• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEANEKARAGAMAN ARTROPODA PADA DUA TIPE AGROEKOSISTEM TANAMAN CABAI (Capsicum annum L.)DI KABUPATEN TANGGAMUS, LAMPUNG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KEANEKARAGAMAN ARTROPODA PADA DUA TIPE AGROEKOSISTEM TANAMAN CABAI (Capsicum annum L.)DI KABUPATEN TANGGAMUS, LAMPUNG"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

KEANEKARAGAMAN ARTROPODA PADA DUA TIPE AGROEKOSISTEM TANAMAN CABAI (Capsicum annum L.)

DI KABUPATEN TANGGAMUS, LAMPUNG OLEH

NANDA AFRI YUDHA

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemelimpahan dan keanekaragaman Artropoda pada pertanaman cabai di agroekosistem hutan kawasan dan persawahan. Penelitian menggunakan metode purposive sampling atau ditentukan secara sengaja pada 2 Kecamatan yaitu Kecamatan Gisting dan Sumberejo, dimana setiap kecamatan dipilih 3 hamparan pertanaman cabai dengan lahan seluas 25 m x 25 m sebagai situs pengamatan. Pengambilan sampel Artropoda tanah dengan menggunakan perangkap sumuran yang diletakkan secara diagonal serta pengamatan Artropoda tajuk dengan menggunakan 5 tanaman contoh yang dipilih secara sistematik random dalam setiap situs pengamatan. Hasil penelitian menunjukkan seluruh individu Artropoda yang ditemukan di permukaan tanah 17.943 ekor terdiri dari 11 ordo dan 36 famili, sedangkan yang ditemukan di tajuk 6.786 ekor yang terdiri dari 5 ordo dan 5 famili. Kemelimpahan Artropoda permukaan tanah lebih tinggi terjadi di hutan kawasan sedangkan keragamannya lebih tinggi di persawahan. Kemelimpahan Artropoda tajuk dan indeks Shannon nya lebih tinggi di hutan kawasan, tetapi indeks kemerataan dan indeks kekayaan jenisnya lebih tinggi di persawahan.

(2)

KEANEKARAGAMAN ARTROPODA PADA DUA TIPE AGROEKOSISTEM TANAMAN CABAI (Capsicum annum L.)

DI KABUPATEN TANGGAMUS, LAMPUNG

(Skripsi)

Oleh

NANDA AFRI YUDHA

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

(3)

ABSTRAK

KEANEKARAGAMAN ARTROPODA PADA DUA TIPE AGROEKOSISTEM TANAMAN CABAI (Capsicum annum L.)

DI KABUPATEN TANGGAMUS, LAMPUNG OLEH

NANDA AFRI YUDHA

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemelimpahan dan keanekaragaman Artropoda pada pertanaman cabai di agroekosistem hutan kawasan dan persawahan. Penelitian menggunakan metode purposive sampling atau ditentukan secara sengaja pada 2 Kecamatan yaitu Kecamatan Gisting dan Sumberejo, dimana setiap kecamatan dipilih 3 hamparan pertanaman cabai dengan lahan seluas 25 m x 25 m sebagai situs pengamatan. Pengambilan sampel Artropoda tanah dengan menggunakan perangkap sumuran yang diletakkan secara diagonal serta pengamatan Artropoda tajuk dengan menggunakan 5 tanaman contoh yang dipilih secara sistematik random dalam setiap situs pengamatan. Hasil penelitian menunjukkan seluruh individu Artropoda yang ditemukan di permukaan tanah 17.943 ekor terdiri dari 11 ordo dan 36 famili, sedangkan yang ditemukan di tajuk 6.786 ekor yang terdiri dari 5 ordo dan 5 famili. Kemelimpahan Artropoda permukaan tanah lebih tinggi terjadi di hutan kawasan sedangkan keragamannya lebih tinggi di persawahan. Kemelimpahan Artropoda tajuk dan indeks Shannon nya lebih tinggi di hutan kawasan, tetapi indeks kemerataan dan indeks kekayaan jenisnya lebih tinggi di persawahan.

(4)

KEANEKARAGAMAN ARTROPODA PADA DUA TIPE

AGROEKOSISTEM TANAMAN CABAI (

Capsicum annum

L.)

DI KABUPATEN TANGGAMUS, LAMPUNG

Oleh Nanda Afri Yudha

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PERTANIAN

Pada

Jurusan Agroteknologi

Fakultas Pertanian Universitas Lampung

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS LAMPUNG

(5)
(6)
(7)

“Jangan menunda

-nunda untuk melakukan suatu pekerjaan karena

tidak ada yang tahu apakah kita dapat bertemu hari esok atau

(8)
(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Metro pada tanggal 21 April 1992, sebagai anak kedua dari empat bersaudara, buah kasih dari Bapak Suwanto dan Ibu Muji Utami.

Pendidikan Taman Kanak-Kanak (TK) penulis selesaikan di TK Pertiwi Teladan Metro pada tahun 1998. Penulis menempuh pendidikan Sekolah Dasar di SD Teladan Metro pada tahun 1998 sampai dengan tahun 2004. Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) penulis selesaikan di SLTP Negeri 2 Metro pada tahun 2007, dan Sekolah Menengah Umum (SMU) di SMU Kartikatama Metro diselesailan pada tahun 2010.

Pada tahun 2011, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung melalui jalur SNMPTN.

Selama menjadi mahasiswa Unila, penulis pernah mendapatkan beasiswa BBM pada tahun 2012.

Pada tahun 2014, penulis melaksanakan Praktik Umum di Taman Bogo,

(10)

SANWACANA

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi dengan judul “Keanekaragaman Artropoda Pada Dua Tipe Agroekosistem Tanaman Cabai

(Capsicum annum L.) di Kabupaten Tanggamus, Lampung” ini adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung.

