DI KABUPATEN BOGOR
DODI RAHDIANA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Strategi Peningkatan Investasi Swasta di Kabupaten Bogor adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, April 2011
Regency. Under direction MUHAMMAD FIRDAUS and ARIS MUNANDAR.
RINGKASAN
DODI RAHDIANA, Strategi Peningkatan Investasi Swasta di Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh MUHAMMAD FIRDAUS sebagai ketua, ARIS MUNANDAR sebagai anggota komisi pembimbing.
Dengan diberlakukannya otonomi daerah melalui UU No. 32 tahun 2001 dan UU No. 33 tahun 2001 maka pemerintah daerah akan menanggung sendiri beban belanja atau pengeluaran yang jumlahnya besar. Sebagai konsekuensinya pemerintah daerah dituntut untuk kreatif dalam mencari sumber-sumber pendapatan dan pembiayaan yang memadai. Investasi merupakan sumber pertumbuhan output daerah yang relatif lebih berkelanjutan karena mencakup aktivitas-aktivitas sektor swasta yang cukup produktif. Selain dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, investasi juga mampu mengurangi kemiskinan melalui penciptaan lapangan kerja. Investasi bisa menjadi sumber pertumbuhan ekonomi maupun pembiayaan daerah dibalik kesulitan pemerintah daerah Kabupaten Bogor membiayai pengeluarannya dari penerimaan daerah.
Tujuan umum dari kajian adalah untuk merumuskan strategi peningkatan investasi swasta di Kabupaten Bogor. Tujuan spesifiknya adalah (1) menganalisis potensi ekonomi dan perkembangan investasi swasta di Kabupaten Bogor (2) menyusun tingkat kepentingan faktor-faktor yang mempengaruhi daya tarik investasi swasta di Kabupaten Bogor (3) memformulasikan kebijakan bagi Pemerintah Kabupaten Bogor untuk meningkatkan investasi swasta di Kabupaten Bogor.
Dengan menggunakan metode LQ, diketahui bahwa di Kabupaten Bogor selama periode 2007-2009 terdapat dua sektor ekonomi yang bisa dijadikan sebagai sektor ekonomi basis atau potensial, hal ini dapat dilihat dari angka rasio masing-masing sektor ekonomi yang menunjukan nilai lebih dari satu, sektor basis tersebut terdiri atas sektor industri pengolahan dan sektor listrik, gas dan air bersih
perdagangannya dapat diekspor sedangkan sisanya 72 % dapat dikonsumsi sendiri.
Hasil dari analisis perkembangan nilai investasi menggunakan Tipologi Klassen untuk Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing kabupaten/kota se-Jawa Barat tahun 2008 - 2010, Kabupaten Bogor berada pada kuadran II atau termasuk klasifikasi daerah maju tetapi tertekan (jenuh), hal ini memperlihatkan bahwa walaupun secara peringkat masih termasuk 5 besar dalam investasi se Jawa Barat namun perkembangan investasi Kabupaten Bogor termasuk melambat.
Sementara itu, hasil analisis dengan metode AHP memperlihatkan bahwa : (1) pelaku yang mempengaruhi investasi adalah Pemerintah daerah mempunyai nilai tertinggi dibandingkan DPRD, pengusaha dan lembaga swadaya masyarakat; (2) faktor yang paling mempengaruhi investasi swasta di Kabupaten Bogor adalah faktor kelembagaan ; (3) sedangkan secara keseluruhan untuk sub faktor yang paling mempengaruhi investasi adalah kejelasan prosedur penyelesaian perizinan.
Kebijakan dan strategi peningkatan investasi swasta di Kabupaten Bogor dari tabel di atas diperoleh peringkat sebagai berikut (1) menyederhanakan prosedur pelayanan perizinan; (2) memperluas jaringan pelayanan perizinan; (3) meningkatkan komunikasi dan akses; (4) meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia
Dari hasil analisis QSPM, strategi menyederhanakan prosedur pelayanan perizinan, memiliki nilai kemenarikan (attractive score) yang tinggi, yaitu 5,740. Keseluruhan strategi yang dihasilkan dari analisis QSPM dapat diimplementasikan secara tidak berurut maupun pada waktu yang berbeda.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulisini tan mencantumkan atau menyebutkan sunbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, pnyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
DODI RAHDIANA
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Profesional pada
Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah
NIM : H252.090.145
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Muhammad Firdaus, SP. MSi. Ketua
Dr. Ir. Aris Munandar Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi
Manajemen Pembangunan Daerah
Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga Kajian Pembangunan Daerah ini berhasil diselesaikan. Kajian yang berjudul “Strategi Peningkatan Investasi Swasta di Kabupaten Bogor” ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah Institut Pertanian Bogor.
Dalam menyelesaikan kajian ini, penulis sampaikan terima kasih yang tulus dan penghargaan yang tak terhingga kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan dalam penulisan kajian ini terutama kepada Dr. Muhammad Firdaus, SP. MSi selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Ir. Aris Munandar selaku Anggota, berikut seluruh dosen Sekolah Pascasarjana Magister Profesional Manajemen Pembangunan Daerah Institut Pertanian Bogor. Tak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada seluruh rekan mahasiswa-mahasiswi Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah Institut Pertanian Bogor yang telah membantu dan memberikan dorongan dalam penulisan kajian ini. Di lain pihak penulis sampaikan pada isteriku Era Yuli Trianna dan juga anak-anakku Muhammad Fauzan Alfarisi dan Nurul Faisyah Anandira serta orang tua penulis yang senantiasa memberikan dukungan untuk menyelesaikan studi ini. Penulis serahkan amal kebaikan yang telah membantu kepada Allah SWT semoga Yang Maha Kuasa dapat membalasnya dengan berlipat ganda.
Penulis berharap semoga hasil kajian ini dapat bermanfaat khususnya bagi Pemerintah Kabupaten Bogor sebagai bahan rekomendasi dalam rangka meningkatkan investasi swasta maupun pihak-pihak yang membutuhkan hasil dari kajian studi ini.
Bogor, April 2011
Penulis dilahirkan di Majalengka pada tanggal 14 Agustus 1974 dari ayah Entug Maksudi dan ibu Iyam Maryam. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara. Tahun 1992 Penulis lulus dari SMA Negeri 2 Kuningan Jawa Barat dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk STAN-Prodip Keuangan dengan Jurusan Anggaran. Penulis menyelesaikan pendidikan S1 pada STIA-LAN Makassar jurusan Manajemen Perekonomian Negara pada Tahun 1998.
i
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ... i
DAFTAR TABEL ... iii
DAFTAR GAMBAR... v
BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 6
1.3. Tujuan dan Manfaat Kajian ... 8
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Investasi... ... 9
2.2. Peranan Investasi... 9
2.2.1. Model Vicious Circle... 9
2.2.2. Model Keynesian... 10
2.2.3. Model Harord - Domar... 11
2.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Investasi... 13
2.3.1. KPPOD ... 14
2.3.2. Bank Dunia... 21
2.4. Manajemen Strategis... 23
2.5. Stakeholder Theory... 28
2.6. Teori Analytical Hierarchy Process... 29
2.7. Hasil Kajian Terdahulu... 31
2.8. Kebijakan Investasi Existing di Kabupaten Bogor ... 33
2.8.1. Visi dan Misi... 33
2.8.2. Sasaran Strategis... 34
2.8.3. Program... 35
2.9. Kerangka Konseptual... 40
BAB III. METODE KAJIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Kajian ... 42
3.2. Metode Pengumpulan Data... 42
3.3. Metode Pengolahan Data dan Analisis Data ... 44
3.3.1. Analisis Location Quotient... 44
3.3.2. Analisis Tipologi Klassen... 44
3.3.2. Analytical Hierarchy Process... 45
BAB IV. GAMBARAN UMUM
4.1. Kondisi Geografis dan Administratif... 56
4.2. Kependudukan dan Sumberdaya Manusia... 57
4.3. Kondisi Ekonomi dan Sosial... 60
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Potensi Ekonomi dan Perkembangan Investasi... 65
5.1.1. Gambaran Potensi Investasi... 65
5.1.2. Analisis Potensi Investasi... 72
5.1.3. Analisis Perkembangan Investasi... 74
5.2. Aktor dan Faktor yang Mempengaruhi Investasi... 81
5.2.1. Aktor Investasi... 82
5.2.2. Faktor –Faktor yang Mempengaruhi Investasi... 83
BAB VI. PERUMUSAN DAN PERANCANGAN STRATEGI 6.1. Analisis Faktor Internal dan Eksternal... 101
6.1.1. Faktor Internal... 101
6.1.2. Faktor Eksternal... 107
6.2. Tahap Masukan... 111
6.2.1. Matriks Evaluasi Faktor Internal... 112
6.2.2. Matriks Evaluasi Faktor Eksternal... 113
6.3. Tahap Pencocokan... 114
6.4. Tahap Keputusan... 116
6.5. Perancangan Program... 117
BAB VII. SIMPULAN DAN SARAN 7.1. Simpulan... ... 121
7.2. Saran... ... 122
DAFTAR PUSTAKA... ... 123
LAMPIRAN... ... 126
iii
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Easy of Doing Business di beberapa negara tahun 2007 – 2010... 2
2. Langkah-langkah Pengembangan QSPM ... 27
