• Tidak ada hasil yang ditemukan

Induction of sprouting on bulbs of Polianthes tuberosa L. by curing and application of plant growth regulators

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Induction of sprouting on bulbs of Polianthes tuberosa L. by curing and application of plant growth regulators"

Copied!
160
0
0

Teks penuh

(1)

INDUKSI PERTUNASAN

PADA UMBI TANAMAN SEDAP MALAM

(

Polianthes tuberosa

L.) DENGAN PENGASAPAN

DAN APLIKASI ZAT PENGATUR TUMBUH

EMI SUGIARTINI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir Induksi Pertunasan pada Umbi Tanaman Sedap Malam (Polianthes tuberosa L.) dengan Pengasapan dan Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tugas akhir ini.

Bogor, Januari 2012

Emi Sugiartini

(3)

EMI SUGIARTINI. Induction of sprouting on bulbs of Polianthes tuberosa L.

by curing and application of plant growth regulators. Under direction of ENDAH RETNO PALUPI and ENY WIDAJATI.

Increasing flower production of Polianthes is hindered by limited supply of bulb. Newly harvested bulb shows after ripening phenomenon, in which new bulbs are not readily sprouting. Farmers usually air or sun-dried the bulbs followed by curing above the kitchen stove for 1-3 months to induce sprouting. It is therefore necessary to accelerate sprouting. The purpose of this research was to study if bulbs of different sizes will sprout at the same time and if sprouting could be accelerated. The research was conducted at the Laboratory of Seed Science and Technology, Department of Agronomy and Horticulture, IPB Darmaga during November 2010 - February 2011. The research consisted of two experiments. In the first experiment bulbs were grouped into small (0.5 < Ø < 1.5 cm), medium (1.5 < Ø < 2.5 cm) and large ( Ø > 2.5 cm) sizes and subjected to air-drying or curing for six days. Each treatment was replicated four times with 20 bulbs for each experimental unit. In the second experiment sprouting was induced using BAP, GA3 or cured as three different set of experiments. The concentrations of

BAP were 0, 100, 200, 300 ppm, whereas GA3 were 0, 50, 100, 150, and 200

ppm. Curing was carried out for 0, 2, 4, 6 days. The result showed that larger bulb produced higher number of sidebulb, so did curing as opposed to air-drying. The large bulb produced higher percentage of sprouting bulb than medium and small bulb. The larger the bulb the earlier they sprout. Result from the second experiment showed that the higher concentration of BAP give higher number of sidebulbs and earlier sprouting. Bulbs treated with BAP at 300 ppm uniformly sprouted within one week after treatment. However, it was not significantly different from BAP at 200 ppm. Use of GA3 up 100 ppm affected number of

sidebulb and shoot length but did not affect percentage of sprouting bulbs. Use of curing did not affect number of sidebulb, shoot length as well as percentage of sprouting bulbs.

(4)

EMI SUGIARTINI. Induksi Pertunasan pada Umbi Tanaman Sedap Malam (Polianthes tuberosa L.) dengan Pengasapan dan Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh. Di bawah bimbingan ENDAH RETNO PALUPI dan ENY WIDAJATI.

Permintaan bunga potong sedap malam di dalam negeri pada umumnya meningkat pada saat hari-hari besar, baik dari konsumen individu maupun permintaaan hotel dan pusat keramaian. Perkembangan pasar bunga sedap malam belum sebesar komoditas tanaman hias yang lain, akan tetapi sedap malam banyak ditanam di daerah sentra produksi bunga potong, antara lain di Brastagi,

Sukabumi, Cianjur, Tasikmalaya, Bandungan, Malang dan Pasuruan. Tanaman

sedap malam telah diusahakan oleh petani di 29 propinsi di Indonesia. Pada tahun 2007 luas panen tanaman sedap malam sekitar 61.4 ha, dengan produksi 21.687.493 tangkai. Pada tahun 2008, luas panen sedikit meningkat menjadi sekitar 69.9 ha dengan produksi 25.598.314 tangkai. Tahun 2009 terjadi peningkatan luas panen menjadi 81.57 ha dengan produksi meningkat hampir 100 persen, yaitu menjadi 51.047.807 tangkai. Peningkatan produksi ini karena terjadi peningkatan produktivitas, pada tahun 2008 produktivitasnya sebesar 6.30

tangkai/m2, pada tahun 2009 meningkat menjadi 20.62 tangkai/m2.

Tanaman sedap malam umumnya diperbanyak dengan umbi. Umbi sedap malam dengan kualitas tinggi, dapat diperoleh dari tanaman yang telah berumur 2 tahun. Umbi yang baru dipanen umumnya tidak langsung ditanam oleh petani, tetapi diberi perlakukan pengasapan sampai 1- 3 bulan. Pengasapan bertujuan untuk memperoleh umbi yang siap untuk ditanam, untuk mempercepat serta menyerempakkan pertunasan pada umbi sedap malam. Oleh karena itu diperlukan teknologi untuk lebih mempercepat dan menyerempakkan pertunasan pada umbi sedap malam.

Tujuan pertama dari penelitian ini adalah, untuk mempelajari pengaruh ukuran umbi terhadap kecepatan, keserempakan dan jumlah tunas pada umbi tanaman sedap malam. Tujuan yang kedua adalah mempelajari pengaruh perlakuan induksi pertunasan terhadap kecepatan, keserempakan dan jumlah tunas pada umbi tanaman sedap malam.

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Benih, Departemen Agronomi dan Hortikultura, IPB Darmaga pada bulan November 2010 sampai Februari 2011. Penelitian ini dilaksanakan melalui dua tahap percobaan.

Percobaan 1. Pengaruh ukuran umbi dan teknik induksi terhadap kecepatan, keserempakan dan jumlah tunas pada umbi sedap malam. Umbi sedap malam varietas Dian Arum yang digunakan berasal dari tanaman yang berumur 26 bulan dari daerah Cianjur. Percobaan ini dilaksanakan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan dua faktor. Faktor pertama adalah ukuran umbi, yang terdiri atas umbi kecil (0.5 < Ø < 1.5 cm), umbi sedang (1.5 < Ø < 2.5 cm) dan umbi besar (Ø > 2.5 cm). Faktor ke dua adalah teknik induksi, yaitu dengan kering angin dan pengasapan selama 6 hari. Setiap perlakuan diulang empat kali, masing-masing satuan percobaan terdiri atas 20 umbi.

(5)

induksi pertunasan, yaitu menggunakan BAP, GA3 dan pengasapan, yang

masing-masing merupakan percobaan terpisah. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap satu faktor. Perlakuan BAP terdiri atas empat konsentrasi yaitu 0, 100, 200 dan 300 ppm. Perlakuan GA3 terdiri atas lima

konsentrasi yaitu 0, 50,100, 150 dan 200 ppm. Perlakuan pengasapan dilakukan dengan empat lama pengasapan yaitu 0, 2, 4 dan 6 hari. Masing-masing percobaan ini diulang empat kali, dengan masing-masing satuan percobaan terdiri atas 15 umbi. Peubah yang diamati adalah jumlah tunas samping, panjang tunas samping, persentase umbi bertunas samping dan panjang tunas utama.

Hasil uji F pada percobaan pertama menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi antara teknik induksi dengan ukuran umbi terhadap jumlah tunas samping. Ukuran umbi lebih kuat pengaruhnya terhadap jumlah tunas samping mulai pada 2 - 10 MSP. Teknik induksi mulai terlihat pengaruhnya pada 9 dan 10 MSP. Pengaruh interaksi antara teknik induksi dengan ukuran umbi nyata pada parameter panjang tunas samping, persentase umbi bertunas samping dan panjang tunas utama. Semakin besar ukuran umbi, semakin meningkat jumlah tunas samping, panjang tunas samping maupun persentase umbi bertunas samping. Pada umbi berukuran besar, umbi bertunas 50% dicapai pada 3 MSP, lebih cepat dibandingkan umbi ukuran kecil. Untuk meningkatkan keserempakan umbi bertunas samping, pada umbi ukuran besar maupun umbi ukuran kecil dapat dilakukan dengan pengasapan maupun kering-angin, sedangkan untuk umbi ukuran sedang, lebih baik digunakan pengasapan.

Hasil penelitian pada percobaan ke dua, menunjukkan bahwa pemberian

BAP maupun GA3 memberikan respon yang bervariasi terhadap beberapa peubah

yang diamati. BAP memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah tunas samping dan persentase umbi bertunas samping. Perlakuan beberapa konsentrasi GA3

memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah tunas samping, panjang tunas samping dan panjang tunas utama, sedangkan lama pengasapan tidak memberikan pengaruh nyata pada semua peubah yang diamati. Penggunaan BAP efektif meningkatkan jumlah tunas samping maupun persentase umbi bertunas samping. Konsentrasi BAP 300 ppm, menghasilkan jumlah tunas samping 6.8 tunas/umbi, dengan panjang tunas samping 3.5 mm dan keserempakan umbi bertunas telah diperoleh 100% pada 1 MSP lebih tinggi dari konsentrasi 100 ppm, yang menghasilkan jumlah tunas samping 3 tunas/umbi dan panjang tunas samping 2.2

mm serta keserempakan bertunas 71.7% pada 1 MSP. Konsentrasi 100 ppm GA3,

menghasilkan jumlah tunas samping 2.6 tunas/umbi lebih banyak, tunas samping sepanjang 4.2 mm diperoleh pada 1 MSP, keserempakan bertunas 50% diperoleh antara minggu 3 - 4 lebih cepat dibanding pada pemberian konsentrasi 150, 50 ppm maupun kontrol. Lama pengasapan 4 dan 6 hari cenderung meningkatkan panjang dan persentase umbi bertunas samping. Lama pengasapan 6 hari mempercepat keserempakan bertunas 50% pada 5 MSP, jika dibandingkan dengan

lama pengasapan 2 dan 4 hari maupun kontrol (7 – 8 MSP). Lama pengasapan 0,

2, 4 hari, lebih memacu pemanjangan tunas utama.

