• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah Geografi Papua

Daerah New Guinea, termasuk daerah Kepala Burung, relatif baru terbentuk sebagai hasil pergerakan dan tumbukan lempeng tektonik Indo-Australia ke arah utara dengan lempeng Pasifik ke arah timur, yang mencapai puncaknya sekitar akhir Miosen, yaitu sekitar 5-15 juta tahun yang lalu. Pegunungan tengah daerah kepala burung diperkirakan terpisah dari benua Australia dan dataran utama New Guinea pada pertengahan hingga akhir masa Eosen (sekitar 40 juta tahun yang lalu). Kemudian, kepala burung terhubung dengan daratan utama New Guinea dengan munculnya Lengguru Fold Belt, yaitu “bagian leher” sekitar akhir Pliosen atau awal Pleistosen (sekitar 1-2 juta tahun yang lalu). Pada saat yang sama muncul pula pulau di teluk Cenderawasih, yaitu Batanta dan Waigeo. Benua Australia kemudian terpisah dengan daratan utama New Guiena sekitar 8000 tahun yang lalu (Miedema & Reensik 2004).

Berdasarkan data yang diperoleh dari studi arkeologi di Dataran Ayamaru, pada ketinggian sekitar 300–400 m, tampak bahwa sebagian besar lingkungan berubah sesudah akhir masa glasial. Penggalian yang dilakukan di dua gua dekat danau Ayamaru (Sorong) menunjukkan tiga periode yang berbeda. Periode tertua adalah periode glasial, yang diwakili oleh Gua Toe. Periode ini dimulai pada akhir masa Pleistosen, yaitu mulai sekitar 26.000 tahun yang lalu (BP, Before Present), ketika gua tersebut pertama kali dihuni. Deposit yang mewakili periode ini menghasilkan sejumlah besar peninggalan hewan Montana. Saat ini spesies Montana, seperti kuskus (Phalanger vestitus), hanya ditemukan di daerah yang lebih tinggi. Iklim pada masa itu diperkirakan lembab dan dingin. Periode kedua disebut periode transisi. Periode ini diwakili oleh Gua Toe dan Gua Kria. Laporan arkeologi menemukan fauna dataran rendah mendominasi pada periode itu, sementara fauna Montana semakin berkurang. Terakhir adalah periode modern. Pada 6.000 tahun yang lalu, kondisi dataran Ayamaru pada masa itu mirip dengan kondisi saat ini. Sedimen dari dua gua tersebut mengandung hewan vertebrata yang mirip dengan hewan vertebrata di dataran rendah kepala burung. Selama periode transisi dan modern, fauna yang mendominasi adalah fauna yang hidup di

hutan, seperti walabi (Dorcopsis muelleri) (Miedema & Reensik 2004; Pasveer 2007).

Kolonisasi Manusia Purba di Australia

Sejarah kehidupan manusia Papua berkaitan erat dengan manusia Australia. Terdapat dua pandangan utama tentang manusia pertama yang menghuni Australia yang menjelaskan munculnya variasi morfologi kranial (Brown 1987; Stringer 2002). Kedua model tersebut diusulkan sejak tahun 1960, dan masih menjadi subjek perdebatan (Curnoe 2009). Pandangan pertama menjelaskan bahwa terdapat dua atau lebih migrasi ke Australia. Kolonisasi pertama berkaitan dengan manusia Jawa (yaitu Homo erectus, namun beberapa kelompok peneliti menyebutnya H. sapien) yang memperkenalkan populasi robust sekitar 50.000 tahun yang lalu. Kejadian kolonisasi ini didukung oleh penemuan fosil manusia Willandra Lakes yang dikenal dengan istilah WLH-50 (Willandra Lakes Human 50), dan beberapa sampel berasal dari Kow Swamp, Cohuna, dan Coobol Creek. Kolonisasi kedua berasal dari Cina. Populasi ini dikenal dengan istilah manusia gracile berdasarkan fosil yang ditemukan di Lake Mungo sekitar 30.000 tahun yang lalu, dan beberapa fosil gracile juga ditemukan di Pulau King dan Keilor (Brown 1987; Stringer 2002). Berdasarkan kedua populasi ini, yaitu gracile dan robust, maka diasumsikan bahwa variasi yang muncul pada manusia modern Aborigin Australia saat ini merupakan hasil hibridisasi antara manusia gracile dan robust. Akan tetapi, pendapat lain menjelaskan bahwa manusia gracile dan robust merupakan satu populasi secara morfologi. Karakter morfologi yang relatif homogen pada manusia Aborigin Australia tersebut menunjukkan masa kolonisasi yang hanya terjadi satu kali di daerah Australia pada masa Pleistosen. Keragaman morfologi berkembang setelah masa pendudukan di Australia (Stringer 2002; Curnoe 2009). Stringer (2002) lebih menekankan bahwa keragaman morfologi pada manusia purba Australia di masa akhir Pleistosen merupakan efek dari perubahan iklim yang terjadi pada jaman es (last glacial maximum) sehingga menyebabkan terjadinya isolasi dan perubahan morfologi pada beberapa populasi Australia. Pendapat ini didukung pula oleh Stone dan Cupper (2003).

