DAMPAK OTONOMI DAERAH TERHADAP PERTUMBUHAN
SEKTOR PEREKONOMIAN DI KABUPATEN TAPANULI UTARA
OLEH
RUTH ELISABETH SIHOMBING H 14102037
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
RINGKASAN
RUTH SIHOMBING. Dampak Otonomi Daerah Terhadap Pertumbuhan Sektor Perekonomian Di Kabupaten Tapanuli Utara (dibimbing oleh WIWIEK RINDAYANTI)
Pada masa sebelum otonomi daerah, peranan pemerintah pusat sangat besar dalam menentukan kebijakan pembangunan daerah, sehingga menimbulkan keidakpuasan dari pemerintah daerah. Menanggapi ketidakpuasan dari pemerintah daerah tersebut, maka pemerintah pusat pada masa reformasi mengeluarkan UU No 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah. Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah, Kabupaten Tapanuli Utara yang merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera Utara ikut serta mengimplementasikan kebijakan otonomi daerah tersebut, sehingga Kabupaten Tapanuli Utara memiliki kemandirian menentukan arah pembangunannya untuk kemajuan daerahnya. Secara ekonomi, Kabupaten Tapanuli Utara merupakan wilayah yang strategis karena merupakan jalur lintas dari beberapa kabupaten di Provinsi Sumatera Utara. Selain itu Kabupaten Tapanuli Utara juga merupakan kawasan yang terkenal di nusantara karena potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang dimilikinya.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat pertumbuhan sektor-sektor perekonomian di Kabupaten Tapanuli Utara sebelum dan pada masa otonomi daerah, mengidentifikasi perekonomian Kabupaten Tapanuli Utara jika dibandingkan dengan Provinsi Sumatera Utara maupun daya saing sektor-sektor tersebut jika dibandingkan dengan kabupaten lain di Provinsi Sumatera Utara. Selain itu juga untuk mengidentifikasi profil pertumbuhan PDRB dan pergeseran bersih sektor-sektor ekonomi Kabupaten Tapanuli Utara, sehingga dapat diketahui sektor mana yang termasuk dalam kelompok pertumbuhan progresif dan sektor mana yang termasuk dalam kelompok pertumbuhan yang lambat.
Pada penelitian ini, analisis mengenai dampak otonomi daerah terhadap pertumbuhan sektor perekonomian di Kabupaten Tapanuli Utara digunakan analisis shift share. Data yang digunakan adalah data sekunder berupa nilai PDRB Kabupaten Tapanuli Utara dan nilai PDRB Provinsi Sumatera Utara tahun 1993-2004 berdasarkan harga konstan tahun 1993. Untuk melihat pertumbuhan masing-masing sektor akan dibagi dalam tiga periode waktu, yaitu tahun 1993-1996 periode sebelum otonomi daerah yang menggambarkan kondisi sebelum krisis ekonomi, tahun 1997-2000 periode sebelum otonomi daerah yang menggambarkan kondisi pada saat terjadinya krisis ekonomi, dan tahun 2001-2004 periode pada masa berlakunya otonomi daerah.
baik bila dibandingkan dengan kabupaten lain, sedangkan sektor bangunan merupakan sektor yang memiliki daya saing yang buruk bila dibandingkan dengan kabupaten lain. Pada masa otonomi daerah tahun 2001-2004, sektor pertanian merupakan sektor yang pertumbuhannya paling cepat, sedangkan sektor yang pertumbuhannya paling lambat adalah sektor bangunan. Pada masa otonomi daerah, semua sektor mempunyai daya saing yang baik bila dibandingkan dengan kabupaten lain, sektor bangunan merupakan sektor yang mempunyai daya saing yang paling baik bila dibandingkan dengan sektor yang lainnya.
Pada masa otonomi daerah tahun 2001 sampai 2004, perekonomian Kabupaten Tapanuli Utara termasuk dalam kelompok pertumbuhan progresif. Akan tetapi sebagian besar sektor ekonomi mempunyai laju pertumbuhan yang lambat. Oleh karena itu, pemerintah daerah diharapkan dapat terus mendorong perkembangan tiap sektor, karena semua sektor tersebut memiliki daya saing yang baik bila dibandingkan dengan kabupaten lain. Caranya yaitu dengan meningkatkan penyediaan sarana dan prasarana pendukung seperti jalur transportasi, jaringan komunikasi, dan lain sebagainya, sehingga dapat meningkatkan pendapatan daerah. Selain itu, untuk mendorong pertumbuhan sektor ekonomi, perlu adanya perhatian yang besar dari pemerintah daerah dan juga adanya kebijakan perpajakan yang mendukung.
DAMPAK OTONOMI DAERAH TERHADAP PERTUMBUHAN
SEKTOR PEREKONOMIAN DI KABUPATEN TAPANULI UTARA
Oleh
RUTH ELISABETH SIHOMBING H 14102037
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh. Nama Mahasiswa : Ruth Elisabeth Sihombing Nomor Registrasi Pokok : H14102037
Program Studi : Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi :Dampak Otonomi Daerah Terhadap Pertumbuhan Sektor Perekonomian di Kabupaten Tapanuli Utara
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor
Menyetujui, Dosen Pembimbing,
Ir. Wiwiek Rindayanti, M.Si NIP 131846870
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS NIP 131846872
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Juni 2006
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Tarutung pada tanggal 16 Februari 1985 sebagai anak kedua dari pasangan Donald Sihombing dan Amida Hutagalung. Penulis menyelesaikan sekolah dasar di SD Negeri I Tarutung pada tahun 1996, kemudian menyelesaikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di SLTP Negeri II Tarutung pada tahun 1999 dan menyelesaikan Sekolah Menengah Umum di SMU Negeri I Tarutung pada tahun 2002. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI. Selama ini penulis aktif di Unit Kegiatan Mahasiswa Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) Institut Pertanian Bogor, dan juga dipercaya sebagai sekretaris di Komisi Kesenian PMK IPB. Penulis juga aktif di Kelompok Pra Alumni PMK IPB dan dipercaya sebagai bendahara. Selain itu penulis juga anggota Kelompok Kecil PMK IPB.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah “Dampak Otonomi Daerah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Di Kabupaten Tapanuli Utara”. Penelitian ini ingin mengetahui bagaimana posisi dan kondisi perekonomian Kabupaten Tapanuli Utara terutama setelah berlakunya otonomi daerah. Selain itu, skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakutas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, terutama kepada Ibu Ir. Wiwiek Rindayanti, M.Si, yang telah memberikan bimbingan dan masukan yang begitu berharga dalam proses pembuatan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik. Ucapan terima kasih juga ditujukan Bapak Muhammad Firdaus, SP. M.Si selaku dosen penguji yang telah menguji hasil penelitian ini. Terima kasih untuk saran dan kritik yang telah diberikan yang sangat berharga dalam penyempurnaan skripsi ini. Selain itu penulis juga mengucapkan terima kasih banyak kepada Bapak Jaenal Effendi, Ma selaku dosen komisi pendidikan, terutama atas perbaikan tata cara penulisan skripsi ini. Meskipun demikian, segala kesalahan yang terjadi dalam penulisan ini, sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada para peserta seminar yang telah memberikan saran dan kritik untuk perbaikan hasil penelitian ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak lain yang telah membantu, memberikan saran dan kritik dan dukungan yang begitu besar dalam penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Bogor, Juni 2006
DAFTAR ISI
1.2. Perumusan Masalah... 5
1.3. Tujuan Penelitian... 10
1.4. Ruang lingkup Penelitian ... 10
1.5. Kegunan Penelitian... 11
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Konsep Otonomi Daerah ... 12
2.2. Konsep Wilayah ... 17
2.3. Konsep Pembangunan Wilayah... 20
2.4. Konsep Pembangunan Ekonomi Daerah ... 24
2.5. Penelitian Terdahulu... 27
2.6. Kerangka Teoritis ... 30
2.6.1. Analisis Shift Share... 30
2.6.2. Kelebihan Analisis Shift Share... 33
2.6.3. Kelemahan Analisis Shift Share... 34
2.7. Kerangka Pemikiran Konseptual ... 35
III. GAMBARAN UMUM WILAYAH 3.1. Keadaan Umum Wilayah... 38
3.2. Keadaan Sosial Budaya ... 41
3.3. Produk Unggulan... 42
3.4. Keadaan Sarana dan Prasarana ... 44
3.5. Keadaan Perekonomian ... 46
IV. METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat Penelitian ... 50
DAMPAK OTONOMI DAERAH TERHADAP PERTUMBUHAN
SEKTOR PEREKONOMIAN DI KABUPATEN TAPANULI UTARA
OLEH
RUTH ELISABETH SIHOMBING H 14102037
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
RINGKASAN
RUTH SIHOMBING. Dampak Otonomi Daerah Terhadap Pertumbuhan Sektor Perekonomian Di Kabupaten Tapanuli Utara (dibimbing oleh WIWIEK RINDAYANTI)
Pada masa sebelum otonomi daerah, peranan pemerintah pusat sangat besar dalam menentukan kebijakan pembangunan daerah, sehingga menimbulkan keidakpuasan dari pemerintah daerah. Menanggapi ketidakpuasan dari pemerintah daerah tersebut, maka pemerintah pusat pada masa reformasi mengeluarkan UU No 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah. Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah, Kabupaten Tapanuli Utara yang merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera Utara ikut serta mengimplementasikan kebijakan otonomi daerah tersebut, sehingga Kabupaten Tapanuli Utara memiliki kemandirian menentukan arah pembangunannya untuk kemajuan daerahnya. Secara ekonomi, Kabupaten Tapanuli Utara merupakan wilayah yang strategis karena merupakan jalur lintas dari beberapa kabupaten di Provinsi Sumatera Utara. Selain itu Kabupaten Tapanuli Utara juga merupakan kawasan yang terkenal di nusantara karena potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang dimilikinya.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat pertumbuhan sektor-sektor perekonomian di Kabupaten Tapanuli Utara sebelum dan pada masa otonomi daerah, mengidentifikasi perekonomian Kabupaten Tapanuli Utara jika dibandingkan dengan Provinsi Sumatera Utara maupun daya saing sektor-sektor tersebut jika dibandingkan dengan kabupaten lain di Provinsi Sumatera Utara. Selain itu juga untuk mengidentifikasi profil pertumbuhan PDRB dan pergeseran bersih sektor-sektor ekonomi Kabupaten Tapanuli Utara, sehingga dapat diketahui sektor mana yang termasuk dalam kelompok pertumbuhan progresif dan sektor mana yang termasuk dalam kelompok pertumbuhan yang lambat.
