• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Yuridis Pelaksanaan Alih Fungsi Aset Pemerintah Melalui Program Build Operate And Transfer (BOT) Antara Pemerintah Kota Tebing Tinggi Dengan PT. Inti Griya Prima Sakti

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Yuridis Pelaksanaan Alih Fungsi Aset Pemerintah Melalui Program Build Operate And Transfer (BOT) Antara Pemerintah Kota Tebing Tinggi Dengan PT. Inti Griya Prima Sakti"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

DASAR HUKUM PENYUSUNAN PERJANJIAN BANGUN GUNA SERAH (BOT AGREEMENT) ANTARA PEMERINTAH KOTA TEBING TINGGI

DENGAN PT. INTI GRIYA PRIMA SAKTI

A. Sejarah Perkembangan Dan Pengaturan Dasar Hukum Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ Bot) di Indonesia

Istilah Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT) pertama kali ditemukan secara resmi dalam peraturan perundang-undangan positif Indonesia adalah pada Keputusan Menteri Keuangan Nomor 248/KMK.04/1995 tanggal 2 Juni 1995 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan terhadap Pihak-pihak yang Melakukan Kerjasama dalam Bentuk Perjanjian Bangun Guna Serah (Build Operate and Transfer).Pengaturan ini pada dasarnya lebih menitikberatkan pada pengaturan pajak penghasilan dan bukan mengenai prosedur atau pelaksanaan Perjanjian Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT Agreement).

Selanjutnya diterbitkan juga beberapa peraturan lain di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (dahulu Departemen Keuangan) yang mengadopsi istilah resmi Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT) yaitu diantaranya:

1. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-38/PJ.4/1995 tanggal 14 Juli 1995 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan atas Penghasilan sehubungan dengan Perjanjian Bangun Guna Serah (Seri PPh Umum Nomor 17);

(2)

3. Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S-144/PJ.33/1996 tanggal 20 Agustus 1996 tentang Penjelasan mengenai Penyusutan Bangunan di atas Tanah Sewa dan Pemotongan PPh Pasal 23.

Seluruh peraturan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak ini pada dasarnya merupakan turunan atau peraturan pelaksana dari Keputusan Menteri Keuangan Nomor 248/KMK.04/1995 yang menitikberatkan pada pengaturan pajak penghasilan atas pelaksanaan Bangun Guna Serah dan bukan mengenai prosedur atau pelaksanaan Perjanjian Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT Agreement). Dengan demikian, peraturan-peraturan ini tidak dapat dijadikan acuan dalam pembahasan pelaksanaan Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT).

Pada tahun 2001, Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah (saat ini dikenal dengan Menteri Dalam Negeri) menerbitkan Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 11 Tahun 2001 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Daerah. Keputusan ini tidak menggunakan istilah Bangun Guna Serah, tetapi menggunakan isitlah “pengguna usahaan” untuk merujuk pada pengertian yang sama. Angka 29 Keputusan Menteri tersebut menyatakan “Pemanfaatan adalah Pendayagunaan barang daerah oleh instansi atau pihak ketiga dalam bentuk pinjam pakai, penyewaan dan pengguna usahaan tanpa merubah status pemilikan.”

(3)

Ketentuan Pasal 36 ini merupakan pasal pengaturan yang sangat minim dan memberikan ruang yang seluas-luasnya kepada Kepala Daerah tanpa memberikan petunjuk lebih lanjut dalam mengadakan pengguna usahaan barang milik daerah. Pada saat berlakunya Keputusan Menteri ini, seluruh Kepala Daerah di seluruh Indonesia diberikan keleluasaan dalam mengadakan perjanjian Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT) dengan pihak lain. Hal ini tentu saja sangat rawan menimbulkan permasalahan-permasalahan baru dalam pengelolaan barang milik daerah karena:

a) Tidak ada keseragaman dalam pelaksanaan Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT) di antara daerah-daerah di Indonesia, baik mengenai syarat, prosedur maupun tata laksananya;

b) Ketidakseragaman tersebut menimbulkan tidak optimalnya pengawasan atas pelaksanaan Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT) di seluruh daerah Indonesia;

c) Rawan tindakan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme karena memberikan kekuasaan dan kewenangan yang sangat luas kepada Kepala Daerah.

(4)

Operate Transfer/BOT) di dalam PP Nomor 6 Tahun 2006 ini telah mengalami perbaikan yang signifikan.

Untuk pertama kalinya di dalam sejarah hukum positif Indonesia, PP Nomor 6 Tahun 2006 telah memberikan defenisi baku mengenai Bangun Guna Serah yaitu pada angka 12 yang menyatakan:

Bangun guna serah adalah pemanfaatan barang milik negara/daerah berupa tanah oleh pihak lain dengan cara mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya, kemudian didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang telah disepakati, untuk selanjutnya diserahkan kembali tanah beserta bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya setelah berakhirnya jangka waktu.

PP Nomor 6 Tahun 2006 ini juga telah menetapkan asas pengelolaan barang milik negara/daerah yaitu asas fungsional, kepastian hukum, transparansi dan keterbukaan, efisiensi, akuntabilitas, dan kepastian nilai. Pasal 13 menyatakan bahwa status penggunaan barang milik daerah ditetapkan oleh gubernur/ bupati/ walikota.

Pasal yang mengatur mengenai landasan Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT) adalah Pasal 15 dan Pasal 20 yang menyatakan:

Barang milik negara/daerah dapat ditetapkan status penggunaannya untuk penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi kementerian negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah, untuk dioperasikan oleh pihak lain dalam rangka menjalankan pelayanan umum sesuai tugas pokok dan fungsi kementerian negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah yang bersangkutan.”

“Bentuk-bentuk pemanfaatan barang milik negara/daerah berupa: a. Sewa;

b. Pinjam pakai;

c. Kerjasama pemanfaatan;

(5)

Ketentuan pelaksanaan Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT) khusus untuk barang milik daerah selanjutnya diatur dalam Pasal 27 sampai Pasal 31 yaitu sebagai berikut:

a. Bangun Guna Serah dilaksanakan dengan persyaratan:

1) Pengguna barang memerlukan bangunan dan fasilitas bagi penyelenggaraan pemerintahan negara/daerah untuk kepentingan pelayanan umum dalam rangka penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi; dan

2) Tidak tersedia dana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah untuk penyediaan bangunan dan fasilitas dimaksud.

b. Bangun Guna Serah barang milik daerah dilaksanakan oleh pengelola barang setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/walikota.

c. Penetapan status penggunaan barang milik negara/daerah sebagai hasil dari pelaksanaan bangun guna serah dilaksanakan oleh gubernur/bupati/walikota dalam rangka penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi satuan kerja perangkat daerah terkait.

d. Jangka waktu bangun guna serah paling lama tiga puluh tahun sejak perjanjian ditandatangani.

e. Penetapan mitra bangun guna serah dilaksanakan melalui tender dengan mengikutsertakan sekurang-kurangnya lima peserta/ peminat.

(6)

1) Membayar kontribusi ke rekening kas umum daerah setiap tahun, yang besarannya ditetapkan berdasarkan hasil perhitungan tim yang dibentuk oleh pejabat yang berwenang;

2) Tidak menjaminkan, menggadaikan atau memindahtangankan objek bangun guna serah;

3) Memelihara objek bangun guna serah.

g. Dalam jangka waktu pengoperasian, sebagian barang milik daerah hasil bangun guna serah harus dapat digunakan langsung untuk penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi pemerintah.

h. Bangun guna serah dilaksanakan berdasarkan surat perjanjian yang sekurang-kurangnya memuat

1) Pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian; 2) Objek bangun guna serah;

3) Jangka waktu bangun guna serah;

4) Hak dan kewajiban para pihak yang terikat dalam perjanjian; 5) Persyaratan lain yang dianggap perlu.

i. Izin mendirikan bangunan hasil bangun guna serah harus diatasnamakan Pemerintah Daerah.

(7)

k. Mitra bangun guna serah barang milik daerah harus menyerahkan objek bangun guna serah kepada gubernur/bupati/walikota pada akhir jangka waktu pengoperasian, setelah dilakukan audit oleh aparat pengawasan fungsional pemerintah.

