INDEKS KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH
UNTUK MENDUKUNG PENATAAN RUANG:
STUDI KASUS DI PULAU JAWA
NURWADJEDI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN DISERTASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Indeks Keberlanjutan Lahan Sawah untuk Mendukung Penataan Ruang: Studi Kasus di Pulau Jawa adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Januari 2011
NURWADJEDI. Rice Field Sustainability Index for Supporting Spatial Use Management: Case Study in Java Island. Under direction of Budi Mulyanto, Supiandi Sabiham, Aris Poniman, and Suwardi.
A Java island, rice bowl of Indonesia, plays an important role in protecting the national food security. The weakness of the national food security threatens the national unity of the Republic of Indonesia (NKRI). Currently, the sustainability of rice fields of Java which supports the national food security is facing the problems due to the increase of population which causes multidimensional impacts. The objective of this research was (1) to establish the rice field agro-ecological zones as the basis for the assessment of the rice field sustainability, (2) to determine the rice field carrying capacity in provincial regions, (3) to determine the index of rice field sustainability based on rice field agro-ecological zones, and (4) to formulate the alternative policies of land management for supporting spatial use management in achieving sustainable agricultural development. A rice field agro-ecological zone is defined as a rice area in cultivated land which has similarity of potential productivity and cropping intensity. Data analysis method for delineating rice field agro ecological zones was GIS model base based on the criteria of land suitability, irrigation conditions, and area status; for selecting main indicators and categorizing of rice field sustainability consecutively used factor and discriminant analysis; and for formulating the alternatives policies of land management was Analytical Hierarchy Process (AHP). The results showed that 3,101,354 ha (86.9%) productive rice field agro-ecological zones are dominated by productive rice fields of fertile volcanic soils supported by moderate irrigation condition applied to the number of cropping intensity of 2 (IP200). With the rice consumption scenario of 110 kg/capita/year, most of the rice field carrying capacity of Java with the total rice production of 23,012,032 ton per year is predicted under sustainable condition until 2025 in which the total population achieves 128,470,256 persons. Mostly, the sustainability status of these productive rice fields is categorized into moderately sustainable. The problems of the rice field sustainability are dominantly caused by main indicators of water availability, low content of soil organic matter, N-total nutrient, P-available nutrient, and K-available nutrient, low farmer income, rice field conversion, difficult access of fertilizers, land ownership and fragmentation, low farmer education, and old age of farmers. To solve these problems in conjunction with spatial use management to achieve sustainable agricultural development, the economical factor policy is the most important, compared to the biophysical factor and social-cultural policies; while the social-cultural policy is more important than the biophysical factor policy. Except for social-cultural policy, the determination of the priority locations to apply these policies is affected by the characteristics of rice field agro-ecological zones. The implementation of these policies needs coordination among stakeholders, considering that rice fields have multifunction which can be categorized into common pool resource. Through these policies, it is believed that rice production of Java will be self-sufficiency or rice exporter. To achieve these expectations, it is required to establish National Rice Agency and the spatial data management through the development of National Spatial Data Infrastructure (NSDI).
NURWADJEDI. Indeks Keberlanjutan Lahan Sawah untuk Mendukung Penataan Ruang: Studi Kasus di Pulau Jawa. Di bawah bimbingan Budi Mulyanto, Supiandi Sabiham, Aris Poniman, dan Suwardi.
Pulau Jawa sebagai lumbung beras nasional berperan penting dalam menjaga ketahanan pangan nasional. Rapuhnya ketahanan pangan di pulau Jawa dapat mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Saat ini, keberlanjutan lahan sawah di pulau Jawa yang berperan menjaga ketahanan pangan nasional tersebut sedang menghadapi masalah karena peningkatan jumlah penduduk yang dapat mengakibatkan peningkatan konsumsi pangan dan kebutuhan lahan permukiman. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menetapkan zona agroekologi lahan sawah sebagai basis kajian keberlanjutan, (2) menentukan daya dukung lahan sawah di setiap wilayah provinsi, (3) menentukan indeks keberlanjutan pertanian lahan sawah berdasarkan zona agroekologi, dan (4) merumuskan alternatif kebijakan pengelolaan lahan sawah berdasarkan zona agroekologi untuk mendukung penataan ruang dalam rangka mewujudkan pertanian lahan sawah berkelanjutan.
Penelitian menggunakan data primer dan sekunder, yang mencakup lingkungan biofisik, ekonomi, dan sosial-budaya. Penelitian yang berlangsung dari bulan Maret 2009 hingga Juni 2010 dimulai dengan pengumpulan dan kompilasi berbagai data primer dan sekunder baik dalam bentuk spasial (peta) maupun non-spasial (data diskriptif) dari instansi-instansi terkait. Data primer dan sekunder yang terkumpul digunakan untuk membangun basis model Sistem Informasi Geografi (SIG) yang merupakan hasil overlay dari layer sistem lahan, penutup lahan, kawasan hutan, agroklimat, potensi air tanah dan kondisi irigasi, sosial-budaya yang terintegrasi dengan layer batas wilayah. Basismodel SIG ini digunakan untuk mensintesa zona agroekologi lahan sawah, yang didefinisikan sebagai lahan sawah di kawasan budidaya yang memiliki kesamaan kelas kesesuaian lahan dan intensitas pertanaman. Setelah tingkat akurasinya divalidasi di lapangan dengan teknik sampling klaster dan stratifikasi, zona agroekologi lahan sawah yang disintesa kemudian digunakan sebagai basis untuk menentukan daya dukung lahan sawah dan untuk memetakan indeks keberlanjutan lahan sawah yang didasarkan pada indikator utama keberlanjutan lahan sawah yang diseleksi dan dikelompokkan dengan analisis faktor dan diskriminan. Nilai indeks keberlanjutan yang diperoleh selanjutnya digunakan untuk mengidentifikasi indikator utama dari faktor lingkungan biofisik, ekonomi, dan sosial-budaya yang berperan sebagai faktor penghambat dan faktor pendorong keberlanjutan lahan sawah. Permasalahan keberlanjutan lahan sawah dari faktor penghambat digunakan sebagai basis kajian pengelolaan lahan untuk merumuskan alternatif kebijakan dalam mendukung penataan ruang yang bertujuan untuk mewujudkan pembangunan pertanian berkelanjutan. Perumusan alternatif kebijakan pengelolaan lahan sawah tersebut dianalisis dengan Analytical Hirarchy Process (AHP), dengan sumber data dari pendapat para birokrat dan pakar dari instansi-instansi pemerintah, lembaga penelitian, perguruan tinggi, dan pedagang beras.
Sebagian besar lahan sawah produktif tersebut merupakan tanah subur yang berbahan induk bahan volkan dengan didukung infrastruktur irigasi yang cukup memadai yang ditanami padi sawah dua kali dalam setahun (IP200). Lahan sawah produktif ini diprediksi memiliki luas panen 6,123,810 ha dengan potensi produksi 35,403,127 ton GKG/tahun atau setara 23,012,032 ton beras/tahun. Ditinjau distribusinya, lahan sawah produktif secara berurutan banyak menyebar di provinsi Jawa Timur ( 1,011,876 ha), Jawa Tengah (953,201 ha), Jawa Barat (892,763 ha), Banten (192,126 ha), DI. Yogyakarta (48,100 ha) , dan DKI. Jakarta (3,288 ha).
Dengan menggunakan skenario konsumsi beras 100-140 kg/kapita/tahun, kondisi daya dukung lahan sawah di pulau Jawa dari tahun 2005 hingga 2025 umumnya menunjukkan kategori bersyarat. Namun demikian, daya dukung lahan sawah di setiap provinsi menunjukkan kondisi yang berbeda-beda, tergantung pada jumlah penduduk, luasan lahan sawah produktif, dan konsumsi beras. Dengan skenario konsumsi beras 140 kg/kapita/tahun, daya dukung lahan sawah di provinsi-provinsi yang berperan sebagai lumbung padi andalan seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat mengarah ke kondisi bersyarat mulai tahun 2015. Konsumsi beras 110 kg/kapita/tahun atau setara dengan 1,130 kkal/kapita/hari dinilai paling ideal untuk menjaga keberlanjutan lahan sawah karena energi yang dikandungnya telah sesuai dengan standar Pola Pangan Harapan Nasional (PPHN), yaitu 50% dari energi 2,200 kkal untuk memenuhi kebutuhan energi setiap orang dalam sehari dari kelompok pangan padi-padian. Oleh karena itu, konsumsi beras nasional sebesar 139.15 kg/kapita/hari atau setara dengan 1,430 kkal/kapita/hari dinilai terlalu tinggi karena energi yang dikandungnya telah melebihi standar PPHN.