Pada penelitian ini, analisis mengenai dampak otonomi daerah terhadap pertumbuhan sektor perekonomian di Kabupaten Tapanuli Utara digunakan analisis shift share. Data yang digunakan adalah data sekunder berupa nilai PDRB Kabupaten Tapanuli Utara dan nilai PDRB Provinsi Sumatera Utara tahun 1993-2004 berdasarkan harga konstan tahun 1993. Untuk melihat pertumbuhan masing-masing sektor akan dibagi dalam tiga periode waktu, yaitu tahun 1993-1996 periode sebelum otonomi daerah yang menggambarkan kondisi sebelum krisis ekonomi, tahun 1997-2000 periode sebelum otonomi daerah yang menggambarkan kondisi pada saat terjadinya krisis ekonomi, dan tahun 2001-2004 periode pada masa berlakunya otonomi daerah.
baik bila dibandingkan dengan kabupaten lain, sedangkan sektor bangunan merupakan sektor yang memiliki daya saing yang buruk bila dibandingkan dengan kabupaten lain. Pada masa otonomi daerah tahun 2001-2004, sektor pertanian merupakan sektor yang pertumbuhannya paling cepat, sedangkan sektor yang pertumbuhannya paling lambat adalah sektor bangunan. Pada masa otonomi daerah, semua sektor mempunyai daya saing yang baik bila dibandingkan dengan kabupaten lain, sektor bangunan merupakan sektor yang mempunyai daya saing yang paling baik bila dibandingkan dengan sektor yang lainnya.
Pada masa otonomi daerah tahun 2001 sampai 2004, perekonomian Kabupaten Tapanuli Utara termasuk dalam kelompok pertumbuhan progresif. Akan tetapi sebagian besar sektor ekonomi mempunyai laju pertumbuhan yang lambat. Oleh karena itu, pemerintah daerah diharapkan dapat terus mendorong perkembangan tiap sektor, karena semua sektor tersebut memiliki daya saing yang baik bila dibandingkan dengan kabupaten lain. Caranya yaitu dengan meningkatkan penyediaan sarana dan prasarana pendukung seperti jalur transportasi, jaringan komunikasi, dan lain sebagainya, sehingga dapat meningkatkan pendapatan daerah. Selain itu, untuk mendorong pertumbuhan sektor ekonomi, perlu adanya perhatian yang besar dari pemerintah daerah dan juga adanya kebijakan perpajakan yang mendukung.
DAMPAK OTONOMI DAERAH TERHADAP PERTUMBUHAN
SEKTOR PEREKONOMIAN DI KABUPATEN TAPANULI UTARA
Oleh
RUTH ELISABETH SIHOMBING H 14102037
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh. Nama Mahasiswa : Ruth Elisabeth Sihombing Nomor Registrasi Pokok : H14102037
Program Studi : Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi :Dampak Otonomi Daerah Terhadap Pertumbuhan Sektor Perekonomian di Kabupaten Tapanuli Utara
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor
Menyetujui, Dosen Pembimbing,
Ir. Wiwiek Rindayanti, M.Si NIP 131846870
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS NIP 131846872
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Juni 2006
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Tarutung pada tanggal 16 Februari 1985 sebagai anak kedua dari pasangan Donald Sihombing dan Amida Hutagalung. Penulis menyelesaikan sekolah dasar di SD Negeri I Tarutung pada tahun 1996, kemudian menyelesaikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di SLTP Negeri II Tarutung pada tahun 1999 dan menyelesaikan Sekolah Menengah Umum di SMU Negeri I Tarutung pada tahun 2002. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI. Selama ini penulis aktif di Unit Kegiatan Mahasiswa Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) Institut Pertanian Bogor, dan juga dipercaya sebagai sekretaris di Komisi Kesenian PMK IPB. Penulis juga aktif di Kelompok Pra Alumni PMK IPB dan dipercaya sebagai bendahara. Selain itu penulis juga anggota Kelompok Kecil PMK IPB.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah “Dampak Otonomi Daerah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Di Kabupaten Tapanuli Utara”. Penelitian ini ingin mengetahui bagaimana posisi dan kondisi perekonomian Kabupaten Tapanuli Utara terutama setelah berlakunya otonomi daerah. Selain itu, skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakutas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, terutama kepada Ibu Ir. Wiwiek Rindayanti, M.Si, yang telah memberikan bimbingan dan masukan yang begitu berharga dalam proses pembuatan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik. Ucapan terima kasih juga ditujukan Bapak Muhammad Firdaus, SP. M.Si selaku dosen penguji yang telah menguji hasil penelitian ini. Terima kasih untuk saran dan kritik yang telah diberikan yang sangat berharga dalam penyempurnaan skripsi ini. Selain itu penulis juga mengucapkan terima kasih banyak kepada Bapak Jaenal Effendi, Ma selaku dosen komisi pendidikan, terutama atas perbaikan tata cara penulisan skripsi ini. Meskipun demikian, segala kesalahan yang terjadi dalam penulisan ini, sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada para peserta seminar yang telah memberikan saran dan kritik untuk perbaikan hasil penelitian ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak lain yang telah membantu, memberikan saran dan kritik dan dukungan yang begitu besar dalam penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Bogor, Juni 2006
DAFTAR ISI
1.2. Perumusan Masalah... 5
1.3. Tujuan Penelitian... 10
1.4. Ruang lingkup Penelitian ... 10
1.5. Kegunan Penelitian... 11
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Konsep Otonomi Daerah ... 12
2.2. Konsep Wilayah ... 17
2.3. Konsep Pembangunan Wilayah... 20
2.4. Konsep Pembangunan Ekonomi Daerah ... 24
2.5. Penelitian Terdahulu... 27
2.6. Kerangka Teoritis ... 30
2.6.1. Analisis Shift Share... 30
2.6.2. Kelebihan Analisis Shift Share... 33
2.6.3. Kelemahan Analisis Shift Share... 34
2.7. Kerangka Pemikiran Konseptual ... 35
III. GAMBARAN UMUM WILAYAH 3.1. Keadaan Umum Wilayah... 38
3.2. Keadaan Sosial Budaya ... 41
3.3. Produk Unggulan... 42
3.4. Keadaan Sarana dan Prasarana ... 44
3.5. Keadaan Perekonomian ... 46
IV. METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat Penelitian ... 50
4.3. Metode Analisis Shift Share... 51
4.3.1. Analisis PDRB Kota/Kabupaten dan PDRB Provinsi... 51
4.3.2. Rasio PDRB Kota/Kabupaten dan PDRB Provinsi (Nilai Ra,Ri,ri)... 53
4.3.3. Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah ... 54
4.3.4. Analisis Profil Pertumbuhan Wilayah dan Pergeseran Bersih ... 58
4.4. Defenisi Operasional ... 61
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Pertumbuhan Sektor-sektor Perekonomian Kabupaten Tapanuli Utara Sebelum dan Setelah Otonomi Daerah... 64
5.1.1. Analisis PDRB Kabupaten Tapanuli Utara dan Provinsi Sumatera Utara Sebelum dan Setelah Otonomi Daerah ... 64
5.1.2. Rasio PDRB Kabupaten Tapanuli Utara dan PDRB Provinsi Sumatera Utara (Nilai Ra, Ri, ri ) Sebelum dan Setelah Otonomi Daerah... 73
5.2. Analisis Pertumbuhan Sektor Perekonomian Kabupaten Tapanuli Utara Sebelum dan Setelah Otonomi Daerah... 78
5.3. Analisis Daya Saing Sektor-sektor Ekonomi Kabupaten Tapanuli Utara Sebelum dan Setelah Otonomi Daerah... 84
