wilujeng
mari membaca
Selasa, 05 Januari 2016
Perjanjian Bangun Guna Serah (Build Operate and Transfer)
A. Tinjauan Umum Build Operate And Transfer (BOT)
1. Pengertian
Istilah Build, Operate and Transfer, berasal dari bahasa Inggris, yang artinya adalah
“Bangun, Operasional dan Serah”. Pengertian tentang perjanjian Bangun Serah Guna (Build
Operate and Transfer) semula belum ditemukan satu pengertianpun yang bersifat baku,
namun sejak Tahun 2006 yaitu dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun
2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah mulai ditemukan pengertian Bangun
Serah Guna (Build Operate and Transfer) dalam peraturan perundang-undangan, yaitu dalam
Pasal 1 angka 13 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang
Milik Negara/Daerah, jo. Pasal 1 angka 14 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun
2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah, Bangun Serah Guna adalah
pemanfaatan barang milik daerah berupa tanah oleh pihak lain dengan cara mendirikan
bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya, dan setelah selesai pembangunannya
diserahkan kepada pemerintah Daerah, kemudian oleh Pemerintah Daerah diserahkan
kembali kepada pihak lain tersebut untuk didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam
jangka waktu tertentu yang disepakati, setelah jangka waktu selesai tanah beserta bangunan
diserahkan kepada Pemerintah Daerah.
Pengertian perjanjian Bangun Serah Guna juga dapat ditemukan dalam Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 22 Tahun 2009 tentang Petunjuk Teknis Tata Cara Kerja Sama
Dalam lampiran Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 22 Tahun 2009 tersebut dijelaskan
tentang Kontrak Bangun Serah Guna yaitu Badan Hukum bertanggung jawab untuk
membangun infrastruktur/fasilitas, termasuk membiayainya dan setelah selesai
pembangunannya lalu infrastruktur/fasilitas tersebut diserahkan penguasaan dan
kepemilikannya kepada Pemerintah Daerah, selanjutnya Pemerintah Daerah menyerahkan
kembali kepada Badan Hukum untuk dikelola selama waktu tertentu untuk pengembalian
modal investasinya serta memperoleh keuntungan yang wajar.
Badan Pembinaan Hukum Nasional, dalam sebuah penelitiannya yang berjudul
“Aspek Hukum Perjanjian Build Operate and Transfer”, mengungkapkan bahwa yang
dimaksuddengan perjanjian Build Operate and Transfer (BOT) adalah suatu perjanjian baru,
dimana pemilik hak eksklusif atau pemilik lahan menyerahkan studi kelayakan, pengadaan
barang dan peralatan, pembangunan serta pengoperasian hasil pembangunannya kepada
investor, dan investor ini dalam jangka waktu tertentu (jangka waktu konsesi) diberi hak
mengoperasikan, memelihara serta mengambil manfaat ekonomi dari bangunan tersebut,
dengan maksud untuk mengganti biaya yang telah dikeluarkan investor dalam membangun
proyek tersebut, kemudian setelah jangka waktu tertentu tersebut selesai, bangunan beserta
fasilitas yang melekat padanya diserahkan kepada pemilik hak eksklusif atau pemilik lahan.
Sedangkan Felix O.Soebagjo dalam penelitiannya yang berjudul “Pengkajian tentang
Aspek Hukum Perjanjian Build Operate and Transfer”, mengemukakan bahwa yang
dimaksud dengan perjanjian BOT adalah suatu sistem pembiayaan (biasanya diterapkan pada
proyek pemerintah) berskala besar yang dalam studi kelayakan, pengadaan barang dan
peralatan, pembiayaan dan pembangunan serta pengoperasiannya, sekaligus juga
penerimaan/pendapatan yang timbul darinya, diserahkan pihak lain dan pihak lain ini dalam
waktu tertentu (jangka waktu konsesi) diberi hak mengoperasikan, memeliharanya serta
proyek yang bersangkutan dan memperoleh keuntungan yang diharapkan.[1]
Pengertian yang diungkapkan Felix O. Soebagjo di atas, jika diperhatikan tampak
sebagai satu pengertian yang belum selesai, karena dalam pengertian tersebut belum terlihat
adanya tindakan penyerahan dari pihak investor terhadap pihak pemilik lahan.