3. Sasaran Strategis Misi Pertama... 34
4. Sasaran Strategis Misi Kedua... 35
5. Sasaran Strategis Misi Ketiga... 35
6. Sasaran Strategis Misi Keempat... 35
7. Rancangan Kajian untuk Membahas Tujuan... 42
8. Distribusi Responden AHP... 43
9. Distribusi Responden SWOT... ... 43
10. Klasifikasi Wilayah Berdasarkan Tipologi Klasen... 45
11. Nilai Skala Banding Berpasangan... 47
12. Matriks Evaluasi Faktor Eksternal... 52
13. Matriks Evaluasi Faktor Eksternal... 53
14. Matriks SWOT... ... 53
15. Matriks Analisis QSPM... 55
16. Kondisi Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Bogor Tahun 2005-2008... 63
17. Potensi Sektor Pertanian di Kabupaten Bogor... 65
18. Potensi Sektor Pertambangan di Kabupaten Bogor... 66
19. Potensi Sektor Industri di Kabupaten Bogor... 69
20. Nama Perusahaan di Kawasan Industri Sentul... 70
21. Daftar Perusahaan di Kawasan Industri PT. CCIE... 71
22. Sektor Potensial (Analisis LQ) di Kabupaten Bogor tahun 2007 – 2009... 73
23. PDRB Berdasarkan Harga Konstan per Wilayah... 73
25. PMDN & PMA Berdasarkan Analisis Tipologi Klasen Tahun
2008-2010... ... 77
26. Kontribusi Investasi Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2010... 77
27. Nilai Investasi Jawa Barat 2010 berdasarkan Sektor Usaha... 79
28. Nilai Investasi PMA di Kabupaten Bogor... 80
29. Nilai Investasi PMDN di Kabupaten Bogor... 80
30. Urutan Prioritas Aktor yang Mempengaruhi Investasi... 82
31. Urutan Prioritas Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Investasi... 83
32. Urutan Prioritas Sub Faktor Kelembagaan... 84
33. Jenis Perizinan di Kabupaten Bogor... 87
34. Urutan Prioritas Sub Faktor Potensi Ekonomi... 89
35. Urutan Prioritas Sub Faktor Ketenagakerjaan... 93
36. Upah Minimum Kabupaten/Kota Tahun 2011... 94
37. Urutan Prioritas Sub Faktor Infrastruktur... 95
38. Kondisi Jalan Kabupaten Bogor... 97
39. Rasio Pelanggan PDAM tahun 2005 -2008... ... 98
40. Jumlah Pegawai BPT Kabupaten Bogor Berdasarkan Pendidikan... 104
41. Matriks Evaluasi Faktor Internal (IFE) Faktor Kelembagaan... 113
42. Matriks Evaluasi Faktor Eksternal (EFE) Faktor Kelembagaan... 114
43. Perumusan Strategi dan Matriks SWOT... 115
44. Strategi peningkatan investasi swasta di Kabupaten Bogor... 116
v
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Nilai investasi Kabupaten Sragen tahun 2002 – 2009... 2
2. Defisit APBD Kabupaten Bogor Tahun 2005 -2010... 4
3. PDRB berdasarkan penggunaan tahun 2007 Kabupaten Bogor... 4
4. Jumlah pengangguran Kabupaten Bogor tahun 2000-2008... 5
5. Nilai PMA dan PMDN Kabupaten Bogor tahun 2000-2008... 6
6. Vicious Circle sudut Permintaan... 10
7. Vicious Circle sudut Penawaran ... 10
8. Teori Harord Domar dalam grafik... 12
9. Daya Tarik Investasi Daerah dari KPPOD... 20
10. Faktor yang mempengaruhi iklim investasi... 22
11. Proses Perencanaan Strategi... 24
12. Proses Manajemen Strategi... 25
13. Kerangka Analisis Proses Perumusan Strategi... 23
14. Stakeholder menurut Tomsett... 29
15. Strategi Peningkatan Investasi Kabupaten Bogor... 39
16. Kerangka Konseptual... 41
17. Kerangka Kerja Analisis Perumusan Strategi Peningkatan Investasi... 50
18. Peta Administratif Kabupaten Bogor... 56
19. Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) Kabupaten Bogor Tahun 2003-2007... 58
20. Komposisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian Kabupaten Bogor Tahun 2007. ... 59
21. Jumlah Penduduk Yang Berumur 15 Tahun Keatas Menurut Jenjang Pendidikan. ... 59
22. Jumlah pengangguran Kabupaten Bogor tahun 2003-2008... 60
23. Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Kabupaten Bogor Tahun 2003-2009... 61
24. Indikator IPM Kabupaten Bogor Tahun 2003-2008... 62
25. Perbandingan Belanja Kabupaten Bogor... 75
vii
28. AHP Strategi Peningkatan Investasi di Kabupaten Bogor... 81
29. Proses Perizinan Belum Paralel... 88
30. PDRB per Kapita Kab. Harga Konstan Kab. Karawang, Kab. Purwakarta, Kab. Bogor, dan Kab. Bekasi tahun 2006 – 2009... 90
31. Struktur Perekonomian Kabupaten Bogor 2003-2008... 91
32. Data Penduduk Kabupaten Bogor menurut Lapangan Usaha... 94
33. Rasio Panjang Jalan Per Jumlah Kendaraan Kabupaten Bogor... 96
34. Jumlah Pelanggan PDAM Kabupaten Bogor Tahun 2005 – 2008... 98
35. Jumlah Pelanggan PLN Tahun 2009... 100
36. Strategi peningkatan investasi di Kabupaten Bogor... 117
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Selama beberapa tahun terakhir (2005-2009), ekonomi Indonesia membaik dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata 5,5 persen. Namun kinerja itu masih jauh jika dibanding pertumbuhan rata-rata 1988-1997 yang mencapai 7,8 persen. Faktor rendahnya pertumbuhan ini salah satunya disebabkan rendahnya investasi swasta. Tingkat investasi swasta tak sampai separuh yaitu sebesar 8 persen sebelum krisis 1997. Padahal investasi swasta secara langsung mempengaruhi pertumbuhan ekonomi (Kuncoro, 2009).
Iklim investasi yang baik akan mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi, yakni melalui investasi yang didukung oleh produktivitas yang tinggi. Investasi akan memperkuat pertumbuhan ekonomi dengan mendatangkan lebih banyak input ke dalam proses produksi. Oleh karenanya, memperbaiki iklim investasi merupakan suatu tugas yang penting bagi setiap pemerintah, terutama negara-negara yang memiliki daya saing investasi yang rendah seperti Indonesia (KPPOD, 2005).
Dalam beberapa tahun terakhir, kondisi iklim investasi swasta di Indonesia dinilai masih belum membaik. Dari hasil survey lembaga internasional tersebut, memperlihatkan bahwa posisi peringkat daya saing investasi swasta Indonesia masih berada pada kelompok peringkat bawah dan selalu berada di bawah negara-negara di sekitar kita, seperti Thailand, Singapura, Malaysia dan Vietnam (Tabel 1). Peringkat ini juga tidak meningkat secara signifikan dalam beberapa tahun setelah otonomi daerah. Hal ini menunjukkan seriusnya persoalan iklim investasi swasta di Indonesia yang harus segera disikapi.
2
untuk turut berperan besar dalam upaya penciptaan iklim investasi yang kondusif di daerahnya (KPPOD, 2005).
Tabel 1 Easy of Doing Business di beberapa negara tahun 2007 – 2010
Negara 2007 2008 2009 2010
Singapura 1 1 1 1
Malaysia 25 24 20 23
Korea Selatan 23 30 23 19
Jepang 11 12 12 15
Cina 93 83 83 89
Thailand 18 15 13 12
Indonesia 135 123 129 122
Vietnam 104 91 92 93
Sumber : Doing Business 2007-2010
Salah satu daerah di Indonesia yang telah melakukan perbaikan iklim investasi adalah Kabupaten Sragen. Perbaikan yang dilakukan sejak tahun 2001 itu dengan melakukan reformasi birokrasi, pelayanan prima (excellent service), dan pemberdayaan masyarakat dan PNS. Hasil dari perbaikan iklim investasi tersebut mulai terlihat sejak tahun 2002 sampai dengan 2009, dimana terjadi kenaikan investasi yang sangat signifikan dari 592 milyar pada tahun 2002 menjadi 1,35 trilyun pada tahun 2009 (Gambar 1), selain itu dampak kenaikan investasi adalah penyerapan tenaga kerja juga tinggi, dimana setiap tahun rata-rata Kabupaten Sragen mampu menciptakan lapangan kerja sekitar 40 ribu orang.
Sumber : Badan Perizinan Terpadu Kabupaten Sragen, 2009
Gambar 1 Nilai investasi Kabupaten Sragen tahun 2002 - 2009 ‐
200,000 400,000 600,000 800,000 1,000,000 1,200,000 1,400,000 1,600,000
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Juta Rupiah Juta Rupiah
Dengan kewenangan di bidang pemerintahan yang telah diserahkan kepada pemerintah daerah (desentralisasi) untuk lebih leluasa dalam menciptakan iklim investasi di daerahnya masing-masing, maka proses pengambilan kebijakan pembangunan yang sebelumnya lebih banyak dikendalikan oleh pemerintah pusat, selanjutnya menjadi lebih dekat dengan masyarakat di daerah. Seiring dengan diberlakukannya otonomi daerah melalui UU No.22 tahun 1999 yang diperbaharui dengan UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No.25 tahun 1999 yang diperbaharui dengan UU No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah, mengarahkan pemerintah daerah di Indonesia memasuki era baru dalam pelaksanaan sistem desentralisasi di bidang perekonomian, administrasi dan fiskal. Oleh karena itu pemerintah daerah diharapkan dapat mengembangkan potensi daerahnya sendiri dan menggali sumber dana yang ada dan potensial guna mewujudkan peningkatan kesejahteraan warga masyarakatnya. Akibatnya mekanisme pembiayaan pelaksanaan otonomi daerah berubah yaitu diutamakan semaksimal mungkin berasal dari potensi penerimaan asli daerah baik melalui pajak daerah, retribusi daerah maupun dari laba BUMD dan penerimaan lain yang dianggap sah serta potensi penerimaan lain yang masih belum terjangkau oleh PAD.
