Niken Anjani Afrilia
ABSTRAK
GAYA BAHASA RETORIS DAN KIASAN DALAM OTOBIOGRAFI AJAHN BRAHM YANG BERJUDUL SI CACING DAN KOTORAN
KESAYANGANNYA DAN KELAYAKANNYA SEBAGAI BAHAN AJAR
SASTRA INDONESIA DI SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA)
Oleh
Niken Anjani Afrilia
Gaya bahasa dalam otobiografi sangat penting, khususnya dalam penggunaan secara oprasional. Hal ini dimaksudkan agar memberikan kenyamanan pembaca
dalam memahami isi otobiografi. Mengingat gaya bahasa penting maka tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan gaya bahasa retoris dan kiasan dalam otobiografi Ajahn Brahm dan kelayakannya sebagai bahan ajar sastra Indonesia di
SMA.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Sumber data penelitian ini adalah otobiografi Ajahn Brahm yang berjudul Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya cetakan kedua puluh tiga, jumlah halaman 302,
diterbitkan oleh First Published in Australia in 2004 by Thomas C. Lothion Pty its.
Niken Anjani Afrilia
bahasa kiasan. Gaya bahasa retoris yang paling banyak digunakan adalah gaya bahasa tautologi (29,41%), gaya bahasa yang cukup banyak digunakan adalah
gaya bahasa asonansi (23,53%), hiperbola (17,71%), aliterasi (11,76%), dan gaya bahasa paling sedikit adalah prolepsis (2,94%). Sedangkan, gaya bahasa kiasan yang paling banyak digunakan adalah gaya bahasa metafora (42,22%), gaya
bahasa yang cukup banyak digunakan adalah gaya bahasa persamaan similie (22,22%), personifikasi (17,78%), antonomasia (8,89%), dan gaya bahasa yang
paling sedikit digunakan adalah gaya bahasa sarkasme (6,67%).
Otobiografi Ajahn Brahm yang berjudul Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya layak dijadikan bahan ajar alternatif untuk di SMA. Selain lulus syarat pemilihan bahan ajar dan menunjang tujuan pembelajaran sastra di SMA, otobiografi Ajahn
GAYA BAHASA
AJAHN BRAHM YANG BERJUDUL KESAYANGANNYA
SASTRA INDONESIA DI SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA)
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
GAYA BAHASA RETORIS DAN KIASAN DALAM OTOBIOGRAFI AJAHN BRAHM YANG BERJUDUL SI CACING DAN KOTORAN KESAYANGANNYA DAN KELAYAKANNYA SEBAGAI BAHAN AJAR
INDONESIA DI SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA)
(Skripsi)
Oleh
NIKEN ANJANI AFRILIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG 2012
TOBIOGRAFI CACING DAN KOTORAN KELAYAKANNYA SEBAGAI BAHAN AJAR INDONESIA DI SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA)
GAYA BAHASA RETORIS DAN KIASAN AJAHN BRAHM YANG BERJUDUL KESAYANGANNYA
SASTRA INDONESIA DI SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA)
Sebagai Salah Satu
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
GAYA BAHASA RETORIS DAN KIASAN DALAM OTOBIOGRAFI AJAHN BRAHM YANG BERJUDUL SI CACING DAN KOTORAN KESAYANGANNYA DAN KELAYAKANNYA SEBAGAI BAHAN AJAR
INDONESIA DI SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA)
Oleh
NIKEN ANJANI AFRILIA
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PENDIDIKAN
pada
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG 2012
TOBIOGRAFI SI CACING DAN KOTORAN KELAYAKANNYA SEBAGAI BAHAN AJAR INDONESIA DI SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA)
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung
Moto
“... Allah meninggikan orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan, beberapa derajat ...”
(Q.S Al Mujaadalah: 11)
“Tetaplah lurus meski keadaan memaksamu membelok, Tetaplah menjadi putih di saat keadaan memaksamu menjadi hitam”
SURAT PERNYATAAN
Sebagai civitas akademik Universitas Lampung, saya yang bertanda tangan di bawah ini.
No. Pokok Mahasiswa : 0853041027
Nama : Niken Anjani Afrilia
Judul Skripsi : Gaya Bahasa Retoris dan Kiasan dalam Otobiografi Ajahn Brahm yang berjudul Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya dan Kelayakannya sebagai Bahan Ajar Sastra Indonesia di SMA
Program Studi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas : Keguruan dan Ilmu Pedidikan
Dengan ini menyatakan bahwa:
1. karya tulis ini bukan saduran/terjemahan, murni gagasan, rumusan dan pelaksa-naan penelitian/implementasi saya sendiri, tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan pembimbing akademik dan narasumber di organisasi tempat riset;
2. dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka;
3. saya menyerahkan hak milik atas karya tulis ini kepada Universitas Lampung, dan oleh karenanya Universitas Lampung berhak melakukan pengelolaan atas karya tulis ini sesuai dengan norma hukum dan etika yang berlaku; dan
4. pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila di kemudian hari terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah diperoleh karena karya tulis ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma yang berlaku di Universitas Lampung.
Bandar Lampung, November 2012 Yang membuat pernyataan,
PERSEMBAHAN
Dengan penuh rasa syukur atas segala nikmat dan rahmat yang diberikan Allah
swt. penulis persembahkan buah karya ini kepada:
1. orang tua penulis papah mamah tersayang, Bapak Brigpol Nimbang Raden
dan Ibu Sri Suparmi yang dengan penuh tulus ikhlas mencurahkan kasih
sayang, cinta, doa, pengorbanan, perhatian, dan dukungan kepada penulis
hingga sekarang;
2. adik-adik tersayang Putri Anjani Maretha, Monic Anjani Juliana, Helen
Anjani Octavia terima kasih atas semangat dan senyuman yang selalu
diberikan kepada penulis untuk menjadi lebih baik;
3. teman terdekatku, Bripda Ade Natalista yang dengan ikhlas memberikan
semangat dan motivasi serta doa kepada penulis;
4. keluarga besar yang senantiasa menanti kelulusanku; dan
5. almamater tercinta, Universitas Lampung yang telah memberi ilmu
SANWACANA
Puji syukur kehadirat Allah swt. yang telah melimpahkan rahmat dan hidaya-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Gaya
Bahasa Retoris dan Kiasan dalam Autobiografi Ajahn Brahm yang Berjudul Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya dan Kelayakannya sebagai Bahan Ajar Sastra Indonesia di Sekolah Menengah Atas (SMA).”
Skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pendidikan
pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas Lampung. Dalam penulisan skripsi ini penulis banyak menerima bantuan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak. Dalam
kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada: 1. Dr. Muhammad Fuad, M. Hum., selaku pembimbing I yang selama ini telah
banyak membantu, membimbing, mengarahkan, dan memberikan saran kepada penulis dengan penuh kesabaran;
2. Drs. Kahfie Nazaruddin, M. Hum., selaku pembimbing II dan selaku Ketua
Progam Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah banyak membantu, membimbing dengan cermat, penuh kesabaran, mengarahkan dan
memberikan nasihat kepada penulis;
4. Eka Sofia Agustina, S.Pd., M.Pd., selaku Pembimbing Akademik (PA) yang banyak memberikan saran, arahan, dan nasihat kepada penulis;
5. Drs. Imam Rejana, M.Si., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Lampung;
6. bapak dan ibu dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
yang telah memberi penulis ilmu yang bermanfaat;
7. Dr. M. Thoha B.S. Jaya, M.S., selaku pembantu Dekan FKIP Universitas
Lampung beserta stafnya;
8. Dr. Bujang Rahman, M.Si., selaku Dekan FKIP Universitas Lampung; 9. papa dan mama tercinta, Bapak Brigpol Nimbang Raden dan Ibu Sri Suparmi
yang selalu memberikan kasih sayang, semangat, motivasi dalam bentuk moral maupun material dan untaian doa yang tiada henti-hentinya untuk
keberhasilan penulis;
10.adik-adikku, Putri Anjani Maretha, Monic Anjani Juliana, Helen Anjani Octavia yang penulis sayangi terima kasih selalu memberikan semangat dan
dorongan kepada penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini; 11.teman terdekatku, Bripda Ade Natalista yang senantiasa memberikan
motivasi, semangat dan doa kepada penulis agar selalu sabar untuk
menyelesaikan skripsi ini;
12.sahabat-sahabat terbaikku hingga saat ini Bono, Jeje, Desti, Indah, Hesti, Acil,
Didi, Aan, Rahma, Imon, Laura, Mimi, Refi, Ema, Rinda, Hel. Yeyen, Rara, semua teman-teman UKM Basket Unila dan rekan-rekan PT. Melia Sehat Sejahtera terima kasih untuk bantuan, memberikan dorongan dan semangat
13.teman-teman seperjuangan penulis Melisa Alwi, Rian Andri Prasetia terima kasih untuk kekompakan, semangat dan kebersamaan yang telah kalian
berikan selama kurang lebih empat tahun;
14.teman- teman seangkatan Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah angkatan 2008, terima kasih atas persahabatan, doa, serta kebersamaan
yang telah kalian berikan;
15.kakak tingkat angkatan 2005, 2006, 2007 serta adik tingkat angkatan 2009,
20010, 2011 terima kasih atas pertemanan serta kebersamaaan yang telah diberikan;
16.semua pihak yang telah membantu proses penyelesaian skripsi ini yang tidak
dapat penulis sebutkan satu per satu.