Penulis menyadari keberhasilan penulis, baik dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, sehingga pada kesempatan ini penulis ingin berterima kasih kepada:

1. Ibu Yuyun Fitriana, S.P., M.P., Ph. Dselaku Dosen Pembimbing I atas waktu dan kesabarannya untuk membimbing dan memberi masukan dalam proses penyelesaian skripsi ini.

2. Bapak Dr. Ir. I Gede Swibawa, M.S. selaku Pembimbing II, yang telah membimbing dan meluangkan waktunya dalam penyelesaian skripsi ini.

3. Bapak Prof. Dr. Ir. Purnomo, M.S. selaku Pembahas atas semua kritik dan saran yang membangun serta memberikan motivasi selama ini.

(11)

ix

6. Prof. Dr. Ir. Irwan Sukri Banuwa, M.Si. selaku Dekan Fakultas Pertanian. 7. Seluruh staf pengajar dan karyawan Jurusan Agroteknologi atas ilmu

pengetahuan, bantuan, dan kemudahan yang telah diberikan selama ini. 8. Keluarga tersayang, Bapak (Suwanto) dan Ibuku (Muji Utami) yang selalu

berdoa yang terbaik untuk anak-anaknya, serta kakak (Rekha D. W) dan adik-adikku (Derry A & Khesya Z.P). Terima kasih atas semangat, dukungan, kasih sayang, nasehat, serta kesabaran yang tak pernah putus diberikan kepadaku. 9. Yeni Wasari yang selalu memberiku semangat, dukungan dan motivasi selama

ini.

10. Rekan satu kontrakan ( Faris L. Hadi & Rendi Febrianto) , terima kasih atas dukungan dan waktu untuk kebersamaan selama ini.

11. Saudara seperjuangan AK, Rudi, Son, Irvan, Kardo, Yoga, Yongki, Suhendra, Prianto, Redman, Yanuar, Fajri, Septa, Thoriq, Tio, Tedjo. terima kasih untuk kebersamaannya selama ini, serta bantuannya dalam memperlancar skripsi ini. 12. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, terima kasih telah

memberikan banyak inspirasi pada penulis.

Penulis berharap Allah SWT membalas kebaikan Saudara-saudara, dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Bandar Lampung, Penulis,

(12)
(13)

xi

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 39

5.1. Kesimpulan ... 39

5.2. Saran ... 40

(14)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Karakteristik lokasi penelitian ... 17

2. Kategori keanekaragaman Artropoda berdasarkan indeks Shannon ... 21

3. Kriteria Indeks Kekayaan Jenis... 23

4. Budidaya Cabai di Kecamatan Gisting dan Sumberejo ... 25

5. Jumlah ordo, famili, dan individu Artropoda pada pertanaman cabai di agroekosistem hutan kawasan dan persawahan ... 27

6. Analisis Statistik Uji-t jumlah individu Artropoda permukaan tanah... 46

7. Analisis Statistik Uji-t indeks keanekaragaman Artropoda permukaan tanah ... 46

8. Analisis Statistik Uji-t indeks kemerataan Artropoda permukaan tanah ... 46

9. Analisis Statistik Uji-t indeks kekayaan jenis Artropoda permukaan tanah ... 46

10. Analisis Statistik Uji-t jumlah individu Artropoda tajuk ... 47

11. Analisis Statistik Uji-t indeks keanekaragaman Artropoda tajuk ... 47

12. Analisis Statistik Uji-t indeks kemerataan Artropoda tajuk... 47

(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Hama Tirip ... 7

2. Hama Kutu Daun ... 8

3. Hama Lalat Buah ... 10

4. Kumbang Koksi ... 12

5. Kumbang Tomcat ... 13

6. Petak Pengamatan ... 18

7. Perangkap Pitfall ... 19

8. Denah Posisi Tanaman Sampel ... 20

9. Fluktuasi kemelimpahan Artropoda permukaan tanah di tipe agroekosistem hutan kawasan dan persawahan pada pertanaman cabai ... 30

10. Fluktuasi kemelimpahan Artropoda tajuk di tipe agroekosistem hutan kawasan dan persawahan pada pertanaman cabai ... 31

11. Fluktuasi Indeks Keanekaragaman Shannon Artropoda permukaan tanah di tipe agroekosistem hutan kawasan dan persawahan pada pertanaman cabai ... 33

12. Fluktuasi Indeks Keanekaragaman Shannon Artropoda tajuk di tipe agroekosistem hutan kawasan dan persawahan pada pertanaman cabai ... 34

13. Fluktuasi Indeks Kemerataan Artropoda permukaan tanah di tipe agroekosistem hutan kawasan dan persawahan pada pertanaman cabai ... 35

(16)

xiv

15. Fluktuasi Indeks Kekayaan Jenis Artropoda permukaan tanah di tipe

agroekosistem hutan kawasan dan persawahan pada pertanaman cabai ... 37

16. Fluktuasi Indeks Kekayaan Jenis Artropoda tajuk di tipe agroekosistem hutan kawasan dan persawahan pada pertanaman cabai ... 38

17. Ordo Hymenoptera ... 48

18. Ordo Diptera ... 48

19. Ordo Coleoptera ... 48

20. Ordo Hemiptera ... 49

21. Ordo Tysanoptera ... 49

22. Ordo Colembola ... 49

23. Ordo Diplura ... 50

24. Ordo Orthoptera ... 50

25. Ordo Araneae ... 50

(17)

I. PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Cabai (Capsicum annum L.) merupakan tanaman sayuran yang

keberadaannya tidak bisa dipisahkan dari masyarakat Indonesia karena rasa pedas buahnya. Sifatnya tersebut menyebabkan permintaan cabai terus meningkat dari waktu ke waktu. Selain itu, cabai juga dijadikan salah satu komoditas ekspor sayuran segar yang diandalkan setelah bawang merah, tomat, kentang, kubis, dan wortel (Prajanata, 2007). Menurut BPS (2015), produksi cabai nasional terus meningkat yaitu pada tahun 2011 sebesar 888.852 ton, tahun 2012 sebesar

954.310 ton, tahun 2013 sebesar 1.012.879 ton, tahun 2014 sebesar 1.074.602 ton dan tahun 2015 sebesar 1.087.572 ton. Namun, peningkatan produksi cabai ini tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan cabai nasional yang terus meningkat juga.