Penemuan terbaru dengan menggunakan serangkaian kombinasi teknik yang berbeda, merevisi kembali usia fosil manusia gracile yang diwakili oleh Lake Mungo 1 dan 3. Kedua fosil itu diperkirakan berusia sekitar 62.000 tahun yang lalu. Selain itu, manusia robust yang diwakili oleh WLH-50 diperkirakan berusia sekitar 14.000 tahun yang lalu, dan manusia robust Kow swamp berusia sekitar 19.000-22.000 tahun yang lalu (Stringer 2002; Stone & Cupper 2003). Hal ini menunjukkan bahwa manusia pertama yang menghuni Australia bukanlah manusia robust, melainkan manusia gracile.

Penemuan ini juga didukung oleh studi Curnoe (2009) yang berpendapat bahwa manusia gracile WLH1 dan WLH3 merupakan manusia pertama yang menghuni Australia sekitar 50.000-70.000 tahun yang lalu. Kedua fosil ini dianggap merupakan manusia modern tertua yang berasal dari Afrika. Kemudian, kelompok kedua merupakan manusia robust yang diwakili oleh WLH-50 sekitar 14.000 BP, dan beberapa fosil dari Kow Swamp, Cohuna, dan Nacurrie diperkirakan menghuni Australia sekitar 20.000 tahun yang lalu.

Selain bukti arkeologi, pandangan lain tentang migrasi ke Australia adalah bukti genetik yang menerangkan bahwa manusia modern tertua yang menghuni Australia berasal dari Afrika melalui lebih dari dua migrasi. Multiple dispersal model ini menekankan bahwa keturunan yang berasal dari migrasi yang lebih awal berasimilasi atau digantikan oleh populasi yang bermigrasi lebih akhir. Dari Afrika, nenek moyang Aborigin Australia kemudian terpisah dari populasi Eropa sekitar 62.000-75.000 tahun yang lalu, sebelum populasi Eropa dan populasi Asia terpisah sekitar 25.000-38.000 tahun yang lalu. Kemudian sekitar 50.000 tahun yang lalu, nenek moyang Aborigin Australia menghuni Australia. Penemuan ini juga menunjukkan bahwa terdapat aliran gen antara populasi Asia dan Aborigin Australia, namun tidak terdapat bukti adanya percampuran dengan populasi Eropa (Rasmussen et al. 2011).

Penelitian Curnoe (2009) lebih mendukung teori asal usul manusia modern Out of Africa bahwa manusia modern Australia berasal dari manusia modern Afrika yang paling awal bermigrasi ke daerah Asia Timur/Asia Tenggara sekitar <100.000 tahun yang lalu. Hal ini berdasarkan bukti perkembangan dan fungsi morfologi kranial manusia robust yang menghuni Australia pada masa

Pleistosen/awal Holosen. Studi ini berbeda dari teori multiregional evolution model (Stringer 2002). Teori itu menekankan peran kontinuitas genetik yang terjadi dari waktu ke waktu di berbagai daerah dan adanya aliran gen antara populasi yang hidup pada masa yang sama. Karena itu, manusia modern tidak hanya berasal dari Afrika (seperti penjelasan teori Out of Africa), melainkan juga berasal dari Asia dan Eropa.