Semoga Allah swt. selalu memberikan balasan yang lebih besar untuk Bapak, Ibu
dan rekan-rekan semua. Hanya ucapan terima kasih dan doa yang bisa penulis berikan. Kritik dan saran selalu terbuka untuk menjadi kesempurnaan di masa yang akan datang. Semoga skripsi yang luar biasa ini bermanfaat untuk kemajuan
pendidikan, khususnya Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Amin.
Bandar Lampung, November 2012 Penulis
Judul Skripsi : GAYA BAHASA RETORIS DAN KIASAN DALAM OTOBIOGRAFI AJAHN BRAHM YANG BERJUDUL SI CACING DAN KOTORAN KESAYANGANNYA DAN KELAYAKANNYA SEBAGAI BAHAN AJAR SASTRA INDONESIA DI SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA)
Nama Mahasiswa : Niken Anjani Afrilia No. Pokok Mahasiswa : 0853041027
Jurusan : Pendidikan Bahasa dan Seni
Program Studi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas : Keguruan dan Ilmu Pendidikan
MENYETUJUI
1.Komisi Pembimbing
Dr. Muhammad Fuad, M. Hum. Drs. Kahfie Nazaruddin, M. Hum. NIP 19590722 198603 1 003 NIP 19610104 198703 1 004
2. Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni
DAFTAR PUSTAKA
Brahm, Ajahn. 2012. Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya. Jakarta: Taman Permata Buana.
Dale, Edgar [et al]. 1971. Tecniques of Teaching Vocabulary. California: Field Education Publication, inc.
Depdikbud. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Depdikbud. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan SMA/MA. Jakarta: Depdikbud.
Depdiknas. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Depdiknas.
Keraf, Gorys . 2002 . Diksi dan Gaya bahasa . Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Stilistika Kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Meleong, J. Lexy. 2004. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Mulyasa, H. E. 2009. Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Nurgiyantoro, Burhan. 2000 . Teori Pengkajian Fiksi . Yogyakarta : Gajah Mada University Press.
Pusat Bahasa. 2001. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang
Disempurnakan. Jakarta: Balai Pustaka.
Rani, Supratman Abdul . 1996 . Ikhtisar Sastra Indonesia. Bandung: Pustaka Setia.
Sadiman , Arief . 2005 . Media Pendidikan Pengertian , Pengembangan , dan
Pemanfaatannya , Jakarta: Radja Grafindo Persada.
Suprapto. 1990. Kosa Kata Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Tarigan, HG. 1985. Pengajaran Gaya Bahasa. Bandung: Angkasa.
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Bandar Lampung, pada 27 April 1991. Penulis merupakan anak
sulung dari empat bersaudara yang dilahirkan dari buah cinta dari pasangan bapak
Nimbang Raden dan ibu Sri Suparmi. Penulis mulai mengenyam pendidikan
formal pada tahun 1995 di Taman Kanak-Kanak (TK) YWKA Bandar Lampung
selesai tahun 1996. Sekolah Dasar (SD) SD N 2 Raja Basa Bandar Lampung pada
tahun 1996-2002. Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMP) 8 Bandar Lampung
pada tahun 2002-2005. Sekolah Menengah Atas (SMA) YP Mutiara Natar
Lampung Selatan pada tahun 2002 dan diselesaikan pada tahun 2008.
Tahun 2008 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Program Studi Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Fakultas
Keguruan dan Ilmu pendidikan, Universitas Lampung. Pada tahun 2011 penulis
melakukan praktik pengalaman lapangan (PPL) di Sekolah Menengah Atas Negeri
2 Way Tenong, Lampung Barat Tahun Pelajaran 2011/2012 dari bulan Juli hingga
DAFTAR ISI
1.5 Ruang Lingkup Penelitian... 9
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karya Sastra Fiksi dan Non Fiksi ... 11
2.2 Autobiografi ... 12
2.3 Gaya Bahasa... 13
2.4 Ragam Bahasa ... 15
2.5 Gaya Bahasa Berdasarkan Pilihan Kata ... 15
1. Gaya Bahasa Resmi ... 16
2. Gaya Bahasa Tak Resmi ... 16
3. Gaya Bahasa Percakapan ... 16
2.6 Gaya Bahasa Berdasarkan Nada ... 16
2.7 Gaya Bahasa Berdasarkan Struktur Kalimat... 17
2.8 Gaya Bahasa Berdasarkan Langsung Tidaknya Makna... 19
1. Gaya Bahasa Retoris ... 19
2. Gaya Bahasa Kiasan ... 29
2.10 Kelayakan Otobiografi Ajahn Brahm yang berjudul Si Cacing dan
Kotoran Kesayangannya di SMA ... 37
1. KTSP ... 37
2. Pedagogiki ... 38
3. Sastra ... 40
III. METODE PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian ... 43
3.2 Sumber Data ... 43
3.3 Prosedur Penelitian ... 43
3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 44
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil ... 52
4.1.1 Gaya Retoris dalam Otobiografi Ajahn Brahm yang Berjudul Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya ... 52
4.1.2 Gaya Kiasan dalam Otobiografi Ajahn Brahm yang Berjudul Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya ... 54
4.2 Pembahasan ... 56
4.2.1 Gaya Retoris dalam Otobiografi Ajahn Brahm yang berjudul Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya ... 56
4.2.2 Gaya kiasan dalam Otobiografi Ajahn Brahm yang Berjudul Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya ... 74
1 Persamaan ... 74
2 Metafora ... 79
3 Personifikasi atau Prosopopeia ... 86
4 Antonomasia ... 89
5 Ironi, Sinisme, dan Sarkasme ... 90
4.2.3 Kelayakan Otobiografi Ajahn Brahm yang Berjudul Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya sebagai Bahan Ajar Bahasa Indonesia di SMA ... 91
4.2.3.1Kelayakan Autobiografi Ajahn Brahm yang Berjudul Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya ditinjau dari Sudut Kurikulum ... 92
1 Standar Kompetensi ... 93
2 Kompetensi Dasar ... 94
4.2.3.2Kelayakan Otobiografi Ajahn Brahm yang Berjudul Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya ditinjau dari
Pedagogik ... 96
1. Kebahasaan ... 96
2. Psikologi ... 97
3. Latar Belakang Budaya... 99
4.2.3.3Kelayakan Otobiografi Ajahn Brahm yang Berjudul Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya ditinjau dari Sastra... 102
1. Bersifat Sastrawi ... 102
2. Amanat tidak Menggurui ... 104
V. SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ... 105
5.2 Saran ... 106
DAFTAR PUSTAKA ... 107
MENGESAHKAN
1. Tim Penguji
Ketua : Dr. Muhammad Fuad, M. Hum. ...
Sekretaris : Drs. Kahfie Nazaruddin, M. Hum. ...
Penguji
Bukan Pembimbing : Dr. Edi Suyanto, M. Pd. ...
2. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Dr. H. Bujang Rahman, M.Si. NIP 19600315 198503 1 003
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Unsur utama karya sastra adalah bahasa, baik bahasa lisan maupun tulisan. Hubungan bahasa dan sastra dikatakan seperti dua sisi mata uang, keduanya tidak biasa dipisahkan sebab nilainya tergantung dari kualitas antarhubungannya. Melalui kualitas intelektual bahasa menyediakan sarana dalam bentuk bunyi, huruf, kata, kalimat, paragraf, dan seterusnya. Sebaliknya, melalui kualitas emosionalitas karya sastra memanfaatkannya, mengeksploitasinya, dengan berbagai cara yang tersedia. Penyusunan cerita, alur, penokohan, tema dan sebagainya, khususnya gaya bahasa adalah cara-cara terpenting yang digunakan oleh pengarang.
Bahasa yang digunakan oleh seorang pengarang tentu saja berbeda dengan bahasa yang digunakan orang kebanyakan. Seorang penyair sering menggunakan gaya bahasa dalam berkarya. Dalam karya sastra penafsiran yang berbeda justru merupakan ciri-ciri kualitas atau keindahan yang mengandung seni. Oleh karena itu, seorang penyair banyak yang menggunakan gaya bahasa yang digunakan untuk memperindah karyanya, di sisi lain pembaca dapat
memberikan beragam penafsiran pada suatu karya. Kegiatan menganalisis gaya bahasa merupakan salah satu kegiatan pembelajaran siswa di SMA.
sesuatu dengan pemilihan dan penyusunan kata dalam kalimat untuk memperoleh efek tertentu (Zainuddin, 1991:51).
