• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembangunan Perubahan Iklim dan Kemiskin

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pembangunan Perubahan Iklim dan Kemiskin"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Pembangunan, Perubahan Iklim dan Kemiskinan

Oleh: Rany Purnama Hadi

Hubungan Internasional, Universitas Airlangga

ranyphadi@gmail.com

I. Pendahuluan

Perubahan iklim merupakan salah satu gejala lingkungan yang menjadi perhatian

internasional saat ini. Hal ini dikarenakan, perubahan iklim tidak hanya mempengaruhi

temperature suhu bumi yang berdampak pada sisem biologis saja, tetapi juga memberi

pengaruh terhadap kondisi sosial masyarakat. Pengaruh terhadap kondisi sosial masyarakat ini

disebabkan karena perubahan iklim juga mengurangi intensitas hujan di beberapa wilayah

sehingga menyebabkan terganggunya akses akan air bersih, kesehatan, dan nutrisi. Pengaruh

ini tentu saja akan menjadi ancaman khususnya bagi negara yang menggantungkan

ekonominya kepada agrikultur1. Tidak hanya itu, perubahan iklim juga menyebabkan krisis lingkungan yang berdampak pada keamanan manusia. Meski kepedulian terkait perubahan

iklim dan lingkungan sudah mulai banyak dibicarakan dalam forum internasional, akan tetapi

tidaklah mudah untuk mencapai koordinasi yang baik dalam pembuatan keputusan terkait

respon terhadap ancaman perubahan iklim. Hal ini dikarenakan, negara-negara umumnya

terbentur permasalahan prioritas pembangunan seperti pertumbuhan ekonomi yang mana hal

tersebut cenderung berlawanan dengan penyelamatan lingkungan2.

Pembahasan terkait isu lingkungan dan pengembangan ekonomi umumnya diwarnai

dengan adanya perdebatan antara negara industrialis dan negara berkembang atau yang lebih

dikenal dengan North-South debate. Perdebatan ini dimulai sejak tahun 1972 setelah adanya

UN Conference on the Human Environment di Stockholm dimana masyarakat dunia mulai

memperhatikan dampak dari industrialisasi dan pembangunan terhadap keamanan lingkungan.

Isu lingkungan sendiri sebenarnya telah menjadi agenda dalam pembicaraan internasional

sejak dikeluarkannya mandat oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN) di       

1 Berdasarkan penjabaran yang dikemukakan oleh Mohamed Salih, adanya ancaman perubahan iklim terhadap

pembangunan adalah dampak yang diberikan kepada negara-negara yang menggantungkan ekonominya kepada sektor-sektor yang sangat dipengaruhi oleh iklim seperti sektor agrikultur. Baca Salih, M.A. Mohamed. Climate Change and Sustainable Development - New Challenges for Poverty Reduction. Cheltenham & Northampton: Edward Elgar Publishing, 2009.

2 Munasinghe, Mohan, and Rob Swart. Primer on Cllimate Change and Sustainable Development - Facts, policy

(2)

tahun 1969 yang kemudian menghasilkan dua buah perjanjian terkait stabilitas lingkungan

dan pembangunan yakni; Founex Report on Development on Environment di tahun 1971, dan

dilanjutkan dengan UN Conference on the Human Environment di tahun 1972 yang

selanjutnya menjadi awal mula hukum lingkungan internasional3. Pada konferensi PBB di tahun 1972 tersebut, selanjutnya dihasilkan sebuah konsep terkait usaha untuk mencapai

pertumbuhan ekonomi dan industri tanpa memberikan dampak yang buruk bagi lingkungan4. Meski demikian, pada saat itu, perjanjian yang dibentuk belum melibatkan aspek ekonomi

dan sosial yang seharusnya turut diperhatikan dalam sebuah pembangunan, serta bagaimana

pengaruhnya terhadap lingkungan. Perjanjian 1972 tersebut ditentang oleh negara

berkembang karena dirasa kerusakan lingkungan yang terjadi merupakan akibat dari

indrustrialisasi sehingga bukan menjadi perhatian utama dari negara-negara berkembang yang

mana belum maju dalam hal industri.

