PENGARUH INTENSITAS CAHAYA TERHADAP
PERTUMBUHAN DAN KONTEN RANTAI PANJANG
POLYISOPRENOID PADA MANGROVE SEJATI MAYOR BERJENIS
SEKRESI
Sonneratia caseolaris
(L.)
SKRIPSI
Oleh:
EPIFANI NATALIA GULTOM
111201146
PROGRAM STUDI KEHUTANAN
FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Penelitian : Pengaruh Intensitas Cahaya Terhadap Pertumbuhan dan Konten Rantai Panjang Polyisoprenoid pada Mangrove Sejati Mayor Berjenis Sekresi Sonneratia caseolaris (L.)
Nama : Epifani Natalia Gultom
NIM : 111201146
Menyetujui
Komisi Pembimbing
Ketua Anggota
Mohammad Basyuni, S.Hut, M.Si, Ph.DDr. Budi Utomo, SP.,MP
Mengetahui,
Ketua Program Studi Kehutanan
ABSTRACT
EPIFANI NATALIA GULTOM : Effect of Light Intensity on Growth and Content of Long Chain Polyisoprenoid in True Mangrove Major secretor Sonneratia caseolaris L. Under supervision of MOHAMMAD BASYUNI and BUDI UTOMO.
Each plant species has a different response to the light intensity. Some species need shade in the early growth, and there are species did not requires shade in the early growth. Mangrove degradation occurred recent years, rehabilition program therefore are needed for reforestation. The reforestation needs a superior and qualified seeds for the best growth. This study focus on S. caseolaris because this fruit species priority consumed by local people in the area of mangrove and for rehabilitation program. The applied research method is Complete Random Sampling, non factorial that consist ofx different repetition. The applied analysis method is variance analysis with advanced tesdt by determining the value that influence or not with Dunnet method on confidential level 5% with 4 treatments for light intensity 100%, 75%, 50% and 25%. This research was conducted at Pharmacy Laboratory and Faculty of Agriculture, department of forestry of University of Sumatera Utara since July of 2014 to January of 2015. The results of research indicates that the light intensity 50% showed best growth of morphology and polyisoprenoid content is not found in S. caseolaris because the dried weight is not sufficient for further analysis.
ABSTRAK
EPIFANI NATALIA GULTOM : Pengaruh Intensitas Cahaya terhadap Pertumbuhan dan Konten Rantai Panjang Polyisoprenoid pada Mangrove Sejati Mayor Berjenis Sekresi Sonneratia caseolaris L. Di bawah bimbingan MOHAMMAD BASYUNI dan BUDI UTOMO.
Setiap jenis tanaman memiliki respon yang berbeda-beda terhadap intensitas matahari. Ada jenis yang di awal pertumbuhan memerlukan naungan, ada juga spesies tertentu yang tidak memerlukan naungan di awal pertumbuhannya. Degradasi mangrove telah terjadi beberapa waktu lalu untuk itu diperlukan untuk menanam kembali. Untuk menanam kembali, dibutuhkan bibit yang unggul dan berkualitas, sehingga dapat tumbuh dengan baik. Studi ini dikhususkan pada, jenis S. caseolaris karena jenis ini merupakan buah yang dikosumsi oleh masyarakat yang tinggal di kawasan hutan mangrove dan salah satu jenis yang diprioritaskan untuk program rehabilitasi. Metode penelitian yang dipakai ialah menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) non faktorial yang terdiri dari ulangan yang berbeda. Metode analisa yang digunakan adalah sidik ragam (ANOVA) dengan uji lanjut dengan menentukan nilai yang berpengaruh atau tidak dengan metode Dunnet pada taraf 5 % dengan 4 perlakuan yaitu intensitas cahaya 100 %, 75 %, 50 % dan 25 %. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Farmasi dan Fakultas Pertanian, Jurusan Kehutanan Universitas Sumatera Utara yang dilaksanakan pada bulan Juli 2014 – Januari 2015. Hasil penelitian menunjukkan intensitas cahaya 50 % memberikan morfologi pertumbuhan yang terbaik dan kandungan polyisopenoid tidak ditemukan pada S. caseolaris karena jumlah berat kering yang tidak mencukupi untuk analisis.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bah jambi pada tanggal 30 Juni 1993 dari pasangan Bapak Domisian Kuat
Gultom dan Ibu Rita Tumanggor. Penulis merupakan anak kelima dari enam bersaudara dalam keluarga.
Penulis menjalani pendidikan formal di SDN 091568 Bah jambi lulus pada tahun 2005, lalu
melanjutkan ke SMP Swasta Katholik Assisi P.Siantar lulus pada tahun 2008. Pada tahun 2011 penulis
menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMA Swasta Raksana Medan. Pada tahun 2011 penulis
diterima sebagai mahasiswa di Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara
melalui jalur UMB-SPMB.
Selain mengikuti perkuliahan, penulis aktif mengikuti kegiatan organisasi, yaitu Anggota
Himpunan Mahasiswa Sylva tahun 2011-2012. Penulis juga menjadi asisten Praktikum Silvika, asisten
Praktikum Inventarisai Hutan tahun, dan asisten Praktikum Geodesi dan Kartografi.
Penulis melakukan Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di Taman Hutan RayaBukit
Barisan dan Hutan Pendidikan Gunung Barus,Kabupaten Karo pada tahun 2013. Penulis melaksanakan
Praktik Kerja Lapangan (PKL) di Perum Perhutani KPH Cianjur Jawa Barat dari tanggal 28 Januari- 28
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan yang maha esa karena atas rahmat dan berkat-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Variasi Naungan terhadap
Pertumbuhan dan Konten Rantai Panjang Polyisoprenoid pada Mangrove Sejati Mayor Berjenis Sekresi
Sonneratia caseolaris L”.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyelesaian skripsi ini. Maka dari itu penulis
banyak mengucapkan terima kasih kepada Bapak Mohammad Basyuni, S.Hut., M.Si., Ph.D dan Bapak
Dr. Budi Utomo, SP. MP., selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu dan pemikirannya
dengan keikhlasan untuk memberikan bimbingan dan masukan kepada penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, untuk itu
pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Kedua orang tua, Ayahanda Domisian Kuat Gultom dan Ibunda Rita Tumanggor yang senantiasa
memberikan kasih sayang sepanjang masa, memberikan doa dan semangat, serta dukungan berupa
moril maupun materil kepada penulis.
2. Kepada Kakanda dan Abangda yaitu Mery Christina Gultom, SP., Karyawati Gultom, M.Pd., S.M.
Horas Paulus Gultom, S.Pd, Anicheta Gultom, S.Pd dan Adik saya Paska Anastasia Gultom yang
selalu memberikan saya kekuatan, dan semangat juang dalam mendukung saya menyelesaikan
skripsi ini.
3. Kepada Tanoto Foundation yang telah memberikan beasiswa kepada saya sejak semester 3 - semester
8, memberikan hibah penelitian kepada saya sehingga membantu kelancaran penelitian serta saya
4. Seluruh masyarakat Desa Pulau Kampai Bapak Burhan selaku kepala desa beserta keluarga besar dan
masyarakat Desa Pulau Kampai.
5. Sahabat - sahabat saya yang selalu membantu saya dalam mengerjakan skripsi, semangat dan doa
yaitu Jones Panahatan Simanungkalit, A.Md, Domeyreez, A.Md, Yuni Manurung, A.Md, Yohana,
A.Md, Sihol Malau, Desrina Manalu, Novita Pardede, Winda Situmeang.
6. Rekan tim peneliti (Latifah Nur Siregar, Nurfalah Siregar, dan Apriliyani Sinaga, Evan Kharogi,
Hamsyah R Harahap, Nofrizal Amri dan Heru Prayogi) yang telah memberikan semangat dan
kerjasama saat melakukan penelitian, serta teman-teman angkatan 2011 di Fakultas Kehutanan,
khususnya di Budidaya Hutan 2011.