(6)
(7)

@ Hak cipta milik IPB, Tahun 2012

Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruhnya karya tulis ini tanpa

mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi Institut

Pertanian Bogor.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh hasil karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

(8)

(

Polianthes tuberosa

L.) DENGAN PENGASAPAN

DAN APLIKASI ZAT PENGATUR TUMBUH

EMI SUGIARTINI

Tugas Akhir

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada

Program Studi Magister Profesional Perbenihan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)
(10)

Nama : Emi Sugiartini

NRP : A254090175

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Endah Retno Palupi, M.Sc Ketua

Dr. Ir. Eny Widajati, M.S. Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Magister Profesional Perbenihan

Prof. Dr. Ir. Satriyas Ilyas, M.S.

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(11)

Syukur Alhamdulillah, kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Tugas

Akhir dengan judul “Induksi Pertunasan pada Umbi Tanaman Sedap Malam

(Polianthes tuberosa L.) denganPengasapan dan Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh”. Penulisan tugas akhir ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada Program Magister Profesional Perbenihan, Sekolah Pascasarjana IPB.

Ucapan terimakasih dan penghargaan yang setinggi tingginya penulis sampaikan kepada:

1. Dr. Ir. Endah Retno Palupi, M.Sc sebagai ketua komisi pembimbing dan Dr.

Ir. Eny Widajati, M.S sebagai anggota komisi pembimbing, yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam penulisan tugas akhir.

2. Badan Litbang Pertanian yang telah memberikan beasiswa Studi Pascasarjana

dan Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jakarta, yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti pendidikan di Pascasarjana IPB.

3. Rektor IPB dan Pimpinan Sekolah Pasacasarjana IPB, Dekan Fakultas

Pertanian IPB, Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura dan Ketua Program dan Pendidikan yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Studi Program Magister Profesional Perbenihan di IPB. 4. Bapak dan Ibu Dosen pengajar yang telah memberikan ilmu dengan iklas

mudah-mudahan bermanfaat untuk menambah bekal ilmu yang dapat kami terapkan di lingkungan kerja selanjutnya.

5. Teman-teman seangkatan Magister Professional Perbenihan tahun 2009 yang

telah banyak membantu, memotivasi dan memberikan dorongan untuk selalu semangat.

6. Staf dan karyawan Laboratorium Benih - Leuwikopo IPB.

7. Keluarga tercinta, suamiku Hasto Subagio, anak-anakku Ananda Fitri

Karimah, Adinda Lutfiyah Nabila dan si kecil Adelia Putri Salsabila, yang tetap setia dan sabar mendampingi penulis. Juga adikku Erna Wibawati, Endro Sugiantoro, serta kakak-kakakku yang dengan iklas telah banyak memberikan dukungan moril maupun materiil, semoga Allah SWT membalas kebaikan kalian semua.

8. Adik-adik alumni Mahasiswi IPB, mbak Ika, mbak Nazla, mbak Tiwi, mbak

Popy, Nida di Wisma Nuradi - Babakan Doneng, Darmaga - Bogor, yang banyak memberi dukungan dan semangat.

9. Semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat kami sebutkan satu per

satu, semoga Allah SWT memberikan balasan yang setimpal.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2012

(12)

Penulis dilahirkan di Lawang - Malang, Jawa Timur, pada tanggal 25 April 1967, dari Bapak Soewarso (Alm) dan Ibu Soertina (Almh). Penulis anak ke lima dari tujuh bersaudara.

Penulis menamatkan SMP dan SMA di Lawang. Pada tahun 1990, penulis menamatkan S1, di Fakultas Pertanian Jurusan Agronomi pada Universitas

Pembangunan Nasional “Veteran” Surabaya. Penulis mulai bekerja pada bulan Juli 1991 disalah satu perusahaan perkebunan swasta di Batu - Malang. Pada tahun 1994 penulis mengikuti ujian dan diterima sebagai PNS di Sub Balihorti - Malang (sekarang BPTP - Jawa Timur). Tahun 2000 sampai dengan sekarang penulis bertugas di BPTP - DKI Jakarta.

Pada tahun 2009, penulis mendapatkan kesempatan beasiswa dari Badan Litbang Pertanian untuk mengikuti pendidikan Pascasarjana S2 pada Program Studi Magister Profesional Perbenihan, Sekolah Pascasarjana IPB.

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang... .. 1

Tujuan Penelitian ... 3

Hipotesis Penelitian……… 3

TINJAUAN PUSTAKA ... 5

Tanaman Sedap Malam ... 5

Budidaya Tanaman Sedap Malam………. ... 6

Perbanyakan Tanaman Sedap Malam ... 8

Zat Pengatur Tumbuh ... 10

METODOLOGI PENELITIAN ... 13

Waktu dan Tempat Penelitian ... 13

Bahan Penelitian ... 13

Metode Penelitian ... 13

Percobaan 1 ... 13

Percobaan 2 ... 15

Pelaksanaan Penelitian dan Pengamatan ... 17

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 19

Kondisi Umum ... 19

Percobaan 1. Pengaruh Ukuran Umbi dan Teknik Induksi terhadap Kecepatan, Keserempakan dan Jumlah Tunas pada Umbi Tanaman Sedap Malam... 20

Percobaan 2. Pengaruh Teknik Induksi dan Taraf Perlakuan terhadap Kecepatan, Keserempakan dan Jumlah Tunas pada Umbi Tanaman Sedap Malam... 29

KESIMPULAN DAN SARAN ... 39

DAFTAR PUSTAKA ... 41

(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1 Rekapitulasi analisis ragam pengaruh teknik induksi dan ukuran

umbi terhadap jumlah tunas samping, panjang tunas samping,

persentase umbi bertunas samping, panjang tunas utama…...

2 Pengaruh ukuran umbi dan teknik induksi terhadap jumlah

tunas samping (tunas/umbi) pada 0 – 10 MSP .………...

3 Pengaruh interaksi teknik induksi dan ukuran umbi sedap

malam terhadap panjang tunas samping (mm) yang diamati

pada 0 - 10 MSP………..………

4 Pengaruh ukuran umbi dan teknik induksi terhadap persentase

umbi bertunas samping (%) pada 0 – 10 MSP……….

5 Pengaruh interaksi ukuran umbi dan teknik induksi terhadap

persentase umbi bertunas samping (%) pada 2, 3, 5, 6 & 8

MSP………..

6 Pengaruh interaksi ukuran umbi dan teknik induksi terhadap

panjang tunas utama (%) pada 0 – 10 MSP……….

7 Rekapitulasi hasil analisis ragam pengaruh konsentrasi BAP,

GA3 dan lama pengasapan terhadap jumlah tunas samping,

panjang tunas samping, persentase umbi bertunas samping dan

panjang tunas utama………..………

8 Pengaruh konsentrasi BAP terhadap jumlah tunas samping

(tunas/umbi), panjang tunas samping (mm), persentase umbi bertunas samping (%) dan panjang tunas utama (mm) pada 0 - 10 MSP……….

9 Pengaruh konsentrasi GA3 terhadap jumlah tunas samping

(tunas/umbi), panjang tunas samping (mm), persentase umbi bertunas samping (%) dan panjang tunas utama (mm) pada 0 - 10 MSP……….………

10 Pengaruh lama pengasapan terhadap jumlah tunas samping

(tunas/umbi), panjang tunas samping (mm), persentase umbi bertunas samping (%) dan panjang tunas utama (mm) pada 0 - 10 MSP………...……….

22

23 21

25

26

27

29

32

34

(15)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1 Umbi sedap malam pada saat dikering-anginkan dan diasap……..

2 Umbi sedap malam yang terserang kutu putih pada 6 MSP..……

3 Umbi sedap malam ukuran sedang dengan BAP konsentrasi 0,

100, 200 dan 300 ppm pada 2 MSP.………..

14

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1 Diskripsi tanaman sedap malam var. Dian Arum………..…………

2 Analisis ragam pengaruh tehnik induksi dan ukuran umbi

terhadap jumlah tunas samping pada 1 - 10 MSP…………...

3 Analisis ragam pengaruh tehnik induksi dan ukuran umbi terhadap

panjang tunas samping pada 1 - 10 MSP…..…….……….

4 Analisis ragam pengaruh tehnik induksi dan ukuran umbi terhadap

persentase umbi tunas samping pada 1 - 10 MSP…………..……..

5 Analisis ragam pengaruh tehnik induksi dan ukuran umbi terhadap

panjang tunas utama pada 1 - 10 MSP……….………

6 Analisis ragam pengaruh konsentrasi BAP terhadap jumlah tunas

samping pada 1 - 10 MSP…………..……..……….………

7 Analisis ragam pengaruh konsentrasi BAP terhadap panjang tunas

samping pada 1 - 10 MSP……….………...………

8 Analisis ragam pengaruh konsentrasi BAP terhadap persentase

umbi bertunas samping pada 1 - 10 MSP……..………..….

9 Analisis ragam pengaruh konsentrasi BAP terhadap panjang tunas

utama pada 1 - 10 MSP……..………..….………

10 Analisis ragam pengaruh konsentrasi GA3 terhadap jumlah tunas

samping pada 1 - 10 MSP…………....………..…

11 Analisis ragam pengaruh konsentrasi GA3 terhadap panjang tunas

samping pada 1 - 10 MSP……..….………..………

12 Analisis ragam pengaruh konsentrasi GA3 terhadap persentase

umbi bertunas samping pada 1 – 10 MSP...……….

13 Analisis ragam pengaruh konsentrasi GA3 terhadap panjang tunas

utama pada 1 - 10 MSP………..………..……….…

14 Analisis ragam pengaruh lama pengasapan terhadap jumlah tunas

samping pada 1 - 10 MSP……….….………..

45

46

48

50

52

53

54

55

57

58

60

61

63

(17)

15 Analisis ragam pengaruh lama pengasapan terhadap panjang tunas

samping pada 1 - 10 MSP……….………..