Selanjutnya ditahun 1992, diadakan konferensi lingkungan oleh PBB bernama United

Nations Conference on Environment and Development (UNCED) di Rio, Brasil, yang mana

konferensi ini berusaha menjembatani perdepatan antara negara maju dan negara berkembang

dengan mengangkat konsep sustainable development. Menurut Brundtland Report, definisi

dari sustainable development adalah proses pembangunan guna memenuhi kebutuhan

masyarakat saat ini, tanpa membahayakan generasi mendatang dalam memperoleh kebutuhan

mereka kelak5. Dengan kata lain, sustainable development dapat diartikan sebagai usaha pembangunan ekonomi dan sosial masayarakat yang dilakukan tanpa membahayakan

keberlangsungan lingkungan di masa kini dan mendatang. Dengan adanya konsep ini, maka

setiap negara diwajibkan untuk memperhatikan dan berkomitmen terhadap perlindungan

lingkungan dalam aktivitas pembangunan, terutama negara-negara berkembang yang

merupakan negara dengan kapasitas sumber daya alam yang jauh lebih banyak dari negara

maju.

Akan tetapi, pada kenyataannya, konferensi Rio ini nampaknya belum mampu

memberikan jalan tengah bagi negara-negara maju atau idustrialis dan negara-negara       

3 Dalam Beyerlin dijelaskan bahwa keprihatinan yang muncul dari negara-negara akibat adanya kerusakan

lingkungan yang disebabkan oleh pembangunan dan industrialisasi memunculkan konferensi pada tahun 1971. Akan tetapi pada awalnya konferensi ini hanya dihadiri oleh beberapa pemerintah negara saja. Kemudian satu tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1972, PBB membentuk UN Conference on the Human Environment di Stockholm. Meski pada tahun ini pembentukan treaty masih didominasi oleh negara-negara industrial, akan tetapi pertemuan di Stockholm menjadi awal mula terbentuknya hukum untuk melindungi lingkungan. Baca dalam Beyerlin, Ulrich. "Bridging the North-South Divide in International Environmental Law." 2006: 259-261.

4 Adams, W.M. The Future of Sustainability: Re-thinking Environment and Development in the Twenty-first

Century. IUCN The World Conservation Union, 2006.

(3)

berkembang. Negara-negara berkembang merasa bahwa keputusan ini tidak memberikan

keadilan bagi pembangunan ekonomi dan sosial di negara mereka. Ada dua pendapat yang

kemudian muncul dari negara-negara berkembang terkait perdebatan tersebut, yakni pertama,

mereka menganggap bahwa yang seharusnya paling bertanggung jawab dalam perlindungan

terhadap lingkungan adalah negara maju atau negara industrialis. Sebagai contohnya, Di awal

tahun 2000an, Amerika Serikat, Uni Eropa, dan China yang merupakan negara maju dan

negara industrialis merupakan kontributor terbesar penghasil emisi gas CO2 di dunia, yang

mana gas tersebut dianggap sebagai penyebab permasalahan lingkungan yang mengakibatkan

perubahan iklim6. Oleh karena demikian, negara-negara berkembang berasumsi bahwa seharusnya yang menjadi penanggung jawab paling besar dari perubahan iklim adalah

negara-negara maju. Pendapat kedua, konsep ini dianggap hanya merupakan sebuah

eco-imperialism dimana negara maju membatasi kebebasan negara-negara berkembang untuk

memanfaatkan sumber daya alam mereka guna pembangunan negara7. Permasalahan yang muncul dari perdebatan ini adalah adanya kebimbangan dari pihak negara-negara

berkembang yang dihadapkan pada dua sisi dimana mereka harus memilih untuk

berkomitmen dalam melindungi lingkungan, atau tetap mengeksplorasi pembangunan

ekonominya dan meningkatkan kesejahteraan sosialnya. Hal ini menjadi masalah karena

dengan adanya aturan terkait perlindungan lingkungan, maka negara-negara berkembang

tidak dapat melakukan eksplorasi sumber daya secara besar-besaran dan menggunakannya

dalam proses pembangunan ekonomi untuk merantas kemiskinan sebagaimana yang

dilakukan oleh negara maju dulu. Hal inilah yang kemudian penyebabkan penanganan terkait

isu lingkungan tidak dapat dengan mudah dilakukan.

II. Perdebatan Isu Lingkungan dan Perubahan Iklim

Isu lingkungan, yang seringkali dikaitkan dengan adanya perubahan iklim bumi,

menjadi sebuah pembicaraan yang masih menuai kontroversi diantara aktor-aktor politik

dunia. Penyebabnya adalah dampak yang dihasilkan dari adanya perubahan iklim tersebut

tidaklah sama diberbagai belahan dunia. Perbedaan ini selanjutnya mempengaruhi respon

yang diberikan oleh pemerintah setempat. Meski demikian, menurut PBB, sebagai lembaga

pemerintahan internasional, isu tentang lingkungan dan perubahan iklim merupakan hal yang

      

6 Kaskinen, Tuuli, Olli Alanen, Aleksi Neuvonen, and Pirkka Aman. No Development Without Adressing

Climate Change. Working Papers, Helsinki: Kepa Service Centre For Development Cooperation, 2009.

