• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kewenangan Pihak Kepolisian Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menurut Undang-Undang No 15 Tahun 2003

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kewenangan Pihak Kepolisian Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menurut Undang-Undang No 15 Tahun 2003"

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

KEWENANGAN PIHAK KEPOLISIAN DALAM

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME

MENURUT UNDANG-UNDANG NO 15 TAHUN 2003

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi syarat gelar strata satu Program Ilmu Hukum

Oleh

Melky Sidhek Gultom 080200377

SEKOLAH TINGGI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

KATA PENGANTAR

Berkat Anugerah, bimbingan, petunjuk dan kesehatan yang diberikan Tuhan Yesus Kristus kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan tugas akhir perkuliahan Strata 1 dalam bentuk Skripsi pada Fakultas Hukum Universitas SumateraUtara Medan.

Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat yang harus penulis penuhi guna menyelesaikan studi Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara Medan unruk memperoleh gelar Sarjana Hukum. Skripsi ini berjudul : “KEWENANGAN PIHAK KEPOLISIAN DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003”.

Skripsi ini berhasil diselesaikan atas bantuan yang sangat besar dari beberapa pihak, dan yang pertama dihaturkan limpah terimakasih kepada yang terhormat dan sangat terpelajar :

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. DR. dr. Syahril Pasaribu, DTM & H, M.Sc (CTM), Sp.A(K), yang telah membuka jalan memberi kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan studi Strata 1 ini.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

3. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum selaku Pembantu Dekan Satu Universitas Sumatera Utara Medan.

4. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, M.Hum, DMF selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara Medan.

5. Bapak Muhammad Husni, SH, MH selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara Medan.

6. Ketua Departemen Hukum Pidana Bapak Dr. M. Hamdan, SH, MH selaku Dosen Penguji.

7. Ibu Liza Erwina, SH, M.Hum selaku Sekertaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara.

8. Bapak Dr. Madiasa Ablisar SH, MS selaku Dosen Pembimbing I merangkap Dosen Penguji yang telah membantu meringankan penulisan skripsi ini.

9. Ucapan terimakasih yang mendalam kepada Bapak Dr. Mahmud Mulyadi SH, M.Hum selaku Dosen Pembimbing II merangkap Dosen Penguji yang telah membantu menyelesaikan penulisan skripsi ini. 10.Terima kasih kepada Bapak Dr. Mohammad Ekaputra SH, M.Hum

(3)

11.Terima kasih kepada Bapak Alwan SH, M.Hum selaku Dosen Penguji. 12.Terima kasih kepada seluruh Bapak/Ibu Dosen Fakultas Hukum

Universitas Sumatra Utara yang telah memberikan semangat, arahan dan bimbingan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Secara khusus penulis sampaikan terima kasih yang mendalam dan sembah sujud kepada orang tua penulis Ayahanda Dr. Binsar Gultom SH, SE, MH dan Ibunda Sri Misgianti SE yang telah membesarkan dan mendidik dengan penuh kasih sayang sehingga penulis sampai ke jenjang sarjana hukum.

Dalam kesempatan yang berbahagia ini penulis sampaikan terimakasih yang mendalam untuk saudara kandung Mis Nani Bintary Meyven Gultom SH, MH, dr. Widya Mandala Sari Gultom S.Ked, Maher Syalal Hasy Bas Gultom, Brian Daven Kyher Gultom, keponakan Almissya Berbita Lamarasih Marpaung yang telah banyak membatu dan memberikan dorongan kepada penulis dan terimakasih atas pengorbanannya selama ini.

Terima kasih yang mendalam untuk sahabat-sahabat maupun rekan-rekan penulis, Erny Elisabeth Siregar S.sos, Sylvia Sarah S.Ked, Aditya Safri Ginting ST, Leoni Ginting SE, Windha Auliana Yusra SH, Nur Lisa Hasibuan, Tulus Simarmata, Hermanto William SP, Ricky Hendra Siagian SP, Tofri Sitorus SH, Joseph Tamaro SH, Jody Hutabarat SH, Dede Alfero SH, Renova Hutapea SH, Amelia Anggriany SH, Grace Roselyn SH, Arimbi Matilda SH, Stephan Alexander Ferdinandus SH, Sere Beatrix Eugine SH, Thomas Clive Brain Purba SH, Hisar Julius Simanjuntak SH, Romario Sembiring SH, Sandi Mahaputra Bangun, Rizky Salam ST, Lasro Akmal SH, Mawar Simanjuntak S.Ked, Ulan Dhani SP, Abidin Yunus SH, Mirza Firmansyah SH, Fahrul Razi SH, Dendy SH, Teman Komunitas B & K Revolution, Tim Futsal jumat dan sabtu dan masih banyak lagi yang tidak bisa disebutkan satu-satu namanya yang telah memberikan bantuan motivasi maupun dorongan untuk cepat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pegawai dan staf Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang tidak dapat disebutkan namanya satu per satu.

(4)

Sekalipun penulisan skripsi ini jauh dari sempurna, namun sangat diharapkan masukan dari berbagai pihak demi kesempurnaan skripsi ini, semoga Tuhan selalu menyertai dan melindungi kita semua, Amin.

Medan, Mei 2013 Hormat Penulis,

(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAK ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 11

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 11

D. Keaslian Penulisan ... 12

E. Tinjauan Kepustakaan ... 13

F. Metode Penelitian ... 22

G. Sistematika Penulisan ... 25

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA TERORISME MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG TERORISME ... 26

A. Tindak Pidana Terorisme Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 ... 26

B. Perumusan Tindak Pidana, Unsur-Unsur dan Subjek Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 ... 37

C. Sanksi Tindak Pidana Terorisme Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Terorisme ... 48

BAB III KEWENANGAN KEPOLISIAN DALAM MEMBERANTAS TINDAK PIDANA TERORISME ... 51

A. Kewenangan Menurut KUHAP ... 51

B. Kewenangan Menurut Undang-Undang Kepolisian ... 66

(6)

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 86

A. Kesimpulan ... 86

B. Saran ... 88

(7)

ABSTRAK Melky Sidhek Gultom Dr. Madiasa Ablisar SH, MS Dr. Mahmud Mulyadi SH, M.Hum

Terorisme merupakan ancaman buruk bagi setiap negara di dunia, menghancurkan stabilitas negara, fungsi keamanan, sosial budaya, ekonomi, politik dan bahkan dapat mengguncang berbagai pihak agama. Sebagai negara hukum, Indonesia memiliki kewajiban untuk melindungi hak-hak warga negaranya. Melalui Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, pelaku terorisme wajib diberantas sampai kepada akar-akarnya untuk terciptanya keamanan, ketentraman dan kesejahteraan sosial bagi masyarakat. Untuk itu kewenangan Kepolisian dalam memberantas tindak pidana terorisme adalah membentuk Datasemen Khusus 88 Anti Teror sebagai pasukan elit khusus untuk menghadapi aksi teroris maupun pemberantasannya.

Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah: Pertama, bagaimanakah pengaturan tindak pidana terorisme menurut Undang-undang Nomor 15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme? Kedua, bagaimanakah kewenangan Kepolisian dalam memberantas tindak pidana terorisme, metode yang digunakan dalam skripsi ini yaitu metode pendekatan yuridis normatif, sumber data yang digunakan adalah data sekunder melalui alat pengumpulan data studi pustaka dan melalui data kualitatif.

Kesimpulan dalam skripsi ini, bahwa kewenangan Kepolisian dalam pemberantasan tindak pidana terorisme mengacu pada berbagai upaya-upaya yang ditempuh, penerapan peraturan-peraturan hukum dan sanksi terhadap pelaku teror, serta menerapkan kebijakan penal dan non penal, UUPTPT menerapkan pemberlakuan hukum secara retroaktif terhadap kasus-kasus yang sudah berlalu sebelum munculnya UUPTPT yang mengaturnya, kewenangan Kepolisian untuk mewujudkan perlindungan, pengayoman, dan penegakan hukum bagi masyarakat serta melibatkan peran Detasemen Khusus 88 Anti Teror sebagai bagian terdepan melakukan penindakan dan penangkapan. Dianjurkan terhadap Polri untuk melakukan pengawasan penduduk kota maupun desa bagi peran Polisi Masyarakat (Polmas) sangat penting sebagai deteksi dini terhadap perkembangan masyarakat setempat, diharapkan bimbingan pengajaran SDM bagi Kepolisian secara profesional dalam misi pemberantasan terorisme.

(8)

ABSTRAK Melky Sidhek Gultom Dr. Madiasa Ablisar SH, MS Dr. Mahmud Mulyadi SH, M.Hum

Terorisme merupakan ancaman buruk bagi setiap negara di dunia, menghancurkan stabilitas negara, fungsi keamanan, sosial budaya, ekonomi, politik dan bahkan dapat mengguncang berbagai pihak agama. Sebagai negara hukum, Indonesia memiliki kewajiban untuk melindungi hak-hak warga negaranya. Melalui Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, pelaku terorisme wajib diberantas sampai kepada akar-akarnya untuk terciptanya keamanan, ketentraman dan kesejahteraan sosial bagi masyarakat. Untuk itu kewenangan Kepolisian dalam memberantas tindak pidana terorisme adalah membentuk Datasemen Khusus 88 Anti Teror sebagai pasukan elit khusus untuk menghadapi aksi teroris maupun pemberantasannya.

Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah: Pertama, bagaimanakah pengaturan tindak pidana terorisme menurut Undang-undang Nomor 15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme? Kedua, bagaimanakah kewenangan Kepolisian dalam memberantas tindak pidana terorisme, metode yang digunakan dalam skripsi ini yaitu metode pendekatan yuridis normatif, sumber data yang digunakan adalah data sekunder melalui alat pengumpulan data studi pustaka dan melalui data kualitatif.

Kesimpulan dalam skripsi ini, bahwa kewenangan Kepolisian dalam pemberantasan tindak pidana terorisme mengacu pada berbagai upaya-upaya yang ditempuh, penerapan peraturan-peraturan hukum dan sanksi terhadap pelaku teror, serta menerapkan kebijakan penal dan non penal, UUPTPT menerapkan pemberlakuan hukum secara retroaktif terhadap kasus-kasus yang sudah berlalu sebelum munculnya UUPTPT yang mengaturnya, kewenangan Kepolisian untuk mewujudkan perlindungan, pengayoman, dan penegakan hukum bagi masyarakat serta melibatkan peran Detasemen Khusus 88 Anti Teror sebagai bagian terdepan melakukan penindakan dan penangkapan. Dianjurkan terhadap Polri untuk melakukan pengawasan penduduk kota maupun desa bagi peran Polisi Masyarakat (Polmas) sangat penting sebagai deteksi dini terhadap perkembangan masyarakat setempat, diharapkan bimbingan pengajaran SDM bagi Kepolisian secara profesional dalam misi pemberantasan terorisme.

(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat.1

Terorisme, bukan saja mengancam negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris dan Australia bahkan juga terjadi di negera-negara yang sedang berkembang misalnya di Indonesia. Hal tersebut sama dengan yang disebutkan oleh Nasir Abas dalam bukunya berjudul “Memberantas Terorisme, Memburu Noordin M. Top”, yaitu “terorisme ternyata belum mati di Indonesia”.

Mencermati penanganan kasus tindak pidana terorisme yang terjadi dewasa ini, dikaitkan menurut UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang terorisme, maka peran pihak kepolisian untuk mencegah dan memberantas sindikat terorisme yang sudah menyebar keseluruh penjuru dunia harus ditangani secara waspada dan serius.

2

Terorisme tradisional secara umum ditandai dengan adanya kelompok dengan personel dan komando yang jelas, organisasi sistem piramid-hirarkial, aktor terlibat secara penuh mulai perencanaan sampai ploting target, pemilihan target sangat selektif, operasi serangan dengan cara konservatif dan organisasi yang melaksanakan mengklaim atau mengakui perbuatannya.3

1

http://id.wikipedia.org/wiki/Terorisme.

Terorisme model ini terjadi pada masa sebelum gencar-gencarnya operasi terorisme pasca 9/11,

2

Nasir Abas., Memberantas Terorisme, Memburu Noordin M. Top, (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2009), hal.13.

3

(10)

dimana kita mengenal nama AL-Qaeda dan Jamaah Islamiyah (JI). Ketika masa jayanya Osama Bin Laden, banyak organisasi teroris termasuk JI berupaya merangsek ke Afganistan untuk mendapat restu, berafiliasi atau mendapatkan dukungan dengan Al-Qaeda. Pada model ini, keuntungan yang didapat adalah kemudahan dalam menggalang dana dan kemudahan mengorganisir serangan berskala besar.4 Sebagaimana peristiwa, Bom Bali I dan II, serta Bom J.W. Marriot I dan II, adalah produksi dari pola terorisme tradisional. Karena serangan direncanakan dengan pengorganisasian, pendanaan dan perencanaan yang baik maka hasil serangan pun sangat dahsyat. Namun demikian kekurangannya adalah ketika satu per satu sel-sel terorisme tertangkap atau terbongkar maka seluruh organisasi akan kolaps dan semua aktor lapangan hingga pimpinan global akan terendus.5

Kelemahan pola modern sampai sejauh ini adalah organisasi teroris lebih sulit untuk melancarkan serangan-serangan dalam skala besar karena setiap kelompok memiliki anggota, jaringan dan dana yang minim. Sehingga secara umum terorisme modern menghasilkan kuantitatif serangan yang lebih intens, sporadik karena setiap kelompok bergerak terpisah dan target terpisah, namun daya rusak menjadi menurun.

Dan betul adanya, jaringan Al Qaeda dan JI memang menderita karena tekanan aparat pasca 9/11.

6

Dalam pola modern, hubungan antar organisasi bisa terjadi bila memang situasinya memungkinkan, namun secara umum organisasi teroris telah berubah menjadi grup-grup kecil yang beroperasi secara parsial. Ketika pada masa jaya

4 Ibid. 5

Ibid. 6

(11)

Qaeda, Osama Bin Laden menjadi centre of gravity tempat mohon restu dan dukungan dana, maka pada pola modern ia hanyalah simbol perjuangan dan ideologi.

Hal ini bertambah nyata ketika Osama juga mulai menghilang di perbatasan Pakistan-Afganistan dan kehilangan kontak global. Para teroris senior di masing-masing wilayah termasuk Indonesia, yang dulunya betul-betul memegang kendali organisasi, berikutnya hanya menjadi motivator atau simbol perjuangan sebagaimana Osama Bin Laden.

Pola terorisme modern memunculkan fenomena baru bernama phantom cell network (jaringan sel hantu), leaderless resistance (tanpa pemimpin) dan lone wolver (serigala tunggal).7

Sedangkan “serigala tunggal” adalah aktor-aktor yang telah termotivasi dan sanggup merencanakan dan mengeksekusi aksi terorisme secara mandiri. Dalam hal ini, status si aktor atau organisasi tidak terlalu penting, yang terpenting

Konsepsi jaringan sel hantu terorisme adalah hubungan antar grup dilaksanakan dengan jalan sangat rahasia, tidak ada ikatan kelompok, struktur yang tidak jelas, namun tujuan ideologinya sama. Konsepsi terorisme “tanpa pemimpin” bisa dikatakan sebagai teori motivasi, dimana sang pemimpin spiritual hanya memotivasi sosok-sosok yang dinilai sudah ikhlas untuk menjadi martir untuk menentukan dan menyerang targetnya sendiri. Sosok-sosok tersebut akan digarap dalam pola hubungan yang dikesankan begitu religius, lalu diperlancar untuk mendapatkan dukungan logistik untuk menjalankan aksi-aksinya.

(12)

adalah terorisme terus berjalan, semakin banyak mendapatkan banyak kader dan serangan tetap berlangsung walaupun dalam skala kecil.8

Setelah pola terorisme baru, berikutnya dikenal pola terorism hybrid. Sebagian ahli menjadikan pola terorisme hybrid sebagai bagian pola baru dan sebagian lain menempatkannya dalam trend yang terpisah. Dalam kamus Merriam-Wesbter, hybrid berarti “keturunan, varietas, spesies atau gere dari dua ragam budaya, asal atau komposit yang heterogen”. Terminologi terorism hybrid yang paling banyak disepakati adalah versi Boaz Ganor yaitu “organisasi teroris yang menjalankan aksinya melalui kontes politik dan kekerasan”.

Tidak mengherankan bila menanggapi aksi-aksi para “serigala tunggal” belakangan ini, akan begitu mudah bagi sang aktor layar belakang untuk mengatakan tidak terlibat.

9

Pada konteks ini teroris akan menggunakan konsep operasional dalam multi-kharakter berupa instrumen organisasi politik yang sah, namun bisa memotivasi kekerasan lewat “phantom cell network”, berpura-pura membangun media pendidikan dan kesejahteraan, membeli simpati dan merekrut dengan paham appocalypstic (cepat atau lambat kiamat pasti datang) dan menyalurkan aspirasi perlawanan politik dan indoktrinasi lewat media. Model operasinya pun dinamakan dengan operasi hybrid, yang saya istilahkan sebagai pernikahan silang dari pola lama dan baru, untuk menghasilkan hasil yang paling optimal untuk mencapai tujuan.10

Serangkaian tragedi bom yang terjadi pada masa lalu serta faktor yang mempengaruhi adanya sindikat teroris tersebut perlu diwaspadai dan dicari

8 Ibid. 9

Ibid. 10

(13)

solusinya oleh Pemerintah dunia khususnya di Indonesia. Buktinya sindikat teroris tersebut mampu menggoncangkan Negara adidaya Amerika Serikat hingga menerobos gedung World Trade Center di Amerika Serikat yang dikenal dengan Tragedi World Trade Center 2001. Akibat tragedi tersebut telah mengguncangkan dunia yang luar biasa. Ribuan orang meninggal dunia, trauma, luka dan cacat seumur hidup dalam waktu seketika.

