Fish
)
DI UKM PETIKAN CITA HALUS CITAYAM - BOGOR
USEP SUHENDAR
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam laporan akhir saya yang berjudul:
“Kajian Strategi Pemasaran Ikan Asap (smoked fish) di UKM Petikan Cita Halus Citayam – Bogor”
Merupakan gagasan atau hasil penelitian laporan akhir saya sendiri, dengan pembimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukan rujukannya. Laporan akhir ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain.
Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Desember 2008
Usep Suhendar. Study on Marketing Strategy of Smoked Fish Processing at Petikan Cita Halus Citayam Company – Bogor. Under direction of Soewarno T. Soekarto and Nurheni Sri Palupi.
Petikan Cita Halus Company which categorized as a small entreprise has been producing smoked fish since 2001. This company owned by Haji Amril Lubis and produce various smoked fish from cat fish, tunas, marlin, skipjack, mackerel and stingray. The aims of this research are to analyse the marketing strategy of smoked fish processing of Petikan Cita Halus Company and to determine the company’s marketing strategy in dealing with other competitors. This research has objective to give some information to the company in determining the right strategy to win the market competition.
Petikan Cita Halus (PCH) merupakan perusahaan Usaha Kecil Menengah (UKM) yang memproduksi ikan asap. Perusahaan ini didirikan oleh Haji Amril Lubis dengan melibatkan anggota keluarga sebagai personel yang menjalankan kegiatan usahanya. Saat ini, produk yang dihasilkan antara lain ikan asap tuna, Marlin, cakalang, layang, pari, patin, dan lele.
Persoalan utama yang dihadapi perusahaan adalah rendahnya permintaan ikan asap di pasar dalam negeri sehingga keuntungan yang didapat perusahaanpun jauh dibawah angka yang diproyeksikan.
Tujuan penelitian ini adalah mengkaji strategi pemasaran UKM Petikan Cita Halus – Citayam Bogor, serta merumuskan strategi pemasaran perusahaan yang tepat dalam menghadapi intensitas persaingan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan sumbangan pemikiran bagi menejemen perusahaan dalam menentukan strategi pemasaran tepat sehingga mampu bertahan dan berkembang.
Berdasarkan hasil pengamatan, produksi ikan asap UKM Petikan Cita Halus yaitu sekitar 3 ton, jauh dibawah kemampuan produksi perusahaan yaitu sekitar 120 ton per tahun. Kondisi ini akibat dari rendahnya tingkat penjualan ikan asap sehingga pihak perusahaan tidak berani bersepekulasi untuk mengoptimalkan produksi.
Strategi pemasaran yang dijalankan oleh UKM Petikan Cita Halus belum optimal sehingga nilai penjualan pada tahun 2007 mengalami penurunan sebesar 35,21% dibandingkan nilai penjualan pada tahun 2006 akibatnya pada tahun 2007 keuntungan perusahaan turun sebesar 31,41%. Disisi lain, profit margin (laba bersih dibandingkan dengan nilai penjualan) pada tahun 2007 mengalami peningkatan sebesar 0,65% dibandingkan tahun 2006. Hal ini menunjukkan bahwa pada periode tersebut perusahaan dapat mengupayakan efisiensi biaya.
Berdasarkan hasil analisis SWOT dan analisis Industry Foresight, strategi pemasaran adalah :
faktor-faktor yang dimiliki oleh perusahaan tapi tidak dimiliki oleh para pesaing sehingga produknya unik.
c) Strategi membangun kemitraan strategis (strategic partnership) dilakukan terutama dengan para pembudidaya ikan atau para pemasok ikan dalam ikatan kerjasama yang saling menguntungkan. Strategi ini ditujukan untuk menjaga kelangsungan pasokan bahan baku.
d) Strategi pengembangan dan perluasan pasar produk ikan asap UKM Petikan Cita Halus dilakukan melalui kerjasama dengan pemodal (investor) untuk membangun outlet-outlet penjualan ikan asap. Kerjasama ini bisa dalam bentuk franchise (waralaba) atau bentuk kerjasama lainnya yang saling menguntungkan.
e) Strategi Pemilihan Produk Utama ditujukan untuk mencari produk yang menghasilkan keuntungan maksimal dilihat dari segi biaya dan respon konsumen. Dari hasil kombinasi tersebut dapat disimpulkan antara lain:
• Ikan pari merupakan produk utama yang mempunyai margin yang tinggi dengan prospek pemasaran yang lebih baik.
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruhnya karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
DI UKM PETIKAN CITA HALUS CITAYAM - BOGOR
USEP SUHENDAR
Tugas Akhir
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional
pada Program Magister Profesional Industri Kecil Menengah
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
UKM
Petikan Cita Halus Citayam - Bogor Nama Mahasiswa : Usep Suhendar
Nomor Pokok : F052050045
Program Studi : Industri Kecil Menengah
Disetujui
Komisi Pembimbing,
Prof.Dr. Soewarno T. Soekarto, MSc Dr.Ir. Nurheni S. Palupi, MS
Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Industri Kecil Menengah,
Prof.Dr.Ir. H. Musa Hubeis, MS, Dipl.Ing, DEA Prof.Dr.Ir. H. Khairil A. Notodiputro, MS
Dengan mengucapkan Alhamdulillah, laporan tugas akhir yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada Program Studi Industri Kecil Menengah ini berhasil diselesaikan.
Tugas akhir dengan judul Kajian Strategi Pemasaran Ikan Asap (Smoked Fish) Di UKM Petikan Cita Halus Citayam – Bogor ini dipilih dengan
tujuan untuk mengkaji strategi pemasaran usaha pengolahan ikan asap UKM Petikan Cita Halus – Citayam Bogor, serta merumuskan strategi pemasarannya dalam menghadapi intensitas persaingan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan sumbangan pemikiran khususnya bagi manajemen perusahaan dalam menentukan strategi pemasaran produknya di tengah-tengah persaingan yang sangat ketat sehingga mampu bertahan dan berkembang.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Drh. Soewarno T. Soekarto, MSc, dan Ibu Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, MS selaku Pembimbing atas pengarahan, bimbingan dan dorongannya dalam penyusunan dan penyelesaian tugas akhir ini. Di samping itu, penulis menyampaikan terimakasih dan penghargaan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Musa Hubeis, MS, Dipl.Ing, DEA selaku Ketua Program Studi Industri Kecil Menengah, Program Pascasarjana, Bapak Haji Amril Lubis, pemilik UKM Petikan Cita Halus yang telah memperkenankan perusahaannya sebagai obyek kajian dan membantu dalam penyempurnaan informasi dan data yang dibutuhkan dalam penulisan tugas akhir ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada istri, anak-anak dan seluruh keluarga atas segala do’a dan kasih sayangnya.
Semoga laporan tugas akhir ini dapat bermanfaat dan membantu semua pihak yang membutuhkannya.
Penulis dilahirkan di Sukabumi pada tanggal 06 Juli 1967 dari ayah alm. Yusuf Supriadi dan ibu Dedeh. Penulis merupakan anak ke tiga dari lima bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Perikanan, Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro Semarang, dan lulus pada tahun 1994.
Pengalaman kerja penulis dimulai tahun 1995 dengan bekerja di PT. Asuransi Jiwa Sopo Indah Asih. Pada tahun 1996 penulis bekerja di PT. Lenggogeni Jakarta dan ditempatkan di Kabupaten Bima Provinsi NTB. Pada tahun 1999, penulis diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Badan Agribisnis, Departemen Pertanian Republik Indonesia. Pada tahun 2003, penulis dimutasikan ke Departemen Kelautan dan Perikanan RI dan ditempatkan di Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Jakarta sampai dengan sekarang.
