• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model ekonomi rumahtangga petani kedelai di Indonesia: analisis dampak kebijakan terhadap tenaga kerja, pendapatan, dan pengeluaran

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Model ekonomi rumahtangga petani kedelai di Indonesia: analisis dampak kebijakan terhadap tenaga kerja, pendapatan, dan pengeluaran"

Copied!
488
0
0

Teks penuh

(1)

MODEL EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI

KEDELAI DI INDONESIA:

ANALISIS DAMPAK

KEBIJAKAN TERHADAP TENAGA KERJA,

PENDAPATAN, DAN PENGELUARAN

DISERTASI

OLEH:

SUSETYANTO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Disertasi yang berjudul “Model Ekonomi R umahtangga Petani Kedelai di Indonesia: Analisis Dampak Kebijakan Te rhadap Tenaga Kerja, Pendapatan, dan Penge luaran”merupakan karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitka n maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Februari 2012

(3)
(4)

ABSTRACT

SUSETYANTO. Soybean Farm Household Economic Model in Indonesia: Policy Impact Analysis on Labo ur, Income and Expe nditure (BONAR M.SINAGA as Chairman, HARIANTO, ANNY RATNAWATI, BUNGARAN SARAGIH, and DJOKO S.DAMARDJATI as Members of the Advisory Committee).

Soybean as a source of protein was processed to several products such as soy-cake, tofu, soy-paste, waste-soy cake, soy-sauce, soy- layer, milk, yoghurt, soy-oil, and soy meat- like. The interesting issue of the farm household is the complex interactions between production and consumption decisions. The soybean plantation status is the seconda ry crop s after padd y. The simultaneous production and consumption decisions of the farm household can be ana lysed by inter-relations among labour, income, and expenditure. The low soy productivity and the slow extent suggested studies soybean farm household economic mode l. The objectives of the research was to: (1) identify the dominant factor that influe nce to farm household decisions, (2) analyze the inter-relations among labour, income and expenditure, (3) analyze the impact of input technology production, and (4) analyze price policy impact on soy prod uction and farm-household income. The procedure analysis was formulated by simultaneous equation, which has inter-relations among endo genous and exoge nous variables, with Two Stage Least Squares (2S LS) estimation method and Newton solut ion. The study was conducted in Pasur uan and Ponorogo–East Java, Wonogiri–Central Java, Gunung Kidul–Yogyakarta, Garut–West Java, and Central Lampung– Lampung province. The location and farmers were determined and selected by purposive and stratified random sampling method (250 persons). The price changes policy covered to food commodity (soybean and paddy), input-technology prod uction such as seed, fertilizer, and pesticide (growing stimulant and rhizoplus), paddy price, labour wage, and the sinergies of soy price with farm production facilities. The result showed that the best policy of increasing soy production and farm- household income were the policy increasing of soy price 25% and 37.5%;combination of soy price 25% and paddy price 15%;combination of soy price 25%, paddy price 15%, and labour wage 10%;combination of soy price 37.5% and farm production facilities prices 10%;and combination of soy price 37.5% with paddy price 15%,labo ur wage 10%, also farm production facilities prices 10%. These scenarios could be done to determine the basic price of paddy and secondary crops , alsorecomended to diminish or to abor t fertilizer and pesticide subsidy. The policy impact of this scenario, influenced to increasing of soy production and farm- household income,were expected to improve the soybean plantation for processing industry, and to introduce product diversification in order to reach food security and soy self-sufficiency.

(5)
(6)

RINGKASAN

SUSETYANTO. Model Ekonomi Rumahtangga Petani Kedelai di Indonesia: Analisis Dampak Kebijakan Terhadap TenagaKerja, Pendapatan dan Pengeluaran. (BONAR M. SINAGA, sebagai Ketua, HARIANTO,ANNY RATNAWATI,BUNGARAN SARAGIH, dan DJOKO S. DAMARDJATI, sebagai Anggota Komisi Pembimbing).

Isu menarik dalam rumahtangga petani adalah hubungan kompleks antara keputusan rumahtangga produsen dan konsumen. Status petani kedelai adalah sebagai petani tanaman sekunder setelah tanaman padi (primer). Keputusan produksi dan konsumsi rumahtangga petani secara simultan dapat dianalisis dengan melihat hubungan antara tenaga kerja, pendapatan, dan pengeluaran rumahtangga petani. Produksi, produktivitas dan luas areal panen kedelai yang rendah, merupakan alasan perlunya dilakukan penelitian mode l ekonomi rumahtangga petani kedelai di Indonesia.

Tujuan pe nelitian adalah mempelajari perilaku ekonomi rumahtangga petani kedelai di Indonesia dengan menggunakan model ekonomi rumahtangga, khususnya dampak kebijakan terhadap tenaga kerja, pendapatan dan pengeluaran rumahtangga, yaitu: (1) mengidentifikasi perilaku rumahtangga petani dan faktor dominan yang mempengaruhi pengambilan keputusan produksi dan pengeluaran rumahtangga petani, (2) menganalisis keterkaitan antara penggunaan tenaga kerja, pendapatan dan pengeluaran rumahtangga petani, termasuk produksi, sarana produksi, tenaga kerja, pendapatan, konsumsi dan investasi, serta tabungan dan kredit pertanian, (3) menganalisis pengaruh penerapan input teknologi produksi dan inovasi teknologi baru pada rumahtangga petani kedelai terhadap produksi kedelai dan pendapatan rumahtangga, dan (4) menganalisis dampak kebijakan kenaikan harga terhadap produksi kedelai dan pendapatan rumahtangga.

Kerangka pemikiran mengacu pada model ekonomi rumahtangga petani atau Agricultural/Farm Household Modeldari Bagi dan Singh, dimana perilaku rumahtangga petani dianalisis dari sisi produksi dan sisi konsumsi, yang dipengaruhi oleh faktor input teknologi produksi, tenaga kerja, pendapatan, pengeluaran konsumsi dan investasi, tabungandankreditpertanian. Kriteria yang digunakan adalah kriteria ekonomi, pengujian statistik, dan asumsi model ekonometri. Prosedur analisis menggunakan persamaan simultan, dengan melihat keterka itan antara pe uba h endo gen da n pe uba h eksogen, menggunakan metode pendugaan Two Stage Least Squares (2SLS) dengan solusi Newton.

Penelitian dilakuka n di kabupa ten Pasur uan da n Ponorogo propinsi Jawa Timur, Wonogiri–Jawa Tengah, Gunung Kidul–D.I.Yogyakarta, Garut–Jawa Barat, dan Lampung Tengah–Lampung. Pemilihan daerah sampel berdasarkan statusnya sebagai penghasil kedelai nasional secarapurposivesampling, dengan metode pengambilan sampel secara stratified random sampling, dimana strata luas lahan garapa n adalah di bawah 0.50 ha, antara 0.50–1.00 ha, dan di atas 1.00 ha, yang terdiri dari petani pemilik dan petani penggarap, pada sawah beririgasi teknis, setengah teknis, dan tadah hujan.

(7)

15%, dan upah tenaga kerja luar keluarga 10%; (4) kombinasihargakedelai 37.5% dengan

harga sarana prod uksi (benih, pupuk, pestisida) 10%;serta(5) kombinasihargakedelai 37.5% denganhargagaba hKP 15%,upahtenagakerjaluarkeluarga 10%,danharga sarana prod uksi (benih, pupuk, pestisida) 10%.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa skenario kebijakan ke naika n harga-hargaakan meningkatkan produksi kedelai dan pendapatan rumahtangga, yaitumelalui kenaikan: (1) harga kedelai (25%): 32.0%dan 13.9%; (2) harga kedelai (37.5%): 155.7%dan 19.1%; (3) harga kedelai dengan harga gaba hKP: 38.1%dan 17.7%; (4) harga kedelai,harga gaba hKP,danupa h tena ga kerja luar ke luarga: 36.8%da n 16.6%;(5) harga kedelai (37.5%)dengan harga sarana produksi:33.6%dan16.1%;dan(6) harga kedelai (37.5%) dengan harga gaba hKP, upa h tenaga kerja luar ke luarga,sertaharga sarana produksi: 39.3%dan 19.1%.Skenario ini direkomendasikansebagaikebijakan yang tepat sasaran bagi target pencapaian pemerintah dalam peningkatan produksi kedelai dan pendapatan rumahtangga petani. Disamping itu, pemerintah berkepentingan dalam kebijakan penentuan harga dasar padi dan palawija serta penghapusan subsidi pupuk.

Implikasi kebijaka n ke naika n harga output (kedelai) da n harga input (teknologi produksi), aka n berdampak besar pada perluasan areal panen, peningkatan produksi, penggunaansaranaproduksi, ketenaga-kerjaan, pendapatan,konsumsi dan investasi, sertatabungandankreditpertanian. Diharapkan petani bergairah untuk menanam dan mengolah hasil kedelai, dalam rangka diversifikasi pangan guna mencapai ketahanan dan keamanan pangan serta tercapainya swasembada kedelai.

Kata Kunci : Kedelai, model ekonomi rumahtangga petani, komoditas pangan, input teknologi, kebijaka n peruba han harga, subs idi pupuk, swasembada kedelai.

(8)
(9)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan t idak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(10)
(11)

MODEL EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI

KEDELAI DI INDONESIA:

ANALISIS DAMPAK

KEBIJAKAN TERHADAP TENAGA KERJA,

PENDAPATAN, DAN PENGELUARAN

OLEH:

SUSETYANTO

DISERTASI

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar

Doktor

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

Penguji pada Ujian Tertutup:

1. Dr. Ir. Nunung Kusnadi MSi.: Ketua Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor.

2. Dr. Ir. Nunung Nuryartono, MSi.: Staf Pengajar Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor.

Penguji pada Ujian Terbuka:

1. Dr. Ir. Handewi P. Saliem, MSi.: Ketua Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Balitbangtan, Kementerian Pertanian.

2. Dr. Ir. Soemaryanto MSi.: Staf Peneliti pada Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Balitbangtan, Kementerian Pertanian.