(4)

penting untuk menjadi perhatian karena pengaruhnya terhadap kondisi ekonomi, sosial,

politik, dan keamanan masyarakat global8.

Perubahan iklim, merupakan sebuah permasalahan lingkungan dimana emisi gas CO2

yang memberikan efek rumah kaca menyebabkan peningkatan suhu bumi menjadi lebih

hangat sehingga mempengaruhi pola siklus atau kondisi iklim yang terjadi di bumi. Menurut

Intergovernmental Panel on Climate Change atau IPCC, yang menjadi dampak utama dari

adanya perubahan iklim adalah peningkatan temperatur yang sangat tinggi, munculnya

gelombang panas, serta adanya cuaca ekstrem seperti badai dan kekeringan dengan intensitas

yang lebih tinggi9. Kondisi alam yang tidak menentu dengan intensitas cuaca ekstrem yang tinggi ini kemudian akan berpengaruh pada kegiatan pertanian atau agrikultur yang mana

sangat bergantung pada cuaca yang selanjutnya berpengaruh terhadap aktivitas perekonomian

khususnya di negara-negara yang berbasis pada agrikultur dalam sistem ekonominya. Tidak

hanya bagi pertanian dan perekonomian, perubahan iklim juga memberikan dampak terhadap

keberlangsungan hidup manusia dimana kondisi bumi yang semakin hangat dapat berpotensi

memunculkan kekeringan, perkembangbiakan virus penyakit yang semakin besar, dan

peningkatan level air laut akibat mencairnya es di kutub yang dapat menenggelamkan

beberapa wilayah di dunia yang memiliki ketinggian tidak jauh dari permukaan air laut10. Disamping itu, beberapa spesies juga dapat terancam punah akibat hilangnya habitat mereka

akibat kerusakan alam.

Meskipun asumsi terhadap dampak perubahan iklim terhadap kondisi dunia dan

manusia telah banyak dikemukakan oleh beberapa institusi seperti PBB, World Bank, IPCC,

dan khususnya organisasi atau aktivis lingkungan, akan tetapi masih banyak pro dan kontra

terkait permasalahan ini. Menurut Robert Mendelsohn dari Commision on Groth and

Development berbagai perdebatan dapat muncul jika menyikapi isu perubahan iklim dan

lingkungan11. Hal pertama yang menjadi topik pembicaraan adalah mengenai kebijakan yang harus dibentuk untuk menyikapi perubahan iklim. Pendapat mengenai kebijakan ini terbagi       

8 Dalam working paper yang dikeluarkan oleh Bank Dunia pada tahun 2003, dijelaskan mengenai dampak dari

perubahan iklim terhadap proses pemberantasan kemiskinan, yang mana kemudian juga akan memberikan pengaruh terhadap kesuksesan dari pembangunan. Baca dalam World Bank. Poverty and Climate Change. Working Paper, World Bank, 2003.

9 Kaskinen, Tuuli, et al. 2009.

10 Mendelsohn, Robert. Climate Change and Economic Growth. Working Papers No.60, Washington, DC: The

World Bank Commission on Growth and Development, 2009.

11 Dalam Mendelsohn dijelaskan yang menjadi permasalahan negara-negara dalam menghadapi isu perubahan

(5)

menjadi dua kubu yakni antara kelompok ekonom dan kelompok scientist dan

environmentalis. Dalam tulisannya yang berjudul Climate Change and Economic Growth12,

Mendelsohn mengungkapkan bahwa kalangan ekonomom umumnya berpendapat bahwa

pembuatan kebijakan bagi penanganan atau mitigasi terhadap dampak dari perubahan iklim

haruslah memperhitungkaan untung dan rugi yang mungkin terjadi. Dalam perumusan

kebijakan, kalangan ekonom berasumsi bahwa seharusnya mitigasi perubahan iklim

sebaiknya dilakukan secara seimbang, perlahan dan berkembang setiap tahunnya. Sedangkan

kelompok environmentalis pada umumnya mengingankan program atau kebijakan mitigasi

yang dilakukan secepatnya sebelum bencana besar yang diakibatkan oleh perubahan iklim

terjadi.

