• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Pengembangan Potensi Unggulan Berbasis Kewilayahan Di Kabupaten Manggarai Timur Provinsi Nusa Tenggara Timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Pengembangan Potensi Unggulan Berbasis Kewilayahan Di Kabupaten Manggarai Timur Provinsi Nusa Tenggara Timur"

Copied!
110
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI PENGEMBANGAN POTENSI UNGGULAN BERBASIS

KEWILAYAHAN DI KABUPATEN MANGGARAI TIMUR

PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

MARIA FRANSISKA DARLEN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Studi Pengembangan Potensi Unggulan Berbasis Kewilayahan di Kabupaten Manggarai Timur Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, April 2015

(4)

RINGKASAN

MARIA FRANSISKA DARLEN. Studi Pengembangan Potensi Unggulan Berbasis Kewilayahan di Kabupaten Manggarai Timur Provinsi Nusa Tenggara Timur. Dibimbing oleh SETIA HADI dan MUHAMMAD ARDIANSYAH.

Kabupaten Manggarai Timur merupakan sebuah daerah otonom baru, hasil pemekaran dari Kabupaten Manggarai di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Sebagai sebuah Kabupaten yang tergolong baru, daerah ini perlu dikembangkan berdasarkan potensi-potensi unggulan daerah sehingga Pemerintah Daerah lebih leluasa untuk merancang strategi pengembangan wilayah dan menciptakan iklim investasi yang kondusif untuk menarik minat para investor ke daerah.

Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengidentifikasi potensi unggulan yang dapat dikembangkan dan memberikan nilai ekonomi lebih bagi Kabupaten Manggarai Timur; (2) mengevaluasi kemampuan lahan Kabupaten Manggarai Timur berdasarkan penggunaan lahan eksisting; (3) menjelaskan tingkat perkembangan wilayah Kabupaten Manggarai Timur dan (4) merumuskan arahan pengembangan wilayah Kabupaten Manggarai Timur.

Adapun metode yang digunakan dalam menganalisis empat tujuan di atas yaitu (1) analisis input-output untuk mengetahui sektor-sektor potensial yang menjadi unggulan Kabupaten Manggarai Timur. Analisis ini dipadu dengan analisis Location Quotient (LQ), Localization Index (LI), Specialization Index (SI) dan Shift Share Analysis (SSA) untuk mengetahui komoditas unggulan setiap kecamatan dalam wilayah ini, mengingat bahwa pertanian tidak dapat terpisahkan dari pengembangan suatu wilayah; (2) analisis kemampuan lahan untuk mengetahui potensi dan faktor penghambat lahan yang mempengaruhi kondisi pertanian di wilayah ini; (3) analisis skalogram untuk mengetahui hirarki/tingkat perkembangan setiap kecamatan dan (4) sintesis hasil analisis ketiga tujuan sebelumnya untuk merumuskan arahan pengembangan wilayah di Kabupaten Manggarai Timur.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sektor-sektor unggulan di daerah ini terdiri atas sektor industri pengolahan (nonmigas) dan sektor perkebunan. Sektor industri pengolahan kurang berkembang karena minimnya investasi yang ada, namun pertanian tetap menjadi penyokong utama industri terutama bahan baku dan tenaga kerja, sedangkan komoditi unggulan pertanian daerah ini baik tanaman pangan maupun tanaman perkebunan beraneka ragam. Lalu, berdasarkan kemampuan lahan, masih banyak kawasan yang tidak sesuai peruntukannya seperti pengelolaan usahatani di lahan-lahan dengan faktor penghambat yang ekstrim sehingga mempengaruhi rendahnya produktifitas pertanian di daerah ini. Dari tingkat perkembangan wilayah kecamatan terlihat bahwa fasilitas umum setiap kecamatan masih kurang berkembang sehingga mempengaruhi tingkat kemiskinan masyarakat di Kabupaten Manggarai Timur. Dengan demikian, diperlukan arahan pengembangan wilayah yang tepat sesuai dengan kondisi dan potensi wilayah Kabupaten Manggarai Timur.

(5)

SUMMARY

MARIA FRANSISKA DARLEN. Study Development Excellent Potential Based on Territorial in East Manggarai District, East Nusa Tenggara Province. Adviser by SETIA HADI and MUHAMMAD ARDIANSYAH.

The East Manggarai District is a new autonomous region, result of the splitting of The Manggarai District in East Nusa Tenggara Province. As a relatively new District, the region needs to be developed based on the potentials in the region so the Local Government more flexibility to design a regional development strategy and create a conducive investment to attract investors to the region.

This research aims to (1) identify excellent potential to be developed and provide more economic value for the East Manggarai District; (2) evaluates the land ability of The East Manggarai District based on existing land use; (3) describes the level of development of The East Manggarai District and (4) formulates the direction of development of The East Manggarai District.

The method used in analyzing the four objectives: (1) input-output analysis to determine the excellent potential sectors of The East Manggarai District. This analysis combines with the Location Quotient (LQ), Localization Index (LI), Specialization Index (SI) and Shift Share Analysis (SSA) to know the main commodity every subdistricts in the region, considering that agriculture can‟t be separated from the development of a region; (2) land capability analysis to determine the potential and inhibiting factors affecting the condition of agricultural land in the region; (3) Skalogram analysis to determine the hierarchy/level of development of every subdistricts and (4) synthesis of the results of the analysis of the three objectives to formulate the direction of development in the region of The East Manggarai District.

The results showed that the excellent sectors in this region consist of manufacturing (non-oil) and the plantation sector. The manufacturing sector is less developed caused the lack of existing investments, but agriculture remains the main supporter of the industry mainly in raw materials and labor, whereas the area of agricultural commodities both food crops and plantation crops are varieties. Then, based on the ability of the land, there are many areas that are not according to their appropriation such as farm management on lands with extreme inhibiting factor thereby affecting the low agricultural productivity in the area. From the level of development of subdistricts seen that every public‟s facilities subdistricts are still poorly developed thereby affecting the level of poverty in The East Manggarai District. Thus, it is needed direction of development of the appropriate region in accordance with the conditions and the potential of The East Manggarai District.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

STUDI PENGEMBANGAN POTENSI UNGGULAN BERBASIS

KEWILAYAHAN DI KABUPATEN MANGGARAI TIMUR

PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(8)
(9)
(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Allah Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Karya ilmiah ini dilandasi atas keingintahuan penulis dalam proses pembangunan dan pengembangan wilayah Kabupaten Manggarai Timur sebagai daerah otonom baru yang telah berjalan kurang lebih tujuh tahun. Dengan demikian, penulis bermaksud untuk memberikan konstibusi pemikiran kepada Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur beserta segenap unsur yang terlibat terkait pengembangan wilayah Kabupaten Manggarai Timur yang saat ini sedang menjalankan pembangunan dan pengembangan wilayahnya. Adapun judul karya ilmiah ini ialah Studi Pengembangan Wilayah di Kabupaten Manggarai Timur Provinsi Nusa Tenggara Timur sebagai Kabupaten Daerah Otonom Baru.

Penyusunan tesis ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, oleh karenanya penulis menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Ayahanda Darus Antonius, Ibunda Elisabeth Lensi dan kedua adikku Wiwi dan Venta serta keluarga besar penulis yang telah memberikan dukungan selama ini.

2. Dr Ir Setia Hadi, MS; Dr Ir Komarsa Gandasasmita, MSc (Alm) dan Dr M Ardiansyah selaku komisi pembimbing yang telah banyak memberikan motivasi, arahan dan bimbingan sehingga penelitian berhasil diselesaikan dan diwujudkan dalam bentuk karya tulis ilmiah.

3. Prof Dr Ir Santun R P Sitorus selaku Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah Institut Pertanian Bogor atas dukungannya hingga penyelesaian tesis ini.

4. Segenap dosen pengajar, asisten dan staf manajemen Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah, Institut Pertanian Bogor

5. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) selaku sponsor beasiswa unggulan (BU) yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melaksanakan studi di Sekolah Pascasarjana IPB

6. Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melaksanakan penelitian di wilayahnya.