Seiring dengan perkembangan jaman, Pemerintah merasa bahwa terdapat ketentuan-ketentuan dalam PP Nomor 6 Tahun 2006 yang sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan masyarakat saat itu sehingga Pemerintah mengadakan perubahan atas PP Nomor 6 Tahun 2006 tersebut melalui Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2008 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negera/ Daerah (untuk selanjutnya disebut dengan PP Nomor 38 Tahun 2008). Tetapi khusus mengenai ketentuan-ketentuan terkait Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT), tidak terdapat ketentuan pasal yang mengalami perubahan dalam PP Nomor 38 Tahun 2008. Dengan demikian, ketentuan mengenai Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT) yang berlaku saat ini adalah ketentuan sebagaimana diatur PP Nomor 6 Tahun 2006.

Sebagai aturan pelaksana dari PP Nomor 6 Tahun 2006 tersebut, Pemerintah menerbitkan Permendagri Nomor 17 Tahun 2007. Permendagri ini disusun dengan salah satu konsideran yaitu PP Nomor 6 Tahun 2006. Permendagri ini mencabut Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor152 Tahun 2004 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Daerah.

(8)

acuan oleh semua pihak dalam rangka melaksanakan tertibadministrasi pengelolaan barang milik daerah.

Pada bagian Umum lampiran Permendagri ini disebutkan asas pengelolaan barang milik daerah yaitu sebagai berikut:

Barang milik daerah sebagai salah satu unsur penting dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat harus dikelola dengan baik dan benar, yang pada gilirannya dapat mewujudkan pengelolaan barang milik daerah dengan memperhatikan azas-azas sebagai berikut:

a. Azas fungsional, yaitu pengambilan keputusan dan pemecahan masalah dibidang pengelolaan barang milik daerah yang dilaksanakan oleh kuasa pengguna barang, pengguna barang, pengelola barang dan Kepala Daerah sesuai fungsi, wewenangdan tanggungjawab masing-masing;

b. Azas kepastian hukum, yaitu pengelolaan barang milik daerah harus dilaksanakan berdasarkan hukum dan peraturan perundang-undangan; c. Azas transparansi, yaitu penyelenggaraan pengelolaan barang milik daerah

harus transparan terhadap hak masyarakat dalam memperoleh informasi yang benar;

d. Azas efisiensi, yaitu pengelolaan barang milik daerah diarahkan agar barang milik daerah digunakan sesuai batasan-batasan standar kebutuhan yang diperlukan dalam rangka menunjang penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi pemerintahan secara optimal;

e. Azas akuntabilitas, yaitu setiap kegiatan pengelolaan barang milik daerah harus dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat;

f. Azas kepastian nilai, yaitu pengelolaan barang milik daerah harus didukung oleh adanya ketepatan jumlah dan nilai barang dalam rangka optimalisasi pemanfaatan dan pemindahtanganan barang milik daerah serta penyusunan neraca Pemerintah Daerah.

(9)

Permendagri ini disusun dengan maksud menyeragamkan langkah dan tindakan yang diperlukan dalam pengelolaan barang daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.50

Pengaturan mengenai prinsip Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT) dalam Permendagri Nomor 17 Tahun 2007 ini pada dasarnya sejalan dan sama dengan pengaturan dalam PP Nomor 6 Tahun 2006. Hanya saja, Permendagri ini memberikan pengaturan yang lebih rinci dibandingkan PP Nomor 6 Tahun 2006. Salah satunya adalah mengenai defenisi Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/BOT) yaitu sebagai berikut:

Bangun Guna Serah yang selanjutnya disingkat BGS adalah pemanfaatan tanah dan/atau bangunan milik Pemerintah Daerah oleh Pihak Ketiga membangun bangunan siap pakai dan/atau menyediakan, menambah sarana lain berikut fasilitas diatas tanah tanah dan/atau bangunan tersebut dan mendayagunakannya selama kurun waktu tertentu untuk kemudian setelah jangka waktu berakhir menyerahkan kembali tanah dan bangunan dan/atau sarana lain berikut fasilitasnya tersebut kepada Pemerintah Daerah.

Beberapa penambahan ketentuan mengenai Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/BOT) dalam Permendagri Nomor 17 Tahun 2007 ini adalah sebagaimana dinyatakan dalam Lampiran VII bagian Pemanfaatan, yaitu sebagai berikut:

a. Penetapan mitra kerjasama Bangun Guna Serah dilaksanakan melalui tender/ lelang dengan mengikut sertakan sekurang-kurangnya 5 peserta/ peminat, apabila diumumkan 2 kali berturut-turut peminatnya kurang dari 5, dapat dilakukan

50Angka 2 bagian Umum Lampiran Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007

(10)

proses pemilihan langsung atau penunjukan langsung melalui negosiasi baik tekhnis maupun harga.

b. Dasar pertimbangan bangun guna serah atas barang milik daerah yaitu : 1) Barang milik daerah belum dimanfaatkan;

2) Mengoptimalisasikan barang milik daerah; 3) Dalam rangka efisiensi dan efektifitas;

4) Menambah/ meningkatkan pendapatan daerah; dan

5) Menunjang program pembangunan dan kemasyarakatan Pemerintah Daerah. c. Persyaratan pelaksanaan Bangun Guna Serah:

1) Gedung yang dibangun berikut fasilitas harus sesuai dengan kebutuhan Pemerintah Daerah sesuai dengan tugas dan fungsi.

2) Pemerintah Daerah memiliki tanah yang belum dimanfaatkan.

3) Dana untuk pembangunan berikut penyelesaian fasilitasnya tidak membebani APBD.

4) Bangunan hasil guna serah harus dapat dimanfaatkan secara langsung oleh Pihak Ketiga.

5) Mitra bangun guna serah harus mempunyai kemampuan dan keahlian.

6) Obyek Bangun Guna Serah berupa sertifikat tanah hak pengelolaan (HPL) milik Pemerintah Daerah tidak boleh dijaminkan, digadaikan dan pemindahtangankan.

(11)

8) Hak Guna Bangunan diatas HPL milik Pemerintah Daerah dapat dijadikan jaminan, diagunkan dengan dibebani hak tanggungan dan hak tanggungan dimaksud akan hapus dengan habisnya hak guna bangunan.

9) Izin mendirikan bangunan atas nama Pemerintah Daerah.

10) Obyek pemeliharaan meliputi tanah beserta bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya.

11) Mitra kerja bangun guna serah membayar kontribusi ke kas Daerah setiap tahun selama jangka waktu pengoperasian.

12) Besaran konstribusi ditetapkan berdasarkan hasil perhitungan Tim yang dibentuk dengan Keputusan Kepala Daerah dengan memperhatikan antara lain:

a) Nilai aset berupa tanah milik pemerintah daerah sebagai obyek bangun guna serah ditetapkan sesuai NJOP dan harga pasaran umum setempat dibagi dua, dan apabila dalam satu lokasi terdapat nilai NJOP dan harga pasaran umum setempat yang berbeda, dilakukan penjumlahan dan dibagi sesuai jumlah yang ada.

b) Apabila pemanfaatan tanah tidak merubah status penggunaan/ pemanfaatan (fungsi), dimana pola bangun guna serah dilakukan pembangunannya dibawah permukaan tanah, maka nilai tanahnya diperhitungkan separuh (50 %) dari nilai sebagaimana dimaksud huruf (a). c) Peruntukan bangun guna serah untuk kepentingan umum dan atau

(12)

d) Besaran nilai investasi yang diperlukan/disediakan pihak ketiga. e) Dampak terhadap penyerapan tenaga kerja dan peningkatan PAD.

13) Selama masa pengoperasian, tanah dan/atau bangunan tetap milik pemerintah daerah.

14) Penggunaan tanah yang dibangun harus sesuai dengan rencana umum tata ruang wilayah /kota (rutrwk).

15) Jangka waktu pengguna-usahaan paling lama 30 (tiga puluh) tahun sejak dimulai masa pengoperasian.

16) Biaya penelitian, pengkajian, penaksir dan pengumuman lelang, dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja daerah.

17) Pelaksanaan penelitian, pengkajian dilaksanakan oleh tim yang ditetapkan dengan sk kepala daerah dan dapat bekerjasama dengan pihak ketiga.

18) Biaya yang berkenaan dengan persiapan dan pelaksanaan penyusunan surat perjanjian, konsultan pelaksana/pengawas, dibebankan pada Pihak Ketiga. d. Prosedur/tata cara pelaksanaan Bangun Guna Serah

Permohonan penggunausahaan ditujukan kepada Panitia tender/lelang dengan dilengkapi data-data sebagai berikut:

a) Akte pendirian.

b) Memiliki siup sesuai bidangnya.

c) Telah melakukan kegiatan usaha sesuai bidangnya. d) Mengajukan proposal.