Perbedaan dalam melihat keseriusan isu lingkungan dan perubahan iklim ini tentu saja

akan berdampak pada kebijakan seperti apa yang seharusnya diambil oleh pemerintah dalam

menghadapi permasalahan perubahan iklim yang juga akan mempengaruhi pertumbuhan

ekonomi. Para ilmuan dan kelompok environmentalis melihat perubahan iklim adalah suatu

hal yang emergency atau darurat dimana penanganan cepat dari pemerintah dan masyarakat

internasional harus segera dilakukan. Isu-isu seperti penyakit, bencana kekeringan dan

kelangkaan air, serta peningkatan air laut yang terjadi semakin cepat akibat melelehnya es di

Kutub menjadi dasar dari argument mereka. Pengangkatan isu-isu seperti inilah yang

disanggah oleh kelompok ekonom ataupun pihak-pihak yang kontra dengan merubahan

iklim. Menurut mereka, fenomena perubahan iklim yang terjadi saat ini memang perlu untuk

diperhatikan, akan tetapi kemungkinan untuk terjadi bencana besar sebagaimana yang

diungkapkan oleh pihak-pihak yang pro-perubahan iklim sangatlah kecil13. Kalaupun memang hal itu akan terjadi, menurut mereka itu akan membutuhkan bahwa puluhan tahun

bahkan berabad-abad untuk terjadi bahkan jika dibiarkan tanpa adanya mitigasi. Dan hal itu

tidak akan terjadi karena manusia akan menemukan cara untuk beradaptasi dengan

lingkungannya. Seiring dengan berkembangnya dunia, manusia akan menemukan teknologi

dan kemampuan yang lebih baik untuk membantu mereka mengatasi dan beradaptasi dengan

permasalahan lingkungan.

Dalam aspek ekonomi sendiri, perubahan iklim hanya memberikan sedikit dampak

terhadap keseimbangan ekonomi global. Menurut penelitian ekonomi, dampak yang

dihasilkan oleh perubahan iklim hanya sebesar 5% dari ekonomi global dan prosentase ini

      

(6)

semakin berkurang setiap tahunnya14. Perubahan iklim hanya akan mempengaruhi sepersekian persen aspek dalam ekonomi global yang memang sangat rawan terhadap kondisi

lingkungan ekosistem seperti pertanian, kelautan, energi, kehutanan, pariwisata, dan

pengairan dimana aspek-aspek ini bukanlah aspek dominan dalam ekonomi global.

Kebanyakan sektor dalam global ekonomi bukanlah hal-hal yang rentan atau sensitif dengan

dampak perubahan iklim. Sehingga negara-negara yang memungkinkan terpengaruh oleh

perubahan iklim adalah negara-negara yang murni menggantungkan ekonomi mereka kepada

sektor yang sensitif terhadap perubahan iklim.

Selanjutnya yang menjadi perdebatan adalah dampak yang dihasilkan oleh perubahan

iklim berbeda-beda pada tiap negara atau kawasan, yang kemudian turut mempengaruhi

penilaian pemerintah terhadap penting atau tidaknya isu perubahan iklim15. Dijelaskan oleh Mendelson, berdasarkan agricultural studies di Amerika Serikat, dampak yang diperoleh

negara-negara yang beriklim lembab atau mid-latitude dari perubahan iklim justru

memberikan keuntungan tersendiri bagi negara-negara tersebut. Sedangkan negara-negara

agrikultur seperti negara-negara Afrika, Amerika latin dan Cina yang cenderung memiliki

iklim pada low-latitude merupakan negara yang paling besar mengalami dampak dari

perubahan iklim karena cuaca yang terlalu panas akan berdampak buruk pada aktifitas

agrikultur di negara-negara tersebut. Meski demikian, beberapa ahli berpendapat bahwa

dampak cuaca panas di negara-negara low-latitude dapat mengalami penurunan mengingat

masyarakat dan petani-petani di negara tersebut sudah banyak yang mulai menggunakan

peralatan atau teknologi yang membuat mereka dapat beradaptasi dengan perubahan iklim

yang ada. Kemampuan manusia untuk beradaptasi inilah yang memungkinkan penurunan

resiko yang dapat dihasilkan dari perubahan iklim terhadap kondisi masyarakat.