Indeks keberlanjutan yang dapat berperan untuk pengendalian pelaksanaan penataan ruang dalam rangka mewujudkan pemanfaatkan lahan sawah berkelanjutan di Jawa sebagian besar termasuk kategori cukup berkelanjutan. Indikator keberlanjutan lahan sawah yang mencakup faktor lingkungan biofisik, ekonomi, dan sosial-budaya dapat berperan sebagai faktor pendukung dan penghambat. Indikator faktor pendukung keberlanjutan lahan sawah ditunjukkan oleh kandungan unsur hara P-total dan K-total (sedang-tinggi), bebas pencemaran air laut, fasilitas pengolahan pascapanen, akses pemasaran, budaya menanam padi sawah dengan IP200 yang ramah lingkungan, motivasi bertani yang tinggi, dan persepsi menolak konversi lahan sawah menjadi daerah permukiman dan industri. Adapun indikator faktor penghambat yang dapat mengancam keberlanjutan lahan sawah meliputi ketersediaan air, kandungan C-organik rendah, N-total rendah, P-tersedia rendah, K-P-tersedia rendah, keuntungan petani yang rendah, akses perolehan pupuk yang sulit, konversi lahan, penguasaan dan fragmentasi lahan, tingkat pendidikan petani rendah, dan usia petani yang lanjut.
melalui peningkatan pendidikan dan kaderisasi petani serta reforma agraria. Kebijakan pembangunan dan perbaikan saluran irigasi serta konservasi tanah dan air merupakan prioritas pertama untuk mengatasi permasalahan faktor lingkungan biofisik. Setelah itu, kebijakan yang perlu diterapkan adalah pemberian pupuk berimbang dan pengendalian hama dan penyakit tanaman terpadu. Penerapan kebijakan faktor biofisik dan ekonomi dapat ditempatkan di lokasi yang berbeda-beda, tergantung pada karakteristik zona agroekologi lahan sawah, sedangkan penerapan kebijakan faktor sosial-budaya dapat ditempatkan di semua lokasi, tanpa ada skala prioritas.
Kunci keberhasilan penerapan semua kebijakan pengelolaan lahan sawah untuk mendukung penataan ruang terletak pada komitmen pemerintah terhadap masalah pengaturan kelembagaan dan kebijakan pendukung lainnya, seperti merevisi kebijakan konsumsi beras 139.15 kg/kapita/tahun menjadi 110 kg/kapita/tahun dan kebijakan diversifikasi pangan. Pengaturan kelembagaan ini sangat penting, mengingat lahan sawah memiliki multifungsi yang dapat dikategorikan sebagai barang milik bersama (common pool resource). Kegagalan dalam pengaturan kelembagaan ditunjukkan oleh terjadinya pengalokasian kawasan permukiman di lahan sawah produktif pada peta RTRW, yang diprediksi dapat mengakibatkan kehilangan produksi beras sekitar 3 juta ton beras setiap tahun dari konversi lahan seluas 393,739 ha. Selain itu, rendahnya perolehan keuntungan petani yang mengakibatkan pendapatannya semakin pas-pasan (marginal) merupakan bukti terjadinya kegagalan pasar karena ada nilai jasa petani yang tidak diperhitungkan dalam penentuan harga padi.
Apabila pemerintah benar-benar komitment melaksanakan kebijakan pengaturan kelembangan, pulau Jawa tidak mustahil akan dapat berswasembada beras atau bahkan sebagai pengekspor beras. Karena lahan sawah bersifat multifungsi, pengaturan kelembagaan ini disarankan dapat dikelola oleh lembaga khusus “Badan Persawahan Nasional” yang mempunyai tugas dan fungsi penyelenggaraan pengelolaan lahan sawah secara terpadu untuk menjaga ketahanan pangan nasional. Selain itu, upaya untuk menjaga keberlanjutan lahan sawah juga memerlukan dukungan kebijakan penataan data lahan sawah melalui pembangunan Infrastruktur Data Spasial Nasional (IDSN).
Kata kunci: zona agroekologi lahan sawah, penataan ruang, keberlanjutan lahan sawah, basis model SIG, sumberdaya milik bersama, IDSN
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB
INDEKS KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH
UNTUK MENDUKUNG PENATAAN RUANG :
Studi Kasus di Pulau Jawa
NURWADJEDI
Disertasi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh gelar Doktor
pada Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Disertasi : Indeks Keberlanjutan Lahan Sawah untuk Mendukung Penataan Ruang : Studi Kasus di Pulau Jawa
Nama : Nurwadjedi
NIM : A161080022
Disetujui
Komisi Pembimbing
Mengetahui
Ketua Program Mayor Ilmu Tanah Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Budi Mulyanto, MSc
Ketua
Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, MAgr Anggota
Prof. Dr. Aris Poniman Anggota
Dr. Ir. Suwardi, MAgr Anggota
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodipuro, MS Dr. Ir. Atang Sutandi, MS
Penguji pada Ujian Tertutup:
1. Dr. Priyadi Kardono, MSc
Deputi Bidang Survei Dasar dan Sumber Daya Alam BAKOSURTANAL
2. Dr. Ir. M. Ardiansyah, MSc
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
Penguji pada Ujian Terbuka:
1. Dr. Asep Karsidi, MSc
Kepala Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL)
2. Dr. Ir. Baba Barus, MSc
Dengan memanjatkan rasa syukur kehadirat Allah SWT atas segala rakhmat,
nikmat, karunia, dan hidayahNya, penulis dapat menyelesaikan penulisan disertasi
sebagai prasyarat memperoleh gelar Doktor pada Sekolah Pascasarjana IPB.
Disertasi dengan judul Indeks Keberlanjutan Lahan Sawah untuk Mendukung
Penataan Ruang: Studi Kasus di Pulau Jawa ini adalah hasil penelitian yang
dilaksanakan di laboratorium dan di lapangan dari bulan Maret 2009 hingga
bulan Juni 2010.
Penulis melakukan penelitian ini diinspirasi oleh adanya kekhawatiran
dinamika ketahanan pangan nasional yang cenderung bergejolak akibat krisis
pangan dunia pada tahun 2007-2008. Penulis memperoleh inspirasi itu sebelum
memperoleh tugas belajar di Sekolah Pascasarjana IPB dengan mendapat
beasiswa dari Kementerian Riset dan Teknologi. Dengan mengambil lokasi
penelitian di pulau Jawa sebagai lumbung beras nasional andalan, penulis
mempunyai harapan untuk dapat menjawab permasalahan pokok keberlanjutan
lahan sawah di Jawa khususnya, dan di Indonesia pada umumnya.
Hasil penelitian ini secara ringkas diorganisasikan menjadi tiga topik
kegiatan pokok, yaitu (1) penetapan zona agroekologi lahan sawah dan daya
dukung wilayah, (2) penentuan indeks keberlanjutan lahan sawah, dan (3)
perumusan alternatif kebijakan pengelolaan lahan sawah. Pembahasan ketiga
topik kegiatan pokok tersebut secara utuh dirangkai menjadi delapan bab, daftar
pustaka, ringkasan, dan lampiran. Delapan bab tersebut terdiri dari (1)
pendahuluan (bab 1), tinjauan pustaka (bab 2), metodologi penelitian (bab 3),
zona agroekologi sebagai basis kajian keberlanjutan lahan sawah (bab 4), indeks
keberlanjutan lahan sawah (bab 5), kebijakan pengelolaan lahan sawah (bab 6),
pembahasan umum (bab 7), serta kesimpulan, saran, dan kebaruan (bab 8).
Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, terutama
pemangku kepentingan pengambil kebijakan tentang penataan ruang dan
ketahanan pangan nasional.
Bogor, Januari 2011
Penulis dilahirkan di Malang pada tanggal 24 April 1959 sebagai anak
kelima dari Bapak Sarbini (Alm) dan Ibu Masrifah (Alm). Pada tahun 1989,
penulis menikah dengan Enni Dwi Wahjunie dan pada tahun 2003 dikarunia
seorang putra, Fahmi Akbar (7 tahun).
Pendidikan sarjana ditempuh di Departemen Ilmu-Ilmu Tanah, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor (1979-1983). Pada tahun 1984 penulis bekerja
di Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL). Pada
tahun 1985 penulis mengikuti pelatihan pemetaan geomorfologi, dari program
kerjasama antara BAKOSURTANAL dan International Institute for Aerospace
Survey and Earth Sciences (ITC) Enschede, Belanda. Pada tahun 1986-1989
dengan sponsor Bank Dunia penulis melanjutkan pendidikan program
pascasarjana (MSc) di Department of Land Resource Science, University of
Guelph, Canada. Pada tahun 2000 dengan sponsor JICA penulis mengikuti
pelatihan Advanced GIS and Remote Sensing Traning di Tokyo, Jepang. Dari
tahun 2000 hingga 10 September 2010, penulis mendapat amanah sebagai Kepala
Bidang Basis Data Sumber Daya Alam Darat dan sejak 11 September 2010
hingga sekarang mendapat amanah sebagai Kepala Pusat Survei Sumber Daya
Alam Laut, BAKOSURTANAL. Pada tahun 2008 dengan sponsor Kementerian
Riset dan Teknologi, penulis melanjutkan program Doktor (S3) pada Sekolah
Pascasarjana IPB, Bogor.
Selama mengikuti program S3, penulis mempublikasikan tiga karya ilmiah,
yaitu: (1) Pemanfaatan data citra satelit Inderaja optik ALOS untuk pemetaan
lahan sawah: studi kasus di beberapa lokasi di Jawa, diterbitkan di Jurnal Ilmiah
Geomatika Vol. 15 (1): 36-46/Agustus 2009, diseminarkan di 3rd ALOS Joint PI
Symposium Program, Kona, Hawai, November 9-13-2009; (2) The assessment of
the rice field sustainability in Java on the basis of regional spatial use planning
(RTRW), diseminarkan di Seminar Nasional Ilmu Tanah, Yogyakarta, 20-22
November 2009, diterbitkan di Jurnal Ilmiah Geomatika Vol. 16 (1): 10-20/
Agustus 2010; dan (3) Indeks keberlanjutan lahan sawah untuk mendukung
penataan ruang: studi kasus di kabupaten Jember, Jawa Timur; diterbitkan di
Jurnal Tanah dan Iklim No. 32/2010. Artikel-artikel tersebut merupakan bagian
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penyelesaian disertasi ini bukan merupakan usaha penulis semata. Sebagai insan ciptaan Allah subhanahu wata’ala (SWT) yang ditakdirkan banyak memiliki kelemahan, hasil penelitian yang penulis dambakan ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Budi Mulyanto, MSc., Bapak Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, MAgr., Bapak Prof. Dr. Aris Poniman, dan Bapak Dr. Ir. Suwardi, MAgr. atas segala arahan sebagai komisi pembimbing, Bapak Dr. Priyadi Kardono, MSc. dan Bapak Dr. Ir. M. Ardiansyah, MSc. sebagai penguji luar komisi ujian tertutup; serta Bapak Dr. Asep Karsidi, MSc. dan Bapak Dr. Ir. Baba Barus, MSc. sebagai penguji luar komisi ujian terbuka.