Indikator makro lain yang cukup mengkhawatirkan adalah makin tingginya pengangguran di Kabupaten Bogor, hal ini bisa dilihat Gambar 4, pada tahun 2003 jumlah pengangguran 230.834 orang menjadi bertambah dua kali lipat pada tahun 2008 yaitu sebesar 598.230 orang. Makin tingginya pengangguran bisa menjadi indikasi bahwa kurangnya penciptaan lapangan kerja, tentunya ini merupakan akibat menurunnya investasi yang dilakukan di Kabupaten Bogor.
Sumber : Bappeda Kabupaten Bogor, 2009
Gambar 4 Jumlah pengangguran Kabupaten Bogor tahun 2000-2008
Investasi merupakan sumber pertumbuhan output daerah yang relatif lebih berkelanjutan dibandingkan pengeluaran konsumsi karena mencakup aktivitas-aktivitas sektor swasta yang cukup produktif (Widodo, 2006). Selain dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, investasi juga mampu mengurangi kemiskinan melalui penciptaan lapangan kerja (Bank Dunia, 2005). Investasi bisa menjadi sumber pertumbuhan ekonomi maupun pembiayaan daerah dibalik kesulitan pemerintah daerah Kabupaten Bogor membiayai pengeluarannya dari penerimaan daerah, oleh karena itu menjadi penting mengkaji “Bagaimana strategi meningkatkan investasi swasta di Kabupaten Bogor?”
230,834 194,902
204,858 193,244
459,197 598,032
‐ 100,000 200,000 300,000 400,000 500,000 600,000 700,000
2003 2004 2005 2006 2007 2008
Jumlah orang
6
1.2. Perumusan Masalah
Pada tahun 2007 Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Kabupaten Bogor menunjukkan penurunan yaitu dari 6,05 persen, menjadi 5,58 persen pada tahun 2008. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor dan salah satunya adalah Pembentukan Modal Tetap (PMTB) selama tahun 2008 lebih banyak terjadi pada sektor tersier (24,60 persen) dan sektor primer (12,64%) dengan volume investasi yang relatif kecil dibandingkan dengan volume investasi di sektor sekunder sebesar 57,66 persen (Laporan Akhir Kabupaten Bogor, 2009).
Baik PMDN dan PMA di Kabupaten Bogor memiliki pola yang sama yaitu pada saat PMA menurun maka PMDN juga ikut turun, begitu sebaliknya pada saat PMA naik maka PMDN juga ikut naik.. Hal tersebut mengindikasikan bahwa investor asing dan domestik mempunyai ekspektasi yang sama terhadap iklim investasi di Kabupaten Bogor. Ada kecenderungan bahwa nilai investasi swasta baik PMA maupun PMDN di Kabupaten Bogor sejak tahun 2000 sampai dengan tahun 2006 berfluktuasi (Gambar 5). Padahal proses akumulasi dan mobilisasi sumber-sumber, berupa akumulasi modal, keterampilan tenaga kerja, dan sumber daya alam yang dimiliki oleh suatu daerah merupakan pemicu dalam laju pertumbuhan ekonomi wilayah bersangkutan (Kuncoro, 2004).
Sumber : Badan Perizinan Terpadu Kabupaten Bogor, 2003-2010.
Gambar 5 Nilai PMA dan PMDN Kabupaten Bogor tahun 2003-2010
Milyar Rupiah
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000 10000
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Total Investasi PMDN
PMA
Penurunan investasi ini berakibat pada makin sulitnya pemerintah daerah Kabupaten Bogor menciptakan lapangan pekerjaan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Sementara jika melihat Kabupaten Sragen sebagai pembanding, investasinya cenderung mempunyai grafik yang meningkat dimana terjadi kenaikan investasi yang sangat signifikan dari 592 milyar pada tahun 2002 menjadi 1,35 trilyun pada tahun 2009 (110 persen) walaupun secara nilai investasi Kabupaten Sragen masih jauh dibawah Kabupaten Bogor.
Relatif berfluktuasinya perkembangan investasi mencerminkan masih belum membaiknya pemanfaatan potensi ekonomi dan iklim investasi di Kabupaten Bogor. Kondisi tersebut menjadi pertanyaan spesifik pertama dalam kajian ini yaitu Bagaimana potensi ekonomi dan perkembangan investasi swasta baik PMA maupun PMDN di Kabupaten Bogor?
Untuk menarik investasi swasta, baik domestik maupun luar negeri melalui Penanaman Modal Dalam Negeri maupun Penanaman Modal Luar Negeri, pemerintah daerah harus memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi ekpektasi investor (Widodo, 2007). Oleh karena itu tantangan yang dihadapi di masa yang akan datang adalah bagaimana meningkatkan iklim investasi Kabupaten Bogor yang dapat menarik investasi swasta, sehingga pertanyaan perumusan masalah yang kedua adalah Seberapa besar tingkat kepentingan faktor-faktor yang mempengaruhi daya tarik investasi swasta di Kabupaten Bogor?
8
1.3. Tujuan dan Manfaat Kajian
Melalui pendalaman pembahasan perkembangan investasi swasta dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, maka dari hasil kajian diharapkan akan tercapai tujuan-tujuan antara lain:
1. Menganalisis kondisi perkembangan investasi swasta di Kabupaten Bogor. 2. Menyusun tingkat kepentingan faktor-faktor yang mempengaruhi daya tarik
investasi swasta di Kabupaten Bogor.
3. Memformulasikan program bagi Pemerintah Kabupaten Bogor untuk meningkatkan investasi swasta di Kabupaten Bogor.
Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari kajian ini meliputi dua hal pokok yaitu:
1. Mendukung teori ilmiah atau akademik bahwa pendekatan investasi swasta Kabupaten Bogor dapat dijadikan dasar sebagai salah satu pendekatan dalam usaha peningkatan pembangunan ekonomi daerah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
DAN KERANGKA KONSEPTUAL
2.1.Definisi Investasi
Investasi merupakan faktor paling penting dan strategis di dalam proses
pembangunan ekonomi. Investasi bahkan disebut sebagai kunci utama menuju
pembangunan ekonomi. Sekali proses ini berjalan, ia akan senantiasa
menggumpal dan menghidupi dirinya sendiri. Proses ini berjalan melewati 3
tingkatan (1) kenaikan volume tabungan nyata yang tergantung pada kemauan dan
kemampuan untuk menabung;(2) keberadaan lembaga kredit dan keuangan untuk
menggalakan dan menyalurkan tabungan agar dapat dialihkan menjadi dana yang
dapat diinvestasi swastakan; (3) penggunaan tabungan untuk tujuan investasi
swasta dalam barang-barang modal pada perusahaan. Pembentukan modal juga
berarti pembentukan keahlian karena keahlian kerapkali berkembang sebagai
akibat pembetukan modal (Jhingan, 2007).
Investasi sebagai pengeluaran-pengeluaran untuk membeli barang-barang
modal dan peralatan-peralatan produksi dengan tujuan untuk mengganti dan
terutama menambah barang-barang modal dalam perekonomian yang akan
digunakan untuk memproduksi barang dan jasa di masa depan. Dengan kata lain,
investasi berarti kegiatan perbelanjaan untuk meningkatkan kapasitas
memproduksi suatu perekonomian (Sukirno, 2006).
2.2.Peranan Investasi 2.2.1. Model Vicious Circle
Profesor Nurkse mengatakan bahwa lingkaran setan kemiskinan (vicious
circle of poverty) pada pokoknya berasal dari fakta bahwa produktivitas total di
10
rendah. Tingkat investasi yang rendah kembali menyebabkan modal kurang dan
produktivitas rendah (Gambar 6). Produktivitas rendah tercermin di dalam
pendapatan yang rendah. Pendapatan nyata rendah berarti tingkat tabungan juga
rendah.
Tingkat tabungan yang rendah menyebabkan tingkat investasi rendah dan
modal kurang. Kekurangan modal pada gilirannya bermuara pada produktivitas yang
rendah. Dengan demikian lingkatan setan itu lengkaplah pula kalau dilihat dari sudut
penawaran. Lingkaran ini dilukiskan di dalam Gambar 7, tingkat pendapatan rendah,
yang mencerminkan rendahnya investasi dan kurangnya modal merupakan ciri umum
kedua lingkaran tersebut (Jhingan, 2007).
Gambar 6 Vicious Circle Permintaan Gambar 7 Vicious Circle Penawaran
2.2.2. Model Keynesian
Permintaan efektif menentukan keseimbangan pekerjaan dan pendapatan.