Halaman
Daftar Isi ... xi
Daftar Tabel ... xiii
Daftar Gambar ... xv
Daftar Lampiran ... xvi
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Permasalahan ... .. 2
1.3 Tujuan dan Kegunaan ... ... 3
1.3.1 Tujuan ... 3
1.3.2 Kegunaan ... 3
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4
2.1 Potensi dan Produksi Ikan ... 4
2.2 Pengolahan dan Mutu Ikan ... 5
2.2.1 Pengolahan Ikan Asap ... 8
2.2.2 Aspek Mutu Produk ... 10
2.2.3 Aspek Keamanan Produk ... 11
2.2.4 GMP dan HACCP ... 15
2.2.5 Penerapan Sistem Manajemen Mutu ... 17
2.3 Pemasaran Ikan ... 17
2.3.1 Permintaan Produk Perikanan di Pasar ... 18
2.3.2 Pola Distribusi ... ... 18
2.4 Kerangka Teoritis Strategi pemasaran ... 19
2.4.1 Definisi dan Prinsip Pemasaran ... 19
2.4.2 Definisi dan Prinsip Strategi Pemasaran ... 20
2.4.3 Strategi Samudera Biru (Blue Ocean Strategy) ... 26
2.4.4 Analisis Strategi Pemasaran ... 29
2.4.5 Kajian Penelitian Terdahulu ... 41
2.5 Kerangka Pemikiran Konseptual ... 42
III. METODOLOGI KAJIAN ... 44
3.3 Metode Kajian ... 44
3.4 Data yang Diperlukan dan Sumbernya ... 44
3.5 Teknik Pengumpulan Data dan Informasi ... 45
3.6 Teknik Pemilihan Responden ………... 46
3.7 Pengolahan dan Analisis Data …...………... 47
IV. HASIL dan PEMBAHASAN ... 52
4.1 Kondisis Umum Perusahaan ..... 52
4.1.1 Identitas Perusahaan ..... 52
4.1.2 Proses Produksi ... 55
4.1.3 Mutu Produk Akhir ……….. 61
4.1.4 Pemasaran produk ... 62
4.1.6 Kesenjangan (Gap) Kondisi ... 64
4.2 Evaluasi Strategi Pemasaran ... 65
4.2.1 Aspek Produksi ... 65
4.2.2 Aspek Pemasaran ... 72
4.2.3 Aspek Nilai-Nilai Manajerial ... 76
4.2.4 Aspek Profitabilitas ... 81
4.2.5 Aspek Kelayakan Industri Dan Prospek Masa Depan (Foresight) ... 84
4.2.6 Aspek Situasi SWOT ... 94
4.3 Program Pemasaran UKM Petikan Cita Halus ... 103
4.3.1 Tujuan dan Sasaran Perusahaan ... 103
4.3.2 Arsitektur Strategik Pengembangan Bisnis Perusahaan ... 103
4.3.3 Perencanaan Strategik Perusahaan ... 106
4.3.4 Program Pengembangan Bisnis Perusahaan ... 108
4.3.5 Strategi Pemilihan Produk Utama ... 109
V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 115
6.1 Kesimpulan ... 115
6.2 Rekomendasi ... 116
DAFTAR PUSTAKA ... 117
Halaman
1. Tingkat Pemanfaatan Sumberdaya Ikan (SDI) menurut Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan
Perikanan Tahun 2001... 4
2. Produksi Ikan Olahan Periode 2000 – 2004... 8
3. Strategi Generik dan Strategi Utama Fred R. Davis... 21
4. Matrik Analisis Strategi Pemasaran (SWOT)... 36
5. Model Analisis Faktor Internal (IFAS) dan Faktor Eksternal (EFAS)... 37
6. Ringkasan Analisis Faktor-faktro Strategis (SFAS)... 37
7. Matrik Kerangka Pemikiran Konseptual Kajian... 42
8. Jumlah Kebutuhan bahan baku ikan asap UKM Petikan Cita Halus... 57
9. Volume Produksi Ikan Asap UKM Petikan Cita Halus... 59
10. Kesenjangan (GAP) antara kondisi sekarang dengan kondisi yang diharapkan pada UKM Petikan Cita Halus………..… 65
11. Hasil Kuesioner Penilaian Visi dan Misi Perusahaan... 76
12. Parameter dan Indikator Penilaian Visi... 77
13. Perkembangan Bisnis Sesuai Misi Perusahaan... 78
14. Peta Stakeholder berdasarkan hubungan antara Power dan Predictability... 79
15. Peta stakeholder berdasarkan hubungan antara Power dan Interest... 80
16. Laporan Laba Rugi UKM Petikan Cita Halus Tahun 2006 – 2007. 81 17. Tingkat Inflasi di Indonesia Tahun 2005 – 2007... 81
18. Hasil Analisis Biaya Tahun 2006 – 2007……….. 85
19. Hasil Kuesioner Penilaian Ancaman Pendatang Baru... 85
20. Hasil Kuesioner Penilaian Tingkat Persaingan Antar Perusahaan 87 21. Hasil Kuesioner Penilaian Ancaman Produk Substitusi... 88
22. Hasil Kuesioner Penilaian Kekuatan Tawar Pemasok... 90
23. Hasil Kuesioner Penilaian Kekuatan Tawar Pembeli... 92
24. Hasil Kuesioner Analisis Industri... 93
25. Hasil Penilaian Faktor-faktor Internal... 94
26. Faktor-faktor strategis Internal UKM Petikan Cita Halus... 95
27. Hasil Penilaian Faktor-faktor Eksternal... 97
29. Faktor-faktor strategis Eksternal UKM Petikan Cita Halus... 99 30. Faktor-faktor Strategis Perusahaan UKM Petikan Cita Halus... 100 31. Program-Program Berdasarkan Inisiatif Strategik Eksternal... 109 32. Perbandingan tingkat penjualan ikan asap dan preferensi
konsumen... 110 33. Perbandingan nilai margin yang diperoleh UKM Petikan Cita
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Proses pembuatan ikan asap... 9
2. Contoh produk ikan olahan di asap (ikan asap)... 10
3. Pola distribusi pemasaran ikan... 19
4. Dinamika diferensiasi biaya rendah yang mendasari inovasi nilai 27 5. Skema Kerangka Kerja Empat Langkah (four actions framework) dari Blue Ocean Strategy... 29
6. Kekuatan dalam Persaingan Industri... 39
7. Formulasi matrik SWOT... 50
8. Matrik internal dan eksternal... 51
9. Struktur organisasi UKM Petikan Cita Halus Citayam – Bogor.... 54
10. Denah tataletak pengolahan ikan asap UKM Petikan Cita Halus.. 56
11. Ruang penerimaan bahan baku ikan (penyiangan)……… 57
12. Contoh produk ikan asap UKM Petikan Cita Halus Citayam – Bogor... 62
13. Matrik SWOT UKM Petikan Cita Halus Citayam – Bogor... 102
14. Arsitektur strategik UKM Petikan Cita Halus Citayam – Bogor.... 104
15. Arsitektur strategik UKM Petikan Cita Halus Citayam – Bogor Tahun 2008 – 2018... 104
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Hasil penilaian responden terhadap Visi dan Misi UKM Petikan
Cita Halus………... 119 2. Penilaian responden terhadap kekuatan (Power) stakeholders
terhadap UKM Petikan Cita Halus……….. 120 3. Penilaian responden terhadap Predictability Stakeholder UKM
Petikan Cita Halus……… 120 4. Penilaian responden terhadap tingkat kepentingan (Interest)
Stakeholder UKM Petikan Cita Halus………... 121 5. Rekapitulasi penilaian responden terhadap stakeholder UKM
Petikan Cita Halus………. 121 6. Penilaian responden terhadap Faktor Internal UKM Petikan Cita
Halus……….. 122 7. Penilaian responden terhadap Probabilitas Faktor Eksternal
UKM Petikan Cita Halus……….. 122 8. Penilaian responden terhadap Dampak Faktor Eksternal pada
UKM Petikan Cita Halus……….. 123 9. Penilaian responden terhadap Waktu berpengaruhnya Faktor
Eksternal pada UKM Petikan Cita Halus……….. 123 10. Penilaian responden terhadap Waktu berpengaruhnya Faktor
Eksternal terhadap UKM Petikan Cita Halus……… 124 11. Pengaruh Parameter Ancaman Pendatang Baru terhadap bisnis
UKM Petikan Cita Halus berdasarkan penilaian responden…….. 124 12. Tingkat Respon UKM Petikan Cita Halus terhadap Parameter
Ancaman Pendatang Baru berdasarkan penilaian responden….. 125 13. Pengaruh Parameter Tingkat Persaingan Dalam Industri
terhadap bisnis UKM Petikan Cita Halus berdasarkan penilaian
responden……….. 125 14. Respon UKM Petikan Cita Halus terhadap Parameter Tingkat
Persaingan Dalam Industri berdasarkan penilaian responden….. 126 15. Pengaruh Parameter Ancaman Produk Substitusi terhadap
bisnis UKM Petikan Cita Halus berdasarkan penilaian
responden……….. 126 16. Respon UKM Petikan Cita Halus terhadap Parameter Ancaman
Produk Substitusi berdasarkan penilaian responden……….. 127 17. Pengaruh Parameter Kekuatan Tawar Pemasok terhadap bisnis
UKM Petikan Cita Halus berdasarkan penilaian responden…….. 127 18. Respon UKM Petikan Cita Halus terhadap Parameter Kekuatan
19. Pengaruh Parameter Kekuatan Tawar Pembeli terhadap bisnis
UKM Petikan Cita Halus berdasarkan penilaian responden…….. 128 20. Respon UKM Petikan Cita Halus terhadap Parameter Kekuatan
Tawar Pembeli berdasarkan penilaian responden……….. 129 21. Daftar kuesioner Kajian Strategi Pemasaran UKM Petikan Cita
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ikan sebagai salah satu sumberdaya alam yang terkandung di perairan laut dan perairan umum yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, merupakan sumberdaya yang sangat berpotensi untuk dikembangkan bagi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat secara luas.
Secara umum, potensi sumberdaya ikan dibagi menjadi dua sesuai dengan wilayahnya yaitu sumberdaya ikan yang terdapat di perairan laut dan sumberdaya ikan yang terdapat di perairan umum yaitu sungai, danau, waduk dan rawa-rawa. Sumberdaya ikan yang terdapat di perairan laut dimanfaatkan dengan melakukan eksploitasi usaha penangkapan mulai dari skala kecil sampai dengan skala besar (modern). Ikan-ikan yang dihasilkan dari usaha penangkapan yaitu ikan pelagis kecil (kembung, layang, lemuru, cumi-cumi dan lain-lain), ikan pelagis besar (tuna, tenggiri, tongkol dan lain-lain) dan ikan demersal (ikan karang, udang, kerang-kerangan dan lain-lain). Sedangkan pemanfaatan sumberdaya ikan yang terdapat di perairan umum dilakukan melalui usaha penangkapan ikan skala kecil dengan hasil tangkapan antara lain ikan belida, ikan patin, gabus dan lain-lain.
Selain eksploitasi usaha penangkapan, pemanfaatan sumberdaya ikan dapat dilakukan melalui penerapan usaha budidaya ikan baik di perairan laut, air payau maupun di perairan air tawar. Ikan-ikan yang dihasilkan dari usaha budidaya antara lain udang, bandeng (budidaya air payau), kerapu, beronang (budidaya air laut), nila, mas, gurame dan patin (budidaya air tawar). Seluruh hasil dari pemanfaatan sumberdaya ikan tersebut ditujukan untuk memenuhi kebutuhan di pasar dalam negeri maupun kebutuhan di pasar luar negeri (ekspor).
usaha pengolahan ikan ini diharapkan mampu meningkatkan nilai tambah (value added) dan menciptakan variasi (ragam) produk sehingga segmen pasar lebih luas serta mampu menyerap tenaga kerja.