Penulis juga menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada Kepala BAKOSURTANAL, Deputi Survei Dasar dan Sumber Daya Alam, serta Kepala Pusat Survei Sumber Daya Alam Darat, yang telah memberikan kesempatan dan dukungan kepada penulis untuk melanjutkan program Doktor di IPB melalui program beasiswa dari Kementerian Negara Riset dan Teknologi (KNRT).
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada seluruh jajaran Kementerian Negara Riset dan Teknologi yang telah memberikan beasiswa dan memfasilitasi pelaksanaan kegiatan studi.
Penulis juga tidak lupa menyampaikan terima kasih kepada Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Ketua Program Mayor Ilmu Tanah dan Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian IPB, atas perkenannya penulis dapat mengikuti pendidikan S3 melalui jalur penelitian. Kepada seluruh analis dan laboran laboratorium tanah di Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan, Fakultas Pertanian IPB dan teknisi laboratorium Basisdata Sistem Informasi Geografi, Pusat Survei Sumber Daya Alam Darat, BAKOSURTANAL, terima kasih atas bantuannya.
Kepada istri (Enni Dwi Wahjunie) dan ananda Fahmi Akbar, terimakasih atas dorongan motivasi, pengorbanan dan pengertiannya selama penulis melaksanakan pendidikan.
Akhirnya, kepada semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu, penulis mengucapkan terima kasih atas segala bantuannya. Semoga semua amal bakti yang diberikan kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT, amiin.
Halaman
DAFTAR TABEL ……… xvii
DAFTAR GAMBAR……… xx
DAFTAR LAMPIRAN……… xxv
1 PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang………... 1
1.2 Tujuan Penelitian……….... 5
1.3 Hipotesis Penelitian ………... 5
1.4 Manfaat Penelitian ……… 5
1.5. Kerangka Pemikiran ………. 6
1.5.1 Rasional... 6
1.5.2 Model Penelitian... 9
1.5.3 Rancangan Kebaruan Penelitian... 13
2 TINJAUAN PUSTAKA ... 15
2.1 Perkembangan Lahan Sawah... 15
2.2 Karakteristik Biofisik ... 19
2.2.1 Agroklimat ... 19
2.2.1 Tanah Sawah ... 23
2.3 Ekonomi dan Sosial-Budaya ... 27
2.3.1 Penduduk ... 27
2.3.2 Ekonomi... 30
2.3.3 Sosial-Budaya... 33
2.4 Multifungsi Lahan Sawah... 35
2.4.3 Fungsi Ekonomi... 37
2.5 Konversi Lahan Sawah... 37
2.6 Degradasi Lahan dan Kerusakan Lingkungan... 48
2.7 Ketimpangan Penguasaan dan Fragmentasi Lahan... 48
3 METODOLOGI PENELITIAN... 51
3.1 Pengumpulan Data... 51
3.2 Pengolahan Data... 53
3.2.1 Pembuatan Basisdata Geospasial... 55
3.2.2 Zonasi Agroekologi Lahan Sawah... 57
3.2.3. Penghitungan Daya Dukung Lahan Sawah... 61
3.3 Validasi Data... 63
3.4 Analisis Indeks Keberlanjutan Lahan Sawah... 67
3.4.1 Penentuan Atribut Indikator ... 68
3.4.2 Penapisan Variabel Indikator... 70
3.4.3 Standarisasai Data Atribut... 71
3.4.4 Penilaian Indeks... 72
3.5 Analisis Kebijakan... 72
3.6 Tingkat Keandalan Penelitian ... 75
4 ZONA AGROEKOLOGI SEBAGAI BASIS KAJIAN KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH... 77 4.1 Rasional………... 77
4.2 Tinjauan Pustaka……… 78
4.2.1 Konsep Pertanian Berkelanjutan... 78
4.2.2 Konsep Agroekologi... 80
4.3.1 Interpretasi Citra Satelit Inderaja... 85
4.3.2 Pembuatan Basisdata Geospasial... 87
4.3.3 Zonasi Agroekologi Lahan Sawah... 90
4.3.4 Penilaian Daya Dukung Lahan Sawah... 96
4.4 Hasil dan Pembahasan... 97
4.4.1 Karakteristik Zona Agroekologi Lahan Sawah... 97
4.4.2 Daya Dukung Lahan Sawah... 116
4.5 Kesimpulan dan Saran... 127
4.5.1 Kesimpulan... 127
4.5.2 Saran... 128
5 INDEKS KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH BERDASARKAN ZONA AGROEKOLOGI... 130 5.1 Rasional... 130
5.2 Tinjauan Pustaka... 131
5.2.1 Konsep Indikator Keberlanjutan Pertanian... 131
5.2.2 Konsep Indeks Keberlanjutan Pertanian... 135
5.3 Bahan dan Metode ... 140
5.3.1 Penentuan Indikator Keberlanjutan Lahan Sawah... 140
5.3.2 Penapisan Indikator Keberlanjutan Lahan Sawah... 142
5.3.3 Standarisasi Data Atribut... 143
5.3.4 Penilaian Indeks Keberlanjutan Lahan Sawah... 144
5.3.5 Pengkategorian Indeks Keberlanjutan Lahan Sawah ... 144
5.4 Hasil dan Pembahasan... 145
5.4.1 Indeks Keberlanjutan Lahan Sawah... 145
5.4.1.3 Faktor Sosial-Budaya... 169
5.4.2 Indeks Keberlanjutan Lahan Sawan untuk Penataan Ruang... 181
5.4.2.1 Faktor Biofisik... 182
5.4.2.2 Faktor Ekonomi ... 187
5.4.2.3. Faktor Sosial-Budaya ... 189
5.5 Kesimpulan dan Saran... 191
5.5.1 Kesimpulan... 191
5.5.2 Saran... 192
6 KEBIJAKAN PENGELOLAAN LAHAN SAWAH BERBASIS ZONA AGROEKOLOGI UNTUK MENDUKUNG PENATAAN RUANG ... 193
6.1 Rasional... 193
6.2 Tinjauan Pustaka... 194
6.2.1 Konsep Pengelolaan Lahan Sawah... 194
6.2.1.1 Pengelolaan Sawah dari Fungsi Produsen Padi... 194
6.2.1.2 Pengelolaan Lahan Sawah dari Fungsi Ekonomi... 196
6.2.1.3 Pengelolaan Lahan Sawah dari Fungsi Sosial-Budaya... 198
6.2.2 Konsep Penataan Ruang... 199
6.2.2.1 Prinsip Dasar... 199
6.2.2.2 Proses Penataan Ruang... 201
6.2.2.3 Klasifikasi Penataan Ruang... 201
6.2.2.4 Penyelenggaraan Penataan Ruang... 203
6.3 Bahan dan Metode ... 205
6.3.1 Perumusan Pilihan Kebijakan... 205
6.3.2 Penentuan Kebijakan Prioritas... 205
6.4.1.1 Kebijakan Faktor Biofisik... 210
6.4.1.2 Kebijakan Faktor Ekonomi... 215
6.4.1.3 Kebijakan Faktor Sosial-Budaya... 220
6.5 Kesimpulan dan Saran ... 225
6.5.1 Kesimpulan... 225
6.5.2 Saran... 226
7 PEMBAHASAN UMUM ... 228
7.1 Prospek Pulau Jawa Berswasembada Beras... 228
7.2 Kelembagaan Pengelolaan Lahan Sawah Terpadu ... 234
7.3 Pengembangan Peta Zona Agroekologi Lahan Sawah melalui IDSN.... 236
8 KESIMPULAN, SARAN, DAN KEBARUAN... 244
8.1 Kesimpulan... 244
8.2 Saran... 245
8.3 Kebaruan ... 246
DAFTAR PUSTAKA... 247
LAMPIRAN... 261
DAFTAR TABEL
No Halaman
1 Jenis data dan kegunaannya untuk zonasi agroekologi lahan
sawah ………... 11
2 Klasifikasi agroklimat Oldeman (Oldeman, 1975) ... 20
3 Nilai dan laju Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tahun 2006 harga konstan tahun 2000 (dalam trilun) ………... 32
4 Dinamika konversi lahan sawah di Jawa ………. 40
5 Luasan penutup lahan di Jawa tahun 2000 (ha)... 44
6 Luasan penutup lahan di Jawa tahun 2005 (ha) ………. 44
7 Perubahan penutup lahan di Jawa (2000-2005) ... 45
8 Sebaran lahan sawah di Pulau Jawa tahun 2000-2005 ... 46
9 Jenis data yang digunakan untuk penelitian ... 54
10 Data citra satelit inderaja optik untuk penelitian ... 86
11 Daftar fitur dan struktur atribut basisdata sumberdaya lahan ... 89
12 Kriteria penilaian zona agroekologi lahan sawah ... 92
13 Kriteria penilaian kesesuaian lahan untuk tanaman padi sawah (CSR/FAO Staff, 1983)... 93
14 Hubungan tipe agroklimat Oldeman dengan pola tanam (Oldeman, 1975)... 95 15 Klasifikasi daerah irigasi (Departemen Pekerjaan Umum, 2003) ... 95 16 Operasi pernyataan logika Boolean ………. 95
17 Jumlah penduduk pulau Jawa (2005-2025) ……… 97
18 Distribusi zona agroekologi lahan sawah di Jawa... 98
20 Hubungan antara zona agroekologi lahan sawah dan sistem
lahan ... 104
21 Karakteristik zona agroekologi lahan sawah di Jawa ... 109
22 Daerah yang berperan sebagai lumbung padi di Jawa (ha) ... 114
23 Luasan lahan sawah berdasarkan tipe irigasi (ha)... 115
24 Produksi padi sawah potensial di zona agroekologi lahan sawah di Jawa ... 117
25 Potensi luas panen di Jawa per tahun berdasarkan zona agroekologi lahan sawah ... 118
26 Potensi produksi padi sawah di Jawa berdasarkan zona agroekologi lahan sawah (ton GKG/tahun) ... 119
27 Pola konsumsi pangan (% energi) tahun 2002-2020 (Hardinsyah et al., 2001) ... 127
28 Contoh komponen, indikator, dan variabel untuk kajian keberlanjutan pertanian (modifikasi dari Esty et al., 2005)... 133
