• Tidak ada hasil yang ditemukan

Habitat, Biologi Reproduksi Dan Dinamika Populasi Rajungan (Portunus Pelagicus Linnaeus 1758) Sebagai Dasar Pengelolaan Di Teluk Lasongko, Sulawesi Tenggara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Habitat, Biologi Reproduksi Dan Dinamika Populasi Rajungan (Portunus Pelagicus Linnaeus 1758) Sebagai Dasar Pengelolaan Di Teluk Lasongko, Sulawesi Tenggara"

Copied!
184
0
0

Teks penuh

(1)

POPULASI RAJUNGAN (

Portunus pelagicus

Linnaeus 1758)

SEBAGAI DASAR PENGELOLAAN DI TELUK LASONGKO,

SULAWESI TENGGARA

ABDUL HAMID

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Habitat, Biologi Reproduksi dan Dinamika Populasi Rajungan (Portunus pelagicus Linnaeus 1758) sebagai Dasar Pengelolaan di Teluk Lasongko, Sulawesi Tenggara adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015

(4)

RINGKASAN

ABDUL HAMID.Habitat, Biologi Reproduksi dan Dinamika Populasi Rajungan (Portunus pelagicus Linnaeus 1758) sebagai Dasar Pengelolaan di Teluk Lasongko, Sulawesi Tenggara. Dibimbing oleh YUSLI WARDIATNO, DJAMAR

T.F. LUMBAN BATU dan ETTY RIANI.

Rajungan bernilai ekonomis penting dan permintaannya yang tinggi sehingga

dilakukan penangkapan secara intensif, diantaranya seperti yang terjadi di Teluk

Lasongko. Untuk itu, perlu dilakukan pengelolaan sehingga keberlanjutan populasi rajungan di perairan ini terjaga, namun data kondisi habitat, biologi reproduksi dan dinamika populasi rajungan belum tersedia. Penelitian ini bertujuan untuk

menganalisis (1) karakteristik habitat dan distribusi populasi rajungan berdasarkan

hasil tangkapan, (2) karakteristik morfometrik dan distribusi frekuensi kelas ukuran populasi rajungan, (3) parameter biologi reproduksi rajungan, (4) distribusi, tingkat kematangan gonad, fekunditas dan komposisi biokimia telur rajungan betina ovigerous, (5) struktur ukuran populasi, parameter dinamika populasi dan tingkat eksploitasi rajungan, dan (6) merumuskan konsep pengelolaan rajungan di Teluk Lasongko. Pengambilan contoh rajungan dilakukan dengan menggunakan gill net dengan ukuran mata jaring 1.5, 2.5 dan 3.5 inci pada tujuh stasiun dan dilakukan setiap bulan, yaitu dari bulan April 2013 sampai bulan Maret 2014.

Hasil penelitian menunjukkan karakteristik habitat rajungan di Teluk Lasongko bervariasi baik spasial maupun temporal, namun masih dalam batas kisaran yang optimal bagi kehidupan dan pertumbuhan rajungan. Keberadaan rajungan di perairan ini juga bervariasi secara spasial dan temporal, dan ditemukan tersebar pada tipe substrat pasir (dominan), pasir berlempung dan liat lempung berpasir dengan kedalaman berkisar antara 0.35 m hingga 31 m. Keempat jenis warna rajungan betina ovigerous juga ditemukan pada berbagai tipe habitat. Rajungan di perairan ini banyak

tertangkap pada bulan Desember sampai Juli, sedangkan pada bulan Agustus sampai

Oktober sedikit tertangkap. Kondisi substrat, kedalaman air dan padang lamun mempengaruhi distribusi populasi rajungan di Teluk Lasongko, dan sebagian besar variabel kualitas air berkorelasi dengan distribusi rajungan.

Karakter morfometrik rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko ditemukan bervariasi secara spasial dan temporal, yang tertangkap pada stasiun 1 dan 2 berukuran kecil dan yang tertangkap pada stasiun 7 berukuran besar dibandingkan dengan stasiun lainnya. Rajungan jantan yang tertangkap pada bulan Oktober sampai Desember berukuran besar, sedangkan yang tertangkap pada bulan April, Mei, Juli, September, Februari dan Maret berukuran kecil. Rajungan betina yang tertangkap pada bulan Oktober, November, Maret, September dan Desember tergolong berukuran besar sedangkan yang tertangkap pada bulan April tergolong berukuran kecil. Karakter morfometrik rajungan jantan dan betina yang tertangkap pada musim barat lebih besar dari pada musim timur. Ukuran rajungan jantan yang tertangkap pada penelitian ini lebih

kecil dari pada rajungan betina, masing-masing terdistribusi pada 10 kelas ukuran lebar

(5)

rajungan jantan menunjukkan hubungan yang sangat nyata, kuat dan positif. Tipe pertumbuhan relatif antar karakter morfometrik rajungan jantan dan betina umumnya

bersifat allometrik negatif, sedangkan lebar/panjang-berat tubuh rajungan jantan dan

betina bersifat isometrik. Tipe pertumbuhan relatif panjang karapas-berat rajungan jantan

dan betina bersifat allometrik negatif. Tipe pertumbuhan relatif lebar/panjang-berat tubuh rajungan jantan dan betina tahap juvenil dan tahap dewasa tidak mengalami

perubahan, yaitu keduanya bersifat isometrik.

Rasio kelamin, TKG dan IKG rajungan jantan dan betina yang ditemukan di Teluk Lasongko bervariasi secara spasial dan temporal. Rasio kelamin rajungan jantan dan betina secara spasial dan temporal umumnya seimbang, kecuali rasio kelamin total tidak seimbang. Rajungan jantan yang tertangkap pada setiap stasiun didominasi oleh rajungan yang belum matang gonad sedangkan rajungan betina sebagian besar didominasi oleh yang matang gonad, kecuali pada stasiun 1 dan 2. Rajungan jantan yang tertangkap pada setiap periode penangkapan, serta pada musim timur dan barat sebagian besar didominasi oleh rajungan yang belum matang gonad. Ukuran lebar karapas 50 % matang kelamin rajungan jantan 109.83 mm dan betina 115.71 mm.

Rajungan betina ovigerous berwarna kuning dan orange didominasi oleh yang

belum matang gonad, sedangkan yang berwarna coklat dan abu-abu gelap seimbang antara yang belum matang gonad dan yang matang gonad. Perkembangan gonad dan embrio rajungan betina ovigerous berlangsung paralel. IKG rajungan betina ovigerous lebih rendah dari pada IKG rajungan betina yang belum ovigerous.

Fekunditas rajungan di Teluk Lasongko berkisar antara 69 747 butir hingga 2 078 874 butir, berkorelasi linear dengan ukuran tubuh dan berat telur, serta bervariasi terhadap ukuran tubuh dan warna telur rajungan. Kadar proksimat dan asam lemak selama perkembangan embrio rajungan mengalami perubahan seiring dengan perubahan warna telur rajungan dari warna kuning ke warna abu-abu gelap.

Jumlah kelompok ukuran rajungan yang ditemukan pada penelitian ini terdiri dari

satu sampai dua kelompok, dan sebagian besar tergolong ukuran dewasa atau matang

kelamin. Pertumbuhan populasi rajungan jantan lebih cepat dari pada rajungan betina. Rekrutmen populasi rajungan di Teluk Lasongko berlangsung setiap bulan dan tertinggi terjadi pada bulan Juli dan September, dan tingkat eksploitasi rajungan jantan dan betina di perairan ini telah tergolong tangkap lebih (overfishing).

Potensi keberlanjutan populasi rajungan di Teluk Lasongko tergolong tinggi

dilihat dari aspek habitat, biologi reproduksi dan parameter dinamika populasi, namun

karena tingkat eksploitasi yang tinggi, status stok rajungan di perairan ini cenderung tergolong kritis. Rajungan pada lokasi yang dangkal telah mengalami perubahan rasio kelamin jantan dan betina serta ukuran rajungan jantan dan betina semakin kecil. Konsep pengelolaan yang segera dilakukan untuk menjamin keberlanjutan populasi

rajungan dan penangkapan berkelanjutan adalah pengaturan rajungan yang boleh

ditangkap, pengaturan musim penangkapan, pengendalian alat tangkap dan daerah

penangkapan, perlindungan dan rehabilitasi habitat, restoking, mengembangkan suaka

rajungan serta pemantauan dan evaluasi.

(6)

SUMMARY

ABDUL HAMID. Habitat, Reproductive Biology and Population Dynamics as in the a Management Based of Blue Swimming Crab (Portunus pelagicus Linnaeus 1758) in the Lasongko Bay, Southeast Sulawesi. Supervised by YUSLI WARDIATNO, DJAMAR T.F. LUMBAN BATU and ETTY RIANI.

Blue swimming crabs have important economic value and high demand therefore catching of the crabs has been intensively, such as occurred in the Lasongko Bay. Therefore, management of the blue swimming crabs needs to be done to keep sustainability of the crab populations. Yet, data of habitat conditions, reproductive biology and population dynamics of the crabs have not been available. This study aims to analyze (1) the characteristics of the habitat and the crab population distribution based on catches, (2) the morphometric characteristics and the size class frequency distribution, (3) the parameters of reproductive biology of the crabs, (4) distribution, level of gonad maturity, fecundity and biochemical composition of ovigerous female crab eggs, (5) the structure of the population size, population dynamics parameters and the rate of exploitation crab, and (6) formulated of management concepts of blue swimming crab in the Lasongko Bay. Samplings of the crab using gill nets with mesh sizes 1.5, 2.5 and 3.5 inches taken place at seven stations and conducted monthly, from April 2013 to March, 2014.

The results show that the characteristics of the crab habitat in the Lasongko Bay varied both spatially and temporally, but still within the optimal range for the survival life and growth of crab. The existence of the crabs in this waters also varied spatially and temporally, and were found scattered on the sand substrate type (dominantly), sand clay and sandy clay loam with a depth ranging from 0.35 m to 31 m. The fourth color ovigerous female crabs were also found at various habitat types. The blue swimming crabs in this water were mostly caught during periods from December to July, and only less crabs were caught in period from August to October. The condition of the substrate, water depth and seagrass affected the distribution of the crab populations in the Lasongko Bay, and most of the water quality variables correlated with the distribution of the crabs.