16 Analisis ragam pengaruh lama pengasapan terhadap persentase

umbi bertunas samping pada 1 - 10 MSP……..………..

17 Analisis ragam pengaruh lama pengasapan terhadap panjang tunas

utama pada 1 - 10 MSP…….……….……….

65

67

(18)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tanaman hias bunga potong merupakan salah satu jenis komoditas agribisnis yang mempunyai masa depan yang cerah bagi perkembangan pertanian di masa mendatang. Salah satu tanaman hias bunga potong yang potensial

dikembangkan oleh petani adalah tanaman bunga sedap malam (Polianthes

tuberosa L). Bunga sedap malam banyak diminati oleh masyarakat, selain karena aromanya yang harum dan memberikan ketenangan, bunga sedap malam juga mempunyai struktur bunga yang menarik dan mempunyai kesegaran yang lebih lama.

(19)

tangkai/m2, sedangkan pada tahun 2009 meningkat menjadi 20.62 tangkai/m2 [KEMENTAN 2010].

Tanaman sedap malam umumnya diperbanyak dengan umbi. Umbi sedap malam dengan kualitas tinggi, dapat diperoleh dari tanaman yang telah berumur 2

tahun (Nagar 1995). Sampai saat ini ketersediaan umbi sedap malam seluruhnya

dipenuhi dari produksi dalam negeri. Sentra produksi umbi sedap malam adalah di Kabupaten Sukabumi, Cianjur (Jawa Barat) dan Kabupaten Pasuruan - Jawa Timur [Dirjen Hortikultura 2008]. Umbi yang baru dipanen umumnya tidak langsung ditanam oleh petani, tetapi diberi perlakuan pengasapan di atas tungku masak sekitar 1 - 3 bulan, sebagaimana yang dilakukan pada subang gladiol yang menunjukkan bahwa subang gladiol yang disimpan pada tempat perapian lebih banyak bertunas dibandingkan dengan yang disimpan di gudang (Asgar & Sutater 1993). Tujuan pengasapan adalah untuk mempercepat dan menyerempakkan pertunasan pada permukaan umbi sedap malam. Umbi yang siap ditanam adalah umbi yang telah bertunas satu atau lebih (Prahardini & Yuniarti 2002), dengan panjang tunas samping kira-kira 3 - 4 mm.

Pengembangan teknologi untuk mempercepat dan menyerempakkan pertunasan pada umbi sedap malam masih diperlukan sebagai alternatif lain dari perlakuan pengasapan yang memerlukan waktu 1 - 3 bulan. Teknologi lain yang sudah diteliti adalah penggunaan zat pengatur tumbuh (ZPT). Perendaman umbi sedap malam dengan GA3 100 ppm selama 24 jam dapat meningkatkan jumlah

tunas samping tetapi tidak meningkatkan persentase umbi bertunas dan panjang tunas utama (Santi et al. 2004).

Beberapa perlakuan yang digunakan untuk pematahan dormansi pada subang utuh gladiol adalah IBA (100 ppm), GA3 (25 ppm) dan NAA (50 ppm)

yang dapat mempercepat waktu bertunas lebih 50 hari dibandingkan dengan kontrol. Persentase subang utuh bertunas meningkat sekitar 53% dengan perlakuan IBA (100 ppm), GA3 (25 ppm) dan sekitar 22% dari perlakuan NAA

(20)

Tujuan Penelitian

1. Mempelajari pengaruh ukuran umbi dan teknik induksi terhadap kecepatan, keserempakan dan jumlah tunas pada umbi tanaman sedap malam.

2. Mempelajari pengaruh perlakuan induksi pertunasan terhadap kecepatan,

keserempakan dan jumlah tunas pada umbi tanaman sedap malam.

Hipotesis

1. Umbi sedap malam dengan ukuran besar akan menghasilkan jumlah tunas

yang lebih banyak, lebih cepat dan lebih serempak.

2. Terdapat konsentrasi BAP dan GA3 serta lama pengasapan yang dapat

mempercepat pertunasan pada umbi sedap malam.

(21)

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Sedap Malam

Tanaman sedap malam (Poliantes tuberosa L.) adalah salah satu jenis flora introduksi dari Meksiko (Amerika) yang telah menyebar luas dan beradaptasi dengan baik di daerah beriklim tropis. Di Indonesia tanaman ini menunjukkan kemampuan beradaptasi di daerah dataran menengah sampai dataran tinggi.

Kultivar yang sudah dikembangkan di Indonesia ada dua jenis yaitu bunga dengan kelopak tunggal atau semi ganda dan ganda. Kultivar sedap malam berbunga semi ganda yang telah dilepas sebagai varietas unggul nasional berasal dari Pasuruan dengan nama Roro Anteng. Pelepasan varietas ini diajukan oleh BPTP Jawa Timur bekerja sama dengan pemerintah Kabupaten Pasuruan. Bunga sedap malam ini lebih cocok ditanam di dataran rendah dengan ketinggian di bawah 50 m dpl. Sedap malam berbunga ganda asal Cianjur telah dilepas sebagai varietas unggul dengan nama Dian Arum. Pelepasan varietas ini diusulkan oleh Balai Penelitian Tanaman Hias bekerjasama dengan pemerintah Kabupaten Cianjur. Bunga sedap malam ini cocok ditanam di daerah dengan ketinggian di atas 100 - 600 m dpl (Sihombing & Handayati 2008).

Sedap malam tergolong famili bakung-bakungan (Amarillidaceae). Jenis dalam famili ini cukup banyak diantaranya, bakung biru (Agapanthus aprikanus

L.), bakung laut (Crinum astatikum), bunga September (Euriclus alba) dan bunga lili (Lilium longiforum). Struktur tanaman sedap malam terdiri atas akar, batang (discus), umbi (batang semu), daun dan tangkai bunga lengkap dengan kuntum bunganya. Sistem perakaran sedap malam menyebar ke segala arah dengan radius kedalaman 40 – 60 cm, akarnya bersifat serabut yang keluar dari batang sebenarnya/discus (Rukmana 1995).

(22)

Daun tanaman sedap malam bentuknya pipih, panjang dan berwarna hijau mengkilap pada permukaan atas dan hijau muda pada permukaan bawah daun, pada pangkal daun terdapat bintik berwarna kemerah-merahan. Siklus hidup tanaman sedap malam termasuk tanaman semusim atau setahun tetapi dapat tumbuh lebih dari setahun (Rukmana 1995).

Bunga sedap malam termasuk bunga yang cantik dan menarik, warnanya putih bersih, baunya harum, serta dapat membawa ketenangan (Rismunandar 1991). Varietas Roro Anteng mempunyai warna bunga putih dengan ujung kemerahan dengan diameter 3.3 cm, jumlah bunga/tangkai 53 kuntum, aromanya sangat harum dan setiap satu tangkai bunga dapat tetap segar selama 6 - 8 hari (Dirjen Hortikultura 2007).

Bunga sedap malam varietas Dian Arum kuntumnya berwarna putih dengan ujung bunga berwarna merah jambu. Setelah bunga mekar, warna merah jambu menjadi pudar. Susunan bunga terdiri atas sembilan helai mahkota bunga yang membentuk dua lapis lingkaran, lapisan luar berjumlah enam helai dan lapis kedua tiga helai. Ukuran mahkota lapisan luar lebih panjang dari pada mahkota lapisan dalam (Tisnawati 2007). Diameter bunga saat mekar berkisar 2.5 – 5.4 cm. Jumlah bunga pertangkai berkisar 54 - 67 kuntum. Lama kesegaran bunga setelah dipotong, sekitar 4 - 6 hari. Produksi umbi/rumpun/tahun berkisar 19.5 - 22.7 umbi. Ujung umbi bewarna putih sedangkan pangkalnya berwarna coklat. Diameter umbi berkisar 0.5 sampai 5.1 cm (Plasma Nutfah Indonesia 2008).

Sedap malam termasuk tanaman yang banyak mengandung air atau sukulen (herbaceaus). Selama siklus hidupnya mengalami beberapa fase pertumbuhan. Pada umur 3 - 5 minggu setelah tanam, daunnya mulai tumbuh, kemudian pada umur 16 - 20 minggu, pertumbuhan vegetative telah mencapai maksimal. Umur 24 - 26 minggu, sudah mengeluarkan tangkai bunga. Umbi anakan terbentuk setelah tanaman menghasilkan bunga (Rukmana 1995).

Budidaya Tanaman Sedap Malam

(23)

bulan sebelum panen. Waktu panen disesuaikan dengan kebutuhan pasar, khususnya untuk menghadapi hari-hari besar keagamaan maupun hari-hari besar nasional. Waktu yang baik untuk penanaman adalah pagi dan sore hari. Sebelum penanaman, lahan perlu diberi pupuk kandang secara merata sebanyak 20 – 30 ton. Umbi ditanam pada setiap lubang tanam 1 - 2 umbi dengan posisi tegak dan tunas menghadap keatas, dengan kedalaman umbi 3 - 6 cm kemudian ditutup dengan lapisan tanah setebal 3.5 cm. Jarak tanam yang digunakan adalah 20 x 20 cm atau 30 x 30 cm, sehingga kebutuhan satu hektar sekitar 3 - 4 ton umbi sedap malam.

Pengairan pada fase awal pertumbuhan dilakukan dengan digenangi secara rutin 2 kali seminggu atau tergantung pada kedaan tanah dan iklim. Pengairan diatur agar tanah tidak kekeringan atau terlalu basah. Pengairan dapat dilakukan dengan cara digenangi atau dengan disiram pada pagi hari atau sore hari.

Penyulaman umbi sedap malam harus dilakukan sedini mungkin, ± umur 30 hari setelah tanam, agar benih tumbuh dengan seragam. Penyulaman dilakukan dengan menanam 1 umbi benih pada bekas lubang tanam.

