TENTANG KETERKAITAN ANTARA MODAL SOSIAL
DAN PEMBANGUNAN EKONOMI WILAYAH
Studi Kasus di Empat Kabupaten di Provinsi Bali
NYOMAN UTARI VIPRIYANTI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Surat Pernyataan
Mengenai Disertasi dan Sumber Informasi
Dengan ini saya menyatakan bahwa Disertasi Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan Pembangunan Ekonomi Wilayah: Studi Kasus di Empat Kabupaten di Provinsi Bali adalah merupakan karya saya sendiri dan belum diajukan kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Disertasi ini.
Bogor, Mei 2007
ABSTRACT
UTARI VIPRIYANTI, NYOMAN. Social Economic Study on the Interplay between Social Capital and Regional Economic Development: Case Study at four regencies of Bali Province (ISANG GONARSYAH as Chairman, ERNAN RUSTIADI and BAMBANG JUANDA as Members of the Advisory Committee).
The increasing appreciation of the value of social capital at micro, meso and macro levels leaves a number of unanswered questions as to its importance on a specific region in determining household incomes and regional economic development. The basic premise of this research is that social capital is a productive factor, which gives benefits to individual who has relationship with other individuals. Social capital determinants include trust, norm and network. The aim of this research is to analyze the level of social capital and its interplay with regional economic development in Bali Province. This research uses: (1) confirmatory factor analysis to identify components of social capital, (2) two stage least square analysis to solve the endogeneity problems which arise from a simultaneous equation between social capital and welfare, and (3) game analysis to determine dominant strategy for revitalizing social capital.
The research shows that: (1) there is a significant difference between social capital in developed and underdeveloped regions in Bali Province. Trust contributes significantly to build social capital either at developed region or modern organization. Norm gives the biggest contribution in building social capital at underdeveloped region. On the other side, networking is an important component to enhance social capital in traditional organization, (2) Level of social capital and of income tend to affect each other. Income gives significant contribution in building social capital either at micro or macro levels. Social capital also gives a significant contribution to the household incomes, regional economic development, economic growth and total factor productivity in the area understudy. Nevertheless, there is no significant contribution to poverty alleviation and economic growth rate, (3) Cooperative is the best strategy to revitalize social capital at macro level in the area understudy. However, cooperative strategy is not a costless strategy.
ABSTRAK
UTARI VIPRIYANTI, NYOMAN. Studi Sosial Ekonomi tentangKeterkaitan antara Modal Sosial dan Pembangunan Ekonomi Wilayah: Studi Kasus di Empat Kabupaten di Provinsi Bali. (ISANG GONARSYAH sebagai Ketua, ERNAN RUSTIADI dan BAMBANG JUANDA sebagai Anggota Komisi Pembimbing).
Sejak akhir abad ke 20 telah terjadi perkembangan pesat dalam pemikiran dan penelitian modal sosial. Bagaimanapun, perkembangan tersebut tetap saja meninggalkan sejumlah pertanyaan yang berkaitan dengan peran modal sosial dalam kesejahteraan rumah tangga dan pembangunan wilayah. Premis dasar penelitian ini bahwa modal sosial adalah faktor produktif yang memberikan manfaat bagi setiap individu yang mampu membangun hubungan dengan individu lain. Tujuan penelitian ini adalah: (1) mengkaji komponen dominan modal sosial di Bali, (2) mengidentifikasi dan menganalisis peran modal sosial dengan pembangunan dan kesejahteraan, (3) menganalisis prospek kebijakan pemerintah dalam rangka menguatkan modal sosial masyarakat.
Daerah penelitian ditentukan secara purposive berdasarkan kinerja perekonomian kabupaten/kota di Bali dan responden dipilih secara random. Komponen dominan modal sosial dianalisis menggunakan structural equation model (SEM) khususnya confirmatory factor analysis sedangkan keterkaitan antar modal sosial dan pembangunan ekonomi wilayah dianalisis menggunakan model regresi dengan metode pendugaan two stage least square. Strategi kebijakan dalam penguatan modal sosial ditentukan melalui game analysis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Modal sosial di wilayah belum berkembang lebih rendah daripada di wilayah maju. Rasa percaya merupakan satu-satunya komponen dominan yang memberi kontribusi nyata terhadap modal sosial di wilayah maju dan organisasi modern di Bali. Komponen dominan modal sosial di wilayah belum berkembang adalah norma sedangkan komponen dominan modal sosial dalam organisasi tradisional adalah jaringan kerja; (2) Modal sosial memiliki keterkaitan yang nyata dengan tingkat kesejahteraan rumah tangga dan pembangunan ekonomi wilayah namun tidak memiliki keterkaitan yang nyata dengan kemiskinan dan laju pertumbuhan ekonomi wilayah. Modal sosial menyambung (bridging social capital) memberi kontribusi negatif terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah sebaliknya memberi pengaruh positif terhadap total faktor produktifitas; (3) Bekerjasama merupakan strategi yang harus dipilih oleh rumah tangga, pemerintah kabupaten dan pemerintah provinsi untuk membangun modal sosial di tingkat makro walaupun strategi tersebut berarti semua pihak harus bersedia menanggung biaya sosial.
@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi
TENTANG KETERKAITAN ANTARA MODAL SOSIAL
DAN PEMBANGUNAN EKONOMI WILAYAH
Studi Kasus di Empat Kabupaten di Provinsi Bali
NYOMAN UTARI VIPRIYANTI
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Sosial dan Pembangunan Ekonomi Wilayah: Studi Kasus di Empat Kabupaten di Provinsi Bali
Nama : Nyoman Utari Vipriyanti
NRP : P063020031
Program Studi : Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
Menyetujui Komisi Pembimbing
Prof. Ir. Isang Gonarsyah, Ph.D Ketua
Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr Anggota
Dr. Ir. H. Bambang Juanda, MS Anggota
Mengetahui,
Ketua Program Studi
Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
Prof. Ir. Isang Gonarsyah, Ph.D
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputra, M.S
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas anugrah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan disertasi yang membahas mengenai modal sosial dengan judul ”STUDI SOSIAL EKONOMI TENTANG KETERKAITAN ANTARA MODAL SOSIAL DAN PEMBANGUNAN EKONOMI WILAYAH: Studi Kasus di Empat Kabupaten di Provinsi Bali”
Modal sosial merupakan faktor komplemen dari sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya buatan manusia dalam pembangunan ekonomi wilayah. Sebagai faktor yang melekat pada interaksi sosial individu ataupun kelompok yang dibangun dari komponen saling percaya, norma, kepercayaan, kelembagaan dan jaringan kerja, modal sosial memiliki peran penting dalam upaya peningkatan kesejahteraan rumah tangga dan pertumbuhan maupun pembangunan wilayah.
Hingga saat ini, perhatian yang dicurahkan untuk membahas peran modal sosial di Indonesia masih sangat kurang padahal seringkali modal sosial merupakan satu-satunya aset yang dimiliki oleh masyarakat miskin di perdesaan-perdesaan negara berkembang. Penelitian ini mencoba mengidentifikasi dan menganalisis modal sosial serta peranannya dalam peningkatan kesejahteraan rumah tangga pada khususnya dan pembangunan wilayah pada umumnya.
Universitas Indonesia) dan Dr. Agus Pakpahan, APU (Deputi Menteri Negara BUMN Bidang Agroindustri, Kehutanan, Kertas, Percetakan dan Penerbitan) memberikan masukan, kritik dan saran pada saat ujian terbuka. Oleh karenanya, penulis sampaikan terima kasih atas kesediaan beliau membagi ilmu dan pengetahuan kepada penulis. Selain itu, penulis juga menyampaikan terimakasih atas pengayaan ide dan dorongan yang sangat berarti yang penulis peroleh saat berdiskusi dengan Bapak Dr. Ir. Joyo Winoto, MSc, Ibu Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, MS, Bapak Dr. Ir. Akhmad Fauzi, MSc, Bapak Dr. Ir. Sunsun Saefulhakim, M.Agr, dan Bapak Dr. Ir. Bayu Krisna Murthi, MS.
Dukungan moril dan bantuan materiil yang tidak pernah hentinya penulis peroleh dari ayahanda I Made Sukarwa dan Bapak Putu Legawa serta Ibunda Rukmini Giri dan Ibu Luh Sumitha, Kakanda Anak Agung Gede Dharmayasa, Mbak Putu Udiyani, Bli Made Udayana, Mbak Yvonne, Adinda Iwan, dan Cik Umiarti. Tidak kalah besarnya dorongan dari anak-anak tercinta Sukma, Uthi dan Mang Tyas serta tujuh keponakan yang tersayang. Terima kasih yang tidak terkatakan kepada Bli Ketut Jayadi dan Bibi Ade atas perhatian dan bimbingan yang tulus kepada anak-anak yang tidak pernah akan bisa terbayarkan.
pendidikan ini.
Penulis menyadari bahwa keterbatasan pemahaman yang penulis miliki membuat disertasi ini jauh dari kesempurnaannya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang dapat menyempurnakan tulisan ini sangat diharapkan. Atas perhatian semua pihak, penulis ucapkan terima kasih.
Bogor, Mei 2007
Penulis dilahirkan di Bandung, Jawa Barat pada tanggal 28 November 1964, sebagai anak ketiga dari empat bersaudara. Ayah bernama Drs. I Made Sukarwa, Apt. dan Ibu Ni Wayan Rukmini Giri.
Setelah menamatkan pendidikan Menengah Atas (SMA) di SMAN I Denpasar, kemudian penulis melanjutkan pendidikan sarjana di Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB) tahun 1983. Tahun 1997 menyelesaikan program magister (S2) pada program studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, IPB. Selanjutnya tahun 2002 melanjutkan program doktor (S3) di program studi dan perguruan tinggi yang sama yaitu Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, IPB melalui program beasiswa pendidikan pascasarjana (BPPS) dari Dirjen Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional.