Di Indonesia masuknya teroris mulai merujuk pada ancaman di tempat umum seperti hotel, mall-mall dan tempat keramaian maupun ancaman melewati media telekomunikasi yang membuat warga panik sehingga banyak masyarakat yang bertanya-tanya, apakah negara Indonesia mampu mengatasinya dan masih aman?

(14)

menembak mati Noordin M. Top di Temanggung tanggal 8 Agusutus 2009.11 Yang berlanjut pada peristiwa perampokan terhadap Bank CIMB Niaga di Medan Sumatera Utara pada tanggal 18 Agustus 2010, dimana pelaku perampokan bank tersebut terkait dengan jaringan organisasi terorisme dalam hal pendanaan operasional terorisme.12

Berdasarkan rangkaian peristiwa pemboman dan aksi-aksi teroris yang terjadi di wilayah NKRI telah mengakibatkan hilangnya nyawa tanpa memandang korban dari suku, agama, ras kewarganegaraan. Semuanya itu menjadi sasaran, sebab pada umumnya teroris meledakkan bom tersebut tanpa memandang siapa yang menjadi korbannya di tempat-tempat keramaian bahkan bom juga diledakkan didalam Mesjid atau gereja ketika melaksanakan ibadah atau sholat seperti yang pernah terjadi pada jum’at di lingkungan Markas Kepolisian Resor Kota Cirebon, Jawa Barat tanggal 15 April 2011.13

Terorisme telah memiliki dimensi dan jaringan yang luas yang berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan yang melampaui batas-batas negara dan sudah dapat dikatakan sebagai kejahatan yang melibatkan dunia internasional. Saat ini terorisme tidak hanya menjadikan kehidupan politik untuk sasarannya sebagaimana awal kemunculanya, tetapi telah menambah dan menghancurkan berbagai aspek kehidupan manusia, seperti menurunnya kegiatan ekonomi dan

11

Noordin M. Top dikenal sebagai tokoh utama dalam terorisme berhasil ditembak mati pada tanggal 8 Agustus 2009 oleh Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror Polri.

12

Nasir Abas., Loc. cit. http://www.antaranews.com/berita/1284997005/kapolri-perampokan-bank-cimb-niaga-terkait-terorisme, diakses tanggal 23 Januari 2013. Lihat juga,

Antara News., Tanggal 20 September 2010, hal. 1.

13

(15)

terganggunya kehidupan dan budaya masyarakat yang beradab sehingga digolongkan sebagai salah satu dari delapan trans national crime.14

Terorisme adalah kejahatan terhadap umat manusia yang menjadi ancaman bagi seluruh bangsa dan serta musuh dari semua pemeluk agama dari dunia ini. Dewasa ini terorisme dalam perkembangannya telah membangun suatu organisasi dan memiliki jaringan global dimana kelompok-kelompok terorisme yang berperan dan menyebar di berbagai negara telah dikuasai oleh suatu jaringan terorisme internasional serta telah mempunyai cara dan sistem kerja hubungan mekanisme antara satu dengan yang lainnya baik dalam segi operasional infrastruktur maupun dalam infrastruktur pendukung.15

Dalam pandangan hukum Indonesia, terorisme merupakan salah satu permasalahan dan ancaman yang utama dan nyata baik terhadap pelaksanaan amanat Konstitusi maupun terhadap kesejahteraan masyarakat Indonesia, antara lain melindungi segenap tanah air Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum. Oleh karena itu sudah selayaknya tindakan terorisme dianggap sebagai ancaman bagi kehidupan dan kesejahteraan nasional yang akan berpengaruh terhadap keamanan dan stabilitas nasional.

Terwujudnya stabilitas nasional adalah salah satu kunci terciptanya pemulihan ekonomi guna meningkatkan taraf hidup masyarakat yang berkualitas bagi Bangsa Indonesia dan salah satu pendekatannya melalui hukum, khususnya melalui Kepolisian Republik Indonesia yang mempunyai peran sangat mencolok

14

Moch Faisal Salam (2005), Motivasi tindakan terorisme jakarta: Mandar Maju hal 1

(16)

(spektakuler) dalam mengungkap, memberantas dan menangani tindak pidana terorisme.

Beberapa negara tertentu seperti Amerika Serikat, Australia misalnya telah melakukan suatu perubahan kebijakan nasional.16 Melalui strategi tersebut mereka membentuk sistem hukum yang baru yang dapat melindungi masyarakat dari jerat maupun ancaman terorisme.17

Juga negara yang mencoba bangkit untuk membangun demokrasi dengan cepat melakukan langkah-langkah yang cenderung mengembalikan suatu represi lama, misalnya, dengan cepat menggunakan dan mempertahankan Internal security Act (ISA)

Negara-negara tersebut menghidupkan organisasi maupun melakukan pengawasan politik terhadap mereka yang dianggap memiliki relasi dengan pelaku terorisme.

18

atas nama terorisme. Ketentuan hukum yang bersifat

draconia,19

Ketentuan yang sama juga lahir di berbagai negara dari Afrika sampai benua Amerika. Suasana baru politik global seolah-olah memberikan ijin pada rezim-rezim otoritarian guna mempertahankan kekuasaan dengan menawarkan kemampuan memerangi dengan apa yang biasa di sebut kelompok “teroris”.

yang bertahun-tahun digunakan untuk mendominasi kekuatan oposisi, dengan sangat kuat dipertahankan sebagai bagian dari upaya untuk menanggulangi terorisme.

16

http://www.academia.edu/735650/Pengaruh_AIPAC_Terhadap_Kebijakan_Amerika_Se rikat, diakses pada tanggal 23 Maret 2013.

17 Ibid.

18

Munir, Menanti Kebijakan Anti Terorisme, Koalisi Untuk Keselamatan Sipil, Penerbit Iparsial Koalisi Untuk Keselamatan Sipil, Jakarta, 2003, hal. 3

(17)

Akibat seringnya terjadi teror bom yang dilakukan oleh sindikat Terorisme di Indonesia seperti disebutkan diatas, telah mendorong pemerintah atas desakan berbagai pihak menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 dan 2 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Bahkan pemerintah memberikan kewenangan yang sangat luas kepada Badan Intelijen Nasional (BIN) dan Data Semen Khusus 88 (Densus 88) Anti Teror yang bekerja sama dengan Kepolisian Republik Indonesia untuk melakukan berbagai langkah mendukung operasi menyikat habis kelompok yang diidentifikasi sebagai pelaku tindak pidana terorisme.

Karena dampak terorisme mencakup berbagai aspek kehidupan, maka pemberantasan terorisme telah menjadi prioritas utama pemerintah dalam kebijakan politik dan keamanan secara global. Itu sebabnya kejahatan terorisme digolongkan kepada kejahatan luar buasa (extra ordinary crime) dan penangangannya pun harus dilakukan secara luar biasa pula. Oleh sebab, Pemerintah Indonesia bertekad melakukan perang melawan terorisme dan mengambil langkah-langkah kebijakan dalam pemberantasan yang serius dengan dikeluarkannya Perpu Nomor 1 Tahun 2002, Perpu Nomor 2 Tahun 2002 dan Inpres Nomor 4 Tahun 2002.

(18)

mengungkap jaringannya sampai keakar-akarnya hingga mengajukan para pelaku teror bom ke sidang pengadilan untuk dimintai pertanggungjawabannya secara hukum.

Perubahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2002 menjadi undang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, diperlukan karena tindak pidana terorisme merupakan suatu tindak pidana yang luar biasa (extra ordinary crime) dan dibutuhkan pula penanganan yang luar biasa (extra ordinary measures).20

Kepolisian Republik Indonesia merupakan ujung tombak dalam memberantas pelaku tindak pidana terorisme di Indonesia, menangkap pelaku, mencegah, melakukan penyelidikan dan penyidikan, bahkan menembak mati para pelaku teror, membentuk Tim Khusus yaitu Densus 88 Antiteror yang berada pada garis terdepan memberantas terorisme tersebut.

Dari fungsi dan wewenang Kepolisian tersebut dapat dipastikan, bahwa peranan Kepolisian untuk pemberantasan tindak pidana terorisme tersebut tidak terlepas dari tiga fungsi sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat dimana Kepolisian harus melindungi masyarakat dari tindakan-tindakan yang mengancam jiwa warga negara Indonesia. Disini Kepolisian melalui Densus 88 Antiteror harus berpedoman kepada undang-undang yang mendasari yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonsia (selanjutnya disebut UU Kepolisian).

20

(19)

Oleh sebab itu peran kepolisian untuk menanggulangi tindak pidana terorisme harus ditingkatkan dan berjiwa profesional, untuk memberantas tuntas teroris yang ada di Indonesia dengan menggenapi dan melaksanakan seluruh peraturan yang ada, mulai dari UU Kepolisian yang berkaitan dengan teroris dan UU terorisme yang berlaku di tanah air, sehingga peran kepolisian dapat dioptimalkan untuk memberantas teroris dan mewujudkan keamanan bagi Bangsa Indonesia.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, sebagai objek pembahasan dalam penulisan skripsi ini penulis memberikan rumusan masalah, sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaturan tindak pidana terorisme menurut UU Nomor. 15 Tahun 2003 tentang terorisme?