Pengasapan ikan merupakan salah satu usaha pengolahan ikan yang tergolong tradisional yang memiliki prospek cukup baik untuk dikembangkan. Produk Ikan asap merupakan makanan yang siap dikonsumsi karena selama proses pengasapan ikan telah mendapatkan perlakuan panas yang cukup untuk mematangkan daging ikan dan membunuh bakteri-bakteri yang bersifat pathogen. Selain itu, pengasapan juga menghasilkan aroma yang khas ikan asap dan memberikan efek pengawetan bagi ikan karena adanya zat-zat kimia yang terkandung dalam asap yang mampu berperan sebagai zat pengawet seperti aldehid, keton dan berbagai asam organik. Proses pengasapan dikenal dengan 2 cara yaitu pengasapan panas (hot smoked) dan pengasapan dingin (cold smoked).
Pengasapan ikan telah dikenal sejak lama terutama di daerah-daerah pesisir utara Pulau Jawa yaitu Jawa tengah dan Jawa Timur. Hampir semua jenis ikan bisa diolah menjadi ikan asap. Ikan-ikan yang umum diolah menjadi ikan asap antara lain ikan pari, ikan tuna, tongkol, cakalang, tenggiri, layaran, patin, lele dan lain-lain. Secara umum, pengolahan ikan asap kurang populer dibandingkan dengan pengolahan ikan lainnya seperti pengasinan, pemindangan/ presto dan pengalengan. Kemungkinan besar kondisi ini disebabkan oleh pengolahan ikan asap hanya dikenal di daerah-daerah tertentu dengan konsumen yang terbatas, seperti di Jawa Tengah dan Jawa timur yang dikenal dengan ikan mangut.
UKM Petikan Cita Halus merupakan salah satu perusahaan Usaha Kecil Menengah (UKM) yang memproduksi ikan asap. Perusahaan ini merintis usahanya dari skala rumah tangga dengan melibatkan anggota keluarga sebagai personel yang menjalankan kegiatan usahanya. Saat ini, produk yang dihasilkan antara lain ikan asap tuna, Marlin, cakalang, layang, pari, patin, dan lele.
1.2 Permasalahan
Kemampuan produksi yang tinggi tidak akan berarti apabila tidak didukung oleh sistem pemasaran yang tepat. Strategi pemasaran yang tepat akan membuat perusahaan berkembang menjadi bisnis yang menguntungkan.
dan masa depan perusahaan maka perlu disusun suatu perencanaan strategi jangka panjang dari usaha pengolahan ikan asap UKM Petikan Cita Halus Citayam – Bogor tersebut dengan rumusan permasalahan sebagai berikut : a) Bagaimana mengoptimalkan sumberdaya yang ada sehingga produk yang
dihasilkan mempunyai daya saing yang tinggi ?
b) Bagaimana meningkatkan penjualan ikan asap sehingga dapat meningkatkan keuntungan bagi perusahaan ?
1.3 Tujuan dan Kegunaan
1.3.1 Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah :
a) Mengkaji strategi pemasaran
usaha pengolahan ikan asap UKM Petikan Cita Halus – Citayam Bogor. b) Merumuskan strategi pemasaran UKM Petikan Cita Halus – Citayam Bogor
dalam menghadapi intensitas persaingan. 1.3.2 Kegunaan
Laporan akhir ini diharapkan dapat memberikan informasi dan sumbangan pemikiran khususnya bagi manajemen UKM Petikan Cita Halus Citayam – Bogor dalam menentukan strategi pemasaran produk ikan di tengah-tengah persaingan yang sangat ketat sehingga mampu bertahan dan berkembang yang pada akhirnya ikut membantu dalam menyediakan lapangan pekerjaan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Potensi dan Produksi Ikan
I ndonesia memiliki kekayaan sumberdaya perikanan yang sangat besar
dan bervariasi yang tersebar di wilayah perairan laut dan perairan darat (seperti
danau, waduk, sungai dan rawa-rawa). Hasil pengkajian stock ikan di perairan
I ndonesia yang dilaksanakan Badan Riset Kelautan dan Perikanan-DKP
bekerjasama dengan Lembaga I lmu Pengetahuan I ndonesia (LI PI ) pada tahun
2001, potensi lestari sumberdaya ikan laut I ndonesia diperkirakan sebesar 6,4
juta ton/ tahun. Jika diasumsikan 80% dari potensi lestari merupakan jumlah
tangkapan maksimum yang diperbolehkan, maka jumlah ikan laut yang dapat
dimanfaatkan maksimal 5,12 juta ton/ tahun.
Tabel 1. Tingkat Pemanfaatan Sumberdaya I kan (SDI ) menurut Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan Tahun 2001
No
Jenis Sumberdaya
Ikan
Potensi (ton/th)
JTB (ton/tahun)
Produksi (ton)
Tingkat Pemanfaatan
(%)
1. I kan Pelagis Besar 1.165.360 932.288 736.170 78,97 2. I kan Pelagis Kecil 3.605.660 2.884.528 1.784.330 61,86 3. I kan Demersal 1.365.090 1.092.072 1.085.500 99,40
4. I kan Karang 145.250 116.200 156.890 135,02
5. Udang Penaeid 94.800 75.840 259.940 342,75
6. Lobster 4.800 3.840 4.080 106,25
7. Cumi-cumi 28.250 22.600 42.510 188,10
Jumlah 6.409.210 5.127.368 4.069.420 79,37
Keterangan : JTB = Jumlah tangkapan yang diperbolehkan
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Perikanan
Tangkap tahun 2005, angka perkiraan produksi penangkapan ikan di laut
mencapai 4,97 ton atau sekitar 77,7% dari jumlah potensi lestari atau 97% dari
jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB). Sedangkan penangkapan di
wilayah perairan umum dengan luas sekitar 54 juta hektar, sebagian besar
berupa perairan rawa yaitu ± 39,4 juta hektar (71,63% ) dan perairan sungai dan
0,9 juta ton/ tahun. Sementara itu, produksi perikanan I ndonesia selain dari
penangkapan, juga dihasilkan dari usaha budidaya seperti budidaya air laut,
budidaya air payau dan budidaya air tawar. Pada tahun 2004, budidaya air laut
mampu menghasilkan ikan sebanyak 420.919 ton, budidaya air payau
menghasilkan sekitar 559.612 ton dan budidaya air tawar sekitar 488.179 ton
(Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, 2005).
Secara umum, produksi ikan nasional dari tahun 2000 sampai dengan
tahun 2006 mengalami peningkatan rata-rata per tahun sebesar 6,36% yaitu 5,1
juta ton produksi pada tahun 2000 menjadi 7,4 juta ton pada tahun 2006.
Kontribusi produksi ikan nasional masih didominasi oleh usaha penangkapan
khususnya penangkapan di laut. Kontribusi perikanan budidaya terhadap
produksi ikan nasional pada tahun 2006 naik menjadi 35,5% , dimana pada tahun
2005 kontribusi produksi ikan nasional hanya mencapai 31,5% dari total produksi
(Siaran pers Perikanan Sebagai Penggerak Ekonomi Masyarakat. 27/ 06/ 07). Dari
jumlah produksi ikan nasional tersebut, sebagian besar (70% ) dipasarkan dalam
bentuk segar dan frozen dengan tujuan pasar ekspor dan pasar domestik, dan
sisanya (30% ) dipasarkan dalam bentuk ikan olahan seperti ikan asin, ikan asap,
ikan pindang/ presto, ikan kaleng, bakso ikan, nuget, otak-otak dan lain-lain.
2.2 Pengolahan dan Mutu Ikan
Usaha pengolahan ikan dewasa ini berkembang cukup pesat seiring
dengan perkembangan teknologi pengolahan. Berbagai usaha pengolahan ikan
telah dikenal di I ndonesia dari yang tradisional sampai yang menggunakan
teknologi modern. Berkembangnya pengolahan ikan ini dilandasi oleh
pemanfaatan produk ikan yang memberikan keuntungan yang optimal. Di
samping itu, pengolahan ikan dapat dijadikan sebagai upaya dalam
mempertahankan mutu dan dapat menciptakan margin harga baru yang
menguntungkan bagi para pelaku usaha.
Menurut terminologi FAO, ikan olahan tradisional atau ”cured fish” adalah ikan yang diolah secara sederhana dan umumnya dilakukan dalam skala industri
rumah tangga. Jenis produk olahan yang termasuk industri olahan tradisional
antara lain ikan asin kering, ikan pindang, ikan asap dan fermentasi. Produk
seperti ini tidak hanya dikenal di I ndonesia, tetapi juga di negara-negara Asia,
ikan tradisional ini mempunyai sebaran distribusi yang luas karena pada
umumnya produk relatif stabil walaupun pengawetan dan pengemasan masih
sangat sederhana.
Data statistik perikanan I ndonesia menunjukan bahwa produksi ikan
olahan dari perikanan laut mengalami perkembangan secara signifikan. Pada
kurun waktu antara tahun 1993 – 2003, produksi ikan olahan mengalami
peningkatan rata-rata 13,13% per tahun. Sementara produksi ikan olahan dari
perairan umum mengalami peningkatan rata-rata sebesar 7,57% per tahun. Bila
dibandingkan dengan jumlah hasil tangkapan ikan pada tahun 2003 maka jumlah
hasil tangkapan ikan yang diproses menjadi produk olahan baru mencapai 30%
dari total produksi (Ditjen Perikanan Tangkap, 2005).