(18)

2

Pada ekosistem pertanian dijumpai komunitas Artropoda yang terdiri atas banyak jenis dan masing-masing jenis memperlihatkan sifat populasinya yang khas. Tidak semua jenis Artropoda dalam agroekosistem merupakan Artropoda hama yang merugikan melainkan Artropoda yang bermanfaat, seperti musuh alami hama yaitu predator dan parasitoid, ada juga yang bermanfaat sebagai penyerbuk bunga dan penghancur sisa-sisa bahan organik. Tingkat stabilitas suatu ekosistem pertanian ditentukan oleh struktur jaringan trofik dan interaksi antar komponen-komponen komunitas termasuk herbivora (hama), karnivora yaitu predator dan parasit (Untung, 1996).

Menurut Harpenas & Dermawan (2010), beberapa kondisi ekologis yang perlu dipenuhi untuk tanaman cabai adalah sebagai berikut: tanaman cabai dapat ditanam pada dataran rendah hingga dataran tinggi dengan ketinggian 1300 m dpl. Penanaman di dataran tinggi memerlukan teknik budidaya tersendiri serta

pemilihan benih yang adaptif terhadap lingkungan dataran tinggi.

Kabupaten Tanggamus merupakan salah satu daerah sentra tanaman sayuran di Provinsi Lampung. Sayuran seperti cabai di daerah ini ditanam, baik di hutan kawasan yang merupakan dataran tinggi maupun di persawahan yang

merupakan dataran rendah. Kedua lokasi penanaman cabai semacam ini akan memiliki kondisi agroekosistem yang berbeda.

(19)

3

pertanaman cabai mempengaruhi kemelimpahan dan keanekaragaman komunitas Artropoda.

1.2Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kemelimpahan dan keanekaragaman Artropoda pada pertanaman cabai di agroekosistem hutan kawasan dan persawahan.

1.3 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini akan menghasilkan informasi tentang keanekaragaman Artropoda pada dua tipe agroekosistem pertanaman cabai yaitu hutan kawasan yang terletak di dataran tinggi dan persawahan yang terletak di dataran rendah. Informasi mengenai keanekaragaman Artropoda di dua ekosistem cabai yang berbeda dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan pengambilan keputusan tindakan pengendalian hama tanaman tersebut.

1.4 Kerangka Pemikiran

Artropoda merupakan filum terbesar dalam dunia hewan yang meliputi serangga, laba-laba, udang, lipan, dan hewan sejenis lainnya. Artropoda memiliki lima kelas, yaitu kelas Chilopoda, kelas Diplopoda, kelas Crustacea, kelas

(20)

4

Serangga adalah kelompok yang paling dominan dalam filum Artropoda. Jumlah spesies serangga sebelas kali lebih besar dari jumlah spesies Artropoda kelompok lain. Dari sekitar 1.956.000 spesies organisme yang telah dideskripsi, 950.000 spesies adalah serangga dan 125.000 spesies adalah Artropoda lain bukan serangga (Lilies, 1991). Jenis-jenis serangga yang ada di alam berperan sebagai herbivora, karnivora, dan detritivora (Suwiryo, 2006). Banyak jenis Artropoda berasosiasi dengan pertanaman cabai.

Pertanaman cabai mempunyai peran penting yang dapat menjadi tempat hidup serangga dipermukaan tanah baik untuk tempat tinggal, mencari makan maupun berkembang biak. Kehidupan serangga sangat tergantung pada

habitatnya, karena keberadaannya dan kepadatan populasinya sangat ditentukan oleh faktor lingkungan (Sarief, 1986). Tanaman cabai banyak ditanam di daerah dataran tinggi dan dataran rendah di Lampung.

Kecamatan Gisting dan Sumberejo merupakan daerah yang banyak ditanami cabai. Letak topografi dan lingkungan di kedua kecamatan tersebut cocok untuk tanaman cabai. Cabai di Kecamatan Gisting banyak ditanam di hutan kawasan yang terletak di dataran tinggi, sedangkan di Kecamatan Sumberejo cabai banyak ditanam di persawahan yang merupakan dataran rendah. Perbedaan kondisi ekosistem di dua lokasi ini diperkirakan akan mempengaruhi

(21)

5

1.5 Hipotesis

(22)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Cabai

Cabai (Capsicum annum L.) dapat ditanam dengan mudah dimana saja, mulai dari dataran tinggi, sampai dataran rendah. Cabai pada umumnya di tanam pada musim kemarau (April-Oktober), namun dapat pula ditanam pada musim penghujan. Produksi cabai yang ditanam pada musim kemarau lebih tinggi daripada yang ditanam pada musim penghujan (Tim Bina Karya Tani, 2008).

Suhu berpengaruh pada pertumbuhan tanaman, demikian juga terhadap tanaman cabai. Suhu yang ideal untuk budidaya cabai adalah 24–28 oC. Pada suhu tertentu seperti 15 oC dan lebih dari 32 oC cabai akan menghasilkan buah yang kurang baik. Pertumbuhan cabai akan terhambat jika suhu harian di areal budidaya terlalu dingin (Tjahjadi, 1991). Tanaman cabai mampu tumbuh dari dataran rendah sampai dataran tinggi (1400 m dpl).