(13)

Judul Disertasi : Model Ekonomi Rumahtangga Petani Kedelai di Indonesia: Analisis Dampak Kebijakan Terhadap Tenaga Kerja, Pendapatan, dan Pengeluaran

Nama Mahasiswa : Susetyanto Nomor Pokok : 95512 / EPN

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui, Komisi Pembimbing

Prof.Dr.Ir. Bonar M.Sinaga, MA. Ketua

Dr.Ir. Harianto, MSi. Anggota

Prof.Dr.Ir.Bungaran Saragih, MEc. Anggota

Dr.Ir. Anny Ratnawati, MSi. Anggota

Mengetahui,

Prof.Dr.Ir.Djoko S.Damardjati, MSi. Anggota

Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

Prof.Dr.Ir.Bonar M.Sinaga, MA.

Tanggal Ujian: 31 Januari 2012

Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

Dr.Ir.Dahr ulsyah MSc.Agr.

(14)
(15)

PRAKATA

Assalamualaikum Wr. Wb.

Penelitian dilakukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Sekolah Pascasarjana - Institut Pertanian Bogor. Fokus penelitian adalah tentang model ekonomi rumahtangga petani kedelai di Indonesia, dengan menganalisis dampak kebijakan perubahan harga terhadap tenaga kerja, pendapatan, dan pengeluaran, menggunakan kerangka teori Agricultural/Farm Household Model. Lokasi penelitian adalah di kabupaten Pasuruan dan Ponorogo di Jawa Timur, Wonogiri di Jawa Tengah, Gunung Kidul di D.I.Yogyakarta, Garut di Jawa Barat, dan Lampung Tengah di Lampung.

(16)

Kritik dan saran atas penelitian ini sangat diharapkan, sebagai sumbangsih bagi penelitian lanjutan tentang ekonomi rumahtangga pada usahatani kedelai. Semoga hasil penelitian ini berguna bagi masyarakat, nusa dan bangsa, serta agama. Amien yaa Robal- Alamien.

Wassalamualaikum Wr.Wb.

Bogor, Februari 2012

Susetyanto

(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis adalah putra pertama dari tujuh bersaudara, dilahirkan di Yogyakarta, pada tanggal 18 Maret 1960, dari keluarga pasangan bapak RM. Sutanto BCtt., dan ibu Dra.Sunaryati S, MSi. Penulis menikah dengan Dr. Ir. SriWidowati MAppSc, pada tahun 1986, dikarunia seorang putri bernama Ir. Rr.Arumdyah Tyasayu Parameswari (23 tahun) yang telah menyelesaikankuliahnyadi Fakultas Perikanan, Universitas Gajah Mada - Yogyakarta.

Pendidikan Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah Menengah Atas, ditempuh di D.I.Yogyakarta, dan selesai belajarmasing- masing pada tahun 1971, 1974, dan 1977. Pada tahun 1978/1979, penulis melanjutkan studi ke Fakultas Ekonomi jurusan Ekonomi Umum, Universitas Gajah Mada, dan berhasil meraih gelar Sarjana Ekonomi pada tahun 1984. Penulis melanjutkan program studi Ilmu Ekonomi Pertanian pada Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor pada tahun 1991/1992, dan berhasil meraih gelar Magister Sains padatahun 1994. Penulis menempuh pendidikan jenjang Doktoral (S3) sejak tahun 1995/1996 padajurusan Ilmu Eko nomi Pertanian, Seko lah Pascasarjana - Institut Pertanian Bogor.

(18)
(19)
(20)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL . . . xxi

DAFTAR GAMBAR . . . xxv

DAFTAR LAMPIRAN . . . xxvii

I. PENDAHULUAN. . . 1

1.1. Latar Belakang . . . 1

1.2. Perumusan Masalah. . . 10

1.3. Tujuan Penelitian. . . 13

1.4. Ruang Lingkup Penelitian. . . 14

II. TINJAUAN PUSTAKA. . . 17

2.1. Pengertian Rumahtangga Petani. . . 17

2.2. Kajian Model Ekonomi Rumahtangga. . . 19

2.3. Penerapan Model Ekonomi Rumahtangga. . . 23

2.4. Model Empiris pada Pengambilan Keputusan Rumah-tangga Petani . . . 33 III. KERANGKA PEMIKIRAN . . . 39

3.1. Teknologi Produksi Pertanian . . . 39

3.2. Penawaran Tenaga Kerja dan Alokasi Waktu . . . 48

3.3. Model Ekonomi Rumahtangga Petani Kedelai . . . 57

3.4. Fungsi Permintaan Input da n Penawaran Output . . . 61

IV. METODE PENELITIAN . . . 66

4.1. Lokasi Penelitian, Sumber Data, dan Sampel Data . . . 66

4.1.1. Lokasi Penelitian dan Sumber Data . . . 66

4.1.2. Metoda Pengambilan Contoh . . . 66

4.2. Perumusan Model dan Prosedur Analisis . . . 67

4.2.1. Spesifikasi Mod el . . . 67

4.2.2. Identifikasi Model . . . 81

4.2.3. Estimasi Model . . . 82

4.2.4. Validasi Model . . . 82

4.2.5. Simulasi Model . . . 83

V. DESKRIPSI RUMAHTANGGA PETANI KEDELAI . . . 85

5.1. Deskripsi Wilayah Penelitian . . . 85

5.2. Hasil Penelitian Lapang . . . 95

5.2.1. Keadaan Umum Petani . . . 95

5.2.2. Pendidikan dan Pekerjaan Petani . . . 95 5.2.3. Status Pemilika n Lahan da n Type Lahan . . .

.

(21)

5.2.4. Pola Tanam . . . 98

5.2.11. Nilai Rata-rata Peuba h Model Ekonomi Rumah-tangga Petani Kedelai . . . . 113 VI. HASIL ESTIMASI DAN VALIDASI MODEL EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI KEDELAI . . .

6.11. Validasi Model Ekonomi Rumahtangga Petani Kedelai . . . . 152

VII. DAMPAK KEBIJAKAN KENAIKAN HARGA TERHADAP EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI KEDELAI . . . 155 7.1. Kenaikan Harga Pangan 155 7.1.1. Harga Kedelai (25% dan 37.5%) . . . 156 7.1.2. Harga Kedelai 25% dengan Harga Gaba hKP 15% . 156 7.2. Kenaika n Harga Kedelai 25% dengan Harga Gaba hKP

15%dan Upah Tenaga Kerja LuarKeluarga 10% . . . . . . .

160

7.3. Kenaikan Harga Kedelai 25% dengan Harga Sarana Produksi 10% . . .

162 7.4. Kenaikan Harga Kedelai25% dengan Harga Gaba hKP 15%,

Upah Tenaga Kerja LuarKeluarga 10%, dan Harga Sarana Produksi 10% . . .

164

7.5. Kenaikan Harga Kedelai 37.5% dengan Harga Sarana Produksi10% . . .

164 7.6. Kenaikan Harga Kedelai 37.5% dengan Harga Gaba hKP

15%, Upah Tenaga Kerja LuarKeluarga 10%,dan Harga Sarana Produksi10% . . .

166

7.7. Rekapitulasi Dampak Kenaikan Harga-hargaterhadap Ekonomi Rumahtangga Petani Kedelai . . .

(22)

Xviii

(23)
(24)
(25)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Luas Areal Panen, Prod uksi, d an Prod uktivitas Tanaman Pangan di Kabupaten LampungTengah Tahun 2000/2001 (Per-Komoditas) . .

85 2. Luas Areal Panen, Produksi, dan Produktivitas Kedelai di

Kabupaten Lampung Tengah Tahun 2000/2001 (Per-Kecamatan) . .

86 3. Luas Areal Panen, Prod uksi, d an Prod uktivitas Tanaman Pangan di

Kabupaten Garut Tahun 2000/2001 (Per-Komoditas) . . .

86 4. Luas Areal Panen, Produksi, dan Produktivitas Kedelai di

Kabupaten Garut Tahun 2000/2001 (Per-Kecamatan) . . .

87 5. Luas Areal Panen, Prod uksi, d an Prod uktivitas Tanaman Pangan di

Kabupaten Gunung Kidul Tahun 2000/2001 (Per-Komoditas) . . . .

88 6. Luas Areal Panen, Produksi, dan Produktivitas Kedelai di

Kabupaten Gunung Kidul Tahun 2000/2001 (Per-Kecamatan) . . . .

88 7. Luas Areal Panen, Prod uksi, d an Prod uktivitas Tanaman Pangan di

Kabupaten Wonogiri Tahun 2000/2001 (Per-Komoditas) . . .

89 8. Luas Areal Panen, Produksi, dan Produktivitas Kede lai di

Kabupaten Wonogiri Tahun 2000/2001 (Per-Kecamatan) . . .

89 9. Luas Areal Panen, Produksi, dan Produktivitas Kedelai di

Kabupaten Ponorogo Tahun 2000/2001 (Per-Kecamatan) . . .

90 10. Luas Areal Tanam dan Luas Areal Panen Kedelai di Kabupaten

Pasuruan Tahun 2000/2001 (Per-Kecamatan) . . .

91 11. Luas Areal Panen, Produksi, dan Produktivitas Kedelai di Propinsi

Jawa Timur Tahun 2001–2007. . .

92 12. Luas Areal Panen, Produksi, dan Produktivitas Kedelai di Propinsi

Jawa Tengah Tahun 2001–2007 . . .

92 13. Luas Areal Panen, Produksi, dan Produktivitas Kedelai di Prop insi

D.I.Yogyakarta Tahun 2001–2007. . .

93 14. Luas Areal Panen, Produksi, dan Produktivitas Kedelai di Propinsi

Jawa Barat Tahun 2001–2007 . . .

93 15. Luas Areal Panen, Produksi, dan Produktivitas Kedelai di Propinsi

Lampung Tahun 2001–2007 . . .

94 16. Luas Areal Panen, Produksi, dan Produktivitas Kedelai di

Indonesia Tahun 2007 . . .