III. Perubahan Iklim, Kemiskinan dan Dampaknya bagi Pembangunan

Diskursus lain mengenai perubahan iklim dalam sistem internasional adalah mengenai

keterkaitannya dengan kemiskinan dan pembangunan. Salah satu hal yang menjadi indikator

dari suksesnya sebuah pembangunan adalah kemampuan untuk mengatasi kemiskinan. Oleh

      

14 Mendelson menjelaskan bahwa pada kenyataannya, perubahan iklim tidaklah memiliki pengaruh yang besar

terhadap aspek ekonomi global. Prosentase pengaruh dari perubahan iklim hanya sebesar 5% dari keseluruhan sektor ekonomi global. Hal ini dikarenakan, yang paling terkena dampak dari perubahan iklim adalah sektor-sektor yang memang rentan terhadap kondisi lingkungan. Yang mana, sektor-sektor-sektor-sektor tersebut bukanlah sektor-sektor dominan dalam ekonomi global. Baca dalam Mendelsohn, Robert. Climate Change and Economic Growth. Working Papers No.60, Washington, DC: The World Bank Commission on Growth and Development, 2009.

(7)

karenanya, kemiskinan menjadi salah satu faktor yang sangat penting dalam program

pembangunan. Dalam hal ini, perubahan iklim dan isu-isu terkait lingkungan dianggap

sebagai salah satu faktor yang menghambat pemberantasan kemiskinan. Akan tetapi

perubahan iklim tidak dipandang sebagai suatu faktor yang menyebabkan kemiskinan,

melainkan sebagai pendorong untuk semakin memperburuk kemiskinan yang telah terjadi.

Perubahan iklim yang juga dapat mengakibatkan kerusakan ekosistem karena adanya

kekeringan, bencana alam, kelangkaan sumber daya alam maupun bencana-bencana lainnya

menyebabkan kemiskinan semakin diperparah akibat ketidakmampuan masyarakat miskin

untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang ada16.Masyarakat dan komunitas miskin yang sebagian besar berada di negara berkembang, adalah kelompok yang paling susah untuk

dapat menanggulangi konsekuensi ekonomi dan sosial dari guncangan serta dampak negatif

yang dihasilkan oleh perubahan iklim17. Kondisi ini menyebabkan mereka semakin terperangkap dalam lingkaran kemiskinan dan menjadi penghalang bagi pembangunan. Hal

ini selanjutnya semakin memperlebar jarak antara masyarakat kaya dan masyarakat miskin.

Pada level negara, negara-negara yang menjadi perhatian dari dampak perubahan

iklim dan kemiskinan adalah negara berkembang.Negara-negara berkembang adalah wilayah

yang paling besar menerima dampak dari perubahan iklim dikarenakan miskin dan

terbatasnya pengetahuan, teknologi, ekonomi dan infrastruktur untuk membantu mereka

dalam menghadapi dampak yang dihasilkan oleh cuaca ekstrim18. Negara berkembang merupakan negara yang pada umumnya sangat mengantungkan ekonomi mereka pada sektor

agrikultur, kelautan, atau pariwisata, yang mana merupakan sektor-sektor yang sangat rentan

terhadap perubahan iklim. Rendahnya difersifikasi ekonomi ini menyebabkan negara-negara

berkembang tidak memiliki banyak pilihan untuk menghadapi permasalahan yang disebabkan

oleh perubahan iklim. Selain itu, kemampuan negara-negara berkembang untuk terlepas dari

jerat kemiskinan pada awalnya memang sudah mengalami kendala dengan banyaknya

tren-tren penyebab kemiskinan seperti kepadatan penduduk, HIV/AIDS, dan tekanan akibat

globalisasi. Dan perubahan iklim dapat memperburuk tren-tren yang sudah terjadi sehingga

      

16 World Bank. Poverty and Climate Change. Working Paper, World Bank, 2003.

17Turner dan Fisher menjelasakan bahwa masyarakat miskin, khususnya yang berada di negara berkembang,

merupakan masyarakat yang paling rentan terhadap dampak dari perubahan iklim. Kondisi ini dikarenakan, masayrakat miskin tidak memiliki fasilitas atau teknologi yang dapat membantu mereka untuk dapat beradaptasi dengan adanya perubahan iklim. Baca dalam Turner, Kerry, and Brendan Fisher. "An ecosystems services approach: Income, inequality and poverty." In Climate Change and Sustainable Development - New Challenges for Poverty Reduction, by M.A. Mohamed Salih, 156-178. Cheltenham & Northampton: Edward Elgar, 2009

(8)

menyebabkan negara-negara tersebut semakin rentan19. Meskipun secara global negara berkembang akan menerima dampak terburuk dari perubahan iklim dan cuaca ekstrem, akan

tetapi besar kecilnya dampak ini juga dipengaruhi oleh tingkat pembangunan ekonomi yang

mereka miliki. Sebagai contohnya, negara-negara berkembang di Asia yang memiliki

infrastruktur dan kondisi ekonomi yang lebih stabil daripada negara-negara berkembang

Afrika akan memiliki respon yang berbeda terhadap ancaman dari perubahan iklim yang

melanda negara mereka.