5.4. Profil Pertumbuhan PDRB Kabupaten Tapanuli Utara dan Pergeseran Bersih Sebelum dan Setelah Otonomi Daerah... 87
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan... 96
6.2. Saran ... 98
DAFTAR PUSTAKA... 100
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman 1.1. Persentase PDRB Kabupaten Tapanuli Utara Menurut Lapangan Usaha
Berdasarkan Harga konstan 1993 Tahun 1993-2004 (%) ... 3
1.2. Investasi Kabupaten Tapanuli Utara
Tahun 2001-2004 (Juta Rupiah) ... 4
1.3. Perkembangan PDRB Kabupaten Tapanuli Utara Atas Dasar
Harga Konstan 1993 (Juta Rupiah) ... 6
1.4. Penerimaan Kabupaten Tapanuli Utara (Juta Rupiah) ... 8 2.1. Peraturan Perundang-Undangan Tentang Pemerintah Daerah
Sejak Tahun 1945-1999... 12
3.1. Kecamatan, Ibukota Kecamatan, Luas Wilayah dan Jumlah
Desa/Kelurahan di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2004... 40
3.2. PDRB Kabupaten Tapanuli Utara Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 1993-2004 (Juta Rupiah) ... 46
5.1. PDRB Kabupaten Tapanuli Utara dan Provinsi Sumatera Utara Sebelum Otonomi Daerah dan Setelah Otonomi Daerah Atas
Dasar Harga Konstan Tahun 1993 (Juta Rupiah)... 64
5.2. Nilai Ra, Ri, ri Sebelum dan Setelah Otonomi Daerah ... 74
5.3. Komponen Pertumbuhan Regional Kabupaten Tapanuli Utara Sebelum dan Setelah Otonomi Daerah (Juta Rupiah) ... 78
5.4. Komponen Pertumbuhan Proporsional Kabupaten Tapanuli Utara
Sebelum dan Setelah Otonomi Daerah (Juta Rupiah) ... 81
5.5. Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah Kabupaten Tapanuli
Utara Sebelum dan Setelah Otonomi Daerah (Juta Rupiah) ... 84
5.6. Pergeseran Bersih Sektor-sektor Perekonomian Kabupaten Tapanuli
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman 2. 1. Model Analisis Shift Share ... 31 2. 2. Kerangka Pemikiran Konseptual ... 37 4.1. Profil Pertumbuhan PDRB ... 58
5.1. Profil Pertumbuhan Sektor-sektor Ekonomi
Kabupaten Tapanuli Utara (1993-1996)... 88
5.2. Profil Pertumbuhan Sektor-sektor Ekonomi
Kabupaten Tapanuli Utara (1997-2000)... 90
5.3. Profil Pertumbuhan Sektor-sektor Ekonomi
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman 1. PDRB Kabupaten Tapanuli Utara Menurut Lapangan Usaha Atas
Dasar Harga konstan 1993 Tahun 1993-2004 (Juta Rupiah) ... 104
2. Persentase PDRB Kabupaten Tapanuli Utara Menurut Lapangan Usaha
Atas Dasar Harga Konstan 1993 Tahun 1993-2004 (%)... 105
3. PDRB Provinsi Sumatera Utara Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar
Harga Konstan 1993 Tahun 1993-2004 (Juta Rupiah)... 106
4. Persentase PDRB Provinsi Sumatera Utara Menurut Lapangan Usaha
Atas Dasar Harga Konstan 1993 Tahun 1993-2004 (%)... 107
5. Analisis PDRB Kabupaten Tapanuli Utara dan Provinsi Sumatera Utara Sebelum Otonomi Daerah Tahun 1993-1996 Atas Dasar
Harga Konstan 1993 (Juta Rupiah) ... 107
6. Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah Tahun 1993-1996... 108
7. Analisis PDRB Kabupaten Tapanuli Utara dan Provinsi Sumatera Utara Sebelum Otonomi Daerah Tahun 1997-2000 Atas Dasar
Harga Konstan 1993 (Juta Rupiah) ... 108
8. Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah Tahun 1997-2000... 109
9. Analisis PDRB Kabupaten Tapanuli Utara dan Provinsi Sumatera Utara Setelah Otonomi Daerah Tahun 2001-2004 Atas Dasar
Harga Konstan 1993 (Juta Rupiah) ... 110
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Setiap daerah di Indonesia memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Perbedaan
ini dapat dilihat dari demografi, potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia,
aksesibilitas dan kekuasaan dalam pengambilan keputusan dan aspek potensi pasar.
Kondisi tersebut memungkinkan pertumbuhan suatu wilayah sering kali tidak seimbang
dengan wilayah lainnya (Gunawan, 2000).
Selain kondisi demografi, ketimpangan pembangunan juga sebagai akibat dari
besarnya peran pemerintah pusat dalam pengambilan keputusan dan peran pemerintah
daerah yang hanya sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat, sehinggga daerah
tidak memiliki kewenangan untuk berkreasi dalam menentukan arah pembangunannya
dan menjadi tidak berdaya menghadapi dominasi pemerintah pusat yang sangat
dominan. Contoh kasus dominasi pemerintah pusat terlihat di Nangroe Aceh
Darussalam, Riau, Kalimantan dan Irian Jaya. Keempat daerah ini sangat tidak
proporsional dalam hak eksploitasi sumber daya alam dengan subsidi yang diberikan
pada daerah itu (Ilyas, 2001).
Terkonsentrasinya pembangunan dan pelayanan publik di pusat terutama di
pulau Jawa menimbulkan kesenjangan perekonomian antar daerah di tanah air.
Kesenjangan pembangunan antara Pulau Jawa atau antara Kawasan Barat Indonesia
(KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI) merupakan salah satu implikasi negatif dari
kebijakan pemerintah yang terpusat. Oleh karena itu, wajar jika pergerakan ekonomi
dan perputaran modal relatif lebih besar dan lebih cepat di Pulau Jawa dibandingkan
Pada UU No 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dinyatakan bahwa
otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat sesuai dengan peraturan Undang-Undang. Jadi sistem pemerintahan yang
semula sentralistis beralih menjadi desentralisasi yaitu penyerahan wewenang
pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Artinya, sekarang daerah bebas mengatur kepentingannya baik itu masalah
keuangan maupun pengambilan keputusan, selama tidak bertentangan dengan
Undang-Undang.
Sejak dijalankannya Undang-Undang Otonomi Daerah banyak
perubahan-perubahan yang terjadi, dampak yang nyata adalah daerah yang kaya potensi sumber
daya alam menjadi daerah yang kaya. Hal ini menyiratkan bahwa daerah harus dapat
memaksimalkan potensi sektor perekonomiannya agar pembangunan ekonomi sejalan
dengan cita-cita Undang-Undang Otonomi Daerah.
Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia Kabupaten Tapanuli
Utara yang merupakan salah satu kabupaten yang ada di Provinsi Sumatera Utara ikut
serta mengimplikasikan kebijakan otonomi tersebut, sehingga Kabupaten Tapanuli
Utara dengan ibukota Tarutung memiliki kemandirian dalam melaksanakan
pemerintahan dan menentukan sendiri kemajuan pembangunan. Secara geografis
Kabupaten Tapanuli Utara diapit atau berbatasan langsung dengan lima kabupaten.
Letak geografis ini sangat menguntungkan karena berada pada jalur lintas dari beberapa
kabupaten di Provinsi Sumatera Utara. Selain itu Kabupaten Tapanuli Utara juga
alam dan sumber daya manusianya. Sesuai dengan potensi yang dimiliki maka tulang
punggung perekonomian Kabupaten Tapanuli Utara didomonasi oleh sektor pertanian
Sektor pertanian memegang peranan yang penting dan strategis bagi
pembangunan perekonomian Kabupaten Tapanuli Utara. Hal ini ditunjukkan dari
kontribusi sektor pertanian dalam pembentukan PDRB Kabupaten Tapanuli Utara dan
dalam hal penyerapan tenaga kerja. Jadi, peranan sektor pertanian masih dominan.