Pemupukan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu secara bertahap dan sekaligus. Jenis pupuk yang diberikan adalah campuran Urea 350 kg/ha dan TSP 350 kg/ha atau NPK 700 kg/ha. Pemberian pupuk secara bertahap dilakukan saat tanaman berumur 1 bulan setelah tanam. Pemupukan susulan berikutnya dilakukan setiap bulan. Aplikasi pupuk dilakukan dengan membenamkan ± 5 - 10 cm dari tanaman, kemudian ditutup dengan tanah dan disiram. Aplikasi pupuk dapat juga dilakukan dengan melarutkan pupuk Urea dan TSP masing-masing 5 kg dalam 200 liter air dan disiramkan di antara barisan tanaman sedap malam. Pemupukan sekaligus, dilakukan dengan menyebar pupuk secara merata pada larikan diantara barisan tanaman sedalam ± 10 cm, kemudian ditutup dengan tanah. (Dirjen Hortikultura 2008).

(24)

Cara pemanenan bunga sedap malam disesuaikan dengan tujuan penggunaannya, yaitu sebagai bunga potong atau sebagai bunga tabur. Untuk bunga potong, pemanenan dilakukan jika tangkai bunga dan malai bunga sudah berkembang optimal. Tangkai bunga siap dipotong apabila 2 - 3 bunga paling bawah sudah mekar. Pemotongan dilakukan dengan cara menarik tangkai bunga dari rumpun tanaman. Pemanenan dilakukan secara bertahap, setiap 4 - 5 hari. Sebagai bunga tabur, pemanenan dilakukan apabila kuntum bunga sudah mekar sempurna dan dilakukan pada pagi hari sekitar jam 04.00 sampai 05.00 pagi. Pemetikan kuntum bunga dilakukan 4 - 7 hari (Prahardini & Yuniarti 2002).

Perbanyakan Tanaman Sedap Malam

Tanaman sedap malam umumnya diperbanyak dengan umbi, karena secara alami tanaman ini sulit untuk menghasilkan biji. Umbi sedap malam diperoleh dari tanaman yang telah berumur 1 - 2 tahun, sehat dan produktif berbunga. Ukuran umbi yang baik adalah yang berdiameter 3 - 4 cm. Umbi yang dipanen perlu dikering-anginkan selama 1 - 3 bulan sampai umbi bertunas, sebelum umbi siap ditanam (Dirjen Hortikultura 2008).

Tanaman sedap malam termasuk kelompok tanaman tahunan yang kualitas umbi benihnya dipengaruhi oleh ukuran umbi. Menurut Tejasarwana et al. (2004) ukuran umbi sedap malam sangat menentukan kualitas bunga. Berdasarkan ukuran, umbi sedap malam dapat dikelompokkan menjadi 3 ukuran, yaitu: a) ukuran umbi kecil, yaitu umbi dengan 0.5 < Ø < 1.5 cm, b) ukuran umbi sedang, yaitu umbi dengan 1.5 < Ø > 2.5 cm , c) ukuran umbi besar, yaitu umbi dengan Ø > 2.5 cm. Umbi ukuran kecil menghasilkan tinggi tanaman (62.5 cm) lebih tinggi dari tanaman yang berasal dari umbi ukuran sedang maupun ukuran besar, masing-masing 52.6 cm dan 53.4 cm. Sebaliknya pada produksi bunga, semakin besar ukuran umbi semakin banyak bunga yang dihasilkan. Umbi berukuran

besar menghasilkan 29.9 tangkai bunga/m2/tahun, lebih banyak dari umbi ukuran

sedang 27.31 tangkai bunga/m2/tahun dan umbi ukuran kecil 13.83 tangkai bunga/m2/tahun.

(25)

maupun umbi yang berukuran besar. Sebaliknya umbi ukuran kecil menghasilkan kualitas bunga yang lebih baik dibandingkan pada umbi ukuran sedang maupun ukuran besar. Jumlah kuntum per malai yang dihasilkan oleh umbi sedap malam ukuran kecil lebih banyak (60.43) dibandingkan jumlah kuntum yang diperoleh umbi ukuran sedang (40.38) maupun yang diperoleh pada umbi ukuran besar (39.90). Diameter bunga mekar yang dihasilkan oleh tanaman dari umbi ukuran kecil, lebih lebar (4.89 cm), dibandingkan umbi ukuran sedang (4.53 cm) maupun oleh umbi ukuran besar (4.36 cm). Begitu juga dengan panjang malai dan diameter malai bunga yang dihasilkan umbi kecil ternyata lebih tinggi (42.0 dan 3. 42 cm) dibandingkan umbi ukuran sedang (36.43 dan 2.90 cm) maupun oleh umbi besar (33.44 dan 2.80 cm) (Tejasarwana 2004).

Penyimpanan dengan cara kering-angin berpengaruh terhadap produksi bunga sedap malam. Umbi yang disimpan dengan cara kering-angin satu sampai tiga bulan menghasilkan produksi bunga lebih tinggi (48 - 58 tangkai/petak dengan ukuran petak 1.25 x 3 m2) dibandingkan dengan 0 bulan (33.67 tangkai/petak). Penyimpanan dua dan tiga bulan dengan kering-angin juga meningkatkan diameter malai bunga (3.37 dan 3.18 cm) lebih panjang dibandingkan dengan penyimpanan satu bulan dan 0 bulan (2.87 dan 2.74 cm). Pada umbi ukuran sedang dan besar (1.5 < Ø < 2.5 dan Ø > 2.5) memperoleh produksi bunga 55.08 dan 58.50 tangkai/petak lebih tinggi dibandingkan dengan produksi bunga dari umbi ukuran kecil (31.67 tangkai/petak) (Tejasarwana 2004).

Pada tanaman gladiol, sebelum ditanam kembali subang/umbi membutuhkan penyimpanan sekitar 3 sampai 5 bulan. Percobaan yang dilakukan untuk mempercepat pertunasan pada subang gladiol menggunakan zat pengatur tumbuh (ZPT), dengan penggunaan 300 ppm ethepon, 100 ppm IBA dan 25 ppm GA3 pada 40 hari HSP, menghasilkan persentase subang utuh bertunas

masing-masing 24.44, 22.22 dan 25.97% lebih tinggi dibandingkan dengan pemberian 200

ppm Benomil, 50 ppm NAA maupun tanpa bahan kimia (Herlina et al. 1995).

(26)

Zat Pengatur Tumbuh

Hormon tanaman adalah suatu senyawa organik yang disintesis pada suatu bagian tanaman dan kemudian diangkut kebagian tanaman yang lain, dengan pemberian pada konsentrasi yang rendah akan berdampak terhadap fisiologis tanaman. Pengaruh terhadap bagian tanaman yang lain ditentukan oleh konsentrasi dan interaksi dengan hormon yang lain (Lakitan 1995).

Zat pengatur tumbuh (ZPT) merupakan sejenis hormon yang terdapat pada tumbuhan yang bertanggung jawab dalam mengendalikan keseluruhan proses metabolisme dan fisiologis yang terjadi pada tanaman (Karjadi & Buchory 2007). Definisi lain tentang ZPT, adalah subtansi organik yang dalam jumlah sedikit, dapat merangsang, menghambat atau sebaliknya mengubah proses fisiologis. Pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang diatur oleh suatu substansi yang dihasilkan dalam jumlah sangat sedikit akan menyebabkan respon pada bagian organ yang lain (Gardner et al. 1991).

ZPT yang umum digunakan dalam budidaya tanaman diantaranya adalah Auxin, GA3 dan Sitokinin. Auxin adalah kelas pertama dari zat pengatur tumbuh

yang ditemukan, yang berpengaruh positif terhadap pembesaran sel, pembentukan tunas dan inisiasi akar, mengendalikan pertumbuhan batang, akar dan buah-buahan, mempengaruhi pemanjangan sel dengan mengubah plastisitas dinding sel. Auxin dalam jumlah rendah menghambat pertumbuhan tunas (dominasi apikal), pertumbuhan akar adventif lateral, sedangkan dalam konsentrasi besar bersifat racun dan berfungsi sebagai herbisida. Herbisida auksin 2.4 - D dan 2,4,5 - T telah dikembangkan dan digunakan untuk mengendalikan gulma. NAA dan asam indol butirat (IBA), digunakan untuk merangsang pertumbuhan akar untuk stek tanaman. Auksin yang umum ditemukan dalam tanaman adalah asam indoleacetic atau IAA (Gardner et al. 1991).

Asam Giberelat (GA3) berfungsi dalam pembelahan dan perpanjangan sel,

pematahan dormansi dan mempercepat pembelahan sel, meningkatkan pertumbuhan meristem samping. Pada umumnya ZPT bertindak secara sinergis dan tidak sendiri-sendiri Gardner et al. (1991). Hasil penelitian Hardiyanto

(1995), menunjukkan bahwa penggunaan GA3 dan asam askorbat 50 ppm dengan

(27)

markisa. Hasil penelitian Santi et al. (2004) menunjukkan bahwa perendaman umbi sedap malam dengan GA3 konsentrasi 100 ppm selama 24 jam sebelum

tanam, menghasilkan 6.82 dan 8.61 tangkai/plot, lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa perendaman menghasilkan 4.87 anakan. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Wuryaningsih et al. (2004) juga menunjukkan bahwa dengan

pemberian 100 ppm GA3, menghasilkan jumlah 9.2 subang.

Sitokinin berfungsi menstimulasi sintesis protein, pematangan kloroplast, mempengaruhi pertumbuhan dan diferensiasi akar, mendorong pembelahan sel, mendorong perkecambahan, menunda penuaan, merangsang pembentukan tunas pada batang dan menghambat efek dominasi apikal oleh auksin (Carey 2008). Selain itu menurut Gardner et al. (1991) sitokinin juga berfungsi dalam proses pembelahan dan meningkatkan jumlah sel pada organ tanaman, pembentukan tunas - tunas baru dan pematahan dormansi.

(28)

METODOLOGI PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Benih, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Institut Pertanian Bogor, mulai bulan November 2010 sampai Februari 2011.

Bahan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam dua percobaan. Percobaan 1 menggunakan bahan penelitian umbi sedap malam var. Dian Arum (Lampiran 1), yang diperoleh dari petani di Kampung Sukalilah, Desa Rajamandala Kulon, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat. Umbi yang dipanen berasal dari tanaman yang telah berumur 26 bulan. Umbi yang digunakan adalah umbi ukuran kecil (0.5 < Ø < 1.5 cm), sedang (1.5 < Ø < 2.5 cm) dan besar (Ø > 2.5 cm). Bahan dan alat lainnya adalah sabut kelapa, arang sekam, kayu sisa gergaji (untuk bahan pembakaran pada perlakuan pengasapan), wadah plastik berlubang (sebagai wadah umbi), tempat pengasapan, jangka sorong (untuk mengukur panjang tunas).

Percobaan 2 menggunakan umbi sedap malam var. Dian Arum berukuran sedang, BAP (Benzilaminopurin), GA3 (Asam Giberelat ) digunakan sebagai

bahan perlakuan untuk perendaman benih sedap malam), KOH (sebagai pelarut dalam pembuatan larutan BAP dan GA3), Aquadest (sebagai pengencer larutan),

bak plastik (digunakan sebagai tempat untuk merendam umbi sedap malam), sabut kelapa, sekam, kayu sisa gergaji, tempat pengasapan, jangka sorong.

Metode Penelitian

Percobaan 1 Pengaruh ukuran umbi dan teknik induksi terhadap kecepatan, keserempakan dan jumlah tunas pada umbi sedap malam

(29)

umbi kecil (0.5 < Ø <1.5 cm), sedang (1.5 < Ø < 2.5 cm) dan besar (Ø > 2.5 cm). Faktor kedua adalah teknik induksi, yaitu dengan kering-angin dan pengasapan selama 6 hari. Setiap perlakuan diulang empat kali, masing-masing satuan percobaan terdiri atas 20 umbi.

Persiapan bahan penelitian: umbi segar dijemur selama satu minggu, dibersihkan dan dikelompokkan berdasarkan tiga ukuran. Umbi selanjutnya diberi perlakuan kering-angin (suhu ruang) dan pengasapan (diasap di atas tungku) selama 6 hari terus-menerus (Gambar 1). Umbi yang telah diberi perlakuan, kemudian disimpan pada suhu ruang selama 10 minggu. Pengamatan perkembangan tunas dilakukan setiap satu minggu sekali.

Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis ragam, apabila

menunjukkan beda nyata, maka dilanjutkan dengan Duncan Multiple Range Test

(DMRT) pada taraf nyata α= 0.05 menggunakan program SPSS 16. Model

rancangan percobaan yang digunakan adalah:

Yij = µ + Di + Pj + (DP)ij+ eij

Keterangan:

Yij = hasil pengamatan hasil percobaan

µ = nilai tengah hasil pengamatan

Di = pengaruh faktor ukuran benih ke-i

Pj = pengaruh faktor teknik induksi ke-j

(DP)ij = pengaruh interaksi ukuran umbi ke i dan teknik induksi ke-j

eijk = pengaruh galat

Gambar 1. Umbi sedap malam pada saat dikering-anginkan (a) dan diasap (b)

(30)

Percobaan 2 Pengaruh teknik induksi dan taraf perlakuan terhadap kecepatan, keserempakan dan jumlah tunas pada umbi sedap malam

Umbi sedap malam yang digunakan berasal dari sumber yang sama dengan Percobaan 1. Pada penelitian ini digunakan umbi berukuran sedang, dengan tiga perlakuan induksi pertunasan, yaitu menggunakan BAP, GA3 dan pengasapan

yang masing - masing merupakan percobaan terpisah. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap satu faktor. Perlakuan BAP terdiri atas empat konsentrasi yaitu 0, 100, 200 dan 300 ppm. Perlakuan GA3 terdiri atas lima

konsentrasi yaitu 0, 50,100, 150 dan 200 ppm. Perlakuan lama pengasapan dilakukan dengan empat lama pengasapan yaitu 0, 2, 4 dan 6 hari. Masing-masing percobaan ini diulang empat kali, Masing-masing-Masing-masing satuan percobaan terdiri atas 15 umbi. Aplikasi BAP dan GA3 dilakukan dengan merendam bagian

perakaran umbi dalam larutan BAP atau GA3 selama 12 jam, kemudian

anginkan 12 jam untuk kemudian direndam lagi selama 12 jam, dan dikering-anginkan kembali. Pengasapan dilakukan dengan meletakkan umbi di atas tungku yang menyala dan berasap terus menerus sesuai perlakuan. Setelah diberi perlakuan sesuai rencana, umbi kemudian dimasukkan dalam wadah terbuka dan disimpan pada suhu ruangan selama 10 minggu untuk diamati satu minggu sekali. Peubah yang diamati pada Percobaan 1 dan 2 antara lain adalah: jumlah tunas samping, panjang tunas samping, persentase umbi bertunas samping dan panjang tunas utama.

A Pengaruh konsentrasi BAP terhadap kecepatan, keserempakan dan jumlah tunas pada umbi sedap malam.

Percobaan ini menggunakan rancangan acak lengkap dengan satu faktor, yaitu tingkat konsentrasi BAP, yang terdiri atas empat taraf yaitu 0, 100, 200 dan 300 ppm. Percobaan ini diulang empat kali, sehingga diperoleh 16 satuan percobaan, masing - masing satuan percobaan menggunakan 15 umbi ukuran sedang. Dengan demikian kebutuhan umbi untuk percobaan ini adalah sebanyak 240 umbi. Seluruh data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis ragam,

apabila menunjukkan pengaruh nyata, maka dilanjutkan dengan Duncan Multiple

(31)

Model rancangan percobaan yang digunakan adalah:

Yij = µ + άi + εj Keterangan:

Yij = Hasil pengamatan dari hasil percobaan µ = Nilai tengah hasil pengamatan

άi = Pengaruh perlakuan

εj = Galat percobaan

B Pengaruh konsentrasi GA3 terhadap kecepatan, keserempakan dan

jumlah tunas pada umbi sedap malam.

Percobaan ini menggunakan rancangan acak lengkap dengan satu faktor, yaitu tingkat konsentrasi GA3, yang terdiri atas lima taraf yaitu 0, 50, 100, 150

dan 200 ppm. Percobaan ini diulang empat kali, sehingga diperoleh 16 satuan percobaan. Masing-masing satuan percobaan menggunakan 15 umbi ukuran sedang. Dengan demikian kebutuhan umbi untuk percobaan ini adalah sebanyak 300 umbi. Data dianalisis dengan menggunakan analisis ragam dan uji lanjut dengan menggunakan DMRT (Duncan Multiple Range Test). Model linier yang digunakan sama dengan perlakuan BAP.

C Pengaruh lama pengasapan terhadap kecepatan, keserempakan dan jumlah tunas pada umbi sedap malam.

Percobaan ini menggunakan rancangan acak lengkap dengan satu faktor, yaitu lama pengasapan, yang terdiri atas empat taraf yaitu 0, 2, 4 dan 6 hari. Percobaan diulang empat kali, sehingga diperoleh 16 satuan percobaan. Masing-masing satuan percobaan menggunakan umbi ukuran sedang. Dengan demikian kebutuhan umbi untuk percobaan ini adalah sebanyak 240 butir. Data dianalisis dengan menggunakan analisis ragam dan uji lanjut dengan menggunakan DMRT

(32)

Pelaksanaan Penelitian dan Pengamatan

Percobaan 1 Pengaruh ukuran umbi dan teknik induksi terhadap kecepatan, keserempakan dan jumlah tunas pada umbi sedap malam

Persiapan lapang. Umbi sedap malam diperoleh dari tanaman yang telah berumur 26 bulan. Umbi dijemur selama satu minggu dan dibersihkan. Umbi dikelompokkan sesuai dengan ukuran umbi kecil, sedang dan besar, selanjutnya siap untuk dilakukan uji laboratorium.

Perlakuan kering-angin. Umbi yang telah dipilah, berdasarkan ukuran umbi kecil (0.5 < Ø < 1.5 cm), sedang (1.5 < Ø < 2.5 cm) dan besar (Ø > 2.5 cm), diletakkan dalam wadah plastik berlubang, kemudian umbi disimpan pada kondisi ruang. Kondisi suhu ruang penyimpanan umbi berkisar antara 23 - 290 C, dengan RH 80 - 90%. Pengamatan dilakukan setiap minggu selama 10 minggu.

Perlakuan pengasapan. Umbi yang telah dipilah, berdasar ukuran umbi kecil, (0.5 < Ø < 1.5 cm), sedang (1.5 < Ø < 2.5 cm) dan besar (Ø > 2.5 cm), kemudian umbi diasap di tempat pengasapan selama 6 hari terus-menerus. Suhu pengasapan berkisar 37 - 390 C. Setelah itu umbi disimpan pada suhu ruang selama 10 minggu. Pengamatan dilakukan setiap minggu selama 10 minggu.

Pengamatan dilakukan terhadap beberapa peubah, antara lain:

- Jumlah tunas samping (tunas/umbi), diamati dengan menghitung jumlah

tunas yang muncul pada masing-masing perlakuan, diamati pada 0 - 10 MSP.

Pengamatan dilakukan setiap satu minggu sekali.

- Panjang tunas samping (mm), diamati dengan mengukur panjang tunas

samping yang terpanjang dari permukaan umbi. Pengamatan dilakukan pada

0 - 10 MSP.

- Panjang tunas utama (mm), diamati dengan cara mengukur panjang tunas

utama sampai titik tumbuh. Pengamatan dilakukan pada 0 - 10 MSP.

- Persentase jumlah umbi bertunas samping diamati pada 0 - 10 MSP.