(13)

f) Memiliki modal kerja yang cukup. g) Data teknis :

1) Tanah : Lokasi/alamat, luas, status, penggunaan saat ini. 2) Bangunan : Lokasi/alamat, luas,status kepemilikan.

3) Rencana Pembangunan gedung dengan memperhatikan KDB (Koefisien Dasar Bangunan), KLB (Koefisien Luas Bangunan), Rencana Pembangunan, dsb.

e. Pelaksanaan bangun guna serah atas barang milik daerah ditetapkan dalam Surat Perjanjian yang memuat antara lain :

a) Pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian; b) Obyek bangun guna serah;

c) Jangka waktu bangun guna serah;

d) Pokok- pokok mengenai bangun guna serah;

e) Data barang milik daerah yang menjadi objek bangun guna serah; f) Hak dan kewajiban para pihak yang terikat dalam perjanjian; g) Jumlah/besarnya kontribusi yang harus dibayar oleh pihak ketiga; h) Sanksi;

i) Surat perjanjian ditandatangani oleh pengelola atas nama kepala daerah dan mira kerjasama;

(14)

f. Penyerahan kembali bangunan/gedung beserta fasilitas kepada Pemerintah Daerah yang bersangkutan dilaksanakan setelah masa pengoperasian yang dijanjikan berakhir yang dituangkan dalam bentuk Berita Acara.

Selain Permendagri Nomor 17 Tahun 2007 tersebut, peraturan pelaksana lainnya dari PP Nomor 6 Tahun 2006 adalah Permenkeu Nomor 96/PMK.06/2007.

Permenkeu Nomor 96/PMK.06/2007 ini diterbitkan untuk melaksanakan perintah Pasal 31 PP Nomor 6 Tahun 2008 yang menyatakan sebagai berikut: “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan sewa, pinjam pakai, kerjasama pemanfaatan, bangun guna serah dan bangun serah guna barang milik negara diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan.”

Permenkeu Nomor 96/PMK.06/2007 khusus mengatur mengenai Barang Milik Negara yaitu semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. Dengan kata lain, Permenkeu Nomor 96/PMK.06/2007 ini tidak berlaku terhadap pelaksanaan penggunaan, pemanfaatan, penghapusan dan pemindahtanganan barang milik daerah.

(15)

Permenkeu ini hanya berlaku untuk barang milik pemerintah pusat terlihat juga dari defenisi Bangun Guna Serah(Build Operate Transfer/ BOT)pada Lampiran V yang menyatakan sebagai berikut:

Bangun Guna Serah (BGS) adalah pemanfaatan tanah milik pemerintah pusat oleh pihak lain dengan mendirikan bangunan dan/atau sarana, berikut fasilitasnya, kemudian didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang telah disepakati, untuk selanjutnya tanah beserta bangunan dan/atau sarana, berikut fasilitasnya, diserahkan kembali kepada Pengelola Barang setelah berakhirnya jangka waktu.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, menjadi jelas bahwa pengaturan mengenai pelaksanaan Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT) di Indonesia telah mengalami perubahan sesuai perkembangan jaman. Kemungkinan untuk mengadakan perubahan berikutnya masih tetap terbuka jika Pemerintah merasa peraturan yang ada saat ini sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan masyarakat pada umumnya.

B. Kedudukan Perjanjian Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT) dalam Hukum Perdata Indonesia

1. Pengelolaan Tanah sebagai Barang Milik Negara/ Daerah

Tanah merupakan aset penting yang hak pengelolaannya dapat diserahkan kepada Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Jika tanah tersebut dikelola oleh Pemerintah Pusat maka akan dicatat dan dikelompokkan sebagai Barang Milik Negara dan sebaliknya jika tanah tersebut dikelola oleh Pemerintah Daerah maka akan dicatat dan dikelompokkan sebagai Barang Milik Daerah.

(16)

disebut dengan Permenkeu Nomor 96/PMK.06/2007) menyatakan “Barang Milik Negara adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.”

Pasal 1 Angka 3 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 tanggal 21 Maret 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah (untuk selanjutnya disebut dengan Permendagri Nomor 17 Tahun 2007) menyatakan “Barang milik daerah adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah atau perolehan lainnya yang sah.”

Pasal 2 Permendagri Nomor 17 Tahun 2007 telah secara tegas menyatakan bahwa pengelolaan Barang Milik Negara dipisahkan dengan pengelolaan Barang Milik Daerah. Selengkapnya ketentuan Pasal 2 tersebut menyatakan sebagai berikut: “Pengelolaan barang milik daerah sebagai bagian dari pengelolaan keuangan daerah yang dilaksanakan secara terpisah dari pengelolaan barang milik Negara”

Lampiran Permendagri Nomor 17 Tahun 2007 pada bagian Umum memberikan pengertian yang lebih luas mengenai defenisi Barang Milik Daerah yaitu sebagai berikut:

Barang milik daerah adalah semua kekayaan daerah baik yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah maupun yang berasal dari perolehan lain yang sah baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak beserta bagian-bagiannya ataupun yang merupakan satuan tertentu yang dapat dinilai, dihitung, diukur atau ditimbang termasuk hewan dan tumbuh-tumbuhan kecuali uang dan surat-surat berharga lainnya.

Landasan pengelolaan Barang Milik Daerah adalah sebagai berikut:51

(17)

1. Barang Milik Daerah terdiri dari:

a. Barang yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah yang penggunaannya/ pemakaiannya berada pada Satuan Kerja Perangkat Daerah(SKPD)/ Instansi/ lembaga Pemerintah Daerah lainnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;

b. Barang yang dimiliki oleh Perusahaan Daerah atau Badan Usaha Milik Daerah lainnya yang status barangnya dipisahkan.

Barang milik daerah yang dipisahkan adalah barang daerah yang pengelolaannya berada pada Perusahaan Daerah atau Badan Usaha Milik Daerah lainnya yang anggarannya dibebankan pada anggaran Perusahaan Daerah atau Badan Usaha Milik Daerah lainnya.

2. Dasar hukum pengelolaan barang milik daerah, antara lain adalah:

a. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria;

b. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; c. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah;

d. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; e. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara; f. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1971 tentang Penjualan Kendaraan

(18)

g. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1994 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2005 tentang Penjualan Rumah Negara;

h. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah;

i. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan;

j. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah;

k. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah;

l. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 2006 tentang Standarisasi Sarana dan Prasarana Kerja Pemerintahan Daerah;

m. Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Kepentingan Umum sebagaimana telah dirubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2005;

n. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 49 Tahun 2001 tentang Sistem Informasi Manajemen Barang Daerah;

o. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 2002 tentang Nomor Kode Lokasi dan Nomor Kode Barang Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota; p. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pedoman

(19)

q. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 153 Tahun 2004 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Daerah yang Dipisahkan; dan

r. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pegelolaan Keuangan Daerah.

Seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut adalah ketentuan yang bersifat sangat dinamis, yaitu peraturan perundang-undangan yang sangat sering mengalami perubahan mengikuti keadaan dan dinamika masyarakat. Hal ini harus menjadi catatan dan perhatian bagi seluruh pengguna ketentuan tersebut, terutama dalam hal ini Pemerintah Daerah karena setiap pelaksanaan pengelolaan Barang Milik Daerah harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di masanya.

3. Siklus Pengelolaan Barang Milik Daerah

4. Siklus pengelolaan barang milik daerah merupakan rangkaian kegiatan dan/atau tindakan yang meliputi:

1) Perencanaan kebutuhan dan penganggaran; 2) Pengadaan;

3) Penerimaan, penyimpanan dan penyaluran; 4) Penggunaan;

5) Penatausahaan; 6) Pemanfaatan;

(20)

8) Penilaian; 9) Penghapusan; 10) Pemindahtanganan;

11) Pembinaan, pengawasan dan pengendalian; 12) Pembiayaan;

13) Tuntutan ganti rugi.