2. Bagaimanakah kewenangan kepolisian dalam memberantas tindak pidana terorisme?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Tujuan penulisan antara lain:

1. Untuk mengetahui pengaturan, dan sanksi hukum terhadap UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang tindak pidana terorisme.

2. Untuk mengetahui dan mendalami kewenangan tugas pokok dan fungsi Polri dalam memberantas habis tindak pidana terorisme.

(20)

a. Secara teoritis, penulisan ini dapat membuka wawasan dan paradigma berfikir dalam memahami dan mendalami permasalahan hukum khususnya pemahaman tentang sejauh mana peranan kepolisian dalam penanggulangan dan pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia. Selain itu, penulisan ini dapat menjadi bahan perbandingan dan referensi bagi peneliti selanjutannya serta dapat memperkaya ilmu pengetahuan. Penulisan ini juga sebagai kontribusi bagi penyempurnaan perangkat peraturan mengenai tindak pidana terorisme di Indonesia.

b. Secara praktis penulisan ini bermanfaat bagi kalangan aparat penegak hukum khususnya aparat Kepolisian Republik Indonesia (Polri), agar dapat lebih mengetahui dan memahami tentang kewenangan lembaga Kepolisian sebagai institusi yang diharapkan berada pada garda terdepan dalam penanggulangan dan pemberantasan tindak pidana terorisme. Peranan kepolisian tersebut meliputi pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenangnya dalam praktik di lapangan.

D. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi ini adalah asli dari ide, gagasan pemikiran dan usaha penulis sendiri bukan merupakan hasil ciptaan atau hasil penggandaan dari karya tulis orang lain yang dapat merugikan pihak-pihak tertentu.

(21)

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Kewenangan

Pengertian kewenangan menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) adalah kekuasaan membuat keputusan memerintah dan melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain.21

Secara pengertian bebas kewenangan adalah hak seorang individu untuk melakukan sesuatu tindakan dengan batas-batas tertentu dan diakui oleh individu lain dalam suatu kelompok tertentu. Sementara berbicara tentang sumber-sumber kewenangan,maka terdapat 3 ( tiga ) sumber kewenangan yaitu :

Berbicara kewenangan memang menarik, karena secara alamia manusia sebagai mahluk sosial memiliki keinginan untuk diakui ekstensinya sekecil apapun dalam suatu komunitasnya,dan salah satu factor yang mendukung keberadaan ekstensi tersebut adalah memiliki kewenangan.

22

1. Sumber Atribusi yaitu pemberian kewenangan pada badan atau lembaga / pejabat Negara tertentu baik oleh pembentuk Undang-Undang Dasar maupun pembentuk Undang-Undang.Sebagai contoh : Atribusi kekuasaan presiden dan DPR untuk membentuk Undang-Undang.

2. Sumber Delegasi Yaitu penyerahan atau pelimpahan kewenanangan dari badan / lembaga pejabat tata usaha Negara lain dengan konsekuensi tanggung jawab beralaih pada penerima delegasi.Sebagai contoh : Pelaksanaan persetujuan DPRD tentang persetujuan calon wakil kepala daerah.

21

Kamus Besar Bahasa Indonesia, “Pengertian Kewenangan”, Balai Pustaka, Jakarta Cetakan ke 3, Hal 439.

22

(22)

3. Sumber Mandat yaitu pelempahan kewenangan dan tanggung jawab masih dipegang oleh sipemberi mandat. Sebagai contoh : Tanggung jawab memberi keputusan-keputusan oleh menteri dimandatkan kepada bawahannya.

Dari ketiga sumber tersebut maka merupakan sumber kewenangan yang bersifat formal,sementara dalam aplikasi dalam kehidupan social terdapat juga kewenanagan informal yang dimiliki oleh seseorang karena berbagai sebab seperti : Kharisma, kekayaan, kepintaran, ataupun kelicikan.

Tapi pada kesempatan ini,akan lebih banyak berbicara tentang kewenangan yang bersifat formal dan berkaitan erat dengan konsep hubungan pemerintah pusat dan daerah.Pasal 10 ayat 3 Undang-undang No32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah menyatakan bahwa urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah (pusat) meliputi :

a. Politik luar negeri b. Pertahanan c. Keamanan d. Yustisi

e. Moneter dan fiscal nasional f. Agama23

2. Pengertian Tindak Pidana Terorisme

Pada saat ini tidak ada definisi hukum secara universal mengenai istilah terorisme. Hal ini menimbulkan banyak perdebatan mengenai pelaksanaan suatu aturan kepada suatu hal yang belum jelas definisi hukum nya. Pembuktian akan

(23)

suatu hal menjadi sulit ketika hal tersebut belum mempunyai definisi secara hukum.

Kata Terorisme berasal dari kata “terrere” yang kurang lebih memiliki arti membuat orang pada dasarnya gemetar atau menggetarkan. Pada dasarnya ialah “terorisme” merupakan sebuah kata atau suatu pemikiran yang memiliki konotasi yang sangat sensitif, karena terorisme mengakibatkan pembunuhan maupun penderitaan terhadap kaum manusia. Tidak ada negara yang ingin dituduh sebagai negara yang mendukung gerakan terorisme atau menjadi tempat persembunyian teroris.24

Mengenai pengertian yang baku dan definitive dari apa yang disebut dengan Tindak Pidana Terorisme itu, sampai saat ini belum ada keseragaman. Hal ini dapatdibuktikan menurut Prof. M. Cherif Bassiouni, ahli hukum pidana internasional, mengatakan tidak mudah untuk mengadakan suatu pengertian yang identik yang dapat diterima secara universal sehingga sulit mengadakan pengawasan atas makna terorisme tersebut.

25

Sedangkan menurut pendapat para ahli hukum yang lain terkait dengan pengertian Terorisme itu adalah sebagai berikut:

Brian Jenkins

Terorisme merupakan pandangan yang subjektif. Tidak mudah merumuskan definisi terorisme, tampak dari usaha Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan

10 Maret 2013.

25

(24)

membentuk Ad Hoc Committee on Terrorism tahun 1972 yang bersidang selama tujuh tahun tanpa enghasilkan rumusan definisi.

Black’s Law Dictionary

Terorisme adalah kegiatan yang melibatkan unsur kekerasan atau yang menimbulkanefek bahaya bagi kehidupan manusia yang melanggar hukum pidana, dengan maksud dan tujuan:

A. Mengintimidasi penduduk sipil B. Mempengaruhi kebijakan pemerintah

C. Mempengaruhi penyelenggaraan negara dengan cara penculikan atau pembunuhan26

Webster’s New World College Dictionary 1996

Definisi terorisme adalah “the use of force or threats to demoralize, intimidate, and subjugate”, doktrin membedakan terorisme kedalam dua macam definisi, yaitu definisi tindakan teroris (terrorism act) dan pelaku terorisme (terrorism actor).

Central Intelligence of Agency(CIA)

Terorisme internasional adalah terorisme yang dilakukan dengan dukungan pemerintahan atau organisasi asing dan atau diarahkan untuk melawan negara, lembaga atau pemerintahan asing.

(25)

Federal Bureau of Investigation (FBI)

Terorisme adalah penggunaan kekuasaan tidak sah atau kekerasan atas seseorang atau harta untuk mengintimidasi sebuah pemerintahan, penduduk sipil dan elemen-elemenya untuk mencapai tujuan-tujua social atau politik.27

Departments of State and Defense

Terorisme adalah kekerasan yang bermotif politik dan dilakukan oleh agen negara atau kelompok subnasional terhadap sasaran kelompok non kombatan.

Prof. Muladi memberi catatan atas definisi teroris, bahwa hakekat perbuatan terorisme mengandung perbuatan kekerasan atau ancaman yang berkarakter politik. Bentuk perbuatan bias merupakan perampokan, pembajakan maupun penyanderaan. Pelaku dapat merupakan individu, kelompok atau negara. Sedangkan hasil yang diharapkan adalah munculnya rasa takut, pemerasan, perubahan radikal politik, tuntutan Hak Asasi Manusia, dan kebebasan dasar untuk pihak yang tidak bersalah serta kepuasan tuntutan politik lain.28

Sedangkan tujuan-tujuan dari terorisme adalah :

1. Mempublikasi suatu alasan lewat aksi kekejaman, karena hanya lewat aksi semacam itu publikasi yang cepat dan massif dimungkinkan;

2. Aksi balas dendam terhadap rekan atau anggota kelompok; 3. Katalisator bagi militerisasi atau mob ilisasi massa;

4. Menebar kebencian dan konflik interkomunal; 5. Mengumumkan musuh atau kambing hitam;

27 Ibid. 28

(26)

6. Menciptakan iklim panik massa, menghancurkan kepercayaan public terhadap pemerintah dan polisi. 29

2.1. Pengaruh dan Dampak Terorisme

Aksi terorisme selain berpengaruh luar biasa pada ketakutan publik dalam sistem kenegaraan, aksi terorisme juga berdampak jauh pada hampir semua bidang kehidupan seperti ideologi, ekonomi, politik pertahanan keamanan bahkan agama.

a. Ideologi

Persepsi yang berhasil dibangun di tengah-tengah masyarakat internasional, Osama bin Laden merupakan musuh nomor satu Amerika. Osama bin Laden beserta organisasi Al Qaeda dianggap sebagai kelompok anti kapitalisme. Sementara bagi kalangan tertentu, Osama dan organisasinya merupakan pahlawan yang melawan arogansi AS dan sekutunya sebagai simbol kapitalisme. Perang yang sedang berlangsung saat ini adalah antara fanatis dan radikalisme agama Islam versus neokolonialisme dan kapitalisme.

b. Ekonomi

Dampak tragedi pengeboman WTC membuat "trauma berpergian" masyarakat dunia dengan pesawat terbang. Dampaknya dirasakan berbagai perusahaan penerbangan diberbagai negara menyebabkan maskapai penerbangan mengalami kerugian.