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pengolahan
dan Pemasaran Hasil Perikanan (2005), total produksi perikanan I ndonesia pada
tahun 2004 mencapai 6.275.810 ton, dan 1.501.064 ton dari total produksi
tersebut adalah produk olahan hasil perikanan. Dari jumlah produk olahan hasil
perikanan tersebut, produksi pengolahan hasil perikanan dari industri menengah
dan modern (produk pembekuan atau frozen ) memberi kontribusi yang paling
dominan yaitu sebesar 631.320 ton (42,06% ), kemudian diikuti oleh produksi
ikan asin/ kering UKM memberi kontribusi sebesar 586.323 ton (37,86% ),
produksi pemindangan sebesar 122.807 ton (8,8% ) dan produksi ikan kaleng
(industri pengalengan) sebesar 31.945 ton (2,13% ).
Usaha pengolahan produk perikanan dikelompokan menjadi beberapa
kelompok berdasarkan jenis produknya, yaitu pembekuan (frozen), pengalengan
(canning), pengasinan, pengasapan, pemindangan dan pengolahan produk
turunan (diversifikasi produk). Sedangkan berdasarkan skala usahanya, usaha
pengolahan produk perikanan secara umum dikelompokan menjadi:
a) Pengolahan tradisional/ kelompok Usaha Kecil Menengah (UKM), umumnya
berskala kecil dilakukan secara manual dan menggunakan peralatan yang
relatif sederhana. Jenis usaha kelompok ini antara lain
penggaraman/ pengasinan (dried/ salted), pemindangan (boiling),
pengasapan (smoking), fermentasi (fermentation) dan pengolahan lainnya.
Beberapa hal yang merupakan ciri-ciri pengolahan tradisional/ kelompok
UKM sekaligus merupakan permasalahan utama dalam pengembangannya
1) Teknologi dalam proses pengolahan masih sederhana dan hampir tidak
ada perkembangan.
2) Variasi produk terbatas.
3) Penanganan mutu produksi dan pasca produksi seperti pengemasan,
pelabelan dan pergudangan masih terbatas bahkan hampir tidak ada.
4) Pengetahuan dalam pemasaran masih terbatas akibat kurangnya
informasi penjualan.
5) Permodalan relatif kecil.
6) Tidak mempunyai sistem manajemen dalam mengembangkan usaha.
7) Tingkat pendidikan Sumberdaya Manusia-nya relatif rendah.
b) Pengolahan modern/ kelompok skala industri, umumnya skala besar dengan
menggunakan peralatan modern sebagai alat bantu. Jenis usaha kelompok
ini antara lain pembekuan (freezing), pengalengan (canning), pembuatan tepung ikan (fishmeal making ) dan pengolahan lainnya seperti nuget ikan,
surimi dan lain-lain. Usaha pengolahan modern biasanya berorientasi pada
pasar ekspor dengan menitikberatkan pada produk yang dihasilkan dalam
jumlah yang banyak dan berkesinambungan serta mutu yang sangat baik.
Pengolahan modern biasanya sudah menerapkan kaidah-kaidah cara
penanganan yang baik (Good Handling Practices), pengolahan yang baik
(Good Manufacturing Practices) dan pendistribusian/ pemasaran yang baik
(Good Distributing Practices). Penerapan kaidah-kaidah tersebut ditujukan
untuk menghasilkan suatu produk yang prima sesuai dengan standar mutu
yang telah ditetapkan dari mulai produksi, distribusi sampai ke tangan
konsumen, seperti zero tolerance terhadap bahan-bahan pencemar baik
kimia (chloromphenicol dan nitrofuran), fisika (partikel logam atau benda lain) maupun biologi (bakteri Vibrio parahaemaliticus, Salmonella dan
Escherichia coli ).
Tabel 2. Produksi I kan Olahan Periode 2000 – 2004
No Jenis Olahan Volume Produksi (ton)
2000 2001 2002 2003 2004
2. Pemindangan 66.457 134.071 124.826 121.491 122.807 3. Pembuatan Terasi 16.457 21.607 7.251 9.342 9.809 4. Pembuatan Peda 7.950 13.442 4.996 4.911 4.665
5. Pembuatan Kecap I kan 76 524 2 6 10
6. Pengasapan 37.641 36.561 53.905 56.574 59.403
7. Pembekuan 305.923 307.235 319.237 573.911 631.320 8. Pengalengan 21.227 25.299 36.913 28.415 31.945 9. Pembuatan Tepung I kan 1.640 12.204 16.612 8.635 7.339 10. Lain-lain 9.195 30.158 53.645 53.355 65.443
Jumlah 1.078.352 1.165.495 1.188.364 1.453.875 1.501.064
Sumber : Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan, 2005
2.2.1 Pengolahan Ikan Asap
I kan merupakan salah satu sumber protein hewani yang memiliki
kandungan gizi sangat lengkap, mudah didapat, dan harganya relatif murah.
Namun dibalik kelebihan itu, ikan memiliki kelemahan yaitu cepat mengalami
pembusukan dibandingkan dengan bahan makanan lain. Proses pembusukan ini
disebabkan oleh aktivitas bakteri pengurai yang ada dalam tubuh ikan dan proses
penguraian dari reaksi kimia organik yang terdapat dalam ikan. Ciri-ciri ikan yang
segar antara lain daging kenyal, mata jernih menonjol, sisik kuat dan mengkilat,
sirip kuat, warna keseluruhan termasuk kulit cemerlang, insang berwarna merah,
dinding perut kuat dan bau ikan segar. Sedangkan ciri-ciri ikan yang tidak segar
(busuk) antara lain mata suram dan tenggelam, sisik suram dan mudah lepas,
warna kulit suram dengan lendir tebal, insang berwarna kelabu dengan lendir
tebal, dinding perut lembek, warna keseluruhan suram dan berbau busuk.
Salah satu usaha untuk mempertahankan mutu ikan adalah pengawetan
secara tradisional dengan metode pengasapan yang bertujuan mengurangi kadar
air dalam tubuh ikan, sehingga tidak memberikan kesempatan bagi bakteri untuk
tumbuh dan berkembang biak. I kan asap adalah hasil pengawetan ikan yang
pengerjaannya merupakan gabungan dari penggaraman (perendaman dalam air
garam) dan pengasapan sehingga menghasilkan aroma dan rasa yang khas
(spesifik). Peralatan dan bahan yang digunakan untuk pembuatan ikan asap
adalah tungku (drum) pengasapan, meja, pisau, baskom, kayu bakar, rak, ikan
sealer. Secara umum proses pembuatan ikan asap dapat diilustrasikan seperti Gambar 1.
Gambar 1. Proses Pembuatan ikan asap
Sumber : Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan. 2001
Sebagai bahan makanan, ikan asap harus memenuhi syarat layak untuk
dikonsumsi, aman bagi kesehatan dan memiliki manfaat mutu bagi kesehatan.
Kriteria I kan Asap yang bermutu :
1) Rupa dan warna ikan asap yang dihasilkan harus licin, mengkilat, dan
berwarna coklat emas muda;
2) Bau dan rasa dari ikan asap yang baik dapat memberikan bau atau aroma
3) Proses pengasapan ikan dengan metode menggunakan panas pada suhu 70
~ 80 C, dapat menghasilkan ikan yang tahan lama (awet) disimpan sampai 1
bulan, dibandingkan dengan pengasapan pada suhu 20 ~ 30 C (kurang dari
1 bulan).
Gambar 2. Contoh produk ikan olahan di asap (ikan asap)
2.2.2 Aspek Mutu Produk
Proses pengolahan ikan secara tradisional dapat menyebabkan penurunan
mutu protein sampai dengan 5% tergantung dari lamanya proses pengolahan
tersebut. Pada proses pengasapan ikan sebaiknya dilakukan pada waktu singkat
dan kepekatan asap rendah, karena asap mengandung senyawa-senyawa
karbonil yang akan bereaksi dengan lisin dan mereduksi kualitas protein. Bahan
baku yang disimpan beku hingga 33 minggu dapat menyebabkan hilangnya lisin
dan tiamin yang tersedia masing-masing 74% dan 90% setelah proses pengasapan (Zotos et al., 1995). Burt (1988) menyatakan bahwa beberapa jenis
vitamin yang terdapat dalam ikan akan mengalami kerusakan sebagai akibat
proses pengeringan atau pengasapan, tergantung waktu dan suhu, pH, serta
Proses pemanasan pada ikan dapat menyebabkan terjadinya reaksi Maillard
antara senyawa amino dengan gula pereduksi yang membentuk melanoidin yaitu
suatu polimer berwarna coklat yang menurunkan nilai penampakan produk.
Pencoklatan juga terjadi karena reaksi antara protein, peptida, dan asam amino
dengan hasil dekomposisi lemak. Reaksi ini dapat menurunkan nilai gizi protein
ikan yaitu menurunkan nilai cerna dan ketersediaan asam amino, terutama lisin.
Bahkan apabila dilakukan pemanasan yang berlebihan (di atas 90° C) dan
berulang-ulang dapat menyebabkan pembentukan H2S yang merusak aroma dan
mereduksi ketersediaan sistein dalam produk (Pan, 1988). Untuk
mempertahankan mutu dan nilai gizi produk, kondisi tersebut di atas harus
menjadi pertimbangan dalam melakukan pengolahan.