(7)

strong and positive. Relative growth of morphometric characters for the male and the female crabs was generally negative allometric, while the width/length-weight of the male and the female crabs were isometric. Relative growth of crab carapace length-weight for males and females are negative allometric. Types of the relative growth of the width/length-weight for the male and the female crabs at juvenile stage and adult stages were unchanged, both were isometric.

Sex ratio, gonad maturity stages (GMS) and GSI of the male and the female crabs found in the Lasongko Bay varied spatially and temporally. Sex ratio of the male and the female crabs spatially and temporally generally balanced, except for the total sex ratio which was unbalanced. The male crabs caught at each station were dominated by immature crabs while the females were largely dominated by mature gonads, except at stations 1 and 2. The male crabs caught in each period of sampling, as well as during east and west season were largely dominated by small crabs with immature gonads. Carapace width size of 50 % sex maturity of crabs for the male and the female, respectively 109.83 mm 115.71 mm. Peak spawning season of the crabs in this water occurred in May-June, August, and October-November and the spawning was partial (partial spawner).

The yellow and orange ovigerous females crabs were dominated by immature gonads, while the brown and dark gray had balanced composition between the immature and mature gonads. Embryonic and gonad development for the ovigerous female crabs were parallel. GSI of the ovigerous female crabs was lower than the GSI of non-ovigerous female crabs. Fecundity of the crabs in the Lasongko Bay ranged from 69,747 to 2,078,874 eggs, linearly correlated with body size and weight of eggs, and varied with body size and colours of the crab eggs. Proximate and fatty acid content during embryonic development of the crabs changed in accordance with the change of the crab egg colours, from yellow to dark gray colours.

The sizes of the crabs found in this study consisted of one to two groups, and many were classified into the size of an adult or mature sex. The male crab population growth is faster than the female crabs. The recruitment of the crab population in the Lasongko Bay took place every month and the highest was in July. The population of both the male and the female crabs in this water has been overexploitated (overfishing).

Sustainability potency of the crab populations in the Lasongko Bay was high, viewed from the aspect of habitat, reproductive biology and population dynamics parameters. However, due to high exploitation rates, the crab stocks in water has been in critical condition. The small crabs in the shallow location had undergone changes in the ratio of male and female. Also, both the male and the female crabs sizes had been getting smaller. Management concept is needed to ensure the sustainability of the crab population by setting the legal size of catch captured, setting the fishing season, controlling fishing gears and fishing areas, protecting and rehabilitating habitats, restocking, and developing crab sanctuary.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

(9)

HABITAT, BIOLOGI REPRODUKSI DAN DINAMIKA POPULASI

RAJUNGAN (

Portunus pelagicus

Linnaeus 1758) SEBAGAI DASAR

PENGELOLAAN DI TELUK LASONGKO,

SULAWESI TENGGARA

ABDUL HAMID

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)

Penguji pada Ujian Tertutup : Dr Ir Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc

(Staf Pengajar Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB)

Dr Ir Toni Ruchimat, M.Sc

(Direktur Pelabuhan Perikanan Ditjen Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan)

Penguji pada Sidang Promosi : Dr Ir Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc

(11)
(12)

PRAKATA

Alhamdulillah dan puji syukur dihaturkan kepada Allah SWT atas rahmat kesehatan dan hidayah-Nya sehingga pelaksanaan penelitian dan penulisan disertasi ini berhasil diselesaikan. Judul disertasi ini adalah Habitat, Biologi Reproduksi dan Dinamika Populasi Rajungan (Portunus pelagicus Linnaeus 1758) sebagai Dasar Pengelolaan di Teluk Lasongko, Sulawesi Tenggara.

Saya menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc sebagai ketua komisi pembimbing, Bapak Prof. Dr. Ir. Djamar T.F. Lumban Batu, M.Agr, dan Ibu Dr. Ir. Etty Riani, M.S masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing atas kesediaannya untuk membimbing serta meluangkan waktu dan curahan pikiran untuk mengarahkan saya dalam penelitian dan penulisan disertasi ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada :

1. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, atas bantuan beasiswa BPPS 2011 dan Hibah Doktor 2014 yang diberikan kepada penulis,

2. Rektor Universitas Halu Oleo, atas izin yang diberikan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan S3,

3. Bapak Dr. Ir. Sigid Hariyadi, M.Sc sebagai Ketua Program Studi SDP, Bapak Dr. Ir. Enan Mulyana Adiwilaga dan staf PS SDP yang telah membantu kelancaran administrasi penyelesaian studi saya,

4. Bapak Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc, dan Bapak Dr. Ir. Mohammad Mukhlis Kamal, M.Sc atas saran dan pertanyaan yang sangat berharga yang diberikan saat ujian pra kualifikasi Doktor,

5. Bapak Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc, dan Bapak Dr. Ir. Toni Ruchimat, M.Sc sebagai penguji luar komisi ujian tertutup dan sidang promosi atas koreksi dan saran yang sangat berharga untuk perbaikan disertasi ini,

6. Bapak dan Ibu dosen pengasuh mata kuliah program Doktor di Program Studi SDP

yang memberikan Ilmunya dengan tulus,

7. Dr. Bahtiar, S.Pi, M,Si atas bantuannya dalam mengolah data dinamika populasi

rajungan, serta Pamaruddin, S.Pi dan Tarlan Subarno, S.Pi telah membuatkan peta,

8. Teman seangkatan SDP 2011, Eko Priyanto, Usman Madubun, Dadeh Jubaedah dan Ani Suriyanti, serta teman-teman Wancana Sulawesi Tenggara Bogor atas dukungan dan kerjasama yang terjalin selama masa studi,

9. Bapak La Mpiri, Kaharudin, ST atas bantunya selama pengambilan data di lapangan, dan para nelayan rajungan dan pengolah daging rajungan telah membantu mengumpulkan data hasil tangkapan rajungan,

10. Bapak Mertua H. Drs. Abdul Latief Hatman, kakak dan adik-adik saya, khususnya keluarga Ridwan, S.Pd dan istri Riyanti serta Nafisa, A.Md atas bantuan, doa dan dorongan semangat selama studi program Doktor, dan

11. Istri tercinta Umi Kalsum, telah setia, sabar dan pengorbanannya, serta sebagai asisten dalam analisis fekunditas dan TKG rajungan jantan, serta anakda tercinta Muhammad Hilmy, Nurul Hazriah dan Muhammad Ihza Raihan atas doa dukungan dan pengertiannya.

Akhirnya semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkannya.

Bogor, Agustus 2015

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xiii

DAFTAR GAMBAR xv

DAFTAR LAMPIRAN xvi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Pendekatan Masalah 3

Tujuan dan Kegunaan 4

Ruang Lingkup Penelitian 4

Kebaruan Penelitian 5

2 KARAKTERISTIK HABITAT DAN DISTRIBUSI POPULASI RAJUNGAN (Portunus pelagicus Linnaeus 1758) TERTANGKAP

DI TELUK LASONGKO 6

Pendahuluan 6

Metode Penelitian 7

Hasil 12

Pembahasan 23

Simpulan 28

3 KARAKTERISTIK MORFOMETRIK DAN DISTRIBUSI FREKUENSI KELAS UKURAN RAJUNGAN (Portunus

pelagicus Linnaeus 1758) DI TELUK LASONGKO 29

Pendahuluan 29

Metode Penelitian 30

Hasil 33

Pembahasan 50

Simpulan 55

4 BIOLOGI REPRODUKSI RAJUNGAN (Portunus pelagicus

Linnaeus 1758) DI TELUK LASONGKO 57

Pendahuluan 57

Metode Penelitian 58

Hasil 62

Pembahasan 75

Simpulan 81

5 DISTRIBUSI, FEKUNDITAS, TINGKAT KEMATANGAN GONAD DAN KADAR BIOKIMIA TELUR RAJUNGAN

MENGERAMI TELUR (OVIGEROUS) DI TELUK LASONGKO 82

Pendahuluan 82

Metode Penelitian 84

(14)

Pembahasan 104

Simpulan 112

6 DINAMIKA POPULASI RAJUNGAN (Portunus pelagicus

Linnaeus 1758) DI TELUK LASONGKO 113

Pendahuluan 113

Metode Penelitian 114

Hasil 116

Pembahasan 124

Simpulan 130

7 PEMBAHASAN UMUM 131

8 SIMPULAN UMUM DAN SARAN 145

DAFTAR PUSTAKA 147

LAMPIRAN 158

DAFTAR TABEL

1 Rataan proporsi (%) fraksi sedimen dan tipe substrat berdasarkan

stasiun dan tipe habitat rajungan di Teluk Lasongko 12 2 Rataan kepadatan (tunas. m-2) padang lamun dan jenis lamun

dominan pada setiap stasiun dan tipe habitat di Teluk Lasongko 13 3 Rataan kualitas air habitat rajungan pada setiap stasiun di Teluk

Lasongko 14

4 Rataan jumlah (ekor) dan berat (kg) rajungan yang tertangkap

pada setiap kali penangkapan untuk setiap stasiun 18 5 Rataan jumlah (ekor) dan berat (kg) rajungan yang tertangkap

pada setiap kali penangkapan berdasarkan periode penangkapan

dan musim 20

6 Hasil tangkapan rajungan setiap bulan dan hari di Teluk Lasongko

periode bulan Mei 2013 sampai bulan April 2014 21

7 Nilai akar ciri, proporsi, dan kontribusi kumulatif variabel

karakteristik habitat pada tiga sumbu utama (F1-F3) 22

8 Koefisien korelasi antara variabel kualitas air dengan jumlah

populasi rajungan yang tertangkap di Teluk Lasongko 23 9 Rataan suhu, salinitas habitat rajungan pada beberapa lokasi

perairan 24

10 Hubungan antar variabel karakter morfometrik rajungan jantan dan

betina yang dianalisis 32

11 Rataan karakteristik morfometrik rajungan jantan dan betina

berdasarkan stasiun di Teluk Lasongko 34

12 Karakteristik morfometrik rajungan jantan dan betina berdasarkan

(15)