Permintaan efektif ditentukan pada titik saat harga permintaan agregat sama
dengan penawaran agregat. Permintaan efektif terdiri atas permintaan konsumsi
dan permintaan investasi. Volume investasi tergantung pada efisiensi marginal
dari modal dan suku bunga. Efisiensi marginal modal merupakan tingkat hasil
yang diharapkan dari aktiva modal baru. Sedangkan suku bunga yang merupakan
faktor kedua dari investasi tergantung pada kuantitas. Naiknya kecenderungan
berkonsumsi dapat mengakibatkan kenaikan pada pekerjaan tanpa kenaikan pada
investasi. Kenaikan investasi menyebabkan naiknya pendapatan, dan karena
pendapatan meningkat, muncul permintaan yang lebih banyak atas barang
konsumsi yang pada gilirannya menyebabkan kenaikan berikutnya pada Produktivitas
Rendah
Pendapatan Rendah
Permintaan Rendah Investasi
Rendah Kurang Modal
Produktivitas Rendah
Pendapatan Rendah
Tabungan Rendah Investasi
pendapatan dan pekerjaan. Akibatnya kenaikan tertentu pada investasi
menyebabkan kenaikan yang berlipat pada pendapatan melalui kecenderungan
berkonsumsi. Hubungan antara kenaikan investasi dan pendapatan ini oleh
Keynes disebut multiplier K pengali.
Rumusnya adalah :
∆Y = K. ∆I dan 1 –
K mewakili kecenderungan marginal mengkonsumsi.
Jadi K = MPC
2.2.3. Model Harrod-Domar
Harrod dan Domar memberikan peranan kunci kepada invetasi di dalam
proses perrtumbuhan ekonomi, khususnya mengenai watak ganda yang dimiliki
investasi. Pertama, ia menciptakan pendapatan, dan kedua, ia memperbesar
kapasitas produksi perekonomian dengan cara meningkatkan stok modal. Yang
pertama dapat disebut sebagai “dampak permintaan” dan yang kedua “dampak penawaran” (Sukirno, 2007).
Domar membangun modelnya di sekitar pertanyaan ‘karena investasi di
satu pihak menghasilkan pendapatan dan di pihak lain menaikan kapasitas
produktif, maka pada laju berapakah investasi harus meningkat agar kenaikan pendapatan sama dengan kenaikan di dalam kapasitas produktif, sehingga pekerjaan penuh dapat dipertahankan?.
Domar menjawab pertanyaan ini dengan mempererat kaitan antara
penawaran agregat dengan permintaan agregat melalui investasi. Domar
menjelaskan sisi penawaran tersebut sebagai berikut jika I adalah laju investasi
tahunan dan s adalah kapasitas produksi tahunan per dolar modal yang baru
ditanam rata-rata (yang menggambarkan rasio kenaikan pendapatan nyata atau
output terhadap kenaikan modal output marginal). Jadi kapasitas produktif dolar I
yang diinvestasikan adalah I.s dollar per tahun.
Tetapi sebagian investasi baru akan mengorbankan investasi lama, karena
itu investasi baru akan bersaing dengan investasi lama di pasar tenaga buruh dan
12
sedikit lebih kecil daripada I.s. hal ini dapat dinyatakan dengan Iσ, dimana σ
menggambarkan potensi netto produktivitas rata-rata soaial dari investasi (=∆Y/I). Oleh karena itu Iσ lebih kecil dari I.s.
Sedangkan sisi permintaan dijelaskan dengan multiplier Keynesian.
Misalkan kenaikan rata-rata pendapatan kita nyatakan dengan ∆Y, dana kenaikan
dalam investasi dengan ∆I dan kecenderungan menabung dengan α (=∆ /∆Y). Maka kenaikan pendapatan itu akan sama dengan multiplaktor (1/α) kali kenaikan
dalam investasi.
∆Y = ∆I
Untuk mempertahankan tingkat ekulibrium pendapatan pada pekerjaan
penuh, permintaan agregat harus sama dengan penawaran agregat, maka
persamaan dasar modelnya adalah :
∆I = Iσ
Dengan membagi kedua ruas persamaan dengan I dan mengalikannya
dengan α akan didapatkan sebagai berikut : ∆I
I = ασ
Persamaan ini menunjukan bahwa untuk mempertahankan pekerjaan
penuh laju pertumbuhan investasi autonomous netto (∆I/I) harus sama dengan ασ (MPS kali produktivitas modal). Inilah batas kecepatan laju investasi yang
diperlukan untuk menjamin penggunaan kapasitas potensial dalam rangka
mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi yang mantap pada pekerjaan penuh.
Ys0 = Y0 Ys1
Sumber : Ekonomi Pembangunan, 2007
Gambar 8 Teori Investasi Harord Domar dalam Grafik
I + ∆I
S
S0
I S,I
∆I
Menurut Harord–Domar penananaman modal sebesar I menyebabkan
pada masa berikutnya kapasitas barang-barang modal bertambah sebesar ∆Ys
= ∆I. Di dalam Gambar 8 kenaikan tersebut berarti kenaikan kapasitas barang-barang modal dari Ys0 menjadi Ys1. Supaya kapasitas barang-barang-barang-barang modal yang
telah menjadi Ys1 tersebut sepenuhnya digunakan, penanaman modal dalam tahun
tersebut harus mencapai I + ∆I (Sukirno, 2007).
Dari ketiga teori tersebut diatas, dapat diambil sebuah konklusi bahwa
peranan investasi sangat besar dalam mempengaruhi perekonomian suatu daerah,
dampak dari investasi tidak hanya bisa dilihat dari satu sudut yaitu produktivitas
(sudut penawaran) tapi juga sisi permintaan yaitu menciptakan pendapatan bahkan
menciptakan lapangan kerja, sehingga bisa dikatakan juga bahwa investasi
mempunyai multiplier yang bisa membuat pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.
2.3.Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap investasi
2.3.1. Komisi Pengawas Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD)
Dalam perpektif pengusaha nasional dan para pengamat ekonomi,
sekurang-kurangnya ada tujuh faktor yang dijadikan indikator daya tarik daerah
terhadap investasi lihat Gambar 9, yaitu : kelembagaan, keamanan politik sosial
dan budaya, potensi ekonomi daerah, tenaga kerja, dan infrastruktur (KPPOD,
2004).
1. Kelembagaan
Kelembagaan, mencakup kapasitas pemerintah dalam menjalankan
fungsi-fungsi pemerintahan dalam hal perumusan kebijakan, pelayanan publik,
kepastian dan penegakan hukum, serta pembangunan daerah. Dalam Keamanan
penelitian ini, faktor kelembagaan terbagi dalam 4 (empat) variabel, yaitu :
a. Kepastian Hukum
Yang dimaksud dengan kepastian hukum disini adalah adanya konsistensi
peraturan dan penegakan hukum di daerah. Konsistensi peraturan
ditunjukkan dengan adanya peraturan yang dapat dijadikan pedoman untuk
14
pejabat selalu diikuti pergantian peraturan yang bisa saling bertentangan.
Sedangkan penegakan hukum dilihat dari kinerja aparat penegak hukum
dalam melakukan penegakan peraturan dan keputusan sesuai dengan
peraturan tanpa membedakan subyek hukum. Termasuk dalam variabel
kepastian hukum adalah keberadaan pungutan liar diluar birokrasi yang
dapat terjadi baik di jalur distribusi maupun tempat produksi. Indikator lain
dalam variabel ini adalah hubungan antara eksekutif dan legislatif. Bilamana
hubungan kedua unsur pemerintahan itu terjalin baik maka akan kondusif
bagi kepastian hukum dalam pengertian luas (dalam praktik dunia usaha,
aturan formal bisa terabaikan ketika terjadi perselisihan antar kedua unsur
pemerintahan tersebut yang berimbas ke dunia usaha).
b. Aparatur dan Pelayanan
Yang dimaksud dengan aparatur di sini adalah orang/pejabat atau pegawai
pemerintah daerah yang melaksanakan fungsi administrasi pemerintah
daerah, yaitu menyediakan pelayanan publik, infrastruktur fisik, serta
merumuskan peraturan berupa aturan main dari aktivitas dunia usaha dan
investasi. Indikator aparatur pemda dalam pemeringkatan ini adalah
penggunaan wewenang aparat pemda dalam menjalankan peraturan.
Sedangkan dari sisi pelayanan yang diberikan aparatur pemda dilihat
kejelasan rantai birokrasi dalam hal pengurusan perizinan dan halhal lain
terkait dengan dunia usaha serta perilaku aparat pemda dalam melakukan
pelayanan.
c. Kebijakan Daerah / Peraturan Daerah
Pada prinsipnya peraturan/kebijakan daerah adalah kerangka acuan / aturan
main secara formal yang dibuat dan ditetapkan oleh pemerintah daerah
dalam mengatur aktivitas dunia usaha dan investasi. Kebijakan Daerah
dapat berupa Peraturan Daerah (Perda) dan Keputusan Kepala Daerah (SK
Bupati/Walikota) yang mengatur tentang Pajak dan Retribusi Daerah,
prosedur pelayanan kepada masyarakat, perizinan, dan lain-lain. Perda yang
mengatur mengenai prosedur pelayanan terhadap dunia usaha/investasi yang
birokrasi pelayanan usaha, konsistensi kebijakan, harmonisasi antar produk
hukum, tidak adanya hambatan-hambatan birokrasi dan sebagainya.