29

(27)

c. Politik

Pasca pemboman WTC di New York, 11 September 2001 peta politik dunia berubah drastis. AS mengakomodir kebijakan luar negeri "pre-emptif' dan menggalang kerjasama berbagai negara untuk memberantas terorisme. Jaringan Osama bin Laden bersama organisasi Al Qaeda-nya dijadikan musuh oleh AS dan sekutunya.

d. Pertahanan dan Keamanan

Perang terhadap terorisme yang diprakarsai Amerika melampaui batas wilayah domestik negara. Kedepan, terorisme tidak mengenal batas wilayah, baik aksi maupun dampak yang ditimbulkannya. Contohnya penyerangan Amerika Serikat ke Afganistan dan Irak.30

e. Agama

Tujuan semua agarna pada dasarnya menjadi rahmnat, membawa pesan perdamaian umat manusia di dunia. Yang jadi masalah adalah kalau agama diidiologikan dan ideologi diagamakan sekelompok orang. Bila agama dijadikan kendaraan politik untuk merebut kekuasaan sesaat, sangat rentan menyerat umat ke area konflik berkepanjangan.31

3. Pengertian Polisi

Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, memberi arti kata dan makna Polisi adalah:

30 Ibid. 31

(28)

1. Badan pemerintah yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban umum (menangkap orang yang melanggar hukum)

2. Anggota badan Pemerintah (pegawai negara yang bertugas menjaga keamanan).32

Arti kata polisi jika dicerna lebih jauh pemahamannya dapat memberikan berbagai pengertian, yakni kesimpulan bahwa dalam kata polisi itu terdapat tiga pengertian yang di dalam penggunaanya sehari-hari sering melahirkan beberapa konotasi, kata tersebut adalah:

a. Polisi sebagai fungsi

b. Polisi sebagai organ kenegaraan c. Polisi sebagai pejabat atau petugas.

Polisi dalam pengertiannya sehari-hari sering juga disebut dalam arti petugas atau pejabat, karena merekalah yang setiap hari bertugas dan berhadapan langsung dengan masyarakat. Pada awalnya, pengertian polisi itu adalah orang yang dapat menjaga keselamatan dan ketentraman kelompoknya, namun dalam bentuk negara kota, polisi sudah semestinya dibedakan dengan masyarakat biasa, agar rakyat jelas bahwa pada merekalah rakyat dapat meminta perlindungan dan pengamanan yang benar-benar terjamin. Tersirat juga maksud bahwa dengan adanya atribut-atribut khusus dapat segera terlihat bahwa polisi mempunyai kewenangan untuk menegakan aturan dan melindungi masyarakat.33

Namun demikian apapun yang menjadi atribut yang digunakan oleh polisi, penegakan hukum adalah wajib tugas pokok polisi sebagai profesi yang mulia

32

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta Cetakan ke 3, Hal 693

33

(29)

sehingga taraf aplikasinya harus berkiblat pada asas Legalitas, atau dengan kata lain polisi adalah suatu organ negara yang diberikan kewenangan tersendiri dimana kewenangan itu merupakan suatu kewajiban dan tanggung jawab yang harus dijalankan dengan sangat professional.34

Tugas dan wewenang Kepolisian sebagaimana ketentuan Pasal 13 UU Kepolisian, ditentukan bahwa tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah :

1. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; 2. Menegakkan hukum; dan

3. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Tindak pidana terorisme mengancam stabilitas keamanan masyarakat dan bahkan menjadi tolok ukur bagi negara-negara di dunia untuk menjalin hubungan internasional dengan negara Indonesia apabila tindakan-tindakan teroris tersebut tidak segera dimusnahkan sampai ke akar-akarnya. Hal tersebut sangat erat kaitannya jika dikaitkan dengan fungsi Kepolisian Negara Indonesia dalam Pasal 2 UU Kepolisian disebutkan bahwa “fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat”. Berdasarkan Pasal 2 UU Kepolisian tersebut, jelas bahwa tindakan terorisme mengancam NKRI dan Kepolisian memiliki tugas dan fungsi serta wewenang memberantas dan menanggulangi terorisme berada pada garda terdepan.

34

(30)

F. Metode Penelitian

Metode adalah cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami obyek yang menjadi sasaran penelitian dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan. Sedangkan penelitian merupakan suatu kerja ilmiah yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten. Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari sesuatu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisisnya. Dengan demikian metode penelitian adalah upaya ilmiah untuk memahami dan memecahkan suatu masalah berdasarkan metode tertentu.

1. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, yaitu Penelitian Hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder, berupa hukum positif dan bagaimana penerapannya dalam praktik di Indonesia.

2. Sumber Data

(31)

Data pokok dalam penelitian ini adalah data-data sekunder yang meliputi: 1. Bahan hukum primer, yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Teorisme (UUPTPT) dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia;

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti buku-buku, makalah hasil-hasil seminar atau hasil pertemuan ilmiah lainnya, majalah dan jurnal ilmiah, artikel, artikel bebas dari internet, surat kabar, majalah mingguan, dan dokumen pribadi atau pendapat dari kalangan pakar hukum yang relevan dengan objek telaahan dalam penelitian ini;35

3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus umum (ensiklopedia) dan kamus hukum.

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi dokumen-dokumen yang relevan dengan penelitian ini di perpustakaan dan melakukan identifikasi data atau kasus-kasus yang ada. Data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan

tersebut selanjutnya akan dipilah-pilah guna memperoleh pasal-pasal dalam UUPTPT yang mengandung kaedah-kaedah hukum yang kemudian dihubungkan dengan permasalahan yang sedang dihadapi dan disistematisasikan sehingga

35

(32)

menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan permasalahan dalam penelitian ini.36

4. Analisa Data

Analisis data di dalam penelitian ini, dilakukan secara kualitatif yakni pemilihan teori-teori, asas-asas, norma-norma, doktrin, dan pasal-pasal di dalam undang-undang terpenting yang relevan dengan permasalahan. Kemudian membuat sistematika dari data-data tersebut sehingga akan menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai dengan permasalahan yang dibahas. Data yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uraian secara sistematis pula dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data, selanjutnya semua data diseleksi dan diolah kemudian dinyatakan secara deduktif, untuk sampai pada kesimpulan, sehingga pokok permasalahan yang ditelaah dalam penelitian ini akan dapat dijawab.

G. Sistematika Penulisan

Dalam melakukan penulisan skripsi ini, penulis merumuskan menjadi 4 (empat) bab yaitu :

1. BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab I ini berisi tentang Pendahuluan yang terperinci dalam latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penulisan. 2. BAB II PEMBAHASAN

36

(33)

Membahas tentang Pengaturan tindak pidana terorisme menurut UU Nomor. 15 Tahun 2003 tentang terorisme.

3. BAB III PEMBAHASAN

Membahas tentang Kewenangan kepolisian dalam memberantas tindak pidana terorisme.

4. BAB VI PENUTUP

(34)

BAB II

PENGATURAN TINDAK PIDANATERORISME

MENURUT UU NOMOR15 TAHUN 2003TENTANGTERORISME

A.Tindak Pidana Terorisme Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003

Dalam hal upaya mencegah terjadinya serangan terorisme dalam berbagai tragedi yang terjadi akhir-akhir ini, pemerintah mengeluarkan Peraturan Nomor 1 Tahun 2002 yang kemudian diundangkan menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UUPTPT).

Terorisme yang bersifat internasional merupakan kejahatan yang terorganisasi, sehingga pemerintah Indonesia meningkatkan kewaspadaan dalam memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.37

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi mengingatkan bahaya terorisme yang masih mengancam Indonesia, meskipun para pelaku teror telah ditangkap. Terkait itu, pihaknya meminta agar terorisme tidak boleh hanya diperhatikan bentuk terornya saja, dengan pendekatan keamanan, namun juga isme-nya atau ideologinya harus diselesaikan38

37

Penjelasan umum Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UUPTPT).