Sedangkan Budi Santoso dalam bukunya yang berjudul “Aspek Hukum Pembiayaan
Proyek Infrastruktur Model BOT (Build Operate Transfer)” mengemukakan bahwa pada
dasarnya BOT adalah salah satu bentuk pembiayaan proyek pembangunan yang mana
kontraktor harus menyediakan sendiri pendanaan untuk proyek tersebut juga kontraktor harus
menanggung pengadaan material, peralatan, jasa lain yang dibutuhkan untuk kelengkapan
proyek, sebagai gantinya kontraktor diberikan hak untuk mengoperasikan dan mengambil
manfaat ekonominya sebagai ganti atas semua biaya yang telah dikeluarkan untuk selama
waktu tertentu.[2]
Dari beberapa pengertian tentang perjanjian BOT sebagaimana telah dipaparkan di
atas, maka dapat ditarik satu pemahaman bahwa di dalam perjanjian BOT, terdapat tiga
tahapantindakan, yaitu tahap pertama berupa tindakan pembangunan proyek yang dilakukan
oleh pihak investor, tahap kedua berupa pengoperasian proyek bangunan yang merupakan
hak dan wewenang investor, serta tahap ketiga berupa tindakan penyerahan proyek bangunan
dari investor kepada pihak pemilik lahan, yang dilakukan pada saat berakhirnya masa konsesi
yang telah disepakati sebelumnya.
Dari berbagai pengertian di atas, juga dapat diketahui bahwa di dalam perjanjian BOT
terdapat beberapa unsur sebagai berikut :
a. Adanya para pihak yang melakukan perjanjian, dalam hal ini adalah pihak investor dan pihak
pemilik lahan;
c.Adanya masa konsesi, di mana dalam masa ini investor diberi hak untuk mengoperasikan
bangunan dan mengambil keuntungan yang diharapkan;
d. Adanya proses penyerahan bangunan beserta fasilitas yang melekat padanya, dari pihak
investor kepada pihak pemilik lahan, pada saat berakhirnya masa konsesi.
2. Segi Hukum Perjanjian Build Operate and Transfer (BOT)
Dalam uraian sebelumnya telah dijelaskan bahwa perjanjian BOT baru mulai
ditemukan pengaturannya dalam peraturan perundang-undangan sejak ditetapkannya
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara/Daerah.
Sebelum keluarnya Peraturan Pemerintah tersebut belum tedapat perundang-undangan
yang secara khusus mengatur tentang praktek pelaksanaan perjanjian BOT. Meskipun
demikian, Pasal 1338 ayat (1) menjelaskan bahwa setiap perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dengan demikian Pasal
1338 tersebut dapat dijadikan dasar hukum dalam penyelenggaraan perjanjian BOT.
Selanjutnya mengenai syarat sahnya perjanjian BOT, dengan mengacu pada Pasal
1320, maka dapat dikatakan bahwa perjanjian BOT sah jika dalam pelaksanaannya
memenuhi empat syarat sebagai berikut:
a. Adanya kata sepakat antara investor dan pihak pemilik lahan;
b. Adanya kecakapan baik pihak investor maupun pihak pemilik lahan
c. Adanya obyek yang jelas, berupa lahan dan proyek bangunan yang disepakati para pihak;
d. Adanya kausa yang halal, dalam artian bahwa tujuan dari perjanjian tidak bertentangan
dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.
Jika keempat syarat tersebut di atas telah dipenuhi oleh para pihak, maka seperti
sebagai undang-undang bagi para pihak.
Pada umumnya perjanjian BOT dibuat dalam bentuk tertulis dan untuk menghindari
adanya sengketa di kemudian hari, perjanjian BOT biasanya dibuat secara otentik di hadapan
pejabat yang berwenang.
3. Konsesi dan Risiko Dalam Kontrak BOT
Dari beberapa pengertian tentang kontrak BOT sebagaimana telah penulis uraikan di
atas, maka perbedaan utama BOT dengan pembiayaan proyek yang lain adalah pada masalah
konsesi. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Budi Santoso bahwa perbedaan utama BOT
dengan pembiayaan proyek yang lain adalah pada masalah konsesi, yaitu konsesi antara
pemilik proyek dengan pelaksana proyek. Kontrak konsesi ini memberikan hak pada
kontraktor untuk membangun dan mengoperasikan proyek serta mengambil keuntungan
dalam jangka waktu tertentu, dan pada akhir masa konsesi yang disepakati proyek
tersebut dikembalikan pada pemerintah.