7. Terakhir, penulis hendak menyapa setiap nama yang tidak dapat penulis cantumkan satu per satu,
terima kasih atas doa yang senantiasa mengalir tanpa sepengetahuan penulis. Terimakasih
sebanyak-banyaknya kepada orang-orang yang turut bersuka cita atas keberhasilan penulis menyelesaikan
skripsi ini.
Akhir kata, semoga Tuhan senantiasa melimpahkan Karunia-Nya kepada kita semua dan semoga
tulisan ini bermanfaat bagi semua pihak.
Medan, April 2015
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRACT ... i
ABSTRAK ... ii
RIWAYAT HIDUP ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR TABEL ... viii
DAFTAR GAMBAR ... ix
PENDAHULUAN Latar Belakang... ... 1
Kerangka Pemikiran... ... 3
Tujuan Penelitian... ... 4
Hipotesis Penelitian... ... 4
Manfaat Penelitian... ... 4
TINJAUAN PUSTAKA Hutan Mangrove ... 5
Sonneratia caseolaris ... ... 7
Polyisoprenoid... ... 9
Naungan... ... 10
Alat dan Bahan ... 12
Metode Penelitian ... 13
HASIL DAN PEMBAHASAN
Morfologi Pertumbuhan ... 17 Separasi Polyprenol dan Dolichols ... 23
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan ... 29 Saran ... 29
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL
No. Halaman
1. Persentase Hidup dan Mortalitas Semai S. caseolaris ... i
2. Ringkasan Pertumbuhan Terbaik Parameter Penelitian pada berbagai Variasi Naungan ... ii
DAFTAR GAMBAR
No. Halaman
1. Zonasi Mangrove di Cilacap, Jawa Tengah ... 7
2. Struktur Polyprenol dan Dolichols ... 9
3. Pengaruh Naungan terhadap Pertumbuhan Tinggi Semai S. caseolaris (A1) dan Diameter Semai (B1). Korelasi Naungan Terhadap Tinggi Semai (A2) dan terhadap Diameter Semai (B2). Data merupakan SE (n= 6-10). ... 18
4. Pengaruh Naungan terhadap Pertumbuhan Jumlah Daun Semai S. caseolaris (C1) dan Korelasi Naungan terhadap Jumlah Daun (C2). Data Merupakan SE (n= 6-10). 19
5. Pengaruh Naungan terhadap Berat Basah Tajuk (D1) dan Berat Basah Akar semai S. caseolaris (E1). Korelasi Naungan terhadap Berat Basah Tajuk (D2) dan terhadap Berat Basah Akar (E2). Data Merupakan SE (n= 6-10) ... 19
6. Pengaruh Naungan terhadap Berat Kering Tajuk (F1) dan Berat Kering Akar (G1) Semai S. caseolaris. Korelasi Naungan terhadap Berat Kering Tajuk (F2) dan terhadap Berat Kering Akar (G2). Data merupakan SE (n= 6-10) ... 20
7. Pengaruh Naungan terhadap Berat Rasio Tajuk dan Akar Semai S. caseolaris(H1). Korelasi Naungan terhadap Ratio Tajuk dan Akar (H2). Data Merupakan SE (n= 6-10) ... 21
ABSTRACT
EPIFANI NATALIA GULTOM : Effect of Light Intensity on Growth and Content of Long Chain Polyisoprenoid in True Mangrove Major secretor Sonneratia caseolaris L. Under supervision of MOHAMMAD BASYUNI and BUDI UTOMO.
Each plant species has a different response to the light intensity. Some species need shade in the early growth, and there are species did not requires shade in the early growth. Mangrove degradation occurred recent years, rehabilition program therefore are needed for reforestation. The reforestation needs a superior and qualified seeds for the best growth. This study focus on S. caseolaris because this fruit species priority consumed by local people in the area of mangrove and for rehabilitation program. The applied research method is Complete Random Sampling, non factorial that consist ofx different repetition. The applied analysis method is variance analysis with advanced tesdt by determining the value that influence or not with Dunnet method on confidential level 5% with 4 treatments for light intensity 100%, 75%, 50% and 25%. This research was conducted at Pharmacy Laboratory and Faculty of Agriculture, department of forestry of University of Sumatera Utara since July of 2014 to January of 2015. The results of research indicates that the light intensity 50% showed best growth of morphology and polyisoprenoid content is not found in S. caseolaris because the dried weight is not sufficient for further analysis.
ABSTRAK
EPIFANI NATALIA GULTOM : Pengaruh Intensitas Cahaya terhadap Pertumbuhan dan Konten Rantai Panjang Polyisoprenoid pada Mangrove Sejati Mayor Berjenis Sekresi Sonneratia caseolaris L. Di bawah bimbingan MOHAMMAD BASYUNI dan BUDI UTOMO.
Setiap jenis tanaman memiliki respon yang berbeda-beda terhadap intensitas matahari. Ada jenis yang di awal pertumbuhan memerlukan naungan, ada juga spesies tertentu yang tidak memerlukan naungan di awal pertumbuhannya. Degradasi mangrove telah terjadi beberapa waktu lalu untuk itu diperlukan untuk menanam kembali. Untuk menanam kembali, dibutuhkan bibit yang unggul dan berkualitas, sehingga dapat tumbuh dengan baik. Studi ini dikhususkan pada, jenis S. caseolaris karena jenis ini merupakan buah yang dikosumsi oleh masyarakat yang tinggal di kawasan hutan mangrove dan salah satu jenis yang diprioritaskan untuk program rehabilitasi. Metode penelitian yang dipakai ialah menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) non faktorial yang terdiri dari ulangan yang berbeda. Metode analisa yang digunakan adalah sidik ragam (ANOVA) dengan uji lanjut dengan menentukan nilai yang berpengaruh atau tidak dengan metode Dunnet pada taraf 5 % dengan 4 perlakuan yaitu intensitas cahaya 100 %, 75 %, 50 % dan 25 %. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Farmasi dan Fakultas Pertanian, Jurusan Kehutanan Universitas Sumatera Utara yang dilaksanakan pada bulan Juli 2014 – Januari 2015. Hasil penelitian menunjukkan intensitas cahaya 50 % memberikan morfologi pertumbuhan yang terbaik dan kandungan polyisopenoid tidak ditemukan pada S. caseolaris karena jumlah berat kering yang tidak mencukupi untuk analisis.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis dan sub-tropis, dan merupakan
komunitas yang hidup di dalam kawasan yang lembab dan berlumpur serta dipengaruhi oleh
pasang surut air laut. Mangrove disebut juga sebagai hutan pantai, hutan payau atau hutan bakau.
Pengertian mangrove sebagai hutan pantai adalah pohon – pohonan yang tumbuh di daerah
pantai (pesisir), baik di daerah yang dipengaruhi oleh ekosistem pesisir (Harahab, 2010).
Di Indonesia perkiraan luas mangrove juga sangat beragam. Menurut Spalding et al
(2010) menyebutkan Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yakni 21% dari luas
total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar mulai dari Sumatera, Jawa,
Kalimantan, Sulawesi sampai ke Papua. Sedangkan menurut Giri et al (2011), Indonesia
memiliki hutan mangrove terluas di dunia yakni 22.6% dari luas total global yang tersebar
hampir di seluruh pulau-pulau besar mulai dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi sampai ke
Papua.