7. Bapak/Ibu penyedia data dari berbagai instansi yang terkait dengan penelitian penulis

8. Rekan-rekan mahasiswa pascasarjana PWL reguler angkatan 2012 dan semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat. Tuhan memberkati

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR viii

DAFTAR LAMPIRAN viii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 5

Manfaat Penelitian 5

Kerangka Pikir Penelitian 5

2 TINJAUAN PUSTAKA 7 Otonomi Daerah 7

Pembangunan dan Pengembangan Wilayah 7

Pengembangan Wilayah dengan Pendekatan Sektoral 12

Pendekatan Sektoral dengan Analisis Input-Output 13

- Output 15

- Input Antara 17

- Input Primer (Nilai Tambah) 17

- Permintaan Akhir dan Impor 18

Kemampuan Lahan 18

Penelitian Terdahulu 24

3 METODE 26 Lokasi dan Waktu Penelitian 26

Bahan Penelitian 26

Peralatan Penelitian 28

Metode Pengumpulan Data 28

Metode Analisis Data 28

- Identifikasi Potensi Unggulan 28

- Analisis LQ, LI, SI dan SSA 32

- Evaluasi Penggunaan Lahan Eksisting dan Kemampuan Lahan 34

- Evaluasi Tingkat Perkembangan Wilayah 35

- Arahan Pengembangan Wilayah 36

4 KONDISI UMUM DAERAH 37

Riwayat Pembentukan Kabupaten Manggarai Timur 37

Kondisi Geografis 39

- Topografi Wilayah 39

- Jenis Tanah 41

(12)

Kondisi Demografi 43

- Persebaran Penduduk 43

- Struktur Usia 45

- Tingkat Pendidikan 46

- Tingkat Kesehatan 49

Kondisi Ekonomi 50

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 53

Sektor Unggulan 54

- Keterkaitan antarsektor Ekonomi 59

- Efek Pengganda (Multiplier Effect) 61

- Kondisi Eksisting, Masalah dan Potensi Pengembangan Sektor unggulan 66

Penggunaan Lahan dan Kemampuan Lahan 70

Tingkat Perkembangan Wilayah 75

Arahan Pengembangan Wilayah 78

6 SIMPULAN DAN SARAN 82

Simpulan 82

Saran 82

DAFTAR PUSTAKA 83

LAMPIRAN 86

(13)

DAFTAR TABEL

1 Struktur dasar tabel transaksi input-output wilayah 14

2 Kelas kemampuan lahan 19

3 Struktur klasifikasi kemampuan lahan 20

4 Kriteria klasifikasi kemampuan lahan 23

5 Sektor-sektor perekonomian Kabupaten Manggarai Timur tahun 2013 29 6 Variabel yang digunakan pada setiap kelompok indeks untuk analisis

skalogram 36

7 Jenis, sumber dan metode analisis data 37

8 Luas wilayah dan jumlah penduduk berdasarkan kecamatan di

Kabupaten Manggarai Timur tahun 2013 43

9 Jenis pekerjaan penduduk Kabupaten Manggarai Timur 2013 44 10 Komposisi penduduk Kabupaten Manggarai Timur menurut usia

tahun 2013 45

11 Jumlah fasilitas dan peserta pendidikan setiap kecamatan tahun 2013 48 12 Jumlah guru dan peserta pendidikan setiap kecamatan tahun 2013 48 13 Penyebaran tenaga kesehatan setiap kecamatan tahun 2013 49 14 Penyebaran fasilitas kesehatan setiap kecamatan tahun 2013 50 15 Realisasi penerimaan dan pengeluaran daerah di Kabupaten

Manggarai Timur (juta rupiah) tahun 2013 51

16 PDRB Kabupaten Manggarai Timur tahun 2013 (juta rupiah) 52 17 Laju pertumbuhan sektor ekonomi Kabupaten Manggarai Timur 2013 53 18 Struktur perekonomian Kabupaten Manggarai Timur berdasarkan

tabel input-output tahun 2013 (21 x 21 sektor) 55 19 Keterkaitan ke belakang (backward linkage) antarsektor di Kabupaten

Manggarai Timur tahun 2013 60

20 Keterkaitan ke depan (forward linkage) antarsektor di Kabupaten

Manggarai Timur tahun 2013 60

21 Komoditi unggulan perkebunan setiap kecamatan di Kabupaten

Manggarai Timur 68

22 Komoditi unggulan tanaman pangan setiap kecamatan di Kabupaten

Manggarai Timur 69

23 Kelas kemampuan lahan berdasarkan jenis tutupan/penggunaan lahan

di Kabupaten Manggarai Timur 72

24 Tingkat Perkembangan Kecamatan di Kabupaten Manggarai Timur 77

(14)

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pikir penelitian 6

2 Peta administrasi Kabupaten Manggarai Timur 27

3 Tahapan metode RAS 30

4 Peta lereng Kabupaten Manggarai Timur 40

5 Peta tanah Kabupaten Manggarai Timur 41

6 Jenis tanah di Kabupaten Manggarai Timur 42

7 Peta curah hujan Kabupaten Manggarai Timur 42

8 Sebaran penduduk Kabupaten Manggarai Timur tahun 2013 44 9 Komposisi penduduk Kabupaten Manggarai Timur menurut usia

tahun 2013 46

10 Komposisi penduduk menurut pendidikan yang ditamatkan tahun

2013 46

11 Penyebaran fasilitas pendidikan per kecamatan tahun 2013 47 12 Tingkat permintaan/output 21 sektor di Kabupaten Manggarai Timur

tahun 2013 57

13 Kondisi ekspor 21 sektor di Kabupaten Manggarai Timur tahun 2013 58

14 Pengganda output (output multiplier) 62

15 Penggandapendapatan (income multiplier) 63

16 Pengganda PDRB (value added multiplier) 64

17 Pengganda tenaga kerja (employment multiplier) 65 18 Jenis industri pengolahan di Kabupaten Manggarai Timur 66 19 Jenis penggunaan/tutupan lahan Kabupaten Manggarai Timur 70 20 Peta penggunaan/tutupan lahan Kabupaten Manggarai Timur 71 21 Klasifikasi tutupan/penggunan lahan Kabupaten Manggarai Timur 75 22 Peta Hirarki Kecamatan Kabupaten Manggarai Timur 78

DAFTAR LAMPIRAN

1 Tabel input output Kabupaten Manggarai Timur tahun 2013, transaksi domestik atas dasar harga produsen (juta rupiah) 86 2 Keunggulan komparatif (LQ, LI, SI) tanaman pangan tahun 2013 91 3 Keunggulan kompetitif (SSA) tanaman pangan 91 4 Keunggulan komparatif (LQ, LI, SI) komoditi perkebunan tahun 2013 91

5 Keunggulan kompetitif (SSA) tanaman perkebunan 92

6 Tingkat Perkembangan Wilayah Kecamatan di Kabupaten Manggarai

Timur 92

7 Kelas kemampuan lahan berdasarkan kecamatan di Kabupaten Manggarai

Timur 93

8 Tabel Hirarki Skalogram 93

9 Peta Infrastruktur Kabupaten Manggarai Timur 94 10 Pola dan sebaran pemukiman Penduduk; berlokasi di Kecamatan

Borong Kabupaten Manggarai Timur 94

(15)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Proses pembangunan di Indonesia telah berjalan kurang lebih 69 tahun, sungguhpun telah terjadi banyak perubahan, namun belum menyentuh seluruh wilayah Indonesia terutama kawasan timur yang belum mengalami perkembangan signifikan. Keberhasilan pembangunan sangat bergantung dari proses perencanaan pembangunan yang disusun sebagai pedoman dalam pelaksanaan pembangunan setiap tahun anggaran. Sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan nasional, pembangunan daerah dilaksanakan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran yang adil dan merata bagi seluruh masyarakat. Pelaksanaan pembangunan daerah harus disesuaikan dengan sumberdaya yang tersedia baik sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia.

Era reformasi di Indonesia yang dimulai sejak tahun 1998 telah menggeser paradigma pembangunan yang bersifat sentralistik menuju ke desentralistik sektoral dengan pendekatan pengembangan wilayah. Hal ini berpengaruh besar terhadap implementasi pembangunan yang berdasarkan pada prinsip mobilisasi dan distribusi sumberdaya yang efisien dan berkeadilan. Pendekatan sentralistik selama ini telah mengakibatkan terjadinya pembangunan yang tidak berimbang antarwilayah dan antarsektor serta mengabaikan kelestarian alam dalam berbagai aspek. Pergeseran ini telah diimplementasikan dalam kebijakan otonomi daerah.

Melalui kebijakan otonomi daerah, pemerintah pusat memberikan kewenangan lebih kepada daerah untuk melakukan serangkaian proses, mekanisme dan tahapan perencanaan yang menjamin keselarasan pembangunan antardaerah tanpa mengurangi kewenangan yang diberikan, dengan dibingkai oleh visi dan misi. Sesungguhnya, kebijakan otonomi daerah bukanlah fenomena baru karena kebijakan tersebut telah berlangsung secara aktif mulai tahun 1950-an. Paska diterbitkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang direvisi dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, semakin menyulut keinginan daerah untuk merealisasikan pemekaran wilayahnya, terlebih ketika dikaitkan dengan sejarah represif orde baru.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menjelaskan bahwa pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional dilaksanakan oleh pemerintah daerah berdasarkan prinsip otonomi dan pengaturan sumber daya yang diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan partisipasi masyarakat serta peningkatan daya saing daerah (Pemerintah Republik Indonesia 2004). Masyarakat kini lebih membutuhkan upaya pembangunan yang sesuai dengan potensi sumberdaya wilayah dan tuntutan kebutuhan lingkungan hidupnya.

(16)

pusat-2

pusat pertumbuhan ekonomi baru dan memicu motivasi masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan guna meningkatkan kesejahteraannya. Implikasi yang paling strategis dalam hubungan ini adalah pemerintah daerah dituntut untuk mampu membiayai sendiri pembangunan daerahnya.

Dalam prakteknya selama ini, daerah otonom baru terutama kabupaten masih menggantungkan anggaran pembangunan dan belanja daerah (APBD) pada bantuan pusat dan provinsi. Salah satu dampak serius dari ketergantungan tersebut adalah sulitnya koordinasi pembangunan, di mana kegiatan masing-masing sektor kurang terpantau dengan baik. Konsekuensi lanjut dari masalah tersebut adalah penggunaan dana non-APBD yang dialokasikan pada daerah yang bersangkutan menjadi kurang efektif. Padahal dalam keterbatasan penerimaan, seyogyanya dana pembangunan yang ada dapat dimobilisasikan oleh pemerintah daerah secara lebih terarah. Sejajar dengan itu, kemampuan pemerintah daerah dalam menggali dana sendiri melalui penerimaan pendapatan asli daerah dapat dikatakan masih sangat terbatas.

Hal penting lain yang dapat dijadikan tolak ukur adalah konsistensi pemerintah pusat dalam menerima semua implikasi yang timbul akibat pemberian otonomi tersebut. Pada gilirannya dapat diduga masalah yang muncul kemudian adalah pertentangan arah kepentingan. Selain itu, kebijakan ini juga tidak akan berhasil sepenuhnya ketika elit daerah hanya menjadi perpanjangan tangan dari pusat tanpa memperhatikan kebutuhan ataupun potensi yang dimiliki daerah bersangkutan. Dalam konteks otonomi daerah khususnya menyangkut otonomi kabupaten dan kota dewasa ini, pengembangan wilayah haruslah menjadi isu penting yang harus diperhatikan dalam rangka mensejahterakan masyarakatnya. Salah satu tantangan yang dihadapi oleh Kabupaten dan Kota saat ini dan di masa mendatang adalah kemampuan untuk mewujudkan pengembangan wilayah yang tepat sehingga tujuan dari otonomi daerah dapat terwujud.

Pengembangan wilayah yang berbasis kewilayahan memandang pentingnya keterpaduan antarsektor, spasial dan kelembagaan di dalam dan antardaerah. Setiap daerah mempunyai sektor-sektor unggulan yang memberikan dampak signifikan terhadap pengembangan ekonomi wilayah. Dampak yang diberikan oleh sektor-sektor tersebut dapat bersifat langsung maupun tidak langsung. Pengembangan wilayah dengan memperhatikan sektor-sektor unggulan daerah akan mengarah pada penentuan prioritas yang lebih terfokus, sehingga menghasilkan suatu kebijakan yang lebih terarah dan mengurangi resiko kesia-siaan pemanfaatan sumberdaya (Anwar dan Rustiadi 2000). Dalam implementasinya, proses pengembangan wilayah tidak dapat dilakukan serentak pada semua sektor perekonomian, namun diprioritaskan pada pengembangan sektor ekonomi yang memiliki potensi perkembangan paling besar. Sektor ini diharapkan dapat berkembang dan mendorong sektor-sektor ekonomi yang terkait untuk berkembang sehingga tercipta keterkaitan sektoral.

(17)

Undang-3 Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka pembentukan daerah harus memenuhi tiga persyaratan yakni administratif, teknis dan fisik kewilayahan (Pemerintah Republik Indonesia 2004). Ketiga persyaratan tersebut telah dipenuhi oleh Kabupaten Manggarai Timur yang secara teknis mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 129 tahun 2000 tentang Kriteria Pemekaran dan Persyaratan Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah yang direvisi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah.

Berbagai masalah pembangunan yang dialami oleh Kabupaten Manggarai Timur menyebabkan daerah ini dikategorikan oleh Pemerintah dalam 183 daerah tertinggal yang tertuang dalam RPJMN 2010-2014 (Pemerintah Republik Indonesia 2010). Walaupun pembangunan yang ada telah menghasilkan beberapa kemajuan bagi daerah, namun masih saja terdapat berbagai hambatan dan masalah berkelanjutan yang tetap menjadi beban pembangunan daerah masa kini. Pola pembangunan yang diterapkan belum mampu menghasilkan pemerataan kesejahteraan masyarakat baik dalam hal ekonomi maupun akses mendapatkan pelayanan publik yang berkualitas, terutama di tengah hambatan topografis yang ada. Terdapat pula aspirasi yang berkembang dalam masyarakat bahwa perlu dilakukan peningkatan penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan pelayanan publik yang merata guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat dengan memanfaatkan potensi daerah semaksimal mungkin. Dengan mengetahui potensi unggulan, pemerintah daerah akan lebih leluasa untuk merumuskan arahan pengembangan wilayahnya serta menciptakan iklim investasi yang kondusif untuk menarik minat para investor ke daerah. Oleh sebab itu pengembangan potensi unggulan berbasis kewilayahan diharapkan dapat menjadi solusi tepat dalam menjawab permasalahan pembangunan di daerah ini.

Perumusan Masalah

Isu pengembangan wilayah dalam perspektif otonomi daerah selalu menarik untuk dibahas. Kepentingan otonomi daerah bukan terletak pada prosesnya tetapi pada dampak yang ditimbukan terhadap pemerataan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Merujuk pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang menegaskan bahwa setiap daerah mempunyai kewenangan yang lebih besar dalam pengembangan wilayahnya. Kabupaten/Kota juga mempunyai kewajiban dengan kewenangannya yang lebih luas sehingga mampu menerapkan strategi pengembangan wilayah yang tepat dalam rangka mensejahterakan masyarakatnya (Pemerintah Republik Indonesia 2004).

(18)

4

pembangunan, pembagian dana dan hasil-hasil pembangunan akan lebih merata dan menjangkau kawasan-kawasan terpencil dan tertinggal. Masyarakat semakin terpacu untuk berperan sebagai subyek dan agen pembangunan yang diharapkan dapat bertindak dengan pemikiran yang global.

Dalam implementasinya, kebijakan otonomi daerah telah menghasilkan beberapa kemajuan pembangunan bagi Kabupaten Manggarai Timur, namun masih saja terdapat berbagai hambatan dan masalah berkelanjutan yang menjadi beban pembangunan daerah masa kini. Kabupaten Manggarai Timur memiliki luas wilayah sebesar 2 450.19 km2 (Bappeda 2012) dengan 6 kecamatan yaitu Borong, Kota Komba, Elar, Sambi Rampas, Poco Ranaka dan Lamba Leda. Pada tahun 2013 Kabupaten Mangarai Timur memekarkan wilayah kecamatannya yang semula 6 kecamatan menjadi 9 kecamatan yaitu Borong, Ranamese (pemekaran dari Kecamatan Borong), Kota Komba, Elar, Elar Selatan (pemekaran dari Kecamatan Elar), Sambi Rampas, Poco Ranaka, Poco Ranaka Timur (pemekaran dari Kecamatan Poco Ranaka Timur) dan Lamba Leda.

Luas wilayah yang cukup besar dengan pertumbuhan penduduk yang terus meningkat setiap tahun namun tidak didukung oleh ketersediaan infrastruktur yang memadai akibat rentang geografi dan topografi medan yang bergunung-gunung semakin memperparah kondisi Kabupaten Manggarai Timur. Masalah yang muncul kemudian antara lain (1) pelayanan pemerintah terhadap masyarakat kurang efektif dan efisien, (2) lambatnya akselerasi laju pelaksanaan pembangunan, (3) banyak potensi sumberdaya yang tereksplorasi atau belum dikelola secara maksimal dan (4) rendahnya pendapatan perkapita penduduk, pendapatan asli daerah (PAD) dan produk domestik regional bruto (PDRB).

Dalam meningkatkan mutu hidup masyarakat di Kabupaten Manggarai Timur kini dan mendatang adalah memberdayakan potensinya dalam berbagai bidang. Pengembangan wilayah tidak lagi diartikan sebagai pengembangan keseluruhan sektor secara sama rata, namun lebih mengarah pada bagaimana mengembangkan sektor-sektor yang menjadi unggulan dan keterkaitannya dengan aspek spasial dan isu-isu penting dalam pengembangan wilayah. Hal ini perlu menjadi kesepakatan bersama antara pemerintah daerah dan masyarakat yang harus dioperasionalisasikan dalam kebijakan penyelenggaraan pemerintahan, pembinaan masyarakat dan pelaksanaan pembangunan di berbagai tingkatan.

Tantangan Kabupaten Manggarai Timur baik internal maupun eksternal sebagai daerah otonom baru perlu diimbangi dengan arahan pengembangan wilayah yang dapat menangkap reorientasi pengembangan wilayah yang berbasis kewilayahan sehingga pemaknaan dan pelaksanaan otonomi daerah pada Kabupaten ini tidak kehilangan esensinya. Berdasarkan uraian yang ada, dirumuskan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut.

1. Potensi unggulan apa yang dapat dikembangkan dan memberikan nilai ekonomi lebih bagi Kabupaten Manggarai Timur?

2. Bagaimana kemampuan lahan Kabupaten Manggarai Timur berdasarkan penggunaan lahan eksisting?

(19)

5 Tujuan Penelitian

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengembangan wilayah di Kabupaten Manggarai Timur sebagai Kabupaten daerah otonom baru. Adapun tujuan spesifik yang hendak dicapai dalam penelitian ini sebagai berikut. 1. Mengidentifikasi potensi unggulan yang dapat dikembangkan dan memberikan

nilai ekonomi lebih bagi Kabupaten Manggarai Timur.

2. Mengevaluasi kemampuan lahan Kabupaten Manggarai Timur berdasarkan penggunaan lahan eksisting.

3. Menjelaskan tingkat perkembangan wilayah Kabupaten Manggarai Timur. 4. Merumuskan arahan pengembangan wilayah Kabupaten Manggarai Timur.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis maupun teoritis sebagai berikut.

1. Menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah dalam menyempurnakan kebijakan-kebijakan paska pemekaran wilayah untuk mencapai tujuan pengembangan wilayah Kabupaten Manggarai Timur.

2. Meningkatkan kesadaran masyarakat sebagai agen pembangunan untuk berpartisipasi aktif dalam mendukung proses pembangunan dan pengembangan wilayah di Kabupaten Manggarai Timur.

3. Mengembangkan ilmu pengetahuan, terutama dalam pemecahan masalah-masalah praktis pembangunan paska pemekaran wilayah yang berbasis pengembangan potensi unggulan dan kewilayahan.

Kerangka Pikir Penelitian

Kerangka pikir penelitian dilatarbelakangi oleh adanya keinginan penulis untuk mengetahui sejauh mana pengembangan wilayah Kabupaten Manggarai Timur yang telah resmi menjadi daerah otonom selama kurang lebih tujuh tahun sejak tanggal 23 November 2007 melalui Undang-Undang nomor 36 tahun 2007 tentang pembentukan Kabupaten Manggarai Timur di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Tidak dapat dipungkiri, sebagai daerah otonom baru yang masih dalam proses pembangunan dan pengembangan wilayahnya, terlihat beberapa masalah dalam penyelenggaraan kehidupan di daerah ini diantaranya masih minimnya pelayanan publik bagi masyarakat seperti hak memperoleh pendidikan, kesehatan dan fasilitas umum yang berkualitas. Sebagai wilayah yang masih dalam tahap awal pembangunan, perlu diketahui potensi-potensi unggulan yyang dimiliki dan hambatan yang akan dihadapi sehingga pola pembangunan dan pengembangan wilayah memiliki arah yang jelas dan terutama kesejahteraan masyarakat lebih meningkat.

(20)

6

Kabupaten Manggarai Timur. Melalui identifikasi potensi unggulan daerah, diharapkan daerah tersebut mampu membiayai dan mengefektifkan pelaksanaan pembangunannya sehingga memiliki daya saing dalam persaingan nasional maupun global, begitu pula dengan mengevaluasi kemampuan lahan Kabupaten Manggarai Timur, dapat ditentukan arahan penggunaan lahan yang tepat di masa mendatang. Tentu saja Kabupaten Manggarai Timur masih memiliki banyak potensi daerah yang belum dimanfaatkan secara optimal bagi kehidupan masyarakat di daerah tersebut. Dengan demikian, dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Manggarai Timur, perlu dirumuskan arahan pengembangan wilayah yang berbasis potensi unggulan dan kewilayahan. Secara grafis, kerangka pikir penelitian ditampilkan pada Gambar 1 berikut.

Gambar 1 Kerangka Pikir Penelitian

Pembangunan Nasional

Pembangunan Daerah

Otonomi Daerah (UU NO 24/1999; UU 32/2004)

Kabupaten Manggarai Timur (UU 36/2007)

Pengembangan wilayah

Arahan Pengembangan Wilayah Pengembangan

Potensi

Evaluasi Penggunaan Lahan Eksisting

Evaluasi Kemampuan Lahan Sektor

unggulan

Tingkat Perkembangan

Wilayah

(21)

7

2 TINJAUAN PUSTAKA

Otonomi Daerah

Pelaksanaan otonomi daerah sebagai amanat Undang-Undang Dasar 1945 secara konstitusional maupun legal diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah pasal 1 ayat 1 menyatakan otonomi daerah sebagai hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundang-undangan. Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti, daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar urusan pemerintah pusat yang ditetapkan dalam undang-undang. Pemerintah wajib memberikan fasilitas berupa peluang, kemudahan, bantuan dan dorongan kepada daerah agar dapat melaksanakan otonomi daerahnya secara efektif dan efisien sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Pemerintah Republik Indonesia 2004).

Kebijakan otonomi daerah berakar dari konsep desentralisasi yakni pelimpahan sebagian wewenang yang dimiliki pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah. Kaho (2005) menyatakan bahwa desentralisasi adalah suatu sistem di mana bagian dari tugas-tugas negara diserahkan penyelenggaraannya kepada organisasi atau institusi yang mandiri. Institusi ini berkewajiban untuk melaksanakan wewenang sesuai dengan kehendak dan inisiatif programnya sendiri. Dengan demikian, kebijakan otonomi daerah memang diarahkan pada akselerasi pembangunan ekonomi daerah. Hal ini dapat menjadi motivasi bagi pemerintah daerah agar dapat merangsang kreatifitas masyarakat dan dirinya sendiri untuk meningkatkan produktivitas kerjanya.

Dalam masyarakat luas, pengertian otonomi daerah dan desentralisasi sering disamakan pengertiannya padahal keduanya berbeda. Pengertian otonomi daerah mempunyai konotasi mengenai aspek politik sedangkan desentralisasi lebih cenderung terkait dengan aspek administrasi negara yaitu mengenai pelaksanaan fungsi pemerintah. Kinerja pemerintahan daerah otonom harus dilihat dari dua aspek yaitu indikator hasil yang ditelusuri pada hasil yang dicapai pemerintah daerah, disesuaikan dengan nilai-nilai atau prinsip good governance, sedangkan indikator proses dilihat pada validitas strategi yang diusulkan dan dijalankan oleh pemerintah daerah dalam mewujudkan nilai-nilai good governance tersebut, yang dikenal dengan istilah capacity building (Adisasmita 2006).

Pembangunan dan Pengembangan Wilayah

(22)

8

adalah pusat atau kutub yang berfungsi sebagai pusat konsentrasi tenaga kerja, lokasi industri dan jasa serta pasar bahan mentah, sedangkan plasma adalah wilayah belakang (hinterland) yang berfungsi sebagai pemasok tenaga kerja, pemasok bahan mentah serta pasar dari industri dan jasa. Pertumbuhan penduduk, meningkatnya sarana perhubungan, menurunnya sektor pertanian secara relatif sebagai penopang kehidupan masyarakat petani di perdesaan dan daya tarik kota menyebabkan terjadinya arus urbanisasi dari desa ke kota atau dari daerah belakang atau plasma ke pusat-pusat atau inti. Di sisi lain dengan adanya ketersediaan infrastruktur di pusat atau di inti, tenaga kerja yang berlimpah menyebabkan banyak industri bertumbuh di pusat dan wilayah pinggiran kota inti (Anwar dan Rustiadi 2000).

Adanya perbedaan pertumbuhan wilayah dalam lingkup suatu Negara atau dalam suatu kawasan yang lebih luas akan terdapat beberapa macam karakteristik wilayah ditinjau dari aspek kemajuannya yaitu wilayah maju, wilayah sedang berkembang, wilayah belum berkembang dan wilayah tidak berkembang. Wilayah maju adalah wilayah yang telah berkembang yang biasanya berfungsi sebagai pusat pertumbuhan, terdapat pemusatan penduduk, industri, pemerintahan dan sekaligus pasar yang potensial. Selain itu juga dicirikan oleh tingkat pendapatan yang tinggi, tingkat pendidikan dan kualitas sumberdaya manusia yang juga tinggi. Wilayah yang sedang berkembang biasanya dicirikan oleh pertumbuhan yang cepat dan merupakan wilayah penyangga dari wilayah maju, karena itu mempunyai aksesibilitas yang sangat baik terhadap wilayah maju. Wilayah yang belum berkembang dicirikan oleh tingkat pertumbuhan yang masih rendah baik secara absolut, maupun secara relatif, namun memiliki potensi sumberdaya alam yang belum dikelola atau dimanfaatkan. Wilayah ini masih didiami oleh tingkat kepadatan penduduk yang masih rendah. Selain itu wilayah ini belum mempunyai aksesibilitas yang baik terhadap wilayah lain. Struktur ekonomi wilayah ini masih didominasi oleh sektor primer dan biasanya belum mampu membiayai pembangunan secara mandiri (Anwar 2005).

Anwar (2005) juga menjelaskan bahwa wilayah yang tidak berkembang dicirikan oleh dua hal yaitu 1) Wilayah tersebut memang tidak memiliki potensi baik potensi sumberdaya alam maupun potensi lokal, sehingga secara alami sulit sekali berkembang dan mengalami pertumbuhan dan 2) wilayah tersebut sebenarnya memiliki potensi baik sumberdaya alam atau lokal maupun keduanya, tetapi tidak dapat berkembang karena tidak memiliki kesempatan dan cenderung dieksploitasi oleh wilayah yang lebih maju. Wilayah ini dicirikan oleh tingkat kepadatan penduduk yang jarang dan kualitas sumberdaya manusia yang rendah, tingkat pendapatan yang rendah, tidak memiliki infrastruktur yang lengkap dan tingkat aksesibilitas yang rendah. Wilayah yang memiliki sumberdaya yang berlimpah, namun tidak berkembang dicirikan oleh tingkat kebocoran wilayah yang tinggi, di mana manfaat tertinggi dari sumberdaya alam tersebut dinikmati oleh wilayah lainnya.

(23)

9 dari pembangunan wilayah adalah mengurangi kesenjangan atau ketimpangan regional dan spasial (tata ruang), misalkan kesenjangan antara perkotaan dan perdesaan atau antardesa dalam lingkup suatu wilayah (Adisasmita 2006).

Pembangunan dan pengembangan merupakan arti harafiah dari kata Bahasa Inggris yang sama, yaitu development. Menurut Rustiadi et al (2009), beberapa pihak lebih senang menggunakan istilah pengembangan daripada pembangunan untuk beberapa hal spesifik. Secara umum perbedaan istilah pembangunan dan pengembangan di Indonesia memang secara sengaja dibedakan karena istilah pengembangan dianggap mengandung konotasi pemberdayaan, kedaerahan, kewilayahan dan lokalitas. Selain itu, istilah pengembangan lebih menekankan proses meningkatkan dan memperluas. Dalam artian, pengembangan tidak membuat sesuatu dari nol (dari sesuatu yang sebelumnya tidak ada), melainkan dari sesuatu yang sudah ada tapi kualitas dan kuantitasnya ditingkatkan atau diperluas. Oleh karena itu dalam konteks kewilayahan, istilah pengembangan wilayah lebih banyak dipakai daripada pembangunan wilayah.

Dari segi pengembangan wilayah, calon kabupaten/kota yang baru dibentuk perlu memiliki basis sumber daya yang seimbang antara satu dengan yang lainnya agar tidak timbul disparitas yang mencolok di masa mendatang yang selanjutnya akan tercipta ruang publik baru yang dimanfaatkan secara kolektif oleh semua warga. Pada dasarnya, pengembangan wilayah harus disesuaikan dengan kondisi, potensi dan permasalahan wilayah yang bersangkutan. Sasaran utama yang banyak dicanangkan oleh Pemerintah daerah maupun Pemerintah pusat dalam mengembangkan wilayahnya adalah meningkatkan pertumbuhan produktifitas/ productivity growth, pemerataan distribusi pendapatan/income distribution, memperluas kesempatan berusaha atau menekan tingkat pengangguran/ unemployment rate serta menjaga pembangunan agar tetap berjalan secara berkesinambungan/sustainable development (Rustiadi et al. 2009).

Otonomi daerah mengisyaratkan pentingnya pendekatan pembangunan berbasis pengembangan wilayah dengan keterpaduan intersektoral, interspasial dan antara pelaku-pelaku pembangunan baik di dalam maupun antardaerah. Pengembangan wilayah adalah seluruh tindakan yang dilakukan dalam rangka memanfaatkan potensi-potensi daerah untuk mendapatkan kondisi-kondisi dan tatanan kehidupan yang lebih baik bagi kepentingan masyarakat di daerah tersebut khususnya dan dalam skala nasional (Mulyanto 2008). Pengembangan wilayah dilaksanakan melalui optimalisasi pemanfaatan sumberdaya yang dimiliki secara harmonis, serasi dan terpadu melalui pendekatan yang bersifat komprehensif mencakup berbagai aspek kehidupan (Sitorus 2004).

(24)

10

kecamatan dan berbagai sektor sesuai dengan keadaan/potensi dan masalah yang dihadapi), yang memungkinkan dilaksanakannnya pengelolaan keterpaduan baik pada tahap perencanaan maupun pelaksanaan dengan efektif. Ciri-ciri dari pengembangan wilayah terpadu adalah daerahnya tergolong relatif tertinggal (tidak selalu terpencil) tetapi berpotensi untuk dikembangkan. Maksudnya adalah agar masing-masing sektor (yang saling berkaitan) dapat berfungsi dengan sebaik-baiknya. Dengan berfungsinya sektor-sektor (seperti pertanian tanaman pangan, peternakan, perikanan, industri kecil dan perkebunan rakyat) secara baik, maka wilayah yang bersangkutan akan berkembang dengan baik.

Dalam penyelenggaraan otonomi daerah, kewenangan yang diberikan kepada pemerintah daerah itu tidak berarti dapat dimanfaatkan secara bebas, tetapi harus memperhatikan pula kepentingan dari kabupaten-kabupaten tetangga (neighbouring regencies). Jadi esensi pengembangan wilayah bukan menekankan pada pandangan masing-masing daerah, tetapi yang lebih diutamakan adalah interaksi antardaerah untuk mencapai kesejahteraan masyarakat yang lebih tinggi, artinya melibatkan beberapa daerah yaitu daerah-daerah yang bertetangga atau daerah-daerah yang terletak di sekitarnya. Kedudukan kabupaten-kabupaten yang bertetangga tersebut adalah sama atau setara, jangan beranggapan bahwa kabupaten-kabupaten yang kurang potensial itu dianggap sebagai daerah penyangga (buffering areas) terhadap kabupaten yang potensial. Hal yang penting diperhatikan adalah pemanfaatan sumberdaya untuk menjaga pengembangan wilayah, yang diupayakan agar dilaksanakan secara optimal dalam jangka waktu yang panjang (Adisasmita 2006).

Dalam perjalanannya, konsep pengembangan wilayah terus mengalami perkembangan dan saling koreksi antara satu teori dengan teori lainnya. Beberapa ahli pengembangan wilayah telah menghasilkan berbagai konsepsi antara lain teori tahapan pertumbuhan Rostow, regionalisasi, pendekatan sektoral hingga yang terakhir, pengembangan wilayah dengan mempertimbangkan aspek ekologi (daya dukung) dengan mengkaji aspek-aspek ekosistem untuk menetapkan kemampuan wilayah dalam mendukung kegiatan sosial ekonomi wilayah (Djakapermana 2010). Secara umum, konsep pengembangan wilayah terbagi atas empat (Komet 2000) yaitu:

1. Pengembangan wilayah berbasis sumberdaya

Sumberdaya merupakan semua potensi yang dimiliki oleh alam dan manusia. Bentuk sumberdaya tersebut yaitu tanah, bahan mentah, modal, tenaga kerja, keahlian, keindahan alam maupun aspek sosial budaya.

2. Pengembangan wilayah berbasis komoditas unggulan

(25)

11 kontribusi yang signifikan pada peningkatan produksi, sektor-sektor lain dan pendapatan masyarakat, d) pengembangan komoditas unggulan berorientasi pada kelestarian lingkungan hidup. Apabila komoditas unggulan sudah memasuki fase penurunan maka pengembangan selanjutnya dapat diteruskan dengan cara: a) memperkuat strategi pemasaran agar dapat mempengaruhi konsumen untuk terus mengkonsumsi komoditas tersebut, dengan melakukan promosi, b) meningkatkan kualitas produk agar tetap memiliki daya saing sehingga permintaan terhadap komoditas tersebut tidak menurun secara drastis, c) menciptakan permintaan oleh industri antara (intermediary industry) yang berarti sekaligus menciptakan nilai tambah baru bagi perekonomian daerah yang bersangkutan.

3. Pengembangan wilayah berbasis efisiensi

Penekanan pada konsep ini adalah pengembangan wilayah melalui pembangunan bidang ekonomi yang mempunyai porsi lebih besar dibandingkan bidang-bidang lainnya. Pembangunan ekonomi tersebut dijalankan dalam kerangka pasar bebas atau pasar persaingan sempuma (free market mechanism).

4. Pengembangan wilayah menurut pelaku pembangunan

Strategi pengembangan wilayah ini mengutamakan peranan setiap pelaku pembangunan ekonomi (rumah tangga, lembaga sosial, lembaga keuangan dan bukan keuangan, pemerintah maupun koperasi).

Meskipun berbagai konsep pengembangan wilayah tersebut memberikan pilihan strategi yang berbeda-beda, namun semuanya memiliki tujuan yang sama dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayah yang bersangkutan. Adapun masalah mendasar yang sering terjadi adalah gagalnya konsep-konsep tersebut menciptakan pembangunan secara merata. Pembangunan telah menjadikan sebagian masyarakat menikmati keuntungan dengan tingkat kesejahteraan yang tinggi, sebaliknya sebagian masyarakat tidak beranjak dari beban kemiskinan. Secara geografis, beberapa wilayah telah menjadi pusat pertumbuhan ekonomi yang maju secara dramatis, sementara beberapa wilayah lain masih jauh dari kemampuannya untuk berkembang (Alkadri 2001).

Dalam suatu negara yang sangat luas dan kondisi sosial ekonomi serta geografis wilayah yang sangat beragam seperti Indonesia, pengembangan wilayah (regional development) sangat penting dalam mendampingi pembangunan nasional. Tujuan pengembangan wilayah sangat bergantung pada permasalahan serta karakteristik spesifik wilayah yang terkait, namun pada dasarnya ditujukan pada pendayagunaan potensi serta manajemen sumber daya melalui pembangunan perkotaan, pedesaan dan prasarana untuk peningkatan kondisi sosial dan ekonomi wilayah tersebut. Pada tingkat nasional pengembangan wilayah juga ditujukan untuk memperkuat integrasi ekonomi nasional melalui keterkaitan (linkages) serta mengurangi kesenjangan antarwilayah (Rustiadi et al. 2009).

(26)

12

1. Sifat Komoditas. Komoditas yang bersifat eksploitasi (sumberdaya alam) mempunyai kecenderungan mengalami kebocoran wilayah yang tinggi apabila dalam sistem produksinya membutukan persyaratan-persyaratan tertentu, baik kualitas sumberdaya manusia, teknologi yang dipakai, kedekatan dengan pasar, maupun persyaratan lainnya yang mengakibatkan aktivitas ekonomi suatu komoditas yang berasal dari suatu wilayah dilaksanakan di wilayah lain sehingga nilai tambahnya sebagian besar ditangkap wilayah lainnya.

2. Sifat Kelembagaan. Salah satu sifat kelembagaan yang utama adalah menyangkut kepemilikan (owners) karena berkaitan dengan tingkat kebocoran wilayah yang terjadi. Faktor pemilihan lahan juga berpengaruh terhadap persyaratan dalam penerimaan tenaga kerja walaupun hal ini tidak secara nyata. Namun, sering terlihat bahwa pemilik yang berasal dari luar daerah misalnya warga negara Indonesia atau warga negara asing dalam mengambil keputusan atau kebijakan akan berbeda jika dibandingkan dengan pemilik yang berasal dari daerah setempat.

Pengembangan Wilayah dengan Pendekatan Sektoral

Pengembangan sektor memiliki relevansi yang kuat dengan pengembangan wilayah. Wilayah dapat berkembang melalui berkembangnya sektor unggulan pada wilayah tersebut yang akan mendorong pengembangan sektor lainnya. Selanjutnya, sektor tersebut akan berkembang dan mendorong sektor lain yang terkait sehingga membentuk sistem keterkaitan antarsektor. Pendekatan sektoral merupakan pendekatan di mana seluruh kegiatan ekonomi dalam suatu wilayah perencanaan dikelompokkan atas sektor-sektor dan selanjutnya setiap sektor dianalisis satu per satu. Setiap sektor dilihat potensi dan peluangnya, menetapkan apa yang dapat ditingkatkan dan di mana lokasi dari kegiatan peningkatan tersebut. Salah satu pendekatan sektoral yang melihat keterkaitan sekaligus pertumbuhan antara satu sektor dengan sektor lainnya adalah analisis input output (Djakapermana 2010).

Anwar dan Rustiadi (2000) mengungkapkan bahwa perencanaan pembangunan memerlukan skala prioritas karena: (1) setiap sektor memiliki sumbangan langsung dan tidak langsung yang berbeda kepada pencapaian sasaran-saran pembangunan (penyerapan tenaga kerja, pendapatan wilayah dan lain-lain); (2) setiap sektor memiliki keterkaitan dengan sektor-sektor lainnya dengan karakteristik yang berbeda-beda; dan (3) aktivitas sektoral tersebar tidak merata dan bersifat spesifik sehingga beberapa sektor cenderung terpusat dan terkait dengan sebaran sumberdaya alam, sumberdaya buatan, dan sumberdaya sosial yang ada. Oleh karena itu, di setiap wilayah selalu terdapat sektor-sektor yang bersifat strategis akibat besarnya sumbangan yang diberikan dalam perekonomian wilayah serta keterkaitan sektoral dan aspek spasialnya.

(27)

13 pendapatan yang tinggi merangsang berbagai kebutuhan akan barang nonpertanian. Kondisi demikian dapat dimanfaatkan sebagai pasar bagi hasil-hasil industri dan pada akhirnya hubungan sinergis antar kedua sektor tersebut dapat terus merangsang pertumbuhan ekonomi wilayah. Dengan demikian, diperlukan langkah yang tepat dalam pembangunan antarsektor sehingga terjadi hubungan saling menguntungkan (Rustiadi et al. 2009).

Pendekatan Sektoral dengan Analisis Input-Output

Tabel input output yang dipublikasikan oleh BPS dapat digunakan untuk melihat keterkaitan antarsektor produksi. Penggunaan tersebut didasarkan pada suatu kenyataan bahwa peningkatan kapasitas produksi di suatu sektor akan selalu menimbulkan dua dampak sekaligus. Secara garis besar, tabel Input-output memuat dua neraca yang saling terintegrasi yakni neraca endogen dan neraca eksogen. Seluruh kegiatan yang berhubungan dengan aktifitas produksi baik output antara maupun input antara masuk dalam neraca endogen. Sementara faktor-faktor yang merupakan komponen dari permitaan akhir dan input primer dimasukkan dalam neraca eksogen (Daryanto dan Hafizrianda 2010). Jumlah dari input antara dan input primer akan menghasilkan total input, sedangkan jumlah dari output antara dengan permintaan akhir menghasilkan total output. Dampak tersebut adalah dampak terhadap permintaan barang dan jasa yang diperlukan sebagai input atau disebut keterkaitan ke belakang serta dampak terhadap penyediaan barang dan jasa hasil produksi yang dimanfaatkan oleh sektor lain yang disebut keterkaitan ke depan (Dai Q dan Yang J 2013).

Pengukuran kedua keterkaitan tersebut dalam model input output, dilakukan dengan menghitung jumlah daya penyebaran dan jumlah derajat kepekaan. Jumlah daya penyebaran kemudian dinormalkan sehingga menjadi indeks daya

penyebaran (αj) atau disebut tingkat pengaruh keterkaitan ke belakang. Demikian juga dengan jumlah derajat kepekaan, setelah dinormalkan diperoleh indeks derajat kepekaan (βj) atau disebut tingkat pengaruh keterkaitan ke depan. Bila suatu sektor ekonomi mempunyai nilai αj maupun nilaiβj lebih dari satu, dapat dikatakan bahwa suatu sektor ekonomi mempunyai keterkaitan ke depan dan ke belakang di atas rata-rata seluruh sektor ekonomi. Perubahan pada satu sektor secara otomatis akan mendorong perubahan pada sektor lainnya. Perubahan ini memiliki sifat pengganda (multiplier) karena akan terjadi beberapa kali putaran perubahan, di mana putaran yang terakhir sudah begitu kecil pengaruhnya sehingga dapat diabaikan (Mawardi 2009).

(28)

14

lagi jangka panjang karena kekuatan analisisnya sudah menurun dan jika digunakan kembali pasti akan terjadi bias yang cukup besar karena harus menganggap tidak terjadi perubahan teknologi selama selang waktu tersebut, padahal dalam kondisi nyata tidak demikian. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, dapat digunakan beberapa metode nonsurvei untuk melakukan updating (pemutakhiran) maupun menyusun matriks I-O regional yang baru. Metode ini tidak membutuhkan biaya yang besar dan proses pembuatannya juga tidak lama karena studi yang dilakukan bersifat parsial.

Metode nonsurvei yang digunakan dalam hal ini adalah metode RAS dengan memanfaatkan metode matematik dan data statistik PDRB terbaru suatu daerah. Data PDRB dipegang sebagai data kontrol, lalu dengan menggunakan prinsip distribusi sektoral dapat diperoleh tabel input-output baru pada tahun yang sesuai dengan tahun PDRB tersebut. Salah satu dasar pemikirannya yaitu sejauh mana suatu daerah mengadopsi perubahan-perubahan ekonomi struktural. Perubahan struktural yang terjadi karena dinamisnya masyarakat dan teknologi daerah tersebut atau secara alamiah terjadi perubahan-perubahan sumberdaya alam yang mempengaruhi perekonomian daerah tersebut. Pembuatan tabel I-O dengan metode RAS pertama kali diperkenalkan pada tahun 1961 oleh Richard Stone dari Cambridge University. RAS merupakan sebuah nama rumus matriks di mana R dan S adalah matriks diagonal berukuran n x n dan A adalah matriks berukuran n x n yang menunjukkan banyaknya sektor industri (Miller and Blair 1985). Seandainya kita ingin menaksir elemen matriks A pada periode t (At) dan diketahui elemen matriks A pada periode t = 0 (A0) maka A (t) dapat ditaksir dengan rumus (Daryanto dan Hafizrianda 2010). Adapun struktur dasar tabel transaksi input-output suatu wilayah dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Struktur dasar tabel transaksi input-output wilayah

Sumber : Rustiadi et al. (2009)

(29)

15 Keterangan:

i,j : sektor ekonomi

xij : banyaknya output sektor i yang digunakan sebagai input sektor j Xi : total permintaan akhir sektor i

Xj : total input sektor j

Ci : konsumsi rumah tangga terhadap sektor i Gi : konsumsi Pemerintah terhadap sektor i

Ii : investasi di sektor i, output sektor i yang menjadi barang modal Ei : ekspor barang dan jasa sektor i

Mj : impor sektor j

Wj : upah dan gaji sebagai input sektor j Tj : surplus usaha sektor j

Vj : produk domestik bruto (PDB), di mana Vj = Wj + Tj

Model input-output terdiri atas empat kuadran. Kuadran pertama merupakan gambaran transaksi antarsektor dalam proses produksi (tabel transaksi antara), Kuadran kedua menunjukkan permintaan akhir (final demand) atas input-input antara, yaitu penggunaan barang dan jasa bukan untuk proses produksi yang biasanya terdiri atas konsumsi rumah tangga, pengeluaran pemerintah, persediaan (stock), investasi dan ekspor. Kuadran ketiga menunjukkan matriks nilai tambah (value added) setiap sektor faktor produksi (kecuali impor), yaitu semua balas jasa faktor produksi yang biasanya meliputi upah dan gaji, surplus usaha, penyusutan dan pajak tidak langsung. Kuadran keempat merupakan transfer nilai tambah antar institusi, memperlihatkan input-input primer yang langsung didistribusikan ke sektor-sektor permintaan akhir. Berdasarkan tabel I-O terlihat jelas bahwa baris mempresentasikan distribusi penjualan output suatu sektor tertentu ke sektor lain, sedangkan kolom/lajur merepresentasikan distribusi pembelian sektor tertentu pada sektor lainnya (Rustiadi et al. 2009).