Secara umum sebuah kontrak konsesi berisi hal-hal antara lain :
a. Pernyataan yang jelas mengenai hak konsesi yang eksklusif, yaitu bahwa pemilik proyek
harus memberikan hak eksklusif di dalam kontrak konsesinya;
b. Lingkup proyek; dijelaskan tentang apa saja yang dibutuhkan oleh pelaksana konsesi, apa
yang boleh dilakukan operator dan tidak boleh, lebih penting lagi adalah berapa lama konsesi
diberikan. Berapa lama waktu yang dibutuhkan operator untuk mengembalikan semua
investasi serta biaya yang telah dikeluarkan, bagaimana prospek supply dana, siapa calon
pengguna/usernya.
c. Komitmen dukungan pemerintah; kebanyakan BOT diadakan antara pemerintah dengan
swasta dan ini akan memerlukan berbagai macam bantuan dari pemerintah. Bantuan yang
peraturan perundang-undangan, perkecualian atas perubahan pemerintahan, atau bentuk
bantuan lain yang hanya dapat dilakukan oleh pemerintah.[3]
BOT biasanya digunakan pada perjanjian megaproyek maka dikaitkan dengan
beberapa kemungkinan resiko atau peristiwa diluar dugaan yang tidak diharapkan. Proyek ini
biasanya mengalami :
a. Political risk
Resiko yang berkaitan dengan kebijakan Pemerintah dan kondisi daerah setempat.
b. Economic risk
Resiko yang berkaitan dengan kondisi ekonomi. Seperti penurunan nilai mata uang,
terjadinya inflasi dan sebagainya.
c. Legal risk
Yaitu resiko yang berkaitan dengan hukum, karena pada dasarnya proyek ini didasarkan pada
sebuah perjanjian.
d. Transaksi risk
Berhubungan dengan persaingan penawaran proyek (bidding competition) termasuk
didalamnya undangan lelang, penawaran serta negosiasi, berbagai dokumen proyek yang
terjadi pada awal proses BOT.
e. Contruction risk
Berkaitan dengan pelaksanaan pembangunan, apakah bangunan tersebut telah sesuai dengan
standar bangunan secara teknik. Bangunan akan diuji ketahanannya. Serta hal yang berkaitan
dengan lamanya waktu pembangunan.
f. Social risk
Resiko yang berkaitan dengan kondisi sosial kemasyarakatan. Apakah pada proyek tersebut
mendapat dukungan dari masyarakat ataupun sebaliknya. Pengaruh agama dan budaya
g. Environtmental risk
Yang berkaitan dengan lingkungan sekitar. Setiap proyek pembangunan harus mempunyai
kepedulian terhadap lingkungan. Melakukan AMDAL (analisis mengenai dampak
lingkungan), supaya tidak terjadi kerusakan lingkungan.
Berdasarkan pengertian sebagaimana dimaksud di atas maka unsur-unsur perjanjian
sistem bangun guna serah (build, operate, andtransfer/BOT) atau BOT agreement, adalah :
1. Investor (penyandang dana)
2. Tanah
3. Bangunan komersial
4. Jangka waktu operasional
5. Penyerahan (transfer)
Menurut United Nations Industrial Development Organizations (UNIDO) 1996,
tentang Guidelines For Infrastructure DevelopmentTrought BOT (Viena Publication)
[4]Ada 3 pihak utama yang berperan dalam proyek BOT yakni :
1. Host Government
Pemerintah setempat yang mempunyai kepentingan dalam pengadaan proyek tersebut
(legislative, regulatory, administratif) yang mendukung project company dari awal hingga
akhir pengadaan project tersebut. Umumnya didampingi oleh penasehat hukum, technical,
dan financial.
2. Project Company
Konsorsium dari beberapa perusahaan swasta yang membentuk proyek baru. Perannya
adalah membangun dan mengoperasikan proyek tersebut dalam konsesi kemudian
mentransfer proyek tersebut kepada Host Government. Sebelumnya Project company
3. Sponsor
Yaitu yang berperan dalam hal pembiayaan dalam pengadaan proyek tersebut. Jeffrey
Delmon membagi pihak-pihak dalam BOT :
1) Lenders
Merupakan sebuah badan yang memberikan pinjaman pembiayaan dalam sebuah proyek.