Dalam hal struktur, mangrove di Indonesia lebih bervariasi bila dibandingkan dengan
negara lainnya. Zonasinyadi mulai dari tegakan Avicennia marina dengan ketinggian1 - 2 meter
pada pantai yang tergenang air laut, hingga tegakan campuran Bruguiera-Rhizophora-Ceriops
dengan ketinggian lebih dari 30 meter (misalnya, di Sulawesi Selatan).Di daerah pantai yang
terbuka, dapat ditemukan Sonneratia alba dan Avicennia alba,sementara itu di sepanjang sungai
yang memiliki kadar salinitas yang lebih rendahumumnya ditemukan Nypa fruticans dan
Zona vegetasi mangrove nampaknya berkaitan erat dengan pasang surut. Beberapa
peneliti melaporkan adanya korelasi antara zonasi mangrove dengan tinggi rendahnyapasang
surut dan frekuensi banjir (Steenis, 1958 dengan Chapman, 1978a). Di Indonesia,areal yang
selalu digenangi walaupun pada saat pasang rendah umumnya didominasioleh Avicennia alba
atau Sonneratia alba. Areal yang digenangi oleh pasang sedangdidominasi oleh jenis-jenis
Rhizophora. Adapun areal yang digenangi hanya pada saatpasang tinggi, yang mana areal ini
lebih ke daratan, umumnya didominasi oleh jenisjenisBruguiera dan Xylocarpus granatum,
sedangkan areal yang digenangi hanya padasaat pasang tertinggi (hanya beberapa hari dalam
sebulan) umumnya didominasi olehB. sexangula dan Lumnitzera littorea.Kemampuan mangrove
untuk mengembangkan wilayahnya ke arah laut merupakan salahsatu peran penting mangrove
dalam pembentukan lahan baru. Akar mangrove mampumengikat dan menstabilkan substrat
lumpur, pohonnya mengurangi energi gelombangdan memperlambat arus, sementara vegetasi
secara keseluruhan dapat memerangkap sedimen(Chambers, 1980).
Pada penelitian sebelumnya (Basyuni et al. 2007, 2011, 2012b, 2014) dilaporkan bahwa
mangrove terkenal sebagai penghasil senyawa metabolit sekunder terutama senyawa triterpenoid
dan fitosterol (isoprenoid) (C30). Namun, komposisi untuk rantai panjang polyisoprenoid hanya
sedikit penelitian yang dilakukan, oleh karena itu,penelitian ini akan meneliti lebih lanjut tentang
Polyisprenoid (C>50) pada tumbuhan mangrove. Menurut Surmacz dan Swiezewska,(2011),
polyisoprenoid alkohol (dolichols dan polyprenols) ditemukan di semua organisme hidup, dari
bakteri dan mamalia. Dalam hewan dan ragi sel polyisoprenoids berasal dari mevalonat
sitoplasma (MVA) dimana jalur sementara pada tanaman dua jalur biosintesis, MVA dan jalur
polyisoprenoid. Kunci enzim sintetis polyisoprenoid adalah cis-prenyltransferases (CTPs), yang
bertanggung jawab untuk membuat kerangka panjang hidrokarbon.
Penelitian terhadap polyisoprenoid masih terbatas pada bakteri, mamalia, dan hewan
sehingga perlu dilakukan pengujian lanjut terhadap tanaman mangrove pada jenis Sonneratia
caseolaris pada berbagai intensitas naungan yang bertujuan untuk mengetahui perubahan
konsentrasi rantai panjang polyisoprenoid dengan adanya perlakuan naungan dan juga
mendapatkan data pertumbuhan yang terbaik S. caseolaris pada berbagai intensitas naungan
yang berguna untuk program rehabilitasi mangrove di Sumatera Utara.
Kerangka Pemikiran
Sonneratia caseolaris merupakan salah satu tumbuhan di ekosistem mangrove yang
merupakan mangrove sejati mayor dan memiliki sebutan apel mangrove karena buahnya bisa
dimakan (dimanfaatkan). S. caseolaris juga memiliki memiliki akar nafas vertikal seperti
kerucut (tinggi hingga 1 m) yang banyak dan sangat kuat. Fokus penelitian ini tentang rantai
panjang polyisoprenoid (C>50) pada jenis tanaman S. caseolaris dengan pemberian berbagai
intensitas naungan. Pada penelitian ini, aspek fisiologis akan diamati dengan diberinya naungan
pada tumbuhan S. caseolaris akan menaikkan atau menurunkan konsentrasi rantai panjang
polyisoprenoid (C>50) dan mendata respon pertumbuhan yang terbaik pada berbagai intensitas
naungan yang diberikan. Polyisoprenoid terdiri dari dua famili dolichols dan polyprenols.
Sehingga, penelitian ini juga ingin meneliti perbedaan (separasi) antara dolichols dan
polyprenols pada S. caseolaris (yakni pada jaringan daun dan akar).
Tujuan Penelitian
1. Mengetahui pertumbuhan terbaik pada S. caseolarispada berbagai intensitas cahaya.
Hipotesis Penelitian
1. Terdapat perbedaan respon pertumbuhan S. caseolaris pada intensitas cahaya.
2. Perubahan konsentrasi polyisoprenoid terhadap intensitas naungan.
Manfaat Penelitian
1. Memberikan informasi intensitas cahaya yang terbaik untuk pertumbuhan S. caseolaris
di persemaian.
2. Menjadi referensi terbaru bagi khalayak umum tentang rantai panjang polyisoprenoid
TINJAUAN PUSTAKA
Hutan Mangrove
Kata mangrove merupakan kombinasi antara bahasa portugis mangue dan bahasa inggris
grove. Dalam bahasa inggris, kata mangrove digunakan untuk komunitas tumbuhan yang tumbuh
di daerah jangkauanpasang-surut maupun untuk individu-individu spesies tumbuhan yang
menyusun komunitas tersebut. Sedangkan dalam bahsa portugis, kata mangrove digunakan untuk
menyatakan individu spesies tumbuhan dan kata mangal untuk menyatakan komunitas tumbuhan
tersebut (Kustanti, 2011).
Hutan mangrove meliputi pohon-pohonan dan semak yang terdiri dari 12 tumbuhan
berbunga (Avicenia, Sonneratia, Rhizophora,Bruguiera,Ceriops, Xylocarpus, Lumnitzera,
Laguncularia, Aegiceras, Aegiathilas, Snaedda, dan Conocarpus) yang termasuk ke dalam 8
famili. Paling tidak di dalam hutan mangrove terdapat salah satu jenis tumbuhan dominan yang
termasuk kedalam empat famili : Rhizophoraceae (Rhizophora, Bruguiera, Ceripos),
Sonneratiaceae (Sonneratia), Aviceniaceae (Avicennia), dan Meliaceae
(Xylocarpus)(Bengen,2001).
Mangrove diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok mayor, kelompok
minor dan kelompok asosiasi mangrove. Pertama, kelompok mayor (vegetasi dominan)
merupakan komponen yang memperlihatkan karakter morfologi, seperti mangrove yang
memiliki sistem perakaran udara dan mekanisme fisiologi khusus untuk mengeluarkan garam
agar dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan. Contohnya ialah Rhizophora apiculata, R.
Mucronata, Sonneratia alba, Avicennia marina, A. Officinalis, Bruguiera gymnorhiza, B.
cylinrica, B. parvifolia, B. sexangula, Ceriops tagal, Kandelia candel, Xylocarpus granatum, dan
termasuk elemen yang menyolok dari tumbuh-tumbuhan yang mungkin terdapat di sekeliling
habitatnya dan jarang berbentuk tegakan murni. Contoh : Bruguiera cylindrica, Lumnitzera
racemosa, Xylocarpus moluccensis, Intsia bijuga, Nypa fruticans, Ficus retusa, F. Microcorpa,
Pandanus spp, Calamus erinaceus, Glochidion litteorale, Scolopia macrophyyla, dan
Oncosperma tigillaria. Ketiga, asosiasi mangrove yang merupakan komponen yang jarang
ditemukan spesies yang tumbuh di dalam komunitas mangrove yang sebenarnya dan kebanyakan
sering ditemukan dalam tumbuh-tumbuhan darat. Contoh : Tapak Kuda (Ipomoea pescaprea),
Jeruju (Acanthus illicifolius), Nipah (Nypa fruticans), dan Gelang Laut (Sesuvium
portulacastrum L.) (Kustanti, 2011).
Walsh (1974) mencoba menjelaskan perbedaan pengembangan komunitas mangrove di
dunia degan membedakan lima persyaratan mendasar bagi mangrove untuk tumbuh , yaitu 1.