Teks Halaman
Halaman Pernyataan ... i
Abstract ... ii
Abstrak ... iii
Halaman Hak Cipta ... iv
Halaman Judul ... v
Lembar Pengesahan ... vi
PRAKATA………... vii
RIWAYAT HIDUP ... x
DAFTAR ISI...………... xi
DAFTAR TABEL.……… xiv
DAFTAR GAMBAR……… xvi
PENDAHULUAN ……….. 1
Latar Belakang ………..…... 1
Perumusan Masalah ………... 4
Tujuan Penelitian ………... 12
Manfaat Penelitian ……….. 12
Definisi Modal Sosial yang Digunakan ... 13
Batasan Penelitian... 14
Struktur Penyajian Disertasi ... 15
TINJAUAN TEORITIS: MODAL SOSIAL DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI WILAYAH ... 16
Perkembangan Definisi Modal Sosial ... 19
Sumber dan Dimensi Modal Sosial ... 22
Rasa Percaya (Trust)... 22
Norma (Share Value) ... 23
Jaringan Kerja (Network)... 24
Pengukuran Modal Sosial ... 26
Isu-Isu dalam Penelitian Modal Sosial... 29
Modal Sosial dan Pertumbuhan Ekonomi Wilayah ... 29
Modal Sosial dan Kesejahteraan Rumah Tangga ... 34
Modal Sosial dan Pembangunan Ekonomi Wilayah ... 37
METODOLOGI PENELITIAN ... 42
Kerangka Pemikiran ... 42
Hipotesis... 49
Metode Penentuan Daerah Penelitian ... 51
Metode Penentuan Responden ... 51
Metode Pengumpulan dan Pengukuran Data ... 53
Metode Analisis Data ... 58
Pendekatan Pemodelan Persamaan Struktural (Structural
Equation Modelling) ... 61
Analisis Keterkaitan Modal Sosial dan Kesejahteraan: Pendekatan di Tingkat Mikro dan Makro ... 64
Analisis Keterkaitan antara Modal Sosial dan Kesejahteraan Rumah Tangga ... 64
Analisis Keterkaitan Modal Sosial dan Pertumbuhan, Kemiskinan, Pembangunan Ekonomi Wilayah dan Total Factor Productivity... 66
Analisis Strategi Revitalisasi Modal Sosial: Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten dan Masyarakat... 70
KINERJA PEMBANGUNAN SOSIAL EKONOMI DI PROVINSI BALI ... 75 Karakteristik Sosial ... 78
Karakteristik Ekonomi ... 85
Karakteristik Kesejahteraan ... 87
Karakteristik Spesifik Wilayah Penelitian ... 88
Kabupaten Jembrana ... 88.
Kabupaten Badung ... 90
Kabupaten Gianyar ... 92
Kabupaten Karangasem ... 94
Wilayah Belum Berkembang... 96
Wilayah Maju ... 97
KARAKTERISTIK MODAL SOSIAL INDIVIDU DI EMPAT KABUPATEN WILAYAH PENELITIAN DI BALI: Rasa Percaya (Trust), Jaringan Kerja (Network) dan Norma (Norm)... 99
Struktur Sosial dalam Pembentukan Modal Sosial di Bali ... 101
Modal Sosial di Empat Wilayah Penelitian di Bali... 104
Rasa Percaya (Trust), Jaringan kerja (Network) dan Norma (Norm) Individu di Perkotaan dan Perdesaan ... 104 Rasa Percaya (Trust), Jaringan kerja (Network) dan Norma (Norm) Individu di Wilayah Belum Berkembang dan Wilayah Maju ... 111 Simpulan Akhir Bab ... 120
IDENTIFIKASI FAKTOR DOMINAN MODAL SOSIAL DI EMPAT KABUPATEN DI BALI: Pendekatan Pemodelan Persamaan Struktural (Structural Equation Modeling) ... 122
Komponen Modal Sosial di Tingkat Mikro: Modal sosial Individu di Wilayah Belum Berkembang dan Maju... 123
Modal Sosial Individu di Wilayah Belum Berkembang ... 124
Modal Sosial dalam Subak ... 129
Modal Sosial dalam Organisasi Kepariwisataan ... 133
Modal Sosial dalam Banjar/Desa Pakraman ... 135
Simpulan Akhir Bab ... 137
ANALISIS PERAN MODAL SOSIAL DAN KETERKAITANNYA DENGAN INDIKATOR KESEJAHTERAAN: Analisis di Tingkat Mikro dan Makro ………... 138
Struktur Perekonomian Bali ... 140
Pendapatan, Pemerataan Pendapatan dan Kemiskinan di Bali.... 143
Indeks Pembangunan dan Indeks Kemiskinan Manusia di Bali... 145
Analisis Modal Sosial di Tingkat Mikro di Empat Kabupaten... 149
Analisis Modal Sosial di Tingkat Makro ... 151
Modal Sosial dan Kemiskinan ... 153
Modal Sosial dan Pertumbuhan Ekonomi Wilayah ... 154
Modal Sosial dan Pembangunan Wilayah ... 158
Simpulan Akhir Bab ... 161
STRATEGI REVITALISASI MODAL SOSIAL DI EMPAT KABUPATEN DI BALI…………... 163 Modal sosial: Dasar Penentuan Strategi ... 163
Strategi Membangun Modal Sosial: Bekerjasama (cooperative) atau Tidak Bekerjasama (non-cooperative) ……... 166 Simpulan Akhir Bab ... 175
PENUTUP ... 176
Simpulan ... 176
Saran dan Implikasinya terhadap Pembangunan Nasional... 177
DAFTAR PUSTAKA... 179
Teks Halaman
1. Pertumbuhan Ekonomi Bali dan Indonesia Tahun 1997-2002 ... 5
2. Kinerja Perekonomian Bali Berdasarkan Kabupaten/Kota Tahun 1999, 2002 dan 2004 ... 8
3. Aspek Struktural dan Kognitif Modal Sosial ... 27
4. Peneliti, Definisi dan Sumber Modal Sosial ... 31
5. Penelitian Modal Sosial Terdahulu dan Variabel yang Digunakan... 40
6. Ganjaran (Payoff) bagi Pelaku dalam Permainan Dilema Tahanan ... 45
7. Ganjaran bagi Pelaku Berdasarkan Norma Altruism, Resiprokal dan Selfish... 46 8. Definisi Variabel Modal Sosial di Tingkat Mikro serta Pertanyaan dalam Kuisioner ... 54 9. Definisi Variabel Modal Sosial di Tingkat Meso serta Pertanyaan dalam Kuisioner ... 55 10. Variabel Laten dan Indikator (Peubah Manifes) Modal Sosial ... 57
11. Nilai Maksimum dan Minimum Indikator Komponen IPM ... 70
12. Payoff Pemerintah Kabupaten dan Masyarakat Berdasarkan Alokasi Bantuan Dana Sosial untuk Masing-Masing Desa Adat di Bali, Tahun 2005 ... 73
13. Karakteristik Ekonomi Wilayah Bali, 2004 ... 86
14. Karakteristik Wilayah Penelitian di Kabupaten Jembrana, 2005... 89
15. Karakteristik Wilayah Penelitian di Kabupaten Badung, 2005 ... 91
16. Karakteristik Wilayah Penelitian di Kabupaten Gianyar, 2005 ... 93
17. Karakteristik Wilayah Penelitian di Kabupaten Karangasem, 2005... 94
18. Independent Sample Test antara Sarana Informasi dan Komunikasi di Wilayah Berkembang dan Wilayah Maju, 2005 ... 98 19. Keanggotaan Masyarakat dalam Berbagai Organisasi di Bali, 2005... 107 20. Uji Beda Rataan Indikator Modal Sosial Individu di Perdesaan dan
Berkembang dan Wilayah Maju di Bali, 2005 ... 22. Hasil Analisis Beda Rataan (Uji Mann-Whitney) Rasa Percaya di Bali,
Tahun 2005 ... 114
23. Variabel Laten dan Signifikansi Masing-masing Indikatator terhadap Variabel Laten Modal Sosial di Wilayah Belum Berkembang, 2005 ...