Peraturan yang memuat pungutan yang baik semestinya tidak hanya sekedar
ditujukan untuk peningkatan PAD tanpa mempertimbangkan prinsip-prinsip
ekonomi, filosofi pungutan dan dampak terhadap perekonomian
berkelanjutan. Pelanggaran atas prinsip-prinsip tersebut merupakan distrorsi
bagi kegiatan usaha dan investasi. Distorsi dari pungutan tersebut bisa
terjadi pada harga komoditas, hambatan lalu lintas perdagangan antar
daerah, biaya produksi, ekonomi biaya tinggi akibat pungutan berganda atau
yang melampaui kewajaran, dan sebagainya.
d. Keuangan Daerah
Yang dimaksud Keuangan Daerah dalam penelitian ini adalah kebijakan,
strategi, dan teknik yang diterapkan oleh pemerintah daerah dalam upaya
untuk memperoleh dana, serta pembelanjaan atau pengalokasian dana-dana
tersebut untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan fungsi
atau tugas pemerintahan yang diemban oleh pemda (pelayanan,
pembangunan, dan lain-lain). Kebijakan pemerintah daerah dalam menggali
dana dan mengelola dana yang telah mereka peroleh untuk peningkatan
perekonomian daerahnya tersebut tertuang dalam APBD. Variabel keuangan
daerah ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu struktur pungutan, dan
komitment pemda dalam pembangunan. Struktur pungutan digunakan untuk
melihat upaya pemerintah daerah dalam memperoleh dana yang berasal dari
pungutan yang dilakukan kepada masyarakat, seperti melalui pajak dan
retribusi daerah serta pungutan lainnya. Dalam penelitian ini dilihat rasio
antara retribusi terhadap pajak daerah, dengan asumsi bahwa rasio retribusi
yang lebih kecil dari pajak akan mendukung dunia usaha, karena pada
umumnya struktur pungutan dalam pajak relatif lebih jelas dibanding
pungutan dalam retribusi. Sementara struktur pembelanjaan APBD
digunakan untuk melihat komitmen pemerintah daerah dalam melakukan
pelayanan publik. Rasio anggaran pembangunan terhadap pengeluaran
16
indikasi komitmen pemerintah daerah dalam melakukan pembangunan
infrastruktur fisik yang diperlukan untuk mendukung kegiatan usaha, dan
mendorong perekonomian daerah.
2. Keamanan, Sosial, Politik dan Budaya
Yang dimaksud dengan kondisi sosial politik daerah adalah berbagai dampak
atau akibat dari hubungan timbal balik antara segi kehidupan ekonomi dengan
segi kehidupan politik, antara segi hukum dan segi kehidupan agama, segi
kehidupan politik dan keamanan dan sebagainya. Kelompok variabel ini
digunkan untuk mengukur seberapa kondusif aspek sosial, politik, keamanan,
dan budaya dalam mendukung perekonomian daerah dan daya tarik investasi
daerah.
a. Keamanan
Kondisi keamanan merupakan situasi keamanan di daerah yang
mempengaruhi kegiatan usaha/investasi, yang dapat mendukung atau
menghambat aktivitas usaha/investasi dan jaminan keselamatan jiwa
maupun harta. Kondisi keamanan dapat diukur dari rasa aman dan tingkat
gangguan keamanan terhadap dunia usaha maupun terhadap lingkungan
masyarakat tempat usaha, serta kecepatan aparat dalam menanggulangi
gangguan keamanan.
b. Sosial Politik
Kondisi sosial politik adalah keadaan di daerah yang merupakan hasil relasi
antar pranata-pranata dalam satu sistem sosial di daerah, baik antar pranata
politik dan pemerintahan, antar pranata sosial di masyarakat, maupun antar
pranata formal dalam pemerintahan maupun antara elemen-elemen
masyarakat. Beberapa aspek yang membentuk kondisi sosial politik daerah
diantaranya adalah: keterbukaan birokrasi terhadap partisipasi dunia usaha
dalam perumusan kebijakan yang menyangkut kepentingannya, konflik
sosial antar kelompok masyarakat, stabilitas politik, dan kegiatan unjuk
c. Budaya Masyarakat
Budaya merupakan seperangkat ide atau gagasan yang dimiliki oleh
sekelompok orang dalam wilayah tertentu, yang mendasari atau mengilhami
perilaku atau tindakan orang, baik secara individu maupun kolektif dari
anggota kelompok tersebut. Yang diperlukan oleh investor yang akan masuk
ke suatu daerah adalah nilai-nilai budaya masyarakat yang terbuka terhadap
masuknya dunia usaha, adanya kondisi dimana masyarakat tidak antipati
terhadap suatu investasi usaha. Selain keterbukaan, perilaku
nondiskriminatif dari masyarakat setempat dengan perlakuan yang sama
kepada semua orang tanpa membedakan asal usul, ras, agama, gender dalam
kegiatan di setiap sektor. Etos kerja masyarakat, dalam pengertian kemauan
kerja keras, persaingan untuk berprestasi, jujur dan mau/mudah untuk
dibina; juga menjadi pertimbangan investor untuk membuka usaha di suatu
daerah. Bila masyarakat setempat mempunyai etos kerja yang baik maka
akan memudahkan investor dalam rekrutmen pekerja tanpa harus
mendatangkan tenaga kerja dari luar daerah tersebut. Hal lain yang juga
dipertimbangkan oleh investor adalah adat istiadat, khususnya adat istiadat
masyarakat setempat yang tidak mengganggu produktivitas usaha.
3. Ekonomi Daerah
Merupakan ukuran kinerja sistem ekonomi daerah secara makro.
Perekonomian daerah mencakup beberapa hal, antara lain variabel utama
makro ekonomi (seperti total outpu/ PDRB, tingkat harga, dan kesempatan
kerja) yang membentuk struktur ekonomi daerah. Perekonomian daerah
digunakan untuk mengukur daya dukung potensi ekonomi, (ketersediaan
sumber daya alam, dan lain-lain), serta struktur ekonomi terhadap kegiatan
usaha/investasi.
a. Potensi Ekonomi
Potensi ekonomi daerah : mencakup potensi fisik dan non fisik suatu
daerah/wilayah seperti penduduk/manusia, sumber daya alam, sumber daya
buatan dan sumber daya sosial. Faktor penduduk yang dianalisis dalam
18
masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, yang dilihat dari PDRB
perkapita. PDRB perkapita merupakan nilai PDRB atas dasar harga berlaku
dibagi jumlah penduduk di suatu daerah. Kedua, potensi ekonomi dilihat
dari laju pertumbuhan ekonomi, yaitu rata-rata pertumbuhan nilai PDRB
atas dasar harga konstan dari suatu periode/tahun terhadap periode/tahun
sebelumnya. Indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM) digunakan
sebagai identifikasi potensi ekonomi yang menggambarkan kemampuan
masyarakat setempat dalam cakupan yang luas.
b. Struktur Ekonomi
Nilai tambah bruto seluruh sektor kegiatan ekonomi yang terjadi di suatu
daerah, digunakan untuk melihat struktur ekonomi daerah yang
bersangkutan. Basis struktur perekonomian terlihat dari kontribusi
sektor-sektor ekonomi tertentu terhadap nilai bruto seluruh sektor-sektor yang ada di
daerah tersebut (nilai tambah sektoral). Berdasarkan kontribusi sektoral
tersebut dapat dilihat apakah struktur ekonomi daerah yang bersangkutan
berbasis sumber daya alam (primer), sudah terbiasa dalam kegiatan ekonomi
produktif dan industrialisasi (sekunder), dan pada perdagangan, jasa, dan
perbankan (tersier). Indikator-indikator struktur ekonomi tersebut penting
bagi investor untuk mengetahui kegiatan ekonomi yang telah berkembang di
daerah yang bersangkutan.
4. Tenaga Kerja
Tenaga kerja merupakan faktor produksi yang sangat penting dalam
pembentukan nilai tambah suatu kegiatan ekonomi. Selain itu pekerja yang
merupakan sumber daya manusia adalah komponen utama dari pembangunan
karena pelaku utama pembangunan adalah manusia. Untuk melihat gambaran
tentang berapa besar nilai tambah suatu kegiatan ekonomi yang diberikan oleh
setiap pekerja pada suatu kegiatan ekonomi dapat dilihat dengan menghitung
produktivitas tenaga kerja. Beberapa hal yang berhubungan dengan
ketenagakerjaan yang dapat mempengaruhi daya tarik terhadap investasi
a. Ketersediaan Tenaga Kerja
Untuk kegiatan investasi/usaha diperlukan adanya tenaga kerja yang cukup
tersedia, baik yang belum berpengalaman maupun yang sudah
berpengalaman. Tenaga kerja tersebut dapat diperoleh dari daerah yang
bersangkutan atau dengan mendatangkan dari daerah lain. Ketersediaan
tenaga kerja yang dibutuhkan oleh sebuah kegiatan usaha dilihat dari rasio
jumlah penduduk usia produktif; rasio pencari kerja terhadap angkatan
kerja; maupun tenaga kerja dengan basis pendidikan minimal SLTP yang
sudah memiliki pengelaman kerja.