Suhu tropik, 2. Daratan aluvial, 3. Pantai yang tidak bergelombang besar, 4. Salinitas, dan 5.
Tingkat pasang surut air laut. Kelima faktor lingkungan tersebut mempengaruhi pembentukan
dan luasan mangrove, komposisi jenis, zonasi, karakteristik struktural lanilla, dan fungsi
Salah satu contoh zonasi mangrove di Cilacap, Jawa Tengah (White, dkk, 1989) dapat
dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Zonasi mangrove di Cilacap, Jawa Tengah
Keterangan :
Aa - Avicennia alba Dh - Derris heterophylla Ac - Aegiceras corniculatum Ra - Rhizophora apiculata
Bc - Bruguiera cylindricaRm - R. mucronata
Bg - B. gymnorrhiza Sb - Sarcolobus banksii Bp - B. parvifloraXg - Xylocarpus granatum
Ct - Ceriops tagal
Sonneratia caseolaris
S. caseolaris mempunyai nama lokal yaitu pedada, perepat, pidada, bogem, bidada,
rambai, wahat merah, posi-posi merah, dan berembang. Dimana, deksripsi umumnya seperti
pohon, ketinggian mencapai 15 m, jarang mencapai 20 m. Memiliki akarnafas vertikal seperti
kerucut (tinggi hingga 1 m) yang banyak dan sangat kuat.Ujung cabang/ranting terkulai, dan
berbentuk segi empat pada saat muda.Daun nya seperti gagang/tangkai daun kemerahan, lebar
dan sangat pendek. Unit dan letak S. caseolarissederhana & berlawanan, bentuknya bulat
Bunga S. caseolaris memiliki pucuk bunga bulat telur. Ketika mekar penuh, tabung kelopak
bunga berbentukmangkok, biasanya tanpa urat. Letaknyadi ujung dan formasi
soliter-kelompok(1-3 bunga per kelompok). Daun mahkotamerah, ukuran 17-35 x 1,5-3,5mm, mudah
rontok, kelopak bunga6-8; berkulit, bagian luar hijau, di dalamputih kekuningan hingga
kehijauan, dan benang saribanyak, ujungnya putihdan pangkalnya merah, mudah
rontok.Buahnya seperti bola, ujungnya bertangkai dan bagian dasarnya terbungkus kelopak
bunga.Ukuran lebih besar dari S.alba, bijinya lebih banyak (800-1200) dan ukuranbuahdiameter
6-8 cm.Ekologi mangrove ini tumbuh di bagian yang kurang asin di hutan mangrove, pada tanah
lumpuryang dalam, seringkali sepanjang sungai kecil dengan air yang mengalir pelandan
terpengaruh oleh pasang surut. Tidak pernah tumbuh pada pematang/daerah berkarang. Juga
tumbuh di sepanjang sungai, mulai dari bagian huludimana pengaruh pasang surut masih terasa,
serta di areal yang masih didominasioleh air tawar. Tidak toleran terhadap naungan. Ketika
bunga berkembang penuh(setelah jam 20.00 malam), bunga berisi banyak nektar. Perbungaan
terjadisepanjang tahun. Biji mengapung. Selama hujan lebat, kecenderunganpertumbuhan daun
akan berubah dari horizontal menjadi vertikal.
Penyebaran S. caseolarisdari Sri Lanka, seluruh Asia Tenggara, termasuk Indonesia, Malaysia,
Filipina,hingga Australia tropis, dan Kepulauan Solomon.Kelimpahan umum, dan melimpah
setempat dan memiliki manfaat seperti buah asam dapat dimakan (dirujak). Kayu dapat
digunakan sebagai kayu bakarjika kayu bakar yang lebih baik tidak diperoleh. Setelah direndam
Polyisoprenoid
Polyisoprenoid alkohol merupakan sekelompok polimer hidrofobik yang secara umum
didistribusikan di alam. Molekul tersebut terdiri dari beberapa hingga lebih dari 100 residu
isoprena ,kepala terkait dengan ekor dengan gugus hidroksi di salah satu ujung (a-residu) dan
sebuah atom hidrogen di sisi yang lain (x-end).Hidrogenasi ikatan rangkap dalam suatu residu
memunculkan dolichols (syn. Polyprenols dihidro) berbeda dengan polyprenols tak jenuh (syn.
dolichols dehidro).Alkohol Polyisoprenoid diakumulasikan di dalam sel yang paling sering
sebagai bebas alkohol dan / atau ester dengan asam karboksilat. Sebuah fraksi dari fosfat
polyisoprenoid juga telah terdeteksi, dan bentuk tersebut kadang-kadang dominan dalam
membagi sel danSaccharomyces cerevisiae.Hidrofobisitas yang tinggi dari rantai polyisoprenoid
menetukan lebih dahulu lokalisasi membran dari polyprenols dan dolichols. Studi klasik
subfraktionasi mengungkapkan bahwa dalam sel-sel dolichols pada hati mamalia yang hadir di
semua membran sel dengan konten tertinggi di lisosom, golgi dan membran plasma. Dalam sel
fotosintesis tanaman kandungan tertinggi polyprenols ditemukan pada kloroplast, sementara
solanesol terdeteksi terdapat dalam kloroplas dan jumlah jejak di dalam mitokondria daun
bayam (Swiezewska dan Danikiewicz, 2005).
Naungan
Naungan akan mempengaruhi jumlah intensitas cahaya matahari yang mengenai
tanaman. Setiap jenis tanaman membutuhkan intensitas cahaya tertentu untuk memperoleh
fotosintesis yang maksimal. Oleh karena itu, pemberian naungan bertujuan mendapatkan
intensitas cahaya matahari yang sesuai untuk fotosintesis (Wachjar, 2002).
Cahaya merupakan salah satu kunci penentu dalam proses metabolisme dan fotosintesis
tanaman. Cahaya dibutuhkan oleh tanaman mulai dari proses perkecambahan biji sampai
tanaman dewasa. Respon tanaman terhadap cahaya berbeda-beda antara jenis satu dengan jenis
lainnya. Ada tanaman yang tahan (mampu tumbuh) dalam kondisi cahaya yang terbatas atau
sering disebut tanaman toleran dan ada tanaman yang tidak mampu dalam kondisi cahaya
terbatas atau tanaman intoleran (Morais et al., 2004).
Beberapa spesies dapat hidup dengan mudah dalam intensitas. Banyak spesies
memerlukan naungan pada awal pertumbuhannya, walaupun dengan bertambahnya umur
naungan dapat dikurangi secara bertahap. Beberapa spesies yang berbeda mungkin tidak
memerlukan naungan dan yang lain mungkin memerlukan naungan mulai awal pertumbuhannya.
Pengaturan naungan sangat penting untuk menghasilkan semai-semai yang berkualitas. Naungan
berhubungan erat dengan temperatur dan evaporasi. Oleh karena adanya naungan, evaporasi dari
semai dapat dikurangi. Beberapa spesies lain menunjukkan cahaya yang tinggi tetapi beberapa
spesies tidak (Suhardi et al., 2006).
Lebih kurang 80% dari seluruh bagian tanaman hidup adalah air, sehingga apabila
tanaman kekurangan air maka akan terjadi penurunan aktivitas biosintesa dan perubahan karakter
fisiologis dan morfologis tanaman. Cahaya matahari mempunyai fungsi yang sangat penting
perubahan karakteristik fisiologis dan morfologis tanaman, dampak berikutnya adalah penurunan
produktivitas tanaman.Intensitas cahaya berpengaruh terhadap aktivitas pertumbuhan, perubahan
morfologi dan karakter fisiologis, aktivitas metabolisme metabolit primer dan sekunder. Jumlah klorofil a, klorofil b semakin meningkat dengan meningkatnya tingkat naungan dari 790 μmol
m−2s−1 (setara dengan penyinaran penuh) menjadi 310 μmol m−2s−1 atau setara dengan
naungan 60%. Namun laju fotosintesa justru meningkat dengan meningkatnya intensitas cahaya 790 μmol m−2s−1 setara dangan kondisi 40 (Nagasubramaniam, dkk, 2007).