2.2Hama cabai

Tanaman cabai diserang oleh banyak jenis hama. Beberapa jenis hama

merupakan hama utama dan sangat merusak sehingga menimbulkan kerugian

yang berarti. Di antara hama yang merugikan adalah tirip, kutu daun, dan lalat

(23)

7

2.2.1 Tirip, Tirip tabaci (Tysanoptera: Tripidae)

Pada umumnya daur hidup Tirip sangat singkat tergantung kondisi

lingkungan dan jenis makanannya. Sebagai contoh T. tabaci rataan daur hidup

totalnya adalah sekitar 15,4 hari (Dibiyantoro, 1994; Ghabn, 1948). Menurut Lu

& Lee (1987), tirip memiliki masa telur 4,8 hari, masa larva 5,9 hari, prepupa 1,4

hari, dan pupa 2,4 hari serta dewasa 20,2 hari.

Gambar 1. Hama Tirip

Tirip menyerang tanaman dengan cara menghisap cairan tanaman

sehingga mengakibatkan rusaknya sel-sel tanaman. Biasanya perusakan oleh tirip ini ditandai oleh bercak-bercak putih mengkilap pada daun tanaman karena adanya rongga pada daun yang kehilangan cairan, kemudian bercak tersebut berubah menjadi kecoklatan lalu lama-lama daun itu akan mati pelan-pelan. Jika terjadi serangan berat, daun maupun pucuk tanaman serta tunas-tunas barunya akan keriting menggulung ke dalam, dan kadang-kadang pada daun timbul

(24)

8

2.2.2 Kutu daun, Myzus persiceae (Hemiptera: Aphididae)

Kutu daun selalu ditemukan di areal pertanaman cabai merah. Ukuran tubuhnya kecil, yaitu antara 1–2 mm. Kutu daun muda (nimfa atau apterae) dan dewasa (imago atau alatae) mempunyai antena yang relatif panjang, kira-kira sepanjang tubuhnya. Nimfa dan imago (bersayap) mempunyai sepasang tonjolan pada ujung abdomen yang disebut kornikel. Ujung kornikel pada kutu daun persik berwarna hitam. M. persicae sangat cepat berkembangbiak karena sistem perkembangbiakannya tanpa kawin (Partenogenesis) telurnya menetas dalam tubuh (Ovovivivar dan Vivivar). M. persicae dewasa dapat mempunyai keturunan sampai lebih 50 ekor (Pracaya, 2003).

Gambar 2. Hama Kutu Daun

(25)

9

Pada serangan berat, selain tanaman menjadi keriting, juga membuat tanaman tertutup lapisan hitam dari cendawan jelaga. Cendawan ini menghalangi butir hijau daun (klorofil) untuk mendapatkan sinar matahari sehingga proses fotosintesa pada tanaman menjadi terganggu, sehingga lama-lama bisa mati (Setiadi, 1992).

2.2.3Lalat buah, Bactrocera dorsalis (Diptera: Tephritidae)

Lalat buah dewasa ukurannya sedang dan berwarna kuning dan sayapnya datar. Pada tepi ujung sayap ada bercak-bercak coklat kekuningan. Abdomennya ada pita-pita hitam, sedangkan thoraks ada bercak-bercak kekuningan.

Ovipositornya terdiri dari tiga ruas dengan bahan seperti tanduk yang keras. Dengan ovipositornya, lalat ini menusuk kulit buah. Jumlah telur sekitar 100–120 butir. Setelah 2–3 hari, telur akan menetas dan menjadi ulat. Ulat tersebut akan membuat terowongan di dalam buah dan memakan dagingnya selama lebih kurang 2 minggu. Ulat tua meninggalkan buah dan jatuh di atas tanah, kemudian membuat terowongan 2–5 cm dan berpupa. Lama masa pupa 7–8 hari. Total daur hidupnya antara 23–34 hari, tergantung keadaan udara. Dalam satu tahun lalat ini kira-kira menghasilkan 8–10 generasi (Pracaya, 1999).

Satu ekor lalat betina Bactrocera dorsalis Complex menghasilkan telur 1200–1500 butir. Telur berwarna putih, berbentuk bulat panjang, dan diletakkan berkelompok 2–15 butir. Seekor lalat betina dapat meletakkan telur 1–40

(26)

10

Setelah 2 hari telur menetas menjadi larva yang berwarna putih

kekuningan atau putih keruh, berbentuk bulat panjang dengan salah satu ujungnya runcing. Caput berbentuk runcing dengan satu sampai dua bintik yang jelas, mempunyai alat kait mulut. Stadia larva terdiri atas tiga instar (Kalshoven, 1981).

Lalat buah rata-rata berukuran 0,7 x 0,3 mm. Toraks berwarna oranye, merah kecoklatan, coklat, atau hitam dan memiliki sepasang sayap. Pada sayap Bactrocera dorsalis Complex biasanya terdapat dua garis membujur dan sepasang sayap transparan. Pada abdomen umumnya terdapat dua pita melintang dan satu pita membujur warna hitam atau bentuk huruf T yang kadang-kadang tidak jelas. Ujung abdomen lalat buah betina lebih runcing dan mempunyai alat peletak telur yang cukup kuat untuk menembus kulit buah, sedangkan pada lalat buah jantan abdomennya lebih bulat. Daur hidup lalat buah dari telur sampai dewasa di daerah tropis berlangsung 25 hari. Setelah keluar dari pupa, lalat buah membutuhkan sumber protein untuk makanannya dan persiapan bertelur (Kalshoven, 1981).

(27)

11

Gejala serangan lalat buah awalnya adalah buah berlubang kecil, kulit buah menguning dan kalau di belah biji cabai berwarna coklat kehitaman dan pada akhirnya buah rontok. Gejala serangan pada buah yang terinfestasi lalat buah ditandai dengan adanya noda-noda kecil bekas tusukan ovipositornya. Rata-rata tingkat serangan lalat buah pada cabai berkisar antara 20–25% (Wardani & Purwandi, 2008).