Asal Usul Ras Papua

Sejak zaman prasejarah terdapat beberapa kelompok imigran yang datang ke berbagai daerah di dataran New Guinea, kemudian menghuni daerah New Guinea dan tinggal terpisah satu dari yang lain. Karena itulah karakter morfologi fisik orang Papua saat ini beraneka ragam (Koentjaraningrat 2007). Verneau (1881) dan Lawes (1882) menjelaskan bahwa orang Papua berasal dari ras campuran. Pernyataan ini berdasarkan beberapa perbedaan pada 12 tengkorak yang ditemukan di daerah pedalaman New Guinea, Amberbaken (Manokwari), Rawak, Boni, dan Kep. Toud, dari tengkorak dari ras Negrito yang dijumpai di daerah Kepulauan Filipina, Kepulauan Sunda, Semenanjung Malaka, dan Kepulauan Andaman. Tengkorak dari ras intermediet ini sedikit lebih memanjang, dengan indeks kepala rata-rata menurun hingga 60,15; sedangkan indeks wajahnya meningkat hingga 67,17, dan maxillary prognathism lebih runcing daripada ras Negrito. Dalam beberapa hal, Negrito-Papua juga membentuk transisi antara ras Negrito asli dengan ras Tasmania.

Nama Papua diberikan oleh orang Melayu yang mengacu pada ras Negrito Papua. Sebutan itu ditujukan kepada suatu kelompok orang dengan ciri rambut menyemak (keriting). Ras ini banyak dijumpai di keseluruhan Melanesia dan sebagian Australia. Tengkorak yang dipilih sebagai tipikal ras Papua berasal dari Port Dorei (sekarang Doreri, Manokwari) yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut: kepala berbentuk dolichochephalus. Indeks cephalic menurun hingga 71,03 bahkan hingga 70,32 pada tengkorak laki-laki. Diameter vertikal melebihi diameter transversal sehingga kepala bercirikan hypsistenocephalus (atau kepala lebih panjang daripada lebar). Bentuk kepala ras ini memiliki indeks horizontal 71,55 dan indeks vertikal 105,51 dengan kapasitas kranial sekitar 1,350 cm3.

Bentuk kepala dicirikan panjang, sempit, dan tinggi. Dahi sempit menyebabkan tulang pipi sangat menonjol. Secara keseluruhan, wajah berbentuk panjang/tinggi dan sempit, tulang hidung agak panjang dan sedikit melengkung. Prognathisme ras ini sangat tajam. Sudut fasial bervariasi antara 73o dan 76o. Perempuan Papua umumnya kurang dolichocephalus dan hypsistenocephalus daripada prianya (Verneau 1881, Morris 1900).

Papua murni atau Papua campuran ditemukan hidup di Ternate, Seram Timor, dan Malaysia. Tipe murni terdapat di New Britain dan Yanikoro di New Hebrides, tetapi di bagian lain dari Melanesia terjadi percampuran dengan Negrito-Papua atau tipe Polinesia. Jejak Negrito Papua campuran dijumpai di Kep. Toud (Selat Torres), namun sebagian besar penduduk dari pulau-pulau tersebut dan daerah New Guinea adalah Papua asli (Verneau 1881).