Tabel input-output disusun berdasarkan tiga asumsi yaitu (1) homogenitas tiap komoditi disuplai oleh suatu industri secara tunggal/sektor produksi dan tidak ada substitusi output antarsektor, (2) linieritas/proporsionalitas yaitu input-output yang dibeli oleh tiap sektor dan (3) aditivitas, yaitu efek total pelaksanaan produksi untuk berbagai sektor dihasilkan oleh masing-masing sektor secara terpisah. Untuk menghindari terjadinya perhitungan ganda, output harus dinilai atas dasar harga produsen yaitu harga yang sesungguhnya diterima oleh produsen. Penilaian output berdasarkan harga konsumen kurang tepat karena di dalamnya terdapat margin perdagangan dan biaya transportasi yang seharusnya masuk ke sektor perdagangan dan pengangkutan (Djakapermana 2010). Dalam penyusunan tabel input-output maupun analisis ekonomi yang menggunakan model input-output, terdapat beberapa variabel yang perlu dijelaskan. Besaran tersebut menyangkut output, input antara, input primer (nilai tambah), permintaan akhir dan impor (Lenzen M dan Lundie S 2012).

Output

(30)

16

1) Produk utama (main product), adalah produk yang memiliki nilai dan atau kuantitas paling dominan di antara produk-produk yang dihasilkan atau dengan kata lain adalah produksi yang memberikan nilai terbesar pada keseluruihan kegiatan usaha perusahaan

2) Produk ikutan (by product) adalah produk yang secara otomatis terbentuk pada saat menghasilkan produk utama, dengan kata lain adalah produksi yang dihasilkan bersama produksi utama dalam suatu proses yang tunggal. Teknologi yang digunakan untuk mendapatkan produk utama dan produk ikutan merupakan teknologi tunggal.

3) Produk sampingan (secondary product) adalah produk yang dihasilkan sejalan dengan produk utama tetapi menggunakan teknologi yang berbeda, dengan kata lain adalah produksi yang dihasilkan bersama produksi utama tetapi tidak dari suatu proses yang sama.

Untuk lebih jelasnya diberikan ilustrasi sebagai berikut: andaikan seseorang berusaha di bidang penggilingan padi. Dari penggilingan padi ini dihasilkan beras, merang dan dedak. Selain itu mesin penggilingan padi tersebut dapat membangkitkan listrik dan listrik ini dijual ke lingkungan sekitar. Listrik yang dijual ini dimasukkan sebagai produk sampingan karena teknologinya berbeda sedangkan beras dimasukkan sebagai produk utama dan untuk merang dan dedaknya dimasukkan sebagai produk ikutan karena teknologinya menyatu dengan teknologi produk beras. Untuk menghitung output suatu sektor, produk ikutan dimasukkan sebagai bagian dari output sektor yang bersangkutan, sedangkan produksi sampingan dihitung di sektor yang sesuai dengan karakteristiknya. Dalam contoh ini, listrik yang dihasilkan oleh penggilingan padi dan dijual digolongkan ke dalam sektor listrik. Secara umum pengertian mengenai output dan cara memperkirakan output telah dijelaskan, namun untuk beberapa sektor, agak berbeda atau bersifat khusus seperti sektor bangunan, sektor perdagangan, sektor keuangan dan sektor pemerintahan yang dijelaskan sebagai berikut:

a. Output sektor bangunan adalah seluruh nilai proyek yang telah diselesaikan selama periode perhitungan tanpa memperhatikan apakah bangunan tersebut sudah selesai seluruhnya atau belum dan berlokasi pada wilayah domestik. Oleh karena itu, output dari sektor ini pada umumnya diperoleh berdasarkan parkiraan

b. Output sektor perdagangan mencakup seluruh margin perdagangan yang timbul dari kegiatan perdagangan pada suatu wilayah domestik. Margin perdagangan adalah selisih antara nilai penjualan dengan nilai pembelian dari komoditas-komoditas yang diperdagangkan dikurangi dengan biaya pengangkutan yang dikeluarkan dalam rangka memperdagangkan komoditas-komoditas tersebut. c. Output sektor bank terdiri dari jasa pelayanan di bidang perbankan (service

charge) dan imputasi jasa bank (imputed service charge) yaitu selisih antara bunga yang diterima dengan bunga yang harus dibayar.

d. Output sektor pemerintahan terdiri atas belanja pegawai dan penyusutan barang-barang modal milik pemerintah

(31)

17 Input Antara

Input antara mencakup penggunaan berbagai barang dan jasa oleh suatu sektor dalam kegiatan produksi. Barang dan jasa tersebut berasal dari produksi sektor-sektor lain dan juga produksi sendiri. Barang-barang yang digunakan sebagai input antara biasanya habis sekali pakai, seperti bahan baku, bahan penolong, bahan bakar dan sejenisnya. Dalam model input-output, pengggunaan input antara diterjemahkan sebegai keterkaitan antara sektor dan dinotasikan sebagai Xij, yaitu input antara yang berasal dari produksi sektor I yang digunakan oleh sektor j dalam rangka menghasilkan output Xj. ΣXij disebut sebagai total input antara sektor j dan biasanya diberikan kode 190.

Input antara dinilai dengan dua jenis harga. Input antara atas dasar harga pembeli menggunakan harga beli konsumen sebagai dasarnya. Dalam harga tersebut tentunya margin distribusi (keuntungan pedagang dan ongkos angkut) sudah termasuk di dalamnya. Sebaliknya input antara atas dasar harga produsen menggunakan harga pabrik sebgai dasarnya, yang tentunya margin distribusi tidak termasuk di dalamnya. Margin distribusi selanjutnya diperlukan sebagai input yang berasal dari sektor perdagangan dan angkutan. Input antara juga sebenarnya mencakup dua komponen yaitu komponen input yang berasal dari produksi suatu wilayah/daerah sendiri dan komponen impor (dari kota lain dan luar negeri). Oleh karena itu, suatu tabel input-output yang ingin menggambarkan secara langsung hubungan produksi domestik dengan berbagai sektor pemakai, harus memisahkan komponen impor dari setiap unit antara. Analisis dengan menggunakan input antara domestik lebih sering dipakai.

Input Primer (Nilai Tambah)

(32)

18

Permintaan Akhir dan Impor

Permintaan akan barang dan jasa dibedakan antara permintaan oleh sektor-sektor produksi untuk proses produksi disebut permintaan antara dan permintaan oleh konsumen akhir disebut permintaan akhir. Dalam tabel input-output, permintaan akhir mencakup pengeluaran konsumsi rumah tangga, pengeluaran konsumsi pemerintah, pembentukan modal tetap, perubahan stok, ekspor dan impor. Pengeluaran konsumsi rumah tangga (kode 301) mencakup semua pembelian barang dan jasa oleh rumah tangga, baik untuk makanan maupun non-makanan. Termasuk pula pembelian barang-barang tahan lama (durable goods) seperti perlengkapan rumah tangga, kendaraan bermotor, dan sebagainya. Satu-satunya pembelian yang tidak termasuk dalam konsumsi rumah tangga adalah bangunan tempat tinggal karena dianggap sebagai pembentukan modal di sektor persewaan bangunan.

Konsumsi rumah tangga mencakup pula barang-barang hasil produksi sendiri dan pemberian pihak lain. Pengeluaran konsumsi pemerintah (kode 302) mencakup semua pembelian barang dan jasa oleh pemerintah yang bersifat rutin (current expenditure), termasuk pembayaran gaji para pegawai (belanja pegawai), sedangkan pengeluaran pembangunan untuk pengadaan sarana dan berbagai barang modal, termasuk dalam pembentukan modal. Pembentukan modal tetap (kode 303) mencakup semua pengeluaran untuk pengadaan barang modal baik dilakukan oleh pemerintah maupun perusahaan-perusahaan swasta (bisnis).

Barang modal dapat terdiri dari bangunan/konstruksi, mesin dan peralatan, kendaraan dan angkutan serta barang modal lainnya, sedangkan perubahan stok (kode 304) sebenarnya juga merupakan pembentukan modal (tidak tetap) yang diperoleh dari selisih antara stok akhir dan stok awal periode perhitungan. Stok biasanya dipegang oleh produsen merupakamn hasil produksi yang belum sempat dijual, oleh pedagang sebagai barang dagangan yang belum sempat dijual dan oleh konsumen sebagai bahan-bahan/inventory yang belum sempat digunakan. Ekspor dan impor (kode 305 dan 409) merupakan kegiatan atau transaksi barang dan jasa antara penduduk suatu wilayah/daerah dengan penduduk luar wilayah/daerah, baik penduduk kota lain maupun luar negeri. Perbandingan ekspor dan impor baik keseluruhan maupun untuk setiap kelompok komoditi menunjukkan terjadinya surplus atau defisit perdagangan antara suatu wilayah/daerah dengan kota lain atau luar negeri.

Kemampuan Lahan

(33)

19 lahan untuk mendukung kehidupan. Dalam pengembangan wilayah, perlu terlebih dahulu dilakukan perencanaan penggunaan lahan yang strategis guna memberikan keuntungan ekonomi bagi wilayah. Perencanaan penggunaan lahan yang strategis bagi pembangunan merupakan salah satu upaya dalam mengoptimalkan peman-faatan sumberdaya lahan (Sitorus 2004).