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu
Lokasi
Lokasi penelitian ini dilakukan di kawasan kampus Kehutanan untuk persemaian dan
analisis rantai panjang polyisoprenid di Laboratorium Farmasi, Universitas Sumatera Utara.
Waktu
Penelitian ini dilakukan dari bulan Juli 2014 – Januari 2015.
Alat dan Bahan
Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini ialah bak kecambah, sprayer, cangkul, mistar,
oven, jangka sorong, ember, gunting, pisau, seng, kamera, meteran, parang, timbangan,scaner
EPSON GT-6500ARTnormal-plate thin-layer, Software Excel, dan SAS 9.1.
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini ialah buah S.caseolaris yang telah matang
dan sudah jatuh dari pohon, paranet 75%, 50 %, 25 %, aseton (CH3COCH3), heksana (C6H16),
nitrogen (N2), metanol (CH3OH), etanol (C2H6O), KOH, heksana (C6H14), bekas botol minuman
1,5 l sebagai polybag, pasir yang telah di gonseng, air, kain sering, tali plastik, bambu, label
nama, dan alat tulis.
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) non faktorial. Metode
analisa yang digunakan adalah sidik ragam (ANOVA) dengan uji lanjut dengan menentukan nilai
yang berpengaruh atau tidak dengan metode Uji Dunnet pada taraf 5 %. Model linear yang
digunakan adalah :
Yij = µ + τi + εij
Keterangan :
Yij = Nilai pengamatan pada ulangan ke-j yang mendapat perlakuan intensitas naungan ke-i
µ = nilai rataan
τi = Pengaruh perlakuan intensitas naungan ke-i
εij = Galat percobaab pada ulangan ke-j dalam perlakuan intensitas naungan ke-i.
Dan untuk analisis polyisoprenoid menggunakan metode kromatografi normal-plate
thin-layer, untuk melihat dan separasi famili dolichols dan polyprenols di jaringan tanaman
S.caseolaris pada akar dan daunnya.Dimana, hasil gambar kromatografi yang diperoleh di catat
dengan scaner EPSON GT-6500ART.
Perlakuan dalam penelitian ini ialah N0 yaitu tanpa naungan (0%) (Kontrol), N1 yaitu
paranet dengan intensitas naungan 25 %, N2 yaitu paranet dengan intensitas naungan 50%, N3
yaitu paranet dengan intensitas naungan 75 %.
Prosedur Penelitian
1. Pemilihan lokasi persemaian
Lokasi persemaian dipilih pada kondisi tanah yang lapang dan datar serta di dekat kampus
Kehutanan agar setiap hari bisa dirawat dan disiram dengan teratur.
Ukuran tempat persemaian dibuat 5m x 4m dengan masing – masing naungan tinggi 1m,
lebar 1m, dan panjang 1m. Bahan yang digunakan adalah kain sering.
3. Persiapan media, pengumpulan benih dan penanaman di persemaian
Media yang digunakan untuk pertumbuhan S.caseolaris adalah pasir yang telah digonseng
yang bertujuan agar menghilangkan mikroba di dalam pasir (steril). Benih yang digunakan
sesuai SNI 7513-2008 yaitu berasal dari buah yang matang yang berasal dari pohon induk
atau buah yang telah jatuh. Buah S.caseolaris direndam selama 1 hari sehingga bijinya
terpecah dengan sendiri keluar dari kulit buah. Penyeleksian biji yang akan dikecambahkan
ialah biji yang terapung. Setelah itu, benih tersebut dikecambahkan kedalam bak tabur yang
berisi pasir dengan kondisi kapasitas lapang.Biji S.caseolaris ditaburkan lalu tutupi oleh
pasir, dan disiram dengan menggunakan sprayer (SNI 7513-2008). Disiram setiap hari,
sampai tumbuh menjadi bibit (jumlah daun 2), setelah itu bibit tersebut ditanam, dengan
media 100% pasir kedalam wadah botol minuman 1,5 l.
4. Parameter yang Diamati (Analisis Data)
Pengamatan dilakukan diawal sebelum penanaman dan diakhir penelitian dengan parameter
yang diamati adalah :
a. Tinggi Bibit (cm)
Pengukuran tinggi bibit dilakukan dengan menggunakan mistar.Pengukuran dilakukan
dengan pangkal bawah bibit S.caseolaris hingga titik tumbuh bibit.Pengukuran
dilakukan diawal dan diakhir pengamatan setelah pemanenan.
b. Diameter Bibit (mm)
Pengukuran diameter bibit dengan menggunakan jangka sorong.Pengukuran dilakukan
c. Pertambahan Jumlah Daun
Penghitungan jumlah daun dilakukan pada awal munculnya daun mulai dari pucuk.
Pengambilan data dilakukan bersamaan dengan pengambilan data tinggi semai.
d. Berat Basah Akar (g)
Untuk mendapatkan berat basah akar, bagian akar yang baru dipanen dimasukkan ke
dalam amplop dan diberi label sesuai dengan perlakuan. Ditimbang berat awal akar
S.caseolaris.
e. Berat Basah Tajuk (g)
Untuk mendapatkan berat basah tajuk, bagian tajuk yang baru dipanen dimasukkan ke
dalam amplop dan diberi label sesuai dengan perlakuan. Ditimbang berat awal tajuk
S.caseolaris.
f. Berat Kering Akar (g)
Untuk mendapatkan berat kering akar, bagian akar dimasukkan ke dalam amplop dan
diberi label sesuai dengan perlakuan. Kemudian akar S.caseolaris dioven pada suhu
75ºC sampai berat kering konstan (2-3 hari), lalu ditimbang berat kering akar
S.caseolaris.
g. Berat Kering Tajuk (g)
Untuk mendapatkan berat kering tajuk, bagian tajuk dimasukkan ke dalam amplop dan
diberi label sesuai dengan perlakuan. Kemudian tajuk S.caseolaris dioven pada
temperatur 75ºC sampai berat kering konstan (2-3 hari), lalu ditimbang berat kering
tajuk S.caseolaris.
Perhitungan rasio tajuk dan akar dilakukan pada akhir pengamatan. Perhitungan rasio
tajuk dan akar dapat diperoleh dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
Rasio =
akar kering Berat
tajuk kering Berat
i. Separasi antara dolichols dan polyprenols
Daun S.caseolaris dan akar dikeringkan dengan oven 60 oC selama 2 hari, setelah itu di ekstrak sehingga menjadi bubuk, dan direndam kedalam larutan aseton (CH3COCH3) :
heksana (C6H16) 1 : 1 (7,5 ml : 7,5 ml) selama 24 jam dan diinkubasi dengan suhu 40oC.
Setelah itu, difiltrasi dengan cairan nitrogen (N2), lalu disaponifikasikan pada suhu 65oC
dengan ekstrak lipid daun dan akar dengan 4 ml air, 4 ml etanol (C2H6O) 95 %, dan 0,9
gr KOH selama 24 jam. Kemudian, dicampur dengan hasil saponifikasi lipid dengan
larutan 2 ml heksana (C6H14). Ekstrak dalam heksana dianalisis menggunakan normal
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
A. Morfologi Pertumbuhan
Pembibitan Sonneratia caseolaris pada variasi naungan di Kampus Kehutanan USU,
selama 3 bulan menghasilkan pertumbuhan seperti jumlah individu/perlakuan terlihat di Tabel 1
(n = 6 – 10).
Tabel 1. Persentase hidup dan mortalitas semaiS. caseolaris
No Perlakuan Persen hidup (%) Mortalitas(%)
1 Intensitas Naungan 0% 89 11
2 Intensitas Naungan 25% 100 -
3 Intensitas Naungan 50% 100 -
4 Intensitas Naungan 75% 67 33
Pada Tabel 1, menunjukkan bahwa pada intensitas cahaya 75 % dan 50 % bibit
S.caseolaris, persen hidupnya 100 % sedangkan pada intensitas cahaya yang paling tinggi tingkat
mortalitasnya ialah intensitas cahaya 25 %. Hal ini dikarenakan, bibit S.caseolaris sangat
membutuhkan cahaya yang cukup (50% - 75 %) bagi pertumbuhan hidupnya.