13 Distribusi kelas ukuran lebar karapas rajungan jantan dan betina

berdasarkan musim di Teluk Lasongko 43

14 Persamaan allometrik linear, koefisien korelasi (r), ANCOVA, uji t nilai b, dan tipe allometrik (Al) hubungan antar karakter

morfometrik rajungan jantan dan betina 44

15 Persamaan allometrik linear, koefisien korelasi (r), ANCOVA, uji b, dan tipe pertumbuhan relatif (Al) antar karakter morfometrik

rajungan jantan dan betina tahap juvenil dan dewasa 47 16 Persamaan allometrik power dan linear, koefisien korelasi (r), uji

t nilai b, ANCOVA, dan tipe pertumbuhan relatif (Al)

lebar/panjang karapas-berat tubuh rajungan jantan dan betina 48 17 Persamaan allometrik linear, koefisien korelasi (r), ANCOVA,

uji t nilai b, dan tipe allometrik (Al) hubungan lebar/panjang

karapas-berat tubuh rajungan jantan dan betina tahap juvenil dan

dewasa 49

18 Koefisien regresi (b), koefisien korelasi (r) dan lebar/panjang

karapas-berat pada beberapa lokasi perairan 55 19 Ciri penampakan setiap tingkat perkembangan gonad rajungan

betina dan jantan secara makroskopik 60

20 Jumlah dan rasio kelamin rajungan jantan dan betina berdasarkan

stasiun 63

21 Jumlah, proporsi dan rasio kelamin rajungan jantan dan betina

berdasarkan periode waktu penangkapan dan musim 64 22 Rataan proporsi (%) TKG rajungan betina dan jantan pada setiap

musim 70

23 Rataan IKG rajungan betina dan jantan pada setiap TKG dan

stasiun 71

24 Rataan IKG rajungan jantan pada setiap TKG berdasarkan periode

penangkapan dan musim 72

25 Rataan IKG rajungan betina pada setiap TKG berdasarkan periode

penangkapan dan musim 73

26 Nilai rasio kelamin (jantan: betina) dan IKG rajungan betina pada

lokasi beberapa perairan 77

27 Puncak musim pemijahan dan lebar karapas rajungan pertama

matang kelamin (LKMK) pada beberapa lokasi perairan 80 28 Distribusi rajungan betina ovigerous berdasarkan tipe habitat 88 29 Ukuran tubuh rajungan betina ovigerous berdasarkan stasiun,

warna telur dan musim 91

30 Berat, diameter, dan volume telur rajungan betina ovigerous

berdasarkan warna telur 92

31 Proporsi TKG rajungan betina ovigerous pada setiap periode

penangkapan dan musim 95

32 IKG rajungan betina ovigerous pada setiap TKG berdasarkan

(16)

33 Fekunditas, berat telur, berat tubuh dan indeks masa telur

rajungan betina ovigerous berdasarkan stasiun 97 34 Rataan ukuran tubuh, berat telur, fekunditas dan indeks masa telur

rajungan betina ovigerous berdasarkan kelas ukuran lebar karapas 97 35 Rataan fekunditas, berat telur , berat tubuh, dan indeks masa telur

rajungan betina ovigerous berdasarkan warna telur 98 36 Rataan fekunditas, berat telur, berat tubuh, dan indeks masa telur

rajungan betina ovigerous berdasarkan musim 101 37 Rataan kadar proksimat telur rajungan berdasarkan warna telur 102 38 Rataan kadar asam lemak telur rajungan berdasarkan warna telur 103 39 Rataan fekunditas, berat telur dan lebar karapas rajungan betina

ovigerous pada beberapa perairan di Asia Tenggara 110

40 Distribusi frekuensi lebar karapas rajungan jantan dan betina pada

setiap periode penangkapan di Teluk Lasongko 117 41 Parameter pertumbuhan, indeks perfoma dan persamaan

pertumbuhan von Bertalanffy populasi rajungan di Teluk

Lasongko 119

42 Proporsi rekrutmen rajungan setiap bulan di Teluk Lasongko sejak

April 2013 sampai Maret 2014 121

43 Nilai kematian total, alami dan penangkapan serta eksploitasi

populasi rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko 122 44 Parameter populasi rajungan yang digunakan dalam analisis hasil

per rekrutmen relatif (Y’/R) dengan model Beverton dan Holt 122 45 Tingkat eksploitasi, hasil per rekrutmen relatif (Y’/R) dan biomasa

per rekrutmen relatif (B’/R) pada tiga ukuran lebar karapas

rajungan pertama tertangkap 124

46 Ukuran dan modus lebar karapas rajungan pada beberapa perairan 125 47 Parameter pertumbuhan populasi rajungan pada beberapa lokasi

perairan 126

48 Nilai kematian total (Z), alami (M) dan penangkapan (F) serta

tingkat eksploitasi (E) rajungan pada beberapa lokasi perairan 128 49 Penyebaran nelayan dan jenis alat tangkap rajungan pada setiap

desa/ kelurahan di Teluk Lasongko tahun 2006 dan 2014 136 50 Rataan ukuran tubuh dan rasio kelamin rajungan (jantan: betina) di

Teluk Lasongko selama bulan Oktober hingga bulan Desember

2006 dan 2013 137

DAFTAR GAMBAR

1 Bagan alir kerangka pendekatan masalah penelitian 4 2 Peta lokasi penelitian dan stasiun pengambilan contoh di Teluk

Lasongko 8

3 Kualitas air habitat rajungan berdasarkan periode pengukuran di

(17)

4 Total jumlah (A) dan berat (B) rajungan yang tertangkap pada

setiap stasiun 17

5 Total jumlah (A) dan berat (B) rajungan yang tertangkap pada setiap

periode penangkapan 19

6 Sebaran stasiun penelitian dan variabel karakteristik habitat pada

sumbu 1 dan 2 (F1 dan F2) 22

7 Prosedur pengukuran morfometrik rajungan ( Sukumaran 1995) 31 8 Rataan beberapa karakteristik morfometrik rajungan jantan (A) dan

betina (B) berdasarkan periode penangkapan di Teluk Lasongko 36 9 Distribusi frekuensi kelas ukuran lebar karapas rajungan jantan dan

betina pada setiap stasiun di Teluk Lasongko 39 10 Distribusi frekuensi kelas ukuran lebar karapas rajungan jantan dan

betina berdasarkan periode penangkapan di Teluk Lasongko 41

11 Hubungan antar karakter morfometrik rajungan jantan (A) dan betina

(B) di Teluk Lasongko 45

12 Hubungan lebar/panjang karapas-berat tubuh rajungan jantan (A)

dan betina (B) tertangkap di Teluk Lasongko 48 13 Morfologi dan warna gonad pada setiap TKG rajungan jantan 61 14 Morfologi dan warna gonad pada setiap TKG rajungan betina 61 15 Proporsi TKG rajungan jantan pada setiap stasiun 65 16 Proporsi TKG rajungan betina pada setiap stasiun 66 17 Proporsi TKG rajungan jantan dan betina berdasarkan tipe habitat 67 18 Proporsi TKG rajungan jantan pada setiap periode penangkapan 68 19 Proporsi TKG rajungan betina pada setiap periode penangkapan 69 20 Proporsi rajungan betina ovigerous dan rataan IKG total rajungan

jantan dan betina pada setiap bulan 74

21 Kurva logistik pendugaan ukuran 50 % rajungan jantan dan betina

pertama kali matang kelamin di Teluk Lasongko 75 22 Pola rasio kelamin rajungan jantan terhadap rajungan betina pada

setiap periode penangkapan di Teluk Lasongko 76

23 Rajungan betina ovigerous dari warna kuning sampai abu-abu gelap 84

24 Sebaran rajungan betina ovigerous berdasarkan kepadatan lamun

dan kekeruhan di Teluk Lasongko 89

25 Sebaran rajungan betina ovigerous berdasarkan tipe substrat dan

kekeruhan di Teluk Lasongko 90

26 Hubungan berat basah (Bb) dengan berat kering (Bk) telur rajungan betina ovigerous warna (a) kuning, (b) orange, (c) coklat, dan (d)

abu-abu gelap 92

27 Proporsi TKG rajungan betina ovigerous berdasarkan stasiun 93 28 Proporsi TKG rajungan betina ovigerous berdasarkan warna telur 94 29 Rataan IKG total bulanan rajungan betina ovigerous 96 30 Hubungan lebar karapas (a), berat tubuh (b) dan berat telur (c)

dengan fekunditas, serta berat tubuh dan berat telur (d) berdasarkan

total contoh rajungan betina ovigerous 98

31 Hubungan lebar karapas (a), berat tubuh (b) dan berat telur (c) dengan fekunditas, serta berat tubuh dan berat telur (d) rajungan

(18)

32 Hubungan lebar karapas (a), berat tubuh (b) dan berat telur (c) dengan fekunditas, serta berat tubuh dan berat telur (d) rajungan

betina ovigerous warna orange 100

33 Hubungan lebar karapas (a), berat tubuh (b) dan berat telur (c) dengan fekunditas, serta berat tubuh dan berat telur (d) rajungan

betina ovigerous warna kuning coklat muda 100 34 Rataan fekunditas rajungan pada setiap periode penangkapan 101 35 Peluang lebar karapas rajungan yang tertangkap dengan gillnet di

Teluk Lasongko 118

36 Performa pertumbuhan populasi rajungan jantan dan betina di Teluk

Lasongko 119

37 Kurva pertumbuhan von Bertalanffy populasi rajungan jantan dan

betina di Teluk Lasongko berdasarkan data frekuensi lebar karapas 120

38 Pola rekrutmen rajungan di Teluk Lasongko 121

39 Grafik kematian total rajungan jantan dan betina berdasarkan

kurva konversi hasil tangkapan di Teluk Lasongko 121 40 Hubungan tingkat eksploitasi dengan hasil per rekrutmen relatif