(33)

Umbi bertunas samping = Jumlah umbi yang bertunas x 100% Jumlah umbi/unit

Percobaan 2 Pengaruh teknik induksi dan taraf perlakuan terhadap kecepatan, keserempakan dan jumlah tunas pada umbi sedap malam

Pada percobaan kedua, umbi yang digunakan adalah umbi yang berukuran sedang, karena umbi yang berukuran besar, jumlahnya relatif terbatas.

Perlakuan berbagai taraf pemberian BAP. Pada percobaan ini, dilakukan perendaman dengan BAP konsentrasi 0, 100, 200 dan 300 ppm. selama 24 jam. Teknik perendaman dilakukan secara bertahap; yaitu umbi direndam selama 12 jam, kemudian dikering-anginkan 12 jam dan direndam lagi selama 12 jam untuk selanjutnya dikering-anginkan di rak benih di laboratorium dengan suhu ruangan. Masing - masing perlakuan diulang empat kali. Pengamatan dilakukan satu minggu sekali.

Perlakuan berbagai taraf pemberian GA3. Pada percobaan ini, dilakukan

perendaman dengan GA3 konsentrasi 0, 50, 100, 150 dan 200 ppm selama 24 jam.

Teknik perendaman dilakukan secara bertahap, yaitu umbi direndam selama 12 jam, kemudian dikering-anginkan 12 jam dan direndam lagi selama 12 jam untuk selanjutnya dikering-anginkan di rak benih di laboratorium dengan suhu ruangan. Masing - masing perlakuan diulang empat kali. Pengamatan dilakukan satu minggu sekali.

(34)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum

Pada Percobaan 1, umbi yang diberi perlakuan pengasapan, sampai minggu ke 10 masih terlihat segar dan belum menunjukkan kering/keriput. Perlakuan pengasapan menunjukkan keserempakan bertunas yang meningkat seiring dengan lamanya penyimpanan, tetapi perlakuan kering-angin tidak menunjukkan peningkatan. Pada akhir pengamatan, umbi yang dikering-anginkan masih terlihat segar. Pada minggu ke enam, umbi yang diberi pengasapan mulai terlihat adanya serangan hama kutu putih. Hama ini terdapat diantara lapisan kulit umbi (Gambar 2). Pengendalian hama kutu putih ini dilakukan dengan cara mekanis yaitu

dengan mematikan dan membuang kutu-kutu yang menempel pada umbi.

Menurut Asgar et al. (1994) penyimpanan subang gladiol pada gudang terang menghasilkan persentase serangan hama lebih rendah dibandingkan yang disimpan di ruang pengasapan. Subang gladiol yang disimpan di atas tungku perapian dengan tumpukkan setebal 70 - 120 cm secara visual menunjukkan adanya kutu putih. Hama kutu putih ini dapat mengganggu kegiatan perbanyakan tanaman. Hama ini diperkirakan berasal dari lapang dan terbawa ke gudang

penyimpanan. Menurut Sihombing et al. (2007) populasi kutu putih yang rendah

belum menyebabkan kerusakan yang berarti, tetapi jika populasi tinggi menyebabkan daun menggulung dan gugur. Hama ini menyukai tanaman sedap malam karena berbatang lunak dan menyerang daun, pangkal tanaman, juga pada umbi. Selain itu, perbedaan suhu juga berpengaruh terhadap perkembangan kutu putih ini. Semakin tinggi suhu maka perkembangbiakan kutu putih semakin cepat dan meningkat.

Pada Percobaan 2, umbi yang diberi perlakuan perendaman dengan air (0

ppm/kontrol), BAP, GA3 dan pengasapan tidak menunjukkan tanda-tanda

(35)

Penyebaran kutu putih dari satu umbi ke umbi yang lain, terjadi karena adanya semut merah.

Gambar 2. Umbi yang terserang kutu putih pada 6 MSP

Percobaan 1 Pengaruh Ukuran Umbi dan Teknik Induksi terhadap Kecepatan, Keserempakan dan Jumlah Tunas pada Umbi Sedap Malam

Hasil rekapitulasi analisis ragam pengaruh teknik induksi dan ukuran umbi terhadap jumlah tunas samping, panjang tunas samping, persentase umbi bertunas samping dan panjang tunas utama menunjukkan bahwa pengaruh interaksi antara ukuran umbi dengan teknik induksi terhadap jumlah tunas samping tidak nyata, sedangkan terhadap panjang tunas samping interaksi kedua perlakuan berpengaruh nyata pada 5 - 10 MSP (Tabel 1, Lampiran 2 - 5). Pengaruh interaksi kedua perlakuan terhadap persentase umbi bertunas samping dan panjang tunas utama tidak konsisten, karena hanya nyata pada beberapa minggu tertentu saja. Pengaruh ukuran umbi terhadap jumlah tunas samping lebih kuat dan konsisten (2 - 10 MSP) dari pada teknik induksi (9 dan 10 MSP), demikian juga pengaruh ukuran umbi terhadap persentase umbi bertunas. Sebaliknya, peubah panjang tunas utama lebih dipengaruhi oleh teknik induksi (6 - 10 MSP) daripada ukuran umbi, walaupun interaksi kedua perlakuan memberi pengaruh yang nyata pada beberapa minggu tertentu saja dan tidak konsisten.

Jumlah Tunas Samping

(36)

Tabel 1 Rekapitulasi analisis ragam pengaruh teknik induksi dan ukuran umbi terhadap jumlah tunas samping, panjang tunas samping, persentase umbi bertunas samping dan panjang tunas utama

Minggu pengamatan

Teknik induksi (T)

Ukuran umbi (P)

Interaksi

KK (%) (T*P)

Jumlah tunas samping

0 MSP - - - -

1 MSP tn tn tn 17.4

2 MSP tn * tn 17.5

3 MSP tn * tn 15.2

4 MSP tn ** tn 15.5

5 MSP tn ** tn 15.8

6 MSP tn ** tn 16.0

7 MSP tn ** tn 16.2

8 MSP tn ** tn 16.3

9 MSP * ** tn 16.5

10 MSP * ** tn 16.5

Panjang tunas samping

0 MSP - - - -

1 MSP tn tn tn 14.7

2 MSP tn tn tn 8.5

3 MSP tn * tn 7.8

4 MSP tn tn tn 8.0

5 MSP tn tn ** 7.4

6MSP tn * * 8.6

7 MSP tn * * 8.5

8 MSP tn * * 8.6

9 MSP tn * * 7.3

10 MSP tn ** * 8.2

Persentase umbi bertunas samping

0 MSP - - - -

1 MSP tn ** tn 7.2

2 MSP tn ** * 4.9

3 MSP tn ** * 4.2

4 MSP tn ** tn 4.0

5 MSP tn ** * 4.2

6MSP tn ** * 4.3

7 MSP tn ** tn 4.4

8 MSP tn ** * 4.3

9 MSP * ** tn 3.9

(37)

Tabel 1 Lanjutan.

Minggu pengamatan

Teknik induksi (T)

Ukuran umbi (P)

Interaksi

KK (%) (T*P)

Panjang tunas utama

0 MSP - - - -

1 MSP tn tn tn 6.9

2 MSP tn tn tn 5.1

3 MSP tn tn tn 5.0

4 MSP tn tn ** 5.9

5 MSP tn tn * 5.2

6 MSP * tn * 5.3

7 MSP * tn tn 6.0

8 MSP * tn tn 5.7

9 MSP * tn tn 5.3

10 MSP ** tn * 6.2

Keterangan: tn = berpengaruh tidak nyata pada α= 0.05 *= Berpengaruh nyata pada α=0.05 **= berpengaruh sangat nyata pada α= 0.01 MSP= Minggu setelah perlakuan

Umbi besar menghasilkan 5.0 tunas samping/umbi, lebih banyak dari jumlah tunas samping yang dihasilkan oleh umbi sedang maupun umbi kecil, masing-masing 3.3 dan 2.3 umbi/tunas pada 10 MSP. Umbi yang diberi perlakuan pengasapan menghasilkan jumlah tunas samping lebih banyak dibandingkan dengan umbi yang dikering- anginkan dengan jumlah tunas samping masing-masing 3.8 dan 3.0 tunas/umbi pada 9 MSP serta 4.0 dan 3.0 tunas/umbi pada 10 MSP (Tabel 2). Semakin banyaknya jumlah tunas samping yang dihasilkan oleh umbi yang lebih besar diduga karena semakin besar persediaan karbohidrat yang disimpan, sehingga mencukupi untuk perkembangan tunas dan semakin

Tabel 2 Pengaruh ukuran umbi dan teknik induksi terhadap jumlah tunas samping (tunas/umbi) pada 0 – 10 MSP

Ukuran umbi Minggu setelah perlakuan (MSP)

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Kecil 0 1.5 1.5 ab 1.6 b 1.9 b 2.0 b 2.0 c 2.0 c 2.1 c 2.2 c 2.3 c Sedang 0 1.3 1.3 b 1.9 b 2.2 b 2.7 a 2.9 b 3.0 b 3.0 b 3.2 b 3.3 b Besar 0 2.2 2.5 a 2.7 a 3.2 a 3.6 a 3.9 a 4.3 a 4.5 a 4.9 a 5.0 a Teknik induksi Minggu setelah perlakuan (MSP)

Kering-angin 0 1.8 1.9 2.1 2.4 2.8 2.9 2.9 3 3.0 b 3.0 b Pengasapan 0 1.5 1.6 2 2.4 2.8 2.9 3.3 3.4 3.8 a 4.0 a

Keterangan: Angka pada kolom yang diikuti huruf yang sama, tidak berbeda nyata pada DMRT

(38)

banyak.tunas samping yang dihasilkan. Karbohidrat merupakan hasil fotosisntesis yang dirombak dan dirakit kembali menjadi berbagai jenis bahan organik (asam amino, protein enzim) serta sebagai bahan baku dalam proses respirasi yang menghasilkan energi kimia berupa ATP dan NADPH yang semuanya diperlukan

untuk petumbuhan dan perkembangan tanaman (Gardner et al. 1991). Penelitian

Sumiati & Sumarni (2006) juga menunjukkan adanya pengaruh ukuran umbi bawang bombay terhadap jumlah umbi anakan yang dihasilkan. Umbi bawang bombay ukuran besar (> 40 gr) menghasilkan jumlah umbi anak 3.16 lebih banyak dibandingkan yang dihasilkan oleh umbi sedang (25 - 40 g) dan umbi kecil (< 25 g) masing-masing 2.33 umbi dan 1.73 umbi anak.