5. Pemanfaatan Barang Milik Daerah

Pemanfaatan Barang Milik Daerah merupakan pendayagunaan barang milik daerah yang tidak dipergunakan sesuai tugas pokok dan fungsi Satuan Kerja Perangkat Daerah dalam bentuk pinjam pakai, sewa, kerjasama pemanfaatan, bangun guna serah, bangun serah guna dengan tidak merubah status kepemilikan.

a. Pinjam pakai merupakan penyerahan penggunaan barang milik daerah kepada instansi pemerintah, antar pemerintah daerah, yang ditetapkan dengan Surat Perjanjian untuk jangka waktu tertentu, tanpa menerima imbalan dan setelah jangka waktu tersebut berakhir, barang milik daerah tersebut diserahkan kembali kepada Pemerintah Daerah.

(21)

c. Kerjasama pemanfaatan terhadap barang milik daerah dengan pihak lain dilakukan dalam rangka optimalisasi dayaguna dan hasil guna barang milik daerah dan dalam rangka menambah/meningkatkan penerimaan daerah. Kerjasama pemanfaatan barang milik daerah berupa tanah dan/atau bangunan yang telah diserahkan oleh pengguna kepada Kepala Daerah dan sebagian tanah dan/atau bangunan yang masih digunakan oleh pengguna dan barang daerah selain tanah dan/atau bangunan.

d. Bangun Guna Serah adalah pemanfaatan tanah dan/atau bangunan milik Pemerintah Daerah oleh Pihak Ketiga membangun bangunan siap pakai dan/atau menyediakan, menambah sarana lain berikut fasilitas diatas tanah tanah dan/ atau bangunan tersebut dan mendayagunakannya selama kurun waktu tertentu untuk kemudian setelah jangka waktu berakhir menyerahkan kembali tanah dan bangunan dan/atau sarana lain berikut fasilitasnya tersebut kepada Pemerintah Daerah.

(22)

Dari uraian tersebut di atas, jelas bahwa jenis bentuk pemanfaatan Barang Milik Daerah telah diatur secara terbatas (limitatif) ke dalam 5 (lima) jenis pemanfaatan dan dengan syarat mutlak tidak merubah status kepemilikan. Peraturan perundang-undangan tidak memungkinkan bentuk lain selain dari 5 (lima) bentuk pemanfaatan tersebut di atas.

Jika pengelolaan Barang Milik Daerah merubah status kepemilikan maka hal tersebut tidak termasuk dalam lingkup “pemanfaatan” tetapi sudah termasuk bentuk “pemindahtanganan” sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 25 Permendagri Nomor 17 Tahun 2007.

2. Kedudukan Perjanjian dalam Hukum Perdata Indonesia

Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan secara tegas bahwa “Suatu Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.52Sudikno menyatakan bahwa perjanjian adalah hubungan antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan hukum.53 M. Yahya Harahap mendefenisikan perjanjian sebagai hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.54

52

R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Terjemahan KUH Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1994), hal. 306.

(23)

R.Wirjono Prodjodikoro mengatakan perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.55

Purwahid Patrik menyatakan bahwa perjanjian dapat dirumuskan sebagai hubungan hukum antara dua pihak dimana masing-masing melakukan perbuatan hukum sepihak, penawaran dan penawaran.56

Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu.57 Istilah kontrak sama pengertiannya dengan persetujuan. 58 Kontrak tidak lain adalah perjanjian itu sendiri (tentunya perjanjian yang mengikat).59

Steven H. Gifis menyatakan kontrak adalah suatu perjanjian atau serangkaian perjanjian dimana hukum memberikan ganti rugi terhadap

55R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang Persetujuan-persetujuan Tertentu,

(Bandung: Sumur, 1992), hal. 11.

56Purwahid Patrik, Makalah, Pembahasan Perkembangan Hukum Perjanjian, Seminar

Nasional Asosiasi Pengajar Hukum Perdata/ Dagang, (Yogyakarta: Fakultas Hukum UGM, 1990), hal. 15.

57

Subekti,Hukum Perjanjian,(Jakarta: Intermasa, 2008), hal. 1.

58M. Yahya Harahap,

Op. Cit.,hal. 23.

59Hasanuddin Rahman, Contract Drafting – Seri Keterampilan Merancang Kontrak Bisnis,

(24)

wanprestasi terhadap kontrak tersebut atau terhadap pelaksanaan kontrak tersebut oleh hukum dianggap sebagai tugas.60

Berdasarkan pendapat para ahli hukum tersebut, dapat disimpulkan bahwa perjanjian memiliki pengertian yang sama dengan persetujuan dan kontrak.

Rumusan Pasal 1313 KUH Perdata tersebut hendak memperlihatkan kepada kita semua bahwa suatu perjanjian adalah:

1. Suatu perbuatan;

2. Antara sekurangnya dua orang (jadi dapat lebih dari dua orang);

3. Perbuatan tersebut melahirkan perikatan di antara pihak-pihak yang berjanji tersebut.61

Menurut Abdul Kadir rumusan perjanjian sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata tersebut masih terasa kurang memuaskan karena mengandung beberapa kelemahan, yaitu:62

a. Hanya menyangkut sepihak saja

Hal ini diketahui dari perumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata kerja “mengikatkan” sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya perumusan itu “saling mengikatkan diri”, jadi ada konsensus antara pihak-pihak.

60Steven H. Gifis dalam Kusumati Dwiatmaja, Makalah - Perjanjian dalam Bidang

Keuangan,disajikan pada Seminar Penyusunan Kontrak Keuangan, LP3i, 2011.

61

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja,Perikatan yang Lahir dari Perjanjian,(Jakarta: Raja Grafindo Persada), hal. 7.

(25)

b. Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus

Dalam pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa(zaakwaarneming), tindakan melawan hukum(onrematigedaad) yang tidak mengandung konsensus. Seharusnya dipakai kata “persetujuan”. c. Pengertian perjanjian terlalu luas

Pengertian perjanjian dalam pasal tersebut di atas terlalu luas karena mencakup juga pelangsungan perkawinan, janji kawin, yang diatur dalam lapangan hukum keluarga. Padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan saja. Perjanjian yang dikehendaki oleh buku ketiga KUH Perdata sebenarnya hanyalah perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan perjanjian yang bersifat personal.

d. Tanpa menyebut tujuan

Dalam perumusan pasal itu tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian sehingga pihak-pihak mengikatkan diri tidak jelas untuk apa.

Berdasarkan pengertian perjanjian tersebut di atas, terdapat 3 (tiga) unsur perjanjian menurut Sudikno Mertokusumo63, R. M. Suryodiningrat64 dan J. Satrio65yaitu sebagai berikut:

a. Unsuressensialia;

63Sudikno Mertokusumo,

Op. Cit.,hal. 98-99.

(26)

Unsur essensialia adalah unsur perjanjian yang selalu harus ada di dalam suatu perjanjian, unsur mutlak dimana tanpa adanya unsur tersebut, perjanjian tidak akan sah secara hukum.

Unsur essensialia ini adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang berbunyi sebagai berikut:

“Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat: 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. Suatu hal tertentu;

4. Suatu sebab yang halal.” b. Unsurnaturalia;

Unsur naturalia adalah unsur yang telah diatur dalam undang-undang. Dengan demikian, apabila tidak diatur oleh para pihak dalam suatu perjanjian maka undang-undanglah yang mengaturnya. Unsur ini melekat dan merupakan bawaan pada perjanjian. Sifat unsur ini adalah aanvullend recht (hukum mengatur).

c. Unsuraccidentalia.

(27)

Perjanjian menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dengan demikian, hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan, disamping sumber-sumber lain.66

Menurut KUH Perdata, ada enam jenis perjanjian, yaitu: 1) Perjanjian timbal balik;

2) Perjanjian cuma-cuma dan perjanjian atas beban;

3) Perjanjian khusus(benoemd)dan perjanjian umum(onbenoemd); 4) Perjanjian kebendaan(zakelijk)dan perjanjianobligatoir;

5) Perjanjian konsensual dan perjanjian riil;

6) Perjanjian-perjanjian yang bersifat istimewa seperti perjanjian liberatoir, perjanjian pembuktian, perjanjian untung-untungan dan perjanjian publik.67

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja membagi perjanjian menjadi tiga jenis yaitu perjanjian konsensuil, perjanjian formil dan perjanjian riil.68

1) Dalam perjanjian konsensuil, kesepakatan yang dicapai oleh para pihak secara lisan melalui ucapan saja telah mengikat para pihak. Ini berarti bahwa segera setelah para pihak menyatakan persetujuan atau kesepakatannya tentang hal-hal yang mereka bicarakan dan akan dilaksanakan maka kewajiban telah lahir pada pihak terhadap siapa yang telah berjanji untuk

66

Subekti,Op. Cit.,hal. 1.