Seperti perjanjian antara bank dengan pihak swasta. Dalam hal ini tidak ada kaitannya dengan
konstruksi.
2) Grantor dan Host Goverment
BOT disini adalah kontrak yang diadakan pada ketetapan sebuah konsesi oleh Pemerintah
Daerah atau perwakilan yang ditunjuk Pemerintah atau pihak yang membuat peraturan.
Grantor adalah pihak yang bertanggung jawab kepada hubungan antara proyek dan
Pemerintah setempat. Seperti perlindungan dari nasionalisasi, perubahan hukum dan
perubahan nilai mata uang.
3) Project Company
Bertugas merancang sarana khusus untuk menggunakan kontrak dari grantor untuk
mendesain, mengkonstuksi, mengoperasikan dan mentransfer.
4) Share Holders
Perusahaan yang khusus menangani tugas yang dibutuhkan dalam perjanjian konsesi
5) Construction Contractor
Kontrak konstruksi akan mengadakan perjanjian dengan project company yaitu untuk
menjalankan proyek.
6) Offtake Purchaser
Dalam rangka pengalihan resiko dari project company dan lenders dapat dibuat sebuah
menghasilkan.
7) Input Supplier
Bagian dari project company untuk suplai kebutuhan proyek seperti bahan bangunan. Jadi
terdapat beberapa jenis perjanjian yang terkait didalamnya :
a. Kontrak konsesi sebagai dasar;
(build, operate, and transfer) maka pada dasarnya ada pemisahan yang tegas antara Pemilik
(yang menguasai tanah) dengan Investor (penyandang dana).[5]Pemisahan yang tegas terkait
hak dan kewajiban para pihak. Kontrak tersebut harus tegas menyatakan semua hal yang
berkaitan dengan waktu pembangunan, pengelolaan, pengoperasian dan penyerahan nantinya.
Obyek dalam perjanjian sistem bangun guna serah (build, operate,and transfer)
kurang lebih :
1. Bidang usaha yang memerlukan suatu bangunan (dengan atau tanpa teknologi tertentu) yang
merupakan komponen utama dalam usaha tersebut disebut sebagai bangunan komersial.
2. Bangunan komersial tersebut dapat dioperasikan dalam jangka waktu relatif lama, untuk
tujuan :
a. Pembangunan prasarana umum, seperti jalan tol, pembangkit listrik, sistem telekomunikasi,
pelabuhan peti kemas dan sebagainya.
c. Pembangunan prasarana produksi, seperti pembangunan pabrik untuk menghasilkan produk
tertentu.[6]
Perjanjian sistem bangun guna serah (build, operate, and transfer)terjadi dalam hal :
1) Ada pemilik tanah atau pihak yang menguasai tanah, ingin membangun suatu bangunan
komersial di atas tanahnya tetapi tidak mempunyai biaya, dan ada investor yang bersedia
membiayai pembangunan tersebut.
2) Ada investor yang ingin membangun suatu bangunan komersial tetapi tidak mempunyai
tanah yang tepat untuk berdirinya bangunan komersial tersebut, dan ada pemilik tanah yang
bersedia menyerahkan tanahnya untuk tempat berdirinya bangunankomersial tersebut.
3) Investor membangun suatu bangunan komersial di atas tanah milik pihak lain, dan setelah
pembangunan selesai investor berhak mengoperasionalkannya untuk jangka waktu tertentu.
Selama jangka waktu operasional, pihak pemilik tanah berhak atas fee tertentu.
3. Setelah jangka waktu operasional berakhir, investor wajib mengembalikan tanah kepada
pemiliknya beserta bangunan komersial di atasnya.[7]Keputusan Menteri Keuangan
Republik Indonesia tentangPerlakuan Pajak Penghasilan Terhadap Pihak-Pihak yang
MelakukanKerja sama dalam Bentuk Perjanjian Bangun Guna Serah (Built OperateAnd
Transfer) mengatur antara lain hal-hal sebagai berikut :
Pasal 1
Bangun guna serah (built operate and transfer) adalah bentuk perjanjian kerja sama
yang dilakukan antara pemegang hak atas tanah dengan investor, yang menyatakan bahwa
pemegang hak atas tanah memberikan hak kepada investor untuk mendirikan bangunan
selama masa perjanjian bangun guna serah (BOT), dan mengalihkan kepemilikan bangunan
tersebut kepada pemegang hak atas tanah setelah masa guna serah berakhir.