Berdasarkan pendapat yang telah peneliti uraikan di atas dapat dikatakan secara umum bahwa gaya bahasa merupakan penyimpangan makna dari kata-kata yang tertulis yang sengaja dilakukan oleh pengarang untuk menimbulkan efek tertentu. Penggunaan gaya bahasa dalam karya sastra selain untuk memberikan konotasi tertentu juga untuk menimbulkan efek keindahan. Oleh karena itu, peneliti mengambil penelitian tentang gaya bahasa karena peneliti tertarik dengan penggunaan-penggunaan gaya bahasa yang dipakai oleh para pengarang dalam membungkus suatu karya dengan menggunakan gaya bahasa yang indah yang membuat penikmat karyanya menjadi tidak jenuh dan tertarik untuk membaca dan memberikan warna tersendiri untuk pengarangnya dalam membuat karya sastra agar karyanya tidak terlalu datar.
Selain itu, gaya bahasa juga tidak banyak dipelajari secara khusus di sekolah karena kebanyakan siswa jenuh mempelajari tentang gaya bahasa, kemungkinan besar disebabkan karena bahan ajar yang digunakan oleh guru di sekolah tersebut terlalu monoton dan tidak bervariasi. Hal ini membuat peneliti tertarik untuk meneliti gaya bahasa dan memberikan contoh bahan ajar yang dapat digunakan di sekolah untuk mempelajari gaya bahasa sehingga siswa dapat lebih
termotivasi dan bersemangat untuk mempelajari gaya bahasa.
dibedakan menjadi lima, yaitu buku biografi, Otobiografi, buku pendamping, buku literatur, dan buku motivasi.
Melalui penelitian ini peneliti menganalisis salah satu karya sastra nonfiksi yang tergolong dalam Otobiografi dalam karya sastra yaitu buku Ajahn Brahm yang berjudul “Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya”. Peneliti meneliti penggunaan gaya bahasa dalam Otobiografi Ajahn Brahm. Peneliti memilih karya Ajahn Brahm tersebut karena dalam kumpulan kisah-kisah pengajaran ini terdapat banyak cerita mengenai kebenaran hidup.
Seorang biksu asal Inggris. Ia alumni Cambridge University yang kemudian memilih tinggal di hutan Thailand untuk belajar kearifan. Mungkin, sebagai biksu hutan, ia banyak belajar dari pengalaman warga desa,sehingga gaya bahasanya menjadi sederhana dan tidak berliku-liku. Pilihan gaya bahasa seperti ini membuat kalimat jadi fleksibel dan mudah dipahami. Pembaca tak perlu berkerut kening ketika membacanya. Peneliti mencatat ada beberapa hal penting yang bisa ditemukan dari buku ini.
Pertama, kisah yang dituturkan di buku ini kebanyakan adalah pengalaman sendiri. Bukan kutipan kisah-kisah masa silam atau rujukan dari kitab-kitab suci. “Saya menyenangi kutipan kitab suci berbagai agama, namun seringkali kutipan itu menjadi ahistoris atau tidak sesuai ruang dan waktu.” ujar Ajahn. Ketika mengutip kisah dari kitab suci, maka kisah-kisah itu menjadi ahistoris atau berjarak dari pengalaman kita hari. Dengan mengangkat pengalaman sehari-hari, maka kisahnya jadi sangat dekat dengan keseharian. Oleh karena itu, kisah yang ada di dalamnya bukan semata-mata ajaran untuk orang Budha.
saat menemukan butiran-butiran makna. Kisahnya juga tidak menggurui sebab mengangkat hal sehari-hari yang kita temui. Penulisnya memosisikan diri sebagai orang biasa yang mengalami hal-hal sehari-hari sebagaimana orang lain. Namun, di tengah hal yang remeh-temeh itu, penulisnya sanggup menemukan hikmah-hikmah yang dipetik dari pengalaman sehari-hari.
Ketiga, meskipun di tulis seorang biksu, namun kisah yang disajikan di sini menyimpan makna yang sifatnya universal, bukan intisari ajaran Buddha dan penulis lebih suka menyebutnya kearifan yang ditemukan dari beberapa pengalaman. Pembaca akan terkagum-kagum saat membaca karena penulis punya cara sendiri bagaimana mendekati persoalan dengan cara yang sederhana, namun sangat menyentuh.
Gaya bahasa sangat erat hubungannya dengan mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah. Tujuan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia secara umum salah satunya yaitu siswa mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa. Tujuan pembelajaran ini dikatakan berhasil apabila siswa mampu melakukan hal-hal yang tercantum dalam tujuan pembelajaran tersebut. Pengalaman peneliti saat menjadi siswa di SMA, pengetahuan siswa tentang gaya bahasa tergolong kurang dan minat belajar mereka rendah.
kondisi setempat), unsur-unsur cerpen (penokohan, konflik, latar, sudut pandang, alur dan gaya bahasa). Dalam penelitian ini, peneliti hanya memusatkan pada salah satu unsur intrinsik saja, yaitu gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna.
Pembelajaran bahasa dan Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan pesertadidik agar dapat berkomunikasi bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun secara tulisan, serta dapat menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya kesastraan bangsa Indonesia (Depdiknas, 2006: 15).
Guru diharapkan mampu membedakan bahasa yang dipakai untuk mengungkapkan hal-hal, situasi, atau hubungan yang nyata dan bahasa yang digunakan untuk merangsang
pembayangan.Lebih penting lagi, guru harus menyadari bahwa kata-kata yang digunakan dalam suatu karangan tidak selalu dapat mewakili seluruh ide yang ingin disampaikan oleh si
pengarang. Agar lebih berhasil pengajaran sastra hendaknya disertai pembinaan minat serta kesenangan terhadap karya sastra tersebut dengan maksimal. Dengan demikian guru harus diharapkan mampu mengembangkan keleluasaan siswa memandang karya sastra yang disajikan.
Penelitian yang berkaitan dengan gaya bahasa sebelumnya sudah pernah dilakukan oleh Asep Perdiansyah (2007, mahasiswa progam studi Bahasa dan Sastra Indonesia) dengan judul “Gaya bahasa dalam novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata dan kelayakannya sebagai bahan ajar sastra Indonesia di SMA”.
pengetahuan luas, cara penyampaian yang mudah dicerna, serata lelucon yang menawan.
Otobiografi ini mampu menyadarkan dan membuka pintu hati kita bahwa setiap manusia berhak menikmati hidup dengan penuh kebahagaian dan kedamaian, bebas dari ketakutan dan
kecemasan. Buku ini juga sangat menghibur bagi pembaca, membuat pembaca seolah-olah masuk dan ikut terjun ke dalam cerita, terbukti dari penghargaan yaitu Best Seller yang terbit dalam 20 bahasa.
Karya sastra yang tergolong dalam karya sastra nonfiksi Otobiografi ini banyak menceritakan kisah-kisah universal tentang kehidupan kita sehari-hari. Dimulai dengan cerita mengenai dua bata jelek dan diakhiri dengan cerita mengenai cacing, dengan sedikit lelucon disana-sini. Selama hampir 30 tahun sebagai Bikshu, Ajahn lahir dan dididik di Barat, namun terlatih dalam tradisi hutan Thai. Ajahn Brahm telah menghimpun berbagai kisah yang menyentuh,
menggelikan, dan bermakna mendalam.
siswa.Dengan termotivasinya siswa mempelajari gaya bahasa ada harapan bagi guru untuk mencapai tujuan pembelajaran yang tercantum dalam kurikulum.
Berdasarkan hal yang telah diuraikan di atas, peneliti merasa penting untuk menganalisis tentang gaya bahasa dalam Otobiografi Ajahn Brahm dan kelayakannya sebagai bahan ajar sastra Indonesia di SMA. Hal ini dapat dilihat dari gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna yang meliputi gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut. “Apa sajakah gaya bahasa retoris dan kiasan yang terdapat dalam Otobiografi Ajahn Brahm yang berjudul Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya dan kelayakannya sebagai bahan ajar Sastra Indonesia di Sekolah Menengah Atas (SMA)?”
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan gaya bahasa retoris dan kiasan yang terdapat di dalam Otobiografi Ajahn Brahm yang berjudul Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya dan kelayakannya sebagai bahan ajar Sastra Indonesia di Sekolah Menengah Atas (SMA).
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat secara teoris dan praktis bagi penulis, siswa, guru bahasa Indonesia, dan penelitian lain. Adapun manfaat tersebut sebagai berikut.
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara akademis, yaitu dapat menambahkan referensi penelitian di bidang kesastraan khususnya gaya bahasa. b. Penelitian ini dapat memberikan sumbangan bagi para peneliti selanjutnya dalam
mengembangkan teori gaya bahasa, khususnya gaya bahasa langsung tidaknya makna yang meliputi gaya bahasa retoris dan kiasan.
c. Penelitian ini dapat menjadi contoh untuk peneliti selanjutnya yang akan meneliti otobiografi Ajahn Brahm yang berjudul Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya yang ingin meneliti gaya bahasa selain gaya bahasa retoris dan kiasan.