Panjang Tunas Samping

Interaksi antara teknik induksi dan ukuran umbi terhadap panjang tunas samping nyata pada minggu ke 5 - 10 MSP (Tabel 1). Perlakuan pengasapan pada umbi ukuran besar menghasilkan tunas samping (23.3 mm) lebih panjang dibandingkan dengan tunas samping dari umbi ukuran sedang maupun ukuran kecil masing - masing 11.0 dan 6.0 mm pada 10 MSP (Tabel 3). Data ini menunjukkan bahwa pada umbi besar perlakuan pengasapan menghasilkan tunas samping lebih panjang (23.3 mm) daripada dengan kering-angin (12.6 mm) pada 10 MSP. Pada umbi ukuran sedang, dengan perlakuan pengasapan dan kering-angin menghasilkan panjang tunas samping yang tidak berbeda. Pada umbi kecil, perlakuan kering-angin lebih baik daripada pengasapan, masing-masing

Tabel 3 Pengaruh interaksi teknik induksi dan ukuran umbi sedap malam terhadap panjang tunas samping (mm) pada 0 - 10 MSP

Ukuran umbi

Teknik induksi

Minggu setelah perlakuan

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Kecil Kering-angin 0 2.9 4.3 4.5 5.5 6.3 ab 6.8 ab 6.8 ab 7.3 b 7.9 bc 8.5 b

Pengasapan 0 2.3 2.6 2.6 3.4 3.1 c 3.0 c 3.5 c 4.6 c 6.5 c 6.0 c Sedang Kering-angin 0 2.8 4.5 4.6 4.5 4.7 b 5.2 b 5.9 b 6.5 b 7.8 bc 8.4 b Pengasapan 0 2.5 4.0 5.8 5.3 5.0 ab 5.6 ab 5.9 b 6.6 b 9.2 b 11.,0 b Besar Kering-angin 0 3.7 4.5 4.9 4.5 4.9 ab 6.7 ab 7.7 ab 9.3 b 10.2 b 12.6 b Pengasapan 0 2.5 4.1 4.5 5.5 6.9 a 7.8 a 10.2 a 14.4 a 18.3 a 23.3 a

Keterangan: Angka pada kolom yang diikuti huruf yang sama, tidak berbeda nyata pada DMRT

(39)

menghasilkan tunas samping sepanjang 8.5 dan 6.0 mm pada 10 MSP (Tabel 3). Penelitian Asgar et al. (1994) menunjukkan bahwa subang gladiol yang diasap menghasilkan tunas lebih panjang dibandingkan dengan subang gladiol yang tidak diberi perlakukan pengasapan. Menurut Wattimena (1988) perlakuan pengasapan akan meningkatkan suhu, suhu yang tinggi berperan dalam meningkatkan etylen, yang memacu pertumbuhan tunas-tunas lateral.

Kecepatan umbi bertunas menunjukkan bahwa umbi tersebut siap untuk ditanam, yang ditentukan berdasarkan panjang dari tunas samping. Kecepatan bertunas pada umbi besar dengan perlakuan kering-angin lebih cepat (3.7 mm pada 1 MSP), dibandingkan dengan perlakuan pengasapan yaitu 4.1 mm pada 2 MSP. Pada umbi sedang, kecepatan umbi untuk siap ditanam pada perlakuan pengasapan dan kering- angin diperoleh pada waktu yang sama yaitu pada 2 MSP, karena panjang tunas dari masing-masing umbi sudah mencapai 4.5 dan 4 mm. Umbi kecil dengan perlakuan kering-angin menghasilkan panjang tunas 4.3 mm pada 2 MSP, sedangkan dengan perlakuan pengasapan, kecepatan umbi bertunas diperoleh pada 7 MSP (3.5 mm) (Tabel 3).

Peningkatan panjang tunas samping pada umbi ukuran besar dan sedang yang diberi perlakuan pengasapan disebabkan karena pada umbi ukuran tersebut memiliki lapisan-lapisan meristem yang cukup tebal dan mengandung banyak air, sebaliknya pengasapan berakibat mengeringkan lapisan-lapisan pada umbi kecil. Sebagai akibatnya jaringan meristem yang membentuk tunas tidak mengandung cukup banyak air untuk pemanjangan tunas. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sumiati & Sumarni (2006) bahwa umbi bibit bawang bombay yang berukuran besar, menghasilkan jumlah daun lebih banyak (24.13) daripada jumlah daun yang dihasilkan umbi ukuran sedang (15.50) maupun umbi ukuran kecil (13.13). Berdasarkan panjang tunasnya, sebagian

besar umbi sudah menghasilkan tunas samping ≥ 4 mm pada 2 MSP, kecuali pada

(40)

Persentase Umbi Bertunas Samping

Pengaruh ukuran umbi terhadap persentase umbi bertunas samping, terjadi pada 1 - 10 MSP (Tabel 1 dan 4), yang menunjukkan bahwa umbi ukuran besar menghasilkan persentase umbi bertunas samping lebih tinggi dan lebih baik dibanding umbi sedang maupun kecil masing - masing 85.6, 63.8 dan 46.9% pada 10 MSP. Perlakuan pengasapan menghasilkan persentase umbi bertunas samping lebih tinggi (70.8 dan 74.6%) dibandingkan dengan kering-angin (54.6 dan 56.3%) pada 9 dan 10 MSP. Dengan pengasapan keserempakan umbi bertunas 50% diperoleh pada 4 MSP (51.3%) lebih cepat dibandingkan dengan kering-angin yang diperoleh pada 5 MSP (50.4%).

Persentase bertunas menggambarkan banyaknya bahan pertanaman yang dapat digunakan untuk produksi bunga. Keserempakan bertunas 50% pada umbi sedap malam berukuran besar dan sedang tidak berjauhan, karena terjadi pada 3 - 5 MSP, sedangkan umbi kecil pada 10 MSP masih belum mencapai 50%. Tabel 3 menunjukkan bahwa sebagian besar umbi sudah dapat ditanam pada 2 MSP, maka pada periode yang sama data pada Tabel 4 menunjukkan bahwa umbi besar yang siap tanam hanya 42%, umbi sedang 29.4% dan umbi kecil hanya 17.5%.

Tabel 4 Pengaruh teknik induksi dan ukuran umbi sedap malam terhadap persentase umbi bertunas samping (%) pada 0 - 10 MSP.

Keterangan: Angka pada kolom yang diikuti huruf yang sama, tidak berbeda nyata pada DMRT (α=0.05)

Penelitian Tejasarwana (2004) menunjukkan bahwa tanaman sedap malam yang berasal dari umbi besar lebih cepat menghasilkan bunga, dibandingkan dengan tanaman yang berasal dari umbi ukuran sedang maupun ukuran kecil. Hasil yang sama diperoleh dari penelitian yang dilakukan oleh Sanjaya (1995) yang menunjukkan bahwa ukuran subang gladiol mempengaruhi pertumbuhan

Ukuran umbi Minggu setelah perlakuan (MSP)

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Kecil 0 15.0 b 17.5 b 28.1 b 35.0 b 36.9 b 36.9 b 38.1 b 39.4 b 43.8 c 46.9 c Sedang 0 22.5 a 29.4 a 43.1 a 48.8 a 57.5 a 57.5 a 58.8 a 60.0 a 61.9 b 63.8 b Besar 0 26.3 a 41.9 a 50.0 a 63.8 a 68.8 a 71.9 a 73.1 a 77.5 a 82.5 a 85.6 a Teknik induksi Minggu setelah perlakuan (MSP)

(41)

tunas, semakin besar ukuran subang maka persentase subang gladiol yang bertunas semakin besar.

Interaksi antara perlakuan teknik induksi dan ukuran umbi terhadap persentase umbi bertunas samping, terjadi pada 2, 3, 5, 6 dan 8 MSP (Tabel 5). Perlakuan pengasapan pada umbi sedang menghasilkan persentase umbi bertunas samping lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan kering-angin, sedangkan pada umbi besar dan umbi kecil dengan perlakuan kering-angin dan pengasapan menghasilkan persentase umbi bertunas samping yang tidak berbeda pada 2, 3, 5, 6 dan 8 MSP. Pada 2 MSP perlakuan pengasapan pada umbi sedang diperoleh 56.3% lebih tinggi dibandingkan dengan kering angin (30%) begitu juga pada pada 8 MSP, dengan perlakuan pengasapan menghasilkan persentase (76.3%) lebih tinggi dari perlakuan kering-angin (43.7%). Umbi besar yang diasap dan dikering-anginkan pada 2 MSP masing-masing menghasilkan persentase 45 dan 55%, sedangkan pada 8 MSP diperoleh 82.5 dan 72.5%. Pada 2 MSP umbi ukuran kecil yang diasap, menghasilkan umbi bertunas 32.5% sedangkan perlakuan kering-angin (23.7%), sampai pada 8 MSP persentase umbi bertunas dengan kering angin dan pengasapan memperoleh 42.5 dan 36.3%.

Tabel 5 Pengaruh interaksi teknik induksi dan ukuran umbi terhadap persentase (%) umbi bertunas samping pada 2, 3, 5, 6, 8 MSP.