(Y’/R) dan biomasa per rekrutmen relatif (B’/R) pada LKc 97.20

mm (A), 105.11 mm (B) dan 113.95 mm (C) 123

41 Keterkaitan antar variabel penentu keberlanjutan populasi rajungan

tereksploitasi di Teluk Lasongko 132

DAFTAR LAMPIRAN

1 Kualitas air habitat rajungan berdasarkan periode waktu

pengukuran di Teluk Lasongko 159

2 Karakter morfometrik rajungan jantan berdasarkan periode waktu

penangkapan 160

3 Karakter morfometrik rajungan betina berdasarkan periode waktu

penangkapan 161

4 Sebaran tingkat kematangan gonad rajungan betina dan juvenil di

Teluk Lasongko 162

5 Sebaran intensitas penangkapan rajungan di Teluk Lasongko 163

(19)

DAFTAR ISTILAH

AOAC : Association of Official Analysis Chemists

Asam lemak : Hidro karbon rantai lurus yang mengandung gugus hidroksil pada salah satu ujungnya

E : Tingkat ekploitasi rajungan

Eopt : Tingkat eksploitasi rajungan optimum

F : Kematian rajungan akibat penangkapan

FAME : Fatty acid methyl ester

Fekunditas : Jumlah telur yang dihasilkan oleh rajungan pada setiap tahap pemijahan

Habitat : Tempat hidup rajungan

IKG : Indeks kematangan gonad rajungan

JTB : Jumlah tangkapan diperbolehkan

K : Koefisien pertumbuhan von Bertalanffy rajungan Kematian penangkapan (F) : Kematian rajungan yang diakibatkan oleh

penangkapan

LKc 50 % : Ukuran lebar karapas rajungan 50 % pertama tertangkap dengan gill net

LKm 50 % : Ukuran pertama matang kelamin, ukuran yang mana 50 % dari semua individu rajungan telah matang kelamin

LK∞ : Lebar karapas infinitif, lebar karapas maksimum secara teoritis oleh rajungan

Kematian alami (M) : Kematian alami rajungan, kematian disebabkan faktor alami (pemangsaan, penyakit atau faktor lingkungan)

Musim pemijahan : Periode waktu rajungan melepaskan telur dan sperma untuk pembuahan

MSY : Maximum sustainable yield, yaitu hasil tangkapan maksimum tanpa menggangu keberlanjutan rajungan

Pertumbuhan alometrik : Laju pertumbuhan antar karakter morfomertik rajungan tidak seimbang

Pertumbuhan isometrik : Laju pertumbuhan antar karakter morfomertik rajungan seimbang

Rajungan betina ovigerous : Rajungan betina sedang mengerami telur

Suaka rajungan : Suatu kawasan lindung yang berada di daerah pantai berfungsi untuk melindungi rajungan dan habitatnya. Tangkap lebih(Overfishing) : Jumlah rajungan yang ditangkap melebihi potensi

biologi tumbuh rajungan

to : Umur teoritis, umur ketika lebar karapas rajungan nol TKG : Tingkat kematangan gonad, tahap perkembangan

gonad rajungan

(20)
(21)

Rajungan (Portunus pelagicus Linnaeus1758) merupakan komoditas perikanan bernilai ekonomi dan permintaannya tinggi baik di dalam maupun di luar negeri. Rajungan dan kepiting merupakan komoditas ekspor utama perikanan Indonesia setelah udang dan ikan. Volume dan nilai ekspor kepiting (rajungan dan kepiting bakau) Indonesia pada tahun 2011, masing-masing mencapai 156.993 ton dan US$ 208.424 juta (KKP 2012). Sampai saat ini permintaan rajungan untuk diekspor dan memenuhi kebutuhan di dalam negeri sepenuhnya masih mengandalkan penangkapan

di alam. Penangkapan rajungan yang intensif tanpa didukung dengan upaya pengelolaan

yang baik, akan berdampak pada penurunan stok populasi rajungan di alam, dan pada

akhirnya akan mempengaruhi keberlanjutan penangkapan rajungan.

Data kondisi habitat, struktur kelompok ukuran, biologi reproduksi dan dinamika

populasi rajungan merupakan salah satu informasi yang sangat dibutuhkan untuk dijadikan sebagai dasar dalam menyusun strategi pengelolaan rajungan (Arshad et al. 2006; Johnson et al. 2010; Kamrani et al. 2010; Songrak et al. 2014; Green et al. 2014). Kajian biologi reproduksi rajungan meliputi rasio kelamin, tingkat dan indeks kematangan gonad, ukuran pertama matang kelamin, keberadaan rajungan betina mengerami telur (betina ovigerous), fekunditas dan musim pemijahan. Sebaliknya, kajian dinamika populasi (parameter populasi) meliputi pertumbuhan, rekrutmen dan kematian, serta struktur kelompok ukuran. Kajian biologi populasi rajungan selama ini masih terfokus pada tipe perairan, utamanya populasi rajungan di perairan estuari dan teluk (Kangas 2000; Potter et al. 2001; de Lastang et al. 2003; Dineshbabu et al. 2008). Kajian biologi reproduksi dan dinamika populasi rajungan berdasarkan tipe habitat relatif masih kurang dilakukan di perairan Indonesia.

Penelitian biologi reproduksi dan dinamika populasi rajungan diantaranya telah dilakukan oleh (Pillay dan Nair 1971; Sukumaran 1995, Sukumaran dan Neelakantan 1996a, 1996b, 1997; Potter et al. 2001; de Lestang et al. 2003; Josileen dan Menon

2007; Dineshbabu et al. 2008; Kamrani et al. 2010; Johnson et al. 2010; Jazayeri et al.

2011; Josileen 2011; Sunarto 2012; Kembaren et al. 2012; Ernawati 2013; Ihsan et al. 2014; Liu et al. 2014). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa fekunditas, musim puncak pemijahan, dan ukuran rajungan pertama kali matang kelamin, serta parameter pertumbuhan dan kematian rajungan bervariasi antar lokasi geografi dan tipe perairan. Adanya variasi paramater biologi reproduksi dan parameter populasi rajungan tersebut berkaitan dengan perbedaan kondisi habitat, suhu, salinitas, oksigen, kecerahan dan intensitas penangkapan (Batoy et al. 1987; Kangas 2000; de Lestang et al. 2003; Bellchambers et al. 2005; Kamrani et al. 2010; Johnston et al. 2011a; Ikhwanuddin et al. 2011; 2012a; Green et al. 2014).

Kadar proksimat dan asam lemak telur dekapoda diantaranya juga dipengaruhi kondisi habitat (Rosa 2003; Rosa et al. 2005; Figueiredo et al. 2008a, 2008b). Kadar

proksimat dan asam lemak telur dekapoda berperan menentukan siklus reproduksi,

kelangsungan hidup telur dan perkembangan embrio, penetasan telur dan kelangsungan

(22)

embrio mengalami perubahan bentuk, ukuran, warna dan kadar proksimat dan asam lemak (Radhakrishnan 2000; Arshad et al. 2006; Soundarapandian dan Singh 2008;

Soundarapandian dan Tamizhazhagan 2009; Liao et al. 2011; Khoei et al. 2012; Ravi

dan Manisseri 2013). Penelitian kadar proksimat dan asam lemak telur masih relatif terbatas dan belum dibedakan berdasarkan perkembangan embrio atau perubahan warna telur seperti dilakukan oleh Soundarapandian dan Singh (2008) dan Khoei et al. (2012).

Teluk Lasongko secara administrasi termasuk dalam wilayah Kabupaten Buton

Tengah Sulawesi Tenggara. Luas perairan ini sekitar 13.6 km2 dengan kedalaman berkisar antara 1 m hingga 50 m (adaptasi dari DKP Sulawesi Tenggara 2003; Supardan

2006). Rajungan di perairan ini dapat ditemukan pada daerah intertidal dan subtidal

yang ditumbuhi padang lamun dengan substrat umumnya terdiri dari pasir halus sampai pasir kasar serta lokasi yang dalam dengan substrat berupa hamparan pasir halus. Suhu air habitat rajungan di Teluk Lasongko pada musim kemarau ditemukan berkisar antara 28 oC hingga 31 oC, dan salinitas berkisar antara 31 ppt hingga 35 ppt dan pH sekitar 8.0 (Hamid 2011), serta masih mendukung pertumbuhan rajungan.

Penangkapan rajungan di Teluk Lasongko telah dilakukan sejak tahun 1970-an, namun intensitasnya masih rendah dan belum menggunakan alat tangkap (ditangkap dengan tangan) serta bertujuan untuk kebutuhan konsumsi keluarga nelayan. Pada awal tahum 1990-an penangkapan kepiting rajungan di perairan ini mulai menggunakan bubu dari anyaman bambu dan hasil tangkapannya untuk dijual. Penangkapan rajungan di Teluk Lasongko semakin intensif sejak awal tahun 2000-an dengan menggunakan gill net (dominan) dan sebagian kecil dengan bubu rajungan, serta permitaan rajungan semakin tinggi karena di kawasan ini berkembang usaha pengolahan daging rajungan sebagai perwakilan perusahaan eksportir rajungan di Kota Bau-Bau dan Kendari (Hamid 2011). Sejak akhir 2008, penangkapan rajungan di

perairan ini lebih banyak menggunakan bubu, dan hal ini akan berpengaruh kepada

reproduksi, parameter dinamika populasi dan stok rajungan di Teluk Lasongko. Hasil tangkapan rajungan di Teluk Lasongko cenderung semakin menurun dan semakin kecil, serta hasil tangkapan rajungan di perairan ini setiap trip berkisar antara 0.7 kg hingga 1.9 kg per nelayan (Hamid 2011). Tingkat penangkapan krustasea (rajungan dan udang Penaeus sp.) di Teluk Lasongko telah mencapai 95 % dari

potensi lestarinya atau telah melebihi jumlah tangkapan diperbolehkan (JTB) (Supardan

2006). Produksi kedua jenis krustasea tersebut pada tahun 2000 mencapai 242 ton

serta tahun 2003 dan 2004 masing-masing mencapai 790 ton dan turun 640 ton (Supardan 2006). Hasil tangkapan rajungan yang diperoleh dari tiga pengolah daging rajungan di Teluk Lasongko selama Februari sampai November 2006 hanya sekitar 37 ton (Hamid 2011), dan selama bulan Mei 2013 sampai April 2014 sekitar 67 ton.