B1 B2
Gambar 3.Pengaruh naungan terhadap pertumbuhan tinggi semai S. caseolaris (A1) dan diameter semai (B1). Korelasi naungan terhadap tinggi semai (A2) dan terhadap diameter semai (B2).Data merupakan SE (n= 6-10).
Pada Gambar 3, dapat dilihat tentang proses pertumbuhan bibit S.caseolaris selama 3
bulan pembibitan (12 minggu MST). Pertumbuhan rata-rata tinggi terbaik pada intensitas cahaya
50 %, 2.74 cm, sedangkan pertumbuhan terendah ialah pada intensitas cahaya 75 % yaitu 1.51
% yang terlihat pada A1. Pada pertumbuhan rata-rata diameter yang terbaik yaitu pada intensitas
cahaya 50 % yaitu 0.164 mm, sedangkan pada intensitas cahaya 75 % terdapat pertumbuhan
diameter terendah yaitu sebesar 0.123 mm (B1). Analisis uji Dunnet menunjukkan bahwa tinggi
dan diameter semai tidak berbeda nyata.
Pada Gambar A2, terdapat korelasi positif dan dapat diketahui bahwa r = 0.1, dimana
intensitas cahaya terhadap naik turunnya pertumbuhan tinggi semai S.caseolaris adalah 10 %
sedangkan pada Gambar B2, dapat diketahui bahwa r = 0.045, dimana sumbangan intensitas
C1 C2
Gambar 4.Pengaruh naungan terhadap pertumbuhan jumlah daun semai S. caseolaris (C1) dan korelasi naungan terhadap jumlah daun (C2). Data merupakan SE (n= 6-10).
Pada Gambar 4, pertumbuhan jumlah daun sangat ditentukan oleh intensitas cahaya yang
terbaik bagi tanaman S.caseolaris. Terlihat rata-rata jumlah daun terbanyak yaitu pada intensitas
cahaya 50 % yaitu jumlahnya 4 (C1). Pada Gambar C2, memiliki korelasi positif antara
intensitas cahaya terhadap jumlah daun dan diketahui bahwa r = 0.11, dimana sumbangan
intensitas cahaya terhadap naik turunnya pertumbuhan jumlah daun semai S.caseolaris adalah 11
%. Analisis uji Dunnet menyatakan, intensitas cahaya tidak berbeda nyata terhadap jumlah daun
semai S. caseolaris.
D1 D2
E1 E2
Gambar 5.Pengaruh naungan terhadap berat basah tajuk (D) dan berat basah akar semai S. caseolaris (E).Korelasi naungan terhadap berat basah tajuk (D2) dan terhadap berat basah akar (E2). Data merupakan SE (n= 6-10).
Pada Gambar 5 (D dan E), pertumbuhan rata – rata terbaik dapat dilihat pada intensitas
cahaya 50 % yaitu 0.167 g pada rata – rata berat basah tajuk sedangkan berat basah akar yaitu
0.127 g. Namun, pada intensitas cahaya 25 % terdapat pertumbuhan rata – rata terendah pada
berat basah tajuk dan berat basah akar yaitu 0.018 g dan 0.015 g. Pada Gambar D2, dapat
diketahui bahwa r = 0.01, dimana hubungan intensitas cahaya terhadap naik turunnya
pertumbuhan berat basah tajuk semai S.caseolaris adalah 1 % dan pada Gambar E2 dapat
diketahui bahwa r = 0.01, dimana terdapat korelasi positif antara intensitas cahaya terhadap berat
basah akar dan sumbangan intensitas cahaya terhadap naik turunnya pertumbuhan berat basah
akar semai S.caseolaris adalah 1 %. Namun, analisis uji Dunnet pada variasi naungan terhadap
berat basah tajuk dan berat basah akar pada semai S. caseolaris tidak berbeda nyata.
F1 F2
G1 G2
Gambar 6.Pengaruh naungan terhadap berat kering tajuk (F) dan berat kering akar (G) semai S. caseolaris. Korelasi naungan terhadap berat kering tajuk (F2) dan terhadap berat kering akar (G2).Data merupakan SE (n= 6-10).
Pada Gambar 6, rata-rata berat kering tajuk dan akar (g) yang tertinggi ialah pada
terendah pada intensitas cahaya 25 % yaitu 0.00568 g pada rata-rata berat kering tajuk dan
0.00572 g pada berat kering akar. Analisis uji Dunnet pada variasi naungan terhadap berat kering
tajuk dan berat kering akar tidak berbeda nyata. Pada Gambar F2, terdapat korelasi positif antara
intensitas cahaya dengan berat kering tajuk dapat diketahui bahwa r = 0.045, dimana sumbangan
intensitas cahaya terhadap naik turunnya pertumbuhan berat kering tajuk semai S.caseolaris
adalah 4.5 %. Sedangkan pada Gambar G2, berkorelasi negatif antara intensitas cahaya dengan
berat kering akar dan dapat diketahui bahwa r = 0.045, dimana sumbangan intensitas cahaya
terhadap naik turunnya pertumbuhan berat kering akar bibit S.caseolaris adalah 4.5 %.
H1 H2
Gambar 7.Pengaruh naungan terhadap berat rasio tajuk dan akar semai S. caseolaris (H1). Korelasi naungan terhadap ratio tajuk dan akar (H2).Data merupakan SE (n= 6-10).
Pada Gambar 7 yaitu pertumbuhan rata-rata rasio tajuk dan akar semai S.caseolaris
yang terbaik yaitu 1.789515 pada intensitas cahaya 50 %, sedangkan intensitas cahaya yang
terendah yaitu 0.879743 pada intensitas naungan 75 %. Naum, analisis uji Dunnet pada variasi
naungan pada rasio tajuk dan akar tidak berbeda nyata. Pada Gambar H2, dapat diketahui
berkorelasi positif antara intensitas naungan dengan rasio tajuk dan akar serta diketahui bahwa r
= 0.33, dimana sumbangan variasi naungan terhadap naik turunnya pertumbuhan rasio tajuk dan
akar semai S.caseolaris adalah 33 %.
Parameter Pengukuran semai Variasi Naungan
Berat kering tajuk 50%
Berat kering akar 50%
Ratio tajuk dan akar 50%
Tabel 3. Koefisien korelasi semua parameter pengukuran. Data merupakan SE (n = 6-10)
Naungan tinggi diameter Jd Bbt Bba Bkt Bka Rta
Keterangan : Jd = jumlah daun, Bbt = berat basah tajuk, Bba = berat basah akar, Bkt = Berat kering tajuk, Bka = berat kering akar, dan Rta = Rasio tajuk dan akar
Pada Tabel 3, korelasi variasi naungan terhadap berbagai parameter terlihat berkorelasi
positif dan negatif. Korelasi negatif, hubungan naungan terhadap Bka, tinggi semai terhadap Rta,
diameter terhadap Rta, Bba terhadap Rta, Bkt terhadap Rta, dan Bka terhadap Rta, dan parameter
B. Separasi Polyprenol dan Dolichols
Gambar 8.Separasi polyprenol dan dolichols. 1-3 daun intensitas cahaya 100 %, 4-6 daun intensitas cahaya 25 %, 7-9 akar intensitas cahaya 100 %, dan 10-12 akar intensitas cahaya 25 %.
Pada gambar 8, tidak nampak seperasi polyprenol dan dolichols karena berat kering daun
pada bibit S.caseolaris tidak mencukupi untuk melakukan uji polyisoprenoid (lihat Gambar 5).