b. Biaya Tenaga Kerja
Yaitu tingkat kompensasi untuk pekerja secara keseluruhan sebagai biaya
yang dikeluarkan oleh pengusaha, yang biasanya merupakan upah atau gaji
untuk pekerjanya. Pedoman normatif pengupahan yang ditetapkan
pemerintah UMP/UMK menjadi faktor penting bagi pengusaha dalam
mengkalkulasi bisnisnya. Selain panduan normatif yang ada, investor juga
membutuhkan ‘pasar ’ upah yang berlaku di daerah yang bersangkutan
berupa upah yang sebenarnya diterima oleh para pekerja yang mungkin bisa
lebih tinggi atau lebih rendah dari UMP/UMK; asumsinya semakin kecil
upah menjadi semakin menarik bagi investor.
c. Produktivitas Tenaga Kerja
Produktivitas tenaga kerja merupakan salah satu indikator ketenagakerjaan
yang dikaitkan dengan faktor ekonomi. Secara makro hanya dapat
diperoleh produktivitas rata-rata pada sektorsektor ekonomi agregatif, bukan
besarnya produksi barang dan jasa tetapi besarnya pertumbuhan ekonomi
(PDRB). Produktivitas diukur berdasarkan besarnya PDRB di sektor
tertentu dibagi dengan jumlah pekerja di sektor tersebut. Metode ini banyak
kelemahan dan kurang akurat, namun demikian cara pengukuran seperti ini
masih memadai untuk menunjukkan kecenderungan produktivitas
20
5. Infrastruktur Fisik
Yang dimaksud dengan infrastruktur fisik adalah berbagai instalasi dan
kemudahan dasar (terutama sistem transportasi, komunikasi, dan listrik), yang
diperlukan oleh masyarakat dalam melakukan aktivitas perdagangan dan
kelancaran pergerakan orang, barang, dan jasa dari satu daerah ke daerah lain
atau ke negara lain dalam suatu kegiatan usaha. Faktor infrastruktur fisik untuk
penelitian ini dibagi menjadi dua variabel yaitu :
a. Ketersediaan Infrastruktur Fisik
Untuk kelancaran kegiatan usaha perlu didukung oleh ketersediaan
infrastruktur fisik seperti jalan raya, kereta api, pelabuhan laut dan udara,
sarana komunikasi (telpon), dan sumber
energi (listrik).
b. Kualitas dan Akses terhadap Infrastruktur Fisik
Infrastruktur fisik yang tersedia belum tentu menjamin kelancaran kegiatan
usaha. Untuk itu infrastruktur yang tersedia juga harus berada dalam
kondisi baik. Kualitas infrastuktur selain memperlihatkan kondisi fisiknya
yang siap dan layak untuk digunakan, juga ditunjukkan dengan kemudahan
akses terhadap infrastruktur yang ada.
Sumber : KPPOD 2005
2.3.2. Bank Dunia
Dalam Laporan Pembangunan 2005, Bank Dunia lebih menekankan agar
pemerintah memperbaiki kinerjanya dalam membangun fondasi dasar dari suatu
iklim investasi yang baik melalui beberapa hal sebagai berikut (Gambar 10) :
1. Stabilitas dan kepastian hak
Iklim investasi yang baik membutuhkan stabilitas ekonomi makro yang
memadai sebelum kebijakan-kebijakan ekonomi mikro dapat memperoleh pijakan
yang cukup besar. Tingkat inflasi yang rendah, defisit anggaran yang
dipertahankan dan nilai tukar yang realistis kesemuanya merupakan hal-hal kunci.
Selain itu pemerintah juga harus fokus dengan memperkuat keamanan dari
hak-hak atas properti yaitu melakukan verifikasi hak-hak-hak-hak atas tanah dan bentuk
properti lainnya, memfasilitasi pelaksanaan kepatuhan terhadap kontrak atau
perjanjian, mengurangi tingkat kriminalitas, dan mengakhiri pengambilalihan
properti tanpa kompensasi.
2. Peraturan dan Perpajakan
Cara-cara pemerintah dalam mengatur dan menerapkan perpajakan
terhadap perusahaan-perusahaan dan transaksi-transaksi baik di dalam perbatasan
maupun pada garis perbatasannya memainkan suatu peran yang besar dalam
membentuk iklim investasi. Peraturan-peraturan yang baik ditujukan untuk
mengatasi kegagalan-kegagalan pasar yang menghambat investasi produktif dan
menyatukan kepentingan perusahaan dengan kepentingan masyarakat.
3. Pendanaan dan Infrastruktur
Pasar finasial apabila berfungsi dengan baik akan menghubungkan
perusahaan dengan para pemberi pinjaman dan investor yang bersedia mendanai
usaha-usaha mereka serta membagi sebagian dari resiko yang ada. Infrastruktur
yang baik akan menghubungkan perusahaan-perusahaan dengan para konsumen
dan pemasoknya serta membantu mereka untuk memanfaatkan teknik-teknik
22
4. Para Pekerja dan Pasar Tenaga Kerja
Pemerintahan-pemerintahan di seluruh dunia memiliki tujuan yang sama
untuk dapat menyediakan pekerjaan yang lenih banyak dan lebih baik bagi
warganya. Pekerjaan adalah sumber utama pendapatan bagi masyarakat dan jalan
utama bagi masyarakat miskin untuk keluar dari kemiskinan. Merancang suatu
iklim investasi yang memberikan perusahaan-perusahaan kesempatan dan insentif
untuk berkembang adalah hal yang mendasar guna menjawab tantangan tersebut.
Kebijakan-kebijakan pemerintah yang mempengaruhi pasar tenaga kerja
memainkan suatu peranan penting dalam upaya-upaya tersebut dengan
membantun menghubungkan masyarakat dengan pekerjaan.
Sumber : Laporan Pembangunan Bank Dunia 2005
Gambar 10 Faktor yang mempengaruhi iklim investasi
Secara subtansi baik penelitian KPPOD dan Bank Dunia tidak terdapat
perbedaaan yang signifikan, namun Bank Dunia lebih menekankan pada perlunya
perbaikan iklim investasi oleh suatu pemerintahan. Perbaikan iklim investasi itu
sendiri menurut Bank Dunia yang akan memicu datangnya investasi ke suatu
daerah. Jadi Bank Dunia menilai bahwa seluruh faktor perbaikan iklim investasi
menjadi tanggung jawab pemerintah. Sementara KPPOD menyoroti investasi
2.4.Manajemen Strategis
Manajemen dirumuskan sebagai seni untuk menciptakan tujuan melalui
usaha-usaha orang lain. Fungsi pokok manajemen adalam perencanaan,
pelaksanaan, dan pengawasan. Sesungguhnya berbagai kegiatan manusia
menghendaki berbagai bentuk manajemen. Semakin kompleks kegiatan manusia,
maka semakin kompleks jugalah tugas manajemen (Soesilo, 2002).
Menurut Einsiedel, strategi berasal dari kata latin strategia (kantor dari Jenderal), dapat juga dinggap berasal dari kara Perancis strategos yang artinya adalah seni memperalat atau mempekerjakan tindakan-tindakan atau “strategems”
menuju ke arah sebuah tujuan (Soesilo, 2002).
Henry Mintzberg dengan pendekatan yang baru mengatakan bahwa
strategi adalah sebuah pola dalam sebuah arus pengambilan keputusan atau
tindakan. Dalam hal ini Mintzberg membedakan antara strategi yang direncanakan
semula (deliberate strategy) yang mengutamakan kontrol dengan strategi yang muncul kemudian (emergentstrategy) yang merupakan suatu proses belajar.
Menurut Setiawan Hari Purnomo, manajemen strategis (Soesilo, 2002)
adalah :
• Merupakan proses
• Berkesinambungan
• Dapat dimodifikasi agar tujuan tercapai.
Perencanaan strategis model Menon et al. (1999) menjelaskan bahwa
pengembangan strategi merupakan proses interkatif yang dibangun dengan latar
belakang organisasi yang memberikan keunikan suatu strategi. Pola
pengembangan strategi tercermin dari keluasan ruang gerak organisasional untuk
bereksperimen dengan budaya inovasi yang luas. Apapun corak organisasi yang
ada, beberapa prose baku telah dikembangkan sebagai prasyarat pengembangan
strategi harus berangkat dari adanya analisis siatuasi yang relevan dan
komprehensif, dengan mempertimbangkan berbagai sumber daya dan kapalitas
yang ada dalam organisasi, melalui sebuah proses integrasi lintas fungsi dan lintas
bidang yang dapat menghasilkan sinergi proses yang baikdidukung kesiaan
berkomitmen yang baik dan positif. Proses tersebut akan menghasilkan strategi
24
Gambar 11 Proses Perencanaan Strategi
Manajemen strategis dapat didefinisikan sebagai ilmu tentang
perumusan, pelaksanaan, evaluasi keputusan-keputusan lintas fungsi yang
memungkinkan organisasi mencapai tujuannya. Sebagaimana tersirat dari definisi
tersebut, manajemen strategis terfokus pada upaya memadukan manajamen,
pemasaran, keuangan/akuntansi, produksi/operasi, penelitian dan pengembangan,
serta sistemn informasi komputer untuk mencapai keberhasilan organisasi (David,
2004).
Proses manajamen strategis terdiri dari tiga tahap (Gambar 12), yaitu
perumusan strategi, pelaksanaan strategi, dan evaluasi strategi. Perumusan strategi mencakup kegiatan mengembangkan misi dan visi organisasi, mengidentifikasi peluang dan ancaman eksternal organisasi, menentukan kekuatan
kelemhan internal organisasi, menetapkan tujuan jangka panjang organisasi,
membuat sejumlah strategi alternatif untuk organisasi, dan memilih strategi
tertentu untuk digunakan. Pelaksanaan strategi mengharuskan perusahaan menetapkan sasaran tahunan, membuat kebijakan, memotivasi karyawan, dan
mengalokasikan sumber daya sehingga perumusan strategi dapat dilaksanakan.