(23)

Perumusan Masalah

Kondisi habitat sangat menentukan biologi reproduksi dan dinamika populasi rajungan. Biologi reproduksi dan dinamika populasi rajungan saling berkaitan, misalnya antara pemijahan dan rekrutmen populasi rajungan. Pemijahan rajungan yang tinggi dan didukung oleh kondisi habitat serta kadar proksimat dan asam lemak telur yang tinggi dapat meningkatkan kelangsung hidup larva rajungan dan berpotensi meningkatkan rekrutmen populasi rajungan. Suhu, salinitas dan komposisi rajungan jantan dan betina adalah faktor yang menentukan keberhasilan pemijahan rajungan (de Lestang et al. 2003; Bellchambers et al. 2005; Jazayeri et al. 2011; Johnston et al.

2011; de Lestang et al. 2010; Gree et al. 2014). Kadar proksimat dan asam lemak telur

rajungan ditentukan oleh kondisi habitat, dan berpengaruh kepada siklus reproduksi, kelangsungan hidup telur dan perkembangan embrio, penetasan telur dan kelangsungan hidup larva rajungan (Rosa 2003; Ying et al. 2006, Rosa et al. 2007; Figueiredo et al 2008a, 2008b; Figueiredo et al. 2012; Li et al. 2012), dan secara tidak langsung menentukan rekrutmen rajungan. Rekrutmen rajungan yang tinggi berperan meningkatkan ketahanan dan daya pulih populasi rajungan dari tekanan penangkapan dan mendukung keberlanjutan populasi rajungan pada suatu perairan.

Penangkapan rajungan di Teluk Lasongko telah dilakukan secara intensif sejak tahun 2000-an dan penangkapannya umumnya dilakukan di sekitar intertidal dan subtidal yang ditumbuhi lamun. Dampak dari penangkapan rajungan secara intensif tersebut adalah hasil tangkapan rajungan terindikasi semakin berkurang dan ukurannya semakin kecil (Hamid 2011), bahkan tingkat penangkapan rajungan dan udang Penaeus sp. di Teluk Lasongko telah melebihi JTB nya (Supardan 2006). Permintaan rajungan di daerah ini semakin tinggi sehingga mendorong penangkapan rajungan semakin intensif dan juga menangkap rajungan betina yang sedang bertelur (betina ovigerous). Kedua hal tersebut akan semakin meningkatkan tekanan terhadap populasi rajungan dan kesempatan rajungan melakukan reproduksi semakin menurun dan akibatnya dapat menurunkan rekrutmen populasi rajungan di Teluk Lasongko.

Agar penangkapan rajungan optimum dan berkelanjutan di Teluk Lasongko, maka perlu dilakukan pengelolaan yang didasarkan pada informasi kondisi habitat, biologi reproduksi dan dinamika rajungan. Namun, sampai saat ini ketersediaan ketiga jenis data ini masih sangat terbatas. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian kondisi habitat, biologi reproduksi dan dinamika populasi rajungan di perairan ini.

Pendekatan Masalah

Masalah penelitian ini dapat didekati dengan dua pendekatan, yaitu pengendalian

tekanan penangkapan dan perbaikan kondisi habitat rajungan. Tekanan penangkapan rajungan yang tinggi akan berpengaruh pada parameter biologi reproduksi dan paramater dinamika populasi rajungan di Teluk Lasongko, yaitu dapat dievaluasi dari

ukuran pertama kali matang kelamin, pertumbuhan, rekrutmen, kematian penangkapan

(24)

Input Proses Output

Gambar 1. Bagan alir kerangka pendekatan masalah penelitian

Tujuan dan Kegunaan

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis beberapa aspek, yaitu (1) karakteristik habitat dan distribusi populasi rajungan berdasarkan hasil tangkapan, (2) karakteristik morfometrik, distribusi frekuensi kelas ukuran populasi rajungan dan hubungan serta tipe pertumbuhan antar karakter morfometrik, (3) parameter biologi reproduksi rajungan, (4) distribusi, tingkat kematangan gonad, fekunditas dan komposisi biokimia telur rajungan betina ovigerous, (5) struktur ukuran populasi, parameter dinamika populasi dan tingkat eksploitasi rajungan, dan (6) merumuskan konsep pengelolaan rajungan di Teluk Lasongko. Kegunaan penelitian ini adalah untuk mendapatkan data habitat, kelas ukuran, biologi reproduksi, distribusi dan tingkat kematangan gonad rajungan betina ovigerous, komposisi biokimia telur rajungan, parameter dinamika populasi dan tingkat eksploitasi rajungan sebagai dasar dalam menyusun konsep pengelolaan rajungan di Teluk Lasongko.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian habitat, biologi reproduksi dan dinamika populasi rajungan (Portunus pelagicus Linnaeus 1758) sebagai dasar pengelolaan di Teluk Lasongko Kabupaten Buton Tengah Sulawesi Tenggara meliputi enam bagian, yaitu sebagai berikut :

Pertama mengkaji karakteristik habitat dan distribusi populasi rajungan yang tertangkap di Teluk Lasongko. Bagian ini bertujuan untuk menganalisis aspek (1)

Habitat :

Padang lamun

Kualitas air &

 Substrat

 

Rajungan

Penangkapan:

∑ Nelayan ∑ Alat tangkap

Tekanan penangkapan

Tangkapan Optimum & Berkelanjutan

Eksploitasi

Status Stok Pertumbuhan :

Somatik Reproduksi

Biologi Reproduksi

Dinamika Populasi

Kadar proksimat &

Asam lemak telur

Ukuran I Matang Kelamin

Pertumbuhan Rekrutmen Kematian alami

Kematian Penangkapan

(25)

karakateristik habitat rajungan, (2) distribusi populasi rajungan berdasarkan hasil tangkapan, dan (3) keterkaitan variabel karakteristik habitat dengan jumlah rajungan yang tertangkap di Teluk Lasongko.

Kedua meneliti karakteristik morfometrik dan distribusi kelas ukuran rajungan. Bagian ini bertujuan untuk menganalisis aspek (1) karakteristik morfometrik, (2) distribusi frekuensi kelas ukuran lebar karapas, dan (3) hubungan dan tipe pertumbuhan relatif antar karakter morfometrik rajungan di Teluk Lasongko.

Ketiga mengkaji biologi reproduksi rajungan di Teluk Lasongko. Bagian ini bertujuan untuk menganalisis aspek (1) rasio kelamin, (2) tingkat dan indeks kematangan gonad, (3) musim pemijahan, dan (4) ukuran pertama matang kelamin rajungan di Teluk Lasongko.

Keempat mengkaji distribusi, tingkat kematangan gonad, fekunditas dan kadar biokimia telur rajungan mengerami telur di Teluk Lasongko. Bagian ini bertujuan untuk menganalisis aspek (1) fekunditas rajungan, (2) distribusi, (3) tingkat kematangan gonad, serta (4) kadar proksimat dan asam lemak telur rajungan berdasarkan perubahan warna telur rajungan betina ovigerous di Teluk Lasongko.

Kelima mengkaji dinamika populasi rajungan di Teluk Lasongko. Bagian ini bertujuan untuk menganalisis aspek (1) struktur kelompok ukuran, (2) pertumbuhan, rekrutmen dan kematian, serta (3) tingkat eksploitasi rajungan populasi di Teluk Lasongko.

Keenam merupakan pembahasaan umum. Bagian ini bertujuan untuk menganalisis aspek (1) keterkaitan antar parameter penentu keberlanjutan populasi rajungan, (2) potensi keberlanjutan populasi rajungan, (3) ancaman keberlanjutan populasi rajungan, (4) status stok dan penangkapan rajungan, dan (5) merumuskan konsep pengelolaan rajungan di Teluk Lasongko.

Kebaruan Penelitian

(26)

2 KARAKTERISTIK HABITAT DAN DISTRIBUSI POPULASI

RAJUNGAN (

Portunus pelagicus

Linnaeus 1758)

TERTANGKAP DI TELUK LASONGKO

Pendahuluan

Rajungan ditemukan pada habitat yang cukup beragam, yaitu mulai ditemukan di perairan pantai sampai pada landas kontinen dengan kedalaman 50 m (Edgar 1990), bahkan sampai kedalaman lebih 65 m (Juwana 1997). Di perairan pantai, rajungan dapat ditemukan di bagian intertidal, muara sungai kecil (creek), bagian sub litoral, teluk dangkal dan perairan pesisir yang dalam (Chande dan Mgaya 2003; de Lestang et al. 2003) dan ditumbuhi padang lamun dan alga dengan tipe substrat lumpur, liat dan pasir (Chande dan Mgaya 2003; de Lestang et al. 2003; Dineshbabu et al. 2008). Rajungan juga terdapat di mangrove dan di tambak-tambak air payau yang berdekatan dengan air laut (Juwana 1997).

Setiap tipe habitat rajungan tersebut juga mempunyai kondisi lingkungan perairan bervariasi. Variabel lingkungan perairan sebagai penentu kondisi habitat rajungan meliputi suhu, salinitas, oksigen terlarut, kecerahan, tipe substrat, kedalaman air, dan juga kondisi arus dapat mempengaruhi setiap tahap siklus hidup rajungan (Dhawan et al. 1976; Batoy et al.1987; Kangas 2000; de Lestang et al. 2003; Kamrani et al. 2010; Bellchambers et al. 2005; Ikhwanuddin et al. 2011). Rajungan dapat beradaptasi pada perubahan kondisi suhu, salinitas dan pH yang ekstrim (Hosseini et al. 2012).