Mengingat pentingnya peranan sektor pertanian bagi pembangunan perekonomian
Kabupaten Tapanuli Utara, maka pemerintah menetapkan visi pembangunan, yakni
“Mewujudkan Kemakmuran Masyarakat Berbasis Pertanian”
Tabel 1.1. Persentase PDRB Kabupaten Tapanuli Utara Menurut Lapangan Usaha Berdasarkan Harga konstan 1993 Tahun 1996-2003 (Persen)
No Sektor 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
1. Pertanian 56,07 56,87 61,20 61,16 60,98 60,69 60,62 60,58 2. Pertambangan 0,10 0,11 0,10 0,09 0,10 0,11 0,11 0,11 7. Pengangkutan dan
Komunikasi 9. Jasa-Jasa 15,44 14,90 14,73 14,89 15,02 14,10 14,12 14,44
TOTAL PDRB 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 Sumber : BPS Kabupaten Tapanuli Utara, 2004
Pada tabel 1.1 terlihat bahwa struktur perekonomian di Kabupaten Tapanuli
Utara selalu didominasi oleh sektor pertanian. Hal ini ditandai dengan kontribusi sektor
pertanian terhadap PDRB yang besar yaitu 60,57 persen pada tahun 2004. Peranan
sektor pertanian ini mengalami peningkatan terus dari tahun ke tahun yaitu sebesar
56,05 persen pada tahun 1993 naik menjadi 56,94 persen pada tahun 1994. Akan tetapi
pada tahun 1995 sampai tahun 1996 peranan sektor pertanian menurun yaitu 56,14
1997-1998 meningkat lagi dari 56,87 persen menjadi 61,20 persen. Pada tahun 1999
kembali turun menjadi 61,16 persen. Pada kurun waktu 2000-2003 peranan sektor
pertanian mengalami kemerosotan dari tahun ke tahun sampai akhirnya sebesar 60,58
persen. Tingginya kontribusi sektor pertanian ini dan banyaknya masyarakat yang
bekerja di sektor pertanian ini menjadikan Kabupaten Tapanuli Utara termasuk dalam
pertumbuhan tradisional dan pertumbuhannya jauh tertinggal dengan kabupaten lain
yang ada di Provinsi Sumatera Utara.
Kabupaten Tapanuli Utara memiliki infrastruktur yang cukup memadai baik itu
dari segi alat transportasi maupun akses jalan yang menghubungkan antar kota. Selain
itu Kabupaten Tapanuli Utara memiliki banyak potensi alam yang mempunyai prospek
yang sangat bagus untuk dikembangkan dan menguntungkan untuk investasi dan
menjadi salah satu sumber dari Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Tabel 1. 2. Investasi Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2001-2004 (Juta Rupiah)
No Tahun Nilai Investasi (Juta Rp)
1. 2001 178.414,99
2. 2002 224.462,72
3. 2003 280.184.79
4. 2004 281.586,04
Sumber : Badan Pusat Statistik Tapanuli Utara, 2004
Nilai investasi yang ditanamkan di Kabupaten Tapanuli Utara selama kurun
waktu tahun 2001-2004 terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2001
nilai investasi yang ditanamkan sebesar Rp. 178.414,99 juta dan meningkat menjadi Rp.
224.462,72 juta pada tahun 2002 dan terus meningkat menjadi Rp. 281.586,04 juta pada
tahun 2004
Informasi mengenai perkembangan dari sektor perekonomian sangat dibutuhkan
oleh para investor untuk menanamkan modalnya dan dibutuhkan oleh pemerintah
akan menganalisis dampak otonomi daerah terhadap pertumbuhan sektor perekonomian
di Kabupaten Tapanuli Utara dengan menggunakan analisis Shift Share.
1.2 Perumusan Masalah
Undang-Undang otonomi daerah telah dijalankan. Berbagai dampak ditimbulkan
dari implementasi tersebut, baik berupa pemekaran wilayah maupun peningkatan PAD.
Daerah diharapkan tidak tergantung lagi pada dana anggaran dari pemerintah pusat,
sehingga setiap daerah dituntut agar mampu mengoptimalkan peran sektor-sektor
perekonomian lokalnya untuk meningkatkan PAD. Setiap daerah memiliki kebijakan
masing-masing dalam melaksanakan pembangunan sesuai dengan potensi sumber
dayanya.
Kabupaten Tapanuli Utara kaya dengan sumber daya alam yang melimpah, akan
tetapi daerah Kabupaten Tapanuli Utara sendiri termasuk salah satu wilayah tertinggal
di Provinsi Sumatera Utara. Hal ini terjadi karena selama ini pemerintah daerah sendiri
kurang bisa memaksimalkan potensi sumber daya yang dimilikinya, sehingga
produk-produk yang ada tidak mempunyai nilai tambah yang tinggi terhadap perekonomian.
Selain itu, sumber daya manusia yang ada juga kurang perduli terhadap perkembangan
Kabupaten Tapanuli Utara sendiri. Selama ini banyak masyarakat yang lulus dari
perguruan tinggi, akan tetapi mereka tidak mau membangun daerahnya dan lebih suka
membangun karir di Pulau Jawa.
Sektor pertanian memegang peranan penting dalam perekonomian Kabupaten
Tapanuli Utara. Akan tetapi dengan banyaknya produk pertanian itu tidak meningkatkan
perekonomian secara signifikan karena kurangnya pengolahan lebih lanjut dari produk
perekonomian Kabupaten Tapanuli Utara masih jauh dibanding kabupaten lain yang ada
di Provinsi Sumatera Utara. Provinsi Sumatera Utara dan kabupaten yang lain sendiri
telah mulai mengembangkan sektor industri pengolahan dan sektor pertanian sudah
mulai berkurang kontribusinya terhadap PDRB. Untuk Kabupaten Tapanuli Utara
sendiri belum terlihat adanya perubahan struktur perekonomian ke sektor sekunder dan
sektor tersier yang mengakibatkan pertumbuhan perekonomian Kabupaten Tapanuli
Utara termasuk dalam pertumbuhan tradisional.
Tabel 1.3. Perkembangan PDRB Kabupaten Tapanuli Utara Atas Dasar Harga Konstan 1993 (Juta Rupiah)
Catatan : r) PDRB tahun 2003 merupakan angka revisi *)PDRB tahun 2004 merupakan angka sementara Sumber : PDRB Kabupaten Tapanuli Utara, 1993-2004, BPS
Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu ukuran hasil pembangunan yang
dilaksanakan khususnya dalam bidang ekonomi. Laju pertumbuhan ekonomi Tapanuli
Utara periode 1993-1996 tergolong relatif tinggi yaitu 7,47 persen pada tahun 1994,
tahun 1995 sebesar 6,64 persen dan 7,68 persen pada tahun 1996. Terjadinya krisis
ekonomi yang melanda Indonesia pada akhir tahun 1997 menyebabkan laju
pertumbuhan ekonomi Kabupaten Tapanuli Utara turun menjadi 5,80 persen dan
puncaknya terjadi pada tahun 1998 yang ditandai dengan turunnya pertumbuhan
ekonomi Kabupaten Tapanuli Utara ini masih lebih besar daripada pertumbuhan
ekonomi Indonesia yang menurun drastis yaitu sebesar -13,00 persen. Tahun 1999
perekonomian Kabupaten Tapanuli Utara sudah mulai menunjukkan perbaikan ditandai
dengan meningkatnya laju pertumbuhan menjadi 2,43 persen. Pada tahun 2000
perekonomian Kabupaten Tapanuli Utara mengalami peningkatan yaitu 3,62 persen dan
menurun menjadi -0,58 persen tahun 2001, 4,28 persen tahun 2002. Tahun 2003
pertumbuhan ekonomi sebesar 4,34 persen dan meningkat kembali sebesar 4,48 persen
tahun 2004. Pertumbuhan ekonomi setelah adanya otonomi daerah hanya sedikit
peningkatannya dari masa krisis ekonomi. Pertumbuhan ekonomi justru lebih besar
sebelum adanya otonomi daerah pada masa sebelum krisis ekonomi periode tahun
1993-1996. Sehingga terlihat bahwa otonomi daerah belum bisa mendorong pertumbuhan
ekonomi Kabupaten Tapanuli Utara.
Salah satu indikator pertumbuhan suatu wilayah adalah dilihat dari PDRB.
PDRB Kabupaten Tapanuli Utara pada masa sebelum krisis ekonomi yaitu tahun
1993-1996 mengalami peningkatan dari tahun ke tahun yaitu Rp.462.029,83 juta pada tahun
1993 meningkat terus sampai Rp.570.193,29 juta pada tahun 1996. Akan tetapi pada
saat terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1997 perekonomian Kabupaten Tapanuli
Utara mengalami keterpurukan. Hal ini membawa dampak terhadap penurunan PDRB
yaitu Rp.569.262,93 juta pada tahun 1998. Akan tetapi perekonomian Kabupaten
Tapanuli Utara mulai bangkit lagi terlihat dari meningkatnya nilai PDRB yaitu Rp.
583.076,14 juta pada tahun 1999 meningkat menjadi Rp.604.173,42 juta pada tahun
2000. Pada saat otonomi daerah mulai dijalankan pada tahun 2001 PDRB Tapanuli
Utara justru menurun menjadi Rp. 381.846.178 juta. Pada tahun 2002 sampai 2004
tahun 2002 dan meningkat lagi menjadi Rp.434.068,67 juta pada tahun 2004. Nilai
PDRB Tapanuli Utara setelah adanya otonomi daerah juga lebih kecil dibanding
sebelum adanya otonomi daerah sebelum krisis ekonomi periode tahun 1993-1996.
Sehingga terlihat bahwa otonomi daerah belum bisa memberikan perkembangan yang
besar terhadap PDRB.