Pasal 2
perolehan investor untuk mendapatkan hak menggunakan atau hak mengusahakan bangunan
tersebut, dan jumlah biaya yang dikeluarkan tersebut oleh investor diamortisasidalam jumlah
yang sama besar setiap tahun selama masa perjanjian bangun guna serah.
(2)Amortisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimulai pada tahun bangunan tersebut mulai
digunakan atau diusahakan oleh investor.
(3) Apabila masa perjanjian bangun guna serah menjadi lebih pendek dari masa yang telah
ditentukan dalam perjanjian maka sisa biaya pembangunan yang belum diamortisasi,
diamortisasi sekaligus oleh investor pada tahun berakhirnya masa bangun guna serah yang
lebih pendek tersebut.
(4) Apabila dalam pelaksanaan bangun guna serah sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diberikan penggantian atau imbalan kepada investor, maka penggantian atau imbalan tersebut
adalah penghasilan bagi investor dalam tahun diterimanya hak penggantian atau imbalan
tersebut.
(5) Apabila masa perjanjian bangun guna serah menjadi lebih panjang dari masa yang telah
ditentukan dalam perjanjian karena adanya penambahan bangunan, maka biaya penambahan
bangunan tersebut ditambahkan terhadap sisa biaya yang belum diamortisasi dan diamortisasi
oleh investor hingga berakhirnya masa bangun guna serah yang lebih panjang tersebut.
Perjanjian build operate and transfer dibagi dalam 3 tahap :
1) Tahap pembangunan, Pihak pertama menyerahkan tanahnya kepada pihak lain untuk
dibangun.
2) Tahap operasional, Berfungsi mendapatkan penggantian biaya atas pembangunan dalam
jangka waktu tertentu.
3) Tahap transfer, Pihak kedua menyerahkan kepemilikan bangunan komersial kepada pemilik
Kerja samabuild operate and transfer (BOT) ini merupakan kerja sama yang
dilakukan dengan menuangkannya ke dalam perjanjian sehingga secara otomatis asas yang
dianut mengacu pada asas-asas hukum perjanjian yaitu ketentuan buku ketiga Kitab
Undang-undang Hukum Perdata.
Salah satu asas dari kerja sama ini adalah asas “saling menguntungkan”, di mana semula pemilik lahan hanya memiliki lahan saja setelah adanya kerja sama ini maka suatu saat akan mendapatkan bangunan. Begitu juga Investor dengan adanya kerja sama ini akan
mendapatkan keuntungan dari pengelolaannya.
[1]Felix O.Soebagjo, Pengkajian tentang Aspek Hukum Perjanjian Build Operate and
Transfer,Jakarta: BPHN
[2] Budi Santoso, Aspek Hukum Pembiayaan Proyek Infrastruktur Model BOT (Build
Operate Transfer), (Solo : Genta Press, 2008) Hlm. 8.
[3]Ibid, Hlm.14-17
[4]United Nations Industrial Development Organizations (UNIDO), tentang Guidelines For Infrastructure Development Trought BOT, ( Viena Publication, 1996)
[5]( www. shoutmix.advokadku.com) diakses pada hari Selasa 6 Oktober 2015 pukul 19.20 WIB.
[6]Ibid, (www. shoutmix.advokadku.com)
[7]Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 36 tahun 2005 tentang
PeraturanPelaksanaan Undang-Undang nomor 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung
Pasal62
[8]Fauzul A, Hukum Perikatan : Sewa Guna Usaha (Leasing) dan Build Operation
andTransfer (BOT), (http:// elearning.upnjatim.ac.id: 2008)
Diposkan oleh Muhamad Herliansyah di 15.31
Arsip Blog
▼ 2016 (1)
o ▼ Januari (1)
Perjanjian Bangun Guna Serah (Build Operate and Tr...