125
24. Variabel Laten dan Signifikansi Masing-masing Indikatator terhadap
Variabel Laten Modal Sosial di Wilayah Maju, 2005 ... 126
25. Variabel Laten dan Signifikansi Masing-masing Indikatator terhadap Variabel Laten Modal Sosial dalam Komunitas Subak di Bali, 2005... 132
26. Variabel Laten dan Signifikansi Masing-masing Indikatator terhadap Variabel Laten Modal Sosial dalam Komunitas Pariwisata di Bali, 2005... 134
27. Variabel Laten dan Signifikansi Masing-masing Indikatator terhadap Variabel Laten Modal Sosial dalam Komunitas Banjar/Desa Pakraman di Bali , 2005... 136
28. Struktur Perekonomian Bali Tahun 2004 ... 142
29. Indikator Keberhasilan Pembangunan di Bali, 2004 ... 146
30. Tingkat Partisipasi Murni di Provinsi Bali, 2004 ... 146
31. Komponen Indeks Pembangunan Manusia di Bali 1996 -2002 ... 148
32. Hasil Analisis Keterkaitan antara Berbagai Variabel Modal Sosial dan Pendapatan Rumah Tangga ... 150 33. Karakteristik Sosial Demografi Wilayah Bali, 2004 ... 152
Teks Halaman 1. Pemetaan Wilayah Kabupaten/Kota di Bali berdasarkan
Keterkaitan Indikator Pertumbuhan (PAD), Pembangunan (IPM)
dan Modal Sosial, 2004 ... 6
2. Alur Masalah Penelitian ... 10
3. Evolusi Pemikiran Pembangunan dalam Akumulasi Kapital... 17
4. Kerangka Pemikiran Pengukuran Modal Sosial ... 26
5. Bentuk dan Ruang Lingkup Modal Sosial ... 28
6. Keterkaitan antara Modal Sosial Masyarakat dan Pemerintah ... 29
7. Peran Modal Sosial dalam Menekan Perilaku Oportunistik ... 45
8. Kerangka Pemikiran Analisis Modal Sosial ... 50
9. Kerangka Pemilihan Sampel (Sampling frame) ... 52
10. Alur Pemikiran dan Proses Penelitian Modal Sosial di Bali ... 60
11. Model Persamaan Struktural Modal Sosial ... 63
12. Interaksi antar Stake Holder dalam pembangunan Modal Sosial .... 72
13. a. Kontribusi PAD dan Persentase Perdesaan/Kota dengan Mata Pencaharian Pertanian, Tahun 2004 ... b. Banyaknya Perkotaan dan Jumlah Kemiskinan di Bali, Tahun 2004 ... 77 14. Jumlah Desa Dinas dan Desa Pakraman di Bali, Tahun 2004 ... 80
15. Jumlah Subak per 1000 Ha Lahan Sawah dan Produktivitasnya di Kabupaten/Kota di Bali, Tahun 2004 ... 81 16. Jumlah Organisasi Sosial dan Desa Pakraman per 1000 Penduduk di Bali, Tahun 2004 ... 82 17. Persentase Pengeluaran untuk Jasa Publik dan Jumlah KK Miskin per Kabupaten di Bali, Tahun 2004 ... 83 18. Jumlah Konflik dan Organisasi Sosial di Bali Tahun 2004... 84 19. Jumlah Desa Pakraman dan Jumlah Konflik di Bali, Tahun
20. Gini ratio Kabupaten Penelitian di Bali, Tahun 2005 ... 87 21. Pemetaan Wilayah Berdasarkan Persentase Masyarakat Perdesaan
dan Perkotaan yang Memiliki Rasa Percaya Terhadap Orang Lain di Bali, Tahun 2005 ...
106
22. Pemetaan Wilayah Berdasarkan Kepadatan Jaringan Kerja Profesi dan Jaringan Kerja Sosial Tahun 2005 ...
108
23. Pemetaan Wilayah Berdasarkan Berbagai Indikator Norma di Bali, Tahun 2005 ...
109
24. Korelasi Bantuan Fisik dan Jumlah Free Rider di Bali, Tahun 2005 ...
109
25. Pemetaan Wilayah Berdasarkan Sikap Kehati-hatian dan Rasa Percaya di Bali, Tahun 2005 ...
112
26. Keterkaitan antara Rasa Percaya Individu terhadap Individu lain Sesama Etnis maupun Beda Etnis di Bali, Tahun 2005 ...
114
27. Dinamika Rasa Percaya dan Lokasi Tempat Tinggal, Tahun 2005.. 115 28. Dinamika Rasa Percaya Berdasarkan Tingkat Kehati-hatian
Masyarakat di Bali, 2005 ...
116
29. Kesediaan Membantu Orang Lain berdasarkan Level Kehati-hatian Masyarakat di Bali, 2005 ...
117
30. Pemetaan Wilayah Berdasarkan Tingkat Partisipasi Masyarakat dan Kepadatan jaringan kerja di Bali, Tahun 2005 ...
118
31. Keterkaitan Rasa percaya dan Partisipasi Masyarakat di Bali, Tahun 2005 ...
119
32. Klasifikasi Organisasi di Bali berdasarkan Proses Pembentukan dan Sistem Pengelolaannya, Tahun 2005 ...
128
33. Perkembangan Laju Pertumbuhan dan Kontribusi Sektoral terhadap PDRB Bali Tahun 1996 – 2004 ...
141
34. Tingkat pengangguran dan Jumlah penduduk Miskin, Tahun 1998-2004 ...
144
35. Distribusi Pendapatan Penduduk (Gini Ratio) dan Jumlah Keluarga Miskin di Kabupaten Jembrana, Badung, Gianyar dan Karangasem Tahun 2004 ...
Modal Sosial Tahun 2005... 37. Payoff Pemkab Badung dan Masyarakat dalam Membangun
Modal Sosial Tahun 2005...
171 38. Payoff Pemkab Gianyar dan Masyarakat dalam Membangun
Modal Sosial Tahun 2005...
172
39. Payoff Pemkab Karangasem dan Masyarakat dalam Membangun Modal Sosial Tahun 2005...
172
40. Payoff Pemkab di Wilayah Maju dan Pemerintah Provinsi Bali dalam Membangun Modal Sosial Tahun 2005...
173
41. Payoff Pemkab di wilayah belum berkembang dan Pemprov Bali dalam Membangun Modal Sosial Tahun 2005...
174
42. Perbedaan antara Struktur Sosial yang bersifat Non-closure dan Struktur Sosial yang bersifat Closure...
DAFTAR LAMPIRAN
Teks Halaman 1. Kuisioner Peran Modal Sosial dalam Pembangunan ...
192 2. Independent Sample Test dari Komponen Modal Sosial di
Wilayah Belum Berkembang dan Wilayah Maju di Provinsi Bali,
Tahun 2005 ………. 205
3. Nilai T2 Hotteling Indikator Modal Sosial di Bali, Tahun 2005 ... 207 4. Korelasi antara Rasa Percaya, Norma dan Organisasi di Perdesaan
dan Perkotaan ... 208
5. Hasil Analisis Structural Equation Modal Sosial di Bali …………. 209 6. Hasil Analisis SEM Individu di Wilayah Belum Berkembang … 211 7. Hasil Analisis SEM Modal Sosial di Wilayah Maju ………
213 8. Hasil Analisis SEM Kelompok Pariwisata ……… 215 9. Hasil Analisis SEM Kelompok Banjar ……… 217 10. Hasil Analisis SEM Kelompok Subak ………. 219 11. Hasil Analisis TSLS (Two Stage Least Squares) Modal Sosial
terhadap Pembangunan (IPM : PAD) ………..
221 12. Hasil Analisis TSLS Modal Sosial terhadap Pembangunan
(IPM : Yjt) ……… 224
13. Hasil Analisis 2 SLS Modal Sosial terhadap IKM ……… 226 14. Hasil Analisis 2 SLS Modal Sosial terhadap Laju Pertumbuhan ... 228 15. Analisis Keterkaitan Pertumbuhan Ekonomi Wilayah, Modal
Sosial dan Total Faktor Produktivitas ... 232 16. Keterkaitan Pertumbuhan Ekonomi Wilayah, Modal Sosial dan
Total Faktor Produktivitas (Model Log PDRB) ... 233 17. Keterkaitan Pertumbuhan Ekonomi Wilayah, Modal Sosial dan
Total Faktor Produktivitas (Model Ln PDRB) ... 234 18. Peran Modal Sosial dalam Kesejahteraan Rumah Tangga
Menggunakan 2-stage least square (TSLS) ... 235 19. Peran Modal Sosial dalam Kesejahteraan Rumah Tangga
Sosial ………. 21. Hasil Analisis Ordinary Least Square untuk Variabel Rasa
Percaya ………
236
22. Indikator Modal Sosial Individu di Bali, 2005 ... 237
23. Kriteria Indeks Modal Sosial di Bali, 2005... 239
24. Daftar Peubah (Variabel) yang Digunakan ... 240
Latar Belakang
Krisis moneter yang berjangkit pada akhir Juli 1997 merupakan tonggak pemicu perubahan mendasar dalam kondisi ekonomi, sosial dan politik di Indonesia. Berbagai kebijakan yang bersifat salah arah dan salah urus pada rezim Orde Baru berimplikasi pada keadaan krisis yang berkepanjangan. Kebijakan yang lebih mengutamakan pembangunan fisik tanpa diiringi oleh pembangunan sosial yang memadai menyebabkan adanya kerusakan moral pada bangsa Indonesia yang ditunjukkan oleh tingginya tingkat korupsi, rendahnya komitmen dalam menjaga warisan budaya dan ketidakmampuan mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan serta penguatan kelompok-kelompok tertentu yang memiliki akses terhadap kekuasaan.
Salah satu indikasi kegagalan pada rezim tersebut adalah ketidakmampuannya menekan kesenjangan ekonomi seperti kesenjangan relatif, kesenjangan pendapatan perkotaan-perdesaan dan kesenjangan pendapatan regional. Rezim Orde Baru memang mampu mengatasi kemiskinan absolut yang ditunjukkan oleh menurunnya jumlah masyarakat miskin, tetapi kesenjangan distribusi pendapatan tetap konstan, tidak mengalami perubahan (Data World Bank dalam Thee, 2004). Beberapa wilayah di Indonesia yang kaya akan bawaan sumber daya alam (SDA) memiliki indikator pertumbuhan ekonomi yang tinggi, seperti Provinsi Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur dan Papua, ternyata memiliki indeks kemiskinan manusia (IKM) yang tinggi dan indeks pembangunan manusia yang rendah (BPS, Bappenas dan UNDP, 2001). Sebaliknya beberapa wilayah yang miskin SDA memiliki indikator pembangunan yang lebih baik (IKM rendah dan IPM tinggi).
setingkat dibawah DKI Jakarta, tahun 2002). Beberapa kabupaten dalam provinsi-provinsi tersebut berkembang sangat pesat sedangkan lainnya mengalami pertumbuhan yang lambat. Bahkan di dalam kabupaten yang sama, kawasan perkotaan berkembang dengan laju yang relatif jauh lebih pesat dibandingkan dengan kawasan perdesaan. Ketidakseimbangan keterkaitan perekonomian kawasan perkotaan dan perdesaan tersebut, cenderung lebih menguntungkan kawasan perkotaan (Gonarsyah, 1977). Kesenjangan-kesenjangan tersebut akan menumbuhkan rasa ketidakadilan yang kemudian mengurangi tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah, terutama ketidakpercayaan pada kemauan baik (goodwill) dan kemampuan pemerintah dalam mengelola sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan menciptakan pembangunan yang merata. Inilah konsekwensi dari pembangunan yang mengabaikan aspek keruangan fisik dan sosial. Kegagalan-kegagalan ini kemudian mendorong adanya tuntutan untuk meruntuhkan rezim Orde Baru pada tahun 1998.