29 Komponen, indikator, dan variabel untuk kajian keberlanjutan pertanian (modifikasi dari Rao dan Rogers, 2006) ... 136
30 Dimensi dan indikator sistem ketersediaan beras (Nurmalina, 2008)... 138
31 Faktor kunci dan alternatif kebijakan (Nurmalina, 2008) ... 139
32 Indikator keberlanjutan lahan sawah ... 141
33 Komponen, indikator, dan variabel untuk kajian keberlanjutan lahan sawah... 142
34 Hasil analisis diskriminan untuk pengkategorian IKLS berbasiskan zona agroekologi... 146
35 Indeks keberlanjutan lahan sawah di Jawa berdasarkan zona agroekologi ... 150
36 Indikator utama faktor biofisik yang mengancam keberlanjutan lahan sawah... 151
38 Indikator utama faktor ekonomi yang mengancam
keberlanjutan lahan sawah ... 163
39 Indikator utama faktor sosial-budaya yang mengancam
keberlanjutan lahan sawah... 170
40 Pengelolaan lahan sawah untuk mendukung penataan ruang berdasarkan indeks keberlanjutan lahan sawah (IKLS) dari
faktor biofisik ... 183
41 Pengelolaan lahan sawah untuk mendukung penataan ruang berdasarkan indeks keberlanjutan lahan sawah (IKLS) dari
faktor ekonomi... 188
42 Pengelolaan lahan sawah untuk mendukung penataan ruang berdasarkan indeks keberlanjutan lahan sawah (IKLS) dari
faktor sosial-budaya ... 190
43 Pilihan kebijakan pengelolaan lahan untuk menjaga
keberlanjutan lahan sawah... 206
44 Skala kepentingan dalam pendekatan AHP... 209
45 Penerapan kebijakan faktor biofisik berdasarkan zona
agroekologi ... 212
46 Kelas status hara P dan K tanah sawah serta rekomendasi
pemupukannya (Setyorini et al., 2004)... 213
47 Penerapan kebijakan faktor ekonomi berdasarkan zona
agroekologi ... 216
48 Prediksi produksi beras di lahan sawah produktif yang
terancam terkonversi menjadi kawasan permukiman ... 219
49 Penerapan kebijakan faktor sosial-budaya berdasarkan zona
agroekologi ... 221
50 Daftar varietas padi unggul (Suprihatno et al., 2009)... 233
51 Kumpulan data untuk pembuatan peta zona agroekologi lahan
DAFTAR GAMBAR
No Halaman
1 Pulau Jawa terletak di jantung persilangan lalu lintas perdagangan di nusantara dan di sekitar beberapa negara
tetangga (Modifikasi dari Lombard, 1990a)... 2
2 Kerangka pemikiran penelitian keberlanjutan lahan sawah
untuk mendukung penataan ruang ………... 7
3 Perkembangan jumlah penduduk Indonesia dari tahun 1980 –
2005 (BPS, 1985-2007) ... 8
4 Keterkaitan antar bab penyajian dalam sistematika disertasi... 12
5 Kekuasaan raja dan pengaturan persawahan abad ke-11 - 15
(Lombard, 1990b)……… 16
6 Distribusi tipe iklim di Jawa berdasarkan data curah hujan
tahun 1998-2007 (BMG, 2008) ……… 20
7 Peta zona agroklimat Oldeman Jawa (BMG, 2008)…………... 21
8 Prakiraan awal musim hujan di Jawa (BMG, 2008)... 22
9 Profil tanah sawah tipikal menurut Koenings (1950) dan
Moorman dan van Breemen (1978) ... 24
10 Pola distribusi oksigen pada tanah sawah dan bentuk
unsur-unsur utama mineral setelah stabilisasi ... 26
11 Pertambahan penduduk di Jawa dari tahun 1971-2025. (1971
- 2005: hasil sensus, 2010 - 2025: proyeksi) ... 28
12 Kepadatan penduduk pulau Jawa tahun 2000 dan 2005 ... 29
13 Banyaknya rumah tangga petani (BPS, 2003) ... 29
14 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tahun 2007 atas
harga konstan tahun 2000 ... 30
15 Rencana jalan tol trans Jawa (Litbang Kompas, 2008) ... 40
16 Perkembangan konversi lahan sawah di Jawa tahun 1979-2005 41
17 Peta penutup lahan Pulau Jawa tahun 2000 ... 42
18 Peta penutup lahan pulau Jawa tahun 2005 ... 43
20 Distribusi rumah tangga petani dari penguasaan lahan sawah
(McCulloh, 2008; dalam Tambunan, 2008) ………... 50
21 Lokasi penelitian keberlanjutan lahan sawah untuk
mendukung penataan ruang ... 51
22 Diagram alir penelitian keberlanjutan lahan sawah untuk
mendukung penataan ruang ... 52
23 Hubungan teknologi SIG dengan teknologi spasial lainnya
(Maguire, 1991) ... 55
24 Proses pembuatan basisdata geospasial lahan sawah ... 57
25 Proses zonasi agroekologi lahan sawah ... 59
26 Contoh sistem lahan kerucut gunung api dan kaki lereng (TGM : Tanggamus) yang bannyak dijumpai di Jawa (Wall,
1987)... 60
27 Pengumpulan sampel data di lapangan ... 64
28 Rancangan teknik pengambilan sampel ……… ……… 65
29 Proses analisis indeks keberlanjutan lahan sawah ... 68
30 Diagram penentuan indikator keberlanjutan lahan sawah... 69
31 Diagram alir analisis kebijakan ... 73
32 Diagram alir analisis kebijakan keberlanjutan lahan sawah... 74
33 Agroekologi merupakan integrasi dari ekologi, agronomi,
sosiologi, dan ekonomi (Dalgaard et al., 2003) ... 82
34 Hubungan zona agroekologi lahan sawah dengan daya dukung
lahan sawah... 84
35 Tahapan proses pembuatan basisdata geospasial ...
88 36 Ilustrasi penggabungan data spasial dengan atribut
menggunakan DBMS relasional ... 90
37 Basismodel SIG konseptual untuk zonasi agroekologi lahan
sawah ... 91
38 Distribusi zona agroekologi lahan sawah di Jawa... 98
39 Peta zona agroekologi lahan sawah pulau Jawa ... 99
40 Contoh hasil delineasi lahan sawah dengan citra Inderaja satelit optik Landsat ETM band 5, 4,2 , Alos PRISM, dan
41 Peningkatan akurasi delineasi lahan sawah dari Landsat ETM dengan menggunakan citra Alos Avnir-2 (Daerah kabupaten
Subang) ... 102 42 Distribusi bentukan zona agroekologi lahan sawah berdasarkan
genetik sistem lahan... 103
43 Tingkat kandungan unsur hara P dan K tanah sawah
berdasarkan bentukan asal sistem lahan (n = 624, α = 4%) ... 106
44 Distribusi kandungan C-organik dan N-total tanah sawah
berdasarkan bentukan asal sistem lahan (n = 624, α = 4%)... 110
45 Disribusi zona agroekologi lahan sawah yang dominan sebagai
penghasil padi sawah di Jawa ... 113
46 Contoh pemompaan air tanah untuk mengejar target penanaman padi sawah dengan IP300 di desa Sidoharjo
kecamatan Taraman, kabupaten Sragen... 115
47 Perbandingan produksi padi sawah potensial dan aktual di
Jawa... 119
48 Perbandingan produksi padi sawah potensial dan aktual di
setiap provinsi di Jawa ... 120
49 Pengelolaan lahan sawah sangat intensif dengan memompa air tanah untuk mencapai IP300 (lokasi: desa Parangtritis
kecamatan Kretek, kabupaten Bantul, D.I Yogyakarta, 15
Agustus 2009)... 121
50 Daya dukung lahan sawah di Jawa berdasarkan lima skenario
konsumsi beras ... 121
51 Daya dukung lahan sawah di setiap provinsi berdasarkan lima
skenario konsumsi beras (a,b,c,d,e)... 124
52 Perkembangan kepadatan penduduk di Jawa (2005-2025) ... 125
53 Kerangka model DPSIR (modifikasi dari Bach, 2005) ... 133
54 Peta indeks keberlanjutan lahan sawah pulau Jawa... 148
55 Indeks keberlanjutan lahan sawah di setiap zona agroekologi... 149
56a Indeks keberlanjutan lahan sawah dari faktor biofisik zona A
(S1/IP300), B (S1/IP200), dan C (S1/IP100) ... 152
56b Indeks keberlanjutan lahan sawah dari faktor biofisik zona D
(S2/IP300), E (S2/IP200), dan F (S2/IP100)... 153
56c Indeks keberlanjutan lahan sawah dari faktor biofisik zona G
57 Kandungan unsur hara C-organik dan N-total di setiap zona
