatomis yang optimum pada suatu bentuk, data koordinat akan mewakili bentuk tersebut secara baik. Metode ini disebut morfometrika geometris (Rohlf & Marcus 1993; Richtsmeier et al. 2002).

(41)

pemikirannya tentang analisis bentuk geometri, terutama aplikasinya dalam bidang biologi. Dia memperkenalkan serangkaian teknik analisis statistik dalam menganalisis variasi bentuk. Kendall (1989) mereview kembali teori tentang bentuk dan perkembangannya yang diperkenalkan olehnya pada tahun 1977. Penelitian lain yang berkaitan dengan pengembangan metode dan aplikasinya juga banyak disumbangkan oleh Rohlf (2000); Slice (2001); Richtsmeier et al. (2002); Rohlf (2003) dan Von Cramon-Taubadel et al. (2007). Selain itu, Dryden & Mardia (1998) memberikan ulasan tentang bentuk dari sudut pandang ilmu statistik.

Beberapa metode dikembangkan untuk digunakan pada morfometrika geometris, yaitu perangkat superimposisi dan deformasi. Metode superimposisi mengeliminasi variasi tak sebentuk di dalam konfigurasi titik-titik anatomis dengan menumpukkan bentuk-bentuk yang ada pada sentroid umumnya menurut beberapa kriteria optimasi. Setiap koordinat kemudian diputar dengan kriteria tertentu untuk meminimalisasi variasi bentuk antara mereka. Metode ini disebut Generalized Procrustes Analysis (GPA) yang dahulu disebut Generalized Least Square (GLS). Formula ini dapat digunakan untuk menghitung bentuk rata-rata dari suatu kelompok biologis. Bentuk rata-rata ini kemudian dapat digunakan sebagai bentuk tipe kelompok tersebut, atau dapat digunakan sebagai bentuk referensi saat analisis deformasi. Beberapa metode superimposisi yang telah dikembangkan, masing-masing menggunakan protokol dan kriteria optimasi yang berbeda. Two-point registration (koordinat bentuk Bookstein) merupakan metode superimposisi sederhana yang meletakkan dasar bagi pengembangan teori bentuk Bookstein pada akhir tahun 1980 (Rohlf & Marcus 1993; Dryden & Mardia 1998; Zeldich et al. 2004)

(42)

dari dua bentuk yang ada (Adams et al. 2004). Analisis deformasi bermula ketika Thompson pada tahun 1917 mengembangkan metode untuk menghasilkan grid deformasi, dimana suatu grid kotak beraturan diletakkan pada suatu bentuk. Kemudian bentuk tersebut dideformasikan ke bentuk selanjutnya secara halus. Perubahan bentuk grid menggambarkan perubahan bentuk yang ada. Thompson menggambarkan grid tersebut dengan tangan sehingga sangat subjektif. Namun Bookstein (1991) memberikan formula statistik yang memunginkan grid deformasi digambarkan secara objektif, yaitu Thin-Plate Spline.

Grid deformasi yang dihasilkan dari metode TPS dapat ditransformasi melalui analisis pelekukan relatif (relative warp) (Rohlf & Marcus 1993). Parameter hasil transformasi tersebut dapat digunakan sebagai variabel dalam statistik multivariat analisis komponen utama (Principal Component Analysis, PCA). Analisis relative warp sebenarnya berkaitan dengan analisis PCA. Metode ini berguna dalam mengeksplorasi variasi di dalam sampel, dengan cara mereduksi total variasi menjadi dimensi independen dengan jumlah yang lebih kecil. Umumnya, beberapa komponen pertama (relative warp) merangkum sebagian besar variasi dari suatu sampel.

(43)

yaitu semi-landmark. Pada tipe ini, sebuah titik ditempatkan di dalam sebuah bentuk kurva.

Tahap-tahap Pertumbuhan Manusia

Pertumbuhan dan perkembangan terjadi secara simultan, akan tetapi proses biologi keduanya berlangsung secara berbeda. Pertumbuhan merupakan peningkatan besar tubuh secara kuantitatif dalam jumlah dan massa, sedangkan perkembangan didefinisikan sebagai perubahan organik secara kualitatif dan kuantitatif dari bentuk yang belum terdiferensiasi atau belum matang ke bentuk yang matang, terorganisasi, dan terspesialisasi. Pertumbuhan manusia sesudah kelahiran (pascanatal) terbagi menjadi 5 tahap yang berbeda, yaitu fase bayi, anak-anak, yuwana, remaja, dan dewasa. Pertumbuhan dan perkembangan di masa anak, yuwana, dan remaja merupakan proses dinamis yang ditandai oleh perubahan fisik, perkembangan seksual, dan perubahan fisiologi yang berkaitan (Marshall 1978; Bogin 1999).

Fase bayi merupakan fase ketika individu bergantung pada makanan dari ibunya dalam bentuk air susu. Setelah masa sapih (12 bulan hingga 36 bulan), individu memasuki masa anak-anak di mana penyiapan makanannya masih bergantung pada bantuan orang lain karena sistem pencernaanya belum matang. Ketika geraham pertamanya tumbuh, pada usia 6-7 tahun, ia memasuki masa yuwana (Bogin 1999) yang merupakan tahap seseorang mulai independen.

Periode Pertumbuhan Anak-anak

(44)

sangat cepat, terutama pertumbuhan otot yang berukuran besar lebih cepat dibandingkan otot yang mengontrol koordinasi. Sistem respirasi dan jantung menjadi lebih teregulasi dan berkembang. Pada pertengahan masa anak-anak perkembangan pertumbuhan fisik, kematangan, dan perkembangan perilaku relatif tetap (Robison 1968; Malina et al. 2004).

Pertumbuhan anak merupakan indikator terbaik untuk memonitor status gizi dan kesehatan suatu populasi. Indeks antropometri yang umumnya digunakan secara internasional untuk menilai pertumbuhan dan status gizi, serta kondisi kesehatan pada anak-anak adalah berat terhadap tinggi (weight-for-height), tinggi terhadap umur (height-for-age), dan berat terhadap umur (weight for age) (de Onis & Habicht 1996; de Onis & Blossner 2003)

Periode Pertumbuhan Yuwana

Periode yuwana didefinisikan sebagai masa prapubertas dan anak tidak lagi bergantung sepenuhnya pada orang lain untuk bertahan hidup. Pada anak perempuan, akhir masa yuwana diperkirakan sekitar usia 10 tahun, yaitu dua tahun sebelum akhir masa yuwana pada anak laki-laki. Perbedaan ini merefleksikan anak perempuan memiliki masa remaja yang lebih awal. Masa ini ditandai oleh laju pertumbuhan yang menurun namun dalam waktu yang relatif singkat. Laju pertumbuhan yang lambat terlihat pada tinggi dan berat badan, jaringan, organ, dan sistem tubuh. Pertumbuhan pada fase yuwana dapat diprediksi karena stabil dan seimbang (Bogin 1999).

Periode Pertumbuhan Remaja

Masa remaja merupakan suatu periode transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa. Pada masa ini seorang anak mengalami beberapa perubahan unik yang berkaitan dengan pertumbuhan fisik, sosial, intelektual, perkembangan seksual, dan aktivitas hipotalamus-pituitari yang berhenti pada masa anak-anak dan yuwana diinisiasi kembali untuk memproduksi hormon yang berkaitan dengan sistem gonad (Bogin 1999; Unicef 2006).

(45)

akhir masa remaja. WHO mendefinisikan usia remaja berkisar antara 10-18 tahun, akan tetapi kisaran usia antara 8-19 tahun pada anak perempuan dan 10-22 tahun pada anak laki-laki merupakan kisaran usia yang lebih sesuai untuk mendefinisikan usia masa remaja (Malina et al. 2004).

Pada periode remaja, sebagian besar sistem tubuh menjadi dewasa secara struktural dan fungsional. Secara struktural, masa remaja diawali dengan peningkatan laju pertumbuhan besar tubuh, yang ditandai dengan lonjakan pertumbuhan masa remaja (adolescent growth spurt). Secara fungsional, masa remaja dipandang sebagai masa kematangan seksual, yaitu dimulai dengan perubahan sistem neuroendokrin sebelum terjadi perubahan fisik, dan diakhiri dengan pencapaian pematangan fungsi reproduksi (Malina et al. 2004).

Secara struktural, laki-laki dan perempuan pada masa remaja menunjukkan peningkatan kecepatan pertumbuhan pada semua jaringan skeletal, massa otot, tulang, dan lemak. Perubahan kecepatan dan lonjakan pertumbuhan pada masa remaja mempengaruhi hampir semua bagian tubuh, meliputi panjang tulang, tulang belakang, tulang wajah dan tengkorak, jantung, paru-paru, dan organ visceral lain (Bogin 1999; Malina et al. 2004).

(46)

Secara fungsional, kematangan seksual biasanya dinilai berdasarkan perkembangan ciri-ciri kelamin sekunder. Pada anak laki-laki penanda masa pubertas adalah perubahan ukuran pada penis dan skrotum, pertumbuhan rambut pubis, rambut axilla, rambut wajah, dan perubahan suara. Pada anak perempuan ciri-ciri kelamin sekunder meliputi pertumbuhan payudara, munculnya rambut pubis dan rambut axilla, dan perkembangan uterus, vagina, dan vulva mencapai ukuran dewasa (Kulin & Muller 1996; Bogin 1999). Selain itu, usia menarke (kejadian menstruasi pertama kali) dan usia spermarke (kejadian mimpi basah pertama kali) merupakan dua parameter yang digunakan untuk menilai kematangan gonad dan secara fisiologi juga merupakan indikator pubertas pada anak laki-laki dan anak perempuan (Malina et al. 2004; Guzman 2007).

Pubertas

Kata pubertas berasal dari bahasa Latin pubescere artinya, “to become covered in hair”. Masa ini ditandai oleh kemampuan untuk bereproduksi dan berkembangnya ciri-ciri seksual sekunder (Rochebrochard 2000), juga ditandai oleh kejadian fisiologi yang berkaitan dengan pertumbuhan manusia (Abbassi 1998). Sering kali istilah pubertas dan masa remaja digunakan secara sinonim untuk menunjukkan masa transisi dari masa anak ke masa dewasa. Istilah pubertas berbeda dari masa remaja, karena pubertas merupakan bagian dari masa remaja yang khusus berkaitan dengan suatu proses kematangan sistem reproduksi, sedangkan pada masa remaja, tidak hanya sistem repoduksi yang mengalami kematangan, akan tetapi juga kognitif, emosi, dan sosial (Sisk & Zher 2005). Meskipun pubertas terjadi pada masa remaja, perubahan internal mulai terjadi lebih awal dibandingkan dengan perubahan eksternal (Guszman 2007).

(47)

menyebabkan meningkatnya produksi steroid gonad dan penyelesaian proses gametogenesis. Testosteron adalah hormon seksual laki-laki yang diproduksi oleh gonad, sedangkan estrogen dan progresteron adalah hormon seksual perempuan. Hormon ini bertanggung jawab atas perkembangan ciri kelamin sekunder (Domine et al. 2006).