Runtuhnya rezim Orde Baru ternyata tidak serta merta membangun masyarakat madani yang diinginkan melainkan terbangunnya keadaan ketidakpastian yang mendorong memburuknya perekonomian (Budiman, 2006) Rasa saling mencurigai antar kelompok, kuatnya kepentingan-kepentingan kelompok tertentu serta pemerintahan yang lemah menyebabkan terjadinya kekacauan sehingga menekan proses masuknya investasi asing yang diperlukan sebagai upaya menyehatkan perekonomian bangsa Indonesia. Dharmawan (2002) menyatakan bahwa melemahnya kepercayaan tersebut menimbulkan adanya disintegrasi sosial. Keadaan tersebut menjadi salah satu faktor yang menyebabkan Indonesia membutuhkan waktu yang lebih panjang untuk mampu membangun kembali perekonomiannya menuju keadaan awal, dibandingkan dengan negara lain di Asia seperti Cina, Korea Selatan dan Malaysia (Rao, 2001).
lebih lemah dibandingkan Italia Utara. Sejalan dengan pemikiran tersebut, Fukuyama (1995) dan Rao (2001) juga menyatakan bahwa perbedaan rasa percaya dapat menjadi faktor penyebab adanya perbedaan hasil-hasil pembangunan ekonomi antar wilayah karena rasa percaya melandasi terbangunnya pembangunan ekonomi yang sehat dengan menekan biaya transaksi. Modal sosial, bersama-sama dengan modal lainnya, mampu meningkatkan produktivitas, efisiensi dan keberlanjutan proses pembangunan. Tanpa modal sosial, aktivitas ekonomi akan mengalami kemunduran dan sumber daya alam akan menghadapi ancaman kerusakan. Sebaliknya, tanpa pertumbuhan ekonomi, modal sosial akan terganggu (Mitchel, 1999).
Masyarakat di wilayah-wilayah yang miskin sumber daya alam, seringkali hanya memiliki sumber daya sosial sebagai satu-satunya aset penting dalam pembangunan. Terabaikannya pembangunan sumber daya sosial menyebabkan lemahnya stok modal sosial sehingga menekan produktivitas kerja dan mendorong terbangunnya jaringan kerja yang tidak efisien, lemahnya norma serta hilangnya nilai-nilai bersama yang akhirnya merugikan semua pihak yang berinteraksi dalam proses pembangunan.
Penelitian modal sosial di berbagai negara menunjukkan bahwa modal sosial dapat dibangun pada tingkat mikro, meso dan makro. Di Indonesia, Grootaert (2001), Miller et al. (2003) dan Brata (2004), menunjukkan bahwa modal sosial menjadi salah satu alternatif untuk mengatasi masalah kemiskinan, kesehatan, pendidikan dan ketersediaan modal di tingkat rumah tangga. Bahkan menurut Grootaert (2001), kontribusi modal sosial dalam peningkatan pendapatan rumah tangga di Jambi, Jawa Tengah dan Nusa Tenggara Timur sebanding dengan kontribusi modal manusia.
melainkan pula harus mempertimbangkan kinerja sosial budaya pemerintah serta masyarakat.
Perumusan Masalah
Perkembangan pemikiran mengenai modal (capital) yang dikemukakan oleh Bourdieu (1986) memberi arah penting dalam kajian pertumbuhan ekonomi wilayah. Modal tidak saja diartikan sebagai sumber daya yang bersifat tangible dan material tetapi juga termasuk sumber daya yang bersifat intangible dan non-material. Salah satu konsep modal yang memperoleh perhatian dari para ahli ekonomi, ahli politik, ahli sosiologi, dan ahli antropologi adalah modal sosial.
Modal sosial memberi kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi melalui perluasan kerjasama dan kepercayaan yang tumbuh antar pelaku dalam perusahaan, pasar dan negara. Kerjasama dan kepercayaan tersebut memfasilitasi aliran informasi yang simetris sehingga biaya transaksi dapat ditiadakan. Selain itu, jaringan kerjasama dapat menjadi jaminan sosial yang meningkatkan akses individu dan kelompok terhadap sumber daya. Modal sosial juga mencakup norma dan nilai-nilai positif yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat seperti rasa kesetiakawanan, sanksi-sanksi yang menekan tumbuhnya sikap oportunistik dan perilaku sebagai pembonceng (free rider).
Menurut Mubyarto (2001), Bali merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang mampu mencapai tingkat keberhasilan yang tinggi dalam pelaksanaan program-program pembangunan dan pertumbuhan ekonominya dengan cara menjaga dan memelihara institusi lokal tradisional. Kearifan lokal yang terpelihara dalam organisasi tradisional seperti subak dan desa (banjar) pakraman, mendorong masyarakat Bali untuk selalu berpartisipasi dalam mensukseskan program-program pembangunan. Keberhasilan program pembangunan yang dikaitkan dengan kehidupan sosial, agama dan budaya masyarakat seringkali dinyatakan sebagai hasil dari adanya rasa saling percaya dan norma yang terbangun dalam kelompok tersebut.
pertumbuhan ekonomi Indonesia, kecuali tahun 2000 saat adanya perubahan kebijakan sentralisasi menjadi desentralisasi (otonomi daerah) serta tahun 2002 dan 2004, saat terjadi shock dalam perekonomian akibat adanya peledakan bom (Tabel 1).
Tabel 1 Pertumbuhan Ekonomi Bali dan Indonesia Tahun 1997 – 2004 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2004
Bali 5,81 -4,04 0,67 3,05 3,39 3,15 4.62
Indonesia 4,70 -13,68 0,23 4,77 3,32 3,66 5.13 Sumber : PDRB Provinsi Bali, 2005 dan Data Statistik Indonesia, 2005
Tingginya pertumbuhan ekonomi di Bali tidak berarti terlepas dari masalah kesenjangan pembangunan antar kabupaten maupun antar wilayah dalam satu kabupaten. Pertumbuhan ekonomi di Bali Selatan terutama di tiga wilayah kabupaten/kota, yaitu Kabupaten Badung, Kota Denpasar dan Kabupaten Gianyar relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kabupaten lainnya. Ketiga wilayah ini merupakan kelompok wilayah dengan pendapatan asli daerah (PAD), pendapatan per-kapita, Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB), dan laju PDRB tertinggi. Kabupaten Badung, melalui program pengembangan kepariwisataan di Badung Selatan, mampu menggali PAD dan tingkat pertumbuhan (PDRB) sepuluh hingga empat puluh kali lebih tinggi dibandingkan dengan kabupaten lainnya. Namun indikator tingkat pembangunan menunjukkan bahwa IPM di Kabupaten Badung relatif sama dengan Kabupaten Tabanan, yang memiliki PAD sepersepuluh dari Kabupaten Badung (Gambar 1a).
Denpasar
0 2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000
PDRB per kapita (2004)
Jembrana Tabanan Badung Gianyar Klungkung Bangli Karang Asem Buleleng Denpasar
(1a)
0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000 4500
Kepadatan Penduduk sebagai Indikator Modal Sosial (Collier) (2004)
Ind
Jembrana Tabanan Badung Gianyar Klungkung Bangli Karang Asem Buleleng Denpasar
Sumber: Data bali Membangun, 2005
(1b)
Gambar 1 Pemetaan Wilayah Kabupaten/Kota di Bali berdasarkan Indikator Pertumbuhan (PDRB perkapita), Indikator
Pembangunan (IPM) dan Indikator Modal Sosial, Tahun 2004 Secara terinci, keadaan kesenjangan tersebut dapat dinyatakan sebagai berikut (Tabel 2):
1. Kabupaten dengan dominasi sektor pertanian memiliki pertumbuhan PDRB, PAD dan pendapatan per-kapita yang lebih rendah.
manusia di bawah rataan Provinsi Bali dan indeks kemiskinan manusia di atas rataan Provinsi Bali.
3. Tingginya indikator pertumbuhan ekonomi seperti PDRB per-kapita, PDRB dan PAD tidak selalu disertai dengan tingginya indikator pembangunan manusia. Hanya Kota Denpasar yang sekaligus memiliki indikator pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yang tinggi.
4. Berdasarkan indikator modal sosial yang digunakan Collier (1998), Tingginya kepadatan penduduk per km2 di Kabupaten Badung, Gianyar dan Kota Denpasar seharusnya mampu membangun interaksi yang semakin intensif sehingga dapat menekan jumlah konflik. Namun hal sebaliknya terjadi di Bali (Gambar 1b).
Pembangunan ekonomi Bali yang merupakan salah satu success story di Indonesia, bahkan di dunia, ternyata tidak luput dari masalah kesenjangan antar daerah (Sukardika, 2004). Pemerintah Provinsi Bali dalam laporan Profile Bali 20031 mengakui bahwa terjadi penyebaran pelaksanaan pembangunan yang kurang merata sehingga menimbulkan kesenjangan pertumbuhan antar daerah, antar perkotaan dan perdesaan, maupun antar golongan yang akhirnya menjadi pemicu gejolak sosial.
Kebijakan desentralisasi (Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang kemudian disempurnakan menjadi Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004) diharapkan dapat meningkatkan efektivitas pengelolaan berbagai sumber daya yang ada di suatu wilayah, termasuk sumber daya sosial, untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat di wilayah tersebut. Kebijakan desentralisasi tersebut diharapkan berdampak pula pada semakin rendahnya tingkat kesenjangan dan menguatnya modal sosial masyarakat di suatu wilayah karena adanya interaksi sosial yang intensif dan efisien antara pemerintah kabupaten dan masyarakat. Peningkatan efektivitas interaksi tersebut akan membangun sistem kontrol yang baik dan meningkatkan rasa percaya masyarakat terhadap pemerintah (Gambar 2).