Sedangkan evaluasi strategi adalah tahap akhir dalam manajemen strategis,
dimana para manajer harus benar-benar mengetahui alasan strategi-strategi
Sumber : Manajemen Strategi, Fred David
Gambar 12 Proses Manajemen Strategi (David, 2004)
Proses perumusan strategi dilakukan dengan melalui tiga tahap analisis,
yaitu tahap masukan, tahap analisis, dan tahap keputusan. Tahap akhir analisis
kasus adalah memformulasikan keputusan yang akan diambil. Keputusannya
didasarkan atas justifikasi yang dibuat secara kualitatif maupun kuantitatif,
terstruktur maupun tidak terstruktur, sehingga dapat diambil keputusan yang
signifikan dengan kondisi yang ada. Kerangka kerja analisis perumusan strategi
tertera pada Gambar 13 (David, 2004) yaitu :
1. Tahap Masukan
Tahap masukan merupakan tahap yang membantu perencana strategi
menuliskan berbagai penilaian atau asumsi secara kuantitaif pada tahap awal
proses perumusan strategi. Membuat keputusan-keputusan kecil dalam matriks
masukan mengenai pentingnya faktor-faktor eksternal dan internal membantu
perencana strategi membuat dan mengevaluasi strategi-strategi alternatif secara
26
Internal dan Matrik Kompetitif/Persaingan. Penilaian intuitif yang baik selalu
diperlukan dalam menentukan pembobotan dan pemeringkatan yang tepat.
Gambar 13 Kerangka Analisis Proses Perumusan Strategi
2. Tahap Pencocokan
Strategi kadang-kadang didefinisikan sebagai upaya memadukan sumber daya
dan keterampilan internal dengan peluang dan risiko yang diciptakan oleh
faktor-faktor eksternal. Tahap pencocokan dari kerangka perumusan strategi
dapat menggunakan matriks (IE), Matriks SWOT, Matriks SPACE, Matriks
BCG, Matriks Grand Strategy. Perangkat-perangkat ini tergantung pada informasi yang diperoleh dari tahap masukan untuk mencocokan peluang dan
ancaman eksternal dengan kekuatan dan kelemahan internal. Mencocokan
faktor-faktor keberhasilan eksternal dan internal merupakan kunci untuk
membuat strateggi alternatif yang dapat dijalankan.
Matriks IE didasarkan pada dua dimensi kunci yaitu total nilai IFE yang diberi
bobot pada sumbu x dan total nilai EFE yang diberi bobot pada sumbu y.
3. Tahap Keputusan
Selain membuat peringkat strategi untuk memperoleh daftar prioritas, hanya
ada satu teknik analitis dalam literature yang dirancang untuk menetapkan daya
tarik relatif dari tindakan alternative yang dapat dijalankan. Teknik tersebut
objektif menunjukkan strategi alternative yang paling baik. QSPM
menggunakan masukan dari analisis Tahap 1 dan hasil-hasil pencocokan dari
analisis Tahap 2 untuk memutuskan secara objektif strategi alternatif yang
dapat dijalankan.
QSPM adalah alat yang membuat para perencana strategis dapat menilai secara
objektif strategi alternative yang dapat dijalankan, didasarkan atas faktor-faktor
keberhasilan kritis eksternal dan internal yang telah dikenali terlebih dahulu.
Sebagaimana alat-alat analitis perumusan strategi yang lain, QSPM juga
memerlukan penilaian intuitif yang baik.
Secara konseptual, QSPM menentukan daya tarik relative dari berbagai strategi
yang didasarkan sampai seberapa jauh faktor-faktor keberhasilan kritis
eksternal dan internal kunci dimanfaatkan atau ditingkatkan. Daya tarik relatif
dari masing masing strategi dihitung dengan menentukan dampak kumulatif
dari masing-masing faktor keberhasilan kritis eksternal dan internal. Setiap
jumlah rangkaian strategi alternatif dapat diikutkan dalam QSPM dan setiap
jumlah dapat menyusun suatu rangkaian strategi tertentu, tetapi hanya
strategi-strategi dari suatu rangkaian tertentu yang dinilai relative terhadap satu sama
lain. Beberapa langkah yang perlu dilakukan untuk mengembangkan QSPM
disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 2 Langkah-langkah pengembangan QSPM
Langkah 1. Membuat daftar peluang/ancaman eksternal kunci dan kekuatan/kelemahan internal kunci dari organisasi di kolom kirin QSPM. Informasi tersebut harus diambil langsung dari matriks EFE dan matriks IFE. Paling tidak sepuluh faktor keberhasilan eksternal dan sepuluh faktor keberhasilan internal harus dicakupkan dalam QSPM
Langkah 2. Memberi bobot pada setiap faktor eksternal dan internal kunci. Bobot tersebut sama denganyang ada di Matriks EFE dan Matriks IFE. Bobot tersebut disajikan pada kolom sebelah kanan kolom faktor-faktor keberhasilan kritis eksternal dan internal.
Langkah 3. Memeriksa matriks-matriks pencocokan di Tahap 2, dan mengenali strategi-strategi alternatif yang harus dipertimbangkan organisasi untuk diterapkan. Tulislah
strategi-strategi tersebut pada baris atas QSPM.
28
Tabel 2 Langkah-langkah pengembangan QSPM (Lanjutan)
Langkah 4 Menentukan Nilai Daya Tarik (AS) yang didefinisikan sebagai angka yang menunjukan daya tarik relative masing-masing strategi pada suatu rangkaian alternative tertentu. Nilai Daya Tarik ditentukan dengan memeriksa masing-masing faktor eksternal atau internal satu per satu, sambil mengajukan pertanyaan “Apakah faktor ini mempengaruhi pilihan strategi yang dibuat?” Jika jawaban atas pertanyaan tersebut adalah
ya, maka strategi tersebut harus dibandingakan secara relatif dengan faktor kunci. Khususnya nilai daya tarik harus diberikan pada masing-masing strategi untuk menunjukan daya tarik relatif suatu strategi terhadap yang lain, dengan memp[ertimbangkan faktor tertentu. Cakupan nilai daya tarik adalah 1 = tidak menarik, 2 = agak menarik, 3 = wajar menarik, dan 4 = sangat menarik. Jika jawaban atas pertanyaan tersebut tidak, hal tersebut menunjukan bahwa masing-masing faktor kunci tidak mempunyai pengaruh atas pilihan khusus yang dibuat.
Sumber : Fred David, 2004
2.5.Stakeholder Theory
Stakeholder (pemangku kepentingan) secara sederhana dapat dijelaskan sebagai orang atau organisasi dengan sebuah kepentingan atau keterlibatan pada
sesuatu dan hal ini mungkin berhubungan dengan urusan bisnis (seperti pemegang
saham, konsumen, atau pekerja), sebuah organisasi (pemerintah daerah,
pemerintah pusat atau pemerintah pederal) atau gabungan aktivitas yang
berhubungan dengan sebuah lokasi dari kepentingan yang spesifik (berperahu di
danau, main ski di gunung, jalan kaki atau bersepeda di taman). Pemangku
kepentingan mempunyai kepentingan tentang sukses atau berjalannya sesuatu.
Meskipun hal ini memberikan deskripsi yang lengkap bagi kelompok pemangku
Sumber : Tomsett, 2009
Gambar 14 Stakeholder Menurut Tomsett
2.6.Teori Analytical Hierarchy Process
Berdasarkan pendekatan AHP, yang menjadi narasumber untuk
melakukan pembobotan adalah seorang ahli (expert). Yang dimaksud dengan
expert disini tidak harus seseorang yang pakar pada satu bidang keilmuan tertentu, melainkan orang yang tahu betul akan permasalahan yang hendak diteliti. Dalam
konteks pemeringkatan daya saing investasi daerah, expert yang dimaksud dalam penelitian ini adalah orang-orang yang paham benar mengenai seluk beluk
kegiatan investasi, dan sering terlibat atau berpengalaman dalam melakukan
kegiatan investasi. Dengan demikian, mereka dapat memberikan pendapat
mengenai pertimbangan-pertimbangan yang melandasi seorang investor mau
menanamkan modalnya di suatu daerah. Untuk itu, pemerintah daerah, DPRD Tk
II pada komisi B, pengusaha, dan peneliti pada Litbang APINDO merupakan
orang yang tepat untuk dijadikan responden dalam menentukan bobot pengaruh
faktor dan variabel yang digunakan untuk pemeringkatan daya saing investasi
daerah. Jumlah responden menjadi tidak penting dalam menentukan bobot
30
akan permasalahan yang dimaksud. Untuk itu, pengambilan sampel responden
dilakukan secara purposif.
Prinsip metode AHP digunakan untuk memberikan bobot tiap faktor dan
variabel dengan perbandingan antar faktor dan variabel satu dengan lainnya.
Bobot yang lebih besar dari suatu faktor atau variabel menunjukkan suatu faktor
atau variabel tertentu mengandung nilai lebih penting dibandingkan faktor atau
variabel lainnya dalam menentukan tingkat kepentingan investasi suatu daerah.