Penggunaan lahan dibagi ke dalam dua kelompok utama yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan non pertanian. Penggunaan lahan pertanian dibedakan secara garis besar ke dalam macam penggunaan lahan berdasarkan atas penyediaan air dan komoditi yang diusahakan, dimanfaatkan atau yang terdapat di atas lahan tersebut, seperti penggunaan lahan tegalan, sawah, kebun kopi, kebun karet, padang rumput, hutan produksi, hutan lindung, padang alang-alang dan lain sebagainya, sedangkan penggunaan lahan bukan pertanian dapat dibedakan atas penggunaan kota dan desa (permukiman), industri, rekreasi dan pertambangan. Penggunaan lahan secara umum tergantung pada kemampuan lahan dan lokasi lahan. Dalam bidang pertanian, penggunaan lahan tergantung pada kelas kemampuan lahan yang dicirikan oleh adanya perbedaan pada sifat-sifat yang menjadi penghambat bagi penggunaannya seperti tekstur tanah, lereng, drainase dan tingkat erosi yang terjadi. Penggunaan lahan juga tergantung pada lokasi, khususnya daerah pemukiman, industri maupun daerah rekreasi. Output dari analisis ini berupa peta kelas kemampuan lahan (zonasi). Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) mengklasifikasikan lahan dalam tiga kategori utama yaitu kelas, subkelas dan unit/satuan pengelolaan. Tingkatan tertinggi yang bersifat luas dalam struktur klasifikasi adalah kelas (Arsyad 2010).

Klasifikasi kemampuan lahan (land capability) merupakan klasifikasi kemampuan potensi lahan untuk penggunaan berbagai sistem pertanian secara umum tanpa menjelaskan peruntukan untuk jenis tanaman tertentu maupun tindakan-tindakan pengelolaannya. Tujuannya adalah untuk mengelompokkan lahan yang dapat diusahakan bagi pertanian (arable land) berdasarkan potensi pembatasnya agar dapat berproduksi secara berkesinambungan. Pengelompokkan ke dalam kelas kemampuan lahan didasarkan pada besarnya faktor pembatas atau kendala. Lahan dikelompokkan dalam kelas I-VIII. Lahan kelas I tidak memiliki pembatas utama bagi pertumbuhan tanaman, sedangkan lahan yang termasuk dalam kelas VIII memiliki pembatas yang sangat berat sehingga tidak memungkinkan untuk pertanian atau produksi tanaman secara komersial. Dengan demikian semakin tinggi kelasnya, semakin rendah kualitas lahannya (Rayes 2007). Kelas kemampuan lahan ditampilkan dalam Tabel 2.

Tabel 2 Kelas kemampuan lahan Kelas

(34)

20

Lahan kelas I sampai kelas IV merupakan lahan yang sesuai digunakan untuk tanaman pertanian pada umumnya (tanaman semusim dan tahunan), maupun untuk rumput makanan ternak, padang rumput dan hutan. Tanah pada kelas V-VII tidak sesuai untuk pertanian, melainkan sesuai untuk padang rumput, tanaman pohon-pohon atau vegetasi alami. Pada batas-batas tertentu, tanah kelas V dan VI dapat menghasilkan dan menguntungkan untuk beberapa jenis tanaman tertentu seperti tanaman hortikultura (buah-buahan, sayur-sayuran dan tanaman hias) asalkan disertai dengan manajemen dan tindakan konservasi tanah dan air yang tepat. Tanah dalam kelas VIII harus dibiarkan dalam keadaan alami (Rayes 2007). Struktur klasifikasi kemampuan lahan dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Struktur klasifikasi kemampuan lahan

Kelas

Kemampuan Sub-kelas Kemampuan Satuan Pengelolaan

Satuan Peta Tanah

I

II IIc, iklim

III IIe, erosi II e – 1 Seri X

IV IIw, kelembaban II e – 2 Seri Y

IIs, tanah II e – 3 Seri Z

V

IIes ... dst

VI VII VIII

Sumber: Dent and Young (1981) dalam Sitorus (2004)

Dalam tingkat kelas, kemampuan lahan menunjukkan kesamaan besarnya faktor penghambat yang dikelompokkan dalam kelas I-VIII. Semakin tinggi kelas, resiko kerusakan dan besarnya faktor penghambat bertambah serta pilihan penggunaan lahan yang diterapkan semakin terbatas. Subkelas adalah pembagian lanjut dari kelas berdasarkan jenis faktor penghambat yang sama. Faktor tersebut dikelompokkan dalam beberapa jenis yaitu erosi (e), genangan air (w), penghambat terhadap perakaran tanaman (s) dan iklim (c). Kemampuan lahan dalam tingkat unit/satuan pengelolaan memberi keterangan yang lebih spesifik dan detil daripada subkelas seperti cara pengelolaan. Macam faktor penghambat tersebut ditulis di belakang angka kelas misalnya Iie, IIIw, Ivs dan lain-lain (Widiatmaka 2013). Kriteria klasifikasi kemampuan lahan menurut faktor pembatas ditampilkan dalam Tabel 2.4 dan dijelaskan oleh Arsyad (2010) sebagai berikut.

1) Lereng

Kecuraman lereng, panjang lereng dan bentuk lereng (cekung atau cembung) dapat mempengaruhi besarnya erosi dan aliran permukaan. Pengelompokkan kecuraman lereng sebagai berikut:

A = L0 = 0 - 3 % (datar)

B = L1 = 3 - 8 % (landai atau berombak)

C = L2 = 8 - 15 % (agak miring atau bergelombang) D = L3 = 15 - 30 % (miring atau berbukit)

E = L4 = 30 - 45 % (agak curam) Dapat

digarap

(35)

21 F = L5 = 45 - 65 % (curam)

G = L6 = > 65 % (sangat curam) 2) Kepekaan Erosi

Kepekaan erosi tanah atau erodibilitas tanah ialah sifat tanah yang menyatakan mudah/tidaknya tanah tererosi. Weschmeir dan Smith (1978) menyatakan sifat-sifat tanah yang mempengaruhi indeks erodibilitas tanah (K/KE), terdiri atas: a. persentase debu dan pasir halus

b. persentase pasir kasar

c. persentase kandungan bahan organik d. tipe dan kelas struktur tanah

e. laju permeabilitas tanah

Kepekaan erosi tanah (nilai K) dibedakan atas: KE1 = 0.00 - 0.10 (sangat rendah)

KE2 = 0.11 - 0.20 (rendah) KE3 = 0.21 - 0.32 (sedang) KE4 = 0.33 - 0.43 (agak tinggi) KE5 = 0.44 - 0.55 (tinggi)

KE6 = 0.56 - 0.64 (sangat tinggi) 3) Tingkat Erosi

Kenampakan erosi yakni erosi lembar, erosi alur dan erosi parit akan menentukan tingkat bahaya erosi. Tingkat bahaya erosi adalah keadaan yang memungkinkan bahwa erosi tanah akan segera terjadi dalam waktu relatif dekat, atau dalam hal erosi tanah telah terjadi. Kerusakan erosi yang telah terjadi (erosi masa lalu) dibedakan atas:

e0 = tidak ada erosi

e1 = ringan (< 25% lapisan tanah atas hilang)

e2 = sedang (25% sampai 75% lapisan tanah atas hilang)

e3 = agak berat (> 75% lapisan tanah atas sampai < 25% lapisan tanah bawah hilang)

e4 = berat (> 25% lapisan tanah bawah hilang) e5 = sangat berat, erosi parit.

4) Kedalaman tanah

Kedalaman efektif tanah adalah kedalaman tanah yang baik bagi pertumbuhan akar tanaman yaitu sampai pada lapisan yang tidak dapat ditembus oleh akar tanaman. Lapisan tersebut dapat berupa kontak lithik, lapisan padas keras, padas liat, padas rapuh atau lapisan phlintit. Kedalaman efektif tanah diklasifikasikan sebagai berikut:

k0 = dalam (>90 cm) k1 = sedang (90-50 cm) k2 = dangkal (50-25 cm) k3 = sangat dangkal (< 25 cm)

5) Tekstur tanah (lapisan atas dan lapisan bawah)

Gambar

Tabel 4  Kriteria klasifikasi kemampuan lahan
Gambar 2  Peta Administrasi Kabupaten Manggarai Timur
Tabel 6  Variabel yang digunakan pada setiap kelompok indeks  untuk analisis skalogram
Tabel 7  Jenis, sumber dan metode analisis data
+7

Referensi

Dokumen terkait

Puji syukur Alhamdulillah kepada Allah Subhanahu Wata’ala atas segala nikmat dan karunia-Nya serta Shalawat salam kepada Junjungan Agung Nabi Besar Muhammad SAW

Kesejahteraan masyarakat akan meningkat jika pengembangan kawasan agropolitan di wilayah perbatasan dikembangkan dengan baik karena memiliki nilai strategis yang tinggi

Rencana struktur tata ruang untuk Kawasan Reok secara pewilayahan masuk dalam Wilayah Pengembangan II dengan fungsi sebagai Pusat Kegiatan Lokal (PKL). Kawasan

Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk beragama Islam terbesar di dunia saat ini, dari 237.641.326 jiwa penduduk Indonesia jumlah penduduk muslimnya sebesar 207.176.162.9

Dalam melakukan analisa untuk mendapatkan sektor unggulan sehingga dapat dilihat strategi pengembangannya digunakan data Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar

Hasil Penelitian menunjukkan bahwa stok karbon tertinggi pada kawasan hutan jati ( ) di Kabupaten Kupang menurut Ketterings sebesar 148,48 ton/ha dan menurut Pérez, L.D.. &amp;

Berdasarkan penelitian (Zakiah et al., 2015) menngatakan bahwa komoditas perkebunan unggulan wilayah adalah komoditas yang memeliki nilai basis dari luas lahan

Pelestrarian kebudayaan daerah serta pengembangan objek dan daya tarik wisata (ODTW) di Kabupaten Ende yang tersebar di beberapa kecamatan diperlukan penanganan yang