• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Resiliensi Remaja Putri Korban Eksploitasi Seksual Komersil (Prostitusi)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Gambaran Resiliensi Remaja Putri Korban Eksploitasi Seksual Komersil (Prostitusi)"

Copied!
292
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN RESILIENSI REMAJA PUTRI KORBAN

EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIL

(PROSTITUSI)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Ujian Sarjana Psikologi

Disusun Oleh :

Indah R Sebayang

071301109

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan

sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul :

Gambaran Resiliensi Remaja Putri Korban Eksploitasi Seksual Komersil (Prostitusi)

Adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah di ajukan untuk memperoleh

gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalanm penulisan skripsi ini yang saya

kutip dari hasil karya orang lain telah di tulis sumbernya secara jelas sesuai

dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari di temukan adanya kecurangan di dalam skripsi

ini, saya bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang

dan sanksi-sanksi lainnya yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan

yang berlaku.

Medan, Maret 2012

Indah Rasulinta Sebayang

(3)

Especially Dedicated to :

Setiap tetesan keringat, air mata, cinta dan kasih sayang serta pengorbanan

dan pelajaran hidup yang di berikan papi dan mami kepadaku..

Kak Sigit yang dahulu selalu memberikan semangat serta pelajaran dan

makna hidup..

Setiap remaja di luasnya dunia yang pernah menjadi korban kerakusan

(4)

KATA PENGANTAR

Segala pujian, hormat, serta syukur penulis persembahkan bagis Yesus

Kristus, My Saviour... Atas anugrah-Nya yang melimpah sehingga penulis di beri

kekuatan untuk dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Gambaran Resiliensi

Remaja Putri Korban Eksploitasi Seksual Komersil (Prostitusi)”. To God be

Glory..

Rasa syukur tidak henti-hentinya penulis panjatkan karena kasihnya-Nya

yang begitu besar telah menghadirkan orang-orang terkasih untuk memberikan

bimbingan, dukungan serta kasih sayang sehingga menjadi berkat bagi penulis,

yaitu :

1. Prof. Dr. Irma Wati, psikolog, selaku Dekan Fakultas Psikologi

Universitas Sumatera Utara

2. Elvi Andriani Yusuf, M. Si, psikolog, selaku dosen pembimbing utama

yang selalu mengarahkan, membimbing dan memberikan semangat kepada

penulis dalam proses penyusunan skripsi ini.

3. Rahma Yuliarni, M. Psi, selaku dosen pembimbing pendamping yang

selalu memberikan bimbingan serta arahan kepada penulis.

4. Meutia Nauly, M. Si, selaku dosen pembimbing pendamping yang selalu

meluangkan waktu untuk penulis serta selalu memberikan arahan dan

masukan kepada penulis.

5. Eka Danta Ginting, MA, selaku Kepala Program Studi S1 yang juga selalu

(5)

6. Etty Rahmawati, M. Si, selaku dosen pembimbing akademik yang telah

memberikan bimbingan dan semangat kepada penulis selama menjalani

perkuliahan di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

7. Dosen-dosen Fakultas Psikologi yang telah membagikan segala ilmu

pengetahuan, dan pengalaman kepada penulis.

8. Seluruh staff tata usaha, administrasi, dan perpustakaan Fakultas Psikologi

Universitas Sumatera Utara, yang telah melancarkan segala urusan

administrasi penulis.

9. Kedua orangtuaku.. terima kasih papi, mami.. Atas dukungan serta doanya

untukku selama ini. Terima kasih untuk segala doa, dukungan dan

pengertiannya.. I Love You so much....

10.Adik bungsuku yang selalu bersedia menemaniku, mengantarkanku serta

membantuku selama proses pengambilan data skripsi.. Thank’s my broda..

Firman A Sebayang. Mentari Kristine Natalia Tambunan, thank’s untuk

waktunya menemaniku mengerjakan serta memeriksa segala kelengkapan

data skripsiku selama ini. Berliana Wulandari Tambunan dan Rona Uli

Sitorus.. hayoolah lekas nyusul biar sama-sama sarjana cucu nenek 

11.Seluruh keluarga di Pekanbaru, nenek, tulang Ronald Salmon Hutabarat,

ST dan nantulang Wati Purba. Tulang Saut Hutabarat dan nantulang Riska,

bibi cantik, Ida Purnama, S. Pd terima kasih atas dukungan serta doanya

supaya Indah mampu menyelesaikan skripsi Indah. Kedua jagoan kecil,

(6)

12.Abang-abangku.. Navarro Sebayang, SH dan Alex Sebayang, SH, Yos

Arnold, SH, Briptu Amir Hamzah, Briptu Aulia Rahman, Briptu Kristian

Surbakti. Terima kasih atas cerita-cerita lucunya selama ini. And my little

son, Rajata Sebayang, jangan bosan meluk bibi cantik ya sayang..

13.Hendarjat Hambali, M. Psi, terima kasih untuk semangat, doa serta

keyakinan dan waktu yang di berikan kepada penulis selama ini hingga

penulis menyelesaikan skripsi ini.

14.Kompol Sigit Hariadi, SIK, thank’s atas segala dukungan, waktu, nasihat,

perhatian, kasih sayang, materi, respon positif, serta pelukan hangat saat

aku membutuhkan itu semua. Tak ada yang mampu mengantikan itu.

Tetaplah menjadi kakak sejati untukku. AKP I Gede Putra, SIK, terima

kasih atas waktu serta nasihatnya selama Ninda mengerjakan skripsi

Ninda.

15.Ucapan spesial kupersembahkan kepada IPTU Gokma Uliate Sitompul,

SH, yang selalu menyediakan waktu, perhatian, serta mengingatkan aku

agar tekun mengerjakan skripsiku, walau terkadang itu menjengkelkan.

Love You my sweetheart. Tetaplah sabar mendampingiku.

16.Seluruh teman-teman psikologi yang aku sayangi, Christy Ruth

Nainggolan, S. Psi, Ikbal Sutan, S. Psi, Rayes Simanullang, S. Psi,

Chairunnisa Aprilia, S. Psi, Agus Manurung, Roimer Sitorus, Imelvi Putri,

Nuru Hasanah, terima kasih sudah menyediakan waktu untukku, untuk

(7)

17.Kepada seluruh staff Pusat Kajian dan Perlindungan Anak Medan, terima

kasih untuk semua bantuannya selama penulis mengerjakan skripsi

penulis.

18.Kedua responden penelitian penulis serta keluarganya yang mau

meluangkan waktu serta mau membagi pengalaman kepada penulis

sehinggga penulis mendapat pelajaran hidup yang berharga.

19.Segenap pihak yang telah membantu penulis dan tidak dapat penulis

sebutkan satu persatu, terima kasih atas bantuannnya selama ini hinggar

penulis mampu menyelesaikan tugas akhir penulis.

Akhirnya dengan segenap kesadaran bahwa penulisan karya ini jauh dari

kesempurnaan. Maka, kritik dan saran senantiasa penulis nantikan untuk

perbaikan. Akhir kata semoga karya ini bisa memberi manfaat bagi penulis

khususnya dan pembaca umumnya.

Medan, Maret 2012

(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...i

DAFTAR ISI...iii

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG... ...1

B. RUMUSAN MASALAH...12

C. TUJUAN PENELITIAN...12

D. MANFAAT PENELITIAN...12

E. SISTEMATIKA PENULISAN...14

BAB II LANDASAN TEORI A. RESILIENSI...16

1. PENGERTIAN RESILIENSI...16

2. KARAKTERISTIK RESILIENSI...17

3. FAKTOR RESILIENSI...19

B. EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIL...26

1. PENGERTIAN EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIL...26

2. FAKTOR-FAKTOR EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIL...28

3. DAMPAK EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIL...30

C. REMAJA...33

1. PENGERTIAN REMAJA...33

(9)

3. PERKEMBANGAN FISIK DAN SEKSUAL REMAJA...37

4. PERKEMBANGAN SOSIAL REMAJA...40

D. RESILIENSI REMAJA PUTRI KORBAN EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIL...46

BAB III METODE PENELITIAN A. METODE PENELITIAN...50

B. METODE PENGUMPULAN DATA...51

C. RESPONDEN PENELITIAN...51

1. KARAKTERISTIK RESPONDEN...51

2. JUMLAH RESPONDEN...52

3. PROSEDUR PENGAMBILAN RESPONDEN...53

4. LOKASI PENELITIAN...53

D. TEKNIK PENGAMBILAN DATA...53

E. ALAT PENGUMPULAN DATA...55

F. PROSEDUR PENELITIAN...56

1. TAHAP PERSIAPAN...56

2. TAHAP PELAKSANAAN...58

3. TAHAP PENCATATAN DATA...60

G. TEKNIK DAN PROSEDUR ANALISA DATA...61

H. KREDIBILITAS PENELITIAN...64

(10)

1. ANALISA DAN INTERPRETASI RESPONDEN I...76

B. DESKRIPSI DATA RESPONDEN II...143

1. ANALISA DAN INTERPRETASI RESPONDEN II...153

C. DISKUSI...222

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN...253

B. SARAN...258

1. SARAN PRAKTIS...258

2. SARAN PENELITIAN SELANJUTNYA...259

DAFTAR PUSTKA...261

(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Jadwal Pelaksaan Wawancara... ...66

Tabel 2 Deskripsi Data Responden I...67

Tabel 3 Interpretasi Responden I...124

Tabel 4 Gambaran Resiliensi Responden I...142

Tabel 5 Deskripsi Data Responden II...143

Tabel 6 Interpertasi Responden II...205

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

I.A. Latar Belakang

Remaja merupakan periode kehidupan yang unik, karena saat itu terjadi

perubahan yang amat kompleks, diantaranya perubahan fisik, emosional, kognitif,

perubahan pertumbuhan dan perkembangan sosial yang menjembatani antara

masa kanak-kanak menuju masa dewasa (Santrock, 2007).

Secara umum, periode remaja merupakan klimaks dari periode-periode

perkembangan sebelumnya, sehingga dalam periode selanjutnya individu telah

menpunyai suatu pola pribadi yang lebih baik. Masalah-masalah sehubungan

dengan perkembangan fisik pada periode pubertas masih terus berlanjut, tetapi

pada akhirnya mereda saat individu memasuki masa dewasa. Bagi sebagian besar

orang, memasuki usia remaja tidaklah mudah. Hall (dalam Santrock, 2007),

menyebutkan bahwa masa remaja adalah masa storm and stress, karena pada

masa ini muncul gejolak emosi yang penuh dengan ketidakseimbangan.

Remaja juga mulai mengalami kematangan fisik yang ditandai dengan

mulai matangnyanya organ-organ seksual, dalam arti organ-organ seksualnya

sudah dapat berfungsi sepenuhnya untuk mengembangkan keturunan. Pada remaja

putri ditandai dengan menstruasi yang pertama, sedangkan pada remaja pria

(13)

Matangnya organ-organ seksual pada remaja akan mengakibatkan

munculnya dorongan-dorongan seksual (Santrock, 2007). Problem tentang seksual

pada remaja adalah berkisar masalah bagaimana mengendalikan dorongan

seksual, konflik antara mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh

dilakukan, adanya "ketidaknormalan" yang dialaminya berkaitan dengan

organ-organ reproduksinya, pelecehan seksual, homoseksual, kehamilan dan aborsi

(Hurlock, 1980).

Dalam masa ini juga, remaja mulai mengalami ketertarikan terhadap lawan

jenis disertai dorongan seksual, hal yang sifatnya kodrati dialami oleh remaja.

Remaja pun mulai ingin berkenalan, bergaul dengan teman-temannya dari jenis

kelamin lain, dan mengenal pacaran (Santrock, 2007). Dalam kondisi demikian,

remaja merupakan sosok yang mudah untuk terjerumus kedalam situasi yang

kurang menguntungkan bagi remaja sendiri. Salah satunya adalah ketika remaja

terjebak dunia seks bebas dan kemudian menjadi korban eksploitasi seksual

komersil dan terjebak kedalam dunia prostitusi (Santrock, 2007).

Dewasa ini salah satu isu yang mencemaskan dan sepakat untuk segera

ditangani adalah perdagangan perempuan dan anak sektor ekploitasi seksual

komersil (ECPAT, 2006). Remaja di Indonesia, ternyata menjadi makanan empuk

bagi sebagian “pemangsa-pemangsa” remaja khususnya remaja putri. Mereka

diperjualbelikan atau malah dijadikan pelacur oleh orang-orang yang ingin

(14)

ILO-IPEC (dalam Suyanto, 2010) mengatakan remaja yang menjadi

korbannya sesungguhnya membutuhkan perhatian serius karena memiliki dampak

yang sangat merugikan dan membahayakan kelangsungan serta masa depan

korban eksploitasi seksual itu sendiri. Remaja yang menjadi korban eksploitasi

seksual bukan saja rentan terhadap hinaan, penipuan dan marginalisasi, tetapi juga

banyak di antara mereka yang tidak dapat menikmati hak untuk memperoleh

pendidikan yang layak, serta tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya untuk

berkembang secara sehat.

Fenomena eksploitasi seksual komersil tersebut tidak hanya menimpa

remaja dengan ekonomi rendah, namun juga banyak dialami oleh remaja yang

berstatus sosial tinggi (Suyanto, 2010). Dalam masyarakat luas istilah eksploitasi

seksual mungkin belum banyak didengar atau malah belum dipahami dengan

baik, walaupun sebenarnya kasus-kasus yang terkait dengan masalah tersebut

sudah banyak ditemui baik lewat media cetak ataupun media elektronik, berikut

ini adalah salah satu kasus eskploitasi seksual komersil yang dimuat dimedia

cetak.

“Pada bulan Juni 2008, Mawar, seorang gadis usia 15 tahun asal Lampung, Indonesia, diculik dan diperdagangkan ke Malaysia dan dipaksa untuk menjadi seorang pekