• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemberdayaan Keluarga Miskin Melalui Kelembagaan Kelompok Usaha Bersama Ekonomi, Studi KUBE Suka Makmur Di Kelurahan Maha Ratu Kecamatan Marpoyan Damai Kota Pekanbaru Provinsi Riau

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pemberdayaan Keluarga Miskin Melalui Kelembagaan Kelompok Usaha Bersama Ekonomi, Studi KUBE Suka Makmur Di Kelurahan Maha Ratu Kecamatan Marpoyan Damai Kota Pekanbaru Provinsi Riau"

Copied!
252
0
0

Teks penuh

(1)

Kecamatan Marpoyan Damai Kota Pekanbaru Provinsi Riau

SAFWANOR

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir kajian pemberdayaan keluarga miskin ini berjudul “Pemberdayaan Keluarga Miskin Melalui Kelembagaan Kelompok Usaha Bersama Ekonomi, Studi Kasus KUBE Suka Makmur di Kelurahan Maha Ratu Kecamatan Marpoyan Damai Kota Pekanbaru Provinsi Riau” adalah benar karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir kajian ini.

Bogor, Mei 2011

Safwanor

(3)

Kelembagaan Kelompok Usaha Bersama Ekonomi, Studi KUBE Suka Makmur Di Kelurahan Maha Ratu Kecamatan Marpoyan Damai Kota Pekanbaru Provinsi Riau. Di bawah bimbingan Nuraini W. Prasodjo dan Yusman Syaukat

Kemiskinan di Provinsi Riau masih cukup tinggi. Hal ini dapat dilihat dengan tingginya jumlah penduduk miskin pada tahun 2008 adalah 566.700 jiwa atau 10,63 persen dari total penduduk Provinsi Riau 5.189.154 jiwa, sedangkan Kota Pekanbaru jumlah penduduk miskin pada tahun 2007 berjumlah 198.631 jiwa atau 17,7 persen dari total jumlah penduduk 378.219 jiwa (BPS, 2008)

Untuk Penanggulangan kemiskinan tersebut pemerintah menerapkan beberapa program penguatan ekonomi kerakyatan dengan strategi mendorong kemandirian usaha-usaha kelompok masyarakat. Wujud kegiatan ini adalah pengembangan Kelompok Usaha Bersama (KUBE) yang merupakan program Asistensi Kesejahteraan Sosial Keluarga. Pemerintah Provinsi Riau, telah melakukan penangulangan kemiskinan melalui program pengentasan K2I (pengentasan Kemiskinan, Kebodohan dan Inftrastruktur), melalui kegiatan peningkatan sumberdaya manusia, seperti peningkatan pendidikan, pengurangan masyarakat miskin dan perbaikan infrastruktur. Khusus untuk penanggulangan kemiskinan, Pemerintah Provinsi Riau meluncurkan sejumlah program seperti bantuan Usaha Ekonomi Desa (UED-SP) dengan pendekatan pemberdayaaan masyarakat melalui pengembangan usaha pada kelompok usaha bersama (KUBE. Untuk itu perlu dikaji profil KUBE secara umum , baik SDM anggota, organisasi manajemen dan tahapan perkembangannya, mendeskripsikan kegiatan yang telah dilakukan KUBE dalam mengentaskan kemiskinan anggotanya, mendeskripsikan permasalahan yang dihadapi KUBE dalam pemenuhan kebutuhannya pada perkembangan organisasinya, serta menyusun strategi untuk mengembangkan KUBE berdasarkan tahapan perkembangan organisasinya

Studi di KUBE Suka Makmur, Kelurahan Maharatu, Kecamatan Marpoyan Damai , Kota Pekanbaru, diketahui bahwa pada awal pelaksanaan kegiatan, KUBE Suka makmur secara kelembagaan maupun usahanya berkembang cukup baik bahkan telah mampu mengentaskan kemiskinan anggotanya, akan tetapi justru mengalami penurunan aktivitasnya setelah KUBE dinyatakan mandiri sesuai dengan tahapan perkembangannya oleh Dinas Sosial Provinsi Riau. Melemahnya kelembagaan KUBE Suka Makmur disebabkan tidak berkembangnya modal sosial yang ada pada KUBE serta tidak berjalannya sistem koordinasi dan sinergitas dalam melaksanakan program pembangunan pada beberapa satuan kerja di lingkungan Pemerintah Provinsi Riau.

Hasil akhir yang diharapkan dari kajian ini adalah didapatnya strategi baru bagi pelaksanaan program pemberdayaan keluarga miskin berupa peningkatan kesejahteraan keluarga miskin melalui penguatan kelembagaan KUBE yang disinergikan dengan kelembagaan lain yang setingkat atau lebih besar untuk keberlanjutan usaha produktif kelompok masyarakat.

(4)

Approach : Case Study on the KUBE Suka Makmur in Maharatu Village, Marpoyan Damai sub district, Riau Province. Supervised by Nuraini W. Prasodjo and Yusman Syaukat.

Poverty in Riau province is still quite high. It can be seen by the high number of poor people in 2008. Some poverty alleviation programs such as Village Economic Enterprises (EUD-SP) and Economic Groups (KUBE) development are conducted by the government.

This Study will describe; (1) KUBE Suka Makmur profile in general, (2) the KUBE organizational management, (3) the KUBE activities which can alleviate the poverty, (4) problems that are faced by the KUBE, (5) the formulation strategies of KUBE development.

The finding of this study are; (1) the KUBE runs well and become part of the farmer association, (2) the rules of the economic groups (KUBE) have been built, (3) KUBE can runs the business well by using the financial capital that it already has, (4) standard of living of the people has increased, (5) coordination amongs units of the government bureaucracy still need to be developed.

The final result expected from this study is the acquisition of the new strategies of empowerment program for poor families by strengthening the institutional KUBE. To strengthen the institutional KUBE, it is needed to encourage the cooperation among other institutions at a greater level of suistainable productive community groups.

(5)

Kelembagaan Kelompok Usaha Bersama Ekonomi, Studi Kasus KUBE Suka Makmur Di Kelurahan Maha Ratu Kecamatan Marpoyan Damai Kota Pekanbaru Provinsi Riau. Di bawah bimbingan Nuraini W. Prasodjo dan Yusman Syaukat.

Pendekatan pemberdayaan masyarakat menjadi penting setelah reformasi di Indonesia bergulir serta membawa implikasi bagi bergesernya paradigma pembangunan. Kesadaran dari pentingnya menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama dalam pembangunan tercermin dari perubahan paradigma pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan (growth approach) menjadi mengutamakan kemandirian (self-reliance approach). Namun demikian, akibat telah termajinalisasi dalam waktu yang lama, masyarakat mengalami kesulitan dalam mengartikulasikan otonominya sebagai pelaku utama pembangunan. Dalam konteks ini, pemberdayaan masyarakat sangat diperlukan dalam strategi pengembangan masyarakat.

Kemiskinan di Provinsi Riau masih cukup tinggi. Hal ini dapat dilihat dengan tingginya jumlah penduduk miskin pada tahun 2008 yaitu 566.700 jiwa atau 10,63 persen dari total penduduk Provinsi Riau, sedangkan jumlah penduduk miskin di Kota Pekanbaru pada tahun 2007 berjumlah 198.631 jiwa atau 17,7 persen dari total jumlah penduduk kota (BPS, 2008). Untuk menanggulangi kemiskinan tersebut pemerintah menerapkan beberapa program penguatan ekonomi kerakyatan dengan strategi mendorong kemandirian usaha-usaha kelompok masyarakat. Wujud kegiatan ini adalah pengembangan Kelompok Usaha Bersama Ekonomi (KUBE) yang merupakan program Asistensi Kesejahteraan Sosial Keluarga. Pemerintah Provinsi Riau, telah melakukan penanggulangan kemiskinan melalui program pengentasan K2I (pengentasan Kemiskinan, Kebodohan dan Inftrastruktur), melalui kegiatan peningkatan pendidikan, pengurangan masyarakat miskin dan perbaikan infrastruktur. Khusus untuk penanggulangan kemiskinan, Pemerintah Provinsi Riau juga telah meluncurkan sejumlah program seperti bantuan Usaha Ekonomi Desa (UED-SP) dengan pendekatan pengembangan usaha pada kelompok usaha bersama ekonomi (KUBE).

Tulisan ini ingin menyajikan bagaimana (1) profil KUBE secara umum; (2) mendeskripsikan kegiatan yang telah dilakukan KUBE dalam mengentaskan kemiskinan anggotanya; (3) mendeskripsikan permasalahan yang dihadapi KUBE dalam perkembangan organisasinya dan (4) menyusun strategi untuk mengembangkan KUBE berdasarkan tahapan perkembangan organisasinya.

(6)

Pemerintah Provinsi Riau, yang menjamin keberlanjutan setiap kegiatan program pembangunan.

(7)

@

Hak cipta dilindungi Undang-undang Hak cipta milik IPB, tahun 2011

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(8)

KELEMBAGAAN KELOMPOK USAHA BERSAMA EKONOMI

Studi Kasus KUBE Suka Makmur di Kelurahan Maha Ratu Kecamatan Marpoyan Damai Kota Pekanbaru Provinsi Riau

SAFWANOR

Tugas Akhir

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada

Program Studi Pengembangan Masyarakat

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)
(10)

Ekonomi, Studi Kasus KUBE Suka Makmur di Kelurahan Maha Ratu Marpoyan Damai Kota Pekanbaru Provinsi Riau

Nama Mahasiswa : SAFWANOR Nomor Pokok : I354064125

Program Studi : Magister Profesional Pengembangan Masyarakat

Disetujui, Komisi Pembimbing :

Ir. Nuraini W. Prasodjo, MS

Ketua Anggota

Dr. Ir. Yusman Syaukat, MEc

Mengetahui :

Koordinator Program Magister Profesional Dekan Sekolah Pascasarjana Pengembangan Masyarakat

Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr

(11)

melimpahkan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyusun penulisan kajian ini yang merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan program Pascasarjana di Program Studi Pengembangan Masyarakat Institut Pertanian Bogor.