67Mariam Darus Badrulzaman,

KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan dengan Penjelasan, (Bandung: Alumni, 1993), hal. 80.

(28)

memberikan sesuatu, melakukan atau berbuat sesuatu, atau untuk tidak melakukan atau berbuat sesuatu.

2) Dalam perjanjian formil, kesepakatan atau perjanjian lisan semata-mata antara pihak yang berjanji belum melahirkan kewajiban pada pihak yang berjanji untuk menyerahkan sesuatu, melakukan atau berbuat sesuatu atau untuk tidak melakukan atau tidak berbuat sesuatu. Perjanjian semacam ini dapat kita temui misalnya dalam perjanjian mengenai hibah yang diatur dalam Pasal 1682 KUH Perdata yang memperlihatkan pada kita bahwa pada prinsipnya hibah harus dibuat dengan akta notaris, dengan ancaman hibah tersebut akan batal jika tidak dibuat dengan akta notaris. Pernyataan bahwa hibah harus dibuat dengan akta notaris merupakan formalitas yang harus dipenuhi agar hibah menjadi sah dan mengikat bagi para pihak yang membuat perjanjian hibah tersebut.

3) Perjanjian riil menunjukkan adanya suatu perbuatan nyata yang harus dipenuhi agar perjanjian yang dibuat tersebut mengikat para pihak yang mengadakan perjanjian. Contoh perjanjian riil adalah penitipan barang yang sejati. Pasal 1697 KUH Perdata menetapkan bahwa perjanjian penitipan tersebut tidak terlaksana sebelum dilakukan penyerahan barangnya secara nyata atau secara dipersangkakan.

Taryana Soenandar membagi kontrak (perjanjian) berdasarkan sifatnya kedalam klasifikasi sebagai berikut:

(29)

b. Kontrak informal(informal contract), c. Kontrak sepihak(unilateral contract),dan d. Kontrak timbal balik(bilateral contract).69

Prof. Subekti tidak menggunakan istilah jenis-jenis perjanjian tetapi menggunakan istilah macam-macam perikatan,70yaitu sebagai berikut:

a. Perikatan bersyarat, yaitu suatu perikatan yang digantungkan pada suatu kejadian di kemudian hari, yang masih belum tentu akan atau tidak terjadi. Suatu perjanjian yang demikian itu menggantungkan adanya suatu perikatan pada suatu syarat yang menunda atau mempertangguhkan (opschortende voorwarde).

b. Perikatan yang digantungkan pada suatu ketetapan waktu (tijdsbepaling). Perbedaan antara suatu syarat dengan suatu ketetapan waktu ialah yang pertama berupa suatu kejadian atau peristiwa yang belum tentu atau tidak akan terlaksana, sedangkan yang kedua adalah suatu hal yang pasti akan datang, meskipun mungkin belum dapat ditentukan kapan datangnya,

misalnya meninggalnya seseorang.

c. Perikatan yang membolehkan memilih (alternatief) yaitu suatu perikatan dimana terdapat dua atau lebih macam prestasi sedangkan kepada si berhutang diserahkan yang mana ia akan lakukan.

69Taryana Soenandar,

Prinsip-prinsip Unidroit sebagai Sumber Hukum Kontrak dan Penyelesaian Sengketa Bisnis Internasional, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 106.

(30)

d. Perikatan tanggung-menanggung (hoofdelijk atau solidair) yaitu suatu perikatan dimana beberapa orang bersama-sama sebagai pihak yang berhutang berhadapan dengan satu orang yang menghutangkan atau sebaliknya.

e. Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi. Apakah suatu perikatan dapat dibagi atau tidak, tergantung pada kemungkinan tidaknya membagi prestasi. Pada hakekatnya tergantung pula dari kehendak atau maksud kedua belah pihak yang membuat suatu perjanjian. Persoalan tentang dapat atau tidaknya dibagi suatu perikatan barulah tampil ke muka jika salah satu pihak dalam perjanjian telah digantikan oleh beberapa orang lain.

f. Perikatan dengan penetapan hukuman (strafbeding). Untuk mencegah jangan sampai si berhutang dengan mudah saja melalaikan kewajibannya, dalam praktek banyak dipakai perjanjian dimana si berhutang dikenakan suatu hukuman apabila ia tidak menepati kewajibannya. Hukuman ini biasanya ditetapkan dalam suatu jumlah uang tertentu yang sebenarnya merupakan suatu pembayaran kerugian yang sejak semula sudah ditetapkan sendiri oleh para pihak yang membuat perjanjian itu.

(31)

banyak terdapat perjanjian yang tidak dapat dimasukkan dalam salah satu ruangan dalam Buku III itu. Misalnya saja hal seorang yang menginap di suatu hotel dengan mendapat makanan dan pelayanan. Perjanjian apakah yang ia tutup dengan pemilik hotel? Bukan sewa menyewa kamar, sebab ia mendapat makanan dan pelayanan; juga bukan jual beli makanan dan minuman, sebab ia menginap juga disitu. Inilah suatu contoh dari suatu onbenoemde overeenkomst, suatu perjanjian yang tidak bernama.71

Pada dasarnya, pengklasifikasian perjanjian ke dalam jenis-jenis sebagaimana dinyatakan oleh para ahli hukum di atas adalah hal yang lumrah dan sangat berguna dalam rangka memperkaya khazanah ilmu hukum di Indonesia pada umumnya dan hukum perdata pada khususnya. Lebih lanjut, Taryana Soenandar menyebutkan, terdapat 12 (dua belas) prinsip hukum perjanjian yaitu sebagai berikut:72

1. Prinsip kebebasan berkontrak

Prinsip kebebasan berkontrak diwujudkan dalam 5 (lima) bentuk prinsip hukum, yaitu:

(a) Kebebasan menentukan isi kontrak; (b) Kebebasan menentukan bentuk kontrak; (c) Kontrak mengikat sebagai undang-undang;

(d) Aturan memaksa (mandatory rules) sebagai pengecualian;

71Ibid.,hal. 174-175.

(32)

(e) Sifat internasional dan tujuan prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam penafsiran kontrak.

2. Prinsip iktikad baik (good faith) dan transaksi jujur (fair dealing) Ada tiga unsur prinsip iktikad baik dan transaksi jujur, yaitu:

(a) Iktikad baik dan transaksi jujur sebagai prinsip dasar yang melandasi kontrak;

(b) Prinsip iktikad baik dan transaksi jujur ditekankan pada praktik perdagangan internasional;

(c) Prinsip iktikad baik dan transaksi jujur bersifat memaksa. 3. Prinsip diakuinya kebiasaan transaksi bisnis di negara setempat

Seseorang yang melakukan hubungan hukum kontraktual dengan mitra bisnis di negara lain, di dalam praktik harus tunduk pada hukum kebiasaan setempat.

Ada 6 (enam) hal pokok yang harus diperhatikan, yaitu bahwa: (a) Praktik kebiasaan harus memenuhi kriteria tertentu, (b) Praktik kebiasaan yang berlaku di lingkungan para pihak, (c) Praktik kebiasaan yang disepakati,

(d) Praktik kebiasaan lain yang diketahui luas atau rutin dilakukan, (e) Praktik kebiasaan yang tidak benar, dan

(33)

Praktik yang sudah biasa berlaku di antara para pihak secara otomatis akan mengikat para pihak, kecuali apabila mereka sepakat secara tegas untuk mengubaikannya. Kapan suatu praktik kebiasaan dianggap telah "berlaku" di antara para pihak, hal itu tergantung pada situasi dan kondisi dari setiap kasus. Akan tetapi, suatu praktik yang baru satu kali dilakukan dalam transaksi tidaklah cukup dianggap sebagai praktik yang sudah berlaku. 4. Prinsip kesepakatan melalui penawaran (offer) dan penerimaan

(acceptances) atau melalui tindakan.