94 17. Umur Petani, Anggota Keluarga, Angkatan Kerja Keluarga, dan

(26)

23. Pola Tanam Pada Musim Tanam I Tahun 2001 . . . 99 24. Pola Tanam Pada Musim Tanam II Tahun 2001 . . . 99 25. Pola Tanam Pada Musim Tanam III Tahun 2001 . . . 99 26. PersentasePeminjamKredit, AsalKredit, dan Cara

PembayaranTahun 2001 . . . 36. Jumlah Penggunaan dan Biaya Pupuk Hijau/Kandang Tahun 2001 . 106 37. Jumlah Penggunan da n Biaya Insektisida Tahun 2001 . . . 106 38. Jumlah Penggunaan dan Biaya Herbisida Tahun 2001 . . . 107 39. Jumlah Penggunaan dan Biaya ZatPerangsangTumbuh Tahun 2001 107 40. Jumlah Penggunaan Pestisida Lain Tahun 2001 . . . 108 46. NilaiRumah dan TanahsertaAssetKekayaanTahun 2001. . . 110 47. Jumlah dan Nilai Ternak Tahun 2001 . . . 111 53. Nilai Rata-rata Peubah Model Ekonomi Rumahtangga Petani

Kedelai di Indo nesia . . .

114 54. HasilEstimasiModelEkonomiRumahtangga Petani Kedelaidan

NilaiElastisitasLuasArealPanenKedelai. . .

119 55. Hasil EstimasiMode lEkonomiRumahtangga Petani Kedelai dan

Nilai Elastisitas Produksi Kedelai . . .

120 56. Hasil EstimasiMode lEkonomiRumahtangga Petani Kedelai dan

Nilai Elastisitas Benih Kedelai . . .

121 57. Hasil EstimasiMode lEkonomiRumahtangga Petani Kedelai dan

Nilai Elastisitas Pupuk Urea . . .

(27)

xxii

58. Hasil EstimasiMode lEkonomiRumahtangga Petani Kedelai dan Nilai Elastisitas Pupuk SP36/TSP . . .

124 59. Hasil EstimasiMode lEkonomiRumahtangga Petani Kedelai dan

Nilai Elastisitas Pupuk KCL/ZA . . .

126 60. HasilEstimasiMode lEkonomiRumahtangga Petani Kedelai dan

NilaiElastisitasObat/Pestisida . . .

127 61. Hasil EstimasiMode lEkonomiRumahtangga Petani Kedelai dan

Nilai Elastisitas Zat Perangsang Tumbuh . . .

128 62. Hasil EstimasiMode lEkonomiRumahtangga Petani Kedelai dan

Nilai Elastisitas Rhizoplus . . .

130 63. Hasil EstimasiMode lEkonomiRumahtangga Petani Kedelai dan

Nilai Elastisitas Tenaga Kerja Dalam Keluarga . . .

131 64. HasilEstimasiMode lEkonomiRumahtangga Petani Kedelai dan

NilaiElastisitasTenagaKerjaLuarKeluarga . . .

133 65. HasilEstimasiModelEkonomiRumahtangga Petani Kedelai dan

NilaiElastisitasTenagaKerjaDalamKeluarga Non-Kedelai . . .

135 66. HasilEstimasiMode lEkonomiRumahtangga Petani Kedelai dan

NilaiElastisitasTenagaKerjaDalamKeluarga NonUsahatani Lain

136 67. Hasil EstimasiModelEkonomiRumahtangga Petani Kedelai dan

Nilai Elastisitas Penerimaan Usahatani Non-Kedelai . . .

139 68. Hasil EstimasiMode lEkonomiRumahtangga Petani Kedelai dan

Nilai Elastisitas Penerimaan Non-Usahatani Lain . . .

140 69. Hasil EstimasiMode lEkonomiRumahtangga Petani Kedelai dan

Nilai Elastisitas Konsumsi Pangan Tunai . . .

142 70. Hasil EstimasiMode lEkonomiRumahtangga Petani Kedelai dan

Nilai Elastisitas Kons umsi Non-Pangan . . .

143 71. Hasil EstimasiMode lEkonomiRumahtangga Petani Kedelai dan

Nilai Elastisitas Investasi Pendidikan . . .

145 72. HasilEstimasiModelEkonomiRumahtangga Petani Kedelai dan

NilaiElastisitasInvestasiKesehatan . . .

146 73. HasilEstimasiMode lEkonomiRumahtangga Petani Kedelai dan

NilaiElastisitasInvestasiProduksiPertanian . . .

147 74. Hasil EstimasiMode lEkonomiRumahtangga Petani Kedelai dan

Nilai Elastisitas Tabungan . . .

149 75. Hasil EstimasiMode lEkonomiRumahtangga Petani Kedelai dan

Nilai Elastisitas Kredit Pertanian . . .

150 76. Respon Model Ekonomi Rumahtangga Petani Kedelai . . . 153 77. Dampak Kenaikan HargaKedelai 25%terhadap Ekonomi

Rumahtangga Petani Kedelai . . .

157 78. Dampak Kenaikan Harga Kedelai 37.5% terhadap Ekonomi

Rumahtangga Petani Kedelai . . .

158 79. Dampak Kenaikan Harga Kedelai 25% dengan Harga GabahKP

15% terhadap Ekonomi Rumahtangga Petani Kedelai . . .

(28)

Xxiii

80. Dampak Kenaikan Harga Kedelai 25% dengan Harga GabahKP 15% dan Upah Tenaga Kerja LuarKeluarga 10% terhadap Ekonomi Rumahtangga Petani Kedelai . . .

161

81. Dampak Kenaikan Harga Kedelai 25% dengan Harga Sarana Produksi 10% terhadap Ekonomi Rumahtangga Petani Kedelai . . .

163 82. Dampak Kenaikan Harga Kedelai 25% dengan Harga GabahKP

15%, Upa h Tenaga Kerja LuarKeluarga 10%, dan Harga Sarana Produksi 10% terhadap Ekonomi Rumahtangga Petani Kedelai . . .

165

83. Dampak Kenaikan Harga Kedelai 37.5% dengan Harga Sarana Produksi 10% terhadap Ekonomi Rumahtangga Petani Kedelai . . .

167 84. Dampak Kenaikan Harga Kedelai 37.5% dengan Harga GabahKP

15%, Upa h Tenaga Kerja LuarKeluarga 10%, dan Harga Sarana Produksi 10% terhadap Ekonomi Rumahtangga Petani Kedelai . . .

168

85. Rekapitulasi Dampak Kenaikan Harga- harga terhadap Ekonomi Rumahtangga Petani Kedelai . . .

(29)
(30)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Tahapan Skala Produksi . . . 41 2. Pengaruh Perubahan Tingkat Upah dan Pendapatan Terhadap

Alokasi Waktu . . .

50 3. Keterkaitan Tenaga Kerja, Pendapatan, dan Pengeluaran

Rumahtangga Petani Kedelai . . .

(31)
(32)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Program Estimasi Model Ekonomi Rumahtangga Petani KedelaiMetode 2SLS . . .

190 2. Hasil Estimasi Model Ekonomi Rumahtangga Petani

KedelaiMetode 2SLS . . . . . .

195

3. Program Validasi Mode l Ekonomi Rumahtangga Petani Kedelai dengan Metode Solusi Newton . . .

207 4. Hasil Validasi Mode l Ekonomi Rumahtangga Petani

Kedelai de ngan Metode Solusi Newton . . .

210 5. Program Simulasi Kebijakan Mode l Ekonomi Rumahtangga

Petani Kedelai . . .

213 6. Hasil Simulasi Kebijakan Mode l Ekonomi Rumahtangga

Petani Kedelai . . .

(33)
(34)

I. PENDAHULUAN

1.1. LatarBelakang

Pembangunan ekonomi bertujuan untuk meningkatkan standar hidup masyarakat, dengan cara meningkatkan produksi nasional lebih cepat dari pertumbuhan penduduk, disertai usaha peningkatan kesempatan kerja. Pertumbuhan ekonomi dicapai melalui proses penyesuaian ke majuan teknologi, dimana terjadi pergeseran struktur perekonomian dari pertanian ke industri, termasuk adanya pergeseran tenaga kerja. Strategi pembangunan pangan adalah untuk meningkatkan pendapatan petani untuk mencapai swa-sembada pangan, dengan pengaaneka-ragaman hasil pertanian, kualitas dan nilai tambah hasil pertanian, dukungan sistem pengairan, dan penyuluhan handal (Kuntjoro, 1997).

Subsektor pertanian tanaman pangan memberikan kesempatan kerja yang luas untuk meningkatkan pendapatan keluarga, sebagai penggerak kegiatan agribisnis, dan mampu memberdayakan pengusaha kecil dan menengah serta koperasi secara lintas sektoral dan nasional (Simatupang, 1995). Dalam pembangunan ekonomi yang berbasis pertanian (Saragih, 2001), memerlukan strategi agribisnis bagi komoditas unggulan berskala ekonomis yang menghasilkan produk berdaya saing tinggi, termasuk pengembangan usahatani non-padi seperti kedelai (Simatupang, 1988). Dengan demikian target swa-sembada kedelai yang dicanangkan tahun 2012 adalah untuk memenuhi kebutuhan domestik, menghemat devisa negara, dan mendorong kegiatan agribisnis.

Dalam kegiatan agroindustri, sentuhan teknologi pada industri sekunder berbasis tanaman pangan atau non-pangan, menghasilkan nilai tambah lebih tinggi dari segi ekonomi dan kegunaan hasil pertanian. Nilai tambah diperoleh melalui proses pengolahan pasacapanen, untuk menghasilkan produk yang awet, bergizi, mudah dikonsumsi, dan memiliki peluang pasar luas.

(35)

krisis ekonomi dan moneter. Sumbangan subsektor tanaman pangan semakin meningkat terhadap Produk Domestik Bruto sejak dari Pelita I hingga Pelita V. Hal ini berpeluang besar sebagai sumber pertumbuhan baru pada akhir PJPT I, walaupun produksi dan produktivitasnya masih rendah.

Sejak tahun 1975, Indonesia menjadi negara pengimpor kedelai, yaitu sekitar 607.40 ribu ton atau senilai US$. 180.60 juta pada tahun 1995. Bahkan prediksi oleh Ditjen Tanaman Pangan dan Hortikultura pada tahun 2000 terjadi kekurangan kedelai 1.12 juta ton, dimana ketergantungan penyediaan pangan nasional, terhadap Pulau Jawa cukup tinggi (sekitar 65%), karena adanya kesenjangan teknologi. Sebelum penelitian ini dilakukan, luas areal panen kedelai mencapai 1.12 juta ha, dengan produksi 1.36 juta ton, dan produktivitas 1.21 ton/ ha. Banyaknya areal sawah subur yang beralih fungs i menjadi lahan industri, pemukiman dan jalan, menghambat perluasan areal panen kedelai. Karena teknologi produksi belum dapat diandalkan, maka perlu identifikasi sumber pertumbuhan baru kedelai, untuk mengimbangi laju permintaan kedelai domestik.