agroekologi lahan sawah di Jawa... 156
58 Tingkat kandungan unsur hara P dan K di setiap zona
agroekologi lahan sawah (n = 624, α: 4 %)... 156
59 Produktivitas lahan sawah di Jawa (2001 – 2008) (Sumber
data: BPS, 2008)... 157
60 Tendensi perubahan frekuensi banjir di Jawa (Guritno, 2006)... 159
61 Kecenderungan perubahan panjang musim (Susandi, 2009)... 160
62 Contoh kearifan lokal petani untuk tetap dapat bertani pada musim kemarau (Lokasi desa Parangtritis, kecamatan Kretek, kabupaten Bantul, provinsi DI. Yogyakarta, tanggal 15
Agustus 2009) ... 161
63a Indeks keberlanjutan lahan sawah dari faktor ekonomi zona A
(S1/IP300), B (S1/IP100), dan C (S1/IP100)... 164
63b Indeks keberlanjutan lahan sawah dari faktor ekonomi zona D
(S2/IP300), E (S2/IP200), dan F (S2/IP100)... 165
63c Indeks keberlanjutan lahan sawah dari faktor ekonomi zona G
(S3/IP300), H (S3/IP200), dan I (S3/IP100) 166
64 Indikator penghambat keberlanjutan lahan sawah dari faktor
ekonomi (n = 624, α = 4%) ... 167
65 Nilai Tukar Petani (NTP) di Jawa periode 2004 – 2007
(Sumber data: BPS, 2008b)... 167
66 Indikator pendukung keberlanjutan lahan sawah dari faktor
ekonomi , a dan b (n = 624, α = 4%)... 169
67a Indeks keberlanjutan lahan sawah dari faktor sosial-budaya
pada zona A (S1/IP300), B (S1/IP200), dan C (S1/IP100)... 171
67b Indeks keberlanjutan lahan sawah dari faktor sosial-budaya
pada zona D (S2/IP300), E (S2/IP200), dan F (S2/IP100)... 172
67c Indeks keberlanjutan lahan sawah dari faktor sosial-budaya
pada zona G (S3/IP300), H (S3/IP200), dan I (S3/IP100)... 173
68 Indikator penghambat keberlanjutan lahan sawah dari faktor
sosial-budaya: a,b,c,d,e (n = 624, α = 4%)... 174
69 Distribusi rumah tangga petani gurem di Jawa (Sumber data:
BPS, 2004)... 174
70 Indikator pendukung keberlanjutan lahan sawah dari faktor
71 Intensitas pertanaman padi sawah yang diterapkan petani di
Jawa (n = 624, α = 4%) ... 177 72 Contoh budaya eksploitatif usahatani padi sawah di kabupaten
Sragen, Nganjuk, Bantul, dan Madiun (a, b,c,d) ... 180
73 Hubungan antara proses degradasi dan proses konservasi
tanah (Stewart et al., 1991)... 195
74 Proses penataan ruang (Rustiadi et al., 2008)... 201
75 Struktur penyelenggaraan penataan ruang (Rustiadi et al.,
2008)... 203
76 Proses penentuan prioritas kebijakan keberlanjutan lahan
sawah dengan AHP ... 208
77 Hasil perhitungan bobot kriteria dan alternatif kebijakan
dengan AHP ... 211
78 Distribusi lahan sawah produktif pada pola pemanfaatan
ruang peta RTRW Provinsi ... 218
79 Contoh alokasi kawasan permukiman dialokasikan di lahan
sawah produktif (zona A (S1/IP300)... 219
80 Model usahatani bersama berbasis padi sawah (Sumber:
modifikasi dari Nuryanti, 2005)... 224
81 Perkembangan produksi beras di Indonesia (1981-2005)... 228
82 Neraca ketersediaan beras di Jawa (1981-2005)... 229
83 Potensi produksi padi sawah berdasarkan zona agroekologi... 231
84 Simulasi neraca produksi beras di Jawa (2005-2025)... 231
85 Basisdata zona agroekologi lahan sawah... 236
86 Komponen infrastruktur data spasial nasional... 239
87 Perubahan paradigma dalam pengelolaan data spasial
(Matindas et al., 2009) ………... 240
88 Ilustrasi pengelolaan data spasial yang belum terpadu
sebagai GIS islands (Matindas et al. 2009) ... 241
89 Konfigurasi sistem jaringan komputer terintegrasi untuk
DAFTAR LAMPIRAN
No Halaman
1 Diskripsi sistem lahan yang sesuai untuk tanaman padi sawah di
Jawa ………... 261
2 Evaluasi kesesuaian lahan... 266
3 Kriteria penilaian indikator keberlanjutan lahan sawah ………. 276
4 Nilai Faktor Loading pada zona A (S1/IP300) ... 282
5 Nilai faktor loading pada zona B (S1/IP200)... 283
6 Nilai faktor loading pada zona C (S1/IP100)... 284
7 Nilai faktor loading pada zona D (S2/IP300)... 285
8 Nilai faktor loading pada zona E (S2/IP200)... 286
9 Nilai faktor loading pada zona F (S2/IP100)... 287
10 Nilai faktor loading pada zona G (S3/IP300)... 288
11 Nilai faktor loading pada zona H (S3/IP200)... 289
12 Nilai faktor loading pada zona I (S3/IP100)... 290
13 Nilai kepentingan Saaty untuk penilaian kebijakan
keberlanjutan lahan sawah... 291
14 Indeks keberlanjutan faktor biofisik lahan sawah di Jawa... 293
15 Indeks keberlanjutan faktor ekonomi lahan sawah di Jawa... 296
16 Indeks keberlanjutan faktor sosial-budaya lahan sawa di Jawa .. 298
17 Daftar zona agroekologi untuk penerapan kebijakan
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sampai dengan saat ini, masalah krisis pangan masih sering melanda
negara-negara di dunia, termasuk Indonesia. Pada beberapa tahun lalu, krisis
pangan di Indonesia telah membawa dampak kelaparan dan gizi buruk
masyarakat miskin pedesaan di daerah-daerah rawan pangan, seperti di provinsi
Nusa Tenggara Timur, Papua, Jawa Timur, dan lain-lain. Untuk mengatasi
ancaman krisis pangan tersebut, pemerintahan pada masa Kabinet Indonesia
Bersatu Jilid ke-2 masih tetap memprioritaskan ketahanan pangan menjadi
program pembangunan nasional yang dituangkan dalam Rencana Pembangunan
Jangka Menengah (RPJM) periode 2009 – 2014.
Timbulnya ancaman krisis pangan di Indonesia tentunya patut
dipertanyakan mengingat Indonesia termasuk negara agraris dengan kekayaan
sumberdaya alam yang melimpah. Berdasarkan hasil kajian proyek Regional
Physical Planning Program for Transmigration (RePPProT) pada tahun 1990,
wilayah daratan Indonesia dengan luas sekitar 1,904,556 km² tidak memiliki
lahan pertanian produktif yang merata. Wilayah sebagai penghasil beras nasional
hanya terkonsentrasi di beberapa wilayah, terutama di pulau Jawa, Bali, Sumatera,
dan Sulawesi; yang dikenal sebagai lumbung beras nasional. Diantara keempat
wilayah tersebut, pulau Jawa merupakan lumbung beras andalan. Pada tahun
2008, pulau Jawa dengan luas panen 5.74 juta ha mampu menyumbang 55% dari
produksi gabah kering giling (GKG) di Indonesia (BPS, 2009). Selain tanahnya
yang subur, pulau Jawa dapat dikatakan sebagai pusat ekonomi, sosial, politik,
dan budaya Indonesia (Whitten et al., 1996). Peran strategis pulau Jawa dalam
pembangunan nasional tersebut tidak terlepas dari geo-historis pulau ini. Lombard
(1990a) menjelaskan bahwa posisi geografis pulau Jawa terletak di jantung
persilangan jalan lalu lintas perdagangan di Nusantara (Gambar 1). Sejak abad
ke-14, pulau Jawa menjadi pusat sebuah sistem pelayaran antar pulau yang sangat
canggih, yaitu “Imperium Mojopahit”, yang bermakna citra penyatuan-penyatuan
Nusantara yang dicapai kemudian. Pada abad ke-15, islamisasi pantai Utara
pemerintah Hindia Belanda menempatkan bandar utama mereka di Batavia, yang
sekarang dikenal Jakarta, sebagai pusat pemerintahan dan perdagangan yang
membawa bentuk wilayah Indonesia. Berdasarkan pertimbangan hal-tersebut,
pulau Jawa dengan lahan pertaniannya yang produktif secara politis berperan
strategis dalam menjaga ketahanan pangan nasional. Rapuhnya ketahanan
pangan di pulau Jawa dapat mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI).