1.4.2 Manfaat Praktis
a. Memberikan pengetahuan kepada guru bahwa penelitian inibisa dipakai sebagai salah satu bahan acuan untuk memberikan bahan ajar kepada siswa atau calon guru, khususnya tentang gaya bahasa.
b. Menginformasikan kepada guru tentang macam-macam gaya bahasa retoris dan kiasan yang terdapat dalam Otobiografi Ajahn Brahm yang berjudul Si Cacing dan Kotoran
Kesayangannya sebagai bahan ajar bahasa dan sastra Indonesia.
c. Membantu guru bidang studi bahasa Indonesia untuk mencari alternatif bahan pembelajaran gaya bahasa di SMA.
d. Memberikan pengetahuan kepada peneliti mengenai deskripsi gaya bahasa dalam Otobiografi Ajahn Brahmsebagai bahan ajar Sastra Indonesia.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
dan Komitmen”, “Rasa Takut dan Rasa Sakit”, “Kemarahan dan Kemanfaatan”, “Menciptakan Kebahagiaan”, “Masalah Kritis dan Pemecahannya”, “Kebijaksanaan dan Keheningan Batin”, “Pikiran dan Realita”, “Nilai-nilai dan Kehidupan Spriritual”, “Kebebasan dan Kerendahan Hati”, “Penderitaan dan Pelepasan” serta gaya bahasa yang terdapat dalam Otobiografi Ajahn Brahm yang berjudul Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya, untuk mendeskripsikan gaya bahasa yang terdapat dalam Otobiografi tersebut, dalam penelitian ini peneliti berpedoman pendapat Gorys Keraf yaitu.
(1) Gaya bahasa berdasarkan pilihan kata; (2) Gaya bahasa berdasarkan nada;
(3) Gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat;
(4) Gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna.
Berdasarkan hal yang telah diuraikan di atas, peneliti merasa penting untuk menganalisis tentang gaya bahasa dalam Otobiografi Ajahn Brahm yang berjudul Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya, hal ini dapat dilihat dari gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna yang meliputiyang meliputi (Keraf, 2002) ;
1. gaya bahasa retoris yang terdiri atas aliterasi, asonansi, anastrof (inversi), apofasis (preterisio), apostrof, asidenton, polisindenton, kiasmus, elipsis, eufimismus, litotes, histeron proteron, pleonasme, tautologi, perifrasis, prolepsis atau antisipasi, erotesis atau pertanyaan retoris, silepsis, zeugma, koreksio atau epanortosis, hiperbola, paradok, oksimoron;
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Karya Sastra Fiksi dan Nonfiksi
Karya sastra terbagi menjadi dua yaitu, karya sastra fiksi dan karya sastra nonfiksi. Karya sastra
fiksi yaitu cerita rekaan atau cerita khayalan. Hal ini disebabkan fiksi merupakan karya naratif
yang isinya tidak menyarankan pada kebenaran sejarah (Nurgiantoro, 2010: 2). Karya sastra fiksi
menyaran pada suatu karya yang menceritakan sesuatu yang tidak ada dan tidak terjadi
sungguh-sungguh sehingga tidak perlu mencari kebenarannya di dunia nyata.
Sebagai karya imajiner, fiksi menawarkan berbagai permasalahan manusia dan kemanusiaan,
hidup dan kehidupan. Pengarang menghayati berbagai permasalahan tersebut dengan penuh
kesungguhan yang kemudian diungkapkannya kembali melalui sarana fiksi sesuai dengan
pandangannya. Oleh karena itu, fiksi dalam buku Teori Pengajian Fiksi ( Nurgiantoro, 2010: 2),
dapat diartikan sebagai prosa naratif yang bersifat imajinatif, namun biasanya masuk akal dan
mengandung kebenaran yang mendramatisasikan hubungan-hubungan antarmanusia. Pengarang
mengemukakan hal ini berdasarkan pengalaman dan pengamatannya terhadap kehidupan.
Namun, hal itu dilakukan secara selektif dan dibentuk sesuai dengan tujuannya yang sekaligus
memasukan unsur hiburan dan penerangan terhadap pengalaman kehidupan manusia. Oleh
karena itu, fiksi merupakan sebuah cerita, karenanya terkandung juga dalamnya tujuan
memberikan hiburan. Membaca sebuah karangan fiktif berarti menikmati cerita, meghibur diri
adalah karya sastra yang ditulis berdasarkan kajian keilmuan dan atau pengalaman. Pada
umumnya, buku nonfiksi merupakan penyempurnaan buku yang telah ada. Berdasarkan isinya,
buku nonfiksi dapat dibedakan menjadi lima, yaitu buku biografi, Otobiografi, buku
pendamping, buku literatur, dan buku motivasi.
2.2 Otobiografi
Buku biografiadalah buku yang berisi riwayat hidup seseorang. Buku itu ditulis untuk
mendokumentasikan peristiwa penting yang dialami seseorang. Tentu buku biografi ditulis agar
dapat menginspirasi pembacanya. Karena itu, buku biografi ditulis berdasarkan kelebihan atau
keunggulan tokohnya. Buku Otobiografi adalah biografi yang ditulis oleh seorang tokoh tentang
perjalanan kehidupanan pribadi yang dialaminya. Umumnya ditulis dimulai dari masa kecil
sampai waktu yang ditentukan oleh penulis itu sendiri. Penulis Otobiografi umumnya
mengandalkan pada berbagai dokumen dan didasarkan pada memori sang penulis karena riwayat
hidup yang dibukukan dianggap sebagai suatu karya sastra yang menarik untuk dikaji lebih
dalam. Otobiografi dan tulisan semacamnya perlu diperhatikan dan dinikmati karena di
dalamnya terdapat sebuah kisah kehidupan yang nyata.
2.3 Gaya Bahasa
Gaya atau khususnya gaya bahasa dikenal dalam retorika dengan istilah style. Kata style
diturunkan dari kata Latin stilus, yaitu semacam alat untuk menulis pada lempengan lilin.
Kelak pada waktu penekanan di titik beratkan pada keahlian untuk menulis indah, maka style
berubah menjadi kemampuan dan keahlian untuk menulis atau mempergunakan kata-kata secara
indah (Keraf, 2002:112).
Gaya bahasa adalah bahasa indah yang dipergunakan untuk meningkatkan efek dengan jalan
memperkenalkan serta memperbandingkan suatu benda atau hal tertentu dengan benda atau hal
lain yang lebih umum. Penggunaan gaya bahasa tertentu dapat mengubah serta menimbulkan
konotasi tertentu (Keraf, 1971:220).
Gaya bahasa adalah cara mempergunakan bahasa secara imajinatif, bukan dalam pengertian yang
benar-benar secara kalamiah saja. Gaya bahasa ialah pemakaian ragam bahasa dalam mewakili
atau melukiskan sesuatu dengan pemilihan dan penyusunan kata dalam kalimat untuk
memperoleh efek tertentu (Zainuddin, 1991:51).
Gaya bahasa dan kosakata memunyai hubungan erat, hubungan timbal balik. Kian kaya kosakata
seseorang, kian beragam pulalah gaya bahasa yang dipakainya. Peningkatan pemakaian gaya
bahasa jelas turut memperkaya kosakata pemakainya. Itulah sebabnya maka dalam pengajaran
gaya bahasa merupakan suatu teknik penting untuk mengembangkan kosakata para siswa
(Tarigan, 1985:5).
Pendapat lain mengatakan pemajasan merupakan teknik pengungkapan
bahasa,penggayabahasaan, yang maknanya tidak menunjuk pada makna harfiah kata-kata
mendukungnya, melainkan pada makna yang ditambahkan, makna yang tersirat (Nurgiantoro,
2000:296).
Berdasarkan beberapa pendapat yang telah peneliti uraikan, dapat dikatakan secara garis besar
dilakukan oleh pengarang untuk menimbulkan efek tertentu atau menimbulkan konotasi tertentu.
Sebuah pendapat menyebutkan bahwa gaya bahasa memiliki cirri-ciri sebagai berikut.
1. Ada perbedaan dengan sesuatu yang diungkapkan misalnya melebihkan, mengiaskan,
melambangkan, mengecilkan atau menyindir.
2. Kalimat yang disusun dengan kata-kata yang menarik dan indah.
3. Pada umumnya mempunyai makna kias (Zainudin, 1992:52).
Secara singkat dapat dikatakan bahwa gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui
bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (Keraf, 1985:113).Dari
beberapa pendapat di atas, peneliti memilih teori yang diungkapkan oleh Gorys Keraf (1985:113)
karena jelas dan mudah dimengerti yang mengartikan gaya bahasa sebagai cara mengungkapkan
pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai
bahasa).
2.4Ragam Gaya Bahasa
Pembagian atau penggolongan gaya bahasa sampai saat ini belum memiliki kesamaan persis dari
beberapa ahli seperti pembagian gaya bahasa berikut.
1) Gaya bahasa terdiri atas tiga macam (Zainudin,1991),yaitu:
a. gaya bahasa perbandingan;
b. gaya bahasa sindiran;
2) Dilihat dari sudut bahasa atau unsur-unsur bahasa yang digunakan, maka gaya bahasa
berdasarkan titik tolok unsur bahasa yang dipergunakan (Keraf,2002), yaitu:
a. gaya bahasa berdasarkan pilihan kata;
b. gaya bahasa berdasarkan nada yang terkandung dalam wacana;
c. gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat;
d. gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna.