Pertumbuhan permintaan kedelai pada dasawarsa terakhir cukup tinggi, namun belum mampu diimbangi oleh produksi dalam negeri, sehingga harus diimpor dalam jumlah cukup besar. Harga kedelai impor yang murah dan tidak adanya tarif impor, menyebabkan tidak kondusifnya pengembangan kedelai di dalam negeri. Dari sisi prospek pengembangan kedelai untuk menekan impor, cukup tersedia sumberdaya lahan yang cukup luas, iklim yang cocok, teknologi yang memadai, dan SDM yang terampil dalam usahatani, dengan pasar komoditas kedelai yang masih terbuka luas.

(36)

Usahatani kedelai sebenarnya menguntungkan dari segi finansial, dengan pendapatan bersih sekitar Rp. 2.05 juta/ha, walaupun luas areal panen kedelai menurun dari 1.48 juta ha (1995) menjadi 0.55 juta ha (2004), atau turun rata-rata 10% pertahun (Balitbangtan, 2005). Sasaran peningkatan produksi 15% pertahun untuk mencukupi kebut uhan da lam negeri, dengan produksi meningkat 60% pada tahun 2009, berarti swasembada baru tercapai tahun 2015. Investasi yang dibutuhkan adalah Rp.5.09 triliun (2005-2009) dan Rp.16.19 triliun (2010-2025), dimana swasta menyumbang sebesar Rp.0.68 triliun dan Rp.2.45 triliun.

Tujuan da n sasaran pengemba ngan kede lai tercapai jika ada dukungan da n partisipasi dari seluruh stakeholder, yaitu: (1) kebijakan pemerintah dari subsistem hulu hingga subsistem hilir, (2) komitmen stakeholder swasta/ pengusaha untuk berpartisipasi dalam menekan ketergantungan pangan dari impor, dan (3) partisipasi Pemda dan aparat pertanian (penyuluh), serta masyarakat pertanian.

Kebijakan yang dapat dilakukan meliputi: (Balitbangtan, 2005)

1. Kemudahan prosedur untuk mengakses modal kerja (kredit usahatani) bagi petani dan swasta yang berusaha dalam bidang agribisnis kedelai.

2. Percepatan alih teknologi/ diseminasi hasil penelitian dan percepatan penerapan teknologi ditingkat petani melalui revitalisasi tenaga penyuluh pertanian.

3. Pembinaan/ pelatihan produsen/ penangkar benih dalam aspek teknis (produksi benih), manajemen usaha perbenihan, serta pemasaran benih, termasuk penyediaan kredit usaha perbenihan bagi produsen benih.

4. Pengembangan usaha kecil/ rumahtangga dalam subsistem hilir (pengolahan produk tahu, tempe, kecap, tauco, susu, minyak-goreng), untuk menghasilkan produk olahan yang bermutu tinggi sesuai tuntutan konsumen. 5. Kebijakan makro yang mendorong pengembangan kedelai dalam negeri

seperti tarif impor yang tinggi.

6. Pengembangan prasarana / infrastruktur pertanian (pembukaan sawah / lahan pertanian, fasilitas irigasi, dan jalan).

(37)

Kedelai mempunyai nilai strategis serta menjadi sumber kalori dan protein nabati, yang dapat diproses menjadi berbagai produk pangan fermentasi seperti tempe, kecap, tauco, natto, dan produk pangan non- fermentasi seperti tahu, susu, yuba, daging tiruan, serta produk minyak kasar untuk pangan dan industri seperti minyak salad, minyak goreng, mentega putih, margarine. Disamping itu kedelai juga diproses menjadi produk lesitin untuk pangan dan farmasi seperti roti, es krim, yoghurt, makanan bayi, kembang gula, obat-obatan, dan produk kecantikan/ kosmetika, dan produk konsentrat protein untuk pangan dan farmasi, serta produk bungkil kedelai untuk pakan ternak (Balitbangtan, 2005). Penganeka-ragaman pola konsumsi masyarakat adalah dengan memanfaatkan sumber karbohidrat, protein, dan mineral selain beras, seperti misalnya kedelai, jagung, kacang tanah, singkong, dan ubi-jalar.

Dari berbagai tanaman pangan yang diusahakan oleh para petani, maka keputusan untuk menanam kedelai sangat dipengaruhi oleh penerapan paket teknologi budidaya kedelai maju di berba gai agro-ekosistem, yaitu meningkatkan produksi, produktivitas, dan pendapatan petani (Manwan et.al., 1990). Masalah usahatani kedelai di tingkat petani adalah rendahnya produktivitas dan terbatasnya peluang perluasan areal panen, kurangnya keahlian dan ketrampilan, serta rendahnya pennggunaan teknologi yang efisien di berbagai agro-ekos istem (Sumarno et.al., 2007). Tingkat partisipasi petani relatif rendah dan terintegrasi dalam kelompok tani melalui koperasi, sehingga memerlukan pola kemitraan yang sejajar untuk pengembangan usaha (Lim, 1997). Faktor pembatas produktivitas adalah pada penyediaan benih bermutu, pola tanam, introduksi teknologi baru, pengendalian hama penyakit dan gulma, permodalan, dan kepemilikan lahan. Kelemba gaan pe ndukung seperti penangkar benih dan penyuluh lapangan masih belum berfungsi (Adisarwanto dan Suyamto, 1997; Adnyana dan Kariyasa, 1997).

(38)

ketinggian/ kemiringan, radiasi, topografi), iklim (curah hujan, suhu, kelembaban), dan lingkungan biologi (varietas, hama, penyakit, gulma). Faktor sos ial-ekonomi adalah ketersediaan sarana produksi seperti benih, pupuk, dan pestisida.

Berbagai upaya untuk meningkatkan produksi dan produktivitas tanaman pangan, khususnya kedelai, telah banyak dilakukan. Menurut Ditjen Tanaman Pangan (1998), kebijakan yang dilakukan adalah introduksi paket teknologi baru yang tepat guna, program intensifikasi kede lai IP-300, Gemapalagung (gerakan mandiri padi, kedelai, dan jagung), dan diversifikasi pangan. Program ini ditujukan untuk melepaskan diri dari ketergantungan impor kedelai. Pengembangan sentra produksi kedelai seperti di propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, D.I.Yogyakarta, Jawa Barat, dan Lampung, memerlukan dukungan lapangan kerja di luar pertanian, mengingat karakteristik kesempatan kerja sektor pertanian bersifat musiman. Bahkan kedelai dianggap sebagai tanaman sela setelah tanaman padi, yang kurang diminati petani, sehingga belum dapat menyerap tenaga kerja cukup banyak. Status tanaman kedelai adalah tanaman

secondary-crops untuk lokasi/daerah sub-tropis.

Peningkatan produksi dan produktivitas kedelai dapat dilakukan melalui: (1) perluasan areal panen di lahan sawah dan lahan kering (ekstensifikasi), (2) intensifikasi, (3) stabilitas hasil dengan menangkal hama penyakit dan gulma, (4) penekanan senjang hasil dengan penyuluhan intensif, penggunaan varietas benih unggul bermutu, pola tanam, pengolahan tanah, dan pemupukan sesuai dosis anjuran, (5) penekanan susut hasil melalui perbaikan pasca-pa nen da n rehabilitasi lahan, da n (6) penetapan harga yang stabil di musim panen dan musim paceklik.

Proses diversifikasi ekonomi pada rumahtangga petani pada umumnya masih terbatas pada keragaman jenis usahatani, sehingga masih tergolong pada skala usaha kecil (rumahtangga). Dengan demikian tambahan pendapatan bagi rumahtangga petani kedelai masih rendah, sehingga sumber pendapatan dan pembagian kerja dalam keluarga belum mampu meningkatkan kesejahteraan keluarganya secara proporsional.

(39)

sedangkan sektor industri dan jasa meningkat. Pada tahun 1990 penyerapan tenaga kerja sektor pertanian adalah 50.40%, sektor industri 16.80%, dan sektor jasa 32.80%. Penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian berkurang dari 64% (awal PJPT I.) menjadi 51% (akhir PJPT I.), dan pangsanya terhadap PDRB turun dari 34% menjadi 19%. Kualitas tenaga kerja di sektor industri dan jasa lebih tinggi dibandingkan di sektor pertanian, karena menggunakan jenis teknologi yang lebih maju dengan disiplin tinggi.

Pada umumnya produktivitas tenaga kerja rendah, maka tingkat pemanfaatan tenaga-kerjanya juga rendah, sehingga menimbulkan pengangguran tidak kentara. Produktivitas tenaga kerja rendah tercermin pada tingkat pengetahuan dan ketrampilan serta sikap para pekerja, sedangkan pemanfaatan tenaga kerja terlihat pada jam kerja dan tingkat upah. Menurut Mangkuprawiro (1985), tenaga kerja rumahtangga petani miskin bersedia menerima upah rendah asal tidak menganggur.

Peranan keluarga dalam rumahtangga sebagai unit dasar pengambilan keputusan, hampir mirip perusahaan dalam teori permintaan tenaga kerja. Setiap rumahtangga berusaha memenuhi kebutuhan minimum, dan memperbaiki tingkat hidup dengan bekerja mencari upah. Pendapatan yang diterima dalam bentuk upa h tenaga kerja aka n menambah kesejahteraan keluarga, sehingga rumahtangga yang rasional akan berusaha memanfaatkan waktunya seoptimal mungkin untuk mencapai kesejahteraan keluarga.