2.3 Musuh Alami Hama Tanaman Cabai

Pada pertanaman cabai terdapat berbagai jenis Artropoda, dari sekian

banyak jenis Artropoda memiliki peranan yang berbeda-beda salah satunya yaitu

peranan sebagai musuh alami. Terdapat musuh alami hama pada pertanaman

cabai, diantaranya adalah sebagai berikut:

2.3.1Kumbang koksi, Coccinella septempunctata (Coleoptera: Coccinellidae)

Pracaya (2011) menyebutkan bentuk kumbang Coccinellidae setengah

bola atau cembung, warna badannya ada yang merah, kuning, coklat, kelabu, ada

yang mengkilat dan ada yang redup, biasanya berbecak-becak. Kumbang

Coccinelidae mempunyai tipe mulut menggigit dan mengunyah, bermetamorfosis

sempurna. Kemampuan memangsa berkisar 100-250 nympha Tirip per hari pada

areal pertanaman. Di alam, telur diletakkan pada kerumunan mangsanya (Tirip).

Setelah telur menetas menjadi larva, beberapa jam kemudian larva mulai

memakan mangsanya. Kadang-kadang larva juga memakan telur mangsanya.

(28)

12

banyak dibutuhkan untuk penyimpanan lemak di dalam tubuhnya. Sedangkan,

larva instar 4 aktifitasnya mulai berkurang karena akan memasuki prapupa.

Gambar 4. Kumbang Koksi

Bentuk imago kumbang Coccinelidae berbeda, kumbang betina lebih besar

dari kumbang jantan. Menurut Amir (2002) , warna kumbang Coccinella

transversalis kuning kemerah-merahan sedangkan Monochilus

sexmaculatus merah coklat muda. Bentuk badan M. sexmaculatus lebih kecil

dari C. transversalis. Panjang kumbang M. sexmaculatus 5-6 mm sedangkan C.

transversalis 6-7 mm. Siklus hidup antara 60- 65 hari. Kumbang ini lebih

memilih inangnya dalam bentuk stadia nympha dibandingkan dengan bentuk

imago karena bentuk imagonya merupakan stadia yang aktif sehingga sulit

ditangkap (Kalshoven, 1981).

2.3.2Paederus littoralis (Coleoptera: Staphylinidae)

Kumbang tomcat atau kumbang Paederus (dalam bahasa Inggris

(29)

13

famili Staphylinidae. Kumbang ini memiliki lebih dari 622 spesies (Singh & Ali

2007), salah satu di antaranya terdapat di Indonesia, yaitu Paederus

fuscipes Curtis (Kalshoven, 1981).

Gambar 5. Kumbang Tomcat

Setelah dewasa, kumbang keluar dari dalam tanah kemudian hidup pada

tajuk tanaman untuk mencari mangsa yang umumnya adalah kelompok serangga

hama. Perkembangan dari telur menjadi dewasa berlangsung 13-19 hari (Singh &

Ali, 2007). Stadium telur, larva, prapupa, dan pupa masing-masing berlangsung

4,0; 9,2; 1,0; dan 3,8 hari. Lama hidup serangga betina 113,8 hari dan serangga

jantan 109,2 hari. Seekor kumbang betina mampu menghasilkan telur 106 butir

selama hidupnya. Tingkat penetasan telur 90,2% dan tingkat perkembangan

menjadi dewasa 77,6%. Kemampuan kumbang memangsa wereng batang coklat

rata-rata 7,3; 7,5; 4,2; 3,2; dan 2,3 ekor masing-masing untuk instar 1, 2, 3, 4, dan

5 (FAO dalam Hadi, 2012).

Populasi kumbang meningkat pesat pada akhir musim hujan (Maret dan

April), kemudian dengan cepat berkurang seiring munculnya cuaca kering pada

(30)

14

populasi kumbang tomcat meningkat pesat sejalan dengan meningkatnya curah

hujan, terkait fenomena El Nino di beberapa negara pada beberapa waktu yang

lalu (Hadi, 2012).

2.4 Artropoda tanah

Artropoda permukaan tanah sebagai komponen biotik pada ekosistem tanah sangat tergantung pada faktor lingkungan. Perubahan lingkungan akan berpengaruh terhadap kehadiran dan kepadatan populasi Artropoda. Menurut Takeda (1981), perubahan faktor fisika kimia tanah berpengaruh terhadap kepadatan hewan tanah. Menurut Najima & Yamane (1991), keanekaragaman hewan tanah lebih rendah pada daerah yang terganggu daripada daerah yang tidak terganggu. Menurut Adisoemarto (1998), perubahan komunitas dan komposisi vegetasi tertentu pada suatu ekosistem secara tidak langsung menunjukkan pula adanya perubahan komunitas hewan dan sebaliknya.

Di dalam ekosistem yang stabil umumnya terdapat organisme dengan diversitas yang tinggi. Berbagai jenis organisme dalam ekosistem berperan penting dalam menjaga stabilitas ekosistem melalui interaksinya yang kompleks dalam jaring-jaring makanan (Odum, 1971; Krebs, 1985). Organisme yang sering dijumpai banyak berasosiasi dengan tanah dan tanaman pada agroekosistem di antaranya adalah kelompok Collembola dan jenis-jenis arthropoda lainnya.

(31)

15

ekosistem pertanian merupakan pakan alternatif bagi berbagai jenis predator (Greenslade et al., 2000). Sebagai mangsa atau pakan alternatif bagi predator, Collembola memberi kontribusi dalam menjaga keberlangsungan hidup predator yang menjadi musuh alami berbagai jenis hama. Peran ini sangat penting

(32)

III. BAHAN DAN METODE

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Pengambilan sampel dilakukan di sentra produksi cabai di Kecamatan Gisting dan Kecamatan Sumberejo, Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung. Cabai di Kecamatan Gisting ditanaman di hutan kawasan, dan cabai di Kecamatan Sumberejo ditanam di persawahan (Tabel 1). Metode pemilihan lokasi penelitian adalah purposive sampling atau ditentukan secara sengaja. Proses identifikasi dan penghitungan populasi Artropoda dilakukan di Laboratorium Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai Mei 2016.