IV. Mitigasi Internasional terkait Perubahan Iklim dan Pembangunan

Dalam mengatasi permasalahan yang dihasilkan oleh perubahan iklim dan

pembangunan, Perserikatan Bangsa-Bangsa bekerjasama dengan Bank Dunia dan IMF

membentuk sebuah program pembangunan bernama Millennium Development Goals (MDGs)

dan dilanjutkan dengan Sustainable Development Goals (SDGs) dimana isu lingkungan

menjadi salah satu isu yang diperhitungkan dalam pelaksanaan pembangunan.

Pada September 2000, negara-negara di dunia mengadopsi sebuah rancangan

pembangunan bernama UN Millennium Declaration sebagai sebuah komitmen dan upaya

untuk mengurangi kemiskinan, memajukan persamaan hak dan meciptakan perdamaian, serta

menegakkan demokrasi dan ketahanan lingkungan20. Komitmen ini kemudian diwujudkan dengan pembentukan Millennium Development Goals (MDGs) yang mengikat negara-negara

untuk mau dan terlibat secara aktif dalam pemberantasan kemiskinan, ketidaksetaraan gender,

kerusakan lingkungan, dan kekurangan atas pendidikan, kesehatan dan air bersih di dunia

dalam kurun waktu 15 tahun. Ada delapan sasaran pembangunan dan 18 target yang menjadi

tujuan dari MDGs dimana salah satunya, yakni pada sasaran ke-7 isu lingkungan menjadi

tujuan pembangunan yang difokuskan pada penyediaan air bersih dan sanitasi. Guna

mencapai ambisi pembangunan dalam MDGs, PBB melakukan strategi dengan melakukan

official development assistance (ODA) oleh negara-negara maju terhadap negara-negara yang

menjadi prioritas dalam MDGs. Pada Monterrey Conference on Financing for Development

di tahun 2002, negara-negara maju (OECD countries), berkomitmen untuk memberikan 0,7%

persen dari GNI mereka untuk mendanai asistensi pembangunan di negara-negara       

19 Ibid.

20 UNDP. Summary Human Development Report 2003. Report, UNDP, New York: Oxford University Press,

(9)

berkembang. Jumlah bantuan yang diberikan mencapai $103,9 milyar pertahun di tahun 2006

dan meninkat menjadi $135 milyar per tahun di tahun 2015, yang mana jumlah ini hanya

hanya sekitar 0,26% dari total GNI 22 negara OECD. Selain itu, tidak hanya melalui bantuan

dari negara-negara maju, MDGs juga menyediakan beberapa kebijakan pembangunan yang

dimaksudkan untuk meningkatkan pembangunan seperti kebijakan bagi para petani untuk

meningkatkan produktifitas, investing infrastructure, developing industrial development

policy, human rights and social equity, serta kebijakan untuk melestarikan lingkungan.

Selanjutnya pada tahun 2015, PBB kembali membentuk Sustainable Development

Goals SDGs sebagai sebuah kelanjutan dari program MDGs yang berakhir pada tahun 2015.

Konsep sustainable development dipelopori oleh pelaksanaan ‘Earth Summit’ atau United

Nations Conference on Environment and Development di Rio de Janeiro pada tahun 1992.

Konferensi internasional yang dihadiri oleh 170 perwakilan negara, 2.500 NGOs dan 8000

jurnalis ini berusaha untuk memasukkan kajian lingkungan dalam proses pembangunan.

tujuan utama dari konferensi ini adalah untuk mengidentifikasi prinsip-prinsip yang

diperlukan untuk agenda pembangunan berkelanjutan di masa mendatang21. Berawal dari konferensi inilah pada tahun 2015 program Sustainable Development Goals (SDGs)

dimunculkan sebagai upaya untuk pembangunan di masa mendatang. Dengan keberhasilan

program MDGs di tahun 2000-2015, menciptakan ambisi baru bagi negara-negara untuk

menciptakan sasaran pembangunan baru dimana tidak hanya mengatasi permasalahan

pembangunan yang ada saat ini, tetapi juga menjadi investasi pembangunan dimasa

mendatang, dengan melihat keterkaitan antara manusia dengan bumi atau lingkungan22. Berbeda dengan MDGs, SDGs berusaha untuk melibatkan partisipasi global, tidak hanya

pemerintah dan IGO, melainkan juga NGOs, social movement, civil society, dan individu

dalam proses pembangunan.

Definisi dari sustainable development menurut World Commission on Environment

and Development (WCED, 1987:43) adalah “Development that meets the needs of the present

without compromising the ability of the future generations to meet their own needs.”