Dengan pertimbangan bahwa pembagian gaya bahasa dalam buku Gorys Keraf lebih luas dan
jelas, maka penulis lebih tertarik untuk mengacu pada teori dalam buku Gorys Keraf khususnya
mengenai gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna yang terkandung di dalamnya
untuk meneliti Otobiografi Ajahn Brahm yang berjudul Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya.
2.5Gaya Bahasa Berdasarkan Pilihan Kata
Dalam bahasa standar (bahasa baku) dapatlah dibedakan: gaya bahasa resmi (bukan bahasa
resmi), gaya bahasa tak resmi dan gaya bahasa percakapan.
1. Gaya Bahasa Resmi
Gaya bahasa resmi adalah gaya dalam bentuknya yang lengkap, gaya yang dipergunakan dalam
kesempatan-kesempatan resmi, gaya yang dipergunakan oleh mereka yang diharapkan
mempergunakannya dengan baik dan terpelihara. Sebab itu, gaya bahasa resmi pertama-tama
adalah bahasa dengan gaya tulisan dalam tingkat tertinggi, walaupun sering dipergunakan juga
dalam pidato-pidato umum yang bersifat seremonial.
Gaya bahasa tak resmi juga merupakan gaya bahasa yang dipergunakan dalam bahasa standar,
khususnya dalam kesempatan-kesempatan yang tidak formal atau kurang formal. Gaya ini
biasanya dipergunakan dalam karya-karya tulis, buku pegangan, artikel-artikel mingguan atau
bulanan yang baik, dalam perkuliahan, editorial, dan sebagainya.
3. Gaya Bahasa Percakapan
Dalam gaya bahasa ini, pilihan katanya adalah kata-kata popular dan kata-kata percakapan.
Namun di sini harus ditambahkan segi-segi morfologis dan sintaksis, yang secara bersama-sama
membentuk gaya bahasa percakapan ini.
2.6Gaya Bahasa Bedasarkan Nada
Gaya bahasa dilihat dari segi nada yang terkandung dalam sebuah wacana, dibagi atas: gaya
yang sederhana, gaya mulia dan bertenaga, serta gaya menengah.
1. Gaya sederhana
Gaya ini biasanya cocok untuk member intruksi, perintah, pelajaran, perkuliahan, dan
sejenisnya. Sebab itu untuk mempergunakan gaya ini secara efektif, penulis harus
memiliki kepandaian dan pengetahuan yang cukup.
2. Gaya Mulya dan Bertenaga
Gaya ini penuh dengan vitalitas dan biasanya dipergunakan untuk menggerakan sesuatu.
Menggerakan sesuatu tidak saja dengan mempergunakan tenaga pembicara, tetapi juga
dapat mempergunakan nada keagungan dan kemuliaan. Nada yang agung dan mulia akan
sanggup pula menggerakan emosi pendengar.
Gaya menengah adalah gaya yang diarahkan kepada usaha untuk menimbulkan suasana
senang dan damai, karena tujuannya adalah menciptakan suasana senang dan damai,
maka nadanya juga bersifat lemah-lembut, penuh kasih saying, dan mengandung humor
yang sehat.
2.7Gaya Bahasa Berdasarkan Struktur Kalimat
Gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat terdiri dari gaya bahasa klimaks, antiklimaks,
paralelisme, antithesis, dan repetisi. Repetisi terbagi lagi menjadi beberapa gaya yaitu epizeukis,
tautotes, anafora, epistrofa, simploke, mesodiplosis, epanalipsisi, dan anadiplosis.
1. Gaya Bahasa Paralelisme
Pararelisme merupakan suatu gaya yang berusaha mencapai kesejajaran dalam
pemakaian kata-kata yang menduduki fungsi pragmatikal yang sama dalam sebuah
kalimat atau klausa (Rani, 1996: 148). Contoh sebagai berikut.
a. Kedengarannya memang aneh, dia merasa kesepian di tengah kota metropolitan ini.
b. Negara kita ini Negara hukum, semua yang salah harus ditindak tegas tanpa harus pandang bulu.
2. Klimaks
Klimaks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung urutan-urutan pikiran yang
setiap kali semakin meningkat kepentingannya dari gagasan-gagasan sebelumnya.
Contoh sebagai berikut:
a. Dalam dunia perguruan tinggi yang dicengkram rasa takut dan rasa rendah diri, tidak dapat diharapkan pembaharuan, kebanggaan akan hasil-hasil pemikiran yang obyektif atau keberanian untuk mengungkapkan pendapat secara bebas. b. Kesengsaraan membuahkan kesabaran, kesabaran pengalaman, dan pengalaman
harapan.
Antiklimaks dihasilkan oleh kalimat yang berstruktur mengendur. Antiklimaks sebagai
gaya bahasa merupakan suatu acuan yang gagasan-gagasannya diurutkan dari yang
terpenting berturut-turut ke gagasan yang kurang penting. Antiklimaks sering kurang
efektif karena gagasan yang penting ditempatkan pada awal kalimat, sehingga pembaca
atau pendengar tidak lagi member perhatian pada bagian-bagian berikutnya dalam
kalimat itu.
Misalnya :
Ketua pengadilan negeri itu adalah seorang yang kaya, pendiam, dan tidak terkenal namanya (mengandung ironi).
4. Antitetis
Antitetis adalah sebuah gaya bahasa yang mengandung gagasan-gagasan yang
bertentangan, dengan memergunakan kata-kata atau kelompok kata yang berlawanan.
Misalnya :
Mereka sudah kehilangan banyak dari harta bendanya, tetapi mereka juga telah banyak memeroleh keuntungan daripadanya.
5. Repetisi
Repetisi adalah perulangan bunyi, suku kata, kata atau bagian kalimat yang dianggap
penting untuk member tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai.
2.8Gaya Bahasa Berdasarkan Langsung Tidaknya Makna
Berdasarkan langsung tidaknya makna yang terkandung dalam sebuah kata maupun kelompok
kata maka gaya bahasa dapat dibedakan atas dua bagian, yakni gaya langsung atau gaya bahasa
retoris dan gaya bahasa kiasan.
Gaya bahasa retoris terdiri dari aliterasi, asonansi, anastrof, apofasis atau preterisio, apostrof,
asindeton, polisondeton, kiasmus, ellipsis, eufemisme, litotes, hysteron, proteron, plenasme dan
tautology, periphrasis, prolepsis atau antisipasi, erotesis atau pertanyaan retoris, silepsis dan
zeugma, koreksio atau epanortosis, hiperbol, paradox, dan oksimoton.
1.1 Aliterasi
Aliterasi adalah semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan konsonan yang sama.
Biasanya dipergunakan dalam puisi, kadang-kadang dalam prosa, untuk perhiasan atau
penekanan.
Misalnya:
Keras-keras kerak kena air lembut juga. Takut titik lalu tumpah.
1.2 Asonasi
Asonansi adalah semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan bunyi vokal yang sama.
Biasanya digunaka dalam puisi, kadang-kadang juga dalam prosa untuk memperoleh efek
penekanan atau sekedar keindahan.
Misalnya :
Ini muka penuh luka siapa punya.
Kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu.
1.3Anasrof
Anasrof atau inferi adalah semacam gaya retoris yang diperoleh dengan pembalikan susunan kata
yang biasa dalam kalimat.
Pergilah ia meninggalkan kami, keheranan kami melihat pergainya. Bersorak-sorak orang di tepi jalan memukul bermacam-macam bunyi-bunyian melalui gerbang dihiasi bunga dan panji bekibar.
1.4Apofasis atau Preterisio
Apofasis disebut juga preteriso merupakan sebuah gaya di mana penulis atau pengarang
menegaskan sesuatu, tetapi tampaknya menyangkal. Berpura-pura membiarkan sesuatu berlalu,
tetapi sebenarnya ia menekankan hal itu. Berpura-pura melindungi atau menyembunyikan
sesuatu, tetapi sebenarnya memamerkannya.
Misalnya :
Jika saya tidak menyadari reputasimu dalam kejujuran, maka sebenarnya saya ingin mengatakan bahwa Anda pasti membiarkan Anda menipu diri sendiri.
Saya tidak mau mengungkapkan dalam forum ini bahwa Saudara telah menggelapkan ratusan juta rupiah uang negara.
1.5Apostrof
Apostrof adalah semacam gaya yang berbentuk pengalihan amanat dari para hadirin kepada
sesuatu yang tidak hadir. Cara ini biasanya dipergunakan oleh orator klasik. Dalam pidato yang
disampaikan kepada suatu massa, sang orator secara tiba-tiba mengarahkan pembicaraannya
langsung kepada sesuatu yang tidak hadir kepada mereka yang sudah meninggal, atau kepada
barang atau obyek khayalan atau sesuatu yang abstrak, sehingga tampaknya ia tidak berbicara
kepada hadirin.
Misalnya :
Hai kamu dewa-dewa yang ada di surga, datanglah dan bebaskalah kami dari belenggu perinduan ini.
