ABSTRAK
PENINGKATAN KEMAMPUAN MENGIDENTIFIKASI UNSUR INTRINSIK CERITA ANAK MELALUI TEKNIK DISCOVERY
PADA SISWA KELAS VI SD NEGERI 1 SUKARAME TALANGPADANG TANGGAMUS
TAHUN PELAJARAN 2011/2012
Oleh MISYATI
Masalah dalam penelitian ini adalah peningkatan kemampuan mengidentifikasi
unsur intrinsik cerita anak dengan teknik discovery pada siswa kelas VI SD Negeri 1 Sukarame Talangpadang Tanggamus tahun pelajaran 2011/2012. Tujuan
penelitian ini mendeskripsikan peningkatan kemampuan mengidentifikasi unsur
intrinsik cerita anak melalui teknik discovery pada siswa kelas VI SD Negeri 1 Sukarame Tanggamus tahun pelajaran 2011/2012.
Penelitian ini menggunakan desain penelitian tindakan kelas yang terdiri atas dua
siklus. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas VI SD Negeri I Sukarame yang
berjumlah 24 siswa. Setiap siklus menggunakan teknik pengumpulan data berupa
tes tertulis dan nontes. Instrumen tes tertulis digunakan untuk mengetahui
kemampuan mengidentifikasi unsur intrinsik cerita anak, sedangkan instrumen
Berdasarkan analisis data, diketahui pada prasiklus, siklus I dan siklus II
menunjukkan peningkatan nilai rata-rata kelas. Pada prasiklus, nilai rata-rata
kelas 54,33 dengan persentase ketuntasan sebesar 39,28%. Siklus I peningkatan
dari nilai rata-rata prasiklus sebesar 11,84 dan nilai rata-rata kelas 66,17 dengan
persentase ketuntasan sebesar 66,67%. Siklus II mengalami peningkatan hasil
belajar dari nilai rata-rata siklus I sebesar 9,83 dan nilai rata-rata 76,00 persentase
ketuntasan sebesar 91,67%. Hasil observasi menunjukkan adanya peningkatan
aktivitas siswa pada setiap siklusnya. Hal tersebut terlihat pada keaktifan dan
keantusiasan siswa dalam mengikuti pembelajaran melalui teknik discovery. Demikian juga dengan aktivitas guru mengalami peningkatan dalam mengelola
kegiatan pembelajaran dari setiap siklusnya. Siklus I persentase aktivitas guru
dalam mengelola pembelajaran mencapai 60%. Siklus II meningkat menjadi
80%. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa teknik discovery dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam mengidentifikasi unsur intrinsik cerita
anak.
PENINGKATAN KEMAMPUAN MENGIDENTIFIKASI UNSUR INTRINSIK CERITA ANAK MELALUI TEKNIK DISCOVERY
PADA SISWA KELAS VI SD NEGERI 1 SUKARAME TALANGPADANG TANGGAMUS
TAHUN PELAJARAN 2011/2012
Oleh MISYATI
Penelitian Tindakan Kelas
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA PENDIDIKAN
Pada
Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG
PENINGKATAN KEMAMPUAN MENGIDENTIFIKASI UNSUR INTRINSIK CERITA ANAK MELALUI TEKNIK DISCOVERY
PADA SISWA KELAS VI SD NEGERI 1 SUKARAME TALANGPADANG TANGGAMUS
TAHUN PELAJARAN 2011/2012
Penelitian Tindakan Kelas
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh
MISYATI NPM 1013124005
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
3.1 Indikator Penilaian Mengidentifikasi Unsur Intrinsik dari Cerita
Anak Mengidentifikasi Unsur Intrinsik dari Cerita Anak ... 41
3.2 Lembar Observasi Aktivitas Siswa dalam Proses Pembelajaran ... 43
3.3 Lembar Observasi Aktivitas Guru dalam Proses Pembelajaran ... 44
4.1 Distribusi Kemampuan Mengidentifikasi Unsur Intrinsik Prasiklus ... 49
4.2 Distribusi Kemampuan Mengidentifikasi Unsur Intrinsik Siklus I ... 54
4.3 Rata-Rata Perolehan Skor Siswa Mengidentifikasi Unsur Intrinsik Cerita Anak Siklus I... 57
4.4 Analisis Hasil Evaluasi Siklus I ... 58
4.5 Distribusi Kemampuan Mengidentifikasi Unsur Intrinsik Siklus II ... 63
4.6 Rata-Rata Perolehan Skor Siswa Mengidentifikasi Unsur Intrinsik Cerita Anak Siklus II ... 66
4.7 Analisis Hasil Evaluasi Siklus II ... 67
4.8 Data Ketuntasan Siswa Mengidentifikasi Unsur Intrinsik Cerita Anak Prasiklus, Siklus I, dan Siklus II ... 73
4.9 Aktivitas Siswa Siklus I dan Siklus II ... 75
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
HALAMAN JUDUL ... iii
LEMBAR PENGESAHAN ... iv
RIWAYAT HIDUP ... vi
PERSEMBAHAN ... vii
MOTO ... viii
SANWACANA ... ix
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiv
BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 6
1.3 Tujuan Penelitian ... 7
1.4 Kegunaan Penelitian... 7
BAB II. KAJIAN PUSTAKA 2.1 Unsur Intrinsik ... 9
2.1.1 Tema ... 10
2.1.2 Tokoh ... 12
2.1.3 Watak ... 14
2.1.4 Latar ... 14
2.1.5 Amanat ... 17
2.1.6 Alur atau Plot ... 17
2.2 Cerita Anak ... 17
2.2.1 Jenis Cerita Anak ... 19
2.2.2 Ciri-ciri Cerita Anak ... 20
2.3 Pembelajaran Sastra di Sekolah Dasar ... 21
2.4 Teknik Discovery ... 26
2.4.1 Pengertian Teknik Discovery ... 26
2.4.2 Keunggulan dan Kelemahan Teknik Discovery ... 27
2.4.3 Langkah-Langkah Teknik Discovery ... 29
BAB III. PROSEDUR PENELITIAN TINDAKAN KELAS 3.1 Rancangan Penelitian ... 33
3.2 Subjek Penelitian ... 35
3.4 Waktu Penelitian ... 35
3.5 Indikator Kinerja ... 35
3.6 Prosedur Penelitian ... 35
3.7 Teknik Pengumpulan Data ... 40
3.8 Instrumen Penelitian ... 40
3.9 Teknik Analisis Data... 45
3.10 Langkah-langkah Menganalisis Data ... 46
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian ... 48
4.1.1 Prasiklus ... 49
4.1.2 Siklus I ... 50
4.1.2.1 Tahap Perencanaan ... 50
4.1.2.2 Tahap Pelaksanaan Tindakan ... 51
4.1.2.3 Tahap Pengamatan ... 53
4.1.2.4 Tahap Refleksi ... 61
4.1.3 Siklus II ... 62
4.1.3.1 Tahap Perencanaan ... 62
4.1.3.2 Tahap Pelaksanaan Tindakan ... 63
4.1.3.3 Tahap Pengamatan ... 68
4.1.3.4 Tahap Refleksi ... 70
4.2 Pembahasan ... 71
4.2.1 Ketuntasan Hasil Belajar Siswa ... 71
4.2.2 Kemampuan Guru dalam Mengelola Pembelajaran ... 74
4.2.3 Aktivitas Guru dan Siswa dalam Pembelajaran ... 74
BAB V. SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ... 77
5.2 Saran ... 78
DAFTAR PUSTAKA ... 79
MOTO
Artinya : Dari Abu Umamah r.a, Rasulullah saw. bersabda : “Wahai manusia belajarlah ilmu sebelum ia dicabut”
(HR. Ahmad)
“Doa adalah nyanyian hati yang selalu dapat membuka jalan kepada Singgasana Tuhan, meskipun terhimpit dalam tangisan jiwa”
MENGESAHKAN
1. Tim Penguji
Ketua : Sumarti, S.Pd., M.Hum. ……..………..
