• Tidak ada hasil yang ditemukan

Suku Arfak memiliki sejarah kehidupan alamiah yang unik dan cenderung berbeda dari sejarah kehidupan suku lain yang ada di Indonesia. Hal ini terlihat dari hasil kegiatan studi bentuk kraniofasial orang Arfak yang menunjukkan keragaman yang besar. Fakta ini berbeda dari bentuk kraniofasial beberapa suku yang ada di Indonesia, seperti suku Batak, Sunda, dan Betawi yang cenderung homogen (Abad 2002; Widyarini 2009; Siregar 2009; Lestari 2010). Selain itu, bila ditinjau dari ukuran tubuh yang kecil, pertumbuhan fisik yang cepat di masa yuwana dan usia menarke yang muda, maka orang Arfak pun menunjukkan fenomena unik bila dibandingkan dengan kebanyakan suku yang ada di Indonesia maupun suku-suku tradisional yang berada di berbagai belahan dunia.

Sejarah kehidupan Suku Arfak menunjukkan proses evolusi yang dinamis. Respons adaptif terhadap lingkungan tampak pada fenomena evolusi biokultur dan seleksi alam yang menghasilkan ukuran tubuh yang lebih kecil, usia menarke yang lebih muda, dan laju pertumbuhan berat badan yang cepat di masa yuwana. Di lain pihak, bahan mentah bagi seleksi tampak pada fenomena keragaman, seperti yang ditunjukkan oleh variasi bentuk kraniofasial.

Ukuran tubuh Suku Arfak termasuk kecil sehingga digolongkan pigmoid, dengan rata-rata tinggi badan pria dewasa sebesar 157 cm (n=29) dan wanita 148 cm (n=18). Rata-rata tinggi badan pria dewasa populasi pygmy adalah <155 cm (Migliano et al. 2007; Richards 2008). Fenotipe pygmy merupakan karakteristik populasi manusia yang memiliki mata pencaharian memburu dan mengumpul di lingkungan hutan hujan tropis di berbagai belahan dunia. Ukuran tubuh yang kecil ini merupakan respons adaptif terhadap habitat hutan hujan tropis yang cenderung panas, lembab, dan ketersediaan makanan terbatas. Dengan ukuran tubuh yang kecil maka populasi pygmy dapat mengefektifkan mobilitas dalam mencari makan, mereduksi total asupan kalori untuk bertahan hidup, dan proses termoregulasi lebih efisien dengan menghasilkan panas internal yang lebih sedikit selama beraktivitas (Perry & Dominy 2008; Walker & Hamilton 2008). Selain faktor lingkungan yang mempengaruhi ukuran tubuh yang kecil, hormon GH (Growth Hormone) dan IGF1 (Insulin-like Growth Factor I) juga berperan dalam mengatur pertumbuhan somatik, termasuk tinggi badan. Dalam kondisi

kekurangan gizi kronis, kadar kedua hormon tersebut menurun sehingga kondisi ini dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan somatik (Perry & Dominy 2008). Akan tetapi, kadar kedua hormon tersebut tidak diukur dalam penelitian ini.

Usia menarke Suku Arfak yang lebih muda merupakan manifestasi dari kondisi lingkungan yang miskin/buruk (Walker et al. 2006). Salah satu kondisi lingkungan yang buruk adalah risiko kematian yang disebabkan oleh penyakit infeksi atau parasit. Penyakit yang paling umum diderita oleh anak-anak di Papua adalah penyakit malaria. Berdasarkan laporan Hay et al. (2009), Papua termasuk dalam zona prevalensi malaria tertinggi di Indonesia. Ketersediaan nutrisi yang terbatas dan penyakit yang meningkatkan risiko kematian akan mempengaruhi fitness individu di dalam populasi (Ruff 2002; Walker & Hamilton 2008). Untuk memaksimalkan fitness dalam kondisi panjang hidup yang terbatas, Suku Arfak merespons dengan maturasi seksual (usia menarke) yang lebih awal guna mendapatkan usia reproduksi yang muda.

Variasi usia menarke antarpopulasi di seluruh dunia telah diketahui sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, terutama faktor sosial ekonomi (Thomas et al 2001; Sukmaningrasa 2009), seperti tampak pada Tabel 10. Akan tetapi, terdapat perbedaan waktu koleksi data antara satu populasi dan yang lain sehingga dapat dikatakan efek kecenderungan sekuler juga ikut berperan dalam mempengaruhi variasi dengan mereduksi usia menarke. Meskipun demikian, dapat dikatakan usia menarke anak Arfak cenderung cepat bila dibandingkan dengan keseluruhan populasi tersebut. Hal yang sama bila dibandingkan dengan usia menarke populasi tradisional pemburu-pengumpul di berbagai belahan dunia hasil studi Walker et al. (2006), yaitu dengan rataan 14,7 tahun (12,6-18,4 tahun), maka usia menarke anak Arfak (12,2 tahun) juga paling cepat di antara populasi tersebut.