1
Tabel 2 Kinerja Perekonomian Bali Berdasarkan Kabupaten/Kota Tahun 1999, 2002 dan 2004
Jembrana Tabanan Badung Gianyar Klungkung Bangli Karang Asem Buleleng Denpasar Bali
Indikator Pertumbuhan:
Rataan Pertumbuhan (2000-2001) 3.42 2.90 4.27 3.61 3.44 2.85 1.78 3.63 3.55 3.22
Rataan Pertumbuhan (2002-2004) 1.29 0.23 -0.89 0.10 0.36 0.28 0.33 0.29 0.69 0.50
Perubahan Kontribusi sektor primer thp PDRB, 1999-2002 (%)
-2.66 -4.06 0.03 3.94 -1.22 -4.63 -2.73 0.83 0.33 1.33
Perubahan Kontribusi sektor tersier thp PDRB, 1999-2002 (%)
3.20 0.04 -3.42 -1.77 -0.36 1.38 0.66 -2.02 0.56 -0.36
PDRB per-kapita 000 (1999) 4388.51 3584.15 9136.46 4589.43 4501.97 3434.17 3842.22 3232.96 5554.54 4718.68
PDRB per-kapita 000 (2004) 6056.07 5019.78 12592.26 6763.53 6709.84 4910.15 3959.81 4917.03 8964.74 7146.75
PAD (2004) (Jutaan Rp.) 7949.23 33970.63 114056.50 43958.66 10276.42 6400.11 23228.14 19697.82 85840.43 474389.5
Indikator Pembangunan:
Perubahan IPM (1999-2004) 5.67 2.8 2.71 3.8 1.71 2.92 2.62 0.9 3.08 2.34
Perubahan IKM (2002- 2004) 3.3 1.6 -6.6 -2.59 -1.49 1.4 -2.57 -2.09 -5.95 -0.18
Persentase Penduduk (2004) 7.49 11.96 12.14 12.47 4.86 6.21 11.74 18.03 15.15 100
Luas Lahan (Ha) 9231 35772 20229 29979 5541 5926 10101 20987 5721 144250
Produktivitas Lahan (kw/ha) 53.2 51.48 55.81 60.91 46.62 53.74 57.26 53.04 57.16 54.84
Indikator Modal Sosial:
Pertumbuhan Penduduk (2003-2004) 0.36 0.47 2.10 1.31 0.08 0.68 0.20 0.05 3.03 1.03
Kepadatan Penduduk/Km2 (2004) 299.44 482.55 982.03 1147.24 522.90 403.56 473.28 446.85 4014.02 600.67
Jumlah Desa Pakraman (2004) 63 339 119 266 92 155 185 166 35 3945
Jmlh Konflik Pidana/perdata (2004) 101/35 81/101 240/203 131/82 52/29 53/23 86/31 349/140 340/300 1433/944
Ternyata dalam realitanya, kebijakan desentralisasi cenderung menimbulkan peningkatan biaya transaksi, peningkatan kompetisi antar daerah tanpa diiringi oleh peningkatan jaringan kerjasama (Mubyarto, 2001). Hal ini juga terjadi di Bali.
Pasca penetapan kebijakan desentralisasi muncul berbagai konflik antar kelompok dalam satu wilayah maupun antar wilayah. Munculnya konflik-konflik tersebut mengarah pada aktivitas anarkis seperti perusakan sarana fasilitas umum maupun tempat peribadatan yang pada akhirnya mengganggu keamanan dan kenyamanan. Ditinjau dari sudut pandang modal sosial, hal tersebut merupakan salah satu indikator melemahnya rasa percaya dan norma-norma bersama yang selama ini ditaati oleh masyarakat. Arogansi kelompok dan melemahnya nilai-nilai kebersamaan tersebut akhirnya akan melemahkan modal sosial padahal menurut Gonarsyah (1977), penguatan modal sosial merupakan salah satu upaya menekan kesenjangan karena memungkinkan wilayah-wilayah terkait untuk bekerjasama dan sekaligus bersaing melalui pola kemitraan.
Gambar 2 Alur Masalah Penelitian
Macro & Micro National
Macro Global
Social capitallHarnessingTrust
Macro Global
Social capitalHarnessingTrust
Dinamika kehidupan masyarakat perlu menjadi pertimbangan dalam merumuskan kebijakan pembangunan ekonomi wilayah. Pertimbangan tersebut tidak saja dilakukan dalam membangun sumber daya manusia tetapi juga sumber daya sosial. Mantra (1993), menyatakan perlunya revitalisasi sumber daya sosial melalui proses reinterpretasi, reintegrasi dan adaptasi untuk dapat menyerap dinamika kehidupan yang disebabkan oleh adanya kemajuan ekonomi. Namun pernyataan Mantra yang berkaitan dengan revitalisasi pilar kebudayaan melalui Subak, Banjar adat (Banjar Pakraman) dan Sekaa tersebut masih berupa wacana yang belum diimplementasikan.
Menurut Palguna dalam Supartha (1999), fenomena yang terjadi dalam pembangunan Bali saat ini menimbulkan kegelisahan bagi sekelompok besar penduduk. Bali berpeluang berubah, tidak lagi menjadi last paradise melainkan lost paradise, apabila kebersamaan yang dibangun bersifat artifisial yang menumbuhkan dikotomi antara hubungan sekala dan niskala2. Kelembagaan tradisional yang berperan sebagai pranata sosial dan pranata spiritual berubah menjadi pranata ekonomi dan politik yang melegalkan segala aktivitas untuk mencapai keinginan (interest) pribadi maupun golongan. Desa pakraman merupakan salah satu contoh kelembagaan tradisional yang mengalami pergeseran peran. Beberapa desa pakraman berubah menjadi teror bagi masyarakatnya padahal peran yang harus dilakukannya adalah sebagai lembaga yang religius-edukatif. Pembangunan di Bali akhirnya tidak hanya memberi dampak positif berupa peningkatan pendapatan, namun juga dampak negatif seperti perubahan kelembagaan tradisional, penurunan kualitas lingkungan maupun kualitas kehidupan sosial.
Perubahan nilai-nilai kearifan lokal yang menyertai proses pembangunan merupakan biaya sosial yang harus ditanggung masyarakat. Bagaimanapun, penurunan kualitas kehidupan sosial yang mempengaruhi solidaritas dan rasa kebersamaan masyarakat perlu memperoleh perhatian serius.
Berdasarkan berbagai fakta yang telah dipaparkan maka terdapat tiga permasalahan berkaitan dengan pembangunan dan modal sosial di Provinsi Bali, yaitu:
2
1. Bagaimana sesungguhnya kondisi modal sosial di Bali saat ini?
2. Benarkah modal sosial berkontribusi terhadap kesejahteraan dan pembangunan di Bali? Kalau ya, bagaimana modal sosial berkontribusi terhadap kesejahteraan rumah tangga, tingkat pembangunan, kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi wilayah di Bali?
3. Apakah kebijakan pembangunan cenderung melemahkan modal sosial yang telah ada? Kalau ya, upaya apakah yang harus dilakukan untuk memperbaikinya?
Tujuan Penelitian
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk melakukan identifikasi dan analisis mengenai modal sosial sebagai salah satu faktor produktif untuk memacu tingkat pembangunan wilayah dalam upaya mencapai kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat yang lebih tinggi. Identifikasi dan analisis modal sosial ini dilakukan melalui beberapa tahapan. Secara terinci, penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengkaji komponen dominan modal sosial di Bali.
2. Mengidentifikasi dan menganalisis peran modal sosial terhadap kesejahteraan dan pembangunan.
3. Menganalisis prospek kebijakan pemerintah dalam rangka menguatkan modal sosial masyarakat.
Manfaat Penelitian
Selama ini, ketersediaan data sosial kelembagaan masih sangat terbatas. Oleh karena itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi data dasar bagi penentuan kebijakan dalam merumuskan nilai-nilai sosial masyarakat di Provinsi Bali, menyediakan data-data sosial seperti rasa percaya, jaringan kerja dan norma-norma serta memberi informasi dan kontribusi terhadap pengembangan ilmu terutama ekonomi pembangunan wilayah.
Definisi Pembangunan dan Modal Sosial yang Digunakan
Konsep pembangunan dalam penelitian ini dibatasi pada pembangunan manusia yang terdiri dari empat komponen utama, yaitu: (1) produktivitas (productivity), (2) keadilan (equity), (3) keberlanjutan (sustainability), serta (4) pemberdayaan (empowerment). Pembangunan manusia adalah proses yang memperluas pilihan-pilihan individu. Konsep pembangunan yang digunakan dalam penelitian ini lebih luas dari konsep pertumbuhan ekonomi.
resiprositas dan pertukaran; (3) aturan umum, norma dan sanksi; (4) koneksi, kerjasama dan kelompok (Pretty dan Ward, 2001).
Konsep modal sosial dalam penelitian ini mengarah pada konsep modal sosial yang dikembangkan oleh aliran ekonomi kelembagaan dengan memberikan penekanan khusus pada hubungan kausal antara modal sosial dan kesejahteraan ekonomi masyarakat serta kinerja pembangunan ekonomi wilayah. Modal sosial dinyatakan sebagai modal produktif yang terdiri atas rasa percaya, kemampuan seseorang dalam membangun jaringan kerja serta kepatuhannya terhadap norma yang berlaku dalam kelompok maupun masyarakat di sekitarnya, yang mana modal tersebut memberi keuntungan untuk mengakses modal lainnya serta memfasilitasi kerjasama intra dan antar kelompok masyarakat.