Menarke

Menarke merupakan peristiwa menstruasi pertama yang dialami oleh seorang anak perempuan. Kejadian ini paling umum diteliti sebagai indikator kematangan seksual dan merupakan manifestasi terakhir masa pubertas pada perempuan (Parent et al. 2003; Malina et al. 2004). Umur menarke berkaitan erat dengan distribusi leptin dalam lemak tubuh. Leptin dalam darah yang diproduksi oleh sel lemak dan disandikan oleh gen ob atau gen leptin merupakan proteohormon dengan berat molekul 16 kDa (Blum et al. 1997). Nilai kritis kadar leptin sangat penting dalam merangsang kemampuan reproduktif seorang perempuan, karena leptin merupakan mediator antara jaringan adiposa dan gonadal-hypothalamic axis pada perempuan (Matcovic et al. 1997). Hormon ini berperan dalam meregulasi berat badan, dan lebih berhubungan erat dengan lemak di bagian gluteofemoral dibandingkan dengan lemak pada tubuh bagian atas. Ini menunjukkan bahwa hormon leptin membawa informasi tentang distribusi lemak ke hipotalamus selama pubertas (Lassek & Gaulin 2007). Sebelum pubertas, kadar leptin pada anak laki-laki dan perempuan tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Akan tetapi pada masa pubertas, kadar leptin pada anak perempuan meningkat, sedangkan pada anak laki-laki menurun. Ini berarti dimorfisme seksual terhadap kadar leptin terjadi selama masa pubertas (Matkovic et al. 1997; Blum et al. 1997; Ahmed et al. 1999).

(48)

Penelitian di Maharashtra India menunjukkan rata-rata laju penurunan usia menarke sekitar 6 bulan selama tiga dekade terakhir (Bagga & Kulkarni 2000). Studi Khanna & Kapoor (2004) di New Delhi dan Aryal (2004) di Nepal (pedesaan) menunjukkan usia menarke ibu (13,3 dan 15 tahun) dan anaknya (12,8 dan 14 tahun). Hasil penelitian tersebut juga menunjukkan penurunan usia menarke, dengan rata-rata perbedaan usia menarke antara ibu dan anak sekitar 0,5 atau 1 tahun. Kejadian yang sama terjadi pada wanita Indonesia. Dalam kurun waktu 25 tahun (1973-2008), usia menarke menurun dari 13,98 tahun menjadi 12,71 tahun (Sukmaningrasa 2009). Di Perancis, usia menarke menurun sebanyak 3 tahun dari sekitar 16 tahun pada abad ke-18 menjadi sekitar 13 tahun pada abad ke-20 (Rochebrochard 2000). Penurunan usia menarke juga terjadi pada wanita di negara Israel (Chodick et al. 2005); di Cina (Graham et al.1999); Eropa, Amerika Utara, dan Jepang (Malina et al. 2004). Di Inggris (Dann & Robert 1973; Robert & Dann 1975), usia menarke menunjukkan angka yang stabil sehingga dikatakan bahwa kecenderungan penurunan usia menarke telah berhenti. Akan tetapi di Perancis, fenomena stabilisasi usia menarke masih menimbulkan perdebatan (Rochebrochard 2000).

Spermarke

Spermarke didefinisikan sebagai kejadian spermaturia (ekskresi spermatozoa dalam urin) pertama pada anak laki-laki. Peristiwa ini menandakan kematangan gonad dan merefleksikan berfungsinya eksokrin testis pada masa pubertas (Kulin et al. 1982; Schaefer et al. 1990).

Umumnya usia spermarke ditentukan berdasarkan jumlah spermatozoa dalam spesimen urin dan personal interview (Kulin et al. 1989; Schaefer et al. 1990; Pedersen et al. 1993; Yan et al. 1999; Ji 2001). Studi usia spermarke berdasarkan jumlah spermatozoa dalam urin bermanfaaat untuk uji screening secara kualitatif dalam menginvestigasi potensi kerusakan pada pematangan testis, dan juga berguna dalam mendeteksi cepat atau lambatnya masa pubertas seorang anak (Schaefer et al. 1990).

(49)

basah masih dianggap fenomena kultur yang tidak umum untuk dibicarakan (Janssen 2007). Hal ini menyebabkan penelitian tentang usia spermarke lebih sedikit dilakukan bila dibandingkan dengan studi tentang usia menarke (Kulin et al. 1989; Schaefer et al. 1990; Papadimitriou et al. 2002).

Faktor genetik dan faktor lingkungan turut berperan dalam menentukan variasi usia spermarke antarpopulasi. Studi usia spermarke secara longitudinal dan cross sectional menunjukkan rata-rata usia spermarke anak laki-laki berkisar antara 13-14 tahun (Pedersen et al. 1993). Beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi usia spermarke antara lain tingkat sosioekonomi, ekologi, tempat tinggal di daerah pedesaan dan perkotaan (Yan et al. 1999 ; Ji 2000). Namun, pengaruh kecenderungan sekuler (secular trend) terhadap usia spermarke dalam suatu populasi belum pernah dilaporkan, yang berbeda bila dibandingkan dengan efek kecenderungan sekuler terhadap usia menarke yang relatif telah banyak dilaporkan.

Komposisi Tubuh

Berdasarkan pengukuran antropometrik (pengukuran tubuh manusia), yang mengawali munculnya penelitian komposisi tubuh sekitar 100 tahun yang lalu, setiap orang memiliki bentuk fisik tertentu. Melalui teknik antropometri, maka ukuran, bentuk, proporsi, dan komposisi tubuh manusia dapat dievaluasi karena setiap individu memiliki biotipe atau somatotipe yang berbeda, dan dapat diklasifikasi berdasarkan bentuknya. Meskipun setiap individu memiliki komponen yang sama, proporsinya berbeda (Henche & Pellico 2005).

(50)

Beberapa model komposisi tubuh telah digunakan untuk membagi massa tubuh menjadi beberapa komponen atau kompartemen, meliputi model tradisional dua komponen sampai model yang terdiri atas tiga, empat, dan lebih kompartemen. Berdasarkan model tradisional, tubuh manusia terbagi atas massa lemak dan massa bebas lemak. Model tiga komponen meliputi massa lemak, namun membagi massa bebas lemak menjadi total air dalam tubuh dan massa kering bebas lemak. Air merupakan komponen terbesar dalam tubuh dan sebagian besar berada di jaringan yang tidak berlemak. Massa bebas lemak kering meliputi protein, glikogen, mineral tulang, dan mineral jaringan lunak. Model empat komponen merupakan perkembangan dari model tiga komponen. Pengukuran volume tubuh, total air dalam tubuh, dan mineral tulang diusulkan dalam model empat kompartemen. Massa kering bebas lemak meliputi mineral tulang dan residu. Saat ini, model multikomponen lebih diterima dalam penelitian komposisi tubuh (Heymsfield et al. 2000; Henche & Pellico 2005; Malina et al. 2004).

Metode yang digunakan untuk mengukur komposisi tubuh secara in vivo dapat dilakukan secara langsung (direct), tidak langsung (indirect), dan tidak langsung ganda (doubly indirect). Metode langsung dapat dilakukan dengan mengukur secara langsung komponen tubuh, misalnya pada metode in-vivo neutron activation analysis (IVNAA) yang dapat mengukur jumlah elemen kimia dalam tubuh. Metode ini cukup mahal dan hanya beberapa laboratorium yang memiliki alat ini. Metode tidak langsung, misalnya densitometri, deuterium oxide dilution, dan dual energy Xray absorptiometry (DXA). Metode doubly indirect didasarkan pada pengukuran variabel tubuh dan pengukuran komposisi tubuh. Contohnya, pengukuran antropometri (tebal lipatan kulit, lingkar pinggang, Indeks Massa Tubuh, dan persen lemak tubuh) dan bioelectric impedance analysis (BIA). Kedua metode ini dapat diaplikasikan secara langsung di lapangan (WHO 2004).

(51)

Pengukuran antropometri dan bio-electrical impedance (BIA) merupakan metode lapangan. Kedua metode ini tidak terlalu mahal, mudah dibawa, dan tidak membutuhkan keahlian khusus dalam proses pengoperasiannya. Malina et al. (2004) secara ringkas dan lengkap menyajikan beberapa metode (Tabel 1) yang digunakan dalam menilai komposisi tubuh.