Ukuran tubuh yang kecil dan usia menarke yang lebih muda pada Suku Arfak merupakan produk dari laju tumbuh berat badan yang cepat di masa yuwana (usia 6-10 tahun), untuk kemudian menurun ketika dan setelah pubertas. Berdasarkan hasil penelitian ini, rataan laju berat badan anak Arfak, baik laki-laki (2,59 kg/tahun) maupun perempuan (2,97 kg/tahun), lebih tinggi dari populasi India, Karawang dan Purwakarta, kecuali Amerika pada masa yuwana.

Tabel 10. Variasi usia menarke antarbangsa Lokasi Usia Menarke (Tahun) Jumlah Sampel Tahun Survei Sumber

Suku Arfak 12,2 178 2011 Studi saat ini

Nigeria (middle income) 12,2 900 2007 Ofuya 2007 Nigeria (low income) 13,0 900 2007

India (Rural) 13,6 183 2006

Mokha 2006

India (Urban) 13,3 185 2006

Italia 12,5 286.205 1992-1998 Onland-Moret

et al. 2005 Swedia dan Denmark 13,6 286.205 1992-1998

India (Anak) 12,8 159 2004

Khanna & Kapoor 2004

India (Ibu) 13,3 159 -

Yordania 13,8 1823 1977 - 1983 Ammari et al.

2003

Yordania 13,6 789 1960

Amerika Serikat 12,4 251 2003 Chumlea et al.

2003 New Orleans (kulit

hitam) 12,9 12,1 1398 1230 1973 – 1974 1992 - 1994 Freedman et al. 2002

New Orleans (kulit putih) 12,7 12,5 1398 1230 1973 – 1974 1992 – 1994

Inggris 13,5 192 1969 Marshall & Tanner 1969

Di lain pihak, laju tumbuh BH anak laki-laki Arfak relatif bersamaan dengan dengan populasi Karawang dan Amerika, yaitu sekitar 5 cm/tahun, sementara anak perempuan Arfak hampir bersamaan dengan India, yaitu sekitar 4 cm/tahun pada masa yuwana. Akan tetapi, puncak laju tumbuh BH anak Arfak paling rendah dari keempat populasi tersebut.

Bila dibandingkan dengan data populasi tradisional dari beberapa negara di seluruh dunia hasil studi Walker et al. (2006), maka usia laju pertumbuhan BH dan BW anak Arfak saat mulai meningkat (take off) dan mencapai puncak (peak) cenderung lebih cepat dari pada keseluruhan populasi.

Berdasarkan ketiga aspek tersebut, yaitu ukuran tubuh yang kecil, usia menarke yang lebih muda, dan laju tumbuh yang cepat di masa yuwana, Suku Arfak menunjukkan starategi sejarah kehidupan yang cepat untuk menghadapi lingkungan yang tidak stabil. Secara keseluruhan, strategi sejarah kehidupan yang

lebih cepat merupakan strategi mengoptimalkan proses reproduksi, yaitu dengan memaksimalkan keberhasilan reproduksi jangka pendek ketika lingkungan berada dalam kondisi tidak menguntungkan (Buunk et al. 2009). Lingkungan yang tidak stabil, yaitu penyakit malaria, merupakan faktor utama yang paling nyata berperan dalam menghasilkan respons adaptif itu.

Di lain pihak, keragaman kraniofasial yang masih terus dipertahankan sampai saat ini tidak menunjukkan tipologi unik, seperti ketiga karakter yang dijelaskan sebelumnya. Beragamnya bentuk kranial berdasarkan data koordinat landmark dalam penelitian ini mendukung keragaman kranial ras Papua yang telah dideskripsikan secara verbal oleh Lawes (1882), Verneau (1881), dan Morris (1900). Selain itu, variabilitas kranial juga diperlihatkan oleh fosil manusia Aborigin Australia (Brown 1987; Donion 1994; Stringer 2002; Stone & Cupper 2003) yang diasumsikan berkerabat dan memiliki nenek moyang yang sama dengan manusia Papua. Daerah New Guinea dulunya bersatu dengan Australia membentuk dataran Sahul yang kemudian terpisah sekitar 8.000 tahun yang lalu (Redd & Stoneking 1999).

Dokumen terkait