Batasan rasa percaya adalah keyakinan bahwa orang lain tidak akan berlaku maupun berniat buruk pada diri kita; jaringan kerja adalah ikatan formal dan informal yang dimiliki seseorang diproksi dari jumlah keanggotaannya dalam organisasi serta jumlah teman yang berkeluh kesah padanya dan norma adalah nilai-nilai yang bertujuan membangun kegiatan bersama dan menguntungkan bagi semua pihak diproksi dari kemudahan menitipkan anak pada tetangga, memberikan bantuan fisik, uang dan perilaku pembonceng (free rider).
Batasan Penelitian
Penelitian ini membedakan antara modal sosial di wilayah belum berkembang dan wilayah maju. Hal tersebut dilakukan untuk memperoleh gambaran yang lebih rinci, mengingat karakteristik wilayah berpengaruh terhadap pembentukan modal sosial. Wilayah belum berkembang dicirikan oleh rendahnya pencapaian indikator pertumbuhan ekonomi, sebaliknya dengan wilayah maju. Dua kabupaten di Provinsi Bali yang termasuk wilayah belum berkembang yaitu Kabupaten Jembrana dan Kabupaten Karangasem sedangkan dua kabupaten yang mewakili wilayah maju adalah Kabupaten Badung dan Kabupaten Gianyar.
Lisrel 8.73. Penggunaan SEM untuk analisis modal sosial merupakan salah satu faktor kebaruan dari penelitian ini.
Penelitian ini hanya menganalisis keterkaitan modal sosial dengan indikator kesejahteraan pada tingkat individu (mikro) dan wilayah (makro) saja, khususnya keterkaitan indikator modal sosial dengan indikator pendapatan rumah tangga (mikro) dan indikator pembangunan ekonomi wilayah (Indeks Pembangunan Manusia atau IPM, Indeks Kemiskinan Manusia atau IKM, PDRB, Pertumbuhan PDRB dan Total Factor Productivity). Perbedaan tersebut tidak ditujukan untuk membuat dikotomi antara pandangan modal sosial individu (mikro) dan modal sosial masyarakat (meso) melainkan sesuai dengan pendapat Glaeser et al. (2001) yang menyatakan bahwa keputusan untuk melakukan investasi modal sosial dibuat oleh individu bukan komunitas. Analisis mikro dan makro hanya ditujukan untuk mempermudah pengukuran modal sosial berdasarkan unit pengamatan. Premis dasar penelitian ini adalah terdapat hubungan kausal antara modal sosial dan indikator kesejahteraan, pertumbuhan dan pembangunan ekonomi wilayah sehingga alat analisis yang digunakan adalah analisis persamaan simultan (two stage least square atau TSLS).
Struktur Penyajian Disertasi
MODAL SOSIAL DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI WILAYAH
Sejak dua dekade terakhir, terjadi banyak perkembangan dalam ilmu ekonomi politik yang memberikan isyarat pentingnya kelembagaan dalam pembangunan ekonomi yang dikenal dengan New Institutional Economics (NIE). Hal utama yang melatarbelakangi berkembangnya NIE adalah munculnya masalah yang berkaitan dengan aksi kolektif (collective action), biaya transaksi (transaction cost), rasionalitas terbatas (bounded rationality) dalam perilaku manusia, masalah koordinasi, perubahan teknologi dan perilaku pencarian rente (rent-seeking). Dalam NIE, asumsi neo-klasik yang tidak realistik seperti informasi yang sempurna dan simetrik (perfect and symmetric information), ketiadaan biaya transaksi (transaction cost) dan rasionalitas yang tidak terbatas menjadi lebih longgar.
Perkembangan tersebut didukung oleh pemikiran North (1990) yang menyatakan bahwa kelembagaan formal dan informal merupakan hal penting dalam upaya memahami kinerja ekonomi. Akar perdebatan akhir-akhir ini adalah isu pembangunan kelembagaan (institutional development) terkait dengan penadbiran yang baik (good governance) yang mampu menekan biaya transaksi dan menghindari risiko kegagalan komitmen akibat adanya perilaku oportunistik, melalui penguatan rasa saling percaya, jaringan kerja dan norma sebagai determinan modal sosial.
berhubungan dan mengorganisasikan diri mereka untuk menghasilkan pembangunan ekonomi yang lebih tinggi.
Meier dan Stiglitz (2001) menggambarkan evolusi pemikiran ekonomi tersebut seperti Gambar 3. Awalnya, pembangunan ekonomi diartikan hanya sebagai pencapaian tingkat pertumbuhan ekonomi sehingga faktor modal fisik (physical capital) menjadi penentu keberhasilan proses pembangunan tersebut. Sejalan dengan perkembangannya, keberhasilan pembangunan tidak hanya diukur berdasarkan pencapaian indikator ekonomi (pertumbuhan) saja melainkan juga pencapaian indikator non-ekonomi. Hal tersebut juga mendorong terjadinya pergeseran pemikiran terhadap akumulasi modal secara bertahap, yang awalnya hanya menekankan pada akumulasi modal fisik kemudian disertai dengan akumulasi modal manusia, ilmu pengetahuan dan akhirnya modal sosial.
Sumber: Meier dan Stiglitz, 2001
Gambar 3 Evolusi Pemikiran Pembangunan dalam Akumulasi Modal
Menurut Lin (2001) modal sosial dapat meningkatkan efektivitas pembangunan melalui: (1) tersedianya aliran informasi (flow of information) yang semakin simetris sehingga biaya transaksi dapat dihindari; (2) terbangunnya pengaruh yang semakin kuat antar pelaku pembangunan dalam pengambilan keputusan; (3) adanya jaminan sosial (social credentials) untuk memperoleh akses yang lebih baik terhadap berbagai sumber daya, dan (4) terbangunnya rasa saling berbagi antar anggota organisasi sehingga tersedia dukungan emosional dan pengakuan publik.
Perkembangan pemikiran mengenai modal sosial memang tidak terlepas dari kritik, terutama berasal dari para ahli ekonomi klasik (Arrow, 1997; Solow, 2000; Sobel 2002) yang meragukan ketepatan istilah modal dalam menyatakan modal sosial. Modal (capital) dalam pengertian klasik adalah stok dari faktor produksi alam atau buatan manusia yang diharapkan dapat menghasilkan jasa yang produktif (Solow, 2000). Modal seringkali merupakan stok yang berbentuk tangible, solid dan durable. Arrow (1997) menyatakan bahwa ada tiga aspek dari
Physical capital
Human capital
Knowledge capital
modal (capital) yaitu (1) perluasan dalam waktu (extension in time), (2) memerlukan pengorbanan untuk keuntungan di masa yang akan datang (deliberate sacrifice for future benefit) serta (3) dapat dipertentangkan atau alienabilitas. Pada beberapa kasus, aspek (1) memang terpenuhi namun berbeda dengan investasi fisik, modal sosial dalam jumlah kecil tidak cukup bermanfaat jika digunakan dalam proses produksi. Menurut Arrow (1977), aspek (2) tidak dapat dipenuhi karena jaringan kerja sosial dibangun lebih didasarkan pada nilai pengawasan (monitoring) bukan nilai ekonominya. Aspek (3) memang diakui tidak selalu sesuai untuk semua kasus, sebagai contoh kasus human capital saat seseorang meningkatkan pendidikan dan keterampilannya. Berdasarkan kritik-kritik tersebut, Solow dan Arrow meyakini bahwa terdapat analogi yang lemah antara modal fisik dan modal sosial sehingga tidak dapat diperlakukan sama.
Bagaimanapun, Arrow sependapat bahwa oganisasi adalah alat untuk mencapai manfaat dari collective action pada saat terjadinya kegagalan sistem harga. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa jaringan kerja (network) dan pasar bersifat subsitusi. Selain itu, jaringan kerja dan pasar dapat bersifat komplemen dimana jaringan kerja produksi dan pertukaran dari suatu komoditi berperan penting bagi berfungsinya sistem pasar. Jaringan kerja dapat menjadi alat melalui mana pasar dapat dibangun seperti perdagangan jarak jauh di masa yang lalu. Modal sosial memang menjadi faktor penting dalam teori ekonomi dan merupakan suplemen terhadap teori pasar.
Robinson dalam Lawang (2005) menyatakan bahwa ada sembilan karakteristik modal fisik yang digunakan sebagai kriteria apakah modal sosial dapat dikategorikan sebagai modal. Karakteristik tersebut meliputi: (1) kapasitas transformasi; (2) kemampuan mempertahankan diri (durability); (3) fleksibilitas; (4) substitutif; (5) berkurangnya kemampuan melayani (decay, obsolete); (6) keandalan (reliability); (7) multi produktif; (8) peluang (opportunity); (9) alienabilitas.
Perdebatan dan kritik tidak hanya mengenai pemikiran yang mempertimbangkan modal sosial sebagai modal, namun juga dalam penentuan indikator yang tepat untuk mengukur modal sosial serta bagaimana cara membangun modal sosial (Bjørnskov dan Svendsen, 2005; Sabatini, 2005). Putnam (1993) menggunakan ikatan kewarganegaraan, kerapatan membaca koran dan rasa percaya sebagai proksi dari modal sosial, sedangkan Collier (1998) menggunakan indeks rasa percaya sebagai proksi dari modal sosial. Di sisi lain, modal sosial dinyatakan pula sebagai fungsi dari biaya interaksi yang diproksi dari kesamaan bahasa, kepadatan telepon dan kepadatan penduduk.
Perbedaan pandangan dan cara mendefinisikan modal sosial juga berkaitan erat dengan metode yang digunakan untuk menjelaskan modal sosial tersebut. Bagaimanapun, perbedaan cara pandang dan metode analisis dalam penelitian-penelitian modal sosial ternyata tidak saling mempertentangkan peran modal sosial itu sendiri.
Perkembangan Definisi Modal Sosial
Ahli ekonomi, sosiologi dan politik mendefinisikan modal sosial secara berbeda-beda. Secara umum, konsep modal sosial dikembangkan oleh dua aliran utama yaitu sosiolog-anthropologi serta politik dan ekonomi kelembagaan. Gylfason (2002) menyatakan modal sosial adalah infrastruktur sosial dan politik suatu negara untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Oleh karenanya, modal sosial yang lemah akan ditunjukkan oleh tingginya perilaku rent seeking dan korupsi yang mengganggu efisiensi serta menghambat pertumbuhan ekonomi.
sosial dan memiliki karakteristik public good namun setara dengan financial capital, physical capital dan human capital. Adler dan Woo Kwon (1999) memiliki pandangan yang sama dengan menyatakan bahwa modal sosial adalah barang publik (public good), tidak dimiliki oleh orang tertentu tetapi tergantung dari seluruh anggota dalam suatu jaringan kerja. Sifat public good tersebut menyebabkan setiap individu cenderung untuk melalaikan kewajiban dalam memelihara keberlangsungannya dan sebaliknya mempercayakan pada anggota yang lain untuk jaminan pemeliharaannya.
Bank Dunia (1998) menyatakan modal sosial secara spesifik sebagai norma-norma dan hubungan sosial yang melekat dalam struktur sosial masyarakat dan memungkinkan orang-orang untuk mengkoordinasikan kegiatan serta mencapai tujuan yang diinginkan. Sejalan dengan definisi Bank Dunia tersebut, Woolcock dan Narayan (2000) menyatakan bahwa modal sosial merupakan norma dan jaringan kerja yang memungkinkan orang melakukan sesuatu secara bersama-sama. Menurut Woolcock dan Narayan, ada empat perspektif modal sosial dalam pembangunan ekonomi, yaitu: (1) Communitarian View; (2) Network View; (3) Institutional View; dan (4) Synergy View.
Pandangan Communitarian mempersamakan modal sosial dengan organisasi lokal seperti asosiasi, klub atau kelompok masyarakat. Pandangan ini mengukur secara sangat sederhana melalui kepadatan suatu organisasi dalam komunitas tertentu. Modal sosial secara inheren adalah ”barang” sehingga semakin banyak akan lebih baik dan selalu memberikan dampak yang positif terhadap kesejahteraan masyarakat.
Institutional view berpendapat bahwa jaringan kerja komunitas dan masyarakat merupakan hasil dari keadaan politik, hukum dan kelembagaan. Pandangan ini telah menghasilkan sejumlah metodologi dan fakta empiris yang kuat namun hanya untuk kebijakan makro. Terakhir, synergy view, berusaha untuk mengintegrasikan pandangan network dan institutional. Pembangunan yang inclusive akan tercapai bila terdapat forum bersama antara pemerintah, sektor swasta dan masyarakat, yang secara bersama mampu mengidentifikasi dan mencapai tujuan bersama.
Berbeda dengan pandangan Woolcock dan Narayan (2000), Lesser (2000) mendefinisikan modal sosial sebagai kesejahteraan atau keuntungan yang terjadi karena adanya hubungan sosial antar individu. Ada tiga dimensi utama yang mempengaruhi perkembangan dari keuntungan ini, yaitu struktur hubungan, dinamika interpersonal yang terjadi dalam struktur, serta konteks dan bahasa umum yang digunakan oleh individu dalam struktur.
Menurut Collier (1998), modal sosial dapat mengatasi permasalahan oportunistik, kegagalan pasar terutama dalam hal informasi dan permasalahan pembonceng (free rider) sehingga memudahkan aksi kolektif. Ada hubungan yang erat antara modal sosial dan sumber daya manusia. Modal sosial adalah hasil dari hubungan antar individu yang memfasilitasi suatu tindakan dan terbentuk apabila setiap orang dalam kelompok tersebut memberikan kontribusi. Hubungan antara modal sosial dan sumber daya manusia ini memang tidak dapat digambarkan dalam bentuk hubungan yang sederhana. Investasi modal sosial, seperti halnya investasi dalam human capital, tidak memiliki tingkat depresiasi yang diperkirakan (Glaeser, Laibson dan Sacerdote, 2001). Modal sosial, sama dengan ilmu pengetahuan, bersifat intangible, selalu berkembang dan menjadi lebih produktif bila digunakan. Oleh karenanya, modal sosial perlu dipelihara agar tetap produktif. Tanpa curahan waktu, energi atau sumber daya lain pada modal sosial, hubungan antar individu cenderung akan terkikis oleh waktu. Bersama-sama dengan human capital dan physical capital, modal sosial memfasilitasi aktivitas yang produktif.
seperti pemerintah, aturan hukum, hak sipil dan kebebasan politik. Pada tingkat meso dan mikro, modal sosial merujuk pada jaringan kerja dan norma yang membangun interaksi antar individu, rumah tangga dan masyarakat. Interaksi yang membangun modal sosial dapat bersifat horisontal, yang menekankan pada hubungan setara antar anggota (Putnam, 1993), maupun hubungan vertikal yang dicirikan oleh adanya hubungan hierarki dan ketidaksamaan distribusi kekuasaan antar anggota (Coleman, 1988; 1990). Norma yang dibangun dan disepakati bersama akan mendorong individu untuk melakukan investasi pada aktivitas kelompok karena adanya keyakinan bahwa orang lain akan melakukan hal yang sama dan masing-masing individu akan bertanggung jawab terhadap manfaat bersama.
Sumber dan Dimensi Modal Sosial
Pengelompokan sumber modal sosial disesuaikan dengan pendekatan yang digunakan dalam pengukuran modal sosial tersebut. Pantoja (1999) mengelompokkan modal sosial berdasarkan sumber terbentuknya menjadi enam, yaitu: (1) Hubungan kekeluargaan yang terjadi karena kelahiran; (2) Kehidupan berorganisasi yang meliputi semua organisasi horisontal dan vertikal; (3) Jaringan kerja; (4) Masyarakat politik; (5) Aturan formal dan norma yang mengatur kehidupan publik serta (6) Nilai-nilai. Dimensi modal sosial yang terbangun dari berbagai sumber modal sosial tersebut adalah: (1) Rasa percaya, (2) Norma dan (3) Jaringan Kerja.
Rasa Percaya (Trust)
Rasa percaya merupakan alat untuk membangun hubungan yang dapat menekan biaya transaksi, yaitu biaya yang muncul dalam proses pertukaran dan biaya untuk melakukan kontak, kontrak dan kontrol. Rasa saling percaya dapat menekan biaya pemantauan (monitoring) terhadap perilaku orang lain agar orang tersebut berperilaku seperti yang diinginkan. Percaya berarti siap menerima risiko dan ketidakpastian. Casson dan Godley (2000), mendefinisikan rasa percaya sebagai menerima dan mengabaikan kemungkinan bahwa sesuatu akan tidak benar. Rasa percaya memudahkan terjalinnya kerjasama. Semakin tebal rasa saling percaya semakin kuat kerjasama yang terbangun antar individu.
Rasa saling percaya dapat dibangun namun dapat pula hancur. Rasa percaya yang berkelanjutan terbangun dari adanya interaksi personal yang berulang-ulang (personalized trust), pengetahuan terhadap populasi maupun insentif-insentif yang diperoleh (generalized trust) dan tidak dapat dibangun tanpa menunjukkan kebenaran. Sifat rasional manusia yang terbatas (bounded rationality) berpengaruh pada usaha membangun rasa saling percaya tersebut. Oleh karena itu, batas rasionalitas manusia harus diperluas melalui komunikasi dan ketersediaan informasi yang dapat dipercaya. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa rasa percaya secara nyata dan positif berhubungan dengan keberhasilan pencapaian indikator pertumbuhan ekonomi melalui proses produksi yang lebih efisien. Sebaliknya, keberhasilan pemerintah mewujudkan tingkat pembangunan ekonomi yang lebih baik dapat pula memperkuat rasa percaya sosial masyarakat.
Norma (Share Value)
Selama ini, terbentuk anggapan umum bahwa kelompok individu dengan kepentingan bersama (common interest), paling tidak mencakup tujuan ekonomi, akan berusaha mengembangkan tujuan bersama tersebut. Kelompok individu diharapkan lebih mementingkan kepentingan bersama dibandingkan dengan kepentingan individu. Anggapan tersebut mengasumsikan bahwa individu dalam kelompok akan bertindak di luar keinginan pribadinya. Sesungguhnya, individu dalam kelompok akan berusaha untuk mencapai tujuan bersama hanya jika individu tersebut juga memperoleh keuntungan, dengan kata lain, tindakan untuk mencapai tujuan bersama tersebut bukanlah sukarela. Oleh karena itu, diperlukan norma yang berperan mengatur individu dalam suatu kelompok sehingga keuntungan setiap anggota proporsional dengan usahanya dalam kelompok tersebut.
Norma adalah nilai bersama yang mengatur perilaku individu dalam suatu masyarakat atau kelompok. Fukuyama (1999), menyatakan modal sosial sebagai norma informal yang bersifat instan yang dapat mengembangkan kerjasama antar dua atau lebih individu. Norma yang merupakan modal sosial dapat disusun dari
norma resiprositas antar teman. Norma sosial yang menentukan perilaku bersama dalam suatu kelompok individu juga dipahami sebagai prinsip keadilan yang mengarahkan pelaku untuk berperilaku yang tidak mementingkan diri sendiri.
Jaringan Kerja (Network)
melakukan investasi dalam saluran tertentu disebabkan oleh adanya kontribusi saluran tersebut terhadap kesejahteraan ekonomi individu.