Lawes (1882) telah melihat adanya bukti variasi yang besar pada fisiognomi wajah dan bentuk tengkorak kepala orang Papua, yang didukung oleh pernyataan Prof Giglioli dari Florence. Ia mengatakan bahwa telah melihat sebagian besar koleksi tengkorak yang dibuat oleh Signor D‟Albertis dalam perjalanannya menyusuri sungai Fly (Merauke, Papua) dan Ia mengatakan adanya keragaman yang tinggi dalam bentuk cranium dari beberapa penduduk asli pedalaman. Dengan demikian, hanya satu kemungkinan penjelasan tentang hal tersebut, yaitu telah terjadi percampuran antarras di daerah tersebut. Salah satu indikasinya adalah perbedaan warna kulit yang sangat nyata. Ke arah Barat dijumpai penduduk asli dengan warna kulit hitam, sedangkan dari Teluk Redscar ke arah timur, yaitu ras yang tinggal di daerah pantai, memiliki warna kulit cokelat terang. Penduduk di daerah pegunungan dan daerah pedalaman memiliki warna kulit di antara keduanya. Ia kemudian menyimpulkan bahwa orang-orang di daerah pegunungan dan pedalaman merupakan penduduk asli Papua, sedangkan penduduk yang mendiami daerah pantai dengan warna kulit cokelat dan hitam kemungkinan adalah pendatang (Lawes 1882).

Suku Arfak

Masyarakat Arfak adalah penduduk asli daerah pedalaman dataran tinggi daerah Manokwari, Provinsi Papua Barat. Kata Arfak berasal dari Bahasa Biak

Numfor dan juga digunakan oleh orang Biak pantai untuk menyebut penduduk asli di pedalaman Pulau Biak (Craven & de Fretes 1987). Mereka terdiri atas empat subsuku, yaitu Hattam, Sougb, Moile, dan Meyah, yang dikenal dengan

istilah „Suku Besar Arfak”. Hattam merupakan kelompok suku yang dominan di

Pegunungan Arfak (Sumule 1994; Laksono et al. 2001).

Secara geografi, asal suku keempat subsuku itu berbeda-beda. Craven & de Fretes (1987) membagi Suku Arfak menjadi tiga subsuku, yaitu Hattam, Meyah, dan Sougb. Kemudian subsuku Hattam terbagi lagi menjadi tiga kelompok (rumpun), yaitu Moile di sebelah utara dan daerah pantai; Tinam di daerah hulu sungai Ingamou dan sisi timur sungai Ransiki sampai sejauh Sower di sebelah selatannya; dan Urwam sebuah kelompok di daerah pantai sebelah utara Oransbari. Rumpun ini terbagi lagi ke dalam marga yang berbeda-beda.

Suku Sougb umumnya dikenal orang luar sebagai Suku Manikion. Kata Manikion berasal dari bahasa Biak. Daerah kekuasaan suku ini terletak di sebelah barat daerah suku rumpun Tinam. Suku Meyah berlokasi di sebelah barat daerah rumpun Moile dan tanah sukunya membentang jauh sampai ke pedalaman kepala burung. Oleh orang Hattam mereka disebut orang Arfak asli (Craven & de Fretes 1987).

Identitas subsuku awalnya dibedakan menurut lokasi pemukiman, bahasa dan marga, namun saat ini keempat subsuku tersebut mulai sulit untuk dibedakan. Karena itu, bahasa yang digunakan sebagai sarana komunikasi antarsuku adalah bahasa campuran sehingga umumnya setiap orang menguasai lebih dari satu dialek. Secara keseluruhan, kehidupan Suku Arfak masih jauh tertinggal dengan fasilitas air bersih, listrik, transportasi, dan sarana kesehatan yang terbatas. Di samping itu, tempat tinggal sebagian besar Suku Arfak adalah semi-permanen.

Wajah Suku Arfak

Berdasarkan penelusuran literatur, hanya Verneau (1881) yang secara ilmiah mendeskripsikan bentuk kraniofasial orang Arfak. Secara umum, bentuk kepalanya adalah dolicochephalus, namun bentuk kepala wanita Arfak kurang panjang bila dibandingkan dengan laki-laki Arfak. Dahinya sempit menyebabkan tulang pipi sangat menonjol, wajah berbentuk panjang dan sempit, tulang hidung

agak panjang dan sedikit melengkung, prognathisme sangat tajam. Untuk memperjelas dan mengupdate bentuk wajah Suku Arfak yang telah terdeskripsi secara visual, maka penelitian ini menggunakan metode yang relatif baru berdasarkan koordinat titik anatomi wajah, yaitu morfometrika geometris.