Pembahasan
Pada penelitian ini, semaiS.caseolaris dapat bertumbuh karena adanya cahaya yang
masuk sebagai cadangan makanan melalui proses fotosintesis. Seperti yang dikatakan oleh
Kramer dan Kozlowski (1960) bahwa keberhasilan pertumbuhan suatu tanaman sangat
dipengaruhi oleh cadangan makanan yang ada dalam jaringan sel tanaman tersebut. Pada masa
12 minggu setelah tanam pertumbuhan jumlah akar sekunder mulai menunjukkan respon
terhadap cahaya yang masuk ke dalam naungan untuk melakukan fotosintesis. Sama halnya
dengan pemberian naungan agar saat proses fotosintesis mendapat intensitas cahaya yang sesuai.
Hal ini juga diungkapkan oleh Wachjar (2002) bahwa naungan akan mempengaruhi jumlah
intensitas cahaya matahari yang mengenai tanaman. Setiap jenis tanaman membutuhkan
pemberian naungan bertujuan mendapatkan intensitas cahaya matahari yang sesuai untuk
fotosintesis.
Pada Tabel 1, menunjukkan bahwa semaiS.caseolarispada intensitas cahaya 75 % dan 50
%, persen hidup 100 % sedangkan pada intensitas cahaya25 % yang paling tinggi tingkat
mortalitasnya. Hal ini dikarenakan, semaiS.caseolaris sangat membutuhkan cahaya yang cukup
bagi pertumbuhan hidupnya.Hal ini sesuai pernyataan Marschner (1995) yang mengatakan
bahwa cahaya berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan bibit di dalam persemaian.
Dan hasil ini juga didukung oleh study Heddy (1996) bahwa perilaku tertentu dalam
pertumbuhan bisa dianggap sebagai respon terhadap bermacam-macam rangsangan yang
mempengaruhi tumbuhan.
Pada Gambar 3 dan 4, pertumbuhan tinggi, diameter, dan jumlah daun yang menujukkan
bibit S.caseolaris dapat tumbuh lebih baik pada intensitas cahaya yang 50 %.Artinya, bibit
S.caseolaris tidak dapat tumbuh dengan baik dengan tanpa cahaya atau terbatas. Pada penelitian
Kurniaty, dkk (2009) menjelaskan bahwanaungan 40% memberikan pengaruh yangnyata
terhadap pertumbuhan bibit suren(Toona sureni MERR) berumur5 bulan. Hal tersebut
menunjukkan bahwa dalampertumbuhannya, suren sangat memerlukan cahaya, sehingga ketika
mendapatkan cahayayang cukup untuk aktivitas fisiologisnya (0-40%).Seperti study Morais
(2004) yang melaporkan cahaya merupakan salah satu kunci penentu dalam proses metabolisme
dan fotosintesis tanaman. Cahaya dibutuhkan oleh tanaman mulai dari proses perkecambahan biji
sampai tanaman dewasa. Respon tanaman terhadap cahaya berbeda-beda antara jenis satu dengan
jenis lainnya. Ada tanaman yang tahan (mampu tumbuh) dalam kondisi cahaya yang terbatas
atau sering disebut tanaman toleran dan ada tanaman yang tidak mampu dalam kondisi cahaya
intensitas cahaya yang cukup tanaman cenderung memacu pertumbuhan diameternya sehingga tanaman
yang tumbuh pada tempat terbuka mempunyai tendensi untuk menjadi pendek dan kekar.
Pada Gambar 4, yaitu jumlah daun yang terbaik ialah intensitas naungan 50 %. Hal ini
karena pada cahaya 50 % menghasilkan daun yang lebih besar dan pastinya jumlah stomata yang
besar.Hal ini didukung juga oleh hasil penelitian Widiastoety dkk (2000), yang menunjukkan
tanaman yang dihadapkan pada intensitas cahaya 55% memberikan produksi bunga dan lebar
daun tertinggi serta pembentukan tunas terbaik, sedangkan naungan 75% menyebabkan tanaman
menghasilkan panjang tangkai bunga tertinggi.Sutarmi (1983) juga menyatakan dengan
intensitas cahaya yang rendah, tanaman menghasilkan daun lebih besar, lebih tipis dengan
lapisan epidermis tipis, jumlah stomata lebih banyak. Sebaliknya pada tanaman yang menerima
intensitas cahaya tinggi menghasilkan daun yang lebih kecil, lebih tebal, lebih kompak dengan
jumlah stomata lebih sedikit, dan tekstur daun keras.Daun merupakan organ tanaman tempat
berlangsungnya proses fotosintesis.
Pada Gambar 6, menunjukkan bahwa berat kering dan berat basah tanaman yang
terendah ialah intensitas cahaya yang 25 %. Hal ini dikarenakan, semakin tinggi taraf naungan
maka berat basah dan kering tanaman menurun dan respirasi meningkat serta biomassa yang
menurun. Harjadi (1991) menyatakan besarnya cahaya yang tertangkap pada proses fotosintesis
menunjukkan biomassa, sedangkan besarnya biomassa dalam jaringan tanaman mencerminkan
bobot kering. Peningkatan intensitas cahaya dari 75% menjadi 100% menyebabkan bobot kering
tajuk menurun, dengan meningkatnya intensitas cahaya maka akan meningkatkan suhu
lingkungan tanaman, yang mengakibatkan respirasi tanaman meningkat, sehingga hasil
fotosintesis bersih (biomassa) yang tersimpan dalam jaringan tanaman sedikit, menyebabkan
bobot kering tajuk pada tanaman dengan perlakuan intensitas cahaya 75% lebih tinggi
Tunggal (2004) melaporkan bahwa pada tanaman meniran(Phyllanthus niruri), semakin tinggi taraf naungan maka bobot basah dan bobot kering tanaman menjadi semakin rendah.
Dengan adanya naungan yang diberikan pada bibit S.caseolaris maka evaporasi dapat
dikurangi dengan adanya berat basah akar pada tabel 3 yang terbaik pada naungan 50 %.Hal ini
seperti yang dikatakan oleh Suhardi (1995) yaitu pengaturan naungan sangat penting untuk
menghasilkan semai-semai yang berkualitas. Naungan berhubungan erat dengan temperatur dan
evaporasi. Oleh karena adanya naungan, evaporasi dari semai dapat dikurangi. Beberapa spesies
lain menunjukkan cahaya yang tinggi tetapi beberapa spesies tidak.
Hal identik ditemukan pada studi Nagasubramaniam (2007), menyatakan aktifitas
fotosintesa yang baik terdapat pada naungan sekitar 60 %. Dalam konteks ini, intensitas cahaya
berpengaruh terhadap aktivitas pertumbuhan, perubahan morfologi dan karakter fisiologis,
aktivitas metabolisme metabolit primer dan sekunder. Jumlah klorofil a, klorofil b semakin
meningkat dengan meningkatnya tingkat naungan setara dengan naungan 60%. Namun laju
fotosintesa justru meningkat dengan meningkatnya intensitas cahaya 790 μmol m−2s−1 setara
dangan kondisi intensitas cahaya 40.
Bobot kering tajuk dan akar pada bibit S.caseolaris yang paling tinggi pada Gambar
6ialah pada intensitas cahaya 50 %. Pada kondisi ini biomassa yang terbesar terdapat pada
intensitas cahaya 50 %. Seperti studi Tohari dkk (2004) mengatakan bahwa besarnya cahaya
yang tertangkap pada proses fotosintesis menggambarkan besarnya biomassa yang ada,
sedangkan besarnya biomassa dalam jaringan tanaman mencerminkan bobot kering.