Lahan sawah merupakan produsen utama beras di Indonesia. Dengan luas
panen 11.26 juta ha pada tahun 2008, lahan sawah mampu menghasilkan 57.17
juta ton gabah/tahun atau 95% dari total produksi gabah di Indonesia. Sedangkan
padi gogo yang ditanam di lahan kering, hanya menyumbang 5% dari total
produksi gabah. Dari luasan total produksi padi sawah di Indonesia tersebut,
sekitar 29.76 juta ton (55%) berada di Jawa (BPS, 2009). Oleh karena itu,
peranan lahan sawah di Jawa sangat menentukan kestabilan produksi beras
nasional. Kegagalan panen beras di Jawa dapat menggoyahkan ketahanan pangan
nasional.
Lahan sawah di Jawa yang telah dikembangkan sejak abad ke-3 oleh
budaya Dong Son dari Vietnam Utara (Poniman, 1989) saat ini menghadapi
ancaman kepunahan karena pertambahan jumlah penduduk. Data hasil sensus
penduduk dari tahun 1980 hingga 2005 yang dilakukan oleh BPS menunjukkan
bahwa jumlah penduduk di Jawa mengalami peningkatan dari 82.3 juta menjadi
127.8 juta jiwa atau mengalami peningkatan 155%. Bertambahnya jumlah
penduduk tersebut mengakibatkan lahan pertanian banyak yang dialihfungsikan
untuk memenuhi kebutuhan sektor perumahan dan industri. Alih fungsi lahan
pertanian menjadi perumahan dan industri dimaksud pada umumnya merupakan
pilihan pertama bagi perencana penggunaan lahan karena lahan pertanian sebagian
besar memiliki karakteristik biofisik dan aksesibilitas yang mendukung untuk
kedua tipe penggunaan lahan tersebut. Adimihardja (2003) mengemukakan
bahwa alih fungsi lahan pertanian dianggap suatu hal yang sifatnya alami dari segi
ekonomi. Kondisi ini mengakibatkan areal lahan pertanian menjadi berkurang
secara intensif. Dengan menggunakan citra satelit Landsat ETM dan MODIS
bahwa selama periode lima tahun (2000-2005) lahan sawah di Jawa telah
berkurang sebanyak 15.5% (dari 3,646,599 menjadi 3,569,829 ha). Berkaitan
dengan penyusutan lahan sawah tersebut, Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan
dan Air (2008) mengemukakan bahwa pola konversi lahan sawah di pulau Jawa
yang menjadi perumahan adalah 58,7%, sedangkan yang menjadi non perumahan
adalah 21,8%. Persaingan tidak seimbang antara sektor pertanian dan non
pertanian dalam penggunaan lahan tersebut mengakibatkan tekanan terhadap
lahan sawah sangat tinggi. Menurut FAO (1996), tekanan terhadap lahan karena
peningkatan jumlah penduduk mengakibatkan penurunan baik dalam hal
kuantitas (penyusutan lahan) maupun kualitas lahan.
Meningkatnya laju alih fungsi lahan yang mengakibatkan penyusutan lahan
pertanian produktif dan penurunan kualitas lahan diperparah oleh adanya
perubahan iklim global yang memicu bencana alam, seperti banjir dan kekeringan.
Terjadinya perubahan iklim di Indonesia telah ditunjukkan oleh adanya fenomena
cuaca ekstrim, badai tropis semakin sering, dan pergeseran musim tanam
(Susandi, 2009). Hasil penelitian Guritno (2006) menunjukkan bahwa kejadian
bencana longsor dan banjir yang semakin marak di Jawa mengindikasikan
pemanfaatan lahan telah melampaui daya dukungnya. Kondisi ini dikhawatirkan
dapat memperlemah ketahanan pangan nasional, mengingat Jawa sebagai
lumbung beras andalan di Indonesia. Menghadapi keadaan seperti itu, diperlukan
penanganan yang serius, agar kelangsungan produksi beras di pulau Jawa dapat
terus berlanjut. Untuk mengamankan lahan sawah produktif, pemerintah telah
mengesahkan Undang-Undang Nomor 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan (UUPLPPB). Selain itu, Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UUPR) juga telah menggariskan
bahwa alokasi pemanfaatan ruang harus didasarkan pada daya dukung
lingkungannya, agar pembangunan dapat dilaksanakan secara berkelanjutan.
Implementasi dari amanat Undang-Undang tersebut tentunya memerlukan
dukungan penelitian dari berbagai sektor pembangunan. Salah satu cara untuk
mengantisipasi ancaman kepunahan dimaksud adalah dengan melakukan
Karena indeks keberlanjutan dapat digunakan untuk mengevaluasi
keberlanjutan suatu sistem (Rao dan Rogers, 2006), maka pemetaan indeks
keberlanjutan lahan sawah berdasarkan zona agroekologi ini perlu diterapkan
untuk mengevaluasi keberlanjutan lahan sawah agar permasalahan yang
menghambat keberlanjutan lahan sawah di Jawa yang disebabkan oleh
peningkatan jumlah penduduk dapat diatasi secara cepat dan tepat.
1.2 Tujuan Penelitian
1. Menetapkan zona agroekologi lahan sawah sebagai basis kajian
keberlanjutan lahan sawah.
2. Menentukan daya dukung lahan sawah di setiap wilayah provinsi
3. Menentukan indeks keberlanjutan pertanian lahan sawah berdasarkan zona
agroekologi.
4. Merumuskan alternatif kebijakan pengelolaan lahan sawah berdasarkan zona
agroekologi untuk mendukung penataan ruang dalam rangka mewujudkan
pertanian lahan sawah berkelanjutan.
1.3. Hipotesis Penelitian
1. Sebagian besar zona agroekologi lahan sawah merupakan lahan sawah
produktif.
2. Daya dukung lahan sawah di sebagian besar wilayah provinsi telah
terlampaui.
3. Indeks keberlanjutan lahan sawah sebagian besar termasuk kategori cukup
berkelanjutan.
4. Kebijakan pengelolaan lahan sawah untuk mengatasi permasalahan
keberlanjutan karena faktor lingkungan biofisik adalah paling penting,
apabila dibandingkan dengan kebijakan pengelolaan lahan sawah untuk
mengatasi faktor ekonomi dan sosial-budaya.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk berbagai
1. Sebagai bahan masukan untuk penetapan luas baku lahan sawah.
2. Sebagai bahan masukan untuk mengevaluasi kebijakan penyediaan pangan,
terutama beras.
3. Mempercepat dan mempermudah perumusan kebijakan pengelolaan lahan
sawah untuk mengatasi permasalahan keberlanjutan lahan sawah.
4. Sebagai bahan masukan pengambilan kebijakan pengelolaan lahan sawah
untuk mendukung penataan ruang dalam rangka menjaga keberlanjutan
lahan sawah di pulau Jawa.
1.5 Kerangka Pemikiran
1.5.1 Rasional
Kelangsungan hidup manusia tergantung pada sumberdaya alam, termasuk
sumberdaya lahan sawah sebagai pemasok komoditi beras yang merupakan
makanan pokok rakyat Indonesia. Hilang atau berkurangnya sumberdaya lahan
sawah tersebut dapat menimbulkan dampak buruk bagi kelangsungan hidup
rakyat Indonesia. Karena sifatnya yang esensial tersebut, keberlanjutan lahan
sawah harus dijaga agar ketersediaan beras di tanah air terjamin. Keberlanjutan
lahan sawah tersebut dapat menjamin kelangsungan hidup rakyat Indonesia.
Seperti yang diperlihatkan pada Gambar 2, penduduk merupakan faktor
utama yang menentukan keberlanjutan lahan sawah. Seiring dengan
perkembangan waktu, jumlah penduduk Indonesia terus meningkat. Data hasil
sensus kependudukan menunjukkan bahwa jumlah penduduk dari tahun 1980
hingga 2010 mengalami peningkatan dari 147.5 juta menjadi 237.6 juta jiwa
(Gambar 3). Peningkatan jumlah penduduk tersebut terbesar terjadi di pulau
Jawa, yaitu sekitar 66%. Konsekwensi dari peningkatan jumlah penduduk ini
tentunya menimbulkan peningkatan kebutuhan pangan, terutama beras.
Pemenuhan kebutuhan beras karena peningkatan jumlah penduduk ini
mengandung makna terjadinya pengurasan sumberdaya lahan sawah, mengingat
ketersediaan lahan sawah semakin terbatas.
Upaya peningkatan produksi lahan sawah untuk memenuhi kebutuhan beras
tersebut telah dilakukan oleh pemerintah pada era orde baru (1980-1998), yaitu
besar-besaran melalui revolusi hijau mencapai puncaknya pada tahun 1984-1985,
sehingga Indonesia berhasil berswasembada beras dan mampu meningkatkan
pendapatan petani. Namun demikian, keberhasilan swasembada beras tersebut
Gambar 2. Kerangka pemikiran penelitian keberlanjutan lahan sawah untuk
Pemanfaatan
tidak berlangsung lama karena berbagai musibah menerpa Indonesia. Pada awal
tahun 1990-an, kedaulatan pangan Indonesia mulai terancam karena berkurangnya
perhatian pemerintah dalam pemberian subsidi ke sektor pertanian. Perubahan
kebijakan pemerintah ini disebabkan oleh berkurangnya pendapatan negara dari
sektor minyak serta penerapan kebijakan deregulasi yang menurunkan daya
saing produk sektor pertanian (Modjo, 2009). Selain itu, musibah kemarau
panjang dan bencana banjir karena dampak perubahan iklim serta krisis moneter
yang menerpa Indonesia secara bertubi-tubi pada tahun 1997-2000 juga ikut
memberikan andil terhadap penurunan produksi beras. Pada masa krisis moneter
dan reformasi tersebut, laju konversi lahan sawah mencapai 62,271 ha /tahun.