Tabel 1.4. Penerimaan Kabupaten Tapanuli Utara (Juta Rupiah)
No Tahun Anggaran Jumlah Penerimaan (Juta Rupiah)
1. 1993/1994 6.656.018.738,33
2. 1994/1995 9.239.184.559 3. 1995/1996 10.515.698.000 4. 1996/1997 12.885.166.000 5. 1997/1998 13.297.675.000 6. 1998/1999 11.311.026.000 7. 1999/2000 12.610.639.000 8. 2000 112.579.502.600 9. 2001 232.345.951.700 10. 2002 276.606.394.753,68 11. 2003 278.173.565.059 Sumber: Bappeda Tapanuli Utara, 2004
Setelah adanya otonomi daerah jumlah penerimaan Kabupaten Tapanuli Utara
mengalami peningkatan yaitu sebesar Rp. 232.345.951,700 juta pada tahun 2001.
Penerimaan daerah ini meningkat dengan pesat dibandingkan tahun 1993/1994 yang
hanya Rp. 6.656.018.738,33 juta. Pada saat terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1997
jumlah penerimaan Kabupaten Tapanuli Utara mengalami penurunan yaitu sebesar Rp.
13.297.675.000 juta pada tahun anggaran 1997/1998 menurun manjadi Rp.
11.311.026.000 juta pada tahun anggaran 1998/1999. Perekonomian Tapanuli Utara
mulai bangkit lagi mulai tahun 1999. Hal ini terlihat dengan naiknya jumlah penerimaan
Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana kondisi dan posisi sektor
perekonomian di Kabupaten Tapanuli Utara, sektor-sektor mana yang menjadi sektor
unggulan dalam kurun waktu 1993 sampai 2004, terutama sejak diberlakukannya
otonomi daerah pada tahun 2001.
Berdasarkan uraian di atas, maka timbul beberapa masalah yang dapat dijelaskan
berikut ini.
1. Bagaimana pertumbuhan PDRB sektor-sektor perekonomian Kabupaten
Tapanuli Utara sebelum dan setelah otonomi daerah?
2. Bagaimana pertumbuhan ekonomi Kabupaten Tapanuli Utara jika dibandingkan
dengan Provinsi Sumatera Utara sebelum dan setelah otonomi daerah?
3. Bagaimana daya saing sektor-sektor ekonomi Kabupaten Tapanuli Utara
sebelum dan setelah otonomi daerah?
4. Bagaimana profil pertumbuhan PDRB dan pergeseran bersih sektor-sektor
ekonomi Kabupaten Tapanuli Utara sebelum dan setelah otonomi daerah?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dilaksanakannya penelitian ini adalah untuk.
1. Mengidentifikasi pertumbuhan PDRB sektor-sektor ekonomi Kabupaten
Tapanuli Utara sebelum dan setelah otonomi daerah.
2. Menganalisis pertumbuhan ekonomi Kabupaten Tapanuli Utara jika
dibandingkan dengan pertumbuhan Provinsi Sumatera Utara sebelum dan
setelah otonomi daerah.
3. Menganalisis daya saing sektor-sektor ekonomi Kabupaten Tapanuli Utara
4. Mengidentifikasi profil pertumbuhan PDRB dan pergeseran bersih sektor-
sektor ekonomi Kabupaten Tapanuli Utara sebelum dan setelah otonomi daerah.
1.4. Ruang Lingkup
Penelitian ini dilakukan di kabupaten Tapanuli Utara dan di Provinsi Sumatera
Utara untuk melihat perubahan apa yang terjadi dengan sektor perekonomian sebelum
dan setelah diberlakukannya otonomi daerah. Masa sebelum otonomi daerah dalam
penelitian ini dibagi menjadi dua periode, yaitu periode sebelum krisis ekonomi tahun
1993-1996 dan masa adanya krisis ekonomi tahun 1997-2000, sedangkan otonomi
daerah dianalisis dari tahun 2001-2004. Dalam penelitian ini ada sembilan sektor yang
akan dilihat sebagai acuan yaitu
(1) sektor pertanian, (2) sektor pertambangan, (3), sektor industri pengolahan, (4)
sektor listrik, gas dan air, (5) sektor bangunan, (6) sektor perdagangan, hotel dan
restoran, (7) sektor pengangkutan dan komunikasi, (8) sektor keuangan, persewaan dan
jasa perusahaan, (9) sektor jasa-jasa, (BPS Kabupaten Tapanuli Utara, 2004).
1.5. Kegunaan Penelitian
Sejalan dengan tujuan di atas, maka penelitian ini diharapkan berguna untuk.
1. Bahan pertimbangan dalam rangka perencanaan dan penentuan kebijakan
pembangunan Kabupaten Tapanuli Utara.
2. Sumber informasi bagi para investor dan pihak-pihak lain dalam menanamkan
modalnya di sektor-sektor perekonomian yang ada di Kabupaten Tapanuli Utara.
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1.Konsep Otonomi Daerah
Otonomi daerah merupakan alternatif pemecahan masalah kesenjangan
pembangunan, terutama dalam konteks pemberdayaan pemerintah daerah yang selama
ini dipandang hanya sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat. Padahal konsep
otonomi daerah sudah muncul pada saat pemerintahan Orde Lama, yaitu melalui UU No
1 tahun 1945 tentang pemerintah daerah (Pemerintah Pusat, 1999) .
Tabel 2.1. Peraturan Perundang-Undangan Tentang Pemerintah Daerah Sejak Tahun 1945-1999
Tahun Perundang-Undangan
Subjek
1945 UU Nomor 1 Pemerintah Daerah 1948 UU Nomor 22 Pemerintah Daerah 1950 UU Nomor 44 Pemerintah Daerah
1956 UU Nomor 32 Hub. Keuangan Pusat dan Daerah 1957 UU Nomor 1 Pemerintah Daerah
1959 UU Nomor 6 Pemerintah Daerah 1960 UU Nomor 5 Pemerintah Daerah 1965 UU Nomor 18 Pemerintah Daerah 1974 UU Nomor 5 Pemerintah Daerah 1999 UU Nomor 22 Pemerintah Daerah
1999 UU Nomor 25 Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Sumber : Saragih, 2003.
Haris (2005), pada masa orde baru, pemerintah pusat juga tidak serius dalam
menjalankan kebijakan otonomi daerah yang telah dikeluarkan, yakni UU No 5 tahun
1974. Undang-Undang tersebut terbukti gagal mendukung pemerintah daerah dan
pembangunan daerah. Daerah-daerah menjadi tidak mandiri karena semua wewenang
dan urusan pemerintahan dipegang oleh pemerintah pusat.
Sejalan dengan tuntutan reformasi, masyarakat di berbagai daerah menuntut
Menanggapi hal tersebut maka pemerintah di bawah pimpinan B J Habibie
mengeluarkan UU No 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No 25 tahun
1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah.
Saragih (2003), menurut UU No 22 tahun 1999, otonomi daerah adalah
kewenangan pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
di daerah tersebut menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat setempat.
Oleh karena itu ada tiga prinsip dalam pelaksanan otonomi daerah yaitu
1. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah
kepada daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah kepada Gubernur
sebagai wakil pemerintah dan atau perangkat pusat di daerah.
3. Tugas Pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada kepala daerah dan
dari daerah ke desa untuk melaksanakan tugas tertentu yang disertai
pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumberdaya manusia dengan kewajiban
melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkannnya kepada yang
menugaskan.
Otonomi daerah menurut UU No 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah
adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai peraturan
perundang-undangan. Dengan demikian, otonomi daerah pada hakikatnya adalah hak
mengurus rumah tangga sendiri bagi suatu daerah otonom, artinya penetapan kebijakan
sendiri, pelaksanan sendiri, serta pembiayaan sendiri dan pertanggungjawaban daerah
Pada prinsipnya otonomi daerah mengatur penyelenggaraan pemerintah daerah
yang lebih mengutamakan asas desentralisasi. Hal-hal yang mendasar pada pelaksanaan
otonomi daerah adalah, (1) mendorong untuk memberdayakan masyarakat, (2)
membutuhkan prakarsa dan kreatifitas serta kemandirian, (3) meningkatkan peran serta
masyarakat dalam pembangunan, (4) mengembangkan peran dan fungsi DPRD (Ilyas,
2001).
Berdasarkan UU No 22 tahun 1999, sasaran pelaksanaaan otonomi daerah
adalah daerah kabupaten dan daerah kota yang berkedudukan sebagai daerah otonom
memiliki wewenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Daerah dibentuk berdasarkan
pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik,
jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangan lain yang memungkinkan
terselenggaranya otonomi daerah. Kewenangan daerah kabupaten atau kota mencakup
semua kewenangan pemerintahan selain kewenangan pusat dan provinsi. Bidang
pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh daerah kabupaten atau kota meliputi
pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan,
industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi,
dan tenaga kerja.
Sebelum dikeluarkannnya Undang-Undang Otonomi Daerah tahun 1999, sumber
keuangan daerah menurut UU No 5 tahun 1974 adalah sebagai berikut :
1. Penerimaan Asli Daerah (PAD)
2. Bagi hasil pajak dan non pajak
3. Bantuan pusat (APBN) untuk daerah tingkat I dan tingkat II
5. Sisa lebih anggaran tahun lalu
6. Lain-lain penerimaan yang sah
Sedangkan sesuai dengan UU No 22 tahun 1999, sumber pendapatan daerah
antara lain :
1. Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang terdiri dari :
a. Pajak daerah
b. Retribusi daerah
c. Bagian Pemda dari hasil keuntungan perusahaan milik daerah (BUMD)
d. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan.