Morfometrika geometris merupakan suatu metode statistik yang berkembang sekitar tahun 1990. Pada tahun sebelumnya, yaitu sekitar tahun 1960 dan 1970, perangkat statistika multivariat digunakan sebagai alat dalam menggambarkan pola variasi bentuk dan kovariatnya di dalam maupun antarkelompok. Pendekatan ini dikenal dengan istilah morfometrika tradisional atau morfometrika multivariat. Mulanya, morfometrika diaplikasikan untuk menggambarkan secara kuantitatif suatu organisme. Biasanya pengukuran jarak linear, sudut, rasio, dan area yang homolog yang digunakan dalam analisis multivariat. Oleh karena itu, pengukuran ini menggambarkan ukuran suatu organisme tanpa mempertimbangkan bentuk. Melalui pendekatan ini, kovariasi dalam pengukuran morfologi dapat dikuantifikasi dan pola variasi di dalam dan di antara kelompok dapat dinilai. Sayangnya, pendekatan ini tidak mampu menggambarkan secara grafis perbedaan antara bentuk-bentuk yang ada, akan tetapi memiliki keunggulan karena mampu memetakan data individu ke ruang karakter hiper-dimensional. Analisis statistika yang termasuk dalam metode ini meliputi Analisis Komponen Utama (AKU), analisis faktor, Canonical Variat Analysis (CVA), dan analisis fungsi diskriminan (Adams et al. 2004).

Pada akhir tahun 1980 dan awal tahun 1990 terjadi perubahan dalam menganalisis data kuantitatif struktur morfologi suatu organisme. Pendekatan baru ini, yang membawa paradigma baru dalam morfometrika, dikenal dengan istilah morfometrika geometris atau analisis bentuk geometri. Pada metode ini, kerangka analisis koleksi data bergeser dari pengukuran skalar menjadi pembangkitan koordinat Kartesius (x, y, dan z untuk 3 dimensi) dari titik-titik anatomis suatu bentuk biologis. Dengan jumlah titik anatomis yang optimum pada suatu bentuk, data koordinat akan mewakili bentuk tersebut secara baik. Metode ini disebut morfometrika geometris (Rohlf & Marcus 1993; Richtsmeier et al. 2002).

Pada 20 tahun terakhir, penelitian dalam bidang ini banyak dipelopori oleh Bookstein dan Kendall. Bookstein (1989; 1991) menyumbangkan hasil

pemikirannya tentang analisis bentuk geometri, terutama aplikasinya dalam bidang biologi. Dia memperkenalkan serangkaian teknik analisis statistik dalam menganalisis variasi bentuk. Kendall (1989) mereview kembali teori tentang bentuk dan perkembangannya yang diperkenalkan olehnya pada tahun 1977. Penelitian lain yang berkaitan dengan pengembangan metode dan aplikasinya juga banyak disumbangkan oleh Rohlf (2000); Slice (2001); Richtsmeier et al. (2002); Rohlf (2003) dan Von Cramon-Taubadel et al. (2007). Selain itu, Dryden & Mardia (1998) memberikan ulasan tentang bentuk dari sudut pandang ilmu statistik.

Beberapa metode dikembangkan untuk digunakan pada morfometrika geometris, yaitu perangkat superimposisi dan deformasi. Metode superimposisi mengeliminasi variasi tak sebentuk di dalam konfigurasi titik-titik anatomis dengan menumpukkan bentuk-bentuk yang ada pada sentroid umumnya menurut beberapa kriteria optimasi. Setiap koordinat kemudian diputar dengan kriteria tertentu untuk meminimalisasi variasi bentuk antara mereka. Metode ini disebut Generalized Procrustes Analysis (GPA) yang dahulu disebut Generalized Least Square (GLS). Formula ini dapat digunakan untuk menghitung bentuk rata-rata dari suatu kelompok biologis. Bentuk rata-rata ini kemudian dapat digunakan sebagai bentuk tipe kelompok tersebut, atau dapat digunakan sebagai bentuk referensi saat analisis deformasi. Beberapa metode superimposisi yang telah dikembangkan, masing-masing menggunakan protokol dan kriteria optimasi yang berbeda. Two-point registration (koordinat bentuk Bookstein) merupakan metode superimposisi sederhana yang meletakkan dasar bagi pengembangan teori bentuk Bookstein pada akhir tahun 1980 (Rohlf & Marcus 1993; Dryden & Mardia 1998; Zeldich et al. 2004)