Prioritas pembangunan di era milenium dialihkan dari bidang pertanian ke bidang industri dengan pertanian sebagai pendukungnya. Setelah terjadi krisis ekonomi dan moneter sejak Juli 1997, bidang industri belum bisa diandalkan, sebaliknya bidang pertanian lebih mampu dijadikan alternatif yang lebih baik, yaitu melalui pembangunan pertanian sebagai suatu sistem agribisnis (Saragih, 2001). Petani perlu diberdayakan, dengan melibatkan partisipasi pemerintah daerah dan swasta. Periode 1981-1995 agroindustri menyumbang 50% dari total ekspor Indonesia, sehingga mampu menyerap banyak tenaga kerja, dalam rangka untuk meningkatkan penghasilan dan daya beli masyarakat.

(40)

terlalu kecil, pasar yang terbatas, teknologi sederhana, tingkat pendidikan rendah, dan akses pelaku ekonomi yang terbatas. Sifat ketergantungan petani dalam berusaha berakibat ketidak-bebasan petani dalam berproduksi dan memasarkan hasilnya. Petani harus mengalokasikan sumberdaya yang dimilikinya agar menguntungkan, dan petani harus responsif.

Kebijakan perluasan lapangan kerja antara lain dengan pengembangan agroindustri. Untuk melihat keterkaitan berbagai aktivitas ekonomi seperti produksi dan produktivitas, penggunaan input teknologi, penggunaan tenaga kerja, pendapatan rumahtangga dan pengeluaran petani, memerlukan pengkajian dan analisis secara simultan menggunakan pendekatan ekonometrika.

Dalam rangka peningkatan produksi dan penerimaan usahatani kedelai serta pendapatan rumahtangga petani, maka identifikasi permasalahan makro seringkali dirasakan kurang mencukupi, sehingga memerlukan kebijakan pembangunan yang terkait dengan rumahtangga petani, untuk menjawab permasalahan mikro yang tergantung kondisi setempat (loka l). Berdasarkan hal tersebut sangat relevan untuk melakukan kajian perilaku rumahtangga petani kedelai yang spesifik lokasi.

Sektor pertanian di negara berkembang seperti Indonesia memiliki karakteristik tertentu, seperti teknologi produksi pertanian, rumahtangga petani sebagai satu unit ekonomi, dan produk pertanian sebagai komoditas (Nakajima, 1986). Rumahtangga petani penting karena sumbangan kegiatan usahatani rumahtangga terhadap produk sektor pertanian cukup besar. Data BPS pada sensus pertanian 2003 menunjukkan bahwa total rumahtangga pertanian sebesar 24.87 juta, terdiri dari usahatani padi 13.77 juta atau 55.37%, dan usahatani palawija 10.86 juta atau 43.66% (Kusnadi, 2005).

(41)

yang rendah. Penelitian Mulyana (1998) menganalisis bahwa produktivitas padi sawah di Jawa, Bali, Sumatera, dan Sulawesi, tidak responsif terhadap peningkatan penggunaan pupuk, atau mengalami kejenuhan, sehingga perlu terobosan baru dalam bidang teknologi baru seperti rekayasa perbenihan atau perbaikan teknologi budidaya. Lambatnya laju peningkatan produksi dan produktivitas berpengaruh pada ketergantungan pada impor komoditas padi/gabah, termasuk kedelai dan jagung.

Menurut laporan tahunan FAO, produktivitas kedelai Indonesia pada dasawarsa 1990-an, meningkat dari 0.85 ton/ha menjadi 1.11 ton/ha, tetapi masih jauh dibawah rata-rata dunia sebesar 1.84 ton/ha, apalagi terhadap Amerika Serikat (2.18 ton/ha) dan Brazil (1.97 ton/ha). Perbedaan ini dipengaruhi oleh iklim, panjang hari, teknik budidaya, dan penggunaan input produksi sesuai anjuran. Faktor lainnya adalah luas lahan usaha yang sempit, serangan hama-penyakit dan gulma, fluktuasi harga, kecilnya kredit usahatani, dan belum terjalinnya kerjasama antar instansi. Menurut data BPS, selama kurun waktu 1970-2003, perkembangan luas areal panen dan produksi relatif tidak meningkat secara berarti, dan sejak tahun 2000 terlihat menurun.

Kesenjangan antara permintaan dan penawaran kedelai domestik, akan meningkatkan jumlah impor, dan menimbulkan defisit neraca perdagangan. Titik impas hasil kedelai dalam negeri adalah 1.90 ton/ha, sedangkan untuk bersaing dengan harga dunia adalah 3.10 ton/ha dengan teknologi maju, atau 2.00 ton/ha dengan teknologi produksi rata-rata (Rosegrant et.al., 1987). Hal ini tidak mungkin dapat dicapai pada kondisi agro-ekologi Indonesia, sekalipun potensial untuk pengembangan kedelai (Adnyana dan Kariyasa, 1997).

(42)

kedelai. Akibatnya, permintaan lebih besar daripada penawaran, sehingga kebutuhan kedelai domestik harus ditutup dengan impor kedelai.

Untuk mendorong adopsi teknologi pemupukan sesuai anjuran, pemerintah memberikan subsidi pupuk, dimana beban subsidi pupuk sejak tahun 1987 mulai dikurangi dan dihapuskan tahun 1998. Peningkatan harga pupuk masih dianggap sebagai cara terbaik untuk mengurangi beban subsidi, khususnya terhadap harga pupuk Urea, pupuk SP36/TSP, dan pupuk KCL/ZA.

Pengembangan teknologi produksi kedelai (Adisarwanto dan Suyamto, 1997) dapat dilakukan melalui penyediaan benih unggul berumur genjah, program pengapuran tanah masam, agro-ekosistem dan sistem pertanaman. Peningkatan produktivitas kedelai dilakukan melalui subsidi pupuk, pengadaan benih bermutu, kredit usahatani, stabilitas harga dan harga patokan, pemasaran dan perdagangan domestik, tenaga kerja upahan, dan penyuluhan pertanian (Adnyana dan Kariyasa, 1997). Sistem pengadaan benih kedelai yang bebas virus berperan penting dalam peningkatan produksi dan produktivitas kedelai (Sadjad, 1997; Nugraha et.al.,1997). Produktivitas kedelai yang dilakukan kelompok tani maju dapat mencapai 2.00-2.50 ton/ha, tetapi terkendala pada iklim yang kurang cocok.

Pengembangan kedelai perlu mempertimbangkan kesesuaian lahan dan teknologi budidaya. Dalam penyediaan benih bermutu, memerlukan teknologi penyimpanan dan penangkaran yang handal, serta penyediaan benih antar lapang dan musim tanam. Pemberian hara mikro dapat diberikan dalam bentuk pupuk daun, pupuk cair, kombinasi pupuk Urea dengan zat perangsang tumbuh, dan inok ulan yang mengandung bakteri Rhizobium spp. Lahan yang baru pertama kali ditanami kedelai, responsif terhadap inokulasi Rhizobium spp (Sumarno et.al., 2007). Penyediaan sarana produksi seperti pupuk mikroba dan pestisida hayati untuk intensifikasi kedelai, dapat lebih mengefektifkan pengendalian hama secara terpadu (Damardjati et.al., 1997).

(43)

produktivitas dan lambatnya perkembangan areal tanam kedelai, menandakan bahwa produksi kedelai belum mampu mengimbangi konsumsi kedelai. Potensi pengembangan kedelai di propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, D.I. Yogyakarta, dan Lampung adalah cukup besar, baik di lahan sawah maupun lahan kering bekas padi, terutama sawah golongan air I-II (Adnyana dan Kariyasa, 1997). Untuk melihat dampak penggunaan teknologi Rhizobium, seperti pupuk mikroba (Rhizoplus), zat perangsang tumbuh, dan inokulan Legin, perlu dikaji faktor- faktor yang mempengaruhi arah dan besaran produksi, konsumsi, pendapatan dan alokasi tenaga kerja, investasi, kredit pertanian, dan tabungan seperti analisis Simatupang (1988).

Dari permasalahan di tingkat petani dimana produksi dan produktivitas rendah, perluasan areal panen lambat, serta penggunaan teknologi budidaya maju yang efektif dan efisien di berbagai agro-ekosistem masih rendah, maka diperluka n penelitian yang tepa t untuk mencari solus i yang pa s da n solid.

1.2. Perumusan Masalah

Dengan melihat latar-belakang tersebut, pengembangan usahatani ditingkat rumahtangga petani kedelai sebagai tanaman sela setelah padi (secondary crops), berperan penting dalam peningkatan pendapatan petani dan kesejahteraan keluarga, serta penyediaan lapangan kerja, melalui kegiatan produksi dan konsumsi. Harapan petani adalah produksi dan produktivitas meningkat, tenaga kerja tidak menganggur, dan kesejahteraan keluarga akan meningkat. Peningkatan produksi dan pendapatan petani akan dialokasikan untuk pengeluaran, investasi, kredit pertanian, dan tabungan.

(44)

Perilaku ekonomi rumahtangga petani adalah rasional, baik dalam mengalokasikan sumberdaya rumahtangga untuk menghasilkan barang dan jasa, maupun dalam menggunakan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga. Alokasi sumberdaya dikelompokkan dalam keputusan produksi, sedangkan penggunaan barang dan jasa dikelompokkan dalam keputusan konsumsi. Keputusan produksi dan konsumsi yang rasional memerlukan informasi harga sumberdaya, barang dan jasa, secara tepat, yaitu untuk harga pasar yang dihasilkan dari struktur pasar persaingan sempurna, walaupun pasar yang dihadapi oleh rumahtangga petani di Indonesia pada umumnya adalah pasar persaingan tidak sempurna, karena adanya biaya transaksi, informasi pasar yang asimetrik, adanya kekuatan monopoli dan monopsoni, maupun kebijakan yang diintervensi pe merintah (Kus nadi, 2005).

Karakteristik pekerjaan di sektor pertanian tanaman pangan adalah lamanya masa menunggu hasil panen, sehingga memungkinkan petani memanfaatkan waktu luangnya untuk kegiatan di luar usahatani. Usahatani kedelai banyak menghadapi resiko kegagalan panen akibat serangan hama-penyakit dan gulma atau cuaca yang tidak bersahabat. Ditambah pula dengan ketidak-pastian harga produk karena berfluktuasi tajam. Dengan demikian rumahtangga petani memerlukan pekerjaan dan pendapatan tambahan untuk mengurangi resiko gagal panen atau merugi. Kendalanya terletak pada tingkat pendidikan petani, luas kepemilikan lahan, ketrampilan, dan akses dalam memilih jenis pekerjaan yang terbatas, apalagi kesempatan kerja di pedesaan terbatas.