Jaringan kerja menekankan pada pentingnya organisasi vertikal dan horisontal antar manusia serta hubungan inter dan intra organisasi tersebut. Granovetter (1973), menyatakan bahwa ikatan kuat antar masyarakat (strong ties) diperlukan untuk memberikan identitas pada keluarga dan masyarakat serta tujuan bersama. Pandangan ini juga menganggap bahwa lemahnya ikatan antar masyarakat (weak ties) yang menghubungkan berbagai organisasi sosial akan mendorong ikatan horisontal yang kuat (strong ties) menjadi dasar untuk mewujudkan keinginan kelompok yang terbatas.
Modal sosial adalah suatu keadaan dimana individu-individu menggunakan keanggotaannya dalam suatu kelompok untuk memperoleh manfaat. Modal sosial tidak dapat dievaluasi tanpa pengetahuan mengenai dimana individu tersebut berada, karena interaksi sosial tergantung dari struktur jaringan kerja dan struktur masyarakatnya. Coleman (1988), berpendapat bahwa kepadatan jaringan kerja sosial akan meningkatkan efisiensi penguatan perilaku kerjasama dalam suatu organisasi. Menurutnya, modal sosial adalah jumlah dari ”relational capital” yang dimiliki beberapa individu dan dibangun berdasarkan norma resiprositas. Hubungan sosial yang terbangun dalam suatu penutupan (closure) struktur sosial, tidak hanya penting untuk membangun norma yang efektif tetapi juga membangun kepercayaan karena penutupan jaringan kerja (network closure) tersebut menghasilkan eksternalitas ekonomi positif melalui proses fasilitasi terhadap aksi bersama (collective action).
antar berbagai pihak seperti lembaga politik, bank, klinik kesehatan, sekolah, pertanian, kepariwisataan dan sebagainya.
Pengukuran Modal Sosial
Sabatini (2005), menyatakan bahwa banyaknya kajian empiris mengenai modal sosial belum mampu mengatasi keberagaman metode pengukuran modal sosial. Mengukur modal sosial di suatu wilayah dapat dilakukan melalui pengukuran determinan sosial kehidupan berkelompok dan hasil (outcome) dari modal sosial itu sendiri. Stone dan Hughes (2002) dari Australian Institute of Family Studies, mengusulkan pengukuran inti modal sosial yang dikaitkan dengan determinan dan hasil (outcome) modal sosial seperti pada Gambar 4.
Gambar 4 Kerangka Pemikiran Pengukuran Modal Sosial Determinan • Status perkawinan • Status hubungan • Tingkat sosial ekonomi • Proporsi lokal network • Pendidikan
•
Partisipasi dalam demokrasiIndikator Proximal adalah indikator yang mengukur hasil modal sosial yang berhubungan langsung dengan komponen inti dari jaringan kerjasama, rasa percaya dan resiprositas seperti penggunaan civic engagement sebagai indikator dari jaringan kerja sosial. Indikator Distal adalah hasil tidak langsung dari modal sosial seperti indeks harapan hidup, status kesehatan, kehamilan remaja, tingkat kriminalitas, tingkat partisipasi dalam pendidikan, tingkat pengangguran dan tenaga kerja, tingkat pendapatan rumah tangga, korupsi, kepercayaan terhadap lembaga negara, kriminalitas dan keamanan serta ikatan politik, pertumbuhan GDP atau pertumbuhan lapangan pekerjaan.
Tabel 3 Aspek Struktural dan Kognitif Modal Sosial
Struktural Kognitif
Sumber dan manifestasi Peran dan aturan
Network dan hubungan interpersonal lannya
Tata cara dan keteladanan
Norma Nilai Sikap Kepercayaan
Domain Organisasi sosial Kebudayaan Masyarakat
Faktor dinamis Keterkaitan horisontal Keterkaitan vertikal
Rasa percaya Solidaritas Kerjasama Kedermawanan
Elemen Umum Harapan yang mengarah pada perilaku bekerjasama yang menghasilkan manfaat bersama
Sumber: Uphoff, 1999 dalam Dasgupta dan Serageldin, 2002
Sumber : Grootaert dan Van Bastelaer (2002)
Gambar 5 Bentuk dan Ruang Lingkup Modal Sosial
Keterkaitan antara modal sosial dan kinerja pemerintahan ditunjukkan pada Gambar 6. Kinerja pemerintahan yang baik dan modal sosial yang kuat, tidak saja mewujudkan kesejahteraan ekonomi namun juga kesejahteraan sosial. Sebaliknya, jika tidak disertai dengan modal sosial yang kuat, akan berpeluang untuk terjadinya konflik-konflik dalam masyarakat yang bersifat laten (Exclution). Apabila kinerja pemerintahan buruk maka konflik akan muncul ke permukaan (Woolcock dan Narayan (2000)). Kuatnya modal sosial namun tidak disertai dengan kinerja pemerintahan yang baik akan mendorong terjadinya coping. Kelompok-kelompok yang memiliki modal sosial kuat mengambil alih fungsi-fungsi formal pemerintahan seperti terjadi di Tanzania. Lemahnya kinerja aparat keamanan mendorong masyarakat membangun sistem keamanan desa. Berdasarkan pemikiran tersebut, pemerintah tidak cukup hanya menekankan pada keberhasilan kinerja ekonomi saja namun harus disertai dengan upaya membangun modal sosial melalui kepemimpinan (leadership) elit masyarakat dan penadbiran baik (good governance) yaitu pemerintahan yang bertanggung jawab kepada masyarakat bukan pada kelompok maupun golongan tertentu.
Struktural Meso Kognitif
Makro
Mikro
Kelembagaan negara, Aturan hukum
Kelembagaan lokal, Network
Governance
Gambar 6 Keterkaitan antara Modal Sosial Masyarakat dan Pemerintah
Isu-Isu dalam Penelitian Modal Sosial Terdahulu Modal sosial dan Pertumbuhan Ekonomi Wilayah
Penelitian mengenai keterkaitan modal sosial dengan pertumbuhan ekonomi wilayah diawali oleh Putnam (1993) yang menurutnya, modal sosial tidak hanya dapat ditemukan pada tingkat mikro, dalam bentuk hubungan personal antar individu, tetapi juga pada tingkat makro. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa perbedaan struktur sosial yang ada di masing-masing wilayah Italia Utara dan Italia Selatan mempengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat. Di Italia Utara terdapat struktur yang horisontal sedangkan di Italia Selatan lebih berbentuk hierarki (vertikal). Modal sosial yang diukur berdasarkan indeks perluasan civic community, keterlibatan warga negara dan efisiensi pemerintahan digunakan untuk menjelaskan mengapa terdapat perbedaan laju dan tingkat pertumbuhan ekonomi antar kedua wilayah tersebut sedangkan perbedaan yang ditimbulkan oleh variabel lainnya diasumsikan tidak terlalu besar. Selanjutnya, Helliwell dan Putnam (2000) mempertegas hasil penelitian sebelumnya dengan menunjukkan bahwa modal sosial memfasilitasi kemampuan pemerintah untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi melalui proses konvergensi yang lebih cepat dan keseimbangan pendapatan yang lebih tinggi. Ukuran modal sosial yang digunakan oleh Putnam di Italia, memang
Social and Economic Wellbeing
Coping Conflict
Exclution (Latent Conflict)
Low Level of Bridging Social Capital
Dysfunctional State
High Level of Bridging Social
Capital Well Functioning
State
hanya menekankan pada karakteristik sosial dari keanggotaan dalam organisasi yang berkembang di masyarakat tersebut.
Knack dan Keefer (1997), meragukan hasil penelitian Putnam (1993) dan menguji kembali menggunakan indikator rasa percaya (trust) dan norma masyarakat (civic norm) sebagai proksi kekuatan organisasi masyarakat di 29 negara. Penelitian yang dilakukan Knack dan Keefer membandingkan hasil penelitian Putnam yang menyatakan bahwa asosiasi memfasilitasi pertumbuhan melalui peningkatan trust, dengan hasil penelitian Olson yang menyatakan bahwa asosiasi menghambat pembangunan melalui rent-seeking. Hasil penelitian Knack dan Keefer tersebut membantah temuan Putnam dengan menyatakan bahwa keanggotaan dalam kelompok yang dijadikan ukuran modal sosial, tidak berkaitan dengan perbaikan kinerja perekonomian.
Di Yunani, Christoforou (2003) menunjukkan bahwa modal sosial memberi kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah. Modal sosial merujuk pada hubungan sosial, yang didasarkan pada norma, jaringan kerjasama dan rasa percaya, mempengaruhi pasar dan pemerintah dengan cara menguatkan collective action antar pelaku dan memperbaiki pertumbuhan serta efisiensi sosial. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa tradisi kewarganegaraan yang rendah menghambat reformasi dan pembangunan di Yunani. Peningkatan tingkat pendidikan dan kesempatan kerja meningkatkan insentif untuk berpartisipasi dalam kelompok sehingga menguatkan stok modal sosial.
Tabel 4 Peneliti, Definisi dan Sumber Modal Sosial
Peneliti Definisi Modal Sosial Sumber Modal sosial
Rasa percaya
(Trust)
Jaringan kerja (Network)
Norma Beliefs Aturan dan Institusi Formal
Portes,
Sensenbrenner (1993)
Kemampuan pelaku untuk mengamankan keuntungan dengan cara menjadi anggota dalam jaringan
kerja sosial atau struktur sosial lainnya.
Modal sosial didefinisikan menurut fungsinya, bukan merupakan satu
sifat tertentu tetapi terdiri atas berbagai sifat yang berbeda.
Closure; ikatan multiple
Putnam (1993) Karakteristik organisasi sosial yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama untuk keuntungan bersama
Networks Efisiensi pemerintah
Ostrom (1994) Modal sosial adalah pengetahuan bersama, pengertian, norma, aturan
dan ekspektasi mengenai pola interaksi dimana kelompok individual membangun aktivitas bersama (Coleman 1998; E. Ostrom
1990, 1992; Putnam, leonardi, dan Nanetti 1993)
Networks Norma Social beliefs Aturan
Knack & Keefer (1997)
Trust Norma