Setelah metode superimposisi, perbedaan bentuk dapat digambarkan sebagai perbedaan koordinat titik-titik anatomi di antara objek. Perbedaan ini dapat juga digunakan sebagai data dalam menganalisis variasi bentuk dengan analisis perbandingan multivariat. Formula thin-plate spline (TPS) mampu memetakan deformasi dari suatu bentuk objek (biasanya bentuk referensi) ke bentuk lainnya dengan menggunakan pergerakan titik-titik anatomis. Proses ini akan membangkitkan grid yang menggambarkan pemetaan titik-titik anatomis homolog

dari dua bentuk yang ada (Adams et al. 2004). Analisis deformasi bermula ketika Thompson pada tahun 1917 mengembangkan metode untuk menghasilkan grid deformasi, dimana suatu grid kotak beraturan diletakkan pada suatu bentuk. Kemudian bentuk tersebut dideformasikan ke bentuk selanjutnya secara halus. Perubahan bentuk grid menggambarkan perubahan bentuk yang ada. Thompson menggambarkan grid tersebut dengan tangan sehingga sangat subjektif. Namun Bookstein (1991) memberikan formula statistik yang memunginkan grid deformasi digambarkan secara objektif, yaitu Thin-Plate Spline.

Grid deformasi yang dihasilkan dari metode TPS dapat ditransformasi melalui analisis pelekukan relatif (relative warp) (Rohlf & Marcus 1993). Parameter hasil transformasi tersebut dapat digunakan sebagai variabel dalam statistik multivariat analisis komponen utama (Principal Component Analysis, PCA). Analisis relative warp sebenarnya berkaitan dengan analisis PCA. Metode ini berguna dalam mengeksplorasi variasi di dalam sampel, dengan cara mereduksi total variasi menjadi dimensi independen dengan jumlah yang lebih kecil. Umumnya, beberapa komponen pertama (relative warp) merangkum sebagian besar variasi dari suatu sampel.

Titik anatomi landmark memiliki peran penting dalam morfometrika geometris, terutama dalam analisis bentuk. Landmark merupakan lokus-lokus yang memiliki pengertian yang sama dengan koodinat kartesius. Landmark menyatakan homologi sesungguhnya (yang berkaitan dengan biologi) dari suatu bentuk ke bentuk lain. Ini berarti titik anatomi landmark tidak hanya berhubungan dengan lokasinya sendiri tapi juga berhubungan dengan lokasi dari setiap bentuk yang lain dan rata-rata dari keseluruhan bentuk. Terdapat beberapa kriteria dalam menentukan landmark sehingga semua informasi ciri biologi yang diamati terwakili. Idealnya landmark merupakan titik anatomi yang homolog, posisi tipologinya tidak berubah dengan landmark yang lain, menyediakan informasi ciri morfologi yang cukup, dapat diulang, dan dipercaya. (Adams et al. 2004; Zeldich et al. 2004). Dryden & Mardia (1998) menentukan 3 tipe landmark, yaitu (1) titik yang menghubungkan jaringan atau tulang, (2) titik yang didefenisikan berdasarkan local properties, dan (3) titik terluar. Terdapat tipe lain titik anatomi

yaitu semi-landmark. Pada tipe ini, sebuah titik ditempatkan di dalam sebuah bentuk kurva.