Peningkatan jumlah angkatan kerja keluarga serta sempitnya lapangan kerja baru diberbagai sektor ekonomi, menyebabkan sektor pertanian tanaman pangan seperti usahatani kedelai, menjadi terbatas penyerapan tenaga kerja-nya. Penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian menurun dari 67% tahun 1971 menjadi 46% tahun 1994, sedangkan sektor manufaktur meningkat dua kali lipat pada periode yang sama, dan sektor jasa meningkat 75%. Perkembangan teknologi di luar sektor pertanian, menciptakan kesempatan kerja baru, baik di perkotaan maupun di pedesaan, termasuk sektor informal.

(45)

dalam berusaha. Pemberdayaannya perlu melibatkan pemerintah daerah dan swasta, seperti program pelayanan kesehatan, permodalan, informasi pasar, teknologi baru, perlindungan dari persaingan pasar yang tidak seimbang, serta eksploatasi pekerja.

Peningkatan produksi di tingkat petani, menjamin tercapainya ketersediaan pangan khususnya kedelai. Kemandirian dalam pemberdayaan masyarakat golongan bawah, membutuhkan perubahan struktural di berbagai aspek, sehingga produksi dan produktivitas serta pendapatan petani meningkat.

Dalam pengambilan keputusan, petani di pedesaan mengkombinasikan antara keputusan produksi, konsumsi, dan keputusan lainnya. Becker (1965) mengatakan bahwa rumahtangga petani tidak hanya sebagai produsen tetapi juga berfungsi sebagai konsumen, sehingga keputusan produksi dan konsumsi dilakukan sekaligus. Keputusan menghasilkan produksi yang tinggi akan berdampak pada pendapatan yang tinggi, dan ditentukan oleh faktor- faktor ketersediaan input dan harganya, lahan, modal, tenaga kerja, juga faktor musim dan ketrampilan petani. Keberhasilan produksi petani perlu diikuti oleh tersedianya pasar dengan harga yang layak bagi petani, transportasi yang memadai, dan lembaga keuangan pedesaan yang mampu mendorong akses pasar bagi petani. Kepuasan untuk mengkonsumsi pangan dan non-pangan ditentuka n oleh besarnya pendapatan yang diterima petani dan harga-harga yang be rlaku di pasar. Keputusan berinvestasi tergantung pada modal, pendidikan, kondisi pasar dan harga, termasuk investasi sumberdaya manusia (pendidikan dan kesehatan).

Rumahtangga petani sebagai penyedia tenaga kerja, juga berperan sebagai produsen dan konsumen, sehingga berpengaruh terhadap keputusan penggunaan tenaga kerja dan proses produksi pertanian. Pendapatan petani dari pertanian dan sumber lainnya, akan mempengaruhi tingkat dan pola konsumsi rumahtangga. Untuk meningkatkan kesejahteraan, rumahtangga petani memerlukan kegiatan investasi, modal kredit, dan tabungan. Oleh karena itu perlu dikaji faktor- faktor yang mempengaruhi arah dan besaran produksi, konsumsi, tenaga kerja, investasi, kredit pertanian, dan tabungan.

(46)

ekonomi dan moneter sangat dirasakan para petani, karena terjadi kenaikan harga barang konsumsi, apalagi dengan adanya kebijakan penghapusan subsidi pupuk, maka harga pupuk dan pestisida meningkat sekitar 250%, ditamba h imbas dari kenaikan nilai tukar Rupiah. Upah tenaga kerja dan luas lahan garapan petani, berpengaruh langsung pada perilaku ekonomi rumahtangga petani kedelai. Dengan demikian perlu dikaji faktor- faktor dominan yang berpengaruh terhadap perilaku ekonomi rumahtangga petani kedelai.

Di tingkat petani, produksi dan produktivitas rendah, perluasan areal panen lambat, serta penggunaan teknologi budidaya maju yang efektif dan efisien di berbagai agro-ekosistem masih rendah, sehingga mempengaruhi produksi kedelai, penerimaan usahatani kedelai, dan pendapatan rumahtangga petani kedelai.

Berdasarkan kenyataan diatas maka beberapa pertanyaan yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana karakteristik dan pola aktivitas ekonomi rumahtangga petani kede lai di Indonesia, khususnya kegiatan produksi dan konsumsi ?

2. Bagaimana keterkaitan berbagai aktivitas ekonomi rumahtangga petani kedelai, khususnya tenaga kerja, pendapatan rumahtangga, dan pengeluaran rumahtangga petani ?

3. Bagaimana pe ngaruh input teknologi dan teknologi baru terhadap produksi dan pendapatan rumahtangga petani kedelai ?

4. Bagaimana pengaruh kebijakan perubahan harga- harga terhadap peningkatan penerimaan usahatani kedelai dan pendapatan rumahtangga ?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah tersebut, tujuan penelitian ini adalah menganalisis perilaku rumahtangga petani kedelai di Indonesia, dan secara khusus:

1. Mengidentifikasi perilaku rumahtangga petani dan faktor- faktor dominan yang mempengaruhi pengambilan keputusan produksi dan pengeluaran rumahtangga petani.

(47)

produksi, tenaga kerja, pendapatan, konsumsi, investasi, tabungan, dan kredit pertanian.

3. Menganalisis pengaruh input teknologi produksi da n inovasi teknologi baru pada rumahtangga petani kedelai, dalam meningkatkan prod uks i kedelai dan pendapatan rumahtangga petani kedelai.

4. Menganalisis dampak kebijakan kenaikan harga terhadap produksi kedelai dan pendapatan rumahtangga petani kedelai.

Rumahtangga petani tidak hanya sebagai unit ekonomi yang mencari keuntungan, tetapi merupakan kompleksitas antara ciri rumahtangga dan ciri perusahaan, dimana kegiatan dan jenis komoditas yang diusahaka n lebih dari satu. Sehingga perlu metodologi khusus dalam proses pengumpulan dan pengolahan data, serta aplikasi atau uji teorinya. Analisis tentang kebijakan di bidang usahatani kedelai penting dilakukan oleh pembuat kebijakan dan pengambil keputusan, agar dapat dengan tepat sasaran dan target dalam mencari solusi bagi peningkatan produksi kedelai, sehingga dapat menghemat devisa negara dan menambah pendapatan rumahtangga. Penelitian ini sebagai bahan masukan bagi studi usahatani kedelai lanjutan dalammengaplikasikanmodel ekonomi rumahtangga.

1.4. Ruang Lingk up Penelitian

Perilaku ekonomi rumahtangga pada penelitian ini didefinisikan sebagai hubungan struktural antara peubah endogen dan peubah eksogen dalam ekonomi rumahtangga petani. Hubungan struktural dinyatakan dalam bentuk persamaan simultan. Rumahtangga petani dalam penelitian ini dinamakan rumahtangga petani kedelai, namun demikian komoditas yang diusahakan petani dalam periode satu tahun adalah beragam, termasuk padi/gabah, jagung, palawija, ternak, ikan, sayuran dan hortikultura. Status tanaman kedelai adalah sebagai tanaman sela setelah padi/gabah (secondary crops).

(48)

produksi dan inovasi teknologi baru (benih, pupuk, zat perangsang tumbuh dan rhizoplus), tenaga kerja, pendapatan, konsumsi,investasi, tabungan, da n kredit pertanian. Peuba h kebijaka n meliputi harga kede lai, harga gaba hKP, harga sarana produksi (benih, pupuk, pestisida), upah tenaga kerja kerja, dan ko mbinasi harga kedelai dengan harga sarana prod uksi, upa h tenaga kerja, da n harga gaba hKP. Harga palawija sepertijagung, singkong, ubi-jalar, dan kacang-tanah, tidak disimulasikan.

Kendala dan batasan yang perlu diperhatikan adalah: (1) produktivitas sebagai rasio produksi kedelai dengan luas areal panen kedelai dihitung manual;(2) tenaga kerja terdiri dari tenaga kerja dalam dan luar keluarga, sedangkan curah kerja adalah tenaga kerja dalam keluarga ditamba hcurah kerja usahatani milik orang lain; (3) upa h tenaga kerja adalah yang dibayarkan langsung kepada tenaga kerja per-hari pe r-orang kerja (HOK), sedangkan upah tenaga kerja dalam keluarga tidak diperhitungkan; (4) input teknologi produksi terdiri dari benih kedelai, pupuk (Urea, SP36/TSP, KCL/ZA), serta pestisida (obat, zat perangsang tumbuh, rhizoplus), sedangkan pupuk hijau/kandang sebagai peubah eksogen; (5) biaya usahatani kedelai meliputi biaya tenaga kerja dan biaya sarana produksi, sedangkan pendapatan usahatani kedelai merupaka n penerimaan usahatani kedelai dikurangi biaya usahatani kedelai; (6) pendapatan rumahtangga adalah pendapatan usahatani kedelai ditambah pendapatan usahatani non-kedelai dan pendapatan non-usahatani lain, sedangkan pendapatan disposable adalah pendapatan rumahtangga dikurangi pajak/iuran;(7) konsumsi rumahtangga terdiri dari konsumsi pangan tunai dan konsumsi non-pangan serta konsumsi lainnya; (8) kedelai jual sebagai surplus pasar merupakan selisih antara produksi kedelai dengan konsumsi kedelai (dalam kilogram); (9) investasi rumahtangga terdiri dari investasi sumberdaya dan investasi produksi pertanian, dimana investasi sumberdaya terdiri atas investasi pendidikan dan investasi kesehatan;dan (10)pengeluaran rumahtangga merupakan penjumlahan konsumsi rumahtangga dengan investasi rumahtangga.