2. Dana Perimbangan, yang terdiri dari :
a. Dana bagi hasil
b. Dana alokasi umum
c. Dana alokasi khusus
3. Pinjaman daerah
4. Lain-lain pendapatan daerah yang sah.
Dana perimbangan terdiri dari bagian daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan
Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, penerimaan dari sumber daya
alam, Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Berdasarkan UU
No 25 tahun 1999, alokasi DAU ditetapkan berdasarkan dua faktor, yaitu potensi
ekonomi dan kebutuhan daerah. Karena tujuan utama pemberian DAU adalah untuk
mengurangi ketimpangan antar daerah, maka pada prinsipnya daerah-daerah yang
miskin sumber daya alam akan memperoleh porsi yang lebih besar. Masalahnya,
daerah-daerah harus dapat mengoptimalkan peran sektor-sektor perekonomiannya
sehingga dapat meningkatkan pembangunan daerah..
Pada masa sebelum otonomi, semua wewenang pemerintah dipegang oleh
pemerintah pusat, daerah hanya sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat. Adanya
otonomi daerah membuat wewenang pemerintah daerah semakin besar. Berdasarkan
UU No 22 tahun 1999, kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam bidang
pemerintah kecuali dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan,
moneter dan fiskal, agama, kebijakan tentang perencanaan nasional secara makro, dana
perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara,
pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam
serta teknologi tinggi yang strategis, konversi, dan standarisasi nasional (Elmi, 2002).
Kebijakan otonomi daerah berdasarkan UU No 22 tahun 1999 membawa angin
baru dan optimisme bagi daerah dalam mengurus dan mengatur kepentingan
masyarakatnya serta suasana baru dalam hubungan antar pusat dan daerah. Masyarakat
di daerah yang selama ini lebih banyak dalam posisi dimarginalkan maka selanjutnya
diberi kesempatan untuk mendapat pengakuan dan penghargaan terhadap hak-hak,
aspirasi dan kepentingannya. Dengan kebijakan otonomi daerah, anggapan bahwa
pemerintah lebih tahu kebutuhan masyarakat akan bergeser kepada masyarakat yang
lebih mengetahui kebutuhan, aspirasi dan kepentingannya (Haris, 2005).
Sejak tanggal 1 Januari 2005 secara serentak otonomi daerah berdasarkan UU
No 22 tahun 1999 diimplementasikan secara nasional. Daerah menyambut implementasi
kebijakan otonomi daerah dengan sangat antusias. Antusiasme masyarakat ini timbul
karena besarnya harapan mereka terhadap otonomi daerah untuk menjawab berbagai
daerah selama ini. Secara bertahap daerah mulai menyesuaikan kelembagaan, struktur
organisasi, kepegawaian, keuangan dan perwakilan di daerah dengan ketentuan yang
diatur dalam UU No 22 tahun 1999 (Haris, 2005).
2.2. Konsep Wilayah
Budiharsono (2001), wilayah diartikan sebagai suatu unit geografi yang dibatasi
oleh kriteria tertentu yang bagian-bagiannya tergantung secara internal. Menurut
Hanafiah (1988), batas-batas wilayah didasarkan atas kriteria :
1. Konsep Homogenitas
Menurut konsep ini wilayah dapat dibatasi atas beberapa persamaan unsur tertentu,
seperti persamaan dalam unsur ekonomi, keadaan sosial politik, dan sebagainya.
Apabila terjadi perubahan dalam satu wilayah akan berpengaruh terhadap wilayah
lainnya.
2. Konsep Nodalitas
Konsep ini menekankan pada perbedaan struktur tata ruang di dalam wilayah, dimana
terdapat hubungan saling ketergantungan yang bersifat fungsional merupakan dasar
dalam penentuan batasan wilayah. Hubungan saling ketergantungan dapat dilihat dari
hubungan antara pusat (inti) dengan daerah belakang (hinterland). Batas wilayah nodal
dapat dilihat dari pengaruh suatu inti kegiatan ekonomi jika digantikan oleh pengaruh
inti kegiatan ekonomi lainnya. Pada wilayah nodal perdagangan secara intern mutlak
dilakukan. Daerah hinterland akan menjual bahan baku dan tenaga kerja pada daerah
inti untuk proses produksi. Contoh wilayah nodal yaitu DKI Jakarta dengan Botabek
(Bogor, Tangerang, Bekasi), Jakarta merupakan daerah inti sedangkan Botabek sebagai
Riau), segitiga SIJORI sebagai daerah inti sedangkan Kota Jambi sebagai daerah
hinterland.
3. Konsep administrasi atau unit program
Batas-batas wilayah didasarkan atas perlakuan kebijakan yang seragam, seperti sistem
ekonomi, tingkat pajak yang sama, dan sebagainya. Penetapan wilayah berdasarkan
satuan administrasi, yang menyebutkan bahwa negara terbagi atas beberapa provinsi,
provinsi terbagi atas beberapa kabupaten atau kota, kabupaten terbagi atas beberapa
kecamatan, dan kecamatan terbagi atas beberapa desa dalam tata ruang ekonominya.
Klasifikasi wilayah dapat pula dibedakan atas dasar wilayah formal, fungsional,
dan perencanaan (Hanafiah, 1988).
a. Wilayah formal adalah wilayah yang mempunyai beberapa persamaan dalam
beberapa kriteria tertentu.
b. Wilayah fungsional adalah wilayah yang memperlihatkan adanya suatu
hubungan fungsional yang saling tergantung dalam kriteria tertentu,
kadang-kadang wilayah fungsional diartikan juga sebagai wilayah nodal atau wilayah
polaritas yang secara fungsional saling tergantung.
c. Perpaduan antara wilayah formal dan wilayah fungsional menciptakan wilayah
perencanaan. Boudeville dalam Budiharsono (2001), mengemukakan bahwa
wilayah perencanaan adalah wilayah yang memperlihatkan koherensi atau
kesatuan keputusan-keputusan ekonomi. Wilayah perencanaan dirancang
sedemikian rupa berdasarkan potensi yang dimiliki oleh wilayah tersebut
sehingga dapat meningkatkan kondisi perekonomian dan tingkat kesejahteraan
Gunawan (2000) mengatakan bahwa pertumbuhan suatu wilayah seringkali
tidak seimbang dengan wilayah lainnya. Hal ini disebabkan beberapa faktor, yaitu :
perbedaan karakteristik potensi sumber daya manusia, demografi, kemampuan sumber
daya manusia, potensi lokal dan aksesibilitas dan kekuasaan dalam pengambilan
keputusan serta aspek potensi pasar. Berdasarkan perbedaan ini, wilayah dapat
diklasifikasikan menjadi empat wilayah, yaitu :
a. Wilayah maju
Wilayah maju merupakan wilayah yang telah berkembang dan diidentifikasikan
sebagai wilayah pusat pertumbuhan, pemusatan penduduk, industri, pemerintahan, pasar
potensial, tingkat pendapatan yang tinggi dan memiliki kekayaan sumber daya manusia
yang berkualitas. Perkembangan wilayah maju didukung oleh potensi sumber daya yang
ada di wilayah tersebut maupun wilayah belakangnya (hinterland) dan potensi lokal
yang strategis. Sarana pendidikan yang memadai serta pembangunan infrastruktur yang
lengkap. Seperti jalan, pelabuhan, alat komunikasi, dan sebagainya mengakibatkan
adanya aksesibilitas yang tinggi terhadap pasar domestik maupun internasional.
b. Wilayah sedang berkembang
Wilayah ini memiliki karakteristik pertumbuhan penduduk yang cepat sebagai
implikasi dari peranannya sebagai penyangga wilayah maju. Wilayah sedang
berkembang juga mempunyai tingkat pendapatan dan kesempatan kerja yang tinggi,
potensi sumber daya alam yang melimpah, keseimbangan anatara sektor pertanian dan
industri serta mulai berkembangnya sektor jasa.
c. Wilayah belum berkembang
Potensi sumber daya alam yang terdapat di wilayah ini keberadaannya masih
rendah, aksesibilitas yang rendah terhadap wilayah lainnya. Struktur ekonomi wilayah
didominasi oleh sektor primer dan belum mampu membiayai pembangunan secara
mandiri.
d. Wilayah tidak berkembang
Karakteristik wilayah ini diidentifikasikan dengan dengan tidak adanya sumber
daya alam, sehingga secara alamiah tidak berkembang. Selain itu, tingkat kepadatan
penduduk, kualitas sumber daya manusia dan tingkat pendapatan masih tergolong
rendah. Pembangunan infrastruktur pun tidak lengkap, sehingga aksesibilitas pada
wilayah lainpun sangat rendah.