1.6Asindeton
Asindeton adalah suatu gaya yang berupa acuan, yang bersifat padat dan mampat di mana
beberapa kata, frasa, atau klausa yang sederajat tidak dihubungkan dengan kata sambung.
Bentuk-bentuk itu biasanya dipisahkan saja dengan koma, seperti ucapan terkenal dari Julius
Caesar: Veni, Vidi, Vivi, “saya dating, saya lihat, saya menang”. Perhatikan contoh berikut:
Misalnya :
Materi pengalaman diaduk-aduk, modus eksistensi dari cugito ergo sum dicoba, medium bahasa dieksploitir, imaji-imaji, metode, prosedur dijungkir balik, masih itu-itu juga.Dan kesesakan, kepedihan, kesakitan, seribu derita detik- detik penghabisan orang melepaskan nyawa.
1.7Polisindeton
Polisindeton adalah suatu gaya yang merupakan kebalikan dari asindeton. Beberapa kata, frasa,
atau klausa yang berurutan dihubungkan satu sama lain dengan kata-kata sambung.
Misalnya :
Dan ke manakah burung-burung yang gelisah dan tak berumah dan tak menyerah pada gelap dan dingin yang bakal merontokkan bulu-bulunya?
1.8Kiasmus
Kiasmus adalah semacam acuan atau gaya bahasa yang terdiri dari dua bagian, baik frasa atau
klausa, yang sifatnya berimbang, dan dipertentangkan satu sama lain, tetapi susunan frasa atau
klausanya itu terbalik bila dibandingkan dengan frasa atau klausanya.
Misalnya :
Semua kesabaran kami sudah hilang, lenyap sudah ketekunan kami untuk melanjutkan usaha itu.
Elipsis adalah suatu gaya berwujud menghilangkan suatu unsur kalimat yang dengan mudah
dapat diisi atau ditafsirkan sendiri oleh pembaca atau pendengar, sehingga struktur gramatikal
atau kalimatnya memenuhi pola yang berlaku.
Misalnya :
Masihkah kau tidak percaya bahwa dari segi fisik engkau tak apa-apa, badanmu sehat; tetapi psikis …
Bila bagian yang dihilangkan itu berada di tengah-tengah kalimat disebut anakalulon, misalnya:
Jika Anda gagal melaksanakan tugasmu … tetapi baiklah kita tidak membicarakan hal itu.
Bila pemutusan ditengah-tengah kalimat itu dimaksudkan untuk menyatakan secara tak langsung
suatu peringatan atau karena suatu emosi yang kuat, maka disebut aposiopesis.
1.10Eufemismus
Kata eufemisme atau eufemismus diturunkan dari kata Yunani euphemizein yang berarti
“mempergunakan kata-kata dengan arti yang baik atau dengan tujuan yang baik”. Sebagai gaya
bahasa, eufemisme adalah semacam acuan berupa ungkapan-ungkapan yang tidak menyinggung
perasaan orang, atau ungkapan-ungkapan yang halus untuk menggantikan acuan-acuan yang
mungkin dirasakan menghina, menyinggung perasaan atau mensugestikan sesuatu yang tidak
menyenangka.
Misalnya :
Ayahnya sudah tak ada di tengah-tengah mereka (= mati). Pikiran sehanya semakin merosot saja akhir-akhir ini (= gila).
1.11Litotes
Litotes adalah gaya bahasa yang dipakai untuk menyatakan sesuatu dengan tujuan merendahkan
diri. Sesuatu hal dinyatakan kurang dari keadaan sebenarnya atau suatu pikiran dinyatakan
Misalnya :
Kedudukan saya ini tidak ada artinya sama sekali. Saya tidak akan merasa bahagia bila mendapat warisan satu milyar rupiah.
1.12Histeron Proteron
Histeron proteron adalah semacam gaya bahasa yang merupakan kebaikan dari sesuatu yang
logis atau kebalikan dari sesuatu yang wajar, misalnya menempatkan sesuatu yang terjadi
kemudian pada awal peristiwa juga disebut hiperbaton.
Misalnya :
Saudara-saudara, sudah lama terbukti bahwa Anda
sekalian tidak lebih baik sedikit pun dari pada pesuruh, hal itu tampak dari anggapan yang berkembang akhir-akhir ini. Jendela ini telah member sebuah kamar kepadamu untuk dapat berteduh dengan tenang. Kereta melaju dengan cepat di depan kuda yang menariknya.
1.13Pleonasme dan Tutoligi
Pada dasarnya pleonasme dan tutoligi adalah acuan yang mempergunakan kata-kata lebih banyak
daripada yang diperlakukan untuk menyatakan satu pikiran atau gagasan. Walaupun secara
praktis kedua istilah itu disamakan saja, namun ada yang ingin membedakan keduanya. Suatu
acuan disebut pleonasme bila kata yang berlebiha itu dihilangkan, artinya tetap utuh. Sebaliknya,
acuan itu disebut tautology kalau kata yang berlebihan itu sebenarnya mengandung perulangan
dari sebuah kata yang lain.
Misalnya :
Ungkapan di atas adalah pleonasme karena semua acuan itu tetap utuh dengan makna yang sama,
walaupun dihilangkan kata-kata dengan telinga saya, dengan mata kepala saya, dan yang merah
itu.
Ia tiba jam 20.00 malam waktu setempat. Glabe itu bundar bentuknya.
Acuan di atas disebut tautology karena kata berlebihan itu sebenarnya mengulang kembali
gagasan yang sudah disebut sebalumnya, yaitu malam sudah tercangkup dalam jam 20.00, dan
Bandar sudah tercakup dalam globe.
1.14 Periphrasis
Sebenarnya periphrasis adalah gaya yang mirip dengan pleonasme yaitu mempergunakan kata
lebih banyak dari yang diperlukan. Perbedaannya terletak dalam hal bahwa kata-kata yang
berkelebihan itu sebenarnya dapat diganti dengan satu kata saja.
Misalnya :
Ia telah beristirahat dengan damai (= mati, atau meninggal) Jawaban bagi permintaan Saudara adalah tidak (= ditolak)
1.15Prolepsis atau Antisipasi
Prolepsis atau antisipasi adalah semacam gaya bahasa di mana orang mempergunakan lebih
dahulu kata-kata atau sebuah kata sebalum peristiwa atau gagasan yang sebenarnya terjadi.
Misalnya dalam mendeskripsikan peristiwa kecelakaan dengan pesawat terbang, sebelum sampai
kepada peristiwa kecelakaan itu sendiri, penulis sudah mempergunakan kata pesawat yang sial
itu. Padahal kesialan baru terjadi kemudian.
Misalnya :
mengenal orang itu.Kedua orang itu bersama calon pembunuhnya segera meninggalkan tempat itu.
1.16 Erotesis atau Pertanyaan Retoris
Erotesis adalah semacam pertanyaan yang dipergunakan dalam pidato atau tulisan dengan tujuan
untuk mencapai efek yang lebih mendalam dan penekanan yang wajar, dan sama sekali tidak
menghendaki adanya suatu jawaban.
Misalnya :
Terlalu banyak komisi dan perantara yang masing-masing menghendaki pula imbalan jasa. Herankah Saudara kalau harga itu terlalu tinggi?
Apakah saya menjadi wali kakak saya?
Rakyatkah yang harus menanggung akibat semua korupsi dan manipulasi di Negara ini?
1.17Silepsis dan Zeugma
Silepsis dan zeugma adalah gaya di mana orang mempergunakan dua kontruksi rapatan dengan
menghubungkan sebuah kata dengan dua kata lain yang sebenarnya hanya salah satunya
mempunyai hubungan dengan kata pertama. Dalam silepsis, kontruksi yang dipergunakan itu
secara gramatikal benar, tetapi secara semantic tidak benar.
Misalnya :
Ia sudah kehilangan topi dan semangatnya.
1.18Koreksio atau Epanortosis
Koreksio atau epanortosis adalah suatu gaya yang berwujud, mula-mula menegaska sesuatu,
tetapi kemudian memperbaikinya.
Misalnya :
Sudah emapat kali saya mengunjungi daerah itu, ah bukan, sudah lima kali.
Hiperbol adalah semacam gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan,
dengan membesar-besarkan sesuatu hal.
Misalnya :
Kemarahanku sudah menjadi-jadi hingga hamper-hampir meledak aku.
1.20Paradoks
Paradoks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan
fakta-fakta yang ada. Paradoks dapat juga berarti semua hal yang menarik perhatian karena
kebenarannya.
Misalnya :
Musuh sering merupakaan kawan yang akrab.
Ia mati kelaparan di tengah-tengan kekayaannya yang berlimpah-limpah.
1.21Oksimoron
Oksimoron adalah suatu acuan yang berusaha untuk menggabungkan kata-kata untuk mencapai
efek yang bertentangan.
Misalnya :
Keramah-tamahan yang bengis
Untuk menjadi manis seseorang harus menjadi kasar.