Rajungan di Perairan Brebes ditemukan pada suhu berkisar antara 27 oC hingga 30 oC, salinitas 30 ppt hingga 33 ppt dan kedalaman air berkisar antara 3 m hingga 12 m dengan kondisi substrat didominasi oleh fraksi pasir, fraksi lumpur dan fraksi liat dengan tipe substrat lempung berpasir dan lempung berliat (Sunarto 2012). Selanjutnya juga dilaporkan distribusi rataan ukuran rajungan di Perairan Brebes tidak dipengaruhi oleh fraksi sedimen (Sunarto 2012). Rajungan di Perairan Pati ditemukan pada suhu 27.5 oC hingga 31.5 oC dan salinitas 31.5 ppt hingga 35.5 ppt dengan tipe substrat mulai dari pasir berlumpur sampai lumpur, namun rajungan banyak tertangkap pada tipe substrat lumpur berpasir (Ernawati 2013).

Rajungan jantan dan betina di Pantai Sarawak, Laut Cina Selatan umumnya ditemukan bermigrasi ke arah laut yang dalam selama musim memijah (Ikhwanuddin et al. 2012b). Temuan tersebut berlawanan dengan dilaporkan oleh peneliti sebelumnya (Sumpton et al. 1994; Kangas 2000; Poter dan de Lestang 2000; de Lestang et al. 2003) bahwa hanya rajungan betina bermigrasi ke arah perairan laut yang lebih dalam sedangkan jantan tetap berada di perairan yang dangkal. Rajungan di perairan teluk sering tidak bermigrasi ketika memijah, dan pada keadaan tertentu ketika terjadi perubahan salinitas, rajungan memijah pada bagian perairan teluk yang bersalinitas tinggi (Sumpton et al.1994; Potter dan de Lestang 2000; de Lestang et al. 2003; Ikhwanuddin et al. 2011).

(27)

waktu lama (Kangas 2000). Salinitas berperan penting dalam menentukan keberadaan rajungan di daerah asuhan selama musim dingin (Potter dan de Lestang 2000; Kangas 2000). Rajungan toleran terhadap fluktuasi oksigen terlarut yang besar seperti terjadi di estuari (Kangas 2000). Rajungan masih bertahan hidup di estuari dengan kondisi oksigen terlarut < 2 mgl-1 (Dhawan et al. 1976), dan masih dapat melakukan respirasi ketika terjadi anaerob dan dapat menahan kekurangan oksigen pada suhu rendah, 13 oC dan suhu lebih tinggi, 19 oC (Kangas 2000).

Rajungan jantan dan betina mempunyai toleransi berbeda terhadap berbagai tipe habitat selama dalam setahun (Sumpton et al. 1994). Rajungan betina menyukai substrat pasir ketika melepaskan telur untuk mendukung keberhasilan penetasannya sehingga betina dewasa yang telah matang gonad bermigrasi ke dalam gundukan pasir (sand bank) untuk mengeluarkan telurnya (Sumpton et al. 1994). Distribusi spasial rajungan berkaitan dengan ukuran, yaitu rajungan berukuran lebih besar (panjang karapas 50 mm) biasanya tertangkap pada kedalaman > 6 meter sedangkan juvenil (panjang karapas 30 mm) ditemukan pada perairan lebih dangkal di dekat pantai (Batoy et al.1988). Pola distribusi tersebut diduga berkaitan dengan migrasi untuk memijah, molting dan mencari makan, serta dipengaruhi oleh salinitas dan substrat perairan (Batoy et al.1988; Ikhwanuddin et al. 2011). Salinitas dan suhu merupakan faktor utama yang mengontrol distribusi rajungan di Teluk Kung Krabaen, Thailand (Kunsook 2011).

Kajian karakteristik habitat dan distribusi populasi rajungan di Indonesia diantaranya telah dilakukan di Perairan Brebes (Sunarto 2012) dan Perairan Pati (Ernawati 2013). Penelitian rajungan di Teluk Lasongko masih bersifat umum (Hamid 2011) dan belum mengkaji populasi rajungan berdasarkan karakteristik habitatnya. Rajungan di perairan Teluk Lasongko dapat ditemukan pada bagian yang dangkal atau pada daerah intertidal sampai subtidal yang ditumbuhi padang lamun dengan substrat umumnya terdiri dari pasir halus sampai pasir kasar (Hamid 2011) mulai dari bagian kepala teluk sampai bagian mulut teluk. Kondisi habitat merupakan salah satu informasi yang dibutuhkan dalam pengelolaan rajungan, namun informasi kondisi habitat di Teluk Lasongko masih terbatas sehingga penelitian ini perlu dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis aspek (1) karakteristik habitat rajungan, (2) distribusi populasi rajungan berdasarkan hasil tangkapan, dan (3) keterkaitan variabel karakteristik habitat dengan jumlah rajungan yang tertangkap di Teluk Lasongko.

Metode Penelitian

Lokasi dan Waktu

(28)

Gambar 2. Peta lokasi penelitian dan stasiun pengambilan contoh di Teluk Lasongko

Penentuan Stasiun

Stasiun penelitian mulai pada bagian kepala teluk sampai bagian mulut Teluk Lasongko dan terbagi dalam tujuh stasiun, yaitu tiga stasiun berada pada bagian kepala teluk, tiga stasiun lain terletak pada bagian tengah teluk, dan satu stasiun berada di bagian mulut teluk (Gambar 2). Stasiun ditentukan berdasarkan kondisi padang lamun, tipe substrat, dan kedalaman perairan yang mewakili tipe habitat rajungan dan daerah penangkapan rajungan di Teluk Lasongko.

Kondisi habitat rajungan dan merupakan lokasi setiap stasiun pengambilan contoh rajungan di Teluk Lasongko adalah sebagai berikut :

Stasiun 1 : Terletak pada bagian kepala teluk, kondisi perairannya sempit, daerah intertidal ditumbuhi padang lamun Enhalus acoroides (dominan) dan Thalassia hemprichii dengan kepadatan rendah dan bibir pantainya ditumbuhi mangrove. Secara visual bersubstrat pasir kasar, pecahan kulit kerang dan lumpur, serta kondisi airnya keruh dengan kedalaman air berkisar 1 m hingga 5 m. Stasiun ini dengan posisi 05o16’23.4”LS hingga 05o16’48.3”LS; dan 122o31’37.3”BT hingga 122o31’48.9”BT, Stasiun 2 : Daerah intertidal sampai subtidal atas ditumbuhi oleh lamun E.

acoroides dan T. hemprichii (dominan) dengan kepadatan relatif rendah. Secara visual bersubstrat pasir kasar dan sedang serta sebagian dengan substrat berbatu. Kondisi airnya agak keruh dan kedalamannya

berkisar antara 1 m hingga 6 m. Stasiun ini terletak pada bagian kepala

(29)

Stasiun 3 : Daerah intertidal sampai subtidal bagian atas ditumbuhi oleh lamun jenis T. hemprichii (dominan) dan E. acoroides dengan kepadatan sedang sampai padat. Kedalaman airnya berkisar dari 1.5 m hingga 7.0 m, dan secara visual bersubstrat pasir kasar, pecahan kulit kerang dan lumpur, serta relatif jernih. Terletak pada bagian kepala teluk sisi kanan dengan posisi 05o18’10.”LS hingga 05o18’32.1” LS dan 122o30’58,3” BT hingga 122o31’09.5” BT,

Stasiun 4 : Hamparan padang lamunnya luas dan padat terdiri atas jenis T. hemprichii (dominan) dan E. acoroides. Secara visual bersubstrat pasir halus, sedang, dan lumpur. Kondisi airnya relatif jernih dengan kedalaman air berkisar dari 1.5 m hingga 12 m. Terletak pada bagian tengah teluk sisi kanan dengan posisi 05o19’17.1” LS hingga 05o19’44.9” LS dan 122o31’21.7” BT hingga 122o31’47.7”BT,

Stasiun 5 : Daerah intertidal sampai subtidal atas ditumbuhi oleh lamun jenis T. hemprichii (dominan) dan E. acoroides dengan kepadatan sedang. Secara visual bersubstrat pasir kasar, sedang dan lumpur, dan airnya relatif jernih dengan kedalaman berkisar 1.5 m hingga 7 m. Stasiun ini terletak pada bagian tengah teluk sisi kiri dengan posisi 05o19’37,8”LS hingga 05o20’06.1”LS dan 122o29’52.8” BT hingga 122o30’17.0”BT, Stasiun 6 : Stasiun ini tidak memiliki intertidal, kedalaman air berkisar antara 5 m

hingga 10 m berupa hamparan pasir. Kondisi airnya relatif jernih dan secara visual bersubstrat pecahan karang, pasir sedang pasir halus dan lumpur. Terletak di bagian tengah teluk dengan posisi 05o18’11,4”LS hingga 05o18’28.6”LS dan 122o29’51.9” BT hingga 122o30’32.9” BT, Stasiun 7 : Stasiun ini juga tidak memiliki intertidal dan berada pada bagian mulut

telur dengan kedalaman air berkisar antara 14 m hingga 31 m dan jernih. Secara visual bersubstrat pasir halus dan lumpur. Terletak pada posisi 05o22’8.9” LS hingga 05o22’10.0” LS dan 122o31’9.9” BT hingga 122o31’0.9” BT.