Sebagai akibatnya, Indonesia mulai mengimpor beras karena produksi beras
mengalami penurunan. Pada masa krisis ekonomi dan reformasi tersebut,
Indonesia mengimpor beras sebanyak 9.4 juta ton beras (BPS, 1985-2007).
Hingga tahun 2010 (pascareformasi), peningkatan produksi beras masih belum
mampu memenuhi konsumsi beras yang semakin meningkat. Peningkatan
konsumsi beras ini disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk, yang hingga
tahun 2010 telah mencapai 237.6 juta jiwa. Fenomena ini sesuai dengan konsep
Maltus yang menyatakan bahwa pertumbuhan jumlah penduduk mengikuti deret
ukur sedangkan peningkatan produksi beras mengikuti deret hitung. Penurunan
produksi beras tersebut diperparah oleh pelandaian produktivitas lahan sawah
(leveling off) di Jawa, sebagai akibat penerapan revolusi hijau dalam jangka Gambar 3. Perkembangan jumlah penduduk Indonesia dari tahun
1980 – 2005 (Sumber data: BPS, 1985-2007) 0
1980 1985 1990 1995 2000 2005 2010
waktu lama dan berlangsung secara intensif. Ketidakmampuan lahan sawah
untuk memenuhi kebutuhan beras karena peningkatan jumlah penduduk ini
mengindikasikan bahwa pemanfaatan lahan sawah telah melampaui daya
dukungnya.
Pemanfaatan lahan sawah yang telah melampaui daya dukungnya berarti
terjadi pengurasan sumberdaya secara berlebihan. Sebagai akibatnya, lahan sawah
dapat terdegradasi baik dari kualitas maupun kuantitasnya, seperti degradasi
kualitas dan penyusutan lahan sawah. Kedua dampak ini berpotensi memicu
penurunan produktivitas lahan sawah, kepunahan lahan sawah, krisis air, dan
bencana banjir. Berbagai dampak negatif ini tentunya dapat mengancam
keberlanjutan lahan sawah sebagai penopang produksi beras. Terancamnya
keberlanjutan lahan sawah yang dapat memperlemah ketahanan pangan nasional
ini perlu diteliti secara mendalam.
1.5.2 Model Penelitian
Ancaman keberlanjutan lahan sawah karena dampak peningkatan jumlah
penduduk seperti yang telah dijelaskan dapat dideteksi dengan indek
keberlanjutan lahan sawah yang berbasiskan zona agroekologi. Dengan zona
agroekologi, lahan sawah dapat dipetakan sesuai dengan potensi dan daya
dukungnya. Penelitian indeks keberlanjutan lahan sawah dengan pendekatan
konsep agroekologi ini belum pernah diteliti oleh peneliti-peneliti sebelumnya.
Nijkamp et al. (1999) dan Esty et al. (2005) telah memformulasikan pengukuran
indeks keberlanjutan lingkungan untuk menjaga kelestarian lingkungan. Mendoza
et al. (1999) telah membuat pedoman pemilihan kriteria dan indikator indeks
keberlanjutan sektor kehutanan dengan metoda sidik ganda kriteria. Cherchye dan
Kousmanen (2002) telah meneliti keberlanjutan pembangunan di berbagai negara
di dunia dengan pendekatan indek meta sintetik. Pengukuran indeks keberlanjutan
untuk evaluasi dan monitoring pembangunan di sektor perikanan dan kelautan
telah dilakukan oleh Fauzi dan Anna (2001), Rahardjo (2003), Andrianto et al.
(2005), dan Susilo (2005, 2006). Dengan menggunakan metode Multidimensional
Scale (MDS) seperti yang digunakan oleh Susilo (2005), Mamat et al. (2005)
tani tembakau di kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Penelitian indeks
keberlajutan untuk analisis keberlanjutan ketersediaan beras dengan menggunakan
MDS telah dilakukan oleh Nurmalina (2008). Penelitian indeks keberlanjutan
untuk berbagai tujuan yang telah dilakukan oleh para peneliti tersebut tidak
berbasiskan pada data spasial, sehingga wilayah status keberlanjutan lahan yang
dikaji tidak dapat diketahui secara tepat.
Dalam penelitian ini, indeks keberlanjutan lahan sawah dipetakan
berdasarkan zona agroekologi. Penerapan konsep agroekologi ini dilatarbelakangi
oleh sifatnya yang muldimensi (Gliessman, 2002; Altieri, 2002) dan zona
agroekologi yang didefinisikan dapat dipetakan pada tingkat skala yang
berbeda-beda (Wiradisastra, 2003; Rao dan Rogers, 2006). Zona agroekologi
(agro-ecological zones) seperti yang didefinisikan oleh FAO (1996) merupakan suatu
wilayah yang memiliki kesamaan karakteristik tanah, bentuklahan dan iklim, yang
difokuskan pada persyaratan iklim dan edafik pertumbuhan tanaman pangan dan
sistem pengelolaan budidaya tanaman pangan tersebut. Karena sifatnya yang
multidimensi dan dapat menunjukkan potensi dan daya dukung lahan sawah,
penelitian indeks keberlanjutan lahan sawah berbasiskan zona agroekologi
merupakan jawaban tepat untuk mengantisipasi adanya ancaman keberlanjutan
lahan sawah yang dipicu oleh berbagai faktor yang bersifat muldimensional.
Zona agroekologi lahan sawah dapat disintesa dari berbagai data lingkungan
biofisik, ekonomi, dan sosial budaya. Data lingkungan biofisik yang diperlukan
mencakup sistem lahan, penutup lahan, status kawasan hutan, agroklimat, dan
kondisi irigasi; sedangkan data ekonomi dan sosial-budaya mencakup semua
aspek yang mempengaruhi petani secara langsung dalam melakukan budidaya
padi sawah. Masing-masing data tematik ini memiliki peranan penting untuk
memetakan komponen atribut zona agroekologi (Tabel 1).
Berbagai data tematik tersebut dapat disintesakan menjadi zona agroekologi
dengan menggunakan teknologi Sistem Informasi Geografi (SIG). Sintesa data
dengan teknologi SIG ini menghasilkan basisdata zona agroekologi yang
menghimpun data karakteristik biofisik, ekonomi, dan sosial-budaya; yang dapat
digunakan sebagai basis analisa penghitungan daya dukung dan indeks
mengetahui status kemampuan zona agroekologi lahan sawah dalam
memproduksi padi untuk memenuhi kebutuhan beras di setiap wilayah (provinsi),
sedangkan data indeks keberlanjutan digunakan untuk mengevaluasi status
keberlanjutan lahan sawah.
Tabel 1. Jenis data dan kegunaannya untuk zonasi agroekologi lahan sawah
Jenis data Kegunaan
Sistem lahan Memetakan kesesuaian lahan padi sawah
Penutup lahan Mengidentikasi lahan tersedia dari aspek sebaran lahan
sawah
Kawasan hutan Mengidentifikasi lahan tersedia dari aspek status kawasan
hutan (produksi, hutan lindung, dan konservasi)
Agroklimat Mengidentifikasi kondisi iklim (curah hujan dan suhu)
untuk pertumbuhan tanaman padi sawah
Kondisi irigasi Mengidentikasi ketersediaan air untuk penetapan
intensitas pertanaman
Ekonomi, dan sosial-budaya Mengidentifikasi kondisi ekonomi, sosial dan budaya
petani padi sawah.