2.2.3 Aspek Keamanan Produk
a. Kimiawi
Makanan yang diolah dengan cara dipanggang menggunakan arang, listrik,
gas, minyak tanah, atau diasap mempunyai potensi besar menimbulkan bahaya
senyawa karsinogenik dan mutagenik. Senyawa polar yang larut dalam air dan tahan panas, mendorong terjadinya pembentukan mutagen, misalnya karbolin
selama pemanasan makanan (Krone et al., 1986). Kondisi pembakaran,
pemanggangan, dan pengasapan sangat cocok bagi pembentukan hidrokarbon
aromatik polisiklik (PAH), senyawa N-nitroso (NNC), dan amina aromatik heterosiklik (HAA), yang semuanya bersifat karsinogenik. HAA merupakan hasil reaksi antara asam amino dengan pirolisat protein, lebih sering ditemukan pada
produk panggang daripada produk asap. Adapun NNC, baik yang berupa
N--nitrosamin (NNA), maupun N-nitrosodimetilamin, merupakan hasil reaksi antara
nitrogen oksida, yang berasal dari nitrit atau asap kayu, dengan senyawa amina
sekunder yang banyak terdapat dalam ikan. Pemanggangan dengan kompor gas
atau minyak tanah pada suhu di atas 100° C dapat menghasilkan NNC yang lebih
tinggi dibandingkan dengan pemanggang listrik. Walaupun demikian, NNC yang
terdapat dalam produk dapat didegradasi dengan sterilisasi (Dikun et al., 1980),
atau melalui metabolisme oleh mikroorganisme (Harada & Yamada, 1979).
Pada ikan asap, PAH berasal dari asap kayu, terutama lignin dan selulosa.
Fraksi hidrokarbon dari asap kayu mengandung lebih dari 24 jenis PAH.
(BP), salah satu jenis PAH, adalah indikator karsinogenitas. Sikorski (1988)
menyebutkan kandungan BP pada ikan asap sekitar 0,70 hingga 60 ng/ g (bb)
terbanyak terdapat di bagian kulit. BP juga lebih banyak ditemukan pada ikan
yang diasap secara tradisional (pengasapan langsung pada suhu tinggi)
dibandingkan dengan yang menggunakan alat pengasap dengan generator asap
yang terpisah yang bekerja pada suhu rendah. Pada prinsipnya pengasapan
harus dilakukan dengan mengatur suhu dan kecepatan aliran udara serta
kepekatan asap agar produksi fenol dan karbonil menjadi seperti yang diinginkan
yakni pembentukan PAH sekecil mungkin. Meskipun demikian, kuantifikasi proses
pengolahan tidak pemah dilakukan karena intensitas asap yang diinginkan
kon-sumen bervariasi, sedangkan faktor yang berpengaruh terhadap intensitas asap
produk akhir, juga beragam seperti jenis dan kelembaban kayu, atau jenis,
ketebalan, kadar air, dan kadar lemak ikan. Oleh karena itu, pengaturan suhu,
kecepatan udara, dan kepekatan asap diatur secara manual, disesuaikan dengan
intensitas asap yang diinginkan. Sebagai pedoman, Sikorski (1988) menyatakan
bahwa untuk mencegah pembentukan BP, suhu dekomposisi kayu harus di
bawah 40° C dan suhu oksidasi senyawa volatil hasil dekomposisi tersebut tidak
lebih dari 20° C.
b. Mikrobiologis
Kandungan protein ikan yang relatif ‘tinggi’ dengan kandungan air
mencapai 10-60% , memerlukan cara penanganan dan pengolahan yang tepat
serta penyimpanan dengan suhu yang mampu menonaktifkan bakteri pengurai.
Apabila penanganan produk perikanan kurang baik seperti kurang saniter dan
higienis, penyimpanan tidak ditutup/ dikemas dengan baik serta temperatur tinggi
maka akan rentan terhadap kerusakan mikrobiologis. Kerusakan mikrobiologis
dapat menyebabkan pembusukan produk baik oleh bakteri, jamur yang patogen
ataupun oleh enzim (racun) yang terbentuk dari hasil reaksi pembusukan.
Sikorski et al. (1998) menyatakan bahwa Enterobacteriaceae, Salmonella typhimurium dan Vibrio parahaemolyticus sering ditemukan pada ikan asap yang berkadar air tinggi. Karena cara pengolahan yang tidak saniter dan higienis maka
tidak menutup kemungkinan terjadinya kontaminasi baik dengan peraltan,
lingkungan, udara maupun dengan para pengolah, sehingga menjadikan produk
demikian, Listeria monocytogenes, bakteri penyebab meningitis yang sering ditemukan pada ikan asap di beberapa negara, namun belum pernah dilaporkan
terjadi pada produk olahan ikan di I ndonesia. Hal ini kemungkinan disebabkan
ikan asap di lndonesia tidak disimpan pada suhu rendah (beku) yang merupakan
persyaratan bagi kehidupan bakteri tersebut.
Selain penyakit yang disebabkan oleh bakteri, bahaya lain adalah
terjadinya keracunan akibat pertumbuhan Clostridium botulinum, bakteri
pembentuk spora yang tahan terhadap panas dan menghasilkan racun
botulisme. Bakteri ini bersifat anaerobik yaitu mampu hidup di tempat yang
hampa udara sehingga penggunaan kemasan yang hampa udara pada produk
perikanan belum tentu terhindar dari serangan bakteri. Bakteri lain yang
merusak ikan dan menimbulkan suatu toksin bagi manusia adalah bakteri
Morganella, Proteus, dan Klebsiella, yang mampu merubah kandungan hidtidin dalam ikan berdaging merah menjadi histamine melalui proses dekarboksilasi.
Pada orang-orang tertentu, histamine dapat menyebabkan keracunan berupa
gatal-gatal yang cukup hebat. Penyimpanan ikan tanpa pendinginan sebelum
diolah dapat mempercepat terjadinya pembentukan histamin. Salah satu derivatif
histamin yang toksik adalah senyawa yang disebut giserosin, yang dapat
menyebabkan tukak lambung (GE).
Jamur yang sering tumbuh pada kondisi aktivitas air atau kadar air rendah,
selain menurunkan nilai estetika, juga potensial untuk menghasilkan racun. I kan
asin, ikan pindang, dan ikan asap paling sering ditumbuhi Aspergillus spp. dan
Penicillium spp. Jenis jamur yang dominan pada ikan asin adalah Polypaecilum pisce dan A. niger (Wheeler et al., 1986), namun jenis serofilik yang ditemukan pada ikan asin adalah A. crwamori, A. carbonarius, A. glaucus, A. tamarii, dan
Eurotium glaucus (Santoso et al., 1999). Pada ikan kayu dari cakalang (katsuobushi), jenis jamur yang sering ditemukan yakni A. glaucus, P glaucus, A.
melleus. E repem, danE rubrum. Jamur ini diyakini mampu memberikan aroma yang lezat pada ikan kayu, sedangkan A. flavoviridescens, Torula spp.,
Clado~ porium herbarum, dan Catennlaria faliginea adalah kontaminan yang tidak disukai (Motohiro, 1988).
Jenis jamur yang potensial menghasilkan racun karsinogenik adalah
jam pada aktivitas air 0,97 dan suhu 30° C, sehingga untuk menghambat
pertumbuhannya dapat dilakukan dengan pengaturan aktivitas air. Radiasi
dengan sinar gamma pada 0,62-5,00 KGy dapat mematikan spora Aflavus.
Wheeler et al, (1986) menemukan Aflavus pada beberapa sampel ikan asin yang diambil dari pasar-pasar di I ndonesia, walaupun aflatoksin tidak ditemukan pada
sampel sampel tersebut. Toksin lain yang ditemukan pada ikan asin adalah
moniliformin yang dihasilkan oleh Fusariumfusaroides (Rabie et all, 1978)
Kerusakan oleh bakteri maupun jamur sebenarnya dapat dihindari dengan
mengembangkan model-model pembusukan produk olahan oleh beberapa jenis
bakteri dan jamur tertentu. Suatu model pembusukan ikan asin oleh bakteri
Staphylococcus xylosus, Halobacterium salinarium, dan jamur telah dihasilkan oleh Doe dan Heruwati (1988). Sebagai contoh, dengan model yang merupakan
fungsi antara aktivitas air produk, suhu dan waktu penyimpanan dapat diprediksi
bahwa bila suatu produk yang mempunyai aktivitas air antara 0,75-0,90
disimpan pada suhu antara 25-45° C, maka produk tersebut akan mengalami
penjamuran setelah disimpan lebih dari 20 jam.
2.2.4 Good Manufacturing Practices (GMP) dan Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP)
Asal mula Good Manufacturing Practices (GMP) adalah suatu peraturan yang dicetuskan oleh pemerintah Amerika Serikat (US-FDA) yang menuntut
sistem manajemen mutu dan keamanan pangan, penentuan kriteria yang
mampu memenuhi the code of Federal Regulation (21 CFR parts 110) guna
memperoleh produk pangan yang bebas dari penyimpangan mutu. Definisi GMP
adalah minimum standar sanitasi dan proses pengolahan yang diperlukan untuk
menjamin produksi pangan secara utuh (Luning et al., 2002). Lebih lanjut
menjelaskan tentang unsur-unsur GMP yang terkandung antara lain dokumentasi
dan pencatatan (recordkeeping), kualifikasi personal/ SDM (personnel
qualification), sanitasi dan higienis (Hygienee and Sanitation), verifikasi alat dan peralatan (equipment verification), validasi proses (procces validation) dan penanganan bahan (complaint handling).
Dalam implementasinya, GMP dapat berperan dalam menjamin untuk
Sebelumnya, baik-buruknya mutu produk ditentukan dengan mengandalkan
pengujian akhir di laboratorium. Namun hal itu ternyata tidak efektif, sehingga
diperlukan adanya penerapan sistem jaminan mutu dan sistem manajemen
lingkungan, dan sistem produksi pangan yang baik (Good Manufacturing
Practices). Dengan menerapkan GMP diharapkan produsen pangan dapat menghasilkan produk makanan yang bermutu, aman dikonsumsi dan sesuai
dengan tuntutan konsumen, bukan hanya konsumen lokal tetapi juga konsumen
global (Fardiaz, 1997).
Fardiaz (1997) mengemukan ada dua hal yang berkaitan dengan
penerapan GMP di industri pangan yaitu Critical Control Point (CCP) dan Hazard
Analysis and Critical Control Point (HACCP). Critical Control Point (CCP) atau Titik Kendali Kritis adalah setiap titik, tahap atau prosedur dalam suatu sistem
produksi pangan yang apabila tidak terkendali dapat menimbulkan resiko
kesehatan yang tidak diinginkan. CCP diterapkan pada setiap tahap proses mulai
dari produksi, pertumbuhan dan pemanenan, penerimaan dan penanganan
bahan tambahan (ingredien), pengolahan, pengemasan, distribusi sampai
dikonsumsi oleh konsumen. Batas kritis (critical limit) adalah toleransi yang
ditetapkan dan harus dipenuhi untuk menjamin bahwa suatu CCP secara efektif
dapat mengendalikan bahaya mikrobiologis, kimia maupun fisik. Batas kritis
pada CCP menunjukkan batas keamanan.
Sedangkan Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP) atau Analisis Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis adalah suatu analisis yang
dilakukan terhadap bahan, produk, atau proses untuk menentukan komponen,
kondisi atau tahap proses yang harus mendapatkan pengawasan yang ketat
dengan tujuan untuk menjamin bahwa produk yang dihasilkan aman dan
memenuhi persyaratan yang ditetapkan. HACCP merupakan suatu sistem
pengawasan yang bersifat mencegah (preventif) terhadap kemungkinan
terjadinya keracunan atau penyakit melalui makanan (Fardiaz, 1997). Sistem
HACCP memuat 7 prinsip yang merupakan konsepsi HACCP antara lain analisis
bahaya (Hazard Analysis), pengendalian titik kritis (Critical Control Point),
penentuan batas kritis (Critical Limit), pemantauan titik kritis (Monitoring),
tindakan perbaikan (Corective Action), pencatatan (Record keeping) dan
Sistem HACCP mempunyai tiga pendekatan penting dalam pengawasan
dan pengendalian mutu produk pangan, yaitu: (1) keamanan pangan (food
safety), yaitu aspek-aspek dalam proses produksi yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit; (2) kesehatan dan kebersihan pangan (whole-someness),
merupakan karakteristik produk atau proses dalam kaitannya dengan
kontaminasi produk atau fasilitas sanitasi dan higiene; (3) kecurangan ekonomi
(economic fraud), yaitu tindakan ilegal atau penyelewengan yang dapat
merugikan konsumen. Tindakan ini meliputi antara lain pemalsuan bahan baku,
penggunaan bahan tambahan yang berlebihan, berat yang tidak sesuai dengan
label, “overglazing” dan jumlah yang kurang dalam kemasan (Hadiwihardjo,
1998).
Penerapan GMP dan HACCP merupakan implementasi dari jaminan mutu
pangan sehingga dapat dihasilkan produksi yang tinggi dan bermutu oleh
produsen yang pada akhirnya akan menciptakan kepuasan bagi konsumen
(Hubeis, 1994).
2.2.5 Penerapan Sistem Manajemen Mutu
I ndustri pengolahan ikan memiliki mata rantai yang melibatkan banyak
pelaku, yaitu mulai dari produsen primer, pendistribusian, pengolah, penyalur,
pengecer, konsumen. Pada masing-masing mata rantai tersebut diperlukan
pengendalian mutu (quality control) yang berorientasi pada standar jaminan
mutu (quality assurance) baik di tingkat produsen sampai ke konsumen.
Penanganan mutu dalam rangka menciptakan jaminan mutu dan keamanan
harus dilakukan melalui penerapan dan penguasaan total quality management
(TQM) yang dimanifestasikan dalam bentuk pengakuan sertifikat mutu
internasional seperti I SO seri 9000 s.d. I SO-9004.
Sertifikat sebagai senjata untuk menembus pasar internasional merupakan
sebuah dokumen yang menyatakan suatu produk/ jasa sesuai dengan
persyaratan standar atau spesifikasi teknis tertentu (Hubeis, 1994). I ndonesia
mengadopsi I SO-9000 dengan nama SNI -seri 19-9000-Manajemen Mutu. I SO
seri 9000 memberikan pedoman tentang bagaimana suatu organisasi dapat
menghasilkan produk atau jasa yang bermutu, dengan mutu yang konsisten.
untuk menyempurnakan dan menjaga mutu produk. Sistem ini mengakui
bahwa proses mutu terpadu melibatkan semua bagian dan fungsi organisasi.
I SO-9000 dapat digunakan pada situasi tanpa kontrak (I SO 9004) dan situasi
kontrak (I SO-9001, I SO-9002, dan I SO-9003). Tiga model jaminan mutu untuk
situasi kontrak yaitu I SO-9001 : sistem mutu dalam desain/ pengembangan,
produksi dan instalasi; I SO-9002 : sistem mutu dalam produksi dan instalasi;
sedangkan I SO-9003 : sistem mutu dalam inspeksi dan uji akhir (Kadarisman,
1996). Dengan diperolehnya sertifikat tersebut diharapkan dapat meningkatkan
posisi tawar produk yang dihasilkan baik di pasar dalam negeri maupun di pasar
internasional.
2.3 Pemasaran Ikan
Pemasaran ikan menunjukan kenaikan permintaan yang positif seiring
dengan laju pertumbuhan penduduk serta meningkatnya kesadaran masyarakat
akan ’makanan sehat’ yang terdapat pada ikan sebagai akibat dari peningkatan
pengetahuan. Sementara itu, suplai ikan untuk mencukupi permintaan tersebut
dipasok dari hasil tangkapan dan hasil budidaya.
2.3.1 Permintaan Produk Perikanan di Pasar
Jumlah pasokan ikan dari usaha penangkapan cenderung pertumbuhannya
relatif stagnan sehingga secara umum mengakibatkan pasar dalam negeri mengalami kekurangan pasokan ikan sebesar 0,6 juta ton per tahun (Badan
Penelitian dan Pengembangan Perdagangan, 2006). Disisi lain, kekurangan
pasokan tidak otomatis menyebabkan harga ikan naik. Berdasarkan uji koefisien
trend harga menunjukan tidak adanya peningkatan harga yang signifikan, dengan kata lain harga ikan relatif stabil di tengah kekurangan pasokan. Kondisi
ini juga mengindikasikan bahwa pengelolaan produk perikanan belum memenuhi
standar kualitas dunia dan sistem distribusi yang efektif.
Berdasarkan pengukuran tingkat konsumsi ikan per kapita per tahun
I ndonesia, yang pada tahun 2006 berkisar 28,69 kg dan diperkirakan akan
meningkat terus menjadi 30 kg per kapita pada tahun 2006/ 2007, maka
diprediksikan permintaan produk perikanan di pasar dalam negeri akan
mengalami kenaikan. Selain itu trend konsumsi ikan di masyarakat perkotaan
cenderung naik sejalan dengan tingkat kesadaran akan hidup sehat yang
untuk memenuhi permintaan akhir yang terdiri atas konsumsi rumah tangga,
industri/ usaha pengolahan dan sisanya untuk memenuhi permintaan ekspor.
2.3.2 Pola Distribusi
Secara umum pola distribusi produk perikanan di I ndonesia antara satu
pola dengan pola yang lain berbeda panjang rantai distribusinya. Panjang rantai
pemasaran menandai banyaknya jumlah perantara yang terlibat dalam
penyampaian produk perikanan yang dihasilkan nelayan/ pembudidaya
(produsen) ke konsumen yaitu konsumen terlembaga (hotel, restoran, industri
pengolahan dan ekspor) dan konsumen akhir (rumah tangga). Panjangnya rantai
pemasaran menandakan terjadinya beberapa kali transaksi jual beli, yaitu
pertukaran hasil ikan dengan uang sebelum ikan dibeli oleh konsumen akhir. Pola
distribusi produk perikanan dari nelayan/ produsen sampai ke konsumen akhir
[image:36.612.145.494.346.566.2]dapat digambarkan pada Gambar 3 sebagai sebagai berikut :
Gambar 3. Pola distribusi pemasaran ikan
Sumber : Kajian Rantai Ditribusi Produk Perikanan (Diseminasi Hasil Penelitian dan Pengembangan Perdagangan, 2006). Balitbang Perdagangan, Departemen Perdagangan RI , Jakarta.
2.4 Kerangka Teoritis Strategi Pemasaran
2.4.1 Definisi dan Prinsip Pemasaran
Definisi pemasaran banyak dikembangkan oleh para pakar antara lain
pelaksanaan dunia usaha yang mengarahkan arus barang-barang dan jasa-jasa
dari produsen ke konsumen atau pihak pemakai. Definisi ini menekankan pada
aspek distribusi ketimbang pada kegiatan pemasaran. Kemudian definisi lain
dikemukakan oleh Kotler (1990) dalam bukunya Marketing Management Analysis,
Planning, and Controling, bahwa pemasaran adalah suatu proses sosial, dimana individu dan kelompok mendapatkan yang dibutuhkan, dan diinginkan dengan
menciptakan dan mempertahankan produk dan nilai.
Tujuan pemasaran sebuah perusahaan bukanlah laba melainkan
menciptakan dan mempertahankan pelanggan atau konsumen (Levitt, 1989).
Dengan menciptakan konsumen-konsumen baru dan mempertahankannya maka
sistem penjualan akan terjaga stabil dan tentunya akan mendatangkan
keuntungan bagi perusahaan. Menurut sebuah penelitian Boston Consulting
Group yang diacu dalam Zimmerer dan Scarborough (2002) mengemukakan
bahwa mempertahankan pelanggan akan menghasilkan laba diatas rata-rata dan
pertumbuhan pangsa pasar yang sangat baik.
2.4.2 Definisi dan Prinsip Strategi Pemasaran
I stilah strategi diambil dari bahasa Yunani yaitu ’strategos’ yang mempunyai pengertian ilmu perencanaan dan pengerahan sumberdaya untuk
operasi besar-besaran, melansir kekuatan pada posisi siap yang paling
menguntungkan sebelum melakukan penyerangan terhadap lawan. Dalam
bidang ekonomi dan manajemen, pengertian strategi bervariasi. Johnson &
Scholes (1997) dan Hutabarat & Huseini (2006) mendefinisikan strategis sebagai
arah dan cakupan jangka panjang organisasi untuk memperoleh keunggulan
melalui konfigurasi sumberdaya dalam lingkungan yang berubah-ubah untuk
mencapai kebutuhan pasar dan memenuhi keharapan pihak yang
berkepentingan. Sementara Henry Mintzberg (1994) dan Hutabarat & Huseini
(2006) mendefinisikan strategi sebagai 5 P yaitu :
a) Strategi sebagai perspektif, dimana strategi dalam membentuk misi yang
menggambarkan perspektif kepada semua aktivitas.
b) Strategi sebagai posisi, dimana dicari pilihan untuk bersaing
c) Strategi sebagai perencanaan, dalam hal strategi menentukan tujuan
d) Strategi sebagai pola kegiatan, dimana dalam suatu strategi dibentuk suatu
pola yaitu umpan balik dan penyesuaian.
e) Strategi sebagai penipuan (ploy) yaitu muslihat rahasia.
Hamel dan Prahalad (1994) dan Umar (2001) mendefinisikan strategi
sebagai tindakan yang bersifat incremental, terus menerus dan dilakukan
berdasarkan apa yang diharapkan oleh para pelanggan di masa mendatang.
Strategi diklasifikasikan menjadi 3 yaitu Strategi Generik (Generic Strategy),
Strategi Utama (Grand Strategy) dan Strategi Fungsional. Strategi generik adalah suatu pendekatan strategi perusahaan secara umum untuk mengungguli
pesaing, yang akan ditindaklanjuti dengan strategi operasional yaitu strategi
utama (Umar, 2000). Penjelasan lebih jauh seperti diuraikan dalam Tabel 3.
Strategi utama yang dijabarkan di tingkat fungsional perusahaan sering kali
disebut strategi fungsional.
Tabel 3. Strategi Generik dan Strategi Utama Fred R. David
Strategi Generik (Generic Strategy) Strategi Utama (Grand Strategy)
Strategi I ntegrasi (I ntegration Strategy)
Strategi I ntegrasi ke depan
Strategi I ntegrasi ke belakang
Strategi I ntegrasi horisontal
Strategi I ntensif (I ntensive Strategy)
Strategi Pengembangan Pasar
Strategi Pengembangan Produk
Strategi Penetrasi Pasar
Strategi Diversifikasi (Diversification Strategy)
Strategi Diversifikasi Konsentrik
Strategi Diversifikasi Konglomerat
Strategi Diversifikasi Horisontal
Strategi Bertahan (Defensive Strategy)
Strategi Usaha Patungan
Strategi Penciutan Biaya
Strategi Penciutan Usaha
Strategi Likuidasi
Sumber: Buku Metode Riset Bisnis, Husein Umar, 2002.
Kotler (1990) mendefinisikan strategi pemasaran adalah logika pemasaran
dan berdasarkan itu unit usaha diharapkan mencapai sasaran-sasaran
pemasarannya. Dalam mendisain strategi pemasaran yang paling penting
dilakukan adalah menerapkan konsep segmentasi pasar (segmentation),
penentuan target pasar (targeting) dan penentuan posisi pasar (positioning).
Tujuannya adalah memposisikan suatu produk dalam benak konsumen sehingga
a. Segmentasi Pasar (Segmenting)
Pada dasarnya segmentasi pasar adalah suatu strategi yang didasarkan
pada falsafah manajemen pemasaran yang orientasinya pada konsumen. Dengan
melaksanakan segmentasi pasar, kegiatan pemasaran dapat dilakukan lebih
terarah dengan penggunaan sumberdaya yang dimiliki secara lebih efektif dan
efisien guna memberikan kepuasan bagi konsumen.
Prinsip dari segmentasi pasar adalah membagi-bagi pasar yang bersifat
heterogen dari suatu produk ke dalam satuan-satuan pasar (segmen pasar) yang
bersifat homogen. Berdasarkan definisi di atas diketahui bahwa pasar suatu
produk tidaklah homogen, akan tetapi pada kenyataannya adalah heterogen. Ada
empat ktiteria yang harus dipenuhi segmen pasar agar proses segmentasi pasar
dapat dijalankan dengan efektif dan bermanfaat bagi perusahaan, yaitu:
1) Terukur (Measurable), artinya segmen pasar tersebut dapat diukur, baik besarnya, maupun luasnya serta daya beli segmen pasar tersebut.
2) Terjangkau (Accessible), artinya segmen pasar tersebut dapat dicapai
sehingga dapat dilayani secara efektif.
3) Cukup luas (Substantial), sehingga dapat menguntungkan bila dilayani.
4) Dapat dilaksanakan (Actionable), sehingga semua program yang telah
disusun untuk menarik dan melayani segmen pasar itu dapat efektif.
Dalam kegiatan bisnis, segmentasi pasar digunakan untuk mendisain
produk-produk yang lebih responsif terhadap kebutuhan pasar, merumuskan
pesan-pesan komunikasi yang efektif, menciptakan keunggulan dan menganalisis
perilaku konsumen. Segmentasi pasar dibagai dalam tiga kelompok yaitu :
1) Pemasaran segmen yaitu kelompok besar yang dapat diidentifikasikan dalam
sebuah dengan perbedaan keinginan, daya beli, lokasi geografis, perilaku
membeli sehingga dapat dipisahkan beberapa segmen yang luas.
2) Pemasaran ceruk (niche) yaitu kelompok yang diidentifikasi secara lebih
sempit dari segmen, yang merupakan sub-segmen atau kelompok yang
memilih sekumpulan ciri berbeda tetapi mencari gabungan manfaat khusus.
3) Pemasaran individual yaitu tingkat segmentasi yang paling terperinci pada
pemasaran secara individual atau sesuai dengan pesanan (costumized).
Segmentasi pasar dapat dilakukan melalui dua cara yaitu segmentasi yang
dilakukan sebelum produk diluncurkan ke pasar (segmentasi apriori) dan
post-hoc). Purnama (2002) menjelaskan bahwa variabel dalam melakukan segmentasi pasar konsumen adalah segmentasi geografis, demografis, psikologis dan
perilaku konsumen. Sedangkan variabel dalam melakukan segmentasi pasar
bisnis demografis, operasional, pendekatan pembelian, situasi dan karakteristik
pribadi.
b. Penentuan Pasar Target ( Targeting)
Targeting merupakan suatu kegiatan dalam pemasaran yang berisi menilai serta memilih satu atau lebih segmen pasar yang akan dimasuki oleh suatu
perusahaan. Dalam menentukan segmen pasar yang akan dimasuki, maka
langkah yang pertama adalah menghitung dan menilai potensi profit yang akan
didapat dari berbagai segmen yang ada.
Tujuan utama penentuan pasar target (targeting) adalah untuk
menghindari kerugian-kerugian yang bakal terjadi dalam kegiatan pemasaran,
atau paling tidak menguranginya sekecil mungkin. Hal yang harus diperhatikan
dalam menentukan pasar sasaran (targeting) adalah ukuran dan potensi
pertumbuhan segmen, karakteristik struktural segmen, dan kesesuaian produk
dan pasar/product – market fit (Chandra (2005). c. Penempatan produk ( Product Positioning)
Menurut Kotler (2002), positioning adalah tindakan merancang tawaran
dan citra perusahaan sehingga menempati suatu posisi yang terbedakan di
antara pesaing dalam benak pelanggan sasaran. Hasil akhir penentuan dari
positioning adalah keberhasilan penciptaan suatu usulan nilai yang terfokus pada pasar. Penempatan posisi produk (positioning) adalah bagaimana cara produk,
merek atau organisasi perusahaan dipersepsikan secara relatif dibandingkan
dengan para pesaingnya oleh pelanggan saat ini atau calon pelanggan (Chandra,
2005). Secara garis besar positioning terdiri atas 3 hal utama yaitu :
1) Pemilihan konsep positioning
2) Perancangan dimensi atau fitur yang paling efektif dalam
mengkomunikasikan positioning.
3) Mengkoordinasikan dengan bauran pemasaran untuk menyampaikan pesan
Banyak ahli pemasaran menyarankan agar mempromosikan produk hanya
satu manfaat sentral. Penentuan posisi nomor satu yang paling umum
dipromosikan adalah kualitas terbaik, pelayanan terbaik, harga termurah, nilai
terbaik, paling aman, paling cepat, dan teknologi paling maju. Penekankan
terhadap salah satu penentuan posisi produk dan menyampaikannya dengan
penuh keyakinan, memungkinkan perusahaan tersebut akan selalu diingat dan
terkenal karena kekuatan yang dimiliki. Kotler (2002) menjelaskan ada beberapa
strategi penentuan posisi bagi suatu perusahaan, yaitu:
1) Penentuan posisi menurut atribut, yaitu terjadi bila suatu perusahaan
memposisikan diri menurut atribut, seperti ukuran dan lama keberadaannya.
2) Penentuan posisi menurut manfaat, yaitu Produk diposisikan sebagai
pemimpin dalam suatu manfaat tertentu.
3) Penentuan posisi menurut penggunaan/ penerapan, yaitu suatu perusahaan
memposisikan produk sebagai yang terbaik untuk sejumlah penggunaan/
penerapan.
4) Penentuan posisi menurut pemakai yaitu perusahaan dapat memposisikan
produk sebagai yang terbaik bagi sejumlah kelompok pemakai.