Stasiun 1, 2, 3, 4 dan 5 terdiri dari tiga sub stasiun, sedangkan stasiun 6 dan 7 hanya terdiri dari dua sub stasiun. Stasiun 6 dan7 tidak berhubungan langsung dengan daratan dan daerah intertidal. Kelima stasiun yang disebutkan pertama, selanjutnya dikelompokkan menjadi tiga tipe habitat rajungan berdasarkan kesamaan kondisi kedalaman air, tipe substrat dan padang lamun. Karakteristik ketiga tipe habitat rajungan tersebut adalah sebagai berikut:

(1) Habitat A, terletak pada daerah intertidal dengan kedalaman air pada saat air pasang berkisar 1.5 m hingga 2.5 m, ketika air surut terendah (paling besar) yaitu terjadi pada bulan Oktober dan November daerah ini kering, ditumbuhi padang lamun lebih padat dan bersubstrat didominasi fraksi pasir kasar,

(2) Habitat T terdapat pada daerah peralihan antara habitat A dan B dengan kedalaman air ketika air pasang berkisar 2.5 m hingga 3.5 m, ditumbuhi lamun dengan kepadatan lebih rendah dibnadingkan dengan habitat A dan bersubstrat didominasi pasir, dan

(30)

Pengukuran Data Variabel Karakteristik Habitat

Parameter karakteristik habitat yang diukur pada penelitian ini terdiri atas tekstur sedimen, kepadatan padang lamun, kedalaman air, suhu air, kecerahan, kekeruhan, total padatan tersuspensi (TSS), kecepatan arus, oksigen terlarut, salinitas, dan pH. Variabel karakteristik habitat rajungan yang diukur sebagian besar hanya pada bagian permukaan, kecuali padang lamun dan tekstur sedimen pada bagian dasar perairan. Setiap variabel tersebut diukur setiap bulan pada setiap stasiun, kecuali tekstur sedimen dan padang lamun hanya diukur sekali pada awal penelitian.

Contoh sedimen pada setiap sub stasiun (tipe habitat) diambil dengan menggunakan Petersen grab untuk lokasi yang dalam dan lokasi yang dangkal (intertidal) digunakan sekop kecil. Substrat ketika dianalisis di laboratorium digunakan saringan bertingkat dan timbangan digital. Berat contoh sedimen yang diambil pada setiap tipe habitat sekitar 500 gram. Kepadatan lamun ditentukan dengan menggunakan transek kuadrat 100 x 100 cm dengan grid 25 x 25 cm dan diulang tiga sampai empat kali untuk setiap tipe habitat, tergantung pada hamparan padang lamun. Jenis lamun diidentifikasi berdasarkan Azkab (1996).

Kedalaman air diukur dengan tali berskala dan kecerahan diukur dengan piring Secchi. Kadar kekeruhan air habitat rajungan diukur dengan turbidimeter (Hach tipe 21000). TSS dianalisis dengan metode gravimetrik dan alat yang digunakan antara lain pompa vacum, timbangan digital, dan kertas saring Wathman nomor 45. Kadar kekeruhan dan TSS dianalisis di laboratorium Lingkungan Balai Kesehatan, Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara. Kecepatan arus diukur dengan menggunakan pelampung, tali dengan panjang 2 meter dan stop watch.

Oksigen terlarut diukur dengan DO meter Jenway tipe 770 dan juga dilengkapi dengan sensor pengukuran suhu air. Salinitas air diukur dengan menggunakan refraktometer ATAGO dan pH air diukur dengan pH meter CE RoHS tipe pH-035 (ATC) dan dilengkapi dengan sensor pengukuran suhu air.

Pengukuran setiap variabel habitat tersebut dilakukan pada pagi hari, yaitu antara pukul 06.30 hingga pukul 09.30. Suhu dan pH air sebagian besar juga diukur pada sore hari antara pukul 16.30 hingga pukul 17.30 WITA. Suhu air, kedalaman, kecerahan, kecepatan arus, salinitas, pH dan oksigen terlarut diukur langsung di lapangan bersamaan dengan penangkapan rajungan pada setiap stasiun atau tipe habitat. Posisi setiap stasiun atau tipe habitat ditentukan dengan GPS-Garmin, model 76CSx. Sarana transportasi yang digunakan pada setiap penangkapan rajungan dan pengukuran kualitas air adalah perahu motor kantiting.

Pengukuran Data Populasi Rajungan

Populasi rajungan dilihat dari jumlah hasil tangkapan rajungan pada setiap stasiun. Pengukuran data populasi rajungan pada setiap stasiun dilakukan sebanyak 12 kali dengan selang waktu satu bulan sekali untuk setiap stasiun. Alat tangkap yang digunakan untuk menangkap rajungan adalah gillnet dasar dengan ukuran mata jaring 1.5, 2.5 dan 3.5 inci. Ketiga ukuran mata jaring tersebut dirangkai secara seri menjadi satu unit gillnet penangkap rajungan dengan tinggi sekitar 75 cm.

(31)

sedangkan pada stasiun 6 dan 7 memotong arah arus. Gillnet dipasang pada sore hari, yaitu antara pukul 16.30 hingga pukul 17.30 WITA dan diangkat kembali mulai pukul 06.30 hingga pukul 09.00 WITA. Rajungan yang tertangkap pada setiap sub stasiun dicatat jumlahnya menurut jenis kelamin.

Data total hasil tangkapan rajungan yang tertangkap di Teluk Lasongko pada setiap hari dan bulan diperoleh dari catatan harian pengolah daging rajungan di daerah ini. Data tersebut digunakan sebagai data pembanding.

Penentuan Fraksi Sedimen dan Kepadatan Lamun

Contoh tekstur sedimen dianalisis di Laboratorium Terpadu Universitas Halu Oleo dengan metode gravimetrik dan pipet. Contoh sedimen pada setiap sub stasiun dianalisis dalam tujuh ukuran fraksi sedimen, yaitu pasir kasar sekali = 2000-1000 µm, pasir kasar = 1000-500 µm, pasir sedang = 500-210 µm, pasir halus = 210-100 µm, pasir halus sekali = 100-62 µm, debu = 62-2 µm, dan liat < 2 µm (Brower et al. 1990). Ketujuh fraksi sedimen tersebut kemudian dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu pasir, lempung (debu) dan liat yang digunakan untuk menentukan tipe substrat dengan segi tiga Milller (Brower et al. 1990). Kepadatan padang lamun pada setiap stasiun dan tipe habitat dihitung dengan persamaan sebagai berikut :

D =

... (1)

D adalah kepadatan padang lamun pada setiap tipe habitat (tunas m-2), Ni jumlah tunas jenis lamun ke-i (tunas), n jumlah ulangan pengambilan contoh, dan a luas transek kuadrat (m2).

Analisis Data

Data kualitas air habitat rajungan dikelompokkan berdasarkan stasiun dan periode pengukuran dan dianalisis secara deskriptif serta ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik. Data jumlah dan berat rajungan yang tertangkap dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin, stasiun dan periode penangkapan. Total jumlah dan berat rajungan yang tertangkap selama penelitian dianalisis secara deskriptif. Jumlah dan berat rajungan yang tertangkap pada setiap stasiun dan periode penangkapan serta hasil tangkapan rajungan harian dianalisis dengan analisis ragam (ANOVA) satu arah, dan jika berbeda nyata dilanjutkan dengan uji Tukey pada taraf nyata 0.05 (Steel dan Torie 1992). Jumlah dan berat rajungan serta hasil tangkapan bulanan rajungan antara musim timur dan musim barat dianalisis dengan uji t dengan asumsi ragam tidak sama pada taraf nyata 0.05 (Steel dan Torrie 1991). Sebelum dilakukan uji ANOVA dan uji t, data jumlah, berat dan hasil tangkapan rajungan dilakukan uji kenormalan dengan uji Kolmogorov-Smirnov pada taraf nyata 0.05 (Steel dan Torrie 1992) dan jika hasil uji t berbeda nyata, maka dilakukan ditransformasi ke log 10.

(32)

Hasil Karakteristik Habitat

Kondisi Substrat dan Padang Lamun

Komposisi fraksi sedimen habitat rajungan di Teluk Lasongko yang ditemukan terdiri dari fraksi pasir sangat kasar (PSK) sampai fraksi liat (Li). Proporsi setiap fraksi sedimen pada setiap stasiun bervariasi dengan kisaran antara 0.75 % hingga 48.84 % (Tabel 1). Fraksi sedimen yang ditemukan pada setiap stasiun dan tipe habitat sebagian besar didominasi PSK dan pasir kasar (PK) dengan tipe substrat pasir, kecuali pada stasiun 6-2 dan stasiun 7 dan tipe habitat B. Stasiun 6-2 didominasi fraksi sedimen Li dan PSK dengan tipe substrat lempung liat berpasir sedangkan pada stasiun 7 didominasi oleh Li dan lempung (Le) dengan tipe substrat lempung (Tabel 1). Proporsi fraksi Le dan Li pada habitat B semakin meningkat dan tipe substrat pada tipe habitat ini sebagian besar lempung berpasir, kecuali pada habitat B pada stasiun 2 bertipe substrat pasir. Fraksi sedimen habitat rajungan di Teluk Lasongko cenderung semakin halus dengan semakin bertambahnya kedalaman.

Tabel 1. Rataan proporsi (%) fraksi sedimen dan tipe substrat berdasarkan stasiun dan tipe habitat rajungan di Teluk Lasongko

Stasiun Habitat Proporsi setiap jenis fraksi sedimen (%) Tipe substrat

PSK PK PS PH PSH Le Li

1

A 47.43 25.58 11.03 4.64 5.00 2.58 3.74 Pasir

T 41.18 38.86 5.18 3.84 4.60 2.60 3.74 Pasir

B 11.80 24.24 7.55 19.64 12.64 11.29 12.84 Pasir berlempung

2

A 48.46 18.19 8.85 5.76 4.75 8.57 5.42 Pasir

T 52.14 29.21 6.17 1.93 2.84 3.45 4.26 Pasir

B 41.66 25.84 9.02 4.45 5.49 3.66 9.88 Pasir

3 A 35.06 25.43 14.98 10.03 7.07 5.01 2.42 Pasir

T 48.84 32.42 6.93 2.26 3.83 3.39 2.33 Pasir

B 39.29 21.6 6.26 3.25 8.29 14.72 6.59 Pasir berlempung

4

A 20.72 22.26 14.99 16.83 14.74 7.69 2.77 Pasir

T 13.83 19.73 21.67 23.54 17.36 3.12 0.75 Pasir

B 44.57 21.48 6.48 3.21 6.05 10.33 7.88 Pasir berlempung

5

A 25.06 26.44 19.84 12.82 8.04 3.99 3.81 Pasir

T 38.67 32.62 8.88 8.32 4.75 4.16 2.60 Pasir

B 36.19 17.05 11.51 5.81 5.72 6.83 16.89 Pasir berlempung

6 1 41.27 29.65 10.67 5.99 6.55 4.56 1.31 Pasir

2 28.43 11.23 5.95 4.09 4.29 10.21 35.8 Lempung liat berpasir

7 1 1.25 4.86 3.62 1.20 3.02 39.19 46.86 Lempung

[image:32.612.70.525.292.622.2]
(33)

Habitat rajungan di Teluk Lasongko ditemukan pada padang lamun yang didominasi jenis E. acoroides dan T. hemprichii pada setiap habitat A dan T yang tersebar pada lima stasium. Kepadatan padang lamun pada habitat A berkisar antara 120 tunas m-2 hingga 416 tunas m-2 sedangkan pada habitat T berkisar antara114 tunas m-2 sampai 316 tunas m-2 (Tabel 2).