Berdasarkan definisi tersebut, yang menjadi sasaran dari sustainable development tidak hanya

pembangunan di masa sekarang dan masa depan, tetapi juga jaminan pembangunan bagi

generasi yang akan datang. Berdasarkan fokus diatas, pada 25 September 2015,

negara-negara didunia mulai mengadopsi program Sustainable Development Goals (SDGs) sebagai

      

(10)

bentuk upaya pembangunan yang didasarkan pada pemberantasan kemiskinan, perlindungan

terhadap keberlangsungan alam dan bumi, dan menjamin kemakmuran bagi seluruh

masyarakat selama 15 tahun mendatang. Dalam SDGs, terdapat 17 fokus sasaran

pembangunan yaitu: 1) No Poverty, 2) Zero Hunger, 3) Good Health and Well being, 4)

Quality Education, 5) Gender Equality, 6) Clean Water and Sanitation, 7) Afforadable and

Clean Energy, 8) Decent Work and Economic growth, 9) Industry, Innovation and

Infrastructure, 10) Reduced Inequalities, 11) Sustainable Cities and Communities, 12)

Responsible Consumption and Production, 13) Climate Action, 14) Life Below Water, 15)

Life on Land, 16) Peace, Justice and Strong Institution, 17) Partnership for the goals.

Jika dianalisa berdasarkan sasaran SDGs sebagaimana yang telah dipaparkan diatas,

dapat dikatakan bahwa SDGs merupakan program pembangunan kelanjutan dari MDGs yang

telah mencapai hasil pada tahun 2015. Program ini dibuat tidak hanya untuk mengurangi

permasalahan pembangunan, melainkan juga untuk mengaitkan antara lingkungan, manusia,

ekonomi, dan pembangunan agar tercipta proses yang berkelanjutan. SDGs berusaha untuk

mengaitkan jaringan antara aspek sosial, lingkungan dan ekonomi dalam pembangunan

global. Disamping itu, fokus-fokus yang dibentuk dalam SDGs merupakan tujuan universal

dimana hal ini berbeda dengan MDGs yang cenderung lebih banyak diterapkan hanya pada

negara berkembang.

Tidak hanya membentuk program-program pembangunan yang peduli terhadap

kondisi lingkungan, PBB melalui United Nation Framework on Climate Change atau

UNFCCC membentuk Conference of Parties (COP) sebagai wadah bagi negara-negara di

dunia untuk bersama-sama mengatasi permasalahan perubahan iklim melalui sebuah

konferensi internasional23. Tujuan dari pembentukan COP adalah untuk melalukan pengkajian terhadap implementasi dari Earth Summit yang dilakukan di Rio pada Tahun 1992

terkait perlindungan terhadap lingkungan. Konferensi yang diikuti lebih dari 190 negara ini,

pada tahun 2015 lalu melakukan COP ke-21 di Paris, Perancis, dimana pada kesempatan itu

dihasilkan sebuah kesepakatan bersama baik negara maju maupun negara berkembang, untuk

bersama-sama mengurangi panas bumi menjadi 2 derajat dan mengurangi gas emisi rumah

kaca mereka pada tahun 2025 hingga 203024. Kebijakan internasional yang disepakati oleh negara-negara di dunia ini kemudian menjadi salah satu pendorong untuk mengatasi

      

23 Data diperoleh dari website resmi United Nations Framework on Climate Change, yang diakses melalui

UNFCCC. COP21 Paris : About. 2015. http://www.cop21paris.org/about/cop21 (accessed July 3, 2016).

24 Data diperoleh dari website COP21 News: What Was COP21? 2015. yang dapat diakses pada

(11)

permasalahan perubahan iklim yang terjadi saat ini, guna meminimalisir dampak dari

perubahan iklim di dunia.

V. Kesimpulan

Perubahan iklim merupakan salah satu isu yang menjadi perhatian penting dalam

pembangunan internasional. Perubahan iklim yang diakibatkan oleh emisi gas karbon yang

menyebabkan efek rumah kaca sehingga meningkatkan suhu bumi, mengakibatkan berbagai

dampak terhadap lingkungan ekosistem, ekonomi, keamanan dan keselamatan manusia yang

berpengaruh terhadap pembangunan. Peningkatan suhu, gelombang panas, dan cuaca ekstrim

akibat perubahan iklim memberikan dampak terhadap aktivas sektor-sektor ekonomi yang

sensitif terhadap kondisi cuaca dan iklim seperti pertanian, kelautan, perhutanan, dan

pengairan. Hal ini kemudian menganggu kestabilan ekonomi negara-negara yang bergantung

pada sektor-sektor tersebut.