(49)

serta tadah hujan, dapat diatasi dengan dummy irigasi. Kendala perbedaan gender

antara tenaga kerja laki- laki dan perempuan serta anak-anak, dapat diatasi dengan

(50)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penge rtian Rumahtangga P etani

Pada dasarnya arus pemikiran tentang rumahtangga petani adalah untuk menguji pengaruh faktor- faktor ekonomi, sosial, budaya, hukum, dan kondisi dalam rumahtangga dalam rangka pengambilan keputusan di tingkat rumahtangga.Bukti yang dikemukakan oleh Haddad et.al.(1994) adalah tentang kasus konsumsi kalori dan pengeluaran energi di Philipina.Rumahtangga sebagai suatu uni t ke luarga mempunyai anggota keluarga yang menyumbang pendapatan dan hidup secara bersama dalam satu atap rumah. Berarti, anggota keluarga melakukan fungsi produksi, konsumsi, dan kepemilikan, yang berhubungan antar anggota keluarganya, baik suami, istri, anak, dan anggota keluarga lain, dengan berbagai tingkatan umur, jenis kelamin, pendidikan, pengalaman dan keahlian serta peranan yang berbeda dalam keluarga. Hal ini dikemukakan oleh Schultz (1999) tentang peranan wanita dalam rumahtangga yang mempunyai posisi tawar tertent u.

Rumahtangga sebagai suatu organisasi ekonomi, mempunyai perilaku dan tujuan sesuai sumberdaya, aktivitas, dan kepuasan yang dimilikinya.Sumberdaya manusia dan sumberdaya fisik termasuk finansial, berusaha dimaksimumkan pendapatan dan kepuasannya agar diperoleh kesejahteraan yang maksimal, dengan kendala sumberdaya ekonomi, teknis, sosial budaya, dan hokum, termasuk budaya lokal yang spesifik dalam rumahtangga.

Alokasi sumberdaya dan pengambilan keputusan rumahtangga dipengaruhi oleh berbagai faktor tersebut. Perilaku ekonomi rumahtangga direpresentasikan dalam model pembuatan keputusan rumahtangga.Dalam model ekonomi pelaku tunggal, rumahtangga dianggap sebagai produsen atau konsumen saja, sedangkan dalam model ekonomi uniter atau unifikasi maka rumahtangga berperan ganda sebagai produsen maupun konsumen sekaligus, dengan fungsi utilitas tunggal, kemudian berkembang kearah model kolektif (Hendratno, 2006).

(51)

konsumen sekaligus, dan terdiri dari banyak anggota keluarga yang mempunyai preferensi berbeda, dimana rumahtangga sebagai sebuah organisasi ekonomi. Perilaku ekonomi rumahtangga uniter atau unifikasi dalam pengambilan keputusan rumahtangga dilakukan oleh kepala rumahtangga tunggal, yang dikenal sebagai model Becker (1979) tentang pendekatan ekonomi untuk perilaku manusia, dan menjadi model dasar untuk teori, bukti empiris, dan kebijakan, dalam model ekonomi rumahtangga pertanian (Singh et.al., 1986).

Model tersebut kemudian dimodifikasi oleh Iqbal (1986) dalam penawaran dan permintaan modal diantara rumahtangga pertanian di India, dengan memasukka n perilaku meminjam atau kredit pertanian, serta ditambahkan oleh Roe dan Tomasi (1986) mengenai resiko penghasilan dalam model dinamis rumahtangga pertanian. Untuk negara sedang berkembang, analisis konsumsi dan penawaran tenaga kerja dalam rumahtangga serta permintaan tenaga kerja upahan, dimodifikasi oleh Benjamin (1992) dalam kasus komposisi rumahtangga, pasar tenaga kerja, dan permintaan tenaga kerja, kemudian oleh Jacoby (1993) dalam kasus upah bayangan dan penawaran tenaga kerja keluarga petani, dan diaplikasikan dalam model ekonometrika kasus Peruvian-Sierra. Sedangkan untuk negara dengan perekonomian transisi dianalisis oleh Lopez (1986) dalam kasus model struktural rumahtangga pertanian dengan mengikuti utilitas indepe nde n da n keput usan maks imisasi profit, yang ke mudian oleh Huffman da n Lange (1989) ditambahkan aspek keputusan bekerja di luar pertanian bagi suami dan istri dalam pembuatan keputusan secara bersama.

(52)

et.al.(1997) ditambahkan tentang alokasi sumberdaya pada rumahtangga di negara sedang berkembang, sebagai model, metode dan kebijakan yang berdampak luas.Pokok bahasannya juga memasukkan analisis tentang komposisi gender dan umur petani.

2.2. Kajian Model Ekonomi Rumahtangga

Dalam hal pengambilan keputusan produksi, konsumsi, dan alokasi tenaga kerja, model ekonomi rumahtangga dapat dilakukan pembahasan secara simultan, dimana pembahasannya tidak dipisahkan atau non-separable, merupakan model non-rekursif, sebaliknya jika pembahasannya dapat dipisahkan atau separable, merupakan model rekursif. Dengan adanya asumsi pasar yang bersaing sebagai syarat kecuk upa n (sufficient) untuk semua output dan semua faktor produksi, dimana harga- harga ada lah eksogen, maka biaya transaks i ada lah nol, da n biaya imba ngan (opportunity cost) beberapa output atau faktor input adalah harga pasar itu sendiri, sehingga dapat digunakan model rekursif. Separabilitas berimplikasi pada pengambilan keputusan produksi dari rumahtangga yang tidak dipengaruhi oleh keputusan konsumsi, sementara itu keputusan konsumsi bergantung pada keputusan produksi.Keputusan produksi dengan memaksimumkan keuntungan ditentukan pada tahap pertama, sedangkan keputusan konsumsi dengan memaksimumkan utilitas dengan kendala produksi, pendapatan, dan waktu, dipecahkan pada tahap kedua.

Secara teoritis, model ekonomi rumahtangga pertanian mempunyai kekhususan pada hubungan antara keputusan prod uks i dan keputusan ko nsumsi. Secara empiris, analisis hubungan antara produksi dan konsumsi dilakukan secara simultan menggunakan teori ekonomika dengan model ekonometrika serta uji statistika. Rumahtangga pertanian diperlakukan sebagai perusahaan, yaitu bertujuan memaksimumkan keuntungan. Analisis Kusnadi (2005), membedakan antara pengertian model rekursif dan model non-rekursif, serta model separable

(53)

persaingan tidak sempurna. Kebanyakan model penelitian ekonomi rumahtangga pertanian, kajiannya menggunakan persamaan tunggal dengan segala kesederhanaannya, sehingga perlu metode pendugaan yang lebih kompleks untuk memecahka n hubunga n antar pe uba h yang semakin ko mpleks.

Awal penelitian ekonomi rumahtangga adalah pada pendapat Becker (1965) tentang teori alokasi waktu, dan pendapat Becker (1979) tentang pendekatan ekonomi perilaku manusia.Becker (1994) juga membuat pendekatan linear programming untuk teori keseimbangan subyektif pada pertanian masyarakat tradisional di Mali. Teori Becker (1965) kemudian dikembangkan oleh Gronau (1980) tentang waktu santai, produksi rumahtangga, dan waktu bekerja, sebagai sebuah teori alokasi waktu, dimana dipelajari alokasi waktu rumahtangga (wanita) yang dipengaruhi oleh umur, pendidikan, dan upah (laki- laki), karakter anak, dan karakter rumahtangga lain. Strauss (1984) meneliti surplus pasar komoditas pangan pada rumahtangga pertanian di Siera Leone – Afrika, yang merupakan bagian produk atau tenaga kerja yang dijual kepasar setelah dikurangi konsumsi rumahtangga. Elastisitasnya positif terhadap harga sendiri, dimana karakteristik rumahtangga dan pilihan terhadap teknologi produksi menyebabkan perbedaan surplus pasar, yang merupakan ciri khas perilaku rasional rumahtangga. Strauss (1986) membuat pendekatan umum model ekonomi rumahtangga secara teoritis dan komparatif statis. Strauss (1986) juga mencoba mengestimasi determinan dari konsumsi pangan dan ketersediaan kalori di pedesaan Sierra-Leone.

Model Gronau (1980) dan Strauss (1984) menempatkan peubah harga atau upa h seba gai pe ubah kebijaka n (eksogen), de ngan asumsi subs titusi yang sempurna dalam alokasi waktu. Analisis komparatif statisnya bersifat rekursif atau

(54)

Penelitian lebih ko mpleks dilakukan oleh Sawit (1993), dengan membangun model ekonomi rumahtangga petani padi dan palawija di pedesaan Jawa Barat, dengan penekanan pada model multi- input dan multi-output, sehingga merupakan model rekursif yang terpisah. Sisi produksi didekati dengan fungsi keuntungan, sisi konsumsi didekati dengan AIDS (Almost Ideal Demand System) menggunakan model SUR (Seemingly Unrelated Regression). Sawit (1993) membandingkan perilaku ekonomi rumahtangga dengan pendekatan konvensional, dimana sisi produksi dan sisi konsumsi dianalisis terpisah. Perbedaan besaran dan tanda pada parameter dugaannya menghasilkan implikasi kebijakan yang berbeda. Sawit dan O’Brien (1991) sebelumnya melakukan aplikasi teori ekonomi rumahtangga pertanian untuk menganalisis pendapatan dan kesempatan kerja di pedesaan Jawa.

Penggunaan model persamaan simultan pada penelitian ekonomi rumahtangga, memungkinkan adanya keterkaitan berbagai perilaku ekonomi rumahtangga, yaitu dengan menganalisis dampak perubahan secara makro terhadap perilaku ekonomi rumahtangga di tingkat mikro melalui simulasi kebijaka n. Hanya saja, pe uba h harga ba ik harga inp ut maupun harga output diperlakukan seba gai pe uba h eksogen. Sisi prod uks i dan sisi ko nsumsi masih terpisah (separable), sehingga termasuk dalam model rekursif. Peubah eksogen sebagai peubah kebijakannya adalah dengan kenaikan harga gabah/padi, harga pupuk, upa h tenaga kerja, da n harga input usahatani.

Model ekonomi rumahtangga non-rekursif mencoba memasukkan peubah harga input menjadi pe uba h endo gen, dimana harga input tidak diukur dengan harga pasar sebagai peubah eksogen, tetapi menggunakan harga implisit seperti nilai produk marjinal atau harga bayangan. Penelitian ini antara lain dilakukan oleh Kusnadi (2005) tentang perilaku ekonomi rumahtangga petani dalam pasar persaingan tidak sempurna di Indonesia.

(55)

diaplikasikan di Pantai Gading. Penelitian Skoufias (1994) tentang penggunaan upah tenaga kerja bayangan, adalah untuk mengestimasi penawaran tenaga kerja rumahtangga pertanian, dengan mengukur utilitas tenaga kerja musiman dalam pertanian untuk pembuktian teoritis tentang ekonomi rumahtangga agraris di India (Skoufias, 1993). Penelitian Lopez (1986) tentang model struktural ekonomi rumahtangga pertanian adalah dengan mengikuti pengambilan keputusan tentang inter-dependensi utilitas maksimisasi profit.

Sonoda dan Maruyama (1999) menyatakan adanya kendala upah tenaga kerja, dimana upah yang dibayarkan lebih rendah dari upah yang diminta tenaga kerja keluarga, sehingga jumlah tenaga kerja yang ditawarkan lebih kecil dari yang seharusnya. Hasilnya, respon penawaran padi terhadap harga sendiri secara total negatif, sedangkan efek langsungnya positif dan efek tidak langsungnya negatif.

Sadoulet et.al. (1994) menganalisis biaya transaksi untuk tenaga kerja dengan perbedaan upah yang diterima dan upah yang dibayarkan, sehingga tenaga kerja dikelompokkan berdasarkan pasar tenaga kerja, yaitu rumahtangga pertanian yang menjual tenaga kerja, yang menyewa tenaga kerja, dan yang swasembada tenaga kerja. Model yang digunakan adalah non-rekursif, dimana opportunity-cost tenaga kerja keluarga diukur dengan tingkat upah internal. Perilaku rumahtangga pertanian di Meksiko, ternyata mengalokasikan tenaga kerjanya berdasarkan posisi asset usahataninya, keterampilan tenaga kerja, dan komoditas atau teknologi produksi yang digunakan.

(56)

non-separabledengan pendekatan dualitas, adalah dengan membuat spesifikasi model rumahtangga pertanian dengan restriksi peubah kredit pertanian, resiko, dan model dinamis, seperti kasus Kanada (Coyle, 1994).

Jadi model ekonomi rumahtangga non-rekursif diperlukan bila tidak ada tenaga kerja keluarga yang bekerja di luar usahatani, sehingga penggunaan tenaga kerja keluarga tidak terkait langsung dengan tingkat upah tenaga kerja yang berlaku di pasar, dan harga pasar tidak diperlakukan sebagai peubah eksogen (kebijakan). Pada model rekursif atau separable, tenaga kerja dalam dan luar ke luarga ada lah homogen da n dapat bersubstitusi secara sempurna, dimana da lam persamaan tunggal maka perilaku rumahtangga dapat diturunkan dari model ekonomi rumahtangga pertanian, seperti gagasan Singh et.al. (1986). Model yang sama dianalisis oleh Strauss (1986) dalam teori komparatif statis model rumahtangga pertanian, yaitu dengan mengestimasi determinan dari konsumsi pangan dan ketersediaan kalori di pedesaan Sierra-Leone. Strauss (1986) juga menganalisis surplus pasar untuk rumahtangga pertanian. Kompleksitas permasalahan membuat analisis simulasi mode l dalam persamaan simultan menjadi pilihan dalam mode l ekonomi rumahtangga pertanian, seperti dalam penelitian ini.

2.3. Penerapan Model Ekonomi Rumahtangga

Dalam sistem usahatani maka produksi, pendapatan dan konsumsi hanya merupakan salah satu bagian dari suatu sistem yang kompleks. Produksi dapat ditentukan oleh faktor internal, eksternal, dan lingk ungan alami. Faktor internal terdiri dari ketersediaan sumberdaya lahan, tenaga kerja, dan modal. Faktor eksternal berupa struktur masyarakat, kelembagaan (pasar, kredit, penyuluhan), dan sarana / prasarana (irigasi, transportasi). Faktor alami adalah lingk ungan fisik (lahan, ketinggian, radiasi, curah hujan, topografi), dan lingkungan biologi (varietas, hama-penyakit, gulma). Semua faktor tersebut menghasilkan output berupa produksi dan pendapatan, yang hasilnya dikonsumsi masyarakat luas di pasar bebas. Faktor- faktor ini akan berpengaruh pada produksi dan konsumsi.

(57)

produksi dan konsumsi yang berhubungan dengan alokasi waktu dan pendapatan, dan dianalisis dengan model persamaan simultan. Peubah penting dalam ekonomi rumahtangga seperti input teknologi produksi usahatani, harga input, harga output, dan konsumsi barang, jasa dan waktu, dapat diformulasikan dalam sistem persamaan simultan, seperti gagasan Bagi dan Singh (1974) dalam model ekonomi mikro untuk pengambilan keputusan pertanian di negara berkembang, dengan pendekatan persamaan simultan.

Model ekonomi rumahtangga digagas pertama kali oleh Becker (1965) dalam teori alokasi waktu, dengan menyatakan bahwa ada dua proses dalam perilaku rumahtangga, yaitu proses produksi yang digambarkan oleh fungsi produksi, dan proses konsumsi untuk memiliki barang dan waktu santai yang dikonsumsi. Becker (1979) melakukan pendekatan ekonomi untuk mengembangkan teorinya tentang perilaku manusia. Rumahtangga dipandang sebagai pengambil keputusan dalam aktivitas produksi dan konsumsi, serta berhubungan dengan alokasi waktu dan pendapatan rumahtangga, dan dianalisis secara simultan. Asumsi yang digunakan adalah, dalam mengkonsumsi maka kepuasan rumahtangga bukan hanya dari barang dan jasa yang diperoleh di pasar, tetapi juga dari berbagai komoditas yang dihasilkan rumahtangga. Beberapa asumsi- nya antara lain: (1) waktu da n barang atau jasa merupakan uns ur kepuasan, (2) waktu dan barang atau jasa dapat dipakai sebagai input dalam fungsi produksi rumahtangga, dan (3) rumahtangga bertindak sebagai produsen dan sebagai konsumen.

Kemudian Bagi dan Singh (1974) merumuskannya dalam model ekonomi mikro tentang pengambilan keput usan di negara sedang berkembang dengan pendekatan persamaan simultan. Bentuk pengambilan keputusan oleh rumahtangga petani, terbagi atas keputusan produksi, konsumsi, marketed-surplus, penggunaan tenaga kerja dalam dan luar keluarga, investasi, dan finansial. Teori Bagi dan Singh (1974) kemudian diuji secara empiris oleh Evenson (1978) dalam ekonomi rumahtangga baru atau New Household Economics.

(58)

mencoba membuat model dasar secara teoritis, kemudian menguji hasilnya secara empiris, dan mengaplikasikannya, dan keluar dengan seperangkat kebijakan. Teori perilaku rumahtangga yang berkembang adalah berhubungan dengan kegiatan produksi dan konsumsi yang tidak terpisahkan di antara keduanya. Singh dan Subramanian (1986) kemudian menganalisis model ekonomi rumahtangga pertanian untuk lingkungan tanaman tumpangsari di Korea dan Nigeria.

Dalam teori Farm-Household, Barnum dan Squire (1978) mengaplikasikan teorinya menggunakan analisis ekonometrika, sedangkan Bagi dan Singh (1974) menggunakan pendekatan persamaan simultan, dan membuat model ekonomi mikro tentang Farm-Decisions di negara sedang berkembang, melalui pengambilan keputusan produksi, konsumsi, pemasaran, tenaga kerja dalam dan luar keluarga, investasi, dan finansial (kredit), serta surplus pasar. Model analisis simultannya dengan mengasumsikan rumahtangga petani akan memaksimumkan utilitas dengan kendala produksi, pendapatan, dan waktu.

Yotopoulos dan Lau (1974) dalam membuat model di sektor pertanian negara sedang berkembang, mencoba mengintegrasikan antara pendekatan ekonomi mikro dan makro, dengan menganalisis sisi produksi dan sisi konsumsi menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas, dengan asumsi: (1) rumahtangga sebagai konsumen akan memaksimumkan kepuasannya, yang merupakan fungsi waktu santai dan konsumsi komoditas lain dengan kendala sumberdaya, (2) rumahtangga sebagai produsen akan memaksimumkan keuntungan dengan kendala teknologi, sumberdaya, dan harga sarana produksi, (3) tenaga kerja dalam dan luar keluarga bersubstitusi sempurna, dan (4) rumahtangga berpartisipasi dalam pasar tenaga kerja.

Pendekatan Yotopoulos dan Lau (1974) mirip dengan pendekatan Singh

et.al. (1986), yaitu dengan menekankan pada keseimbangan produksi dan konsumsi sektor pertanian, dimana peubah yang diamati adalah tenaga kerja, modal, areal tanam, upah tenaga kerja, dan harga. Keputusan produksi, konsumsi, surplus pasar, tenaga kerja, upa h, investasi, da n finansial, saling terkait dan terjadi di negara sedang berkembang.

Gambar

Gambar 1. Tahapan Skala Produksi
Gambar 2.  Pengaruh Perubahan Tingkat Upah dan Pendapatan terhadap Alokasi
Gambar 3. Keterkaitan
Tabel 2.  Luas Areal Panen, Produksi, dan Produktivitas Kedelai di
+7

Referensi

Dokumen terkait

biaya langsung dan tidak langsung dari produk jasa pelatihan SDM yang dilakukan Pumping Learning Center, menganalisis objek biaya pada produksi sebuah training yang dilakukan

Adapun solusi yang dilakukan dari refleksi pada siklus dua adalah dengan memperbanyak tugas mahasiswa baik di rumah atau saat pembelajaran dengan menggunakan media

Tempat ini akan menjadi tempat pendidikan bagi anak-anak jalanan, dimana mereka akan mendapatkan pendidikan ilmu pengetahuan, agama dan juga pengembangan

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut Majelis Hakim sepakat menilai rumah tangga Pemohon dan Termohon dalam keadaan telah pecah, terbukti

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis merumuskan permasalahannya adalah bagaimana membuat Modul / Control Unit sistim bahan bakar EFI ( Elektronic Fuel

Hasil penelitian diperoleh hasil Hubungan antara usia ibu bersalin dengan kejadian plasenta previa (p-value = 0,026), hubungan antara paritas ibu bersalin dengan

[r]