Nilai indeks keberlanjutan lahan sawah di setiap zona agroekologi dihitung
berdasarkan nilai indikator utama keberlanjutan yang diseleksi dan
dikelompokkan dengan metode analisis faktor dan diskriminan. Indikator utama
yang diperoleh mencerminkan faktor dominan yang menghambat atau mendukung
keberlanjutan lahan sawah. Faktor dominan yang menghambat keberlanjutan
dapat digunakan sebagai basis kajian pengelolaan lahan sawah untuk
merumuskan alternatif kebijakan untuk mendukung penataan ruang dalam rangka
menjaga mengatasi keberlanjutan lahan sawah. Dengan menggunakan Analisis
Hirarkhi Proses (AHP) dan mempertimbangkan peraturan dan
perundang-undangan yang berlaku, hasil kajian pengelolaan lahan sawah tersebut kemudian
dirumuskan sebagai alternatif kebijakan pengelolaan lahan sawah yang diarahkan
Model penelitian ini secara keseluruhan dirangkai dalam satu kesatuan
yang utuh dalam bab 1, bab2, bab 3, bab 4, bab 5, bab 6, bab 7, dan bab 8
(Gambar 4). Bab 1 menguraikan pengantar kondisi faktual dan permasalahan
Penetapan Zona
Pembahasan Umum (bab 7)
Kesimpulan dan Saran (bab 8) -Kondisi Faktual & permasalahan -Tujuan, hipotesis, manfaat penelitian - Kerangka pemikiran
(bab 1)
Tinjauan Pustaka (bab 2)
Metodologi Penelitian (bab 3)
Hasil dan
yang mengancam keberlanjutan lahan sawah, tujuan, hipotesis, manfaat
penelitian, dan kerangka pemikiran (state of the arts). Kondisi faktual dan
permasalahan lahan sawah yang mencakup lingkungan biofisik, ekonomi, dan
sosial-budaya disajikan secara lengkap di bab 2. Rangkaian bab 1 (Pendahuluan)
dan bab 2 (Tinjauan Pustaka) tersebut menjadi dasar penulisan metodologi
penelitian (bab 3). Bab 3 ini menguraikan filosofi metode yang digunakan untuk
menjawab tiga topik bahasan pokok, yaitu (1) penetapan zona agroekologi lahan
sawah dan daya dukungnya di setiap wilayah provinsi, (2) penentuan indeks
keberlanjutan lahan sawah, dan (3) perumusan alternatif kebijakan pengelolaan
lahan sawah berdasarkan status keberlanjutan yang dicerminkan oleh indeks
keberlanjutan. Hasil dari pembahasan di bab 4 ini menjadi dasar pembahasan
status keberlanjutan lahan sawah berdasarkan nilai indeks keberlanjutan di setiap
zona agroekologi yang disajikan di bab 5. Hasil dari pembahasan di bab 5
kemudian dijadikan dasar pembahasan di bab 6, yaitu tentang perumusan
kebijakan pengelolaan lahan sawah untuk mendukung penataan ruang dalam
rangka mewujudkan pemanfaatan lahan sawah secara berkelanjutan. Bab 7
menguraikan pembahasan umum tentang prospek pulau Jawa berswasembada
beras, pengelolaan kelembagaan lahan sawah terpadu, dan pengembangan
pemanfaatan peta zona agroekologi lahan sawah melalui Infrastruktur Data
Spasial Nasional (IDSN). Topik bahasan di bab 7 ini lebih difokuskan pada
prospek dan pengembangan hasil penelitian untuk menjawab permasalahan
keberlanjutan lahan sawah pada masa datang. Bab 8 menyajikan rangkuman
kesimpulan dan saran dari bab 4, bab 5, bab 6, dan bab 7. Kesimpulan dan saran
yang disajikan tersebut disinkronkan dengan tujuan, hopotesis, dan manfaat
penelitian secara keseluruhan.
1.5.3. Rancangan Kebaruan Penelitian
Berdasarkan pada hasil penelusuran penelitian tentang indeks keberlanjutan
yang telah ada, kebaruan penelitian indeks keberlanjutan lahan sawah akan
terletak pada:
1. Pengklasifikasian lahan sawah yang sesuai dengan potensi lahan, intensitas
2. Penetapan indikator utama keberlanjutan lahan sawah berbasiskan data
spasial agroekologi.
3. Penentuan prioritas kebijakan pengelolaan lahan sawah berdasarkan
indikator utama dengan pendekatan batas spasial agroekologi untuk
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perkembangan Lahan Sawah
Sistem usahatani lahan sawah di Jawa telah lama dikenal dan dipraktekkan
oleh nenek moyang kita sejak berabad-abad yang lalu (Adiningsih et al., 2004;
Soemarwoto, 2008). Teknologi sistem usahatani di Jawa pertama kali
diperkenalkan oleh budaya Dong Son dari Vietnam Utara pada abad ke-3
(Yokokura, 1987, dalam Poniman, 1989). Budaya Dong Son tersebut mewariskan
sistem usaha tani lahan sawah dalam hal pengolahan tanah dengan kerbau
(Buffalo-trampling), penanam padi tipe bulu, dan penggunaan ani-ani untuk
panen padi. Pengaruh sistem usahatani lahan sawah budaya Dong Son ini
kemudian beralkulturasi dengan budaya India pada abad ke-9. Kedatangan
budaya India mewariskan teknologi pengolahan tanah sawah dengan sapi bajak
dan penggunaan sabit untuk panen (Poniman, 1989).
Lombard (1990b) mengemukakan bahwa pembukaan lahan persawahan di
Jawa Tengah dan Jawa Timur diawali pada abad ke-8 dan ke-13, sedangkan di
daerah – daerah Pasundan (Jawa Barat) baru dibuka secara sistimatis pada abad
ke-17 dan ke-18. Sejarah awal mula persawahan di Jawa dibuktikan dengan
ditemukannya prasasti tentang Tanggul Banjir Harinjing di desa Kepung, di
wilayah Sungai Brantas, tertanggal 726 Tahun Caka atau 808 M (Angoedi, 1984,
dalam Gani, 2006). Pada zaman Mojopahit (abad ke-14), lahan sawah di Jawa
sangat dilindungi. Perlindungan daerah persawahan ini tertuang dalam kitab
Negarakertagama yang ditulis Pangeran Wengker, paman Hayam Wuruk,
yaitu: ”Anda hendaknya memperhatikan segala sesuatu yang sesuai dengan
kepentingan pedesaan (pradesa), bendungan (situ), jalanan (damarga), bangunan
dari batu (gerha). Semua karya karya yang berguna itu harus dirawat dengan
baik”. Pada masa itu berlaku hukum adat: Barangsiapa membiarkan sawah
terbengkelai, harus dianggap bersalah dan membayar denda sebanyak harga
beras yang dihasilkan tanah seluas itu. Pada zaman Jawa kuno tersebut, sistem
irigasi (pembagian air) telah diterapkan di lembah Brantas, Jawa Timur. Sistem
irigasi kuno lainnya juga dikembangkan, seperti: (1) di hulu Kali Konto yang
bersumber di lereng-lereng Gunung Kawi dan mengalir ke Barat sampai bermuara
(pada masa kerajaan Daha di Kediri), (2) di hulu Kali Pikatan yang mengalir dari
lereng-lereng Gunung Welirang dan mengalir ke Barat Laut sampai bermuara di
Kali Brangkal, satu anak sungai Kali Brantas yang dibangun pada awal abad
ke-10 (pada masa pemerintahan Mpu Sendok, kerajaan Singasari). Pada masa akhir
kerajaan Mojopahit (tahun 1489), Raja Girindrawardana membangun sistem
irigasi besar di Selatan Kali Porong di kaki Gunung Penanggungan (di sebelah
Timur Mojokerto).
Pada masa kerajaan Mataram (akhir abad ke-16 – awal abad ke-19), lahan
persawahan dikembangkan ke arah Barat, sejajar dengan jalan islamisasi di
sepanjang wilayah pesisir dari Giri ke Demak, lalu dari Demak ke Cirebon dan Gambar 5. Kekuasaan raja dan pengaturan persawahan abad ke-11 - 15
Banten. Pada masa itu, pembangunan pertanian mendapat perhatian serius.
Laporan perjalanan duta Van Goens dari Semarang ke Mataram menyebutkan
luasnya daerah persawahan dengan saluran irigasi yang dibuat dari batu. Di
Mataram para penguasa kebanyakan mempunyai kali kecil yang disalurkan
melintasi rumah mereka. Nama sebuah ”bendungan” untuk mengingatkan
pentingnya pengairan dicatat di keraton Sultan Agung dan Amangkurat I, yaitu di
Plered. Pada masa kesultanan, beras merupakan komoditi ekspor utama selain
tembakau yang dikirim ke Sulawesi atau Penang (Malaysia). Pada masa itu pula,
mulai muncul industri pengrajin tenun, batik, pembuatan garam, gula aren,
industri ”kertas jawa” (dluwang) yang dibuat dari kulit jayu pohon rumbai tertentu.
Akibatnya, muncul kegiatan sektor ekonomi yang menggunakan mata uang
sebagai alat tukar. Sementara itu, pemerintahan terus berupaya meningkatkan
pemasukan dari pajak. Kemajuan itu tampaknya mendukung perkembangan hak
milik, yang membawa akibat munculnya golongan sosial baru, yaitu golongan
sikep (orang-orang terkemuka yang menguasai tanah). Golongan itu tidak
diketahui asalnya, yang jelas adalah bahwa pada akhir abad ke-18 mereka
merupakan orang-orang terkemuka di desa-desa, yang mengaku sebagai pewaris
dari pendiri desa (Lombard, 1990b).
Pada masa Pemerintah Kolonial Belanda – Orde Lama (1965), lahan
sawah di Jawa mulai tertekan karena peningkatan jumlah penduduk. Untuk
mengatasi kepadatan penduduk di Jawa, pada awal abad 20 pemerintah Kolonial
Belanda mencanangkan program transmigrasi, yaitu pemindahan penduduk Jawa
ke pulau-pulau lain. Setelah kemerdekaan, kepemilikan lahan sawah di Jawa
menjadi semakin terpecah-pecah karena semakin banyaknya tuan-tuan tanah.
Pada tahun 1963, kepemilikan lahan sawah petani gurem di Jawa adalah 0,637 ha
(Lombard, 1990b). Pada masa orde lama, kedaulatan pangan menghadapi
masalah. Pada masa demokrasi terpimpin itu, pemerintah mengabaikan
ketersediaan dan keterjangkauan komoditi beras. Akibat terjadinya kelangkaan
produksi beras yang dipasok oleh lahan sawah inilah yang menjadi penyebab
kejatuhan rezim Soekarno pada tahun 1965 (Modjo, 2009).
Pada masa Orde Baru (tahun 1966-1998), pemerintah mengintesifkan