Kajian ini berjudul Pemberdayaan Keluarga Miskin melalui Kelembagaan Kelompok Usaha Bersama Ekonomi, Studi KUBE Suka Makmur di Kelurahan Maharatu, Kecamatan Marpoyan Damai, Kota Pekanbaru, Provinsi Riau Di bawah bimbingan Ir. Nuraiani W. Prasodjo, MS dan Dr. Ir. Yusman Syaukat, MEC

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada : 1. Ibu Ir. Nuraini W. Prasodjo, MS selaku Pembimbing I yang telah banyak

memberikan pengarahan dan bimbingan kepada penulis.

2. Bapak Dr. Ir. Yusman Syaukat, MEC selaku Pembimbing II yang telah banyak memberikan pengarahan dan bimbingan kepada penulis.

3. Bapak dan ibu Dosen Program Studi Pengembangan Masyarakat, sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

4. Dinas Sosial Provinsi Riau, Kelurahan Maharatu, KUBE Suka Makmur, yang telah memberikan masukan dan kemudahan kepada penulis selama pelaksanaan kajian ini.

5. Rekan-rekan mahasiswa Program Profesional Pengembang Masyarakat, sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

6. Istri dan anak-anak tercinta yang selalu memberikan semangat dan inspirasi kepada penulis.

Penulis manyadari bahwa dalam penulisan tugas akhir ini masih terdapat berbagai kekurangan, nanum demikian penulis berharap bahwa hasil kajian ini akan tetap berguna terutama bagi para petugas pengambang masyarakat. Untuk itu penulis berharap adanya kritikan dan masukan guna kesempurnaan kajian ini.

Bogor , Mei 2011

(12)

Penulis dilahirkan di Sungai Pakning, pada tanggal 11 Desember 1960, Pada Tahun 1987 penulis menyelesaikan studi di Fakultas Ekonomi Universitas Riau dan mendapat mendapat gelar Sarjana Ekonomi.

Saat ini penulis bekerja di Dinas Sosial Provinsi Riau dan menjabat sebagai Kepala UPT. Pelayanan Sosial Karya Wanita. Penulis merupakan suami dari Syarifah Farida, SH. Dan dikaruniai dua orang putri dan satu orang putra, yaitu Arif Wafi, M. Rafi Hidayat, Ghina Kamilia dan Tussyah Diyah.

Bogor , Mei 2011

(13)

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan Kajian ... 6

1.4. Manfaat Kajian ... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemberdayaan Masyarakat ... 8

2.2. Konsep Kemiskinan ... 12

2.2.1. Ukuran Kemiskinan ... 16

2.4.2. Komunitas dan Pemberdayaan Keluarga Miskin ... 19

2.3. Penguatan Kelembagaan ... 21

2.4. Kelompok Usaha Bersama (KUBE) ... 23

2.5. Partisipasi ... 25

2.6. Modal Sosial ... 26

III. METODE KAJIAN 3.1. Kerangka Pemikiran ... 28

3.2.Lokasi dan Waktu Kajian ... 31

3.3.Metode Penelitian ... 32

3.3.1. Metode Pengumpulan Data ... 32

3.3.2. Sumber Data ... 33

3.3.3. Metode Pengolahan Data dan Analisa Data ... 35

3.4.Metode Perencanaan Program ... 35

IV. GAMBARAN UMUM PROGRAM KUBE SUKA MAKMUR KELURAHAN MAHARATU 4.1.Gambaran Umum Pemberdayaan Keluarga Miskin ... 36

4.1.1.Kebijakan dan Perencanaan Sosial ... 40

4.2.Gambaran Program KUBE dalam Upaya Pengentasan Kemiskinan 41

4.2.1. Kegiatan KUBE dalam Pengembangan Ekonomi Masyarakat . Miskin di Kelurahan Maharatu ... 46

4.3.Pengembangan Modal Sosial ... 49

V. PETA SOSIAL KELURAHAN MAHARATU 5.1. Lokasi Kajian ... 52

5.2. Aspek Pemerintahan ... 53

5.3. Struktur Komunitas ... 53

(14)

5.3.2. Kepemimpinan ... 55

5.3.3. Unsur Utama Pelapisan Sosial ... 55

5.3.4. Pandangan Masyarakat terhadap Kepemimpinan ... 55

5.3.5. Jejaring Sosial dalam Komunitas ... 56

5.4. Organisasi dan Kelembagaan ... 57

5.4.1. Lembaga Kemasyarakatan ... 57

5.4.2. Fungsi Kontrol Sosial Lembaga ... 60

5.5. Sumber Daya Lokal dan Modal ... 60

5.6. Masalah Sosial ... 61

5.7. Kependudukan ... 62

5.8. Sistem Ekonomi... 66

VI. PROFIL DAN DINAMIKA KELOMPOK USAHA BERSAMA (KUBE) DI KELURAHAN MAHARATU 6.1.Penyusunan Program Pemberdayaan Keluarga Miskin melalui Penguatan Kelembagaan KUBE ... 68

6.1.1. Deskripsi Kelembagaan dan Kegiatan KUBE Suka Makmur . 69 6.1.2. Kepemimpinan ... 72

6.1.3. Aktivitas Kelembagaan KUBE Suka Makmur ... 73

6.1.4. Kerjasama dan jaringan Usaha KUBE ... 66

6.2.Profil KUBE Suka Makmur Setelah menjadi Gabungan Kelompok Tani Karya Makmur ... 75

VII.EVALUASI DAN RUMUSAN PROGRAM PEMBERDAYAAN KELUARGA MISKIN MELALUI KUBE DI KELURAHAN MAHARATU 7.1.Evaluasi dan Strategi Pemberdayaan Keluarga Miskin ... 83

7.1.1. Evaluasi dan Strategi Pemberdayaan Keluarga Miskin ... 83

7.1.2. Keragaan Keluarga Miskin ... 87

7.1.3. Analisis Permasalahan, Analisis Tujuan, serta Strategi KUBE pada Program Pemberdayaan Keluarga Miskin di Kelurahan Maharatu... 90

7.2.Rumusan Program Pemberdayaan Keluarga Miskin Melalui Kelembagaan KUBE ... 93

(15)

Tabel Halaman

1. Jumlah Persentase Penduduk Miskin dan Garis Kemiskinan

Provinsi Riau ... 2

2. Jadwal Kajian ... 32

3. Matrik Kelengkapan Metode Pengumpulan Data ... 34

4. Nama Kelompok, Jumlah Anggota, Jenis Usaha dan Jumlah

Bantuan KUBE ... 48

5. Penggunaan Tanah Kelurahan maharatu Tahun 2006 ... 53

6. Nama-nama Kelompok Tani, Kelompok P4K dan Kelompok P2WKSS Di Kelurahan Maharatu Kota Pekanbaru ... 59

7. Data Penyandang Masalah Sosial di Kelurahan Maharatu Tahun 2006 61 8. Komposisi Penduduk Kelurahan Maharatu berdasarkan Kelompok

Umur dan Jenis Kelamin Tahun 2006 ... 62 9. Komposisi Penduduk Kelurahan Maharatu berdasarkan Tingkat

Pedidikan Tahun 2006 ... 65

10. Komposisi Penduduk Kelurahan Maharatu Berdasarkan Mata Pencaharian Tahun 2006 ... 62

11. Jumlah lembaga ekonomi/jenis usaha Kelurahan Maharatu Tahun 2006 67

12. Aktivitas Kelembagaan KUBE Suka Makmur dalam Kegiatan Produktif 74

13. Keragaan Kesejahteraan Keluarga Miskin setelah Bergabung dengan

KUBE Suka Makmur ... 88

14. Kerangka Kerja Logis Program Pemberdayaan Keluarga Miskin

(16)

Halaman

1. Kerangka Fikir Kajian ... 30

2. Skema Pembentukan dan Pengembangan KUBE ... 39

3. Piramida penduduk Kelurahan Maharatu Tahun 2006 ... 63

4. Struktur Organisasi KUBE Suka Makmur ... 70

5. Struktur Organisasi Gabungan Kelompok (Gapoktan) Tani Karya Makmur ... 76

6. Analisis Permasalahan Kelembagaan KUBE ... 91

(17)

Lampiran Halaman

1. Perjanjian Kerjasama antara Departemen Sosial Provinsi Riau

Dengan KUBE Suka Makmur ... 107

2. Dokumentasi Kegiatan Pemberdayaan Keluarga Miskin Dinas Sosial

(18)

1.1. Latar Belakang

Pembangunan di Indonesia yang dilaksanakan secara berkesinambungan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia secara adil dan merata. Hasil dari pembangunan yang dilaksanakan secara bertahap diharapkan dapat memperbaiki kondisi kehidupan masyarakat, baik pada tatanan sosial, ekonomi maupun budaya, namun demikian hasil kegiatan pembangunan belum dapat menghilangkan masalah kemiskinan secara menyeluruh. Hal ini dapat dibuktikan dengan cukup tingginya angka kemiskinan di Indonesia yaitu 14 persen pada ta penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) di Indonesia masih cukup tinggi.

Kemiskinan ini pada dasarnya dipicu oleh rendahnya produktivitas kegiatan masyarakat dengan penyebab kemiskinan yang kompleks dimulai dari kelembagaan ekonomi masyarakat tidak berkembang, sehingga menyulitkan masyarakat miskin untuk mengakses permodalan, tingkat pendidikan yang tergolong rendah, kondisi sosial budaya yang kurang mendukung, penyebab agensia seperti penguasaan lahan dan ekonomi yang begitu besar oleh beberapa perusahaan serta infrasrtruktur akses jalan dan pasar yang menyebabkan masyarakat menjadi hidup terpencil dan sulit melakukan kegiatan ekonomi.

Pendekatan pemberdayaan masyarakat menjadi penting setelah reformasi di Indonesia bergulir serta membawa impilkasi bagi bergesernya paradigma pembangunan yang pada masa awalnya memandang kegiatan produksi sebagai bagian terpenting dalam pembangunan menjadi sebuah paradigma baru yang memandang pentingnya masyarakat sebagai pelaku utama dalam pembangunan.

Pentingnya menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama dalam pembangunan menunjukkan perubahan paradigma pembengunan dari pendekatan pertumbuhan (growth approach) kepada pendekatan kemandirian (self-reliance approach). Namun demikian, akibat telah termajinalisasi dalam waktu yang lama,

(19)

pelaku utama pembangunan. Dalam konteks ini, pemberdayaan masyarakat sangat diperlukan dalam strategi pengembangan masyarakat (Adi, 2001)

Kemiskinan di Provinsi Riau masih cukup tinggi. Hal ini dapat dilihat dengan tingginya jumlah penduduk miskin pada tahun 2008 adalah 566.700 jiwa atau 10,63 persen dari total penduduk Provinsi Riau 5.189.154 jiwa, sedangkan Kota Pekanbaru jumlah penduduk miskin pada tahun 2007 berjumlah 198.631 jiwa atau 17,7 persen dari total jumlah penduduk 378.219 jiwa (BPS, 2008). Data jumlah penduduk miskin yang ada di Provinsi Riau dari tahun 2005 sampai dengan 2007 dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1 Jumlah Persentase Penduduk Miskin dan Garis Kemiskinan Provinsi Riau

Kabupaten/

Sumber : BPS Provinsi Riau

(20)

usaha, menyebarkan moralitas usaha yang baik, dan meningkatkan kualitas kehidupan yang lebih luas seperti usaha, kerumahtanggaan kemasyarakatan dan sebagainya.

Pemerintah menerapkan beberapa program penguatan ekonomi kerakyatan dengan strategi mendorong kemandirian usaha-usaha kelompok masyarakat, sebagai salah satu usaha penanggulangan kemiskinan. Wujud kegiatan ini adalah pengembangan Kelompok Usaha Bersama (KUBE) yang merupakan program Asistensi Kesejahteraan Sosial Keluarga. Kegiatan ini merupakan program pemberdayaan masyarakat untuk penanggulangan kemiskinan melalui bantuan dan jaminan sosial dengan melibatkan pendampingan sosial. Pendamping sosial merupakan agen perubahan yang turut terlibat membantu memecahkan persoalan yang dihadapi keluarga miskin yang disebabkan oleh lemahnya kondisi sumberdaya manusia untuk mengakses sumberdaya ekonomi dan sosial (Suharto, 2005).

Pemerintah Provinsi Riau, telah melakukan penangulangan kemiskinan melalui program pengentasan K2I (pengentasan Kemiskinan, Kebodohan dan Inftrastruktur), melalui kegiatan peningkatan sumberdaya manusia, seperti peningkatan pendidikan, pengurangan masyarakat miskin dan perbaikan infrastruktur. Khusus untuk penanggulangan kemiskinan, Pemerintah Provinsi Riau meluncurkan sejumlah program seperti bantuan Usaha Ekonomi Desa (UED-SP) dengan pendekatan pemberdayaaan masyarakat melalui pengembangan usaha pada kelompok usaha bersama (KUBE), Selain itu untuk pelaksanaan program K2I pemerintah juga membuat program kegiatan seperti pembengunan kebun rakyat, redistribusi asset melalui sertifikasi tanah rakyat, pembangunan rumah layak huni, pembangunan infrastruktur perdesaan dan lainnya melalui satuan kerja yang ada. Upaya tersebut dilakukan melalui kebijakan seperti indentifikasi potensi masyarakat miskin di Riau, membentuk komite penanggulangan kemiskinan tingkat provinsi.

(21)

masyarakat kearah kemandirian. Pada Prinsipnya program KUBE diproritaskan bagi masyarakat yang berada pada tingkat ekonomi menengah kebawah (Aftar Rumander, 2008).

Berdasarkan tahap perkembangannya, Kelompok Usaha Bersama (KUBE) digolongkan kepada tiga tipologi, yaitu tumbuh, berkembang dan maju (mandiri). KUBE tumbuh merupakan kelompok usaha yang baru berjalan, telah menerima bantuan UEP dan telah memiliki pendamping. KUBE berkembang adalah kelompok usaha yang telah didasarkan atas pembagian kerja sesuai dengan kepengurusannya, keuntungan usaha telah berkembang dan telah terbentuk modal. KUBE maju adalah kelompok usaha yang telah menjalankan fungsi manajemen dengan baik (Departeman Sosial, 2005)

Kelurahan Maharatu Kota Pekanbaru merupakan daerah urban yang banyak dihuni pendatang yang berasal dari luar Provinsi Riau, pendatang umumnya bekerja sebagai petani sayur berdaun lebar dengan status kepemilikan lahan adalah hak pakai (pinjam lahan). Kelurahan ini dikenal sebagai daerah penghasil sayur berdaun lebar. Jumlah penduduk di Kelurahan Maharatu pada tahun 2007 adalah 27.382 jiwa, dimana 27,77 persen penduduknya tergolong berpendidikan rendah, dengan rincian 3.44 persen tidak tamat sekolah dasar, 11,25 persen tamat sekolah dasar dan 13,08 persen tamat sekolah lanjutan tingkat pertama atau sederajat. Dengan demikian dapat diketahui bahwa kemiskinan di daerah ini salah satu penyebabnya adalah pendidikan yang rendah.

Bagi keluarga miskin, manfaat KUBE tidak hanya mencakup perkembangan aspek ekonomi, tetapi juga aspek sosial. KUBE merupakan media untuk meningkatkan pendapatan, mengembangkan usaha, membangun interaksi dan kerjasama dalam kelompok, mendayagunakan potensi dam sumber ekonomi lokal, memperkuat budaya kewirausahaan, mengembangkan akses pasar, menyelesaikan berbagai masalah serta memenuhi kebutuhan (Departemen sosial, 2005)

(22)

Sosial Propinsi Riau (BKS) sendiri telah memberikan berbagai pelayanan terhadap kelompok tersebut. Baik berupa bantuan dana, penyuluhan, bibit maupun keperluan masyarakat lainnya. Bantuan tersebut diberikan sesuai dengan keperluan dan bidang usaha – usaha yang telah ada maupun yang akan dikembangkan oleh masyarakat. Dalam melakukan penilaian dari berbagai aspek yang positif. Diantaranya para petani yang bergabung dalam KUBE Suka Makmur telah meningkat kesejahteraannya, hal ini dapat dilihat bahwa anggota KUBE telah mampu mempunyai rumah, kendaraan, dan berbagai penunjang hidup lainya. Termasuk telah suksesnya mereka dalam bekerjasama sesama kelompok (Riau Online, 2003).

KUBE Suka Makmur di Kelurahan Maharatu Kota Pekanbaru sudah dapat digolongkan sebagai KUBE maju atau mandiri, hal ini dapat dilihat dengan kemampuan kelompok usaha yang telah mampu menjalankan manajemen yang baik. Namun demikian mulai pada tahun 2008 yang lalu , telah terjadi penurunan aktivitas kelompok KUBE Suka Makmur, baik dalam kegiatan usaha ekonomi, kegiatan kelembagaan, pertemuaan kelompok dan lainnya. Untuk itu penulis menjadi tertarik untuk mengkaji kinerja KUBE Suka Makmur di Kelurahan Maharatu, karena meski telah digolongkan kepada KUBE maju atau mandiri ternyata masih ada kelemahan – kelemahan yang dapat mendorong menurunnya aktivitas di dalam kelompok, namun demikian masih ada pula peluang untuk memperoleh keberhasilan kembali. Untuk itu dibutuhkan sebuah kajian untuk membuat suatu strategi yang dapat menjamin keberlanjutan dan kemandirian KUBE pada masa yang akan datang.

1.2. Rumusan Masalah

Upaya peningkatan kesejahteraan sosial melalui Program Pemberdayaan Keluarga Miskin memberikan peluang bagi masyarakat miskin untuk membangun dirinya secara partisipatif. Konsep tersebut memberikan dasar dan sasaran dalam upaya perbaikan kondisi dan taraf hidup masyarakat, membangkitkan partisipasi masyarakat, dan penumbuhan kemampuan untuk berkembang secara mandiri dan berkelanjutan.

(23)

kemiskinan anggota kelompoknya, hal ini diketahui dari 121 orang anggota kelompoknya, semuanya telah mampu mempunyai rumah sendiri, kendaraan sendiri, mampu memberikan pendidikan yang layak bagi anggota keluarganya, serta kemampuan untuk membentuk usaha secara mandiri, namun demikian hal ini bertolak belakang dengan perkembangan kelembagaan dan usaha KUBE sendiri yang terus mengalami penurunan dari dua tahun belakangan ini.

Atas dasar gambaran latar belakang di atas maka dalam kajian ini dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Apa saja kegiatan program KUBE, sesuai dengan tahapan perkembangan organisasinya?

2. Sampai sejauh mana kegiatan yang telah dilakukan KUBE dalam mengentaskan kemiskinan anggotanya ?

3. Bagaimana strategi yang dapat dilakukan untuk mengembangkan KUBE berdasarkan tahapan perkembangan organisasinya ?

1.3. Tujuan Kajian

Tujuan yang ingin dicapai dari kajian ini adalah :

1. Mendeskripsikan program KUBE menurut tahap perkembangan organisasinya

2. Mengevaluasi peragaan KUBE dalam mengatasi kemiskinan.

3. Merumuskan strategi untuk mengembangkan KUBE berdasarkan tahapan perkembangan organisasinya.

1.4.Manfaat Kajian

Kajian ini berguna untuk menambah wacana pemikiran bagi penulis dan

pekerja komunitas yang bergerak dalam pemberdayaan masyarakat. Bagi

akademisi, kajian ini diharapkan dapat berguna sebagai perkembangan ilmu

pengetahuan dibidang pemberdayaan komunitas. Dalam hasil kajian ini penulis

berharap dapat menyumbangkan pemikiran pelaksanaan program pemberdayaan

(24)

program kelompok usaha bersama (KUBE), terutama mengenai pengembangan

strategi pemberdayaan komunitas pada kelompok untuk usaha bersama pada masa

(25)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk meningkatkan harkat

dan martabat lapisan masyarakat yang berada dalam kondisi tidak mampu untuk

melepaskan diri dari kemiskinan dan keterbelakangan. Upaya dalam

pemberdayaan masyarakat haruslah dimulai dengan menciptakan suasana atau

iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang. Disini titik tolaknya

adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi

atau daya yang dapat di kembangkan. Dalam hal ini pemberdayaan adalah upaya

untuk membangun daya itu, dengan mendorong, memotivasi, dan membangkitkan

kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk

mengembangkannya (Kartasasmita, 2005).

Selanjutnya Hikmat (2004), menyatakan bahwa pemberdayaan masyarakat

merupakan strategi pembangunan yang menitik beratkan pada kepentingan dan

kebutuhan rakyat yang mengarah pada kemandirian masyarakat, partisipasi

jaringan kerja dan keadilan. Dengan kata lain pemberdayaan masyarakat adalah

sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial dan

mencerminkan paradigma baru pembangunan yang bersifat people-centred,

participatory, empowering, dan sustainable.

Pemberdayaan masyarakat menyangkut dua kelompok yang saling terkait,

yaitu masyarakat yang belum berkembang sebagai pihak yang harus

diberdayakan, dan pihak yang menaruh kepedulian sebagai pihak yang

memberdayakan (Sumodiningrat, 1997). Pemberdayaan rakyat mengandung

makna mengembangkan, memandirikan, menswadayakan dan memperkuat posisi

tawar masyarakat lapisan bawah terhadap kekuatan-kekuatan penekan disegala

bidang dan sektor kehidupan. Hal tersebut mengandung arti melindungi dan

membela dengan berpihak pada yang lemah (Proyono, 1997).

Menurut Suharto (2005), pemberdayaan menunjuk pada kemampuan

orang, khususnya kelompok rentan dan lemah sehingga mereka memiliki

(26)

1. Memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga mereka memiliki kebebasan

(freedom), dalam arti bukan saja bebas mengemukakan pendapat, melainkan

bebas dari kelaparan, bebas dari kebodohan, bebas dari kesakitan.

2. Menjangkau sumber-sumber produktif yang memungkinkan mereka dapat

meningkatkan pendapatannya dan memperoleh barang-barang dan jasa-jasa

yang mereka perlukan.

3. Berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang

mempengaruhi mereka.

Konsep pemberdayaan dalam wacana pembangunan masyarakat selalu

dihubungkan dengan konsep kemandirian, partisipasi, jaringan kerja, dan keadilan

(Adimihardja. 2004). Pada dasarnya, pemberdayaan diletakkan pada kekuatan

tingkat individu dan sosial. Pemberdayaan juga diartikan sebagai pemahaman

secara psikologis pengaruh kontrol individu terhadap keadaan sosial, kekuatan

politik, dan hak-haknya menurut undang-undang (Rappopont,1987) dalam

Suharto (2005).

Ife (1995) mengemukakan bahwa pemberdayaan memuat dua pengertian

kunci yaitu kekuasaan dan kelompok lemah. Kekuasaan diartikan bukan hanya

menyangkut kekuatan politik melainkan kekuasaan atau penguasaan atas

pilihan-pilihan personil dan kesempatan-kesempatan hidup, pendevinisian gagasan

kebutuhan, ide atau gagasan, lembaga-lembaga, sumber-sumber, dan reproduksi.

Dengan demikian pemberdayaan adalah sebuah proses dari tujuan. Sebagai

proses, pemberdayaan merupakan serangkaian kegiatan untuk memperkuat

kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat termasuk

individu-individu dari komunitas tertentu yang mengalami masalah kemiskinan.

Sebagai tujuan. Pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil yang di

inginkan oleh sebuah perubahan sosial yaitu masyarakat yang berdaya, memiliki

kekuasaan, dan mempunyai pengetahuan serta kemampuan dalam memenuhi

kebutuhan hidupnya.

Pemberdayaan dapat pula dipandang sebagai bagian dari aliran

post-modernisme yang menitik beratkan pada sikap dan pendapat yang berorientasi

pada jorgan antisistem, anti struktur, dan anti determinisme yang diaplikasikan

(27)

konsep pemberdayaan ini muncul akibat dari reaksi terhadap alam pikiran,

tata-masyarakat, dan tata-budaya sebelumnya yang berkembang di suatu negara.

Pemberdayaan merupakan gerakan yang dirancang untuk meningkatkan

kehidupan seluruh komunitas dengan partisipasi aktif dan atas dasar prakarsa

komunitas. Sejalan dengan kerangka berpikir tersebut, strategi pemberdayaan

masyarakat secara partisipatif (participatory community empowment) merupakan

strategi yang menjadi pusat perhatian dalam pembangunan. Permasalahan sosial

yang terjadi pada masyarakat bukan hanya akibat dari adanya penyimpangan

perilaku maupun masalah kepribadian Namun merupakan akibat masalah

struktural, kebijakan yang keliru, implementasi yang tidak konsisten, dan tidak

adanya partisipasi masyarakat dalam pembangunan (ESCAP, 1999). Dalam

kondisi yang demikian itu maka strategi pemberdayaan sangat diperlukan agar

dalam upaya peningkatan kemampuan dan kapasitas masyarakat menjadi terarah

dan mencapai tujuan-tujuan yang diharapkan.

Selanjutnya, Person (1994) menyatakan bahwa proses pemberdayaan

umumnya dilakukan secara kolektif. Namun demikian, dalam beberapa situasi

tertentu strategi pemberdayaan dapat dilakukan secara individual meskipun pada

gilirannya strategi ini tetap berkaitan dengan kolektifitas yaitu dengan mengaitkan

antara klien dengan sumber atau sistem di luar dirinya. Secara umum strategi

pemberdayaan dapat dilakukan melalui tiga aras pemberdayaan (empowerment

setting), sebagai berikut:

1. Aras Mikro, bahwa pemberdayaan dilakukan terhadap klien secara individu

melalui bimbingan, konseling, stress management, crisis intervention. Tujuan

utamanya adalah membimbing atau melatih klien dalam menjalankan

tugas-tugas kehidupannya. Model ini sering disebut sebagai pendekatan yang

berpusat pada tugas (task centered approach).

2. Aras Mezzo, bahwa pemberdayaan dilakukan terhadap sekelompok klien.

Pemberdayaan ini dilakukan dengan menggunakan kelompok sebagai media

intervensi. Pendidikan dan pelatihan, dinamika kelompok biasanya

digunakan sebagai strategi dalam meningkatkan kesadaran, pengetahuan,

keterampilan, dan sikap-sikap klien agar memiliki kemampuan memecahkan

(28)

3. Aras Makro, pendekatan ini disebut juga sebagai strategi sistem besar

(large-system strategy), karena sasaran perubahan diarahkan pada sistem lingkungan

yang lebih luas. Perumusan kebijakan, perencanaan sosial, kampanye, aksi

sosial, lobbying, pengorganisasian masyarakat, manajemen konflik, adalah

beberapa strategi dalam pendekatan ini. Strategi sistem besar memandang

klien sebagai orang yang memiliki kompetisi untuk memahami situasi-situasi

mereka sendiri, dan untuk memilih serta menentukan strategi yang cepat untuk

bertindak. (Suharto, 2004).

Dalam proses dan pencapaian tujuan pemberdayaan di atas dicapai

melalui penerapan pendekatan pembangunan untuk menciptakan suasana yang

memungkinkan potensi dan sumber yang ada dalam masyarakat dapat

berkembang secara optimal. Pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki

masyarakat diperkuat dalam memecahkan masalah dan memenuhi

kebutuhan-kebutuhannya. Kelompok-kelompok lemah dilindungi agar tidak tertindas oleh

kelompok-kelompok yang lebih kuat, serta menghindari persaingan yang tidak

seimbang antar yang kuat dan yang lemah. Mencegah sedini mungkin terjadinya

eksploitasi antara kelompok kuat terhadap kelompok lemah. Oleh karena itu

pemberdayaan diarahkan pada penghapusan segala jenis diskriminasi dan

dominasi yang tidak menguntungkan rakyat kecil.

Bimbingan dan dukungan diberikan kepada masyarakat agar mampu

menjalankan peranan dan tugas-tugas kehidupannya. Dalam konteks ini

pemberdayaan harus mampu menyokong masyarakat agar tidak terjatuh dalam

keadaan yang semakin melemahkan. Situasi dan kondisi yang kondusip tetap

dipelihara agar terjadi keseimbangan distribusi kekuasaan antara berbagai

kelompok dalam masyarakat. Oleh karenanya pemberdayaan harus mampu

menjamin keselarasan dan keseimbangan yang memungkinkan setiap anggota

masyarakat dapat memperoleh kesempatan yang sama dalam berusaha

memperbaiki kesejahteraan sosialnya.

Prinsip pemberdayaan masyarakat yang berpusat pada rakyat dengan

dukungan teknologi tepat guna, menegaskan bahwa masyarakat harus menjadi

pelaku utama dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi program

(29)

pembangunan baik pada tingkat mikro, mezzo, maupun makro, sehingga

masyarakat dapat mengembangkan potensi diri tanpa mengalami hambatan yang

bersumber dari faktor-faktor eksternal maupun internal.

2.2. Konsep Kemiskinan

Kemiskinan pada hakekatnya merupakan masalah klasik yang telah ada

sejak adanya umat manusia. Persoalan kemiskinan senantiasa menjadi perhatian

berbagai kalangan, baik para akademisi maupun para praktisi. Beberapa konsep

dan pendekatan pun terus menerus dikembangkan untuk mengentaskan

kemiskinan. Pada umumnya, kemiskinan didefinisikan dari faktor lemahnya

ekonomi, khususnya pendapatan dalam bentuk uang, ditambah dengan

keuntungan-keuntungan non material yang diterima oleh seseorang. Namun

secara luas kemiskinan juga sering didefinisikan sebagai kondisi yang ditandai

oleh serba kekurangan serta keterbatasan dalam memperoleh akses bagi

perkembangan kegiatan kehidupan seperti tidak ada akses modal, pendidikan

yang rendah, keadaan kesehatan yang buruk, lemahnya sistem kelembagaan dan

sosial serta sarana transportasi yang tidak baik yang menyebabkan keterpencilan

komunitas.

Yustika (2003) mendefenisikan kemiskinan dengan memahaminya

sebagai akibat dari kebijakan yang timpang terhadap 1) kepemilikkan modal, 2)

kepemilikkan tanah dan akses, serta 3) ketidakserasian aktifitas yang dikerjakan.

Kemiskinan merupakan ketidakmampuan individu untuk memenuhi kebutuhan

dasarnya, kemampuan yang dimaksudkan di sini bukan hanya kemampuan

individu itu sendiri, tetapi juga dalam konteks keluarga, artinya meskipun

kemiskinan itu merupakan atribut bagi individu yang bersangkutan, tetapi pada

kenyataannya keadaan tersebut terkait erat dengan keluarga.

Selanjutnya Friedmann (1979) dalam Suharto, dkk (2005) mendefinisikan

kemiskinan sebagai ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasikan basis

kekuasaan sosial. Basis kekuasaan sosial tersebut meliputi : modal yang produktif

atau aset, sumber-sumber keuangan, organisasi sosial dan politik yang dapat

digunakan untuk mencapai kepentingan, jejaring sosial untuk memperoleh

(30)

memadai, dan informasi yang berguna untuk memajukan kehidupan masyarakat.

Atas dasar definisi-definisi kemiskinan di atas maka konsep kemiskinan

dapat digambarkan sebagai kondisi yang serba kekurangan dalam memenuhi

kebutuhan dasar manusia seperti kebutuhan akan sandang, pangan, papan (tempat

tinggal), kesehatan, dari pendidikan.

Penyebab kemiskinan diungkapkan oleh Gunawan Sumodiningrat (2004)

sebagai berikut; (1) Kemiskinan alami, yaitu kemiskinan yang disebabkan

keterbatasan kualitas sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia. Sebagai

akibatnya, sistem produksi beroperasi tidak optimal dengan efisiensi rendah; (2)

Kemiskinan struktural merupakan kemiskinan yang langsung atau tidak langsung

diakibatkan oleh berbagai kebijakan, peraturan, dan keputusan dalam

pembangunan; (3) Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang lebih banyak

disebabkan sikap individu dalam masyarakat yang mencerminkan gaya hidup,

perilaku, atau budaya yang menjebak dirinya dalam kemiskinan.

Elis (1984) dalam suharto (2005), menyatakan bahwa "dimensi

kemiskinan menyangkut aspek ekonomi, politik, dan sosial-psikologis". Secara

ekonomis, kemiskinan dapat didefinisikan sebagai kekurangan sumberdaya yang

dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan

kesejahteraan sekelompok orang. Sumberdaya dalam konteks ini menyangkut

aspek finansial dan jenis kekayaan yang dapat meningkatkan kesejahteraan

masyarakat dalam arti luas. Berdasarkan konsepsi ini maka kemiskinan dapat

diukur secara langsung dengan menetapkan persediaan sumber daya yang dimiliki

melalui penggunaan standar baku yang disebut garis kemiskinan. Garis

kemiskinan yang digunakan BPS sebesar 2.100 kalori per orang per hari yang

disetarakan dengan pendapatan tertentu. Definisi kemiskinan yang menggunakan

pendekatan kebutuhan dasar seperti ini diterapkan oleh depsos terutama dalam

mendefinisikan fakir miskin. Bahwa yang disebut fakir miskin adalah orang yang

sama sekali tidak mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok

yang layak bagi kemanusiaan atau orang yang mempunyai sumber mata

pencaharian tetapi tidak memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi

kemanusiaan.

(31)

kekuatan (power). Kekuatan dalam pengertian ini mencakup tatanan sistem

politik yang dapat menentukan kemampuan sekelompok orang dalam menjangkau

dan menggunakan sumber daya. Dalam konteks ini Friedman dalam suharto

(2004) mendefinisikan kemiskinan dalam kaitannya dengan ketidaksamaan

kesempatan dalam mengakumulasi basis kekuasaan sosial yang meliputi:

1. Modal produksi atau aset (tanah, perumahan, alat produksi, kesehatan)

2. Sumber keuangan (pekerjaan , kredit)

3. Organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk mencapai

kepentingan bersama

4. Jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang, dan jasa

5. Pengetahuan dan keterampilan

6. Informasi yang berguna untuk kemajuan hidup.

Sedangkan kemiskinan secara sosial - psikologis menunjuk pada

kekurangan jaringan struktur yang mendukung dalam mendapatkan

kesempatan-kesempatan peningkatan produktifitas. Dimensi kemiskinan ini juga dapat

diartikan sebagai kemiskinan yang disebabkan oleh adanya faktor -

faktor penghambat yang mencegah atau merintangi seseorang dalam

memanfaatkan kesempatan - kesempatan yang ada dalam masyarakat. Faktor

penghambat tersebut dapat datang dari dalam diri maupun dari luar dirinya.

Faktor dari dalam seperti rendahnya tingkat pendidikan atau hambatan karena

budaya. Sedangkan faktor dari luar seperti birokrasi atau peraturan-peraturan

resmi yang dapat menghambat seseorang dalam memanfaatkan sumberdaya.

Kemiskinan seperti ini sering disebut dengan kemiskinan struktural.

Mengingat kemiskinan bersifat multidimensi, maka penyebabnya juga

bersifat multidimensi yang diungkapkan oleh Djoharis Lubis (2004) diantaranya

disebabkan oleh faktor bencana alam, kegagalan panen, etos kerja yang rendah,

pendidikan dan kwalitas kesehatan rendah, serta sebab struktur dan proses

transaksi politik, ekonomi dan sosial budaya yang tidak adil dan memiskinkan.

Selanjutnya Sulistiati dkk, (2005) lebih jelas lagi menguraikan tentang

faktor-faktor penyebab terjadinya kemiskinan yang dapat dikategorikan dalam dua hal

(32)

1. Faktor Internal

Faktor - faktor internal (dari dalam individu atau keluarga fakir miskin)

yang menyebabkan terjadinya kemiskinan antara lain berupa kurang Kemampuan

dalam hal:

a. Fisik (misalnya cacat, kurang gizi, sakit-sakitan)

b. Intelektual (misalnya kurangnya pengetahuan, kebodohan, kekurang tahuan

informasi).

c. Mental emosional (misalnya malas, mudah menyerah, putus asa,

temperamental).

d. Spiritual (misalnya tidak jujur, penipu, serakah, tidak disiplin).

e. Sosial psikologis (misalnya kurang motivasi, kurang percaya diri,

depresi atau stres, kurang relasi, kurang mampu mencari dukungan).

f. Keterampilan (misalnya tidak mempunyai keahlian yang sesuai dengan

permintaan lapangan kerja).

g. Asset (misalnya tidak memiliki stok kekayaan dalam bentuk tanah, rumah,

tabungan, kendaraan, dan modal kerja).

2. Faktor Eksternal

Faktor-faktor eksternal (berada di luar individu atau keluarga)

yang menyebabkan terjadinya kemiskinan, antara lain :

a. Terbatasnya pelayanan sosial dasar.

b. Tidak dilindungi hak atas kepemilikkan tanah.

c. Terbatasnya lapangan pekerjaan formal dan kurang terlindunginya usaha-

usaha sektor informal.

d. Kebijakan perbankan terhadap layanan kredit mikro dan tingkat bunga yang

tidak mendukung sektor usaha mikro.

e. Belum terciptanya sistem ekonomi kerakyatan dengan prioritas sektor ril

masyarakat banyak.

f. Sistem mobilisasi dan pendayagunaan dana sosial masyarakat yang belum

optimal (seperti zakat).

(33)

Adjusment Program / SAP).

h. Budaya yang kurang mendukung kemajuan dan kesejahteraan.

i. Kondisi geografis yang sulit, tandus, terpencil, atau daerah bencana.

j. Pembangunan yang lebih berorientasi fisik material,

k. Pembangunan ekonomi antar daerah yang belum merata.

l. Kebijakan publik yang belum berpihak kepada penduduk miskin.

Faktor internal dan eksternal tersebut mengakibatkan kondisi kemiskinan

tidak mampu dalam hal memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari, menampilkan

peranan sosial, mengatasi masalah-masalah sosial psikologis yang dihadapinya,

mengembangkan potensi diri dan lingkungan, serta mengembangkan faktor-faktor

produksi sendiri.

Namun demikian, masyarakat yang dikategorikan miskin tersebut pada

dasarnya memiliki kemampuan atau potensi diri sebagai modal dalam

melaksanakan tugas-tugas kehidupannya walaupun dalam keadaan sangat minim

atau terbatas. Keluarga miskin secara faktual dapat dilihat bahwa mereka mampu

merespon dan mengatasi permasalahan sosial ekonomi yang terkait dengan situasi

kemiskinannya.

2.2.1. Ukuran Kemiskinan

Sebagaimana telah diuraikan terdahulu bahwa kemiskinan disebabkan

oleh faktor internal dan eksternal, namun belum menunjukkan indikator atau

ukuran-ukuran kemiskinan tersebut. Untuk mengukur tingkat kemiskinan terdapat

dua pendekatan yaitu pendekatan absolut dan relatif. Disebutkan oleh Iwan

Nugroho (2004) bahwa yang dimaksud Ukuran Kemiskinan absolut adalah pendekatan yang memandang kemiskinan dalam suatu ukuran yang bersifat

mutlak yang bermuara atau berwujud sebagai garis, titik, atau batas kemiskinan.

Sedangkan Ukuran Kemiskinan Relatif adalah pendekatan yang memandang kemiskinan dalam suatu ukuran yang dipengaruhi oleh ukuran-ukuran lainnya

yang berhubungan dengan proporsi atau distribusi.

Atas dasar pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa seseorang atau

(34)

sebagai masyarakat miskin. Ukuran tersebut antara lain berupa tingkat

pendapatan, pengeluaran atau konsumsi, atau kalori seseorang atau keluarga

dalam satuan waktu tertentu. Mengukur tingkat kemiskinan sangat diperlukan

dalam menetapkan keluarga miskin yang menjadi sasaran dan ingin

diberdayakan. Menurut World Bank (1993) yang dikutib oleh Iwan Nugroho

(2004), mengukur kemiskinan bertujuan antara lain:

1. Melihat sejauh mana kemiskinan terjadi : lokasi, jumlah, sebaran, kondisi

masyarakat, dan ketampakan lainnya;

2. Memberikan data statistik yang berguna bagi analisis dan perencanaan

pembangunan serta penghapusan kemiskinan;

3. Mempengaruhi pola kebijakan dan pengambilan keputusan yang kelak

diterapkan.

Pengukuran kemiskinan dilakukan dengan cara menetapkan standar

kebutuhan minimum, baik untuk makanan dan non makanan yang harus dipenuhi

seseorang untuk dapat hidup secara layak. Penetapan nilai ini standar ini

digunakan untuk membedakan antara penduduk miskin dan tidak miskin.

Terdapat beberapa pendapat tentang penetapan mengenai nilai standar ini yang

antara lain menurut Sajogyo (1975), bahwa garis kemiskinan ditetapkan pada

tingkat pendapatan untuk pedesaan dengan 360 kilogram beras per orang per

tahun. Kriteria ini didasarkan atas jumlah kalori setara dengan 1.900 kalori per

hari.

BKKBN tahun 2008 menyebutkan bahwa, indiktor kemiskinan adalah :

1. Tidak mampu makan dua kali sehari

2. Tidak mampu mengkonsumsi daging/ikan/telor minimal sekali seminggu

3. Tidak mampu ke sarana kesehatan modern untuk ber KB atau berobat

4. Tidak mampu menyekolahkan anak usia SD dan SLTP

(35)

BPS tahun 2008 menyebutkan bahwa, indikator kemiskinan adalah :

1. Luas lantai rumah <8 meter persegi

2. Jenis lantai terluas (tanah/bambu/kayu murahan)

3. Jenis dinding bangunan (bambu/rumbia/ tembok tanpa pelster

4. Fasilitas buang air besar (tidak ada)

5. Sumber air minum

6. Sumber penerangan utama

7. Bahan bakar untuk masak (kayu/arang/minyak)

8. Tidak mampu beli daging/ikan/telur/susu minimal sekali seminggu

9. Makan kurang dari dua kali sehari

10.Tidak mampu membeli pakaian baru minimal satu stel setahun

11.Tidak mampu bayar untuk berobat ke sarana kesehatan modern

12.Luas sawah < 0,5 ha atau pendapatan <Rp.600.000 per rumah tangga per

bulan

13.Pendidikan tertinggi yang ditamatkan kepala rumah tangga SD ke bawah

14.Kepemilikan tabungan dan aset kurang dari Rp.500.000,-

World Bank tahun 1980 dalam bood (1993) yang dikutib Iwan N. (2004)

menyebutkan bahwa perhitungan didasarkan atas susenas (BPS) yaitu garis

kemiskinan ditetapkan pada tingkat pengeluaran makanan dasar (back tood

expenditure) dalam rupiah yang setara dengan 16 kilogram beras per bulan, atau

dikonversi dengan 125 persen bila mengkonsumsi bahan pangan lain.

Secara umum, kebutuhan pokok manusia untuk hidup layak minimal

mencakup kebutuhan makanan dan non makanan seperti pakaian, perumahan,

kesehatan, pendidikan, dan air bersih. Oleh karena itu untuk kepentingan program

pemberdayaan keluarga miskin diperlukan indikator yang lebih merefleksikan

yang sesungguhnya di dalam masyarakat. Indikator untuk menentukan tingkat

kemiskinan masyarakat tersebut menurut Harry Hikmat, dkk (2005) adalah

sebagai berikut:

1. Penghasilan rendah, atau berada di bawah garis sangat miskin yang dapat

diukur dari tingkat pengeluaran per orang per bulan berdasarkan standar BPS

per wilayah propinsi dan kabupaten/kota.

(36)

beras untuk orang miskin/santunan sosial).

3. Keterbatasan kepemilikkan pakaian untuk setiap anggota keluarga per tahun

(hanya mampu memiliki 1 stel pakaian lengkap per orang per bulan);

4. Tidak mampu membiayai pengobatan jika ada salah satu anggota keluarga

yang sakit.

5. Tidak mampu membiayai pendidikan dasar 9 tahun bagi anak-anaknya;

6. Tidak memiliki asset yang dapat dimanfaatkan hasilnya atau dijual

untuk membiayai kebutuhan hidup selama tiga bulan atau dua kali batas

garis sangat miskin;

7. Tinggal di rumah yang tidak layak huni;

8. Sulit memperoleh air bersih.

Indikator tersebut sifatnya multidimensi, artinya setiap keluarga miskin

dapat berbeda tingkat kedalaman kemiskinannya. Secara umum jika terdapat tiga

kriteria tersebut di atas terpenuhi, maka sudah dapat dikategorikan sebagai

keluarga miskin yang layak untuk memperoleh pelayanan sosial. Semakin banyak

kriteria yang terpenuhi maka kategori keluarga tersebut semakin miskin.

2.2.2. Komunitas dan Pemberdayaan Keluarga Miskin

Di dalam proses pembangunan sosial ekonomi di berbagai bidang

perekonomian, pertanian, kesehatan dan sebagainya selalu menggunakan

komunitas sebagai titik masuk sebuah kebijakan. Oleh karena itu konsep

komunitas menjadi penting artinya dalam proses pembangunan masyarakat.

Koentjoroningrat (1996), mendefenisikan bahwa komunitas merupakan suatu

kesatuan hidup manusia yang menempati suatu wilayah yang nyata, dan

berinteraksi secara kontiniu sesuai dengan suatu sistem adat istiadat dan terikat

oleh suatu rasa identitas komunitas.

Secara umum, gambaran sebuah struktur komunitas akan ditandai oleh

serangkaian fenomena sebagai berikut:

1. Prinsip saling berbagi (shared norms and expectation) di antara para

(37)

2. Pertukaran materi - informasi yang adil di antara individu-individu anggota

sebuah komunitas.

3. Kesatuan komunitas yang dibangun oleh to face communication yang akrab.

(Tonny, 2005)

Pemberdayaan merupakan salah satu pendekatan dalam meningkatkan

kualitas kehidupan dan mengangkat harkat dan martabat masyarakat bawah.

Konsep ini menjadi sangat penting karena dapat memberikan perspektif positif

terhadap masyarakat Pemberdayaan masyarakat dari partisipasi merupakan

strategi dalam paradigma pembangunan yang tertumpu pada rakyat (people

centered development) (Adimihardja, 2004). Strategi ini menyadari pentingnya

peningkatan kapasitas masyarakat untuk kemandirian dengan kekuatan internal

yang ada pada masyarakat.

Dalam rangka pemberdayaan keluarga miskin, hal utama harus dilakukan

adalah pengembangan kapasitas komunitas serta membangun jaringan kerja

komunitas. Mengacu pada Unicef (1999) dalam Sumarti T. dkk (2005) , terdapat

tujuh komponen kapasitas di tingkat komunitas yang dapat dikembangkan untuk

dapat mendorong aktivitas-aktivitas ekonomi anggotanya melalui pembentukan

kelompok-kelompok usaha ekonomi produktif seperti KUBE, yaitu :

1. Community leader ; siapa saja orang-orang yang berpengaruh dalam

masyarakat yang dapat mendorong penguatan kelompok usaha ekonomi

produktif ?

2. Community technology ; teknologi apa yang digunakan oleh masyarakat

untuk memproduksi sesuatu, apa konsekuensi dari suatu intervensi ?

3. Community fund ; apakah ada mekanisme penghimpunan dana dalam

masyarakat ?

4. Community material: sarana apa saja yang ada di masyarakat yang berguna

untuk pengembangan kelompok, apa modal usaha keluarga/'komunitas ?

5. Community knowledge ; apa persepsi masyarakat berkaitan dengan usaha

mereka, apa harapan terhadap pelayanan ekonomi produktif, sejauh mana

(38)

6. Community decision making; apakah masyarakat disertakan dalam program

secara keseluruhan ?

7. Community organizations ; usaha ekonomi mana yang dapat berkembang

menjadi organisasi ekonomi produktif ? Kelompok tani, koperasi tani,

KUD/LSM, kelembagaan bagi hasil, kelembagaan pedagang, mitra kerja.

Dalam pemberdayaan masyarakat, kelompok menempati posisi yang

penting karena akan berperan dalam masyarakat dalam mengontrol suatu

keputusan program maupun kebijakan yang berpengaruh langsung kepada

kehidupan komunitas. Di dalam pembahasan tentang pemberdayaan masyarakat

dikenal suatu konsep modal sosial, yang secara umum dipahami sebagai bentuk

institusi, relasi, dan norma-norma yang membentuk kualitas dari kuantitas dari

interaksi sosial dalam masyarakat. Menurut pendapat saya dalam rangka

pemberdayaan keluarga miskin maka pertama dan utama yang harus dilaksanakan

adalah pengembangan kapasitas komunitas serta membangun jejaring mengacu

pada Unicef (1999) dalam Sumarti T. Dkk (2005).

2.3. Penguatan Kelembagaan

Apabila melihat peluang perubahan kelembagaan, maka ada baiknya

menyiapkan perubahan tersebut. Hal ini menunjukkan paling tidak untuk

pengembangan kelembagaan dalam konteks pembangunan yang berbasis pada

pengembangan komunitas memerlukan roh yang jelas. Satu hal yang pokok dalam

hal ini adalah mengingatkan akan pembangunan yang berkelanjutan (Lala

Kolopaking dan Fredian Toni, 2007). Ada tiga pilar utama dari Pembangunan

berkelanjutan, yaitu: (1) Pengentasan kemiskinan (poverty eradication). (2)

Perubahan konsumsi dan produksi yang tidak berkelanjutan (changing

unsustainable pattern of coinsumption and production). (3) Perlindungan dan

pengelolaan basis sumber daya alam bagi pembangun ekonomi dan sosial

(protecting and managing the natural resouces basis of economic and social

development). Ketiga pilar ini perlu diintergrasikan dan terkait dan tergantung

satu sama lainnya (interdepedency).

Pengembangan kelembagaan dan penguatan kapasitas masyarakat untuk

(39)

sosial yang diturunkan dari penerapan teknologi partisiptif, oleh karena itu bentuk

kegiatannya beragam mulai dari pendampingan, melakukan pelatihan berbasis

kompetensi, pemagangan, studi banding utuk melihat pola percontohan.

Keberhasilan (best practice), penyusunan dan perencanaan aksi, bahkan sampai

melakukan advokasi untuk melakukan memperjuangkan kepentingan masyarakat.

Hal yang utama dalam hal ini dilakukan dalam bentuk proses belajar sosial

partisipatif yang diarahkan untuk menghasilkan aksi bersama yang produktif. Satu

hal yang menjadi hasil (autcome) dari kegiatan-kegiatan ini adalah lahirnya

kader-kader untuk ikut mengembangkan proses pemberdayaan masyarakat.

Menurut Bertrand 1974, seperti dikutip Tonny dan Utomo 2004,

kelembagaan adalah tata abstraksi yang lebih tinggi dari grup, asosiasi, organisasi

dan sistem sosial lainnya. Artinya wujud konkrit dari pemahaman tentang

kelembagaan dapat berupa grup, asosiasi, organisasi dan sistem sosial lainnya.

Istilah ”lembaga” (institution) dan ”pengembangan kelembagaan”

(institutional building), mempunyai arti yang berbeda - beda untuk orang yang

berbeda pula. Disini pengembangan kelembagaan sinonim dengan pembinaan

kelembagaan dan didefinisikan sebagai proses utntuk memperbaiki kemampuan

lembaga guna mengefektifkan sumber daya manusia dengan keuangan yang

tersedia. Proses ini secara internal dapat digerakkan oleh manager sebuah

lembaga atau dicampur tangani dan dipromosikan oleh pemerintah atau

badan-badan pembangunan (Israel, A 1992).

Pembangunan kelembagaan (atau analisa kelembagaan) menyangkut

sistem manajemen termasuk pemantauan dan evaluasi; struktur dan perubahan

organisasi; perencanaan, termasuk perencanaan untuk suatu proses investasi yang

efisien ; kebijakan pengaturan staf dan personalia ; pelatihan staf, prestasi

keuangan, termasuk manajemen keuangan dan perencanaan, penyusunan

anggaran dan akunting; perawatan dan pengadaan (Israel, A 1992).

Menurut Sugiyanto (2002) hasil akhir dari pembangunan lembaga

menetapkan sederetan pengujian. Prinsip-prinsip dasarnya (1) harus diadakan

norma-norma dan pola-pola yang baru di dalam organisasi yang relevan dengan

lingkungan, baik organisasi maupun inovasi yang diwakilinya harus melembaga

(40)

sebagai sumber daya yang memungkinkan para penghantar perubahan untuk

mencapai tujuannya dengan biaya yang berkurang karena komitmen staf dan citra

yang menguntungkan dan diproyeksi dalam lingkungan. Menurut Eade 1997

seperti dikutip Tonny dan Utomo 2004, pengembangan kapasitas sering

digunakan secara sederhana untuk menjadikan suatu lembaga lebih efektif

mengimplementasikan proyek-proyek pembangunan.

2.4. Kelompok Usaha Bersama (KUBE)

Kelompok Usaha Bersama (KUBE) adalah kelompok binaan sosial (KBS)

yang atas bimbingan dan kesadaran bersama, diberi tanggung jawab untuk

mengelola bantuan stimulan Usaha Ekonomi Produktif (UEP). Maksud

pembentukan KUBE ini adalah meningkatkan motivasi, interaksi dan kerjasama

dalam kelompok, mendayagunakan potensi dan sumber daya ekonomi lokal,

memperkuat budaya kewirausahaan, mengembangkan akses pasar dan menjalin

kemitraan dengan pihak terkait (Departemen sosial, 2005)

Jumlah KUBE didasarkan atas kebutuhan nyata di lapangan, bisa menjadi

kelompok kecil (antara tiga sampai lima orang) atau kelompok besar (lebih dari

lima orang). Banyak anggota KUBE dalam perkembangannya dapat berjumlah

menjadi sangat banyak, namun untuk efektivitas pendekatan kelompok yang

dilakukan pendamping sosial, jumlah anggota KUBE disarankan tidak terlalu

banyak (lima sampai sepuluh orang), sehingga jumlah anggota KUBE yang

banyak dapat dibagi – bagi dalam kelompok – kelompok yang lebih kecil. Proses

pembentukan KUBE dilakukan berdasarkan; (1) kedekatan domisili dengan tujuan

untuk memudahkan berkomunikasi dalam melaksanakan kegiatan maupun dalam

mekanisme pembinaan; (2) mempunyai tujuan yang sama untuk merubah nasib;

(3) jenis usaha dapat bervariatif atau satu jenis usaha dapat dikelola per individu

asalkan terkait dalam satu kelompok; (4) saling mengenal dan saling percaya; (5)

pemberian nama KUBE berdasarkan musyawarah anggota; (6) terdapat susunan

pengurus yang terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara dan anggota.

Departemen sosial, 2005 menggolongkan KUBE berdasarkan tiga tahap

(41)

1. Tumbuh

KUBE dikatakan dalam keadaan tumbuh mempunyai ciri – ciri; (1) sudah

memiliki pendamping KUBE; (2) pernah mengikuti pelatihan; (3) pengurus dan

organisasi telah dibentuk sebanyak sepuluh orang; (4) telah menerima bantuan

UEP; (5) mempunyai papan nama KUBE; dan (5) kegiatan kelompok baru

berjalan.

2. Berkembang

KUBE dikatakan dalam keadaan berkembang mempunyai ciri – ciri; (1)

Kegiatan kelompok telah berjalan sesuai dengan kepengurusannya; (2)

keuntungan usaha ekonomi produktif (UEP) sudah ada untuk modal,

kesejahteraan anggotadan iuran kesetiakawanan sosial (IKS); (3) kepercayaan dan

harga diri dari anggota KUBE dan keluarga meningkat; (4) pergaulan antara

anggota KUBE dengan masyarakat semakin meningkat; (5) hasil usaha sudah

dapat dirasakan.

3. Maju atau Mandiri

KUBE dikatakan dalam tahap maju atau mandiri memiliki ciri – ciri; (1)

keuntungan usaha ekonomi produktif (UEP) meningkat dan modal semakin besar;

(2) mampu menyisihkan dana iuran kesetiakawanan sosial (IKS) untuk anggota

kelompok, keluarga miskin lainnya dan berpartisipasi dalam pembangunan

lingkungannya; (3)Manajemen usaha prodiktif (UEP) telah dikelola dengan baik;

(4) mempunyai hubungan baik dan saling menguntungkan dengan lembaga

ekonomi dan pengusaha; (5) hubungan sosial dengan masyarakat dan lembaga –

lembaga sosial semakin baik dan melembaga; (6) kegiatan usaha ekonomi

produktif (UEP) semakin maju dan berkembang.

Sebagai media pemberdayaan keluarga miskin KUBE dikatakan dapat

berhasil apabila anggotanya telah berhasil mencapai tingkat kesejahteran, dengan

beberapa indikator yaitu; (1) meningkatnya kemampuan memenuhi kebutuhan

dasar manusia (pangan, sandang, papan) serta kesehatan dan pendidikan yang

layak; (2) meningkatnya dinamika sosial baik dalam KUBE maupun dengan

masyarakat sekitarnya; (3)meningkatnya kemampuan dan keterampilan

pemecahan masalah; (4) berkembangnya kerjasama diantara sesama anggota

(42)

berkembangnya jenis usaha KUBE; (7)meningkatnya pendapatan anggota KUBE;

(8) tumbuh kembangnya kesadaran dan rasa tanggung jawab sosial dalam bentuk

pengumpulan iuran kesetiakawanan sosial (IKS).

2.5. Partisipasi

Secara sederhana partisipasi mengadung makna peran serta seseorang atau

kelompok orang atas suatu pihak dalam suatu kegiatan atau upaya mencapai

sesuatu yang (secara sadar) diinginkan oleh pihak yang berperan serta tersebut.

Partisipasi merupakan bentuk perilaku sadar. Partisipasi telah dianggap

oleh para politisi sebagai dasar dari hak-hak demokrasi. Tetapi faktanya sering

dihindari pertanyaan mengenai apakah masyarakat sendiri benar-benar ingin

melibatkan diri atau tidak? Pertanyaan seperti itu tidak mudah dijawab (Conyers,

1984). Didunia ketiga sifat penduduk yang dianggap apatis dan kurang tertarik

pada upaya-upaya pembangunan ternyata telah menjadi sumber frustasi bagi para

perencana, politisi dan pemimpin komunitas serta agen-agen pembangunan

lainnya. Berdasarkan hasil studi tentang keberhasilan dan kegagalan dalam

partisipasi masyarakat menyimpulkan ada dua hal yang mendukung terjadinya

partisipasi (oppenheim) 1973, yaitu (1) ada unsur yang mendukung untuk

berprilaku tertentu pada diri seseorang (person inner determinant), (2) Terdapat

iklim atau lingkungan (Enviruenveronmental factors) yang memungkinkan

terjadinya perilaku tertentu itu. Oleh karena itu dalam mengembangkan partisipasi

perlu memperhatikan kedua hal itu.