3.2 Bahan dan Alat

(33)

17

Tabel 1. Karakteristik lokasi penelitian

Lokasi Posisi Geografi

dan Ketinggian

Pola tanam tumpang sari di hutan kawasan

- Desa Gisting Bawah 5026'3.2244'' S 104042'21.3372'' E 748 m dpl

Pola tanam tumpang sari di hutan kawasan

- Desa Gisting Bawah 5026'39.3396'' S 104043'41.3004'' E 539 m dpl

Pola tanam tumpang sari di hutan kawasan

B.Kecamatan Sumberejo

Desa Simpang Kanan 5023'25.4004'' S 104043'13.2708'' E 492 m dpl

Pola tanam monokultur di persawahan

Desa Simpang Kanan 5023'24.1728'' S 104043'9.0984'' E 498 m dpl

Pola tanam monokultur di persawahan

Desa Sumber Mulyo 5022'20.946'' S 104043'10.6788'' E 440 m dpl

Pola tanam monokultur di persawahan

3.3 Pelaksanaan Penelitian

(34)

18

masing-masing kecamatan, dipilih 3 hamparan pertanaman, di Kecamatan Gisting, 2 hamparan pertanaman cabai terletak di Desa Gisting bawah dan 1 hamparan lainnya terletak di Desa Gisting bawah sedangkan di Kecamatan Sumberejo 2 hamparan pertanaman cabai terletak di Desa Simpang Kanan dan 1 hamparan lainnya terletak di Desa Sumber Mulyo. Pada setiap hamparan pertanaman cabai ditetapkan situs pengamatan seluas ± 25 x 25 m. Dalam setiap situs pengamatan diletakkan tiga lubang jebakan (pitfall trap) secara sistematik random mengikuti arah diagonal sebagai ulangan. Jarak 2 pitfall trap paling pinggir adalah masing-masing ± 3 m dari tepi pertanaman, posisi 1 pitfall trap yang lain adalah di tengah pertanaman cabai (Gambar 1).

Posisi pitfall trap

Gambar 6. Petak pengamatan

3.3.1 Pengambilan Sampel Artropoda Permukaan Tanah

Pengambilan sampel Artropoda permukaan tanah dilakukan pada

pertanaman cabai sebanyak 6 kali yaitu pada 60 hst; 67 hst; 74 hst; 81 hst; 88 hst; dan 95 hst dengan menggunakan metode lubang jebakan (pitfall trap) yang

(35)

19

Pada setiap situs pengamatan dipasang sebanyak tiga buah pitfall trap (Gambar 6), sehingga terdapat 9 buah pitfall trap tiap lokasi pengamatan.

Perangkap pitfall dibuat dari gelas plastik tinggi 10 cm dan diameter 7,5 cm yang berisi cairan detergen 1%. Cairan detergen tersebut dimasukkan ke dalam gelas sampai 1/3 bagian. Gelas selanjutnya dimasukkan ke lubang tanah dan

diupayakan mulut gelas berposisi rata dengan permukaaan tanah sehingga Artropoda yang merayap di permukaan tanah akan terperangkap jatuh ke dalam gelas. Pitfall trap kemudian dipasang selama 1 x 24 jam. Untuk mencegah masuknya air hujan ke dalam gelas, dipasang naungan terbuat dari plastik mika yang disangga dengan bambu berukuran ± 18 cm.

Artropoda yang terjebak di dalam gelas plastik kemudian dikumpulkan dan dicuci dengan bantuan saringan menggunakan air bersih untuk

menghilangkan sisa larutan detergen. Artropoda yang didapatkan kemudian dimasukkan ke dalam botol vial berisi alkohol 70% sebagai bahan pengawet, diberi label sesuai dengan titik pengambilan sampel. Artropoda yang diperoleh dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi.

10 cm 18 cm

Gambar 7. Perangkap pitfall

Plastik mika

Tiang penyangga (bambu)

Gelas Larutan detergen

(36)

20

3.3.2 Pengamatan Artropoda Tajuk

Pengamatan Artropoda pada tajuk menggunakan 5 tanaman sampel yang dipilih secara sistematik random mengikuti kedua arah diagonal pada setiap situs pengamatan. Pada setiap tanaman dipilih empat cabang yaitu cabang ke-3 dari pucuk yang masing-masing mengarah ke utara, barat, selatan, dan timur

Tanaman

Gambar 8. Denah Posisi Tanaman Sampel

3.3.3 Identifikasi Artropoda

Artropoda yang diketahui identitasnya di lapang secara langsung

diidentifikasi di lapangan sedangkan Artropoda yang belum diketahui identitasnya diidentifikasi di laboratorium menggunakan mikroskop stereo binokuler.

Identifikasi sampai tingkat takson famili menggunakan buku determinasi (Lilies, 1991) dan Boror et al. (1996).

3.4 Variabel Pengamatan

(37)

21

keanekaragaman Shannon (H'), indeks kemerataan (E), dan kekayaan jenis serangga (DMg), sedangkan kemelimpahan adalah jumlah individu.

3.4.1 Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener (H')

Rumus yang digunakan untuk menghitung Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener (H') adalah (Magurran, 1988):

H' = - Σ pi ln pi Keterangan:

H' = Indeks keanekaragaman Shannon-Weiner Pi = ∑ ni/N

ni = Jumlah individu pada famili ke-i N = Jumlah total individu

Menurut (Fitriana 2006 dalam Agustinawati et al., 2016), indeks keanekaragaman (H') komunitas Artropoda dapat dikategorikan menjadi rendah, sedang dan tinggi seperti pada Tabel 2.