2.3. Konsep Pembangunan Wilayah
Pembangunan wilayah merupakan bagian integral dan penjabaran dari
pembangunan nasional dalam rangka pencapaian sasaran pembangunan yang
disesuaikan dengan potensi, aspirasi dan permasalahan di daerah, yang diarahkan untuk
lebih mengembangkan dan menyerasikan laju pertumbuhan antar daerah, antar kota,
antar desa, dan antar kota dengan desa. Pembangunan daerah bertujuan meningkatkan
taraf hidup dan kesejahteraan rakyat di wilayah atau daerah melalui pembangunan yang
serasi antar sektor maupun antara pembangunan sektoral dengan perencanaan
pembangunan oleh daerah yang efisien dan efektif menuju tercapainya kemandirian
daerah dan kemajuan yang merata di seluruh pelosok tanah air (Soegijoko, 1997).
Menurut Friedman dalam Glasson (1978), pembangunan wilayah merupakan
hasil dari aktifitas ekonomi pada wilayah tertentu, berupa peningkatan pendapatan
perkapita, kesempatan kerja dan pemerataan. Pembangunan wilayah membandingkan
pelaksanaan pembangunan wilayah terdapat pihak yang mengatur dan mengambil
keputusan untuk mempengaruhi perubahan sosial.
Dengan demikian, pembangunan wilayah membutuhkan koordinasi antara
pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan masyarakatnya dalam mengelola
sumberdaya-sumberdaya yang ada dan membentuk pola kemitraan dengan pihak swasta
untuk menciptakan kesempatan kerja dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi
(pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut. Apabila pembangunan wilayah terus
berlangsung secara terus-menerus, dapat meningkatkan pendapatan riil perkapita
(Arsyad, 1999).
Pelaksanaan suatu pembangunan tentu akan terdapat berbagai kendala-kendala.
Soegijoko (1997) mengatakan, untuk mengatasi dan mengantisipasi kendala-kendala
pembangunan wilayah, pemerintah telah memprakarsai beberapa kegiatan yang
berkaitan dengan pembangunan wilayah, yaitu :
a. Desentralisasi pembiayaan
Mengenai desentralisasi pembiayaan, pemerintah telah mengeluarkan
Undang-Undang no 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan
Daerah. Pada Undang-Undang tersebut diatur mengenai dana perimbangan yaitu
dana yang bersumber dari penerimaan APBN yang dialokasikan kepada daerah
untuk membiayai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Selain itu, dijelaskan juga mengenai sumber-sumber penerimaan daerah dalam
pelaksanaan desentralisasi yang meliputi PAD, Dana Perimbangan, Pinjaman
Daerah, dan lain-lain penerimaan yang sah.
Pemerintah dalam beberapa sektor telah mulai mengadakan sistem pelayanan
dengan sistem desentralisasi pada tingkat wilayah. Contohnya Telkom telah
dibagi ke dalam jumlah perusahaan distribusi wilayah dan bertanggung jawab
terhadap pelayanan di wilayah tersebut, PDAM dikelola dan dikembangkan oleh
pemerintah daerah.
b. Perencanaan regional
Suatu pendekatan kawasan strategis dalam rangka pengembangan regional telah
mulai dilaksanakan dalam bentuk program kawasan andalan yang tersusun
dalam rencana tata ruang wilayah nasional (RTRWN).
c. Pengentasan kemiskinan
Tujuan utama program ini adalah menangani masalah kemiskinan di KTI,
sebagai akibat dari pembangunan yang tidak merata antara KBI dengan KTI,
dimana fasilitas-fasilitas umum seperti jalur transportasi, rumah sakit, sekolah,
lebih memadai di KBI.
d. Inovasi proyek infrastruktur perkotaan
Pemerintah telah menetapkan kegiatan-kegiatan operasional dengan penekanan
pada pengawasan biaya dan rasionalisasi dan penguatan kelembagaan
subnasional dalam bentuk Program Pembangunan Prasarana Kota Terpadu
(P3KT). P3KT pada dasarnya mengubah dan menggeser pendekatan
pembangunan prasarana kota dari pendekatan sektoral dan terpusat ke
Tjokriamidjojo (1979) menambahkan bahwa pada akhirnya pembangunan
wilayah menuju pada pembangunan nasional. Berdasarkan anggapan tersebut,
pembangunan wilayah memiliki tiga aspek, yaitu :
1. Berkaitan dengan permasalahan wilayah tersebut maupun permasalahan sektor
ekonomi di dalamnya.
2. Pada wilayah tertentu, permasalahan wilayah tersebut dapat diatasi dengan
adanya pemenuhan kebutuhan secara potensial.
3. Pembangunan wilayah menuju pada pembangunan nasional.
Anwar (1996), mengemukakan bahwa pembangunan wilayah diarahkan pada
tiga tujuan, yaitu:
1. Pertumbuhan (growth)
Tingkat pertumbuhan yang tinggi akan tercapai dengan adanya pengalokasian
sumber daya alam dan sumber daya manusia secara maksimal, sehingga dapat
meningkatkan kegiatan yang produktif.
2. Pemerataan (equity)
Seluruh masyarakat dapat menikmati hasil pembangunan secara adil dan merata.
3. Berkelanjutan (sustainability)
Pemanfaatan sumber daya yang diperoleh baik melalui sistem pasar maupun di
luar sistem pasar tidak melebihi kapasitas produksi yang ada.
Menurut Arsyad (1999), pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses
dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber daya yang ada dan
membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk
menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan
ekonomi dalam wilayah tersebut. Perencanaan ekonomi daerah adalah suatu proses
yang mencakup pembentukan institusi-institusi baru, pembangunan industri-industri
alternatif, perbaikan kapasitas tenaga kerja yang ada untuk menghasilkan barang dan
jasa yang lebih baik, identifikasi pasar-pasar baru, alih ilmu pengetahuan, dan
pengembangan usaha-usaha baru.
Jhingan (2002), menjelaskan syarat utama bagi pembangunan ekonomi adalah
bahwa proses bertumbuhnya harus bertumpu pada kemampuan perekonomian di dalam
negeri. Hasrat untuk memperbaiki nasib dan prakarsa untuk menciptakan kemajuan
material harus muncul dari warga masyarakatya sendiri dan tidak dapat dipengaruhi
atau diintimidasi oleh daerah luar.
Ada sejumlah teori yang menerangkan mengapa ada perbedaan dalam tingkat
pembangunan ekonomi antar daerah. Teori yang umum yang digunakan adalah teori
basis, teori lokasi, dan teori daya tarik industri (Tambunan, 2001)
a. Teori Basis Ekonomi
Teori ini menjelaskan bahwa faktor penentu utama pertumbuhan ekonomi suatu
daerah adalah berhubungan langsung dengan permintaan barang dan jasa dari
luar daerah. Proses produksi sektor industri di suatu daerah yang menggunakan
sumber daya produksi lokal, temasuk tenaga kerja dan bahan baku, dan
peningkatan pendapatan per kapita, dan penciptaan lapangan kerja di daerah
tersebut.
b. Teori Lokasi
Teori ini sering digunakan untuk penentuan atau pengembangan kawasan
industri di suatu daerah. Lokasi usaha ditentukan berdasarkan tujuan perusahaan,
untuk mendekati bahan baku atau mendekati pasar. Inti dari pemikiran ini
didasarkan sifat rasional manusia yang cenderung mencari keuntungan yang
setinggi-tingginya dengan biaya serendah mungkin. Oleh karena itu, pengusaha
akan memilih lokasi usaha yang memaksimumkan keuntungan dan
meminimalkan biaya produksinya.
c. Teori Daya Tarik Industri
Upaya pengembangan ekonomi daerah di Indonesia sering dipertanyakan
industri-industri apa yang tepat untuk dikembangkan, ini adalah masalah
membangun portofolio industri di suatu daerah. Faktor-faktor daya tarik lainnya
adalah produktifitas, industri-industri kaitan, daya saing di masa depan,
spesialisasi industri, potensi ekspor, dan prospek bagi permintaan domestik.
Haeruman dalam Soegijoko (1997), menyatakan bahwa pembangunan ekonomi
biasanya miliki tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kelestarian fungsi
ekologis alam untuk menghasilkan jasa lingkungan. Intinya bahwa tujuan pembangunan
ekonomi selain menghasilkan output juga memperhatikan keberlangsungan sumber
daya alam untuk pemanfaatan pada waktu mendatang atau lebih dikenal dengan istilah
pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan adalah suatu tujuan yang
antara ekonomi, sosial, dan lingkungan guna membangun suatu masyarakat yang stabil,
makmur dan berkualitas.