Intensitas cahaya 50 % memiliki perakaran yang tumbuh cukup baik dibandingkan
dengan sistem perakaran di intensitas cahaya100 %, 75 %, dan 25 % (Gambar 5G).Intensitas
dengan baik.Hal tersebut dapat dilihat dari rata-rata rasio tajuk dan akar yang terbaik terdapat di
intensitas naungan 50 % sebesar 1.790. Hal ini sesuai dengan pernyataan Baluska (1995) bahwa
akar berfungsi menyerap air dan nutrisi dari tanah–tanah disekitar tanaman, sistem akar yang
baik adalah kunci untuk menghasilkan tanaman yang baik, rasio akar dan pucuk adalah suatu
metode pengukuran yang membantu kita untuk mendata tingkat kesuburan tanah.Hasil ini juga
didukung olehpenelitian Klepper (1991) mengatakan bahwa setiap tanaman mempunyai ciri khas
yang berbeda untuk menggambarkan hubungan antara tajuk dan akar. Keseimbangan tajuk dan
akar merupakan upaya organ tanaman tersebut dalam mempertahankan keseimbangan fisiologis,
sehingga masing-masing organ tanaman dapat melakukan fungsinya secara normal.
Dari data hasil penelitian (Tabel 2), mofologi dan fisiologis bibit S.caseolaris yang
terbaik ada pada intensitas naungan 50 %, dimana suhu udara dan kelembaban optimal, tidak
ketinggian maupun rendah.Hal ini juga diungkapkan oleh penelitian Kramer dan Kozlowski
(1960) yaitu semakin besar tingkat naungan (semakin kecil intensitas cahaya yang diterima
tanaman) maka suhu udara rendah, kelembaban udara semakin tinggi. Kelembaban udara yang
terlalu rendah dan terlalu tinggi akan menghambat pertumbuhan dan pembungaan tanaman.
Kelembaban udara dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman karena dapat mempengaruhi
proses fotosintesis.
Cahaya dan suhu juga berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan semai di
persemaian.Cahaya yang terlalu tinggi juga menyebabkan penurunan pertumbuhan sedangkan
cahaya yang terlalu rendah juga menimbulkan pengaruh yang kurang baik bagi pertumbuhan
bibit S.caseolaris.Sehingga bibit S.caseolaris, yang terbaik 50 %.Hal ini juga didukung oleh
studi Marschner (1995) intensitas cahaya yang tinggi menyebabkan bibit tumbuh kerdil, daun
atau kurang akan menimbulkan pengaruh yang kurang menguntungkan bagi pertumbuhan bibit
serta menyebabkan etiolasi pada bibit. Dan juga pada penelitian Daniel et al. (1992) mengatakan
bahwa cahaya langsung berpengaruh pada pertumbuhan pohon melalui intensitas, kualitas dan
lama penyinaran Hasil penelitian menunjukan bahwa naungan mempengaruhi tinggi tanaman,
jumlah cabang primer, jumlah daun, ukuran daun, bobot basah tajuk, dan bobot kering simplisia.
Secara umum perlakuan naungan 50% memberikan tinggi tanaman yang paling tinggi dari pada
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Intensitas cahaya yang terbaik untuk pertumbuhan S.caseolaris yaitu 50 %, pada uji
Dunnet intensitas cahaya tidak berbeda nyata terhadap semua parameter pertumbuhan.
Saran
Untuk menghasilkan separasi polyprenol dan dolichols semai S.caseolaris membutuhkan
berat kering tajuk dan akar yang banyak. Untuk itu, persemaian S. caseolaris dibutuhkan waktu
DAFTAR PUSTAKA
Baluska, F. 1995. Structure and Function of Roots. Kluwer Academic. Dordrecht. The Netherlands
Basyuni, M., Baba, S., Takara, et al. 2007. Isoprenoids of Okinawan mangroves as lipid input into estuarine ecosystem. J. Oceanogr. 63, 601-608.
Basyuni, M., Kinjo, Y., Baba, S., et al. 2011. Isolation of salt stress tolerance genes from roots of mangrove plant, Rhizophora stylosa griff., using PCR-based suppression subtractive hybridization. Plant Mol. Biol. Rep. 29, 533-543.
Basyuni, M., S. Baba, Y. Kinjo, et al. 2012. Salinity increase the triterpenoid content of a salt secretor and a non salt secretor mangrove. Aguat Bot 97, 17-23.
Bengen, DG. 2002. Sinopsis : Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut Serta Prinsip Pengelolaanya, Cetakan Ketiga. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Chambers, M. J. 1980. The Environment and Geomorphology of Deltaic Sedimentation(some examples from Indonesia) Trop. Ecol. Dev. Hal 1091-1095.
Daniel, T., dkk. 1992. Prinsip-Prinsip Silvikultur. (Edisi kedua).Gadjah Mada University Press.Yogyakarta.
Giri, C., E. Ochieng, L. L. Tieszen,et al. 2011. Status and distribution of mangrove forest of the world using earth observation satellite data.Global Ecol and Biogeogr. 20, 154–159.
Harahab, N. 2010. Penilaian Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove dan Aplikasinya dalam Perencanaan Wilayah Pesisir. Graha Ilmu. Yogyakarta.
Harjadi, S. 1991. Pengantar Agronomi. Gramedia. Jakarta.
Heddy, S. 1996. Hormon Tumbuhan. Ed. 1 Cet. 3. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Klepper, B. 1991. Root-shoot relationships, p: 265-286. In Waisel et al., 1991. Plant roots the hidden half. Marcel Dekker Inc. New York. 948 p.
Kremer, P. J. dan T. T Kozlowsky. 1960. Physiology of Trees, Mc Graw-Hill Book Company. New York. 642 pp.
Kurniaty, R., dkk. 2009. Pengaruh Media dan Naungan terhadap Mutu Bibit Suren (Toona sureni
MERR.).Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Bogor. Bogor.
Marjenah.2001. Pengaruh Perbedaan Naungandi Persemaian terhadap Pertumbuhan danRespon Morfologi Dua Jenis SemaiMeranti.Jurnal Ilmiah Kehutanan “RimbaKalimantan” Vol. 6 No. 2. UniversitasMulawarman Samarinda.
Marschner, H. 1995. Mineral Nutrition of Higher Plants. 2nd. Academic Press.HarcourtBrace & Company, Publishers. London.San Diego. New York. Boston. Sydney.Tokyo. Toronto. 889 p.
Morais, H, dkk. 2004. Modifications on leaf anatomy as a constrain for photosynthetic acclimation : differential responses in leaf anatomy to increasing growth irradiance among three deciduous trees. Plants, Cell & Environment 28(7) : 916-927.
Nagasubramaniam, A., dkk. 2007. Studies on improving production potential of baby corn with foliar spray of plant growth regulators. Ann. Rev. Plant Physiol. Plant Mol. Biol., 21:154–157.
Noor R, Khazali, Suryadiputra. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. Bogor : PKA/WI_IPB.
Spalding M, Kainuma M, Collins L. 2010. World atlas of mangroves. Earthscan. London.
Swiezewska, E dan Witold, D. 2005. Polyisoprenoids: structure, biosynthesis and function. Prog. Lipid Res 44, 235–258.
Suhardi,et al. 2006. Pengkajian Inovasi Teknologi Pengolahan. http//www.jatim. litbang.deptan.go.id.
Sutarmi, S. 1983. Botani Umum Jilid II. Angkasa. Bandung.
Tohari, Libria, dan W. Endang, S. 2004. Pengaruh intensitas cahaya dan kadar daminosida terhadap iklim mikro dan pertumbuhan tanaman. Ilmu Pertanian 2, 33-42.
Tunggal L. 2004. Pengaruh Intensitas Naungan dan Jarak Tanam terhadap Pertumbuhan dan produksi herba Meniran (Phyllanthus niruri L.) pada sistem pertanian organik [skripsi]. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Wachjar, A. 1984. Pengantar Budidaya Kopi. Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Walsh. 1974. Mangroves : A review. In : Ecology of Halophytes, Reinhold RJ, Queen WH (eds.). New York : Academic Press.
LAMPIRAN
A B C
D E F
G
H
GROUP Comparison
Difference Between Means
Simultaneous 95% Confidence Limits
3 – 1 0.6132 -0.4299 1.6564
4 – 1 0.0863 -1.0046 1.1772
2 – 1 -0.2966 -1.2476 0.6545