Pada prinsipnya, kata sepakat dicapai melalui penawaran dan penerimaan. Inti dari ketentuan ini adalah bahwa persetujuan terjadi karena:

(a) Penawaran dan penerimaan;

(b) Perilaku yang menunjukkan adanya persetujuan untuk terikat kontrak. 5. Prinsip larangan bernegosiasi dengan iktikad buruk

Prinsip hukum yang berlaku bagi proses negosiasi adalah sebagai berikut: (a) Kebebasan negosiasi;

(b) Tanggung jawab atas negosiasi dengan iktikad buruk;

(c) Tanggung jawab atas pembatalan negosiasi dengan iktikad buruk. 6. Prinsip kewajiban menjaga kerahasiaan

(34)

pihak dalam negosiasi pada dasarnya tidak wajib untuk memberlakukan bahwa informasi yang mereka pertukarkan sebagai hal yang rahasia. Dengan kata lain, apabila para pihak bebas menentukan fakta mana yang relevan dengan transaksi yang sedang dinegosiasi, informasi tersebut dianggap bukan rahasia. Yakni informasi yang pihak lain dapat membukanya kepada orang ketiga atau menggunakannya untuk kepentingan sendiri walaupun kontrak tidak berhasil dibuat.

7. Prinsip perlindungan pihak lemah dari syarat-syarat baku

Apa yang menentukan bahwa suatu kontrak merupakan suatu kontrak baku? Penekanannya adalah pada fakta bahwa syarat baku itu secara nyata telah digunakan dan ditentukan oleh salah satu pihak tanpa negosiasi dengan pihak lainnya. Pihak yang kedudukannya lebih lemah harus dilindungi dalam perjanjian kontrak baku,

8. Prinsip syarat sahnya kontrak

Suatu kontrak adalah sah, bahkan apabila harta yang menjadi objek kontrak belum ada pada saat pembuatan kontrak. Dengan konsekuensi bahwa ketidakmungkinan prestasi pada awal itu harus berakhir saat pelaksanaan kontrak jatuh waktu.

9. Prinsip dapat dibatalkannya kontrak bila mengandung perbedaan besar (gross disparity)

(35)

mencolok diakibatkan adanya keuntungan yang berlebihan dan keuntungan yang tidak dibenarkan. Hal ini disebabkan oleh:

(a) Posisi tawar yang tidak seimbang; (b) Sifat dan tujuan dari kontrak; dan

(c) Faktor-faktor lain, sehingga menimbulkan hak untuk membatalkan atau mengubah kontrak tersebut.

Salah satu pihak boleh meminta pembatalan kontrak apabila terjadi perbedaan mencolok (gross disparity) yang memberikan keuntungan berlebihan secara yang tidak sah kepada salah satu pihak.

10. Prinsipcontra proferentemdalam penafsiran kontrak baku

Contra Proferentem Rule menyatakan bahwa jika syarat kontrak yang diajukan oleh salah satu pihak tidak jelas maka penafsiran yang berlawanan dengan pihak tersebut harus didahulukan. Para pihak harus bertanggungjawab atas rumusan syarat kontrak, baik ia merancang sendiri maupun karena ia telah mengajukan syarat-syarat terhadap kontrak tersebut. Cara pemberlakuan aturan ini akan tergantung pada hal-hal sebagai berikut: (a) Keadaan dari kasus yang dihadapi;

(b) Sifat kekurangan syarat kontrak yang merupakan pokok objek negosiasi lebih lanjut antara para pihak;

(c) Pembenaran untuk menafsirkan syarat itu yang melawan pihak pembuat klausul baku tersebut.

(36)

Apabila pelaksanaan kontrak menjadi lebih berat bagi salah satu pihak, pihak tersebut bagaimanapun juga terikat melaksanakan perikatannya dengan tunduk pada ketentuan mengenai keadaan sulit (hardship). Ketentuan ini menentukan dua hal pokok, yaitu;

(a) Sifat mengikat dari kontrak sebagai aturan umum; dan

(b) Perubahan keadaan yang relevan dengan kontrak jangka panjang.

Tujuan dari ketentuan ini adalah untuk menegaskan bahwa sebagai akibat berlakunya prinsip umum tentang sifat mengikat kontrak maka pelaksanaan kontrak harus dijalankan sepanjang hal itu mungkin tanpa memperhatikan beban yang dapat dipikul oleh pihak yang melaksanakan. Dengan kata lain, walaupun salah satu pihak mengalami kerugian besar atau pelaksanaan kontrak menjadi tidak berarti bagi pihak lain, kontrak bagaimanapun juga harus tetap dihormati.

12. Prinsip pembebasan tanggung jawab dalam keadaan memaksa (force majeur)

Wanprestasi adalah gagalnya salah satu pihak untuk melaksanakan setiap kewajiban berdasarkan kontrak, termasuk pelaksanaan yang cacat atau yang terlambat. Defenisi wanprestasi mencakup segala bentuk pelaksanaan yang mengandung cacat sampai pada kegagalan pelaksanaan secara total.

(37)

kontrak tersebut atau karena adanya peristiwa eksternal yang tidak diharapkan.

Ketentuan mengenai keadaan memaksa antara lain sebagai berikut:

(a) Wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak dapat dimaafkan apabila pihak tersebut dapat membuktikan bahwa wanprestasinya disebabkan oleh suatu rintangan di luar pengawasannya, dan hal itu secara wajar tidak diharapkan akan terjadi.

(b) Apabila rintangan hanya bersifat sementara maka pemberian maaf akan berakibat hukum atas jangka waktu dengan memperhatikan akibat dari rintangan pelaksanaan kontrak tersebut.

(c) Pihak yang gagal melaksanakan kontrak harus menyampaikan pemberitahuan kepada pihak lain tentang rintangan dan akibat terhadap kemampuannya untuk melaksanakan kontrak. Jika pemberitahuan itu tidak diterima oleh pihak lain dalam jangka waktu yang wajar setelah pihak yang gagal melaksanakan mengetahui atau seharusnya telah mengetahui adanya rintangan itu, ia bertanggungjawab atas kerugian akibat dari tidak diterimanya pemberitahuan tersebut.

Perihal utama selanjutnya mengenai perjanjian adalah bahwa perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya (Pacta Sunt Servande).73

(38)

Pasal 1338 KUH Perdata mengatur “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Dengan kalimat ini, dimaksudkan tidak lain bahwa suatu perjanjian yang dibuat secara sah–artinya tidak bertentangan dengan undang-undangan- mengikat kedua belah pihak. Perjanjian itu pada umumnya tidak dapat ditarik kembali kecuali dengan persetujuan kedua belah pihak atau berdasarkan alasan-alasan yang ditetapkan oleh undang-undang.74

Asas yang diatur dalam Pasal 1338 KUH Perdata ini merupakan konsekuensi logis dari ketentuan Pasal 1233 KUH Perdata yang menyatakan bahwa setiap perikatan lahir dari undang-undang maupun karena perjanjian. Suatu prestasi untuk melaksanakan suatu kewajiban selalu memiliki dua unsur penting. Pertama,berhubungan dengan tanggung jawab hukum atas pelaksanaan prestasi tersebut oleh debitor (schuld). Dalam hal ini ditentukan siapa debitor yang berkewajiban untuk melaksanakan prestasi, tanpa mempersoalkan apakah pemenuhan kewajiban tersebut dapat dituntut oleh kreditor yang berhak atas pelaksanaan kewajiban tersebut. Kedua, berkaitan dengan pertanggungjawaban pemenuhan kewajiban tanpa memperhatikan siapa debitornya (haftung). Pada umumnya dalam setiap perikatan, pemenuhan prestasi yang berhubungan dengan kedua hal tersebut (schuld dan haftung) terletak di pundak debitor. Ini berarti debitor yang berkewajiban untuk memenuhi perikatan, adalah juga seharusnya dapat dimintakan pertanggungjawabannya untuk memenuhi kewajiban yang

(39)

dibebankan kepadanya berdasarkan pada perikatan yang lahir dari hubungan hukum di antara para pihak dalam perikatan tersebut.75

Selain merupakan konsekuensi logis dari ketentuan Pasal 1233 KUH Perdata, pernyataan yang dimuat dalam Pasal 1338 KUH Perdata menguatkan kembali atau menegaskan kembali asas personalia dari suatu perjanjian. Agak berbeda dari suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku umum bagi seluruh anggota masyarakat, tanpa kecuali, perjanjian hanya berlaku diantara para pihak yang membuatnya. Jadi pemaksaan berlakunya pelaksanaan dari perjanjian hanya dapat dilakukan oleh salah satu pihak atau lebih dalam perjanjian terhadap pihak-pihak lainnya dalam perjanjian.