Tabel 2. Kategori keanekaragaman Artropoda berdasarkan indeks Shannon Nilai Indeks

(38)

22

3.4.2 Indeks kemeratan (Evenness =E)

Indeks kemerataan (Index of Evenness =E) berfungsi untuk mengetahui kemerataan setiap jenis dalam setiap komunitas yang dijumpai. Rumus yang digunakan untuk menghitung indeks kemerataan adalah (Magurran, 1988):

E = H'/ H'max

Dimana H'max = ln S Keterangan:

E = Indeks kemerataan ( 0 –1)

H' = Indeks keanekaragaman Shannon-Weiner ln = Logaritma natural

S = Jumlah famili

Kemerataan jenis memiliki nilai E berkisar 0 –1. Apabila nilai E = 1 berarti pada habitat tersebut tidak ada jenis yang mendominasi, dan sebaliknya apabila E mendekati 0 terdapat jenis yang mendominasi.

3.4.3 Indeks kekayaan jenis (DMg)

Indeks kekayaan jenis (Species Richness= DMg) berfungsi untuk

mengetahui kekayaan jenis atau famili dalam setiap komunitas yang dijumpai. Rumus yang digunakan untuk menghitung indeks kekayaan jenis adalah (Magurran, 1988):

DMg = (S-1) / ln N Keterangan:

(39)

23

N = Total individu dalam sampel

Kriteria komunitas berdasarkan indeks kekayaan jenis dapat dilihat pada Tabel 3 (Jorgensen et al., 2005).

Tabel 3. Kriteria Indeks Kekayaan Jenis

Kriteria Indeks kekayaan jenis (DMg)

Baik > 4,0

Moderat 2,5 – 4,0

Buruk < 2,5

3.5 Analisis Data

(40)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Hasil penelitian kemelimpahan dan keanekaragaman Artropoda pada dua tipe agroekosistem tanaman cabai di Kabupaten Tanggamus memberikan

kesimpulan sebagai berikut:

1. Kemelimpahan Artropoda permukaan tanah pada pertanaman cabai mencapai 17.943 individu dari 108 pitfall trap, sedangkan kemelimpahan Artropoda tajuk pertanaman cabai mencapai 6.786 individu dari 180 pucuk.

2. Keanekaragaman Artropoda permukaan tanah terdiri dari 13 ordo dan 35 famili, sedangkan Keanekaragaman Artropoda tajuk terdiri dari 5 ordo dan 5 famili.

3. Kemelimpahan Artropoda permukaan tanah lebih tinggi terjadi di hutan kawasan sedangkan keragamannya lebih tinggi di persawahan.

(41)

40

5.2 Saran

(42)

DAFTAR PUSTAKA

Adisoemarto, S. 1998. Kemungkinan penggunaan serangga sebagai indikator pengelolaan keanekaragaman hayati. Biota. III (1): 25-33.

Agustinawati, Toana M., Hibban & Wahid. A. 2016. Keanekaragaman

Arthropoda Permukaan Tanah pada Tanaman Cabai ( Capsicum annum L.) dengan Sistem Pertanaman yang Berbeda di Kabupaten Sigi. J. Agrotekbis 4(1) : 8-15.

Amir, M. 2002. Kumbang lembing pemangsa Coccinelidae di Indonesia. Biologi LIPI.

Borror, D.J., Triplehorn, C.A. & Jonhson, N.F. 1996. Pengenalan Pelajaran Serangga Edisi ke enam. Terjemahan S. Partosoejono. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Badan Pusat Statistik. 2015. Produksi Cabai Nasional.

http://www.pertanian.go.id/Data5tahun/HortiASEM2015/Produksi%20Ca bai%20Besar.pdf. Diakses tanggal 12 Agustus 2016.

Dibiyantoro, A.L.H. 1994. Management of Thrips tabaci lind with special reference on garlic (A. sativum L.). PhD. 3 rd-Year Report. Univ. Newcastle. UK. 23-25 hlm.

Ghabn, E.S. 1948. Contribution to the knowledge of the biology of Thrips tabaci Lind. in Egypt (Thysanoptera). Bull. Soc. Fuad. 1 er. Entomo. XXXII (123): 123-173.

Greenslade, P., Deharveng, L., Bedos, A. & Suhardjono. Y.R. 2000. Handbook to Collembola of Indonesia. Advisor Willem N. Ellis. Museum Zoologicum Bogoriense. Bogor.

Gunaeni, N. & Wulandari, A. W. 2010. Cara Pengendalian Nonkimiawi terhadap Serangga Vektor Kutu Daun dan Intensitas Serangan Penyakit Virus Mosaic pada Tanaman Cabai Merah. J. Hort. 20(4):368-376.

Hadi, U.K. 2012. Fenomena tomcat atau Dermatitis paederus. http://upikke.

(43)

42

Harpenas, A. & Dermawan, R. 2010. Budidaya Cabai Unggul (Cabai Besar, Cabai Keriting, Cabai Rawit, dan Paprika). Penebar Swadaya. Jakarta. 108 hlm.

Jorgensen, S.E., Constanza, R. & Xu, F.L. 2005. Handbook of Ecological Indicators for Assesment of Ecosystem Health. CRC Press.

www.crepress.com.

Kalshoven, L.G.E. 1981. The Pests of Crops in Indonesia. Revised and translated by P.A. Van der Laan. PT Ichtiar Baru-Van Hoeve. Jakarta. 701 hlm. Kanal, A. 2004. Effects of fertilisation and edaphic properties on soil-assosiated

Collembola in crop rotation. Agronomy Research. 2 (2): 153- 168. Krebs, C. J. 1985. Ecology: The Experimental Analysis of Distribution and

Abundance. Harper and Row Publisher. New York.

Lilies, C. 1991. Kunci Determinasi Serangga. Kanisius. Yogyakarta.