Analytical Hierarchy Process (AHP) adalah metode yang digunakan untuk mengambil keputusan yang kompleks dengan menggunakan pendekatan
matematika dan psikologi atau persepsi manusia. Metode ini dikembangkan oleh
Thomas L. Saaty pada tahun 1970. Beberapa keunggulan dari AHP antara lain: 1)
melibatkan persepsi seorang ahli yang mengerti persoalan sebagai bahan
masukan; 2) mampu memecahkan masalah yang memiliki banyak tujuan (multi objectives) dan banyak kriteria (multi criterias); 3) mampu memecahkan persoalan yang kompeks dan tidak terkerangka akibat dari data yang minim.
Adapun kelemahan AHP yang sebenarnya juga dapat berarti kelebihan adalah
bahwa metode penyelesaian sederhana sehingga bagi beberapa orang sering
dianggap kurang meyakinkan (Permadi, 1992).
Menurut Saaty (1991), ada tiga prinsip dalam memecahkan persoalan
dengan analisis logis eksplisit, yaitu:
1. Prinsip menyusun hirarki
Pada bagian ini mencakup pertimbangan-pertimbangan ataupun
langkah-langkah menuju suatu keputusan yang akan diambil. Sasaran utama yang
merupakan suatu tujuan, disusun ke dalam bagian yang menjadi elemen
pokoknya, dan kemudian bagian ini dimasukkan ke dalam bagiannya lagi, dan
seterusnya secara hirarki. Sehingga persoalan yang sangat kompleks dipecah
menjadi bagian-bagiannya sehingga memudahkan pengambilan keputusan.
2. Prinsip menetapkan prioritas
Untuk menetapkan prioritas perlu dilakukan perbandingan antara satu aspek
dengan aspek yang lainnya, sehingga dapat ditentukan peringkat
3. Prinsip konsistensi logis
Pada prinsip ini harus konsisten terhadap pilihan yang telah diputuskan, dan
elemen dikelompokkan secara logis dan diperingkatkan secara konsisten
dengan kriteria yang logis. Nilai rasio konsistensi paling tinggi adalah 10
persen, jika lebih maka pertimbangan yang telah dilakukan perlu diperbaiki.
2.7.Hasil kajian Terdahulu
Kuncoro dan Rahajeng (2005) melakukan kajian mengenai “Daya Tarik
Investasi dan Pungli di Yogyakarta”. Dalam kajian itu dinyatakan bahwa ada
perbedaan antara peringkat bobot faktor penentu investasi daerah di Daerah
Istimewa Yogyakarta dengan peringkat bobot faktor penentu investasi yang
dilakukan oleh KKPOD pada tahun 2003 untuk 200 Kabupaten/Kota di Indonesia.
Menurut KPPOD faktor yang memiliki bobot terbesar adalah faktor
Kelembagaan, diikuti oleh faktor Sosial Politik, Ekonomi Daerah. Kemudian
faktor Tenaga Kerja dan faktor Infrastruktur Fisik yang memiliki bobot sama.
Faktor-faktor di atas dibedakan menjadi faktor ekonomi dan faktor nonekonomi.
Faktor ekonomi terdiri dari faktor Ekonomi Daerah dan faktor Tenaga Kerja,
sedangkan faktor nonekonomi meliputi faktor Kelembagaan, Infrastruktur Fisik
dan Sosial Politik. Jadi menurut persepsi pelaku usaha di DIY daya tarik investasi
di DIY relatif lebih dipengaruhi oleh faktor nonekonominya terutama
Kelembagaan, Infrastruktur Fisik dan Sosial Politik, dibandingkan dengan faktor
ekonomi yaitu Ekonomi Daerah dan Tenaga Kerja. Menurut persepsi pelaku
usaha di DIY, faktor ekonomi cenderung lebih “controllable” dibandingkan dengan faktor nonekonomi. Berdasarkan hasil temuan penelitian maka dapat
diperoleh kesimpulan bahwa menurut persepsi pelaku usaha di DIY, faktor
Kelembagaan memiliki bobot terbesar dalam menentukan daya tarik investasi/
kegiatan berusaha di DIY. Kemudian diikuti oleh faktor Infrastruktur Fisik, yang
ketiga adalah faktor Sosial Politik. Berikutnya adalah faktor Ekonomi Daerah dan
yang terakhir adalah faktor Tenaga Kerja.
Komadin (2008) melakukan kajian mengenai “Strategi Peningkatan
Investasi di Kabupaten Indramayu”. Kajian tersebut menyimpulkan bahwa
Kabupaten Indramayu mengalami penurunan investasi. Data perkembangan
32
dengan nilai investasi sebesar Rp 301 juta, meliputi PMDN sebanyak 4 proyek
dengan nilai investasi Rp 125,5 milyar PMA sebanyak 9 proyek dengan nilai
investasi USD 20,5 juta dan Non PMA/PMDN 1 proyek dengan nilai investasi
Rp 50 milyar. Penurunan ini terlihat dari grafik turun naiknya jumlah investasi
setiap tahun dan nilai proyek yang menurun. Selanjutnya investor lebih fokus
pada industri pengolahan minyak dan gas serta pertanian dan belum pada
sektor-sektor lainnya. Selain itu hasil analisis tentang daya saing investasi menunjukan
bahwa prioritas elemen faktor kekuatan yang paling mempengaruhi daya saing
investasi Kabupaten Indramayu secara berurutan yaitu potensi ekonomi (0,351),
zona dan kluster industri (0,246), dukungan birokrasi (0,164), jumlah tenaga kerja
(0,104), letak strategis dan luas wilayah (0,076), dan budaya daerah (0,060).
Prioritas elemen faktor kelemahan yang paling mempengaruhi daya saing
investasi Kabupaten Indramayu secara berurutan yaitu kualitas infrastruktur
rendah (0,378), kualitas SDM yang rendah (0,252), kurangnya promosi (0,160),
pemekaran Kabupaten Indramayu (0,115), dan perda yang bermasalah (0,115).
Prioritas elemen faktor peluang yang paling mempengaruhi daya saing investasi
Kabupaten Indramayu secara berurutan yaitu pengembangan transportasi darat
Jakarta – Cirebon (0,498), pembangunan Pelabuhan Samudera Cirebon (0,367),
dan pembangunan Bendungan Jatigede Sumedang (0,135). Prioritas elemen faktor
ancaman yang paling mempengaruhi daya saing investasi Kabupaten Indramayu
secara berurutan yaitu adanya Persaingan dengan daerah lain (0,443), rendahnya
dukungan perbankan (0,387), dan lambatnya penerbitan SPM (0,169).
Sri Suneki (2006) melakukan kajian tentang “Determinan Investasi
Swasta di Jawa Tengah”. Dalam kajian tersebut ditemukan bahwa faktor yang
mempengaruhi Penanaman Modal Asing di Jawa tengah adalah variabel PDRB,
Angkatan kerja, dan Infrastruktur yang berpengaruh positif dan signifikan dalam
jangka pendek maupun jangka panjang. Adapun tingkat suku bunga internasional
(LIBOR) berpengaruh dengan arah negatif secara bersama-sama variabel tersebut
mampu menjelaskan 61,07 persen variasi variabel PMA. Dari keempat variabel yang
diteliti dalam PMDN maupun PMA, variabel angkatan kerja merupakan variabel
yang berpengaruh dominan, oleh karena itu diperlukan langkah dan strategi untuk
menarik minat investasi di Jawa Tengah dengan cara meningkatkan kualitas angkatan
Hal yang membedakan kajian-kajian tersebut dengan kajian ini adalah
pertama kajian ini selain mengukur tingkat pengaruh faktor yang mempengaruhi
investasi swasta, juga melihat pelaku yang paling mempengaruhi investasi di
Kabupaten Bogor. Kedua, dalam penelitian ini juga disampaikan strategi yang perlu
dilakukan Pemerintah Kabupaten Bogor dalam kerangka peningkatan investasi dari
beberapa faktor yang dapat dibedakan dengan faktor ekonomi dan non ekonomi.
Ketiga, kajian ini juga menggunakan alat analisis AHP. Dengan AHP ini tingkat
faktor-faktor pada berbagai level diuji konsistensinya.
2.8.Kebijakan Investasi Existing di Kabupaten Bogor 2.8.1. Visi dan Misi
Sebagaimana telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun
2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)
Kabupaten Bogor tahun 2009-2013, Visi Kabupaten Bogor adalah Terwujudnya
masyarakat Kabupaten Bogor yang bertakwa, berdaya, dan berbudaya menuju
sejahtera.
Dalam rangka mendukung pelaksanaan Peraturan Daerah No. 7 tahun
2009 tersebut dan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi serta masukan-masukan
dari stakeholders, maka Badan Perizinan Terpadu Kabupaten Bogor menetapkan Visi sebagai berikut “terwujudnya pelayanan prima untuk menjamin iklim
penanaman modal yang kondusif dan berdaya saing”.
Makna visi adalah sebagai berikut :
Pelayanan Prima adalah pelayanan yang dijalankan secara profesional
berdasarkan kepada Standar Operasional Pelayanan (SOP) dan Standar Pelayanan
Minimal (SPM).
Iklim Penanaman Modal adalah kondisi internal maupun eksternal yang
mempengaruhi kegiatan penanaman modal.
Kondusif adalah kondisi yang memungkinkan pelaku usaha menjalankan
usahanya dengan nyaman dan aman.
Berdaya saing adalah pelaku usaha yang mandiri, tenaga kerja yang memiliki