Dalam kaitannya dengan asas keberlakuan perjanjian sebagai undang-undang, dapat kita coba bahas kembali hal-hal yang berkaitan dengan perjanjian formil. Alasan mengapa perjanjian formil yang harus dibuat secara tertulis dan kadangkala harus dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang berwenang adalah karena tiga hal pokok, yaitu:

1) Penyerahan hak milik dari kebendaan yang dialihkan, yang menurut Pasal 613 dan 616 KUH Perdata harus dilakukan dalam bentuk akta otentik atau akta di bawah tangan. Khusus mengenai hak atas tanah, ketentuannya dapat kita temukan dalam UU Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960.

2) Sifat dari isi perjanjian itu sendiri, yang materi muatannya perlu dan harus diketahui oleh umum. Pada umumnya jenis perjanjian ini dapat ditemukan

(40)

dalam perjanjian yang bertujuan untuk mendirikan suatu badan hukum, yang selanjutnya akan menjadi suatu persona standi in judicio sendiri, terlepas dari keberadaan para pihak yang berjanji untuk mendirikannya sebagai subyek hukum yang mandiri; ataupun yang menciptakan suatu hubungan hukum yang berbeda di antara para pendiri.

3) Penjaminan sebagai tindakan atau perbuatan hukum yang menerbitkan hubungan hukum kebendaan baru, yang memiliki sifat kebendaan.76

Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa perjanjian dalam bentuk dan sifat apapun, memegang peranan kedudukan yang sangat penting dalam hukum perdata Indonesia. Perjanjian telah ikut membentuk hukum perdata Indonesia sebagai hukum positif. Perjanjian adalah satu bagian utama dan pokok dari hukum perdata Indonesia. Tanpa perjanjian, mustahil KUH Perdata dapat disusun seperti yang ada saat ini.77Perjanjian tidak hanya memiliki peranan penting bagi para pihak yang membuatnya,78 tetapi juga memberikan manfaat baik secara langsung maupun tidak langsung bagi pihak lain.

3. Kedudukan Perjanjian Bangun Guna Serah(Build Operate Transfer/ BOT)dalam Hukum Perdata Indonesia

Bangun Guna Serah (BGS) adalah pemanfaatan tanah milik pemerintah oleh pihak lain dengan mendirikan bangunan dan/atau sarana, berikut fasilitasnya, kemudian didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu

76

Ibid.hal. 60-61.

(41)

yang telah disepakati, untuk selanjutnya tanah beserta bangunan dan/atau sarana, berikut fasilitasnya, diserahkan kembali kepada Pengelola Barang setelah berakhirnya jangka waktu.79

Bangun Guna Serah adalah pemanfaatan barang milik negara/daerah berupa tanah oleh pihak lain dengan cara mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya, kemudian didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang telah disepakati, untuk selanjutnya diserahkan kembali tanah beserta bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya setelah berakhirnya jangka waktu.80

Bangun Guna Serah berbeda dengan Bangun Serah Guna yaitu pemanfaatan barang milik negara/daerah berupa tanah oleh pihak lain dengan cara mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya, dan setelah selesai pembangunannya diserahkan untuk didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang disepakati.81

BOT = Build-Operate-Transfer (dibangun, dioperasikan, diserahkan kembali) adalah tanah pemerintah dibangun oleh pihak ketiga dan setelah pembangunan selesai, bangunan tersebut dioperasikan oleh pihak ketiga yang bersangkutan untuk jangka waktu tertentu. Tanah dan bangunan tersebut harus

79Angka 1 Lampiran V Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.06/2007 tentang Tata

Cara Pelaksanaan Penggunaan, Pemanfaatan, Penghapusan dan Pemindahtanganan Barang Milik Negara.

80

Angka 12 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/ Daerah.

81Angka 13 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Peraturan

(42)

diserahkan kembali kepada Pemerintah Daerah pemilik tanah setelah berakhirnya jangka waktu yang ditentukan.82

Pelaksanaan Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT) merupakan salah bentuk pemanfaatan tanah milik pemerintah. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam angka 8 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2008 yaitu:

Pemanfaatan adalah pendayagunaan barang milik negara/daerah yang tidak dipergunakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi kementerian/ lembaga/ satuan kerja perangkat daerah, dalam bentuk sewa, pinjam pakai, kerjasama pemanfaatan, dan bangun serah guna/bangun guna serah dengan tidak mengubah status kepemilikan.83

Pelaksanaan Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT) wajib dilakukan melalui sebuah perjanjian, dan perjanjian tersebut disebut dengan Perjanjian Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT Agreement) dengan alasan sebagai berikut:

a. Sebagai bentuk pelaksanaan ketentuan Pasal 41 ayat (7) Permendagri Nomor 17 Tahun 2007 yang berbunyi sebagai berikut:

Bangun guna serah dilaksanakan berdasarkan surat perjanjian yang sekurang-kurangnya memuat:

a. pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian; b. objek bangun guna serah;

c. jangka waktu bangun guna serah;

d. hak dan kewajiban para pihak yang terikat dalam perjanjian; dan e. persyaratan lain yang dianggap perlu.

82Yoga Puspita,

Op. Cit. hal. 1.

83Angka 8 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Peraturan

(43)

b. Pelaksanaan Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT) memenuhi unsur-unsur perjanjian sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata.

Sebagaimana telah diuraikan pada bagian terdahulu, unsur perjanjian berdasarkan ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata adalah sebagai berikut: 1) Adanya suatu perbuatan;

2) Antara sekurangnya dua pihak (jadi dapat lebih dari dua pihak);

3) Perbuatan tersebut melahirkan perikatan di antara pihak-pihak yang berjanji tersebut.84

Pelaksanaan Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT) memenuhi ketiga unsur tersebut dengan landasan sebagai berikut:

1) Terdapat “perbuatan” yaitu penyerahan tanah milik pemerintah dan pendayagunaan oleh pihak lain yaitu dalam hal ini pihak swasta;

2) Terdapat “dua pihak atau lebih” yaitu Pemerintah selaku pemilik tanah dan pihak swasta selaku pengelola;

3) Terdapat “perbuatan yang melahirkan perikatan diantara pihak-pihak yang berjanji tersebut” yaitu perikatan yang mewajibkan Pemerintah untuk menyerahkan tanah miliknya untuk selanjutnya dikelola oleh pihak swasta untuk tujuan dan jangka waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian.

(44)

Dengan telah dipenuhinya unsur-unsur perjanjian Pasal 1313 KUH Perdata tersebut maka dapatlah disimpulkan bahwa pelaksanaan Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT)wajib dilakukan melalui sebuah perjanjian. c. Untuk memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang terlibat dalam

pelaksanaan Bangun Guna Serah(Build Operate Transfer/ BOT)tersebut. Arti penting suatu kontrak paling tidak adalah dalam hal-hal:85

1) Untuk mengetahui perikatan apa yang dilakukan dan kapan serta dimana kontrak tersebut dilakukan;

2) Untuk mengetahui secara jelas siapa yang saling mengikatkan dirinya tersebut dalam kontrak dimaksud;

3) Untuk mengetahui hak dan kewajiban para pihak, apa yang harus, apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh para pihak;

4) Untuk mengetahui syarat-syarat berlakunya kontrak tersebut;

5) Untuk mengetahui cara-cara yang dipilih untuk menyelesaikan perselisihan dan pilihan domisili hukum yang dipilih bila terjadi perselisihan antara para pihak;

6) Untuk mengetahui kapan berakhirnya kontrak, atau hal-hal apa saja yang mengakibatkan berakhirnya kontrak tersebut;

7) Sebagai alat untuk memantau bagi para pihak, apakah pihak lawan masing-masing telah menunaikan prestasinya atau belum, atau bahkan malah telah melakukan suatu wanprestasi;

(45)

8) Sebagai alat bukti bagi para pihak apabila terjadi perselisihan dikemudian hari, seperti apabila terjadi wanprestasi oleh salah satu pihak dalam kontrak dimaksud. Termasuk apabila ada pihak ketiga yang mungkin keberatan dengan suatu kontrak dan mengharuskan kedua belah pihak untuk membuktikan hal-hal yang berkaitan dengan kontrak dimaksud. Mengingat arti penting kontrak sebagaimana disebut di atas maka menjadi sangat wajar dan sangat beralasan demi hukum, pelaksanaan Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT)dituangkan dalam bentuk perjanjian.