Lu, F.M. & Lee, H.S. 1987. The life history and seasonal occurrence of onion Thrips, (Thrips tabaci Lindeman). J. Agric. Res. China. 36(1) : 118-124. Magurran, A.E. 1988. Ecologycal Diversity and Its Measurement. Pricenton

University Press. New Jersey.

McEwen, P. 1997. Sampling, Handling and Rearing Insect. In: D.R. Dent & M.P. Walton (eds.). Methods in Ecological pp: 5-26 & Agricultural

Entomology. University Press. Cambridge.

Mudjiono, G., Rahardjo, B.T. & Himawan, T. 1991. Hama-hama Penting

Tanaman Pangan. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Malang. Hal. 63 – 70.

Najima, K. & Yamane, A. 1991. The Effect of Reforestation on Soil Fauna in the Philippines. Philippines Journal of Science. 120 (1): 1-9.

Niemela, J.N., Halme, E. & Haila, Y. 1990. Balancing sampling effort in pitfall trapping of carabid beetles. Entomol. Fennica. 1: 233-238.

Nurindah & Dwi, A.S. 2008 Konservasi Musuh Alami Serangga Hama sebagai Kunci Keberhasilan PHT Kapas. Jurnal Perspektif. 7 (1)/:. 01-11.

Odum, E. P. 1971. Fundamentals of Ecology. Third Edition. Saunders Company. Philadelphia and London.

(44)

43

Ponge, J.F., Gillet, S., Dubs, F., Fedoroff, E., Haese, L., Sousa, J.P. & Lavelle, P. 2003. Collembolan communities as bioindicators of landuse

intensification. Soil Biology and Biochemistry. 35: 813-826. Pracaya. 1999. Hama Penyakit Tanaman. Bogor: Niaga

Swadaya. https://id.wikipedia.org/wiki/Bactrocera. Diakses tanggal 15 Desember 2015

Pracaya. 2003. Hama Penyakit Tanaman. Jakarta. Penebar Swadaya.

Pracaya. 2011. Hama & Penyakit Tanaman. Jakarta. Penebar Swadaya.

Prajanata, F. 2007. Kiat Sukses Bertanam Cabai di Musim Hujan. Penebar Swadaya. Cetakan ke XII. Jakarta. 64 hlm.

Price, J.F. & Shepard, M. 1980. Sampling Ground Predators in Soybean Fields. In: Kogan, M. & Herzog, D.C. (eds.). Sampling Methods pp: 530-543 in Soybean Entomology. Springer-Verlag. New York.

Riyanto. 1995. Ekologi Dasar. Badan Kerja Sama Perguruan Tinggi Negeri Indonesia Bagian Timur. Ujung Pandang.

Rusli, E.S., Sri, H.H., Suseno, R. & Tjahjono, B. 1999. Gemini Virus Asal Cabai : Kosaran Inang dan Cara Penularan. Bulletin HPT.

Sarief, E. S. 1986. Ilmu Tanah Pertanian. Pustaka Buana. Bandung. 157 hlm. Setiadi. 1992. Bertanam Cabai. Penebar Swadaya. Jakarta. 188 hlm.

Singh, G. & Ali, S.Y. 2007. Paederus dermatitis. Indian J. Dermatol. Venereol. Leprol. 73(1): 13–5.

Sugianto, A. 1994. Ekologi Kuantitatif Metode Analisis Populasi Komunitas. Usaha Nasional. Surabaya.

Suwiryo. 2006. Spesifikasi Serangga. Yogyakarta.

http://download.portalgaruda.org/article.php?article=147364&val=5153&t itle=INVENTARISASI%20ARTHROPODA%20PADA%20PERMUKA AN%20TANAH%20%20DI%20PERTANAMAN%20CABAI. Diakses tanggal 10 Desember 2015.

Takeda, H. 1981. Effect of Shiffing Cultivation on the Soil Meso-Fauna with Special References to Collembolan Population in North-East Thailand Memoir of College of Agriculture Kyoto University. 18: 44-60.

(45)

44

Tjahjadi, N. 1989. Hama dan Penyakit Tanaman. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Tjahjadi, N. 1991. Bertanam Cabai. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Untung, K. 1996. Pengendalian Hayati dalam Kerangka Konvensi

Keanekaragaman Hayati. Pros. Makalah Utama Seminar Nasional Pengendalian Hayati. Pusat Studi Pengendalian Hayati. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Wardani, N. & Purwandi, J.H. 2008. Teknologi Budidaya Cabai Merah. Agro Inovasi. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Gambar

Tabel                                                                                                                  Halaman
Gambar                                                                                                              Halaman
Gambar 1. Hama Tirip
Gambar 2. Hama Kutu Daun
+7

Referensi

Dokumen terkait

Namun, hasil temuan dari penelitian yang dilakukan pada UMKM Kota Semarang menunjukan bahwa penetrasi pasar memiliki pengaruh positif yang lebih besar dan signifikan terhadap

Berdasarkan curah hujan dengan peluang 70% dan ET o bulanan tertinggi yang telah diketahui dari analisis sebelumnya kemudian dikombinasikan dengan nilai koefisien tanaman

Tidak mungkin menyususn suatu alat yang beroperasi dalam siklus dan tidak menghasilkan efek lain selain perpindahan panas dari reservoar suhu rendah ke reservoar suhu tinggi

Merk barang CANON PIXMA MG 2570 Print, Copy, Scan Cetak.

[r]

Saya adalah mahasiswi Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga yang melakukan penelitian dengan tujuan untuk mengetahui Gambaran Kepuasan

Jika Penawar yang Berjaya ingkar dalam mematuhi mana-mana syarat di atas atau membayar apa-apa wang yang harus dibayar, maka Pihak Pemegang Serahhak/Pemberi Pinjaman boleh (tanpa

memiliki titik didih rendah (Zancan et al.,2002), Tujuan penelitian ini adalah mencari variabel paling berpengaruh dalam ekstraksi gingerol dari rimpang jahe