Tabel 1. Beberapa metode yang digunakan dalam menilai komposisi tubuh (Malina et al. 2004)

whole-body counting Menilai kandungan potasium dalam tubuh; dikonversi menjadi massa lemak bebas Isotop dilution Menilai total air dalam tubuh yang

dikonversi menjadi massa lemak bebas, kompartemen total air dalam tubuh juga dapat ditentukan

Neutron activation analysis Menggunakan isotop nitrogen dan kalsium untuk menduga jaringan tanpa lemak dan mineral

Bioelectric impedance Menilai massa lemak bebas karena jaringan tanpa lemak lebih baik dalam menghantarkan elektrisitas dibandingkan lemak

Uptake of fat-soluble gas Menilai massa lemak Ekskresi kreatin urin 24 jam Menilai massa otot Ekskresi 3-metilhistidin Menilai massa otot Dual-Energy X-ray Absorptiometry

(DEXA)

Menilai mineral tulang, juga jaringan lemak, dan tanpa lemak

Magnetic Resonance Imaging (MRI) Menilai lemak, otot, dan tulang tanpa radiasi ion dan komposisi kimia

Computerized axial tomography Menilai tulang, otot, dan lemak Ultrasound Menilai lemak, otot, dan tulang Radiography Menilai lemak, otot, dan tulang

Antropometri Menilai lemak subkutan dan memprediksi massa lemak dan massa lemak bebas

Indeks Massa Tubuh

(52)

2000; Bielicki et al. 2000; Malina & Katmarzyk 2000; Widhalm et al. 2001; Abalkhail & Shawky 2002; Sweeting & West 2002; Halmie 2006; Toseli et al. 2006; Hermawan 2007; Sood et al. 2007; Goldani et al. 2007; Miharja 2008), bahkan BMI juga dapat memprediksi kekurangan berat badan pada anak-anak usia 2-19 tahun (Mei et al. 2002).

BMI pada anak-anak mengalami perubahan menurut umur. BMI mengalami penurunan pada masa bayi sampai awal masa anak-anak, dengan nilai terendah pada umur 5-6 tahun. Selanjutnya BMI mengalami peningkatan secara linear setelah umur 6 tahun selama masa anak-anak dan masa remaja, sampai masa dewasa (Malina et al. 2004; Wang et al. 2007). Perbedaan BMI pada anak laki-laki dan anak perempuan relatif kecil pada masa anak-anak, namun meningkat pada masa remaja. Meningkatnya BMI sesudah mencapai titik terendah pada usia

5-6 tahun disebut dengan istilah “adiposity rebound”. Terdapat hipotesis yang

mengatakan bahwa anak-anak yang mengalami adiposity rebound lebih awal kemungkinan mengalami kelebihan berat badan pada akhir masa remaja dan dewasa (Malina et al. 2004).

Asosiasi antara BMI dan komponen komposisi tubuh pada anak-anak dan remaja mengindikasikan variabilitas yang tinggi. Meskipun BMI telah digunakan secara luas karena relatif akurat dalam pengukuran dasar, BMI cenderung memiliki spesifitas yang tinggi dan sensitivitas yang bervariasi pada anak-anak dan remaja (Malina & Katzmarzyk 2000; Malina et al, 2004). Anak-anak dengan nilai BMI yang sama memiliki persen lemak dan total lemak tubuh yang berbeda. Hal ini menunjukkan keterbatasan penggunaan BMI sebagai indikator lemak tubuh. BMI lebih sesuai sebagai indikator berat badan dan tidak secara langsung sebagai indikator lemak tubuh (Malina et al. 2004). Sood et al. (2007) menemukan nilai BMI meningkat sejalan dengan tahap kematangan seksual anak perempuan, namun nilai lemak tubuh bervariasi terutama pada anak-anak yang telah mengalami menarke.