1.22Onomatope
Onomatope adalah kata atau sekelompok kata yang menirukan bunyi-bunyi dari sumber yang
nama atau menamai sebagaimana bunyinya. Bunyi-bunyi ini mecakup antara lain suara hewan,
suara-suara lain, tetapi juga suara-suara manusia yang bukan merupakan kata, seperti suara orang
tertawa.
Misalnya:
a. Suara hewan: menggonggong, mendesis, mengeong dsb.
b. Suara lain: tercebur c. Suara manusia: ha-ha-ha
2. Gaya Bahasa Kiasan
Gaya biasa kiasan dibentuk berdasarkan perbandingan atau persamaan. Gaya bahasa kiasan
terdiri dari persamaan atau simile, metafora, alegori, parabel dan fabel, personifikasi, alusi,
eponym, epitet, sinekdoke, metonomia, antonomasia, hipalase, ironi, sinisme, sarkasme, satire,
innuendo, antifrasis, dan pun atau paronomasia.
2.1 Persamaan atau Simile
Persamaan atau simile adalah perbandingan yang bersifat eksplisit. Perbandingan itu secara
eksplisit dijelaskan dengan pemakaian kata seperti, ibarat, bak, sebagai, umpama, laksana, dan
serupa.
Misalnya:
(a). Kulit gadis itu lembut seperti kain sutra. (b). Hidupnya kacau ibarat benang yang kusut.
Kalimat (a) mencoba menyamakan kulit seorang gadis dengan kain sutra, pada kalimat (b)
ibarat dimaksudkan untuk membuat kesan yang sama, meskipun sebenarnya kedua hal yang
dibandingkan tersebut berbeda.
2.2 Alusi
Alusi adalah semacam acuan yang berusaha mensugestikan kesamaan antara orang, tempat, atau
peristiwa.
Misalnya :
Bandung adalah Paris Jawa.
Ada tiga hal yang harus diperhatikan untuk membentuk sebuah alusi yang baik, yaitu :
a. harus ada keyakinan bahwa hal yang dijadikan alusi dikenal juga oleh pembaca;
b. penulis harus yakin bahwa alusi itu membuat tulisannya menjadi lebih jelas;
c. bila alusi itu menggunakan acuan yang sudah umum, maka usahakan untuk
menghindari acuan semacam itu.
2.3Metafora
Metafora adalah suatu majas berbentuk perbandingan atau analogi, dengan cara membandingkan
dua hal secara langsung, tapi dengan cara yang singkat (Rani, 1996 :147). Pendapat lain
mengatakan bahwa metafora adalah pemakaian kata-kata bukan arti yang persamaan atau
perbandingan (Poerwadarminta dalam Tarigan, 1989:15). Metafora sebagai perbandingan
langsung tidak menggunakan kata-kata seperti, bak, laksana, dan sebagainya.
Contoh sebagai berikut.
(a). Siti adalah bunga desa.
Kalimat (a) dan (b) menyamakan secara langsung antara Siti dan Rinto dengan bunga desa dan
panjang tangan. Perbandingan tersebut langsung dilakukan tanpa menggunakan kata
perbandingan seperti, umpama, bak, dan sebagainya.
2.4Personifikasi
Personifikasi merupakan suatu gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau
barang yang tidak bernyawa seolah-olah hidup seperti manusia (Rani, 1996: 149).
Contoh sebagai berikut.
(a) Matahari tersenyum menyinari pagi ini.
(b) Pohon-pohon ikut gembira mendengar nyanyian wanita itu.
Contoh kalimat (a) dan (b) melekatkan sifat-sifat insani pada matahari dan pohon. Perbuatan
tersenyum dan gembira hanya dapat dilakukan oleh mahkluk bernyawa bukan benda mati.
2.5Alegori, Parabel, dan Fabel
Alegori adalah suatu cerita singkat yang mengandung kiasan. Makna kiasan ini harun ditarik dari
bawah permukaan ceritanya. Dalam alegori nama-nama pelakunhya adalah sifat-sifat yang
abstrak, serta tujuannya selalu jelas tersurat.
Parabel atau parabola adalah suatu kisah singkat yang tokoh-tokoh biasanya manusia, yang
selalu mengandung tema moral. Istilah parable dipakai untuk menyebut cerita-cerita fiktif dalam
kitab suci yang bersifat alegoris, untuk menyampaikan suatu kebenaran moral atau kebenaran
spriritual.
Fabel adalah suatu metafora berbentuk cerita mengenai dunia binatang, di mana
2.6 Eponim
Eponim adalah gaya di mana seseorang yang namanya begitu sering dihubungkan dengan
sifat-sifat tertentu, sehingga nama itu dipakai untuk menyatakan sifat-sifat itu.
Misalnya :
Hercules dipakai untuk menyatakan kekuatan.
2.7Epitet
Epitet adalah semacam acuan yang menyatakan suatu sifat atau cirri yang khusus dari seseorang
atau sesuatu hal.
Misalnya :
Lonceng pagi untuk ayam jantan. Putri malam untuk bulan.
2.8Sinekdoke
Sinekdoke adalah semacam bahasa figurative yang mempergunakan sebagian dari sesuatu hal
untuk menyatakan keseluruhan atau mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian.
Misalnya :
Setiap kepala dikenakan sumbangan sebesar Rp.1000, 00.
2.9Metonimia
Metonimia adalah suatu gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu
hal lain, karena mempunyai pertalian yang sangat dekat.
Misalnya :
2.10 Antonomasia
Antonomasia juga merupakan sebuah bentuk khusus dari sinekdoke yang berwujud penggunaan
sebuah epitet untuk menggantikan nama diri, atau gelar resmi, atau jabatan untuk menggantikan
nama diri.
Misalnya :
Yang Mulia tak dapat menghadiri pertemuan ini. Pangeran yang meresmikan pembukaan seminar itu.
2.11 Hipalase
Hipalase adalah semacam gaya bahasa di mana sebuah kata tertentu dipergunakan untuk
menerangkan sebuah kata, yang seharusnya dikenakan pada sebuah kata lain.
Misalnya :
Ia berbaring di atas sebuah bantal yang gelisah (yang gelisah adalah manusianya, bukan bantalnya ).
2.12 Ironi, Sinisme, dan Sarkasme
Ironi atau sindiran adalah suatu acuan yang ingin mengatakan sesuatu dengan makna atau
maksud berlainan dari apa terkandung dalam rangkaian kata-katanya. Entah dengan sengaja atau
tidak, rangkaian kata-kata yang dipergunakan itu mengingkari maksud yang sebenarnya.
Misalnya :
Saya tahu Anda adalah seorang gadis yang paling cantik di dunia ini yang perlu mendapatkan tempat terhormat.
Sinisme yaitu suatu sindiran yang berbentuk kesangsian yang mengandung ejekan terhadap
keikhlasan dan ketulusan hati.
Misalnya :
Sarkasme merupakan satuan acuan yang lebih kasar dari ironi dan sinisme. Ia adalah suatu acuan
yang mengandung kepahitan dan celaan.
Misalnya :
Lihat sang Raksasa itu (maksudnya si Cebol)
2.13 Satire
Satire adalah ungkapan yang menertawakan atau menolak sesuatu. Bentuk ini tidak perlu harus
bersifat ironis. Satire mengandung kritik tentang kelemahan manusia.
2.14 Innuendo
Innuendo adalah semacam sindiran dengan mengecilkan kenyataan yang sebenarnya. Ia
menyatakan kritik dengan sugesti yang tidak langsung, dan sering tampaknya tidak menyakitkan
hati kalau dilihat sambil lalu.
Misalnya :
Setiap kali ada pesta, pasti ia akan sedikit mabuk karena terlalu kebanyakan minum.
2.15 Antifrasis
Antifrasis adalah semacam ironi yang berwujud penggunaan sebuah kata dengan makna
kebalikannya, yang bisa saja dianggap sebagai ironi sendiri, atau kata-kata yang dipakai untuk
menangkal kejahatan, roh jahat, dan sebagainya.
Misalnya :
2.16 Pun atau Paronomasia
Pun atau paronomasia adalah kiasan dengan mempergunakan kemiripan bunyi. Ia merupakan
permainan kata yang didasarkan pada kemiripan bunyi, tetapi terdapat perbedaan besar dalam
maknanya.
Misalnya :
Tanggal dua gigi saya tanggal dua.
2.9Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah Menengah Atas
Fungsi bahasa yang utama adalah sebagai alat untuk berkomunikasi, pembelajaran bahasa
Indonesia diarahkan agar siswa terampil berkomunikasi. Keterampilan ini diperkaya oleh fungsi
utama sastra untuk penghalusan budi, peningkatan rasa kemanusiaan dan kepedulian social,
menumbuhkan apresiasi budaya dan penyaluran gagasan, imajinasi dan ekspresi secara kreatif
dan konstruktif, baik secara lisan maupun tertulis. Pengajaran sastra ditunjukan untuk
meningkatkan kemampuan siswa untuk menikmati, menghayati dan memahami karya sastra
(Depdiknas, 2003:5).
Berdasarkan mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA, Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) terdiri atas dua aspek, yaitu kemampuan berbahasa dan sastra. Kedua aspek
tersebut masing-masing terdiri atas subaspek mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis.
Pada program pembelajaran untuk kelas XII semester ganjil, standar kemampuan bersastra pada
siswa adalah menulis cerpen berdasarkan kehidupan orang lain (pelaku, peristiwa, latar).
Berdasarkan silabus kurikulum 2006 sebagai berikut.
Nama Sekolah : SMA / MA
Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia
Semester : 1
Standar Kompetensi : Menulis
8. Mengungkapkan pendapat, informasi, dan pengalaman
dalam bentuk resensi cerpen
Kompetensi Dasar :8.2 Menulis cerpen berdasarkan kehidupan orang lain (pelaku, peristiwa,
latar)
Materi pembelajaran : -Topic tentang kehidupan orang lain (berdasarkan situasi
dan kondisi setempat)
- unsur-unsur cerpen (penokohan, konflik, latar, sudut pandang, alur dan
gaya bahasa)
Indikator : - mencatat/mendaftar topik-topik tentang kehidupan orang
lain (berdasarkan situasi dan kondisi setempat)
- menulis cerpen tentang kehidupan orang lain dengan
memperhatikan unsur-unsur cerpen
- menanggapi cerpen yang ditulis teman
Dengan menentukan bahan pembelajaran sastra yang sesuai dengan KTSP yang berlaku saat ini,
diharapkan siswa dapat menumbuhkan apresiasi terhadap karya sastra khususnya. Pembelajaran
bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan pesertadidik agar dapat
berkomunikasi bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun secara tulisan,
serta dapat menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya kesastraan bangsa Indonesia
(Depdiknas,2006:15).
Kotoran Kesayangannya sebagai Bahan Ajar Sastra Indonesia di SMA
Tujuan pembelajaran dapat berhasil dengan baik apabila ditunjang penggunaan media dan bahan
ajar yang memadai yang dapat memenuhi kebutuhan atau mencapai tujuan yang diinginkan.
Karya sastra nonfiksi juga merupakan salah satu bahan ajar yang bisa digunakan untuk
pembelajaran.Namun, tidak karya sastra nonfiksi dapat dijadikan bahan ajar di sekolah. Salah
satu karya sastra nonfiksi yang bisa digunakan yaitu Otobiografi. Ada 3 aspek yang perlu
dipertimbangkan dalam pemilihan bahan pengajaran sastra yaitu sebagai berikut.
1. Aspek Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
Kriteria pokok pemilihan bahan ajar atau materi pembelajaran adalah standar kompetensi dan
kompetensi dasar. Hal ini berarti bahwa materi pembelajaran yang dipilih untuk diajarkan pada
siswa hendaknya berisi materi atau bahan ajar yang benar-benar menunjang tercapainya standar
kompetensi dan kompetensi dasar. Dengan kata lain, pemilihan bahan ajar haruslah mengacu
atau merujuk pada standar kompetensi (Depdiknas, 2007:195).
Berdasarkan silabus kurikulum 2006 sebagai berikut. Berdasarkan mata pelajaran Bahasa dan
Sastra Indonesia di SMA, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) terdiri atas dua aspek,
yaitu kemampuan berbahasa dan sastra. Kedua aspek tersebut masing-masing terdiri atas
subaspek mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Pada program pembelajaran untuk
kelas XII semester ganjil, standar kemampuan bersastra pada siswa adalah menulis cerpen
berdasarkan kehidupan orang lain (pelaku, peristiwa, latar). Adapun standar kompetensinya yaitu
menulis, yaitu mengungkapkan pendapat, informasi, dan pengalaman dalam bentuk resensi
cerpen. Kompetensi dasar yaitu menulis cerpen berdasarkan kehidupan orang lain (pelaku,
situasi dan kondisi setempat), unsur-unsur cerpen (penokohan, konflik, latar, sudut pandang, alur
dan gaya bahasa).
2. Aspek Pedagogik
Seorang guru dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik di sekolah perlu memiliki
seperangkat ilmu tentang bagaimana ia harus mendidik anak. Guru bukan hanya sekedar terampil
dalam menyampaikan bahan ajar, karena itu ia juga harus mampu mengembangkan pribadi anak,
mengembangkan watak anak, dan mengembangkan serta mempertajam hati nurani anak.
Pedagogik merupakan ilmu yang mengkaji bagaimana membimbing anak, bagaimana sebaiknya
pendidik berhadapan dengan anak didik, apa tugas pendidik dalam mendidik anak dan yang
menjadi tujuan untuk mendidik anak.
Tujuan khusus pembelajaran sastra di antaranya menuntut anak didik untuk dapat memahami dan
menangkap makna suatu karya sastra yang diajarkan. Untuk mencapai tujuan pengajaran sastra
tersebut, pemilihan bahan pembelajaran sastra mutlak dibutuhkan. Aspek-aspek yang perlu
dipertimbangkan dalam pemilihan bahan pembelajaran sastra secara umum adalah sebagai
berikut.
1. Aspek kebahasaan
Aspek kebahasaan dalam sastra tidak hanya ditentukan oleh masalah-masalah yang dibahas, tapi
juga faktor-faktor lain seperti cara penulisan yang dipakai pengarang, bahasa yang digunakan
menggunakan bahasa baku, komunakatif, memperhitungkan kosakata baru, isi wacana, cara
menuangkan ide yang disesuaikan dengan kelompok pembaca yang ingin dijangkau sehingga
mudah dipahami semua kalangan, serta ciri-ciri karya sastra disesuaikan pada waktu penulisan
2. Psikologis
Dalam memilih bahan pengajaran tahap-tahap psikologi hendaknya diperhatikan karena sangat
besar pengaruhnya terhadap minat dan keengganan anak didiknya dalam banyak hal. Tahap
perkembangan psikologis sangat berpengaruh terhadap: daya ingat, kemauan mengerjakan tugas,
kesiapan bekerja sama, dan kemungkinan pemahaman situasi atau pemecahan problem yang
dihadapi. Dalam pengajaran karya sastra tahap psikologi harus diperhatikan, guru hendaknya
menyajikan karya secara psikologis dapat menarik minat sebagian besar siswa dalam kelas.
Untuk siswa SMA (usia 16 sampai 18 tahun) mereka berada pada tahap realistik. Pada tahap ini
anak-anak sudah benar-benar terlepas dari dunia fantasi dan sangat berminat pada realistis atas
apa yang benar-benar terjadi. Mereka terus berusaha mengetahui dan siap mengikuti dengan teliti
fakta-fakta untuk memahami masalah-masalah kehidupan nyata.
3. Latar belakang kebudayaan siswa.
Latar belakang budaya karya sastra meliputi hampir semua faktor kehidupan manusia dan
lingkungannya seperti; geografi, sejarah, topografi, iklim, mitologi, legenda pekerjaan,
kepercayaan, cara berpikir, nilai-nilai masyarakat, seni, olahraga, hiburan, moral, etika, dan
sebagainya.
Biasanya siswa akan mudah tertarik pada karya-karya sastra dengan latar belakang yang erat
hubungannya dengan latar belakang kehidupan mereka, terutama bila karya sastra itu
menghadirkan tokoh yang berasal dari lingkungan mereka dan memunyai kesamaan dengan
3. Aspek Sastra
Dalam praktek pengajaran sastra yang sebenarnya, guru tidak mudah memilih bahan ajar sastra
untuk para siswanya. Kemampuan untuk dapat memilih bahan ajar sastra ditentukan oleh
berbagai macam factor, antara lain: berapa banyak karya sastra yang tersedia di perpustakaan
sekolah, kurikulum yang harus diikuti, persyaratan bahan yang harus diberikan agar dapat
menempuh tes hasil belajar akhir, dan masih banyak factor lain yang terkadang bahan yang
ditentukan dari atasan lewat kurikulum kurang sesuai dengan lingkungan siswa. Agar dapat
memilih bahan pengajaran sastra ada 2 aspek yang dapat dipertimbangkan dari segi sastra yaitu
sebagai berikut.
1. Bahasa bersifat sastrawi
Ragam bahasa sastra dapat dikatakan sebagai ragam bahasa yang bebas, karena ragam bahasa ini
ditujukan untuk keindahan. Disebut prinsip Licensia Poetica yaitu kebebasan seorang sastrawan
untuk menyimpang dari kenyataan, dari bentuk atau aturan konvensional, untuk menghasilkan
efek yang dikehendaki (Sudjiman, 1990:47). Prinsip tersebut memperboleh penggunaan bahasa
menyimpang atau menyalahi kaidah bahasa demi keindahan sebuah karya yang di sebut
kebebasan penyair.
Sastrawan dapat dikatakan berhasil dalam menciptakan karya sastra jika bahasa yang digunakan
dalam karyanya seimbang, seimbang yaitu menggunakan kata-kata yang sederhana yang mudah
dimengerti dan menggunakan bahasa yang mengandung sastra jadi karyanya cocok jika dibaca
oleh semua kalangan. Karya sastra juga bisa dikatakan berhasil jika bahasanya mengandung
beberapa gaya bahasa di dalamnya, karena itu menandakan bahwa seorang sastrawan itu adalah