Ukuran umbi Teknik induksi Minggu setelah perlakuan (MSP)

2 3 5 6 8

Kecil Kering-angin 23.7 b 32.5 b 40.0 b 40.0 b 42.5 b

Pengasapan 32.5 b 32.5 b 33.7 b 33.8 b 36.3 b

Sedang Kering-angin 30.0 b 32.5 b 41.3 b 41.3 b 43.7 b

Pengasapan 56.3 a 56.3 a 73.7 a 73.8 a 76.3 a

Besar Kering-angin 55.0 a 61.3 a 70.0 a 71.3 a 72.5 a

Pengasapan 45.0 a 48.7 a 67.5 a 72.5 a 82.5 a

Keterangan: Angka pada kolom yang diikuti huruf yang sama, tidak berbeda nyata pada DMRT (α=0.05)

(42)

umbi kecil (36.3%). Perlakuan kering-angin pada umbi besar menghasilkan persentase umbi bertunas lebih tinggi (55%) dibandingkan persentase yang diperoleh umbi sedang (30%) dan umbi kecil (23.7%) pada 2 MSP, begitu juga pada 8 MSP yang menunjukkan bahwa dengan perlakuan kering-angin pada umbi besar menghasilkan persentase umbi bertunas lebih tinggi (72.5%) dari umbi sedang (43.7%) maupun umbi kecil (42.5%).

Panjang Tunas Utama

Interaksi teknik induksi dan ukuran umbi terhadap panjang tunas utama terjadi pada 4, 5, 6, 10 MSP (Tabel 1 dan 6). Umbi ukuran sedang yang dikering-anginkan menghasilkan tunas utama lebih panjang dibandingkan yang diasap, masing-masing 31.0 dan 17.0 mm pada 10 MSP. Sebaliknya pada umbi ukuran besar dan ukuran kecil, pengasapan maupun kering-angin menghasilkan panjang tunas utama yang tidak berbeda nyata. Umbi ukuran sedang yang dikering-anginkan menghasilkan tunas utama (31.0 mm) lebih panjang dibandingkan

Tabel 6 Pengaruh interaksi ukuran umbi dan teknik induksi terhadap panjang tunas utama (mm) pada 0 - 10 MSP

Ukuran umbi

Teknik induksi

Minggu setelah perlakuan

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Kecil

Kering-angin 4 16 16 15 14 cd 15 b 16 b 17 20 21 25 b Pengasapan 4 16 16 17 16 bc 16 ab 16 b 16 20 19 21 b Sedang

Kering-angin 4 17 18 20 22 a 19 a 20 a 22 26 27 31 a Pengasapan 4 12 14 15 13 d 12 b 12 c 13 15 17 17 c Besar

Kering angin 4 17 16 16 15 bc 15 b 18 ab 19 20 22 23 b Pengasapan 4 15 17 17 18 ab 16 ab 16 b 18 19 20 20 bc

Keterangan: Angka pada kolom yang diikuti huruf yang sama, tidak berbeda nyata pada DMRT (α=0.05)

dengan umbi besar maupun umbi kecil masing-masing sebesar 23 dan 25 mm. Pengasapan pada umbi ukuran kecil menghasilkan tunas utama sepanjang 21 mm lebih panjang dibandingkan tunas utama pada umbi ukuran sedang (17 mm) tetapi tidak berbeda dengan panjang tunas utama yang diperoleh umbi besar (20 mm) pada 10 MSP (Tabel 6).

(43)

akan mengering dan muncul tunas utama yang baru, pergantian tunas utama ini terjadi pada setiap minggu sampai pada ahir pengamatan. Menurut Setyati & Yahya (1988) kemampuan untuk terus tumbuh, terpusat pada titik tumbuh yang berada di daerah merismatik yaitu pada tunas pucuk, tunas samping, maupun pada bagian persikel akar, dimana pada bagian - bagian pucuk tersebut biasanya lebih responsif. Hasil penelitian Tejasarwana (2000) menunjukkan bahwa pertumbuhan tinggi tanaman sedap malam dari umbi yang disimpan di gudang maupun yang diberi perlakuan pengasapan tidak berbeda nyata.

Beberapa parameter tersebut diatas secara umum menunjukkan bahwa semakin besar ukuran umbi, maka jumlah tunas samping yang dihasilkan semakin banyak. Kondisi ini diikuti oleh peningkatan panjang tunas samping maupun persentase umbi bertunas samping yang dihasilkan. Semakin banyak jumlah tunas samping yang dihasilkan, maka potensi untuk memperoleh tangkai bunga juga semakin banyak.

(44)

Percobaan 2 Pengaruh Teknik Induksi dan Taraf Perlakuan terhadap Kecepatan, Keserempakan dan Jumlah Tunas pada Umbi Sedap Malam

Hasil uji F menunjukkan bahwa konsentrasi BAP maupun GA3

memberikan pengaruh yang bervariasi terhadap beberapa peubah yang diamati (Tabel 7 dan Lampiran 6 - 17). Konsentrasi BAP memberikan pengaruh sangat nyata terhadap jumlah tunas samping dan persentase umbi bertunas samping. Perlakuan konsentrasi GA3 memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah tunas

samping, panjang tunas samping dan panjang tunas utama, sedangkan lama pengasapan tidak memberikan pengaruh pada semua peubah yang diamati.

Tabel 7 Rekapitulasi hasil analisis ragam pengaruh konsentrasi BAP, GA3 dan

lama pengasapan terhadap jumlah tunas samping, panjang tunas samping, persentase umbi bertunas samping dan panjang tunas utama

Peubah Perlakuan

[BAP] [GA3] Pengasapan

Jumlah tunas samping ** * tn

Panjang tunas samping tn * tn

Persentase umbi bertunas samping ** tn tn

Panjang tunas utama tn * tn

Keterangan: tn= berpengaruh tidak nyata pada α=0.05 *= berpengaruh nyata pada α=0.05

**=berpengaruh sangat nyata pada α=0.01

Pengaruh konsentrasi BAP (Benzylaminopurine) terhadap kecepatan, keserempakan dan jumlah tunas pada umbi sedap malam

(45)

Tunas samping berpotensi untuk menghasilkan bunga, oleh karena itu semakin banyak tunas samping, diharapkan semakin banyak pula jumlah tangkai bunga yang dihasilkan. Pemberian BAP dengan konsentrasi 100, 200 dan 300 ppm berpotensi meningkatkan produksi bunga, masing-masing sebesar 116.7, 175 dan 266.7% dari kontrol. BAP dengan konsentrasi 300 ppm menghasilkan jumlah tunas samping paling banyak dibandingkan dengan konsentrasi 200, 100 dan 0 ppm.

Panjang tunas samping tidak dipengaruhi oleh aplikasi BAP (Tabel 7). Pada 1 MSP, BAP konsentrasi 200 dan 300 ppm menghasilkan tunas samping sepanjang 3.3 dan 3.5 mm. Pada 2 dan 3 MSP, BAP konsentrasi 300 ppm, menghasilkan tunas samping (3.8 dan 4 mm) lebih panjang dibanding kontrol (2.1 dan 2.4 mm) tetapi tidak berbeda nyata dengan BAP konsentrasi 100 (2.8 dan 3.5 mm) dan 200 ppm (3.3 dan 3.2 mm) (Tabel 8). Petani menanam umbi sedap malam apabila tunas samping sudah muncul dan terlihat berwarna putih, dengan panjang kira-kira 3 - 4 mm. BAP konsentrasi 100 ppm, pada 3 MSP menghasilkan tunas samping sepanjang 3.5 mm, sedangkan tanpa BAP (kontrol) panjang tunas samping yang setara diperoleh pada 5 MSP. Walaupun aplikasi beberapa konsentrasi BAP menghasilkan panjang tunas samping yang tidak berbeda nyata, tetapi BAP mempercepat perkembangan tunas samping seperti ditunjukkan panjang tunas samping yang mencapai > 3 mm pada 1 MSP bila diberi perlakuan 200 dan 300 ppm. Data ini memberi indikasi bahwa dengan perlakuan BAP umbi dapat ditanam lebih cepat.

Gambar

Tabel 1  Rekapitulasi analisis ragam pengaruh teknik induksi dan ukuran umbi  terhadap jumlah tunas samping, panjang tunas samping, persentase umbi bertunas samping dan panjang tunas utama
Tabel 2  Pengaruh ukuran umbi dan teknik induksi terhadap jumlah tunas samping
Tabel 5  Pengaruh interaksi teknik induksi dan ukuran umbi terhadap persentase
Tabel 8  Pengaruh konsentrasi BAP terhadap jumlah tunas samping, panjang tunas samping, persentase umbi bertunas samping dan panjang tunas utama (mm) pada 1 - 10 MSP
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tabel 1: Jumlah kematian larva Anopheles aconitus setelah diuji dengan ekstrak daun ceremai (Phylanthus acidus [L.] Skeels) dalam berbagai konsentrasi pada

Berdasarkan hasil penelitian tersebut dilakukan realisasi sistem telemetri menggunakan sensor SHT11 sebagai pengukur suhu dan kelembaban udara dengan modul Radio

Hipotesis yang diajukan adalah ada hubungan positif antara gaya kepemimpinan demoktratis dengan kepuasan kerja pada mahasiswa pecinta alam di Universitas

PENDIDIKAN DIMULAI SEMEJAK ANAK DILAHIRKAN:”TAHUN PERTAMA SANGAT PENTING DAN DISEBUT SEBAGAI TAHUN YANG MENENTUKAN DALAM KEHIDUPANNYA.OLEH KARENA ITU, ORANG TUA HENDAKNYA

Maka dalam memilah asosiasi tulis yg telah kita lakukan, kita memilih hal-hal yg berkaitan dg diri sendiri seperti fantasi, kenangan, percakapan dg diri sendiri, dll.. Hubungan dg

Simpulan penelitian ini adalah (1) terdapat perbedaan kualitas pelayanan antara pasien BPJS dengan umum pada dimensi keselamatan pasien, (2) terdapat perbedaan kualitas

Dengan penerapan teknik 5R proses pembelajaran menjadi lebih baik serta mahasiswa terbantu untuk memahami bahan simakan dengan baik melalui langkah tahapan yang ada pada teknik

Pengumpulan informasi (Experimenting) Peserta didik dianjurkan untuk menggunakan sumber selain buku pelajaran teks pelajaran PPKn Kelas XI dalam mencari