Fakta menunjukkan adanya kecendrungan yang sangat nyata bahwa

masyarakat (pihak-pihak yang diharapkan berpartisipasi) tidak akan berpartisipasi

(dalam arti sebenarnya) atas kemauan sendiri atau dengan antusias yang tinggi

dalam kegiatan perencanaan, kalau mereka merasa bahwa partisipasi mereka

dalam perencanaan tersebut tidak mempunyai pengaruh pada perencanaan akhir

(adanya manfaat dalam penilaian mereka. Masyarakat merasa enggan

berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan yang tidak menarik minat mereka atau

aktifitas yang dapat mereka rasakan.

Dari uraian tersebut jelaslah bahwa seseorang akan berpartisipasi apabila

(43)

1. Kesempatan, yaitu adanya suasana atau kondisi lingkungan yang disadari oleh

orang tersebut bahwa ia berpeluang untuk berpartisipasi.

2. Kemauan adanya sesuatu yang mendorong / menumbuhkan minat dan sikap

mereka untuk termotifasi, berpartisipasi, misalnya berupa manfaat yang dapat

dirasakanatas partisipasinya tersebut, dan

3. Kemampuan adanya kesadaran atau keyakinan pada dirinya bahwa ia

mempunyai kemampun untuk berpartisipasi bisa berubah pikiran, tenggang /

waktu atau sarana dan material lainnya.

Apabila salah satu saja dan ketiga syarat itu ada, maka hampir dapat

dipastikan bahwa partisipasi dalam arti sebenarnya itu tidak akan pernah terjadi.

Penggerak pembangunan biasanya berhasil mengembangkan partisipasi dengan

cara mengembangkan kondisi terwujudnya prasyarat partisipasi. Apabila suatu

pembangunan tidak mendapat partisipasi masyarakat secara meluas kecendrungan

yang terjadi adalah pembangun tersebut tidak bermafaat bagi rakyat, melainkan

hanya bermanfaat pada segolongan pihak yang punya kepentingan dalam

pembangunan.

2.6. Modal Sosial

Dalam Pemberdayaan masyarakat, tujuan-tujuan organisasi akan tercapai

secara efektif apabila didukung oleh sumberdaya yang memadai ( Suswanto,

2005). Sumberdaya dapat berupa human capital, social and instituonal assets,

natural resaurces dan man mad assets (Syeaukat dan Hendrakusumaatmadja,

2005). Pernyataan tersebut mengindikasikan bahwa kelembagaan sebagai

organisasi akan efektif dalam mencapai tujuannya apabila didukung oleh sumber

daya. Salah satu sumber daya tersebut adalah modal sosial.

Modal sosial menunjuk pada hubungan sosial, institusi dan struktur

sosial serta hubungan dengan trust, resiprositas, hak dan kewajiban dan jejaringan

sosial. Secara umum modal sosial didefenisikan sebagai ”informasi, kepercayaan,

dan norma-norma timbal balik yang melekat dalam suatu sistem jejaring sosial”

(Woolcock dalam Nasdian dan Utomo, 2005). Modal sosial merupakan suatu

(44)

pandangan umum (wolrd view), kepercayaan (trust), pertukaran (reciprocity),

pertukaran ekomoni dan informasi (informational and ecomonic exchange),

kelompok-kelompok formal dan informal groups, serta asosiasi-asosiasi yang

melengkapi modal-modal lainnya (fisik, manusiawi, budaya) sehingga

memudahkan terjadinya tindakan kolektif, pertumbuhan ekomoni dan

pembangunan (Colleta dan Cullen dalam Nasdian dan Utomo, 2005).

Berbeda dengan modal fisik dan modal manusia yang sifatnya lebih

kongkrit, dapat diukur dan dapat diperhitungkan secara eksak untuk proses

produksi, wujud modal sosial tidak sejelas kedua jenis modal tersebut.

Pemahaman tentang modal sosial menekankan pada hubungan timbal balik antara

modal dan sifat sosial yang menjelaskan modal tersebut. Sifat sosial dalam modal

sosial tidak bersifat netral, ditandai dengan adanya hubungan saling

menguntungkan antara dua orang, kelompok, kolektivitas atau kategori sosial atau

manusia pada umumnya.

Modal sosial menurut Grootaert yang dikutip Marliyantoro (2002)

adalah kemampuan seseorang untuk memanfaatkan berbagai keunggulan jaringan

sosial atau struktur sosial dimana ia menjadi anggotanya. Selanjutnya Hanifan

dalam Marliyantoro (2002), menyatakan bahwa modal sosial sebagai kenyataan

yang dimiliki warga berupa kehendak baik, simpati, persahabatan, hubungan antar

individu dan antar keluarga yang dapat mengatasi persoalan warga masyarakat.

Menurut Woolcock yang dikutip Colleta dan Cullen dalam Nasdian dan

Utomo (2005), modal sosial memiliki empat dimensi, yaitu:

1. Integrasi (integration), yaitu ikatan-ikatan berdasarkan kekerabatan, etnik

dan agama.

2. Pertalian (linkage), yaitu ikatan dengan komunitas lain diluar komunitas asal

berupa jejaring (network) dan asosiasi-asosiasi bersifat kewargaan (civic

association) yang menembus perbedaan kekerabatan, etnik dan agama.

3. Integritas organisasional (organizational integrity), yaitu keefektifan dan

kemampuan institusi negara untuk menjalankan fungsinya, termasuk

menciptakan kepastian hukum dan menegakkan peraturan.

4. Sinergi (synergy), yaitu relasi antara pemimpin dan institusi pemerintahan

(45)

III. METODOLOGI KAJIAN

3.1. Kerangka Pemikiran

Berdasarkan dari tinjauan pustaka pada bab terdahulu, dapat dibuat suatu

kerangka pikir yang berupa hipotesa pengarah dalam melakukan kajian ini,

hipotesis pengarah ini tidak berarti harus dikaji kebenarannya, akan tetapi dapat

dijadikan arahan dan panduan bekerja di lapangan. Hal ini memungkinkan

ditemukannya suatu temuan baru yang dapat memperkaya isi kajian ini, untuk itu

kajian ini memakai metode kualitatif.

Pemberdayaan keluarga miskin melalui kegiatan KUBE Suka Makmur

telah dilakukan di Kelurahan Maharatu sejak tahun 2002, dengan berjalannya

kegiatan KUBE dalam jangka waktu yang cukup lama, telah membawa

perkembangan yang cukup banyak, baik dalam peningkatan ekonomi keluarga

anggotanya, maupun perkembangan kelembagaan maupun jejaring sosialnya.

KUBE Suka Makmur Kelurahan Maharatu didirikan dengan tujuan untuk

menanggulangi kemiskinan anggotanya yang sebahagian besar merupakan petani

sayuran berdaun lebar. Realitas di lapangan menunjukkan bahwa KUBE Suka

Makmur telah mampu mengentaskan kemiskinan anggota kelompoknya, hal ini

diketahui dari 121 orang anggota kelompoknya, semuanya telah mampu

mempunyai rumah sendiri, kendaraan sendiri, mampu memberikan pendidikan

yang layak bagi anggota keluarganya, serta kemampuan untuk membentuk usaha

secara mandiri, namun demikian hal ini bertolak belakang dengan perkembangan

kelembagaan dan usaha KUBE sendiri yang terus mengalami penurunan dari dua

tahun belakangan ini. Untuk itu kajian ini diarahkan untuk dapat mendeskripsikan

kegiatan – kegiatan apa saja yang telah dilakukan KUBE dalam upaya

mengentaskan kemiskinan anggotanya dengan menemukenali profil KUBE Suka

Makmur seperti SDM anggotanya, organisasi manajemen dan tahapan

perkembangannya, dengan demikian dapat diketahui permasalahan –

permasalahan yang ada, seperti mismanajemen, mispersepsi terhadap

pengembangan modal usaha, melemahnya kelembagaan KUBE yang dapat dilihat

dengan berkurangnya kegiatan berkumpul atau pertemuan kelompok serta usaha

Gambar

Gambar 1. Kerangka Pikir Kajian
Tabel 2. Jadwal Kajian
Gambar 2. Skema Pembentukan dan Pengembangan KUBE
Tabel 5.Penggunaan Tanah Kelurahan Maharatu Tahun 2006
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari segi teoritis, model pembelajaran kooperatif tipe STAD memiliki keunggulan apabila diterapkan pada pembelajaran akuntansi dibandingkan model pembelajaran konvensional,

Kesimpulan bahwa Bahwa kinerja pegawai dalam pelayanan publik di Kecamatan Gu, yang dikaji melalui wawancara dan pengamatan langsung terhadap beberapa indikator dapat

Untuk latihan ini dipakai jalur slip, pada permukaan jalan khusus, yang terbuat dari Jalan Aspal biasa dengan dilapisi cat khusus/skitpen dan dibasahi menggunakan air

Berdasarkan posisi IE Matriks tersebut di atas, maka strategi yang dihasilkan oleh 8 (delapan) Fakultas S-1 (Strata 1) yaitu Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,

Untuk mendapatkan data dan informasi akurat apakah Penegak Hukum mengetahui dan memahami dengan benar aturan hukum yang berlaku dalam menjalankan tugasnya.. Untuk mendapatkan data

Secara parsial variabel insentif finansial (X1) dan lingkungan fisik (X2) berpengaruh positif dan signifikan terhadap loyalitas karyawan PT. Jasaraharja Putera

Lembaga kemasyarakatan bisa menjadi wadah yang ideal mengimplementasikan pendekatan tersebut guna memperkuat aspek identitas nasional karena perannya dalam

Akan tetapi pada masa nimfa betina pada varitas IR 26 dan masa nimfa pada jantan pada vareitas IR-72 masih menunjukkan masa nimfa yang lebih panjang dibanding kontrol (Tabel 5),