38

(35)

Banyak hal yang menyebabkan munculnya terorisme dan itu sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat yang kurang dipahami negara. Terorisme tidak selalu muncul atas dasar agama. Fundamentalisme atau liberalisme tak akan efektif untuk hilangkan radikalisme. Terorisme, bukanlah islam dan islam bukanlah terorisme. Timbulnya terorisme di kaum Muslimin adalah kesalahpahaman terhadap hakekat dari ajaran agama itu sendiri. Jadi tidak melihat keutuhan Islam secara komprehensif, namun pemahaman yang sepotong-sepotong. Salah pemahaman ini kemudian berkembang menjadi penyalahgunaan agama.39

Terkait terorisme itu, sebetulnya banyak faktor-faktor berawal dari non agama. Namun menggunakan umat beragama dan menggunakan tema-tema agama.

Menurut mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Hendropriyono dalam Seminar bertajuk 'Reformulasi Pandangan NU terhadap Terorisme' di Gedung PBNU Jakarta, Kamis (4/3/2010), untuk mengatasi masalah terorisme diperlukan penanganan serius. Salah satunya dengan RUU Intelijen, yang mengatur bagaimana memberdayakan pelaku teror. Selain itu, aksi terorisme yang terjadi karena tidak adanya benteng kebangsaan yang penting untuk menangkal segala aksi radikalisme. Kita semua berharap masalah terorisme di Indonesia segera teratasi. Namun seluruh elemen bangsa dan aparat keamanan tetap waspada

(36)

terhadap bahaya ancaman terorisme. Terutama mewaspadai bahwa terorisme masih ada di sekitar kita.40

Pemerintah Indonesia menyadari terhadap bahaya aksi terorisme yang telah menjadi isu internasional dan negara lain seperti Australia dan Amerika Serikat begitu fokus dalam upaya memerangi terorisme,41

Bagian konsiderans dalam UUPTPT menimbang bahwa terorisme telah berdampak menghilangkan nyawa tanpa memandang korban dan menimbulkan ketakutan bagi masyarakat secara menyeluruh atau hilangnya kemerdekaan bagi setiap insan, serta kerugian harta benda, oleh karena itu perlu dilaksanakan langkah pemberantasan sehingga UUPTPT mutlak diperlukan. Tujuannya adalah untuk menjadikan terorisme sebagai suatu tindak pidana di Indonesia dan terorisme dikategorikan sebagai tindak pidana khusus yang harus diberantas habis sampai kepada akar-akarnya.

oleh karena itu perlunya akan pemahaman mengenai terorisme menurut UUPTPT.

Sebelum membahas lebih lanjut pengaturan tindak pidana menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang tindak pidana terorisme, penulis akan menerangkan serangkaian tindak pidana secara umum. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan produk hukum Indonesia yang isinya dibuat oleh Pemerintahan Kolonial Belanda, sehingga KUHP yang ada saat ini tidak lain adalah hasil alih bahasa yang dilakukan beberapa sarjana Indonesia.42

40

Ibid.

41 Ibid. 42

(37)

Simons merumuskan strafbaar feit (tindak pidana) yaitu, “Strafbaar feit

adalah suatu handeling (tindakan/perbuatan) yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, bertentangan dengan hukum dilakukan dengan kesalahan (schuld) oleh seorang yang mampu bertanggung jawab”.43

Profesor van Hattum berpendapat bahwa strafbaar feit adalah tindakan yang membuat seseorang menjadi dapat dihukum. Kedua pendapat tersebut merujuk kepada penggunaan istilah tindak pidana dalam merumuskan strafbaar feit. Berbeda dengan Moeljatno yang mengartikan strafbaar feit sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa melanggar larangannya. Moeljatno merujuk istilah “perbuatan pidana” untuk merumuskan strafbaar feit.44

Berdasarkan beberapa pendapat ahli tersebut, dapat dipahami mengenai tindak pidana, yaitu :45

a. Suatu perbuatan yang melawan hukum.

b. Orang yang dikenai sanksi harus mempunyai kesalahan (asas tiada pidana tanpa kesalahan). Kesalahan itu sendiri terdiri dari kesalahan yang disebabkan secara sengaja dan yang disebabkan karena kelalaian. c. Subjek atau pelaku baru dapat dipidana jika ia dapat bertanggung jawab

dalam artian berfikiran waras.

Terorisme diklasifikasikan sebagai tindak pidana, maka harus melekat dalam terorisme yaitu unsur melawan hukum dalam arti melawan hukum secara formal dan secara materil.46

43

S.R. Sianturi., Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Alumni Ahaem Petehaem, 1989), hal. 205.

44

Moeljatno., Asas-Asas Hukum Pidanai, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hal. 54.

45 Ibid.

46

(38)

Pencantuman unsur melawan hukum dalam suatu tindak pidana berpengaruh pada proses pembuktian. Misalnya dalam suatu pasal secara nyata terdapat unsur melawan hukum, maka penuntut umum harus membuktikan unsur tersebut, jika unsur tersebut tidak terbukti maka putusannya vrijspraak atau putusan bebas. Sedangkan, jika unsur melawan hukum tidak secara tegas merupakan unsur dari suatu tindak pidana maka tidak terbuktinya unsur tersebut menyebabkan putusannya lepas dari segala tuntutan hukum.47

Unsur yang kedua yaitu unsur kesalahan (schuld) dipersamakan dengan kesengajaan (opzet) atau kehendak (voornawen). Geen straf zonder schuld (tiada

hukuman tanpa kesalahan) berarti orang yang dihukum harus terbukti bersalah. Kesalahan mengandung dua pengertian, dalam arti sempit yang berarti

kesengajaan (dolus/opzet) yakni berbuat dengan hendak dan maksud atau dengan menghendaki dan mengetahui atau willen en wetens, sedangkan dalam arti luas berarti dolus dan culpa.48

Culpa sendiri berarti kealpaan, dimana pada diri pelaku terdapat kekurangan pemikiran, kekurangan pengetahuan, dan unsur yang ketiga yaitu pertanggungjawaban subjek. Sesuatu dapat dikatakan sebagai tindak pidana apabila ada subjek (pelaku) dari tindak pidana itu sendiri. Agar dapat dipidana, dalam diri subjek atau pelaku pidana tidak terdapat dasar penghapus pidana, baik dasar pembenar maupun dasar pemaaf. kekurangan kebijaksanaan yang diperlukan.49

47 Ibid. 48

Ibid. 49

(39)

Terdapat suatu istilah dalam UUPTPT yang menunjukan peristiwa terorisme merupakan kejahatan, yakni istilah “tindak pidana”. Istilah tersebut telah digunakan oleh masing-masing penerjemah atau yang menggunakan dan telah memberikan sandaran perumusan dari istilah strafbaar feit dalam hukum pidana sebagaimana telah dijelaskan di atas. Istilah strabaar feit sendiri telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai perbuatan yang dapat/boleh dihukum, peristiwa pidana, perbuatan pidana, dan tindak pidana.50

Didalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme Bab III Pasal 6 tertulis :

“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat missal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas public atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.”51

.

Dari ketentuan tersebut Penulis berpendapat bahwa kerusakan atau kehancuan lingkungan hidup adalah tercemarnya atau rusaknya kesatuan ruang dengan semua benda, daya keadaan, dan mahluk hidup termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan kehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lainnya, termasuk merusak atau menghancurkan adalah dengan sengaja melepaskan atau membuang zat, energi, atau komponen

50 Ibid. 51

Ermansjah Djaja, “KUHP Khusus”, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15

(40)

lain yang berbahaya atau beracun ke dalam tanah, udara maupun air permukaan yang membahayakan terhadap mahluk hidup atau barang sekalipun.

Pasal ini termasuk dalam delik materil yaitu yang ditekankan pada akibat yang dilarang yaitu dengan hilangnya nyawa, hilangnya harta benda atau hancurnya lingkungan hidup, adalah tercemarnya atau rusaknya kesatuan ruang dengan semua benda, dan mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung kesejahteraan manusia serta mahluk lainnya.

Pasal 6 Undang-undang No. 15 Tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme sangat multi tafsir dan tidak jelas batasan-batasannya, sebab sebelum melakukan tindak pidana terorisme sudah mendapatkan ancaman hukuman yang berat, pasal 6 Undang-undang No. 15 tahun 2003 ini dapat diterapkan dengan memilih kasus-kasus tertentu.

Pasal 7 Undang-undang No. 15 Tahun 2003 mengatur tentang tindak pidana terorisme sebagai delik formil, pasal 7 menyatakan :

“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat missal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau untuk menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas public, fasilitas internasional dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup”.52

Maksud dari kalimat diatas adalah untuk menimbulkan teror merupakan kalimat yang menandakan bahwa tindakan terorisme merupakan delik formil yaitu, suatu tindak pidana yang perumusannya dititik beratkan kepada perbuatan

52

(41)

korban yang dilarang, jadi tindak pidana tersebut telah dianggap selesai dengan dipenuhinya unsur-unsur dari tindak pidana yang dilarang, tanpa perlu membuktikan akibat perbuatannya.