Tabel 2. Rataan kepadatan (tunas m-2) padang lamun dan jenis lamun dominan pada setiap stasiun dan tipe habitat di Teluk Lasongko

Stasiun Kepadatan setiap tipe habitat Jenis lamun dominan

A T

1 120 114 E. acoroides (dominan), T. hemprichii

2 242 236 E. acoroides, T. hemprichii (dominan)

3 347 310 E. acoroides, T. hemprichii (dominan)

4 416 316 E. acoroides, T. hemprichii (dominan)

5 254 218 E. acoroides, T. hemprichii (dominan)

Karakteristik Kualitas Air Habitat Rajungan

Rataan kualitas air habitat rajungan pada setiap stasiun tertera pada Tabel 3 dan pada setiap periode pengukuran tertera pada Gambar 3 dan Lampiran 1. Kedalaman air habitat rajungan di Teluk Lasongko ditemukan berkisar dari 35 cm hingga 3100 cm yang diukur pada saat surut terendah dan pasang tertinggi. Rataan kedalaman air habitat rajungan pada setiap stasiun berkisar antara 271.0 cm sampai 2250.1 cm (Tabel 3), dan habitat rajungan terdalam ditemukan pada stasiun 7 dan terdangkal ditemukan pada stasiun 1. Kedalaman air habitat rajungan terdangkal dan terdalam selama penelitian ditemukan pada bulan November karena pada bulan ini terjadi surut terendah dan pasang tertinggi di kawasan Teluk Lasongko.

Suhu air habitat rajungan di Teluk Lasongko berkisar antara 23.4 oC hingga 33.5 oC dengan rataan pada setiap bulan berkisar dari 27.7 oC hingga 29.1 oC (Tabel 3), suhu air terendah ditemukan pada stasiun 7 dan tertinggi ditemukan di stasiun 5. Suhu air terendah ditemukan pada stasiun 7, karena pada stasiun ini tidak dilakukan pengukuran suhu air pada waktu sore hari. Rataan suhu air habitat rajungan berdasarkan periode pengukuran berkisar antara 27.3 oC hingga 30.0 oC, terendah ditemukan pada bulan Juli dan tertinggi pada bulan November (Gambar 3). Variasi suhu air harian habitat rajungan di Teluk Lasongko antara bulan Agustus sampai bulan Oktober lebih tinggi dari pada bulan lainnya, hal ini dapat dilihat dari simpangan baku suhu (Gambar 3). Variasi suhu air harian tertinggi selama penelitian terjadi pada bulan Agustus, yaitu pada waktu pagi (pukul 06.15 WITA) 23.8 oC dan

menjelang siang hari (pukul 10.30 WITA) mencapai 35.6 oC (Lampiran 1).

(34)
[image:34.612.83.504.191.493.2]

terendah pada stasiun 4. Kekeruhan air habitat rajungan antara bulan Juli sampai bulan September ditemukan lebih rendah, yaitu dengan rataan <1.00 NTU sedangkan pada bulan Juni dan Oktober (dengan rataan > 2.00 NTU) lebih tinggi dibandingkan dengan periode pengukuran pada bulan lainnya (Gambar 3). Kekeruhan air habitat rajungan pada bulan Juni dan Oktober juga ditemukan lebih bervariasi dibandingkan dengan periode pengukuran pada bulan lainnya (Gambar 3).

Tabel 3. Rataan kualitas air habitat rajungan pada setiap stasiun di Teluk Lasongko

Variabel Nilai Stasiun

1 2 3 4 5 6 7

Kedalaman (cm)

Rataan 271.0 276.5 324.3 478.3 357.5 635.9 2250.1

Sd 133.3 173.5 209.7 439.4 229.8 167.8 477.1

Suhu (oC) Rataan 28.5 28.0 28.8 28.7 29.1 28.9 27.7

Sd 1.5 1.9 1.7 1.8 1.9 2.0 1.8

Kecerahan (cm)

Rataan 152.4 188.2 284.7 397.3 337.6 451.7 1345.5

Sd 46.5 81.3 123.6 271.1 161.0 100.4 139.1

Kekeruhan (NTU)

Rataan 2.40 1.90 1.33 1.17 1.52 1.18 1.20

Sd 2.30 1.20 0.75 1.00 1.25 0.76 0.90

TSS (mgl-1)

Rataan 109.90 100.30 83.75 83.81 109.50 95.24 99.90

Sd 40.90 31.60 30.80 42.18 54.57 39.41 21.20

Kecepatan arus (cmdetik-1)

Rataan 11.91 7.17 9.05 7.46 9.71 31.60 8.40

Sd 6.98 2.54 4.53 4.45 4.50 1.80 5.53

Oksigen (mgl-1)

Rataan 5.20 5.43 5.10 5.42 5.36 5.90 5.1

Sd 1.00 1.31 1.00 1.15 1.09 1.00 0.6

Salinitas (ppt)

Rataan 29.5 31.7 32.1 32.1 32.2 32.0 33.4

Sd 3.4 1.5 1.6 1.5 1.5 1.8 1.4

pH Rataan 8.42 8.39 8.40 8.40 8.43 8.50 8.50

Sd 0.18 0.18 0.20 0.10 0.17 0.10 0.10

Sd simpangan baku

(35)

Gambar 3. Kualitas air habitat rajungan berdasarkan periode pengukuran di Teluk Lasongko

Kecepatan arus habitat rajungan di Teluk Lasongko ditemukan berkisar antara 0.44 cm detik-1 hingga 38.25 cm detik-1 dengan rataan pada setiap stasiun sebagian besar <10.00 cm detik-1, kecuali pada stasiun 1 >10.00 cm detik-1 (Tabel 3). Kecepatan arus habitat rajungan di Teluk Lasongko bervariasi antar stasiun dan periode waktu pengukuran. Keceparan arus tertinggi ditemukan pada stasiun 1 dan

20.0 22.5 25.0 27.5 30.0 32.5 Suhu (oC) Suhu 0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 Kek eruhan (NTU) Kekeruhan 0.0 50.0 100.0 150.0 200.0 T S S ( m g .l -1

) TSS

0.00 10.00 20.00 30.00 Kec . arus (cm .det

-1) Kecepatan arus

20.0 25.0 30.0 35.0 40.0 S ali ni ta s (ppt

) Salinitas

0.00 2.50 5.00 7.50 10.00 Ok sig en (m g .l

-1) Oksigen terlarut

5.00 6.00 7.00 8.00 9.00 pH

Waktu pengukuran (bulan)

[image:35.612.103.493.85.628.2]
(36)

ketika diukur bertepatan dengan puncak air laut bergerak surut. Kecepatan arus pada beberapa stasiun kadang sama dengan nol karena tidak terdeteksi dengan alat yang digunakan untuk mengukur kecepatan arus. Berdasarkan periode pengukuran, kecepatan arus habitat rajungan tertinggi ditemukan pada bulan Desember, yaitu berkisar antara 4.77 cm detik-1 hingga 38.25 cm detik-1 dengan rataan 14.35 cm detik-1 dan terendah ditemukan pada bulan Juni, yaitu berkisar antara 0.44 cm detik-1 hingga 12.66 cm detik-1 dengan rataan 6.56 cm detik-1 (Gambar 3 dan Lampiran 1)

Gambar

Tabel 1.  Rataan proporsi (%) fraksi sedimen dan tipe substrat berdasarkan stasiun
Tabel 3.  Rataan kualitas air  habitat rajungan pada setiap stasiun  di Teluk Lasongko
Gambar 3.  Kualitas air habitat rajungan berdasarkan periode pengukuran di Teluk
Gambar 4.  Total jumlah (A) dan berat (B) rajungan yang tertangkap pada setiap
+7

Referensi

Dokumen terkait

1) Menentukan model surplus produksi yang paling sesuai dengan karakteristik perikanan rajungan di Teluk Banten. 2) Menganalisis bioekonomi rajungan di Teluk Banten yang

Hubungan lebar karapas dan bobot rajungan tiap zona menunjukkan pola pertumbuhan yang berbeda- beda. Rata-rata rajungan yang tertangkap di zona 2 berukuran lebih kecil karena

Hasil penelitian ditemukan berat telur dan indeks masa telur rajungan betina mengerami telur berwarna coklat muda lebih besar dari pada warna kuning dan orange.. Indeks masa

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji stok rajungan melalui analisis pola pertumbuhan, parameter pertumbuhan populasi, laju mortalitas, tingkat eksploitasi, dan

Penelitian ini mengkaji hasil tangkapan rajungan dan udang putih pada habitat berbeda dengan menganalisis hubungan lebar karapaks-berat (rajungan) dan panjang karapaks

Hasil penelitian tentang kepadatan populasi kepiting rajungan (Portunus pelagicus L.) di Teluk Buo Kecamatan Bungus Teluk Kabung Padang Sumatera Barat pada lima

1) Menentukan model surplus produksi yang paling sesuai dengan karakteristik perikanan rajungan di Teluk Banten. 2) Menganalisis bioekonomi rajungan di Teluk Banten

Salah satu komoditi ekspor unggulan hasil perikanan Lampung tahun 2020 yang pemasarannya melibatkan beberapa lembaga pemasaran yaitu rajungan Portunus pelagicus, dengan hasil tangkapan