5) Penentuan posisi menurut pesaing yaitu produk memposisikan diri sebagai
lebih baik dari pesaing yang disebutkan namanya atau yang tersirat.
6) Penentuan posisi menurut kategori produk yaitu produk diposisikan sebagai
pemimpin di suatu kategori produk.
Kotler (2002: 343) juga mengatakan bahwa saat perusahaan menambah
jumlah pengakuan terhadap manfaat merek mereka, maka mereka juga
menghadapi risiko ketidakpercayaan dan kehilangan penentuan posisi yang jelas.
Secara umum, perusahaan harus menghindari empat hal utama dalam
penentuan positioning :
1) Penentuan positioning yang kurang (underpositioning)
Pembeli tidak benar-benar merasakan sesuatu yang khusus tentang produk
yang ditawarkan dan dianggap hanya sekedar pendatang baru di pasar.
2) Penentuan positioning yang berlebihan (overpositioning)
Pembeli mungkin memiliki citra yang terlalu sempit terhadap produk yang
ditawarkan.
Pembeli mungkin memiliki citra yang membingungkan tentang produk yang
ditawarkan karena perusahaan terlalu banyak membuat pengakuan atau
terlalu sering mengubah positioning produk.
4) Penentuan positioning yang meragukan (doubtful positioning)
Pembeli mungkin sukar mempercayai pengakuan dari suatu merek karena
pengaruh harga, ciri khusus, atau perusahaan pembuat produk itu.
Strategi positioning yang ditentukan oleh perusahaan harus dikomunikasikan secara efektif baik secara visual maupun secara tulisan.
Misalnya perusahaan memilih posisi sebagai terbaik dalam mutu, maka mutu
perlu dikomunikasikan dengan memilih tanda atau petunjuk fisik yang umumnya
berkaitan dengan penilaian mutu. Harga yang mahal biasanya identik dengan
produk yang bermutu tinggi.
d. Bauran Pemasaran
Pemasaran dapat diartikan, selain yang telah didefinisikan di atas, sebagai
proses perencanaan dan pelaksanaan konsepsi, penetapan harga, promosi, dan
distribusi gagasan, barang dan jasa dalam rangka memuaskan tujuan individu
dan organisasi (Chandra, 2005). Dalam implementasinya, organisasi perusahaan
atau individu menggunakan serangkaian alat pemasaran yang dikenal dengan
Bauran Pemasaran (Maketing Mix).
Marketing mix merupakan kombinasi variabel-variabel atau kegiatan yang merupakan inti dari sistem pemasaran, yang dapat dikendalikan oleh perusahaan
untuk mempengaruhi tanggapan konsumen dalam pasar sasaran. Stanton (1986)
mendefinisikan marketing mix adalah istilah yang dipakai untuk menjelaskan kombinasi empat besar pembentuk inti sistem pemasaran sebuah organisasi.
Keempat unsur tersebut adalah penawaran produk/ jasa, struktur harga, kegiatan
promosi, dan sistem distribusi yang disebut Four P's yaitu :
1) Product (Produk/ Jasa)
Terdiri atas variasi produk/ jasa, kualitas, kuantitas, desain, fitur, merek,
kemasan, ukuran, layanan dan garansi. Produk merupakan elemen yang
paling penting, karena dengan produk inilah perusahaan berusaha untuk
memenuhi "kebutuhan dan keinginan" konsumen.
Terdiri atas harga katalog, diskon, potongan khusus, periode pembayaran,
dan persyaratan kredit.
3) Place (tempat/ Saluran Distribusi)
Setelah perusahaan berhasil menciptakan barang atau jasa yang dibutuhkan
konsumen dan menetapkan harga yang layak, tahap selanjutnya adalah
menentukan metode penyampaian produk/ jasa tersebut ke konsumen/ pasar.
Pengertian tempat dalam kontek marketing mix tidak hanya merupakan
pengertian secara fisik tetapi tempat atau keberadaan produk yang mudah
didapat oleh konsumen baik di suatu took, distributor, atau jaringan
pemasaran lainnya. Semakin mudah tempat/ keberadaan suatu produk akan
sangat mudah dilihat, diingat dan diputuskan untuk memilihnya.
4) Promotion (Promosi)
Aspek ini berhubungan erat dengan berbagai kegiatan untuk memberikan
informasi tentang produk/ jasa yang ditawarkan yang meliputi antara lain
kegiatan periklanan (advertising), penjualan pribadi (Personal Selling),
Promosi penjualan (Sales Promotion) dan Publisitas (Publicity).
2.4.3 Strategi Samudera Biru (Blue Ocean Strategy)
Persaingan dalam pemasaran produk merupakan hal yang wajar dan sering
terjadi. Perusahaan berlomba-lomba untuk saling ’mengalahkan satu sama
lainnya’ demi mendapatkan pangsa permintaan yang lebih besar dalam ruang
pasar yang semakin sempit dengan prospek keuntungan/ laba dan pertumbuhan
semakin berkurang.
Strategi Samudera Biru (Blue Ocean Strategy) merupakan suatu strategi
pemasaran yang berusaha keluar (menghindari) kompetisi baik dengan produk
sejenis maupun tidak sejenis dan menciptakan ruang pasar baru yang belum
terjelajahi, menciptakan permintaan dan peluang pertumbuhan yang
menguntungkan. Fokus utama dari Strategi Samudera Biru (Blue Ocean Strategy)
ini adalah menciptakan inovasi nilai (Value I nnovation).
a. Inovasi Nilai : Batu-Pijak Strategi Samudera Biru
I novasi nilai memberikan penekanan setara pada nilai dan inovasi. Nilai
tanpa inovasi cenderung berfokus pada penciptaan nilai dalam skala besar,
dengan kata lain sesuatu yang meningkatkan nilai produk tetapi tidak memadai
bersifat mengandalkan teknologi, pelopor pasar atau futuristik dan sering
membidik sesuatu yang belum siap diterima dan dikonsumsi oleh pembeli (Kim & Mauborgne, 2005). Dalam pengertian ini, sangat penting membedakan antara
inovasi nilai, inovasi teknologi, dan usaha menjadi pelopor pasar. I novasi nilai
diciptakan dalam wilayah di mana tindakan perusahaan secara positif
memengaruhi struktur biaya dan tawaran nilai bagi pembeli. Penghematan biaya
dilakukan dengan menghilangkan dan mengurangi faktor-faktor yang menjadi
titik persaingan dalam industri. Nilai pembeli ditingkatkan dengan menambah dan
menciptakan elemen-elemen yang belum ditawarkan industri. Dalam perjalanan
waktu, biaya berkurang lebih jauh ketika skala ekonomi bekerja setelah terjadi
volume penjualan tinggi akibat nilai unggul yang diciptakan.
Sebagaimana ditunjukan dalam Gambar 4 dibawah ini, penciptaan
samudera biru adalah menekan biaya seefisien mungkin dan meningkatkan nilai
produk bagi pembeli, sehingga nilai yang diterima pembeli berasal dari manfaat
dan harga yang ditawarkan perusahaan kepada pembeli, dan nilai bagi
perusahaan dihasilkan dari harga dan struktur biaya. I novasi nilai tercapai hanya
ketika keseluruhan system kegiatan utilitas, harga, dan biaya perusahaan
terpadu dengan tepat (Kim & Mauborgne, 2005).
Biaya
I novasi Nilai
Nilai Pembeli
[image:44.612.221.385.437.583.2]Upaya Bersamaan dalam mengejar Diferensiasi dan Biaya Rendah
Gambar 4. Dinamika diferensiasi-biaya rendah yang mendasari inovasi nilai.
Sumber : ”Strattegi Samudera Biru”. Kim, W.C. and R. Mauborgne. 2005. Hal. 36
Dalam mendukung perumusan dan penerapan Strategi Samudera Biru,
telah dirumuskan enam prinsip Strategi Samudera Biru yang mendorong
kesuksesan penerapan dan pelaksanaannya beserta resiko-resiko yang ditangani
oleh prinsip-prinsip tersebut (Kim & Mauborgne, 2005). Ke-enam prinsip
tersebut adalah merekonstruksi batasan-batasan pasar, fokus pada gambaran
pasar bukan pada angka, menjangkau melampaui permintaan yang ada,
melakukan rangkaian strategis dengan tepat, mengatasi hambatan-hambatan
utama dalam organisasi dan mengintegrasikan eksekusi ke dalam strategi.
c. Kerangka Kerja dan Alat Analisis
Kerangka kerja dan alat analitis untuk menciptakan inovasi nilai dalam
penerapan Strategi Samudera Biru (Blue Ocean Strategy) adalah:
1) Kanvas Strategi
Yaitu kerangka aksi sekaligus diagnosis untuk membangun strategi
samudera biru yang baik. Kanvas strategi memiliki fungsi merangkum situasi
saat ini dalam ruang pasar yang sudah dikenal sehingga bisa memahami
dimana kompetisi saat ini sedang tercurah, faktor-faktor apa yang sedang
dijadikan ajang kompetisi dalam produk dan jasa serta memahami apa yang
didapatkan konsumen dari penawaran kompetitip di pasar.
2) Kerangka Kerja Empat Langkah (four actions framework)
Yaitu suatu langkah kerja yang mengevaluasi faktor-faktor yang
berpengaruh dalam penciptaan kurva nilai baru. Kerangka kerja empat
langkah mempunyai empat pertanyaan kunci antara lain :
a) Faktor apa saja yang harus dihapuskan dari faktor-faktor yang telah
berlangsung selama ini pada industri?
b) Faktor apa saja yang harus dikurangi hingga di bawas standar industri? c) Faktor apa saja yang harus ditingkatkan hingga di atas standar industri?
d) Faktor