(53)

BMI lebih rendah, tetapi % lemak tubuh lebih tinggi dibandingkan dengan orang kulit putih (orang Kaukasus). Guricci et al. (1998; 1999) melaporkan bahwa orang Indonesia memiliki BMI tiga unit lebih rendah dan % lemak tubuh lebih tinggi dibandingkan dengan orang Belanda. Perbedaan BMI dan % lemak tubuh juga ditunjukkan oleh 2 kelompok etnis yang tinggal di Indonesia. Piers et al. (2003) melaporkan bahwa laki-laki Aborigin memiliki nilai BMI lebih rendah dibandingkan dengan orang Eropa Australia. Perbedaan BMI dan % lemak tubuh juga ditemukan oleh Deurenberg-Yap et al. (2000) pada populasi China Singapura, India, dan Melayu, bila menggunakan formula yang dikembangkan untuk populasi Kaukasus. Serangkaian penelitian yang dilakukan oleh WHO (2004) berkaitan dengan BMI dan % lemak tubuh juga menunjukkan variasi di antara populasi Asia. Populasi Cina Hongkong, Indonesia, Singapura, Thailand kota, dan Jepang memiliki BMI lebih rendah dibandingkan dengan populasi Eropa, sementara Beijing, Thailand perdesaan memiliki nilai BMI yang sama dengan populasi Eropa. Demikian pula di antara orang kulit putih, misalnya orang Amerika Serikat memiliki % lemak tubuh lebih rendah (dengan BMI yang sama) dibandingkan dengan orang Eropa. Laki-laki dan perempuan Asia (kecuali perempuan China dan laki-laki Thailand pedesaan) umumnya memiliki BMI lebih rendah bila dibandingkan dengan laki-laki dan perempuan kulit putih (WHO 2004)

(54)
(55)
(56)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2010 hingga bulan April 2011 di daerah Manokwari, Provinsi Papua Barat. Pengambilan data dilakukan dengan mengunjungi sekolah-sekolah, beberapa desa, dan asrama mahasiswa asal Suku Arfak (Tabel 2). Data pertumbuhan dan kematangan seksual anak Arfak diamati pada anak sekolah mulai dari tingkat SD, SMP, SMU, hingga perguruan tinggi. Sementara data bentuk wajah Suku Arfak selain diamati pada anak sekolah, juga diamati pada orang dewasa yang berasal dari desa Amban, Susweni, Bremi, dan Minyambouw.

Semua lokasi tersebut tersebar dari daerah pantai hingga dataran tinggi dengan ketinggian berkisar antara 0-1600 m dpl. Desa Amban dan Susweni terletak pada ketinggian sekitar 5-100 m dpl, Desa Bremi merupakan daerah pesisir pantai dengan ketinggian sekitar 0-5 m dpl, dan Desa Minyambouw terletak pada ketinggian sekitar 1600 m dpl.

Alur Penelitian

Pernyataan persetujuan (informed consent) disampaikan kepada subjek sebelum pengambilan data dilakukan. Subjek diberi penjelasan tentang tujuan dan manfaat serta gambaran secara umum penelitian ini. Bila mereka bersedia secara sukarela maka mereka diwawancarai berdasarkan pertanyaan kuisioner, dilakukan pengukuran tubuh, dan pengambilan foto (Lampiran 6).

(57)

menarke dan usia spermarke. Metode pengambilan data usia kematangan gonad dilakukan secara status quo. Terdapat dua informasi penting yang berkaitan dengan usia kematangan gonad, yaitu usia yang pasti dan apakah sudah atau belum mengalami kejadian menarke atau spermarke (Malina et al. 2004). Kuisioner meliputi identitas subjek dan orang tua, data demografi penduduk, dan data yang berkaitan dengan perkembangan seksual dilakukan melalui wawancara dengan berpedoman pada daftar pertanyaan kuisioner (Lampiran 6).

Tabel 2. Jumlah anak Suku Arfak di setiap lokasi penelitian*)

Lokasi Geografi Perempuan Laki-laki

Jumlah (%) Jumlah (%)