Walau demikian, hingga saat ini tidak ditemukan literatur yang mengatur atau menjelaskan mengenai defenisi Perjanjian Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT Agreement).

Untuk menemukan defenisi tersebut, akan digabungkan defenisi perjanjian yaitu:

Suatu Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih

dengan defenisi Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT)yaitu: Bangun Guna Serah (BGS) adalah pemanfaatan tanah milik pemerintah oleh pihak lain dengan mendirikan bangunan dan/atau sarana, berikut fasilitasnya, kemudian didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang telah disepakati, untuk selanjutnya tanah beserta bangunan dan/atau sarana, berikut fasilitasnya, diserahkan kembali kepada Pengelola Barang setelah berakhirnya jangka waktu.

(46)

“Perbuatan dengan mana pemerintah mengikatkan diri dengan pihak lain dalam hal pemanfaatan tanah milik pemerintah oleh pihak lain tersebut dengan mendirikan bangunan dan/atau sarana, berikut fasilitasnya, kemudian didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang telah disepakati, untuk selanjutnya tanah beserta bangunan dan/atau sarana, berikut fasilitasnya, diserahkan kembali kepada Pengelola Barang setelah berakhirnya jangka waktu”.

Jika diklasifikasikan ke dalam jenis perjanjian sesuai pendapat Mariam Darus Badrulzaman86 maka Perjanjian Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT Agreement) termasuk dalam jenis:

1) Perjanjian timbal balik yaitu perjanjian yang menimbulkan kewajiban atau prestasi kepada kedua belah pihak; dan

2) Perjanjian atas beban yaitu perjanjian dimana terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lain, dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum.

Jika diklasifikasikan ke dalam jenis perjanjian menurut pendapat Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja87 maka Perjanjian Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT Agreement) termasuk dalam jenis:

1) Perjanjian formil yaitu perjanjian yang harus dituangkan dalam bentuk tertulis; dan

86Mariam Darus Badrulzaman,Op. Cit.hal. 80.

(47)

2) Perjanjian riil yaitu perjanjian yang mengharuskan adanya perbuatan nyata yang harus dipenuhi agar perjanjian yang dibuat tersebut mengikat para pihak yang mengadakan perjanjian. Dalam hal ini, perbuatan tersebut adalah penyerahan tanah milik pemerintah kepada pihak lain, pengelolaan oleh pihak lain tersebut dan pengembalian tanah beserta fasilitasnya kepada pemerintah sesuai syarat dan jangka waktu yang ditentukan dalam perjanjian.

Jika diklasifikasikan ke dalam jenis perjanjian menurut pendapat Taryana Soenandar88maka Perjanjian Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT Agreement) termasuk dalam jenis kontrak formal dan kontrak timbal balik.

Jika diklasifikasikan ke dalam jenis perjanjian menurut pendapat Subekti89 maka Perjanjian Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT Agreement) termasuk dalam jenis perikatan yang tidak dapat dibagi dan perjanjian tidak bernama (onbenoemde overeenkomst).

BOT (Build Operate Transfer) merupakan suatu teknik pemerintah untuk mengembangkan proyek-proyek infrastruktur meliputi beragam fasilitas yang berfungsi utama untuk melayani kebutuhan masyarakat, untuk memberikan pelayanan sosial dan mempromosikan kegiatan ekonomi dengan menggunakan inisiatif dan pendanaan dari pihak swasta. Keterlibatan pihak swasta dalam program BOT (Build Operate Transfer) dalam hal mendesain, menyediakan

(48)

keuangan, membangun dan mengoperasikan fasilitas untuk kemudian akhirnya, setelah masa jangka waktu tertentu kepemilikan ditransfer kepada pemerintah.

Pemerintah memilih pelaksanaan program BOT (Build Operate Transfer) adalah untuk mendapatkan pendanaan dari pihak swasta serta sumber daya yang kompeten dalam bidang pengembangkan infrastruktur. Investasi uang selalu sebanding dengan risiko dan tingkatreturn on investment; risiko lebih tinggi jika secara ekonomi proyek tersebut tidaklah ekonomis. Dalam keadaan seperti itu, negosiasi untuk pengaturan ekuitas-utang dengan penghindaran risiko bisa saja memakan waktu yang lama, membuat proyek BOT lebih mahal daripada jika pemerintah mengerjakan proyek itu sendiri. Jadi, ketika proyek dianggap tidak ekonomis, pemerintah harus mempertimbangkan mengerjakan proyek sendiri atau setidaknya melakukan investasi publik tertentu dalam proyek BOT. Bila pembiayaan internasional dianggap perlu, maka pemerintah harus mempertimbangkan dengan hati-hati dalam menetapkan fee bagi penggunaan fasilitas, terutama jika ekonomi nasional buruk dan kemungkinan terjadi devaluasi mata uang lokal.90 Dengan kata lain, Perjanjian Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT Agreement) muncul untuk mengisi kekosongan hukum yang ada yaitu pemerintah merasa lebih diuntungkan dengan memberikan hak pengelolaan tanah pemerintah kepada pihak lain untuk selanjutnya dikembalikan kepada pemerintah dalam kondisi dan sesuai jangka waktu yang diperjanjikan.

90http://advokatku.blogspot.com/2009/05/bot-build-operate-and-transfer.html, diakses pada

(49)

Di sisi lain, Perjanjian Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT Agreement) sebagai salah satu dari sekian banyak perjanjian tidak bernama (onbenoemde overeenkomst)muncul dengan dilandasi asas kebebasan berkontrak. Asas kebebasan berkontrak di dalam pustaka-pustaka yang berbahasa Inggeris dituangkan dengan istilah “Freedom of Contract” atau “Liberty of Contract” atau“Party Autonomy”. Istilah yang pertama lebih umum dipakai daripada yang kedua dan ketiga. Asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang universal sifatnya, artinya dianut oleh hukum perjanjian di semua negara pada umumnya.91

Kebebasan berkontrak adalah kebebasan para pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian untuk dapat menyusun dan menyetujui klausul-klausul dari perjanjian tersebut, tanpa campur tangan pihak lain.92

Seperti halnya asas konsensualitas, asas kebebasan berkontrak menemukan dasar hukumnya pada rumusan Pasal 1320 KUH Perdata yang berbunyi:

“Untuk sahnya perjanjian-perjanjian, diperlukan empat syarat: 1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;

2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian; 3. Suatu pokok persoalan tertentu;

4. Suatu sebab yang tidak terlarang.”

Asas kebebasan berkontrak mendapatkan dasar eksistensinya dalam rumusan angka 4 Pasal 1320 KUH Perdata.93

91

Sutan Remy Sjahdeini,Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia,(Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2009), hal. 22.

92Ibid.,hal. 12.

(50)

Dengan demikian, terbukti bahwa Perjanjian Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT Agreement) adalah perjanjian yang telah mendapatkan dasar eksistensi dan landasan prinsip yang sah sehingga menjadi suatu jenis perjanjian baru di lapangan hukum perdata Indonesia.

Hal ini membuktikan bahwa perjanjian secara umum dan Perjanjian Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT Agreement) secara khusus memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Perjanjian dapat mengisi kekosongan hukum dan dapat menjadi solusi alternatif terhadap suatu masalah yang ada.

Referensi

Dokumen terkait

Bursa Indonesia hari ini diperkirakan akan bergerak mixed namun masih berpotensi mengalami rebound setelah mulai muncul minat beli pada akhir sesi

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat, hidayah, dan tak lupa sholawat serta salam teruntuk Nabi Muhammad yang selalu memberikan

perubahan kenampakan bumi pada kelas IV semester II dengan standar.. kompetensi dan kompetensi dasar yang akan dijadikan bahan penelitian. seperti tabel 2.2.

Hasil dari penelitian ini adalah, pertama, strategi sosial yang ditunjukan oleh seorang single mother hidup dengan orang tua mereka untuk menghindari tekanan

Dengan penggunaan media sosial instagram sebagai bentuk keterbukaan informasi publik yang dijalankan oleh humas instansi pemerintah dalam menghadapi semua masalah

The whole study can be divided into the following four parts: (1) data pre-processing, (2) rice plant growth analysis using VI, (3) extracting rice crop parameters (e.g.

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan akhir dengan judul

Dalam sebuah penelitian tentang dampak dari perencanaan sumber daya manusia terhadap kinerja organisasi, Nkomo (1987) mengemukakan bahwa tidak terdapat perbedaan yang