Tidak hanya dalam hal ekonomi, perubahan iklim juga mendorong semakin buruknya

kemiskinan yang terjadi di negara-negara berkembang yang mana memiliki keterbatasan

teknologi dan infrastruktur untuk dapat beradaptasi dengan perubahan lingkungan. Sebagai

salah satu faktor yang menjadi indikator keberhasilan dari pembangunan, kemiskinan

merupakan hal penting untuk diatasi. Oleh karena itu, segala hal yang menghambat proses

pemberantasan kemiskinan seperti perubahan iklim patut mendapatkan perhatian dari

pemerintah dan masyarakat global. Meskipun masih mengalami banyak kontroversi

mengenai perubahan iklim sebagai suatu isu internasional yang serius, akan tetapi beberapa

organisasi dunia melihat isu perubahan iklim merupakan sebuah permasalahan yang perlu

dipertimbangkan dalam proses pembangunan. Oleh karena itu, pada tahun 2000 PBB dan

beberapa organisasi internasional seperti Bank Dunia dan IMF membentuk Millennium

Development Goals yang dilanjutkan oleh Sustainable Develompent Goals di Tahun 2015

sebagai bentuk mitigasi terhadap dampak perubahan iklim bagi pembangunan.

VI. Referensi

 

Adams, W.M. The Future of Sustainability: Re-thinking Environment and Development in the

(12)

Beyerlin, Ulrich. "Bridging the North-South Divide in International Environmental Law."

2006: 259-261.

COP21. News: What Was COP21? 2015.

http://www.cop21.guv.fr/en/2c-target-result-of-state-contributions/ (accessed July 3, 2016).

Elliot, Jennifer A. An Introduction to Sustainble Development - Third Edition. New York:

Routledge, 2006.

Kaskinen, Tuuli, Olli Alanen, Aleksi Neuvonen, and Pirkka Aman. No Development Without

Adressing Climate Change. Working Papers, Helsinki: Kepa Service Centre For

Development Cooperation, 2009.

Mendelsohn, Robert. Climate Change and Economic Growth. Working Papers No.60,

Washington, DC: The World Bank Commission on Growth and Development, 2009.

Munasinghe, Mohan, and Rob Swart. Primer on Cllimate Change and Sustainable

Development - Facts, policy analysis, and application. Cambridge: Cambrigde

University Press, 2005.

Salih, M.A. Mohamed. Climate Change and Sustainable Development - New Challenges for

Poverty Reduction. Cheltenham & Northampton: Edward Elgar Publishing, 2009.

Turner, Kerry, and Brendan Fisher. "An ecosystems services approach: Income, inequality

and poverty." In Climate Change and Sustainable Development - New Challenges for

Poverty Reduction, by M.A. Mohamed Salih, 156-178. Cheltenham & Northampton:

Edward Elgar, 2009.

UNDP. Summary Human Development Report 2003. Report, UNDP, New York: Oxford

University Press, 2003.

UNDP. "Sustainable Development Goals." United Nations, New York, 2015.

UNFCCC. COP21 Paris : About. 2015. http://www.cop21paris.org/about/cop21 (accessed

July 3, 2016).

Referensi

Dokumen terkait

• Tembaga yang dipadu dengan Si mempunyai sifat-sifat duktiliti yang lebih tinggi, tahan gesek, tahan korosi, serta mempunyai kemampuan tuang atau las yang baik.. Dipakai

Terima Kasih Yang sebesar-besarnya saya ucapkan kepada Prof.. Fauzie Sahil, SpOG(K) dan

Jadi, dapat disimpulkan bahwa keterampilan mengadakan variasi ialah keterampilan yang harus dimiliki oleh guru serta diamalkan oleh guru tersebut dalam kegiatan

Perihal : Undangan Pelatihan Fasilitator Tahap II (Provinsi Jawa Tengah I) Program Pamsimas III TA 2016 Dalam rangka meningkatkan kapasitas Fasilitator Senior dan

Rumusan masalah yang disusun adalah membangun sebuah aplikasi yang dapat melaporkan informasi akademik yakni berupa nilai siswa,absensi,pelanggaran siswa, data

Informasi keuangan di atas diambil dari laporan keuangan konsolidasian PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk ("Bank") dan entitas anak tanggal 30 September 2017 dan

Penelitian lebih lanjut, hendaknya menambah variabel lain yang dapat mempengaruhi kinerja karyawan seperti disiplin kerja, kepuasan kerja dan pelatihan karena