Berdasarkan pasal 8 Undang-undang No. 15 tahun 2003 tentang pemberantasan Tindak Pidana Terorisme mengatur tentang yang dilakukan terhadap fasilitas umum yaitu terhadap fasilitas penerbangan. Hal ini sesuai dengan yang diatur dalam pasal 479 (e) sampai dengan 479 (h) KUHP, yang menyebutkan bahwa :

“Sebagai tindak pidana yang menghancurkan, mencelakakan, membuat tidak dipakainya pesawat udara, yang dilakukan dengan sengaja maupun karena kealpaan: menimbulkan kebakaran, ledakan, kecelakaan, kehancuran dan sebagainya”.53

Ada banyak tindakan-tindakan teroris yang sangat merugikan masyarakat dan bahkan merugikan suatu negara misalnya serangan teroris pada tanggal 11 September 2001 dengan cara menubrukan pesawat sipil dengan sasaran dua gedung utama, WTC dan pentagon di AS menjadi tragedi kemanusiaan terbesar abad ini. Meski sudah lama berlalu peristiwa itu, tetapi akan tetap terus dicatat dan diingat oleh sejarah sebagai bagaian dari kejahatan di tingkat dunia (global crime) atas kelangsungan kehidupan kemanusiaan modern. Manusia modern yang sering memposisikan dirinya sebagai manusia terpelajar, ternyata harus menerima kenyataan yang tragis tentang kebiadaban yang patut digolongkan memasuki, berasal dan barangkali sudah berada di “rumah sendiri”.54

53

Abdul Wahid, Opcit, hal. 82.

54

(42)

Selain Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang terorisme, peraturan terkait tentang larangan untuk melakukan tindak pidana terorisme adalah merupakan pembuatan bahan kimia yang tertulis pada Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2008 Tentang Penggunaan Bahan Kimia Dan Larangan Penggunaan Bahan Kimia Sebagai Senjata Kimia.

Pada BAB III berisi tentang Larangan Penggunaan Bahan Kimia Sebagai Senjata Kimia yaitu tertuang dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2008 yang tertulis :

1) Setiap orang dilarang :

a. Mentransfer Bahan Kimia Daftar 1 kepada negara bukan pihak, baik dari dalam wilayah Indonesia maupun dari luar wilayah Indonesia;

b. Mentransfer Bahan Kimia Daftar 1 ke wilayah hukum negara Indonesia; c. Memproduksi, memiliki, menyimpan, atau menggunakan Bahan Kimia

daftar 1 di dalam dan di luar wilayah Indonesia;

d. Mentransfer kembali Bahan Kimia Daftar 1 ke negara lain; dan/atau e. Mentransfer Bahan Kimia Daftar 1 ke negara pihak tanpa memberikan

notifikasi kepada Otoritas Nasional paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum transfer dilakukan.

(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c dikecualikan apabila kegiatan tersebut dilakukan untuk kepentingan penelitian, medis, dan/atau farmasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(3) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dikecualikan bagi setiap orang yang mentransfer saksitoksin tidak lebih dari 5 (lima) mg untuk kebutuhan medis dan diagnostik dengan kewajiban tetap memberikan notifikasi kepada negara pihak selambat-lambatnya pada hari transfer.

Pasal 13

(1) Setiap orang dilarang mentransfer Bahan Kimia Daftar 2 atau produk yang mengandung Bahan Kimia Daftar 2 dari dan/atau ke negara bukan pihak. (2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk :

(43)

b. Produk yang mengandung paling banyak 10% (sepuluh persen) Bahan Kimia Daftar 2B; atau c. Produk yang diidentifikasi sebagai barang konsumsi untuk keperluan sehari-hari.

Pasal 14

Setiap orang dilarang :

a. Mengembangkan, memproduksi, memperoleh, dan/atau menyimpan senjata kimia;

b. Mentransfer, baik langsung maupun tidak langsung, senjata kimia kepada siapa pun;

c. Menggunakan senjata kimia;

d. Melibatkan diri pada persiapan militer untuk menggunakan senjata kimia; atau e. Melibatkan diri, membantu dan/atau membujuk orang lain dengan cara apa pun

dalam kegiatan yang dilarang Undang-Undang ini.

Pasal 15

“Senjata kimia yang dikembangkan, diproduksi, dimiliki, disimpan, dikuasai, atau ditransfer secara melawan hukum disita dan/atau dirampas oleh negara untuk dimusnahkan”.55

Dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 2008 tentang Larangan Penggunaan Bahan Kimia Sebagai Senjata Kimia diatas merupakan larangan suatu tindakan untuk memperbolehkan pelaku teroris melancarkan aksi nya dengan mempersiapkan senjata dan alat-alat kimia lainnya untuk melakukan serangan yang mematikan, karena banyak para pelaku teroris yang menggunakan bahan

(44)

kimia untuk melakukan aksinya terhadap apa yang menjadi tujuan dan misi para pelaku teroris.

Pemerintah menerbitkan Perpu (sekarang sudah disahkan menjadi Undang-undang) guna pemberantasan tindak pidana terorisme yang sejak awal telah mengundang kontroversi dari berbagai pihak dan kalangan entah dari kalangan akademisi, praktisi, politisi dan pakar-pakar lain khususnya pakar hukum. Hal itu bisa dilihat dengan adanya kekhawatiran sementara pihak bahwa perangkat hukum dalam penindakan terhadap kejahatan terorisme, sekalipun diperlukan, akan menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) bagi pemegang kekuasaan tertentu. Sementara pihak lain ada yang berpendapat bahwa dengan adanya Undang-Undang Nomor 12/ Drt/1951 yang ditetapkan menjadi UU Nomor 1 Tahun 1991 tentang Senjata Api, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dan KUHP sudahlah cukup, sehingga tidak diperlukan lagi perangkat hukum yang bersifat khusus dalam penindakan kejahatan terorisme. Ada indikasi kelemahan Perpu No. 1 dan 2 tahun 2002 tentang terorisme dan penanganannya, itu terjadi ketika Perpu tersebut disahkan menjadi Undang-Undang (UU). Di samping Perpu tersebut, juga adanya pengajuan draft amandemen atas UU yang baru disahkan itu menunjukan bahwa eksistensi secara yuridis normatif masih perlu dikaji lebih lanjut.56

Dalam Undang-undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, mengkualifikasikan tindak pidana terorisme sebagai berikut :

(45)

1. Delik materil yang terdapat pada Pasal 6,

2. Delik formil yang terdapat pada Pasal 7 sampai dengan Pasal 12, 3. Delik pembantuan Pasal 6 huruf g,

4. Delik penyertaan Pasal 13 dan Pasal 15, 5. Delik perencanaan terdapat dalam Pasal 14.

Subjek hukum yang dapat digolongkan menjadi pelaku tindak pidana terorisme menurut Pasal 1 butir 2 dan Pasal 3 Undang-undang pemberantasan terorisme, didalam melakukan tindak pidana terorisme dapat perilakunya berupa manusia atau perseorangan. Dalam rumusan pasal tersebut menyatakan bahwa subjek pelaku dalam tindak pidana terorisme merupakan setiap orang yang didefenisikan sebagai seseorang, beberapa orang atau koorporasi dan kelompok tersebut yang terdiri dari sipil maupun militer ataupun polisi, perseroan, yayasan, dan organisasi lainnya.

B. Subjek Tindak Pidana dan Unsur-Unsur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003

Subjek dari tindak pidana terorisme yang tercantum dalam UUPTPT sebagaimana dalam hukum pidana awalnya hanyalah manusia sebagai naturelijk persoonen, namun dalam perkembangannya badan hukum atau korporasi juga dapat menjadi subjek hukum. Sehubungan dengan itu, ketentuan Pasal 1 angka 2 UUPTPT dinyatakan, “setiap orang adalah orang perseorangan, kelompok orang baik sipil, militer, maupun polisi yang bertanggung jawab secara individual, atau

korporasi”.57

57 Ibid.

(46)

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 2 di atas, dapat dipahami mengenai subjek dari tindak pidana terorisme yaitu tidak hanya terbatas pada manusia sebagai pribadi, tetapi juga meliputi badan hukum atau korporasi. Hal ini berarti, UUPTPT telah melakukan penafsiran secara ekstensif mengenai subjek hukum. Selain itu, dalam UUPTPT juga terdapat pengaturan mengenai konsep penyertaan. Hal ini terlihat dalam Pasal 13 UUPTPT, sebagai berikut:

Setiap orang yang dengan sengaja memberikan bantuan atau kemudahan terhadap pelaku tindak pidana terorisme, dengan:

1) Memberikan atau meminjamkan uang atau barang atau harta kekayaan lainnya kepada pelaku tindak pidana terorisme;

2) Menyembunyikan pelaku tindak pidana terorisme; dan atau 3) Menyembunyikan informasi tentang tindak pidana terorisme.