Desa Amban Dat. Rendah 3 1,2 14 4,7

Desa Susweni Dat. Rendah 0 0,0 5 1,7

Desa Bremi Pantai 12 4,9 8 2,7

Minyambouw Pegunungan 98 39,5 67 22,6

SD Inpres 89 Mandopi Pantai 8 3,2 10 3,4

SD Inpres 35 Nuni Pantai 16 6,5 15 5,1

SD Inpres 107 Saubeba Pantai 4 1,6 11 3,7

SD Inpres 108 Sugimeih Dat.Rendah 7 2,8 5 1,7

SD Inpres 16 Anggori Dat.Rendah 11 4,4 9 3,0

SD. Inpres 63 Ayambori Dat.Rendah 9 3,6 9 3,0

SMPN 15 Anggori Dat.Rendah 9 3,6 18 6,1

SMP Advent Sanggeng Dat.Rendah 5 2,0 13 4,4

SMPN 20 Nuni Pantai 14 5,7 15 5,1

SMPN 2 Manokwari Dat.Rendah 17 6,9 10 3,4

SMU Advent ABT Dat.Rendah 11 4,4 19 6,4

SMU Advent Sanggeng Dat.Rendah 3 1,2 5 1,7

SMU YPK Oikumene Dat.Rendah 5 2,0 4 1,4

SMK 2 Manokwari Dat.Rendah 3 1,2 23 7,8

SMK 3 Manokwari Dat.Rendah 9 3,6 1 0,3

SPMA Manokwari Dat.Rendah 4 1,6 22 7,4

Asrama Mansinam Dat.Rendah 0 0,0 13 4,4

Total 248 296

*) termasuk pencilan

(58)

ketiga kegiatan studi tersebut telah diterima untuk diterbitkan di jurnal HAYATI Bioscience, dengan judul: Association of sexual maturation and body size of Arfak children (Lampiran 7).

Tabel 3. Jumlah subjek setiap kelompok usia

Perempuan Laki-laki

Tabel 4. Jumlah subjek bentuk kraniofasial dan asal wilayah

Lokasi Letak Geografi Jumlah Subjek

Perempuan Laki-laki

Desa Mandopi Pesisir Pantai 5 1

Desa Amban Dataran Rendah 1 10

Desa Bremi Pesisir Pantai 5 2

Desa Minyambouw Pegunungan 22 11

SMPN 15 Anggori Dataran Rendah 4 1

SMU ABT Dataran Rendah 6 3

SMK 2 Manokwari Dataran Rendah - 5

Asrama Mansinam Dataran Rendah - 4

Total 43 37

Gambar

Tabel 1. Beberapa metode yang digunakan dalam menilai komposisi tubuh (Malina et al. 2004)
Tabel 2. Jumlah anak Suku Arfak di setiap lokasi penelitian*)
Tabel 3. Jumlah subjek setiap kelompok usia
Gambar 1. Titik anatomi wajah (A) tampak depan dan (B) tampak samping
+7

Referensi

Dokumen terkait

90°C, lalu didinginkan sejenak. Ditambahkan alfa tokoferol dan propil paraben. Kemudian ditambahkan aerosil sedikit demi sedikit sambil diaduk dengan magnetic stirrer

(1) pemilihan VST instrumen dibagi menjadi VST sintesis dan sample yang didukung dengan vst efek (2) proses sound design lebih banyak menggunakan preset (3) proses komposisi

Pada tanggal 31 Desember 2010 perusahaan tidak melakukan penyesuaian untuk persentase proyek yang telah dilakukan sesuai dengan biaya yang dikeluarkan.. Beban diakui pada

Kebijakan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Bapak Eko Putro Sandjojo yaitu ada 4 Program Prioritas salah satunya adalah Badan Usaha Milik

Metode pemasaran Susu Kedelai “SARI ALAMI” ini adalah dengan menyebarkan brosur- brosur pada masyarakat pada permulaan usaha serta metode getok tular, dengan membuat para

Analisis Peran KPI Kota Salatiga Terhadap Advokasi Perempuan Dan Anak Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Tahun 2010-2015. Analisis Perbandingan Data Perempuan dan Anak Korban

Aktivitas pediosin PaF-11 yang dihasilkan dari proses purifikasi tanpa penambahan biomassa sel mati yaitu 1500AU/ml, sedangkan dengan penambahan biomassa sel mati 3, 6 dan 11 kali

Pemilik bangunan seharusnya berkonsultasi kepada pihak terkait seperti Dinas Perizinan Kota Yogyakarta, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta dan/atau Balai