Tahap-tahap Pertumbuhan Manusia

Pertumbuhan dan perkembangan terjadi secara simultan, akan tetapi proses biologi keduanya berlangsung secara berbeda. Pertumbuhan merupakan peningkatan besar tubuh secara kuantitatif dalam jumlah dan massa, sedangkan perkembangan didefinisikan sebagai perubahan organik secara kualitatif dan kuantitatif dari bentuk yang belum terdiferensiasi atau belum matang ke bentuk yang matang, terorganisasi, dan terspesialisasi. Pertumbuhan manusia sesudah kelahiran (pascanatal) terbagi menjadi 5 tahap yang berbeda, yaitu fase bayi, anak-anak, yuwana, remaja, dan dewasa. Pertumbuhan dan perkembangan di masa anak, yuwana, dan remaja merupakan proses dinamis yang ditandai oleh perubahan fisik, perkembangan seksual, dan perubahan fisiologi yang berkaitan (Marshall 1978; Bogin 1999).

Fase bayi merupakan fase ketika individu bergantung pada makanan dari ibunya dalam bentuk air susu. Setelah masa sapih (12 bulan hingga 36 bulan), individu memasuki masa anak-anak di mana penyiapan makanannya masih bergantung pada bantuan orang lain karena sistem pencernaanya belum matang. Ketika geraham pertamanya tumbuh, pada usia 6-7 tahun, ia memasuki masa yuwana (Bogin 1999) yang merupakan tahap seseorang mulai independen.

Periode Pertumbuhan Anak-anak

Fase anak dicirikan oleh pola pertumbuhan, perilaku makan, perkembangan motorik, dan kematangan kognitif yang spesifik. (Robison 1968; Malina et al. 2004). Dua kejadian penting yang berkaitan dengan perkembangan fisik pada masa anak adalah munculnya gigi permanen yang pertama dan penyelesaian pertumbuhan berat otak (Bogin 1999). Saat awal fase anak terjadi penurunan laju pertumbuhan yang drastis. Di lain pihak, kemampuan lokomosi berkembang dan matang. Selain itu, perkembangan tinggi badan anak laki-laki lebih cepat dibandingkan anak perempuan, dan struktur skeletal menjadi lebih padat. Akhir masa anak-anak ditandai oleh laju pertumbuhan yang kecil. Perkembangan otot

sangat cepat, terutama pertumbuhan otot yang berukuran besar lebih cepat dibandingkan otot yang mengontrol koordinasi. Sistem respirasi dan jantung menjadi lebih teregulasi dan berkembang. Pada pertengahan masa anak-anak perkembangan pertumbuhan fisik, kematangan, dan perkembangan perilaku relatif tetap (Robison 1968; Malina et al. 2004).

Pertumbuhan anak merupakan indikator terbaik untuk memonitor status gizi dan kesehatan suatu populasi. Indeks antropometri yang umumnya digunakan secara internasional untuk menilai pertumbuhan dan status gizi, serta kondisi kesehatan pada anak-anak adalah berat terhadap tinggi (weight-for-height), tinggi terhadap umur (height-for-age), dan berat terhadap umur (weight for age) (de Onis & Habicht 1996; de Onis & Blossner 2003)

Periode Pertumbuhan Yuwana

Periode yuwana didefinisikan sebagai masa prapubertas dan anak tidak lagi bergantung sepenuhnya pada orang lain untuk bertahan hidup. Pada anak perempuan, akhir masa yuwana diperkirakan sekitar usia 10 tahun, yaitu dua tahun sebelum akhir masa yuwana pada anak laki-laki. Perbedaan ini merefleksikan anak perempuan memiliki masa remaja yang lebih awal. Masa ini ditandai oleh laju pertumbuhan yang menurun namun dalam waktu yang relatif singkat. Laju pertumbuhan yang lambat terlihat pada tinggi dan berat badan, jaringan, organ, dan sistem tubuh. Pertumbuhan pada fase yuwana dapat diprediksi karena stabil dan seimbang (Bogin 1999).

Periode Pertumbuhan Remaja

Masa remaja merupakan suatu periode transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa. Pada masa ini seorang anak mengalami beberapa perubahan unik yang

Dokumen terkait