Pasal 13 UUPTPT di atas ini, mengatur hukuman terhadap tindak pidana dalam hal terjadi penyertaan berbentuk perbantuan (medeplichtigheid) melakukan tindak pidana terorisme.58

“setiap orang yang merencanakan dan/atau menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup”.

Dalam penyertaan lain juga terlihat dalam Pasal 14 UUPTPT yang mengatur bentuk penyertaan penggerakan (uitlokking). Pasal 14 UUPTPT berbunyi :

Hal lain terkait ketentuan pidana materil yang tidak diatur dalam UUPTPT tetap merujuk kepada KUHP, dalam Pasal 103 KUHP yang menyatakan ketentuan dalam KUHP berlaku juga bagi undang lain kecuali jika oleh undang-undang lain ditentukan lain.

58

(47)

Perumusan tindak pidana dalam UUPTPT terbagi menjadi dua, yaitu tindak pidana terorisme yang diatur dalam BAB III, mulai dari Pasal 6 sampai dengan Pasal 19. Sedangkan tindak pidana lain yang terkait dengan tindak pidana terorisme yang diatur dalam BAB IV mulai dari Pasal 20 sampai Pasal 24. Perumusan tindak pidana terorisme dalam UUPTPT menggunakan cara pembagian baik itu pembagian dengan cara merumuskan unsur-unsurnya saja maupun menggunakan cara perumusan dengan menguraikan unsur-unsur dan memberikan klasifikasi terhadap tindak pidana tersebut.

Unsur-unsur tersebut ialah unsur formal yaitu :59

1. Perbuatan manusia, yaitu perbuatan dalam arti luas, artinya tidak berbuat yang termasuk perbuatan dan dilakukan oleh manusia.

2. Melanggar peraturan pidana. dalam artian bahwa sesuatu akan dihukum apabila sudah ada peraturan pidana sebelumnya yang telah mengatur perbuatan tersebut, jadi hakim tidak dapat menuduh suatu kejahatan yang telah dilakukan dengan suatu peraturan pidana, maka tidak ada tindak pidana.

3. Diancam dengan hukuman, hal ini bermaksud bahwa KUHP mengatur tentang hukuman yang berbeda berdasarkan tindak pidana yang telah dilakukan.

4. Dilakukan oleh orang yang bersalah, dimana unsur-unsur kesalahan yaitu harus ada kehendak, keinginan atau kemauan dari orang yang melakukan tindak pidana serta Orang tersebut berbuat sesuatu dengan sengaja,

59

(48)

mengetahui dan sadar sebelumnya terhadap akibat perbuatannya. Kesalahan dalam arti sempit dapat diartikan kesalahan yang disebabkan karena si pembuat kurang memperhatikan akibat yang tidak dikehendaki oleh undang-undang.

5. Pertanggungjawaban yang menentukan bahwa orang yang tidak sehat ingatannya tidak dapat diminta pertanggungjawabannya. Dasar dari pertanggungjawaban seseorang terletak dalam keadaan jiwanya.

Unsur material dari tindak pidana bersifat bertentangan dengan hukum, yaitu harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sehingga perbuatan yang tidak patut dilakukan. Jadi meskipun perbuatan itu memenuhi rumusan undang-undang, tetapi apabila tidak bersifat melawan hukum, maka perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak pidana.

Unsur-unsur tindak pidana dalam ilmu hukum pidana dibedakan dalam dua macam, yaitu unsur objektif dan unsur subjektif. Unsur objektif adalah unsur yang terdapat di luar diri pelaku tindak pidana. Unsur ini meliputi :60

a. Perbuatan atau kelakuan manusia, dimana perbuatan atau kelakuan manusia itu ada yang aktif (berbuat sesuatu), misal membunuh (Pasal 338 KUHP), menganiaya (Pasal 351 KUHP).

b. Akibat yang menjadi syarat mutlak dari delik. Hal ini terdapat dalam delik material atau delik yang dirumuskan secara material, misalnya pembunuhan (Pasal 338 KUHP), penganiayaan (Pasal 351 KUHP), dan lain-lain.

(49)

c. Ada unsur melawan hukum. Setiap perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh peraturan perundang-undangan hukum pidana itu harus bersifat melawan hukum, meskipun unsur ini tidak dinyatakan dengan tegas dalam perumusan.

Unsur subjektif, unsur ini meliputi :

a. Kesengajaan (dolus), dimana hal ini terdapat di dalam pelanggaran kesusilaan (Pasal 281 KUHP), perampasan kemerdekaan (Pasal 333 KUHP), pembunuhan (Pasal 338).

b. Kealpaan (culpa), dimana hal ini terdapat di dalam perampasan kemerdekaan (Pasal 334 KUHP), dan menyebabkan kematian (Pasal 359 KUHP), dan lain-lain.

c. Niat (voornemen), dimana hal ini terdapat di dalam percobaan atau poging

(Pasal 53 KUHP)

d. Maksud (oogmerk), dimana hal ini terdapat dalam pencurian (Pasal 362 KUHP), pemerasan (Pasal 368 KUHP), penipuan (Pasal 378 KUHP), dan lain-lain

(50)

Dalam Kitab Undang-Undang hukum Pidana Buku Kedua “Kejahatan” diperjelas bahwa unsur-unsur tindak pidana terkait tentang tindak pidana terorisme adalah :61

Unsur objektif (perbuatan) yang dilakukan pihak teroris untuk melancarkan aksinya dengan suatu “perbuatan” adalah dengan contoh :

1. Kejahatan terhadap keamanan negara diatur dalam pasal 104, pasal 107, pasal 107a, pasal 107b, pasal 107e, pasal 107f, pasal 108, pasal 110, pasal 111, pasal 123, pasal 124 KUHP.

2. Kejahatan yang membahayakan keamanan umum bagi orang atau barang diatur dalam pasal 187, pasal 187 bis, pasal 191, pasal 192, pasal 198, pasal 200 KUHP.

3. Kejahatan terhadap nyawa diatur dalam pasal 338, pasal 340 KUHP. Sedangkan didalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang tindak pidana terorisme contoh dari pasal yang menggunakan cara perumusan tindak pidana dengan menguraikan unsur-unsurnya saja tanpa memberikan kualifikasi tindak pidananya adalah Pasal 6 UUPTPT.

Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme Bab III Pasal 6 tertulis :

“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat missal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas public atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau

61

(51)

pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.”

Berdasarkan redaksi pasal di atas, maka dapat dipilah unsur-unsur tindak pidananya, antara lain :62

1. Setiap orang;

2. dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan; 3. menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas

atau menimbulkan korban yang bersifat missal;

4. dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain; atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas internasional.

Terhadap rumusan Pasal 6 menunjukan bahwa pasal tersebut dirumuskan secara “materil”. Jadi yang dilarang adalah “akibat”, yaitu :63

a. menimbulkan suasana teror terhadap orang secara meluas, atau

b. menimbulkan rasa takut terhadap orang secara meluas, atau c. menimbulkan korban yang bersifat missal dengan cara :

1. merampas kemerdekaan, atau

2. hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau d. mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap :

1. obyek-obyek vital yang strategis, atau 2. lingkungan hidup, atau

3. fasilitas publik, atau 4. fasilitas internasional.

Secara rinci Pasal 6 UUPTPT di atas, diuraikan berdasarkan unsur subjektif dan unsur objektifnya adalah sebagai berikut :

a. Unsur subjektif. 1) Setiap orang; 2) Dengan sengaja.

62

Erwin Asmadi, Pembuktian Tindak Pidana Teroris(Analisa Putusan Pengadilan pada Kasus Perampokan Bank Cimb Niaga Medan), Sofmedia, Medan: 2012, hal. 40.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan uraian di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah: (1) mengganalisis kinerja usahatani jagung pada penerapan inovasi varietas hibrida pada lahan kering di

castaneum merupakan serangga yang menyerang bahan makanan berupa tepung, spesies ini akan mengakibatkan kerusakan dan kontaminasi pada beras (Jungwi 2009).. castaneum memakan

Where with houses you would get to know an area, type of property, and some of the people involved, with blog sales it is good to hang out at the popular blog sales sites and see

generally only available from the library shelf or through interlibrary loan; 2) the student who carried out the research may not be an experienced researcher and therefore you

SOFI HANS HAMDAN : Pengaruh Curah Hujan dan Hari Hujan Terhadap Produksi Kelapa Sawit Berumur 7, 10, dan 13 Tahun di PTPN III Kebun Huta Padang Kabupaten Asahan, yang

Oleh karena itu penulis akan meneliti mengenai Putusan Pengadilan Negeri Andoolo Nomor 27/Pid.B/2016/PN.Adl dengan mempermasalahkan, bahwa dalam pertimbangan

Dari hasil penelitian, diketahui bahwa koefisien korelasi dinotasikan dengan (R) besarnya 0,529 yang artinya kekuatan hubungan yang positif antara variabel

Komisi Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Berau yang selanjutnya disebut Komisi Penyuluhan adalah kelembagaan independen yang dibentuk pada