Pengembangan metode untuk menganalisis perekonomian suatu daerah sangat
penting guna memperoleh informasi tentang perkembangan dan pertumbuhan ekonomi
daerah yang bersangkutan. Informasi yang diperoleh sangat berguna untuk menentukan
arah kebijakan yang diambil oleh pemerintah daerah dalam rangka peningkatan
pertumbuhan ekonomi daerah. Namun demikian, menurut Arsyad (1999), dalam
menganalisis perekonomian suatu daerah akan ditemukan beberapa kesulitan, antara
lain :
a. Data tentang daerah terbatas terutama kalau daerah dibedakan berdasarkan
pengertian daerah nodal (daerah-daerah yang memiliki perbedaan dalam
struktur tata ruang dalam wilayah, tetapi masing-masing daerah satu sama lain
terdapat saling ketergantungan secara fungsional). Dengan data yang sangat
terbatas sangat sukar untuk menggunakan data yang telah dikembangkan dalam
memberikan gambaran mengenai perekonomian suatu daerah.
b. Data yang tersedia umumnya tidak sesuai dengan data yang dibutuhkan untuk
analisis daerah, karena data yang terkumpul biasanya ditujukan untuk
memenuhi kebutuhan analisis perekonomian secara nasional.
c. Data tentang perekonomian daerah sangat sukar untuk dikumpulkan, sebab
perekonomian daerah lebih terbuka dibandingkan perekonomian nasional. Hal
tersebut menyebabkan data tentang aliran-aliran yang masuk dan keluar dari
suatu daerah sukar diperoleh.
d. Bagi negara sedang berkembang, di samping kekurangan data sebagai
sehingga menimbulkan kesulitan untuk melakukan analisis yang memadai
tentang keadaan perekonomian suatu daerah.
2.5. Penelitian Terdahulu
Penelitian mengenai pertumbuhan sektor-sektor perekonomian pada suatu
wilayah dengan menggunakan analisis Shift Share pernah dilakukan di Indonesia.
Irawan (1994), menggunakan analisis shift share untuk menganalisis pertumbuhan ekonomi dan kesenjangan antar wilayah di provinsi Jawa Barat tahun
1986-1990. Berdasarkan penelitian disimpulkan bahwa sektor pertanian memegang
peranan penting dalam pertumbuhan di beberapa wilayah Dati II Jawa Barat, yaitu
Pandeglang, Lebak, Sukabumi, Cianjur, Garut, Tasikmalaya, Kuningan, Majalengka,
Cirebon, Sumedang, Subang, Purwakarta, dan Karawang. Sektor industri dan jasa
memegang peranan penting di daerah Bogor, Bekasi, Bandung, Tangerang, Serang,
Kodya Bandung, dan Kodya Cirebon. Kodya Sukabumi dan Kodya Bogor bertumpu
pada sektor perdagangan dan jasa, sedangkan Kabupaten Indramayu perekonomiannya
didukung oleh sektor pertambangan dan penggalian.
Azman (2001), juga menggunakan analisis Shift Share untuk menganalisis struktur perekonomian Kabupaten Padang Pariaman, Provinsi Sumatera Barat tahun
1995-1999. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa telah terjadi perubahan struktur
perekonomian dari sektor primer (pertanian, pertambangan dan penggalian) ke sektor
sekunder (industri) dan sektor tersier (jasa-jasa, perdagangan, hotel dan restoran). Akan
tetapi sektor pertanian masih mendominasi dalam penyediaan lapangan kerja maupun
Budiharsono (2001) menggunakan analisis Shift Share sebagai alat analisisnya di dalam penelitiannya mengenai pertumbuhan ekonomi antar daerah di Indonesia tahun
1983-1987. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa selama 4 tahun tersebut
pertumbuhan tidak merata untuk seluruh provinsi. Provinsi-provinsi yang tingkat
pertumbuhannya melebihi pertumbuhan PDB Indonesia adalah Daerah Istimewa Aceh,
Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Bengkulu. Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa
Tengah, Bali, Kalimantan Barat, Sulawesi Tenggara, Maluku dan Timor Timur.
Sedangkan provinsi-provinsi yang pertumbuhannya lebih kecil dari pertumbuhan PDB
adalah Sumatera Barat, Riau, Jambi, DI Jogjakarta, Jawa Timur, Kalimantan Tengah,
Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi
Selatan, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan Irian Jaya. Budiharsono
kembali mengadakan penelitian tentang analisis pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa
Barat pada tahun 1983-1987. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa sektor industri,
utilitas, dan jasa mempunyai nilai pergeseran bersih positif, sedangkan sector pertanian
mempunyai nilai pergeseran bersih yang negatif.
Doni (2004) menggunakan analisis Shift Share dalam penelitiannya untuk menganalisis pertumbuhan ekonomi kabupaten dan kota di Provinsi Sumatera Utara
periode 2002. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa pada kurun waktu
1993-1997 perekonomian meningkat. Daerah yang paling besar pertumbuhannya adalah Kota
Sibolga. Wilayah yang pertumbuhannya maju adalah Kabupaten Asahan, Tapanuli
Selatan, Tapanuli Tengah, Labuhan Batu, Dairi, Karo, Deli Serdang, Sibolga, Tanjung
Balai, Tebing Tinggi. Pada tahun 1998-2002 juga ada pertumbuhan tapi tidak sebesar
tahun 1993-1997. Pada kurun waktu ini wilayah yang tumbuh maju adalah Kabupaten
Ardiansyah (2004) dalam penelitiannya tentang pertumbuhan sektor-sektor
perekonomian di Kota Jambi sebelum dan pada masa otonomi menyimpulkan bahwa
pada masa sebelum otonomi daerah seluruh sektor ekonomi di Kota Jambi
pertumbuhannya meningkat. Akan tetapi setelah adanya otonomi daerah seluruh sektor
ekonomi mengalami pertumbuhan yang lambat. Jambi kalah bersaing dengan kabupaten
yang lain. Selain itu dampak krisis ekonomi juga secara tidak langsung masih
berpengaruh terhadap perekonomian Jambi.
Restuningsih (2004) dalam penelitiannya tentang pertumbuhan sektor
perekonomian di Provinsi Jakarta pada masa krisis ekonomi daerah menyimpulkan
bahwa krisis ekonomi yang melanda DKI Jakarta menyebabkan sebagian besar sektor
ekonomi tidak dapat bersaing dengan baik, yaitu sektor pertanian, industri pengolahan,
listrik, gas dan air bersih, bangunan dan jasa. Sedangkan sektor yang dapat bersaing
adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran, pengangkutan dan komunikasi,
keuangan, persewaan dan jasa.
Berdasarkan penelitian terdahulu, ada yang menganalisis pertumbuhan ekonomi
atau pertumbuhan wilayah pada satu kurun waktu tertentu dan ada juga yang
menganalisis pertumbuhan wilayah pada dua kurun waktu. Pada penelitian ini
menggunakan dua kurun waktu yaitu sebelum otonomi dan setelah otonomi daerah,
tetapi dengan waktu yang berbeda dan juga kurun waktu yang dipakai juga berbeda
dengan penelitian sebelumnya dan terbagi dalam tiga periode, yaitu periode pada masa
sebelum krisis ekonomi tahun 1993-1996. periode pada masa krisis ekonomi tahun
1997-2000, dan periode pada masa otonomi daerah tahun 2001-2004.
2.6.1. Analisis Shift Share
Budiharsono (2001), analisis Shift Share merupakan teknik analisis mengenai perubahan berbagai indikator kegiatan ekonomi, seperti produksi dan kesempatan kerja.
Teknik ini melihat perkembangan produksi ataupun kesempatan kerja di suatu wilayah
pada dua titik waktu. Berdasarkan analisis Shift Share dapat diketahui perkembangan sektor-sektor perekonomian di suatu wilayah, baik terhadap perkembangan ekonomi
wilayah yang lebih luas maupun terhadap sektor ekonomi lainnya beserta
penyimpangan yang terjadi pada satu wilayah dibandingkan dengan wilayah yang
lainnya. Dengan demikian, dapat ditunjukkkan adanya pergeseran hasil pembangunan
perekonomian daerah bila daerah itu memperoleh kemajuan sesuai dengan
kedudukannya dalam perekonomian nasional. Tujuan analisis Shift Share adalah untuk menentukan produktifitas kerja perekonomian daerah yang lebih besar (regional atau
nasional). Secara skematik model analisis Shift Share disajikan disajikan pada gambar 2.1 sebagai berikut.
Maju
PP + PPW ≥ 0 Komponen
Pertumbuhan Nasional (PN) atau
Gambar 2.1. Model Analisis Shift Share Sumber : Budiharsono, 2001
Berdasarkan Gambar 2.1, dapat dipahami bahwa pertumbuhan sektor
perekonomian pada suatu wilayah dipengaruhi oleh beberapa komponen, yaitu
komponen pertumbuhan nasional (national growth component) disingkat PN atau komponen pertumbuhan regional (regional growth component) disingkat PR, komponen pertumbuhan proporsional (proportional or industrial mix growth component) disingkat PP dan komponen pertumbuhan pangsa wilayah (regional share growth component ) disingkat PPW. Dari ketiga komponen tersebut dapat diidentifikasikan pertumbuhan
suatu sektor perekonomian, apakah pertumbuhannnya cepat atau lambat ?. Apabila PP +
PPW ≥0, maka pertumbuhan sektor perekonomian termasuk ke dalam kelompok
progresif (maju), tetapi apabila PP + PPW ≤ 0, berarti sektor perekonomian tersebut memiliki pertumbuhan yang lambat.
1. Komponen Pertumbuhan Nasional/Pertumbuhan Regional Lamban PP + PPW ≤ 0 Komponen
Pertumbuhan Proporsional (PP)
Komponen
Pertumbuhan Pengsa Wilayah (PPW) Wilayah ke j
(sektor ke i )