Sekretaris : Eka Sofia Agustina, S.Pd., M.Pd. ………
Penguji
bukan Pembimbing : Dr. Nurlaksana Eko Rusminto, M.Pd. ………
2. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Dr. Bujang Rahman, M.Si. NIP 19600315 198503 1 003
PERSEMBAHAN
Dengan penuh rasa syukur atas nikmat pendidikan yang telah Allah
Subhanahuwata’ala berikan, kupersembahkan karya ini kepada suami dan ketiga
Judul PTK : Peningkatan Kemampuan Mengidentifikasi Unsur Intrinsik Cerita Anak Melalui Teknik Discovery pada Siswa Kelas VI SD Negeri 1 Sukarame Talangpadang Tanggamus Tahun Pelajaran 2011/2012
Nama Mahasiswa : Misyati
Nomor Pokok Mahasiswa : 1013124005
Program Studi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah
Jurusan : Pendidikan Bahasa dan Seni
Fakultas : Keguruan dan Ilmu Pendidikan
MENYETUJUI,
Pembimbing 1
Sumarti, S.Pd., M.Hum. NIP 197003181994032002
Pembimbing 2
Eka Sofia Agustina, S.Pd., M.Pd. NIP 197808092008012001
Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di sebuah desa bernama Banjarsari, Kecamatan Talangpadang,
Kabupaten Tanggamus, pada 27 Juni 1968. Penulis adalah anak kelima dari enam
bersaudara pasangan dari Bapak Arham dan Ibu Zuhriyah.
Jenjang pendidikan penulis dimulai dari SD Negeri 3 Talangpadang lulus 1981,
SMP Negeri 1 Talangpadang lulus 1984, SPG PGRI Talangpadang lulus 1987,
dan Diploma 3 STKIP PGRI Bandar Lampung lulus 1994.
Tanggal 18 Juli, penulis mulai mengajar di SD Negeri 1 Kalibening, Kecamatan
Talangpadang, Kabupaten Tanggamus Bidang Studi Bahasa Indonesia. Selain
mengajar Bidang Studi Bahasa Indonesia, penulis juga mengajar Bahasa Daerah.
Tanggal 1 Januari 2008, penulis dipindah tugaskan ke daerah terpencil yaitu SD
Negeri 1 Sukarame, Kecamatan Talangpadang, Kabupaten Tanggamus hingga
saat ini penulis tetap mengajar bidang studi Bahasa Indonesia.
Tahun 2010, penulis mengikuti Program Pendidikan S-1 dalam Jabatan dari Dinas
Pendidikan di FKIP Unila. Penulis sudah melaksanakan Program Pengalaman
Lapangan (PPL) atau Program Pemantapan Mengajar (PKM) dan Penelitian
Tindakan Kelas (PTK) di SD Negeri 1 Sukarame tempat penulis mengajar yang
beralamatkan di Dusun Paneongan Pekon Sukarame, Kecamatan Talangpadang,
SANWACANA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahuwata’ala atas limpahan
rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan PTK dengan
judul “Peningkatan Kemampuan Mengidentifikasi Unsur Intrinsik Cerita Anak
Melalui Teknik Discovery pada Siswa Kelas VI SD Negeri 1 Sukarame
Talangpadang Tanggamus Tahun Pelajaran 2011/2012”. Salawat serta salam
semoga senantiasa tercurah kepada junjungan kita, Nabi Besar Muhammad
Salaulahu’alaihiwasalam, serta para sahabat, keluarga, dan pengikutnya yang
senantiasa setia sampai akhir zaman. Amin.
Penulis telah banyak menerima bantuan, dukungan, dan bimbingan dari berbagai
pihak dalam menyelesaikan PTK ini. Oleh karena itu, dengan segenap jiwa
sebagai wujud rasa hormat dan terima kasih serta penghargaan atas segala
bantuan, penulis mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak berikut.
1. Sumarti, S.Pd., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I, yang tak henti-hentinya
memberikan dorongan, saran, dan bimbingan demi kesempurnaan penulisan
PTK ini;
2. Eka Sofia Agustina, S.Pd., M.Pd. selaku Dosen Pembimbing 2, yang telah
memberikan bimbingan, arahan, dan saran-saran mulai pembuatan proposal
3. Dr. Edy Suyanto, M.Pd., selaku Ketua Program Studi sekaligus Pembimbing
Akademik, yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis
dengan penuh ketegasan dan motivasi yang kuat sehingga penulis terpacu
untuk menyelesaikan PTK ini;
4. Dr. Nurlaksana Eko Rusminto, M.Pd., selaku Dosen Pembahas dan Penguji,
yang telah memberikan tuntunan dan masukan sehingga PTK ini menjadi lebih
sempurna;
5. Drs. Imam Rejana, M.Si., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni,
FKIP Universitas Lampung;
6. Dr. Hi. Bujang Rahman, M.Si., selaku Dekan FKIP Universitas Lampung; dan
7. Keluarga besar SD Negeri 1 Sukarame Kecamatan Talangpadang, Kabupaten
Tanggamus terutama Kepala Sekolah Drs. Kenedi, teman sejawat Drs. H.
Alimun, teman-teman guru dan staf TU, siswa-siswi atas kerja sama dan
kemudahan yang penulis dapatkan selama melaksanakan PKM dan PTK ini.
Penulis menyadari dalam penulisan PTK ini masih banyak kekurangan dan
kesalahan. Karena itu, penulis mengharap kritik dan saran dari semua pihak demi
kesempurnaan PTK ini. Harapan penulis, semoga karya kecil ini bisa bermanfaat
bagi kita semua, khususnya dalam pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di
sekolah.
Bandarlampung, Juni 2012
Penulis,
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Keterampilan berbahasa mencakup empat komponen, yaitu menyimak/
mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Menyimak merupakan
keterampilan berbahasa awal yang dikuasai manusia dan dasar bagi keterampilan
berbahasa lain. Pada awal kehidupan manusia lebih dulu belajar menyimak,
kemudian berbicara, membaca, dan menulis. Penguasaan keterampilan menyimak
akan berpengaruh pada keterampilan berbahasa lain. Keterampilan menyimak
adalah suatu proses kegiatan mendengarkan lambang-lambang lisan dengan penuh
perhatian, pemahaman, apresiasi, serta interpretasi. Untuk memperoleh informasi,
menangkap isi, serta makna komunikasi yang hendak disampaikan oleh si
pembicara melalui ujaran atau bahasa lisan (Tarigan, 2008: 1).
Mulai tahun 2006 telah diberlakukan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang
merupakan perangkat dan perencana yang berorientasi pada pembelajaran
berbasis kompetensi serta hasil belajar yang harus dicapai siswa, penilaian
kegiatan belajar mengajar dan pemberdayaan sumber daya pendidikan dalam
pengembangan kurikulum sekolah KTSP yang bertujuan pada pendidikan dasar
yaitu meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta
keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih maju (Muslich
Sesuai dengan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar Bahasa Indonesia kelas VI
SD mengenai isi dan bahan pembelajaran, yaitu bahasa sebagai alat komunikasi
yang digunakan untuk bermacam-macam fungsi sesuai dengan apa yang ingin
disampaikan oleh guru kepada siswa, materi pembelajaran bahasa dan sastra
Indonesia juga diarahkan dan dititikberatkan pada fungsi bahasa itu sendiri. Isi
dan bahan juga harus menunjang pada pencapaian tujuan. Untuk mencapai tujuan
tersebut, ruang lingkup mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia juga
menyangkut segi penguasaan kebahasaan, kemampuan memahami, mengapresiasi
sastra dan kemampuan menggunakan bahasa Indonesia. Sebagai bahan penelitian
salah satu yang sesuai dengan standar kompetensi SD kelas VI yaitu
mendengarkan cerita anak. Pada pembelajaran sastra ada dua unsur pembangun
di dalamnya yakni unsur intrinsik dan ekstrinsik. Intrinsik merupakan unsur
pembangun dari dalam suatu karya sastra, sedangkan ekstrinsik merupakan unsur
pembangun dari luar karya sastra.
Sebagai salah satu unsur yang membangun dari dalam karya sastra itu, unsur
intrinsik inilah yang menyebabkan karya sastra itu hadir melalui kepaduan
berbagai unsur intrinsik, yaitu unsur-unsur yang dikemas dalam wujud struktur
karya sastra, yang terdapat dalam tokoh, watak, latar, tema, atau amanat.
Unsur-unsur tersebut menempati posisi strategis sebagai pembawa dan penyampai pesan,
amanat, moral, atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca atau
pendengar.
Menurut Rahmanto (1993), pembelajaran sastra di SD pada dasarnya bertujuan
tertarik untuk mempelajarinya. Di dalam pembelajaran sastra tersebut terjadi
proses yang memungkinkan terjadinya pengenalan, pemahaman, dan penikmatan
terhadap karya sastra sehingga siswa mampu menerapkan temuannya dalam
kehidupan nyata, siswa akan memperoleh manfaat karya sastra yang
diapresiasinya, yakni membantu keterampilan berbahasa, meningkatkan
pengetahuan budaya, mengembangkan cipta, dan rasa, serta menunjang
pembentukan watak.
Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), silabus mata pelajaran
Bahasa dan Sastra Indonesia kelas VI SD Negeri 1 Sukarame Talangpadang
Tanggamus salah satu kompetensi yang harus dikuasai siswa ialah menentukan
unsur intrinsik dari cerita anak. Salah satu indikator pembelajarannya yaitu siswa
dapat mengidentifikasi tokoh, watak, latar, tema, dan amanat dari cerita anak yang
dibacakan. Untuk dapat menentukan unsur instrisik cerita dengan baik, maka
terlebih dahulu siswa perlu memperoleh pemahaman tentang bagaimana
memahami tokoh, watak, latar, tema, dan amanat dalam cerita anak, yang
bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan memahami unsur intrinsik
suatu karya sastra, serta meningkatkan kemampuan berbahasa. Cerita anak
penting untuk dipelajari karena cerita anak merupakan kebudayaan yang harus
dilestarikan, menarik, unik, dan lebih mengembangkan daya imajinasi anak,
mengandung budi pekerti, serta hiburan bagi masyarakat.
Suatu karya sastra dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran dengan
mempertimbangkan tiga aspek penting yaitu aspek bahasa, psikologi, dan latar
pertimbangan dalam proses pembelajaran, agar siswa mampu memahami tokoh,
watak, latar, tema, dan amanat karena cerita anak tersebut memiliki latar belakang
budaya yang ceritanya pasti dikenal oleh anak-anak usia sekolah dasar.
Berdasarkan hasil ulangan harian siswa pada pokok bahasan mengidentifikasi
unsur intrinsik cerita anak yang diperoleh masih rendah. Rendahnya hasil tersebut
disebabkan oleh beberapa faktor. Dalam kenyataan yang terjadi di kelas, guru
menghadapi anak yang sulit memahami materi pelajaran, meskipun guru sudah
berupaya sebaik mungkin dalam menjelaskan materi, tetapi sebagian anak masih
belum memahami apa yang telah dijelaskan. Selain itu, lingkungan sangat
mempengaruhi pada diri siswa misalnya lingkungan di luar sekolah yang kurang
memotivasi siswa dalam belajar, sedangkan kendala guru yaitu belum
menerapkan teknik pembelajaran secara efektif. Dari beberapa permasalahan
tersebut membuktikan bahwa kemampuan menyimak siswa masih rendah.
Kurang berhasilnya pembelajaran Bahasa Indonesia juga dapat dilihat melalui
rendahnya hasil evaluasi siswa pada pembelajaran tentang materi mengidentifikasi
unsur intrinsik cerita anak. Meskipun materi tersebut sudah sering diajarkan
kepada siswa, tetapi hasil yang diperoleh belum mencapai KKM yang ditentukan
sekolah sebesar 60,00. Dari jumlah keseluruhan 24 siswa, yang tuntas hanya 9
orang dan siswa yang belum tuntas 15 orang. Hal ini disebabkan siswa kurang
memahami unsur intrinsik dari sebuah cerita yang di dalamnya mencakup tokoh,
watak, latar, tema, dan amanat.
Selama ini, guru lebih sering menggunakan teknik ceramah dalam menyampaikan
menyebabkan siswa menjadi bosan dalam mengikuti pembelajaran dan
berdampak rendahnya hasil belajar yang diperoleh siswa. Berdasarkan hal
tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa kegiatan pembelajaran pada materi
mengidentifikasi unsur intrinsik cerita anak belum berhasil sehingga diperlukan
tindakan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Dalam proses pembelajaran
mengidentifikasi unsur intrinsik cerita anak, kreativitas guru sangat dibutuhkan.
Salah satu kreativitas guru yang dapat dilakukan adalah dengan memilih teknik
pembelajaran yang tepat dengan materi yang diajarkan. Pemanfaatan teknik yang
tepat dalam penyampaian materi akan mempermudah pemahaman siswa. Salah
satu teknik pembelajaran yang peneliti anggap dapat mengatasi masalah tersebut
adalah teknik discovery.
Teknik discovery memiliki beberapa kelebihan antara lain (1) siswa dapat
berpartisipasi aktif dalam pembelajaran yang disajikan, (2) menumbuhkan
sekaligus menanamkan sikap inquiry (mencari-temukan), (3) mendukung problem
solving siswa, (4) memberikan wahana interaksi antarsiswa, dan siswa dengan
guru. Dengan demikian, siswa juga terlatih untuk menggunakan Bahasa
Indonesia yang baik dan. benar, (5) materi yang disajikan dapat mencapai tingkat
kemampuan yang lebih tinggi dan lebih lama membekas karena siswa dilibatkan
dalam proses menemukannya (Roestiyah NK, 2008: 22).
Menyadari tidak hanya penting tetapi juga karena siswa kurang memiliki
kemampuan mengidentifikasi unsur intrinsik cerita anak, penulis berkeinginan
intrinsik cerita anak pada siswa kelas VI SD Negeri 1 Sukarame Talangpadang
Tanggamus tahun pelajaran 2011/2012 melalui teknik discovery.
Melalui penerapan teknik discovery, penulis berharap pembelajaran Bahasa
Indonesia khususnya pada materi mengidentifikasi unsur intrinsik cerita anak,
tujuan pembelajaran yang diharapkan dapat dicapai. Oleh karena itu, penulis
melakukan penelitian dengan judul “Peningkatan Kemampuan Mengidentifikasi
Unsur Intrinsik Cerita Anak Melalui Teknik Discovery pada Siswa Kelas VI SD
Negeri 1 Sukarame Talangpadang Tanggamus Tahun Pelajaran 2011/2012”.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
“bagaimanakah peningkatan kemampuan mengidentifikasi unsur intrinsik cerita
anak dengan teknik discovery pada siswa kelas VI SD Negeri 1 Sukarame
Talangpadang Tanggamus tahun pelajaran 2011/2012”.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan peningkatan kemampuan
mengidentifikasi unsur intrinsik cerita anak melalui teknik discovery pada siswa
kelas VI SD Negeri 1 Sukarame Tanggamus tahun pelajaran 2011/2012.
1.4 Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat secara teoretis maupun praktis.
1.4.1 Secara Teoretis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah pengembangan
pembelajaran yang tepat dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia dengan
menggunakan teknik discovery.
1.4.2 Secara Praktis
Hasil penelitian kelas ini diharapkan dapat bermanfaat bagi siswa dan guru.
a. Bagi Siswa
(1) Menambah pengetahuan siswa kelas VI SD Negeri I Sukarame Talangpadang
dalam memahami nilai-nilai karya sastra terutama aspek tokoh, watak, latar,
tema, dan amanat dalam cerita anak melalui teknik discovery.
(2) Bahan evaluasi untuk dapat mengetahui bagaimana kemampuan siswa
mengidentifikasi unsur intrinsik cerita anak yang meliputi tokoh, watak, latar,
tema, dan amanat melalui teknik discovery.
b. Bagi Guru
Memberikan pengalaman dan wawasan bagi guru bahwa dalam pembelajaran
Bahasa Indonesia pada aspek mendengarkan khususnya mengidentifikasi unsur
intrinsik cerita anak dengan teknik discovery dapat memberikan pengalaman yang
baru bagi siswa pada saat pembelajaran. Sehingga siswa dapat termotivasi dalam
II. KAJIAN PUSTAKA
2.1 Unsur Intrinsik
Untuk mampu mengidentifikasi suatu, tokoh, watak, latar, tema, dan amanat
dalam cerita anak, siswa harus mampu menguasai keterampilan berbahasa yaitu
keterampilan membaca. Membaca itu sendiri merupakan suatu proses yang
dilakukan serta dipergunakan untuk memperoleh pesan yang hendak disampaikan
oleh penulis kepada pembaca melalui media kata-kata atau bahasa tulis (Tarigan,
2008: 17).
Informasi yang diperoleh pembaca semakin baik jika pembaca mempunyai
kemampuan yang baik dalam mambaca. Karena dengan memiliki keterampilan
yang baik dalam membaca, maka si pembaca akan dapat memahami tokoh, watak,
latar, tema, dan amanat dari cerita anak.
Ada beberapa pertimbangan dalam menyediakan materi bacaan cerita bagi
anak-anak usia sekolah dasar. Secara umum, penyediaan bahan harus memperhatikan
(a) bahasa yang digunakan, (b) penokohan, peristiwa, rangkaian cerita, (c) cara
penyajian dan gaya penuturan (Aminuddin, 1988: 42). Ditinjau dari bahasa yang
digunakan, pertimbangan mengacu pada penguasaan kosakata dan strukur kalimat
anak-anak. Kata-kata yang digunakan sebaiknya sesuai dengan situasi yang nyata
masih asing bagi anak, sebaiknya guru menerangkan dengan gambar atau paparan
deskriptif sebagai ilustrasi.
Ditinjau dari penokohan, pelaku yang ditampilkan harus realistis dan jelas.
Begitu juga motivasi dan pesan yang terdapat pada karya sastra perlu
digambarkan secara jelas. Peristiwa yang diceritakan harus menunjukkan
hubungan sebab akibat secara jelas. Cerita seharusnya lebih digambarkan secara
hidup dan menarik. Pertimbangan menyangkut cara penyajian dan penuturan akan
berhubungan dengan pemilihan kata, penggunaan gaya bahasa, teknik
penggambaran pelaku dan latar. Materi pembelajaran cerita adalah cerita yang
dekat/akrab dengan kehidupan anak, pernah didengar, rangkaian ceritanya mudah
diikuti, dan temanya cocok dengan usia anak. Cerita yang dipilih hendaknya
mengandung pelaku yang dapat dipercaya, awal dan akhir cerita harus tetap
menarik dan simpulan akhir harus dekat dengan anak (Rahmanto, 1993: 31).
2.1.1 Tema
Tema merupakan salah satu unsur intrinsik karya sastra. Tema adalah gagasan
utama atau pikiran pokok (Tarigan, 2008: 167). Sedangkan menurut Suharianto
(2005: 17) tema adalah permasalahan yang merupakan titik tolak pengarang
dalam menyusun cerita atau karya sastra tersebut, sekaligus merupakan
permasalahan yang ingin dipecahkan pengarang dengan karyanya itu. Sebagai
persoalan, tema merupakan suatu yang netral. Pada hakekatnya, di dalam tema
belum ada sikap, kecenderungan untuk memihak, karena itu masalah apa saja
2.1.1.1 Jenis Tema
Tema fiksi pada umumnya diklasifikasikan menjadi lima jenis, yakni (1) tema
jasmaniah, merupakan tema yang cenderung berkaitan dengan keadaan jasmani
manusia. Tema seperti terfokus pada kenyataan diri seseorang sebagai molekul,
zat, dan jasad, (2) tema organik, merupakan tema tentang moral, mencakup
hal-hal yang berhubungan dengan moral mausia, yang wujudnya tentang hubungan
antar manusia, antar pria dan wanita, (3) tema sosial, meliputi hal-hal yang berada
di luar masalah pribadi, misalnya masalah politik, pendidikan, dan propaganda,
(4) tema egoik, merupakan tema yang menyangkut reaksi-reaksi pribadi yang
umumnya menentang pengaruh sosial, dan (5) tema ke-Tuhanan, merupakan tema
yang berkaitan dengan kondisi manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan.
Werren dan Wellek (1990: 73) membagi permasalahan tema dalam karya sastra
menjadi lima golongan besar, yaitu (1) nasib, maksudnya adalah hubungan antara
kebebasan dan keterpaksaan, semangat manusia dan alam, (2) keagamaan, dalam
hal ini termasuk interpretasi tentang Tuhan, sikap terhadap dosa dan keselamatan,
(3) alam, perasaan terhadap alam, juga mitos dan ilmu gaib, (4) manusia,
permasalahan ini menyangkut konsep manusia, hubungan manusia dengan
kematian dan konsep cinta, dan (5) sosial, dalam hal ini menyangkut konsep
masyarakat, keluarga dan negara.
Berdasarkan kedua pendapat di atas, penulis mengacu pada pendapat Sayuti yang
membagi tema menjadi lima jenis, yakni tema jasmani, organik, sosial, egoik dan
2.1.2 Tokoh
Dalam pembicaraan sebuah fiksi, sering digunakan istilah tokoh dan penokohan,
watak dan perwatakan, karakter dan karakteristik secara bergantian dengan
menunjuk pengertian yang hampir sama. Istilah-istilah tersebut, sebenarnya, tak
menyarankan pada pengertian yang tak persis sama, atau paling tidak dalam
tulisan ini akan dipergunakan dalam pengertian ulang berbeda, walau memang ada
diantaranya sinonim. Ada istilah yang pengertiannya menyarankan pada tokoh
cerita, dan pada "teknik" pengembangannya dalam sebuah cerita.
Penokohan adalah proses yang dipergunakan oleh seseorang pengarang untuk
menciptakan tokoh-tokoh fiksinya (Tarigan, 2008: 147). Tokoh fiksi harus
dilihat sebagai yang berada pada suatu masa, tempat tertentu dan haruslah pula
diberi motif-motif yang masuk akal bagi segala sesuatu yang dilakukannya. Tugas
pengarang ialah membuat tokoh itu sebaik mungkin, seperti yang benar-benar ada.
Walaupun tokoh cerita "hanya" merupakan tokoh ciptaan pengarang, ia haruslah
merupakan tokoh yang hidup secara wajar. Kehidupan tokoh cerita adalah
kehidupan dalam dunia fiksi, maka ia haruslah bersikap dan bertindak sesuai
tuntutan cerita dengan perwatakan yang disandangnya. Tokoh cerita hanya
sebagai orang penyampai pesan, atau bahkan merupakan refleksi pikiran, sikap,
pendirian, dan keinginan pengarang.
Tokoh-tokoh dalam fiksi dapat dibedakan berdasarkan sudut pandang dan
tinjauan, seorang tokoh dikategorikan ke dalam beberapa jenis penamaan
1. Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan
Tokoh utama cerita adalah tokoh yang disebut pertama (central character, main
character), sedangkan yang kedua adalah tokoh tambahan (peripheral character).
2. Tokoh Protagonis dan Tokoh Antagonis
Tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi yang salah satu jenisnya secara
populer disebut hero-tokoh, yang merupakan pengejawatan norma-norma dan
nilai-nilai yang ideal bagi kita.
Nilai konflik yang dialami oleh tokoh protagonis tidak hanya disebabkan oleh
tokoh antagonis. Sedangkan yang dimaksud dengan tokoh antagonis adalah tokoh
yang mempunyai sifat bertentangan dengan tokoh protagonis. Dalam hal ini tokoh
antagonis yang menciptakan konflik sehingga terjadi alur cerita yang menarik
yang menimbulkan simpati dan empati, emosional dari pembaca.
3. Tokoh Sederhana dan Bulat
Tokoh sederhana adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi, atau
sifat dan watak tertentu saja. Tokoh bulat lebih menyerupai kehidupan manusia
yang sesungguhnya, karena di samping memiliki kemungkinan sikap dan
tindakan, ia juga sering memberikan kejutan.
4. Tokoh Statis dan Tokoh Berkembang
Tokoh statis adalah tokoh cerita yang secara esensial tidak mengalami perubahan
atau perkembangan perwatakan sebagai akibat adanya peristiwa-peristiwa yang
perkembangan perwatakan sejalan dengan perkembangan peristiwa dan plot yang
dikisahkan.
5. Tokoh Tipikal dan Tokoh Netral
Tokoh tipikal adalah tokoh yang hanya sedikit ditampilkan ke dalam
individualitasnya, dan lebih banyak ditonjolkan kualitas pekerjaan atau
kebangsaannya atau sesuatu yang lain yang lebih bersikap mewakili.
Tokoh netral adalah tokoh cerita yang berekstensi demi cerita itu sendiri. Tokoh
ini benar-benar hanya hidup dan bereksitensi dalam dunia fiksi. la hadir
semata-mata demi cerita, atau dialah yang sebenarnya yang memilki cerita, pelaku cerita
dan yang diceritakan.
2.1.3 Watak
Watak berarti sifat batin manusia yang mempengaruhi segenap pikiran dan
tingkah laku; budi pekerti; tabiat. Perwatakan adalah hal-hal yang berhubungan
dengan watak seseorang pada lakon tertentu yang ia perankan dalam sebuah cerita
fiksi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2000: 1270) disebutkan bahwa
watak atau perwatakan adalah bagaimana seorang bertingkah laku untuk peran
tokoh tertentu yang diberikan kepadanya.
2.1.4 Latar
Menurut Sayuti (2000: 62), latar adalah elemen fiksi yang menunjukkan kepada
kita di mana dan kapan kejadian-kejadian dalam cerita berlangsung. Suatu karya
dengan kehidupan ini yang berlangsung dalam ruang dan waktu. Dengan
demikian yang termasuk di dalam latar adalah tempat atau ruang yang dapat
diamati, seperti di sebuah desa, kampung, kampus, hari, waktu, tahun, musim,
atau periode sejarah.
2.1.4.1 Tipe Latar
Pada umumnya tipe latar dalam fiksi dibedakan dalam dua tipe, yaitu neutural
setting 'latar netral' dan spiritual setting 'latar spritual'.
a. Latar netral adalah latar yang hanya latar, tidak memiliki kaitan dengan
fungsional dengan elemen fiksi lainnya.
b. Latar spiritual adalah latar yang mengumpulkan atau mengisyaratkan nilai-nilai
tertentu seperti tampak pada pelukisan latar pedesaan yang menunjukkan
bagaimana pranata nilai berlangsung di desa itu (Sayuti, 2000: 64).
2.1.4.2 Unsur Latar
Unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu dan
suasana. Ketiga unsur tersebut walau menawarkan permasalahan yang berbeda
dan dapat dibicarakan secara tersendiri, pada kenyataannya saling berkaitan dan
saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya (Rahmanto, 1993: 54).
a. Latar Tempat
Latar tempat merupakan lokasi terjadi peristiwa yang dibicarakan dalam sebuah
karya fiksi, unsur tempat yang dipergunakan dapat berupa tempat dengan nama
Untuk dapat mendeskripsikan suatu tempat secara meyakinkan pengarang perlu
menguasai lokasi. Pengarang haruslah menguasai situasi geografis lokasi yang
bersangkutan lengkap dengan karakteristik dan sifat khasnya. Tempat yang dapat
berupa desa, jalan, laut, rumah, dan lain-lain tentu memiliki ciri khas yang
menandainya.
b. Latar waktu
Latar waktu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwa yang
diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Dalam memahami dan menikmati sebuah
cerita waktu merupakan acuan bagi pembaca. Karena adanya persamaan
perkembangan dan atau kesejalanan waktu itulah yang dimanfaatkan pembaca
untuk memberikan kesan seolah-seolah cerita tersebut sungguh-sungguh ada dan
terjadi.
c. Latar Suasana
Latar suasana atau latar sosial adalah suatu yang berhubungan dengan prilaku
kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi.
Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup
yang cukup kompleks, seperti kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan,
pandangan hidup, cara berfikir, bersikap, dan lain-lain. Selain itu, latar suasana
juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah,
2.1.5 Amanat
Amanat ialah pemecahan yang diberikan oleh pengarang bagi persoalan di dalam
karya sastra. Amanat biasa disebut makna. Makna dibedakan menjadi makna
niatan dan makna muatan. Makna niatan ialah makna yang diniatkan oleh
pengarang bagi karya sastra yang ditulisnya. Makna muatan adalah makna yang
termuat dalam karya sastra tersebut (Semi, 2003: 82).
2.1.6 Alur atau Plot
Alur adalah konstruksi mengenai sebuah deretan peristiwa yang secara logis dan
kronologis saling berkaitan yang dialami oleh pelaku (Septiningsih, 1998: 4).
Alur adalah struktur gerak atau laku dalam suatu fiksi atau drama (Tarigan 2008:
156).
Menurut Suharianto (2005: 18) alur atau plot adalah cara pengarang menjalin
kejadian-kejadian secara beruntun dengan memperhatikan hukum sebab akibat
sehingga merupakan kesatuan yang padu, bulat, dan utuh.
Dari beberapa pendapat tentang alur di atas, dapat disimpulkan bahwa alur adalah
peristiwa-peristiwa yang terjalin dengan urutan yang baik dan membentuk sebuah
cerita. Dalam alur terdapat serangkaian peristiwa dari awal sampai akhir.
2.2 Cerita Anak
Cerita merupakan bagian dari hidup. Setiap orang adalah bagian dari sebuah
cerita. Kelahiran, kesehatan, keberhasilan, kematian, di mana, kapan, dan
yang amat menarik. Bahkan, cerita adalah narasi pribadi setiap orang, menjadi
bagian dari suatu peristiwa, bagian dari satu cerita, dan menjadi bagian dari
sebuah cerita adalah hakikat cerita. Sastra anak termasuk di dalamnya adalah
cerita anak (Sarumpaet, 2002: 54).
Dalam cerita anak pada umumnya berupa dongeng, hal ini disebabkan oleh faktor
usia, dimana anak usia sekolah dasar adalah taraf usia fantasi atau berkhayal.
Dongeng merupakan cerita yang lahir berdasarkan khayalan semata. Dapat
dikatakan pula bahwa dongeng merupakan cerita sederhana yang tidak
benar-benar terjadi. Dongeng berisi tentang kejadian-kejadian aneh di zaman dahulu.
Dongeng biasanya digunakan sebagai sarana dalam menuntun, mendidik
anak-anak dalam proses pengembangan berpikir. Adapun manfaat yang terkandung
dalam isi dongeng, diantaranya memberi nasehat yang baik bagi anak. Melalui
dongeng tersebut, anak dapat berimajinasi seolah-olah cerita dalam dongeng
tersebut terjadi dalam kehidupan nyata.
Dongeng termasuk cerita tradisional yang disampaikan secara turun-temurun.
Suatu cerita tradisional dapat tersebar secara luas ke berbagai tempat. Cerita itu
selanjutnya disesuaikan dengan kondisi daerah setempat. Oleh karena itu, tidaklah
mengherankan jika ada kemiripan atau kesamaan antara dongeng di suatu wilayah
dengan wilayah lain. hal itu dikarenakan cerita tradisional mudah diterima karena
2.2.1 Jenis Cerita Anak
Ada beberapa jenis cerita anak (dongeng), diantaranya adalah fabel, mite, legenda,
sage, dan cerita jenaka.
1. Fabel
Fabel adalah cerita yang mengandung pendidikan tentang perbuatan baik dan
buruk. Tokoh fabel adalah binatang. Semua binatang tersebut berprilaku seperti
manusia dan menggambarkan watak serta budi pekerti manusia. Contoh fabel
adalah Kancil dan Buaya, Pelanduk yang Cerdik, Ikan Gabus, dan lain-lain.
2. Mite
Mite adalah dongeng yang dianggap benar-benar terjadi dan disucikan. Hal yang
dikisahkan antara lain mengenai kehidupan para dewa, peri, dan roh-roh halus,
atau hal yang gaib yang berkaitan dengan kepercayaan masyarakat waktu itu.
Contoh mite diantaranya Jaka Tarub, Cerita Nyai Rara Kidul, Cerita Dewa Ruci,
dan lain-lain.
3. Legenda
Legenda adalah cerita tentang asal-usul suatu tempat, benda, atau suatu daerah.
Dalam cerita diselipkan beberapa kebenaran sejarah, tetapi kisah-kisah yang
sifatnya khayalan mendominasi keseluruhan cerita. Contoh cerita Legenda
Tangkuban Perahu, cerita Sangkuriang, cerita Rorojonggrang.
4. Sage
Sage adalah cerita yang mengandung unsur-unsur sejarah. Karena unsur sejarah
dapat dipercaya lagi sebagai fakta sejarah. Contoh sage Ciung Wanara, Jako
Dolog, dan Damarwulan.
5. Cerita jenaka
Cerita jenaka adalah cerita yang berisi tentang kelucuan tokoh-tokohnya.
Meskipun kejadiannya lucu tetapi di dalamnya terdapat ajaran atau nasehat yang
dibutuhkan masyarakat. Cerita jenaka disebut pula cerita penggeli hati. Contoh
cerita jenaka Lebai Malang, cerita Pak Belalang.
2.2.2 Ciri-ciri Cerita Anak
Pengalihan pola pikir orang dewasa kepada dunia anak-anak dan keberadaan jiwa
dan sifat anak-anak menjadi syarat cerita anak-anak yang digemari. Dengan kata
lain, cerita anak-anak harus berbicara tentang kehidupan anak-anak dengan segala
aspek yang berada dan mempengaruhi mereka. Menurut Huck (dalam Subyantoro,
2006: 44) ciri esensial sastra anak, termasuk cerita anak ialah penggunaan
pandangan anak atau kacamata anak dalam menghadirkan cerita atau dunia
imajiner.
Sarumpaet (1976: 29) dan Endraswara (2002:119) mengatakan bahwa ciri-ciri
sastra anak termasuk di dalamnya cerita anak ada tiga, yakni (1) berisi sejumlah
pantangan, berarti hanya hal-hal tertentu saja yang boleh diberikan; (2) penyajian
secara langsung, kisah yang ditampilkan memberikan uraian secara langsung,
tidak berkepanjangan; (3) memiliki fungsi terapan, yakni memberikan pesan dan
Ciri cerita anak berisi sejumlah pantangan berarti hanya hal-hal tertentu saja yang
boleh diberikan. Ciri ini berkenaan dengan tema dan amanat cerita anak. Tema
yang merupakan gagasan cerita atau apa yng dipersoalkan dalam cerita, maka
harus dipertimbangkan tema apa yang cocok untuk anak-anak. Tidak semua tema
yang lazimnya dapat ditemukan dalam cerita orang dewasa dapat dipersoalkan
dan disajikan kepada anak-anak. Tema yang sesuai adalah tema yang menyajikan
masalah yang sesuai dengan alam hidup anak-anak. Misalnya tentang
kepahlawanan, peristiwa sehari-hari, dan sebagainya. Selain itu, biasanya
amanatnya disederhanakan dengan menyediakan akhir kisah yang indah.
Contohnya cerita anak Bawang Merah dan Bawang Putih, Timun Emas, dan
Puteri Abu.
2.3 Pembelajaran Sastra di Sekolah Dasar
Pembelajaran mendengarkan cerita anak merupakan salah satu pembelajaran
keterampilan berbahasa di bidang sastra. Pada pembelajaran bahasa Indonesia
kurikulum KTSP di sekolah dasar, siswa diharapkan memiliki kompetensi dalam
bidang sastra, dalam penelitian ini dikhususkan pada aspek mendengarkan dalam
mengidentifikasi unsur cerita anak. Sebuah keterampilan akan dikuasai dengan
baik jika diajarkan dan dilatihkan. Demikian pula dengan keterampilan
mendengarkan khususnya dalam pembelajaran sastra perlu diajarkan dan
dilatihkan dengan baik dan kontinu mengingat pentingnya peran siswa dalam
Pembelajaran sastra di sekolah dasar bertujuan agar siswa memiliki rasa peka
terhadap karya sastra sehingga merasa terdorong dan tertarik untuk
mempelajarinya. Dengan mempelajari karya sastra diharapkan para siswa
memperoleh pengertian baik tentang manusia dan kemanusiaan, mengenal
nilai-nilai, dan memperoleh pengalaman hidup (Rahmanto, 1993: 41).
Siswa akan memperoleh manfaat dari karya sastra yang diapresiasinya, yakni
membantu berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta
dan rasa, dan menunjang pembentukan watak (Effendi, 1995: 76). Siswa perlu
memperoleh pemahaman bagaimana memahami karya sastra tersebut, disinilah
pentingnya pembelajaran apresiasi. Proses pengapresiasian unsur-unsur intrinsik
yang terdapat dalam karya sastra (cerita anak) dalam latar, tokoh, tema, dan
amanat, melalui pemahaman tentang bagaimana cara pengarang menyampaikan
maksud, sikap, dan penilaian tokoh cerita. Karena itu, guru diharapkan mampu
memilih cerita anak yang sesuai dan mendukung proses pengapresiasian tersebut
demi tercapainya tujuan pembelajaran sastra di sekolah. Berikut tiga aspek
penting yang perlu dipertimbangkan dalam memilih bahan pembelajaran sastra,
yakni:
1) Dari sudut bahasa
Aspek kebahasaan dalam sastra tidak hanya ditentukan oleh masalah-masalah
yang dibahas, tapi juga faktor-faktor lain, seperti cara penulisan yang dipakai si
pengarang, ciri-ciri si pegarang pada waktu penulisan karya sastra itu, dan
kelompok pembaca yang ingin dijangkau pengarang. Pemilihan bahan
dipakai dalam karya sastra tersebut dengan tingkat penguasaan bahasa yang
dimiliki oleh siswa sekolah dasar. Bukan hanya mempertimbangkan kosakata dan
tata bahasa, tetapi juga mempertimbangkan situasi dan pengertian isi wacana
termasuk ungkapan dan referensi yang ada (Rahmanto, 1993: 51). Jadi, sebagai
indikator kesesuaian bahasa tidak hanya dilihat dari bahasa yang digunakan secara
keseluruhan dalam karya sastra tersebut, tetapi juga bagaimana bahasa yang
digunakan oleh para tokoh, baik dari segi kebahasaan maupun kasantunannya.
2) Psikologi
Dalam memilih bahan pembelajaran sastra, tahap-tahap perkembangan psikologis
hendaknya diperhatikan karena tahap-tahap ini sangat besar pengaruhnya terhadap
minat dan keengganan anak didik dalam banyak hal. Tahap perkembangan
psikologis ini juga sangat besar pengaruhnya terhadap; (a) daya ingat, (b)
kamauan mengerjakan tugas, (c) kesiapan bekerja sama, dan (d) kemungkinan
pemahaman situasi pemecahan masalah yang dihadapi.
Berikut uraian pentahapan yang diharapkan dapat membantu agar guru lebih
memahami tingkat perkembangan psikologis anak-anak sekolah dasar dan
menengah.
a. Tahap pengkhayal (8 sampai 9 tahun)
Pada tahap ini imajinasi anak belum banyak diisi hal-hal nyata tetapi masih penuh
b. Tahap romantik (10 sampai 12 tahun)
Pada tahap ini anak mulai meninggalkan fantasi-fantasi dan mengarah pada
realitas. Meski pendangannya tentang dunia ini masih sangat sederhana, tapi pada
tahap ini anak telah menyenangi cerita-cerita kepahlawanan, petualangan, dan
bahkan kejahatan.
c. Tahap realistik (13 sampai 16 tahun)
Sampai tahap ini anak-anak sudah benar-benar terlepas dari dunia fantasi, dan
sangat berminat pada realitas atau apa yang benar-benar terjadi. Mereka terus
berusaha mengetahui dan siap mengikuti dengan teliti fakta-fakta untuk
memahami masalah-masalah dalam kehidupan nyata.
d. Tahap generalisasi (usia 16 tahun dan selanjutnya)
Pada usia ini anak sudah tidak lagi hanya berminat pada hal-hal praktis saja, tetapi
juga berminat untuk menemukan konsep-konsep abstrak dengan menganalis suatu
fenomena. Dengan menganalisis suatu fenomena, mereka barusaha menemukan,
dan merumuskan penyebab utama fenomena itu yang kadang-kadang mengarah ke
pemikiran filsafat untuk menentukan keputusan-keputusan moral.
Karya sastra yang terpilih hendaknya sesuai dengan tapah psikologi pada
umumnya dalam suatu kelas. Tentu saja, tidak semua siswa dalam satu kelas
mempunyai tahapan psikologis yang sama, tetapi guru hendaknya menyajikan
karya sastra yang setidak-tidaknya secara psikologis dapat menarik minat
Guru dalam memilih karya sastra yang hendak disajikan kepada siswa jangan
hanya mempertimbangkan kemenarikan dari cerita saja, tetapi juga
memperhatikan gambaran psikologis para tokoh dalam karya sastra tersebut yang
harus sesuai dengan psikologis siswa, karena siswa cenderung menyerap cerita
para tokoh dan memikirkannya sebagaimana kenyataan yang mereka hadapi.
3) Latar Belakang Budaya
Sebuah karya sastra harus dilihat latar belakang yang meliputi hampir semua
faktor kehidupan manusia dan lingkungannya, seperti: geografis, sejarah,
pekerjaan, kepercayaan, cara berpikir, nilai-nilai masyarakat, seni, olahraga,
hiburan, moral, etika, dan sebagainya. biasanya siswa akan mudah tertarik pada
karya-karya sastra dengan latar belakang yang erat hubungannya dengan latar
belakang kehidupan mereka, terutama bila karya sastra itu menghadirkan tokoh
yang berasal dari lingkungan mereka dan mempunyai kesamaan dengan mereka
atau dengan orang-orang di sekitar mereka.
Dalam pembelajaran sastra guru hendaknya memilih bahan pembelajarannya
dengan mengutamakan karya-karya sastra yang latar ceritanya dikenal oleh para
siswa. Guru sastra hendaknya memahami apa yang diminati para siswa sehingga
dapat menyajikan suatu karya sastra yang tidak terlalu menuntut gambaran di luar
kemampuan pembayangan yang dimiliki siswa.
Dari ketiga aspek di atas, hendaknya disesuaikan dengan kurikulum yang berlaku
saat ini yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) jenjang SD dan
2.4Teknik Discovery
Di dalam kegiatan pembelajaran, guru harus memiliki strategi agar siswa dapat
belajar secara efektif dan efisien, mengena pada tujuan yang diharapkan. Salah
satu langkah untuk memiliki strategi itu ialah harus menguasai teknik-teknik
penyajian yang disebut dengan teknik pembelajaran. Salah satu teknik
pembelajaran yang dapat digunakan dalam rangka meningkatkan aktivitas siswa
dalam proses belajar mengajar adalah teknik discovery (Roestiyah NK, 2008: 1).
2.4.1 Pengertian Teknik Discovery
Ada beberapa konsep tentang teknik discovery yang dikemukakan oleh para ahli,
antara lain
1) Teknik discovery adalah teknik mengajar yang mengatur pembelajaran
sedemikian rupa sehingga anak memperoleh pengetahuan yang sebelumnya
tidak diketahuinya melalui pemberitahuan, sebagian atau seluruhnya
ditemukan sendiri (Herdian, 2007: 1).
2) Teknik discovery merupakan teknik yang lebih menekankan pada pengalaman
langsung siswa dan lebih mengutamakan proses dari pada hasil belajar
(Mulyasa, 2009: 15) .
3) Sund (dalam Roestiyah, 2008: 20) mengemukakan bahwa discovery adalah
proses mental siswa untuk mengasimilasikan sesuatu konsep atau prinsip.
Yang dimaksudkan dengan proses mental tersebut antara lain mengamati,
mencerna, mengerti, menggolong-golongkan, membuat dugaan, menjelaskan,
4) Teknik discovery adalah teknik pembelajaran yang menggunakan teknik
penemuan dan merupakan proses mental (misalnya mengamati,
menggolong-golongkan, membuat dugaan, menjelaskan, mengukur, membuat kesimpulan,
dan sebagainya) dimana siswa menyesuaikan suatu konsep atau prinsip. Dalam
teknik ini siswa dibiarkan menemukan sendiri atau mengalami proses mental
itu sendiri, guru hanya membimbing dan memberikan instruksi (Roestiyah NK,
2008: 20).
Dari pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan teknik discovery ialah
suatu pembelajaran yang melibatkan siswa dalam proses kegiatan mental melalui
tukar pendapat, dengan berdiskusi, membaca sendiri dan mencoba sendiri, agar
anak dapat belajar sendiri. teknik pembelajaran discovery merupakan suatu teknik
pembelajaran yang menitikberatkan pada aktivitas siswa dalam belajar. Dalam
proses pembelajaran dengan teknik ini, guru hanya bertindak sebagai pembimbing
dan fasilitator yang mengarahkan siswa untuk menemukan konsep, dalil,
prosedur, algoritma dan semacamnya.
2.4.2 Keunggulan dan Kelemahan Teknik Discovery
Setiap penggunaan teknik pembelajaran yang dilaksanakan di kelas pasti memiliki
keunggulan dan kelemahan. Menurut Roestiyah (2008: 20-21), keunggulan dan
kelemahan teknik discovery antara lain.
a. Keunggulan
1. Teknik discovery mampu membantu siswa untuk mengembangkan,
/pengenalan siswa.
2. Siswa memperoleh pengetahuan yang bersifat sangat pribadi/individual
sehingga kokoh/mendalam tertinggal dalam jiwa siswa.
3. Dapat membangkitkan kegairahan belajar siswa.
4. Teknik pembelajaran ini mampu memberikan kesempatan kepada siswa untuk
berkembang dan maju sesuai dengan kemampuannya, masing-masing.
5. Mampu mengarahkan cara siswa belajar, sehingga lebih memiliki motivasi
yang kuat untuk giat belajar.
6. Membantu siswa untuk memperkuat dan menambah kepercayaan pada diri
sendiri dengan proses penemuan sendiri.
7. Strategi ini berpusat pada siswa tidak pada guru. Guru hanya sebagai teman
belajar saja, membantu bila diperlukan.
b. Kelemahan
1. Pada siswa harus ada kesiapan dan kematangan mental untuk cara belajar ini.
Siswa harus barani dan berkeinginan untuk mengetahui keadaan sekitarnya
dengan baik.
2. Bila kelas terlalu besar penggunaan teknik pembelajaran ini akan kurang
berhasil.
3. Bagi guru dan siswa yang sudah biasa dengan perencanaan dan pembelajaran.
tradisional mungkin akan sangat kecewa bila diganti dengan teknik
pembelajaran ini.
4. Dengan teknik pembelajaran ini ada yang berpendapat bahwa proses mental ini
perkembangan /pembentukan sikap dan keterampilan bagi siswa.
5. Teknik pembelajaran ini mungkin tidak memberi kesempatan untuk berpikir
secara kreatif.
Untuk mengatasi hal di atas, guru harus pandai menyikapi situasi kelas dan mental
siswa sebelum melaksanakan teknik pembelajaran ini. Karena apapun teknik
pembelajaran yang diberlakukan oleh seorang guru di dalam kelas baik buruknya,
berhasil tidaknya, berada ditangan guru.
2.4.3 Langkah-langkah Teknik Discovery
Ada beberapa pendapat tentang langkah-langkah yang ditempuh dalam
pembelajaran discovery. Menurut Mulyasa (2009: 17), langkah-langkah teknik
discovery, yaitu sebagai berikut.
1. Adanya masalah yang akan dipecahkan;
2. Masalah sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif siswa;
3. Mengemukakan dan menulis secara jelas konsep atau prinsip yang harus
ditemukan oleh siswa melalui kegiatan tersebut;
4. Tersedianya alat dan bahan yang diperlukan;
5. Susunan kelas diatur sedemian rupa sehingga memudahkan siswa berfikir
bebas dalam kegiatan pembelajaran;
6. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengumpulkan data;
7. Guru harus memberikan jawaban dengan tepat dengan data serta informasi
Menurut Herdian (2007: 3) langkah-langkah pembelajaran discovery adalah
sebagai berikut:
1. Identifikasi kebutuhan siswa;
2. Seleksi pendahuluan terhadap prinsip-prinsip, pengertian konsep dan
generalisasi pengetahuan;
3. Seleksi bahan, problema/ tugas-tugas;
4. Membantu dan memperjelas tugas/problema yang dihadapi siswa serta
peranan masing-masing siswa;
5. Mempersiapkan kelas dan alat-alat yang diperlukan;
6. Mengecek pemahaman siswa terhadap masalah yang akan dipecahkan;
7. Memberi kesempatan pada siswa untuk melakukan penemuan;
8. Membantu siswa dengan informasi/data jika diperlukan oleh siswa;
9. Memimpin analisis sendiri (self analisis) dengan pertanyaan yang
mengarahkan dan mengidentifikasi masalah;
10. Merangsang terjadinya interaksi antara siswa dengan siswa;
11. Membantu siswa merumuskan prinsip dan generalisasi hasil penemuannya.
Menurut Suryosubroto (2002: 199) langkah-langkah teknik discovery, antara lain
sebagai berikut.
1) Identifikasi kebutuhan siswa;
2) Seleksi bahan, problema, dan tugas-tugas;
3) Seleksi pendahuluan terhadap prinsip-prinsip, pengertian, konsep dan
4) Membantu memperjelas problema yang akan dipelajari dan peranan
masing-masing siswa;
5) Mempersiapkan setting kelas dan alat-alat yang diperlukan;
6) Mencek pemahaman siswa terhadap masalah yang akan dipecahkan dan
tugas-tugas siswa;
7) Memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan penemuan;
8) Membantu siswa dengan informasi, data, jika diperlukan oleh siswa;
9) Memimpin analisis sendiri dengan pertanyaan yang mengarahkan dan
mengidentifikasi proses;
10) Merangsang terjadinya interaksi antar siswa dengan siswa;
11) Memuji dan membesarkan siswa yang bergiat dalam proses penemuan;
12) Membantu siswa merumuskan prinsip-prinsip dan generalisasi atas hasil
penemuannya.
Dari langkah-langkah pembelajaran teknik discovery di atas, peneliti mengacu
pada pendapat Herdian yang mengatakan bahwa langkah-langkah pembelajaran
teknik discovery antara lain: (1) identifikasi kebutuhan siswa, (2) seleksi
pendahuluan terhadap prinsip-prinsip, pengertian konsep dan generalisasi
pengetahuan (3) seleksi bahan, problema/tugas-tugas, (4) membantu dan
memperjelas tugas/problema yang dihadapi siswa serta peranan masing-masing
siswa, (5) mempersiapkan kelas dan alat-alat yang diperlukan, (6) mengecek
pemahaman siswa terhadap masalah yang akan dipecahkan, (7) memberi
kesempatan pada siswa untuk melakukan penemuan, (8) membantu siswa dengan
analisis) dengan pertanyaan yang mengarahkan dan mengidentifikasi masalah, (10)
merangsang terjadinya interaksi antara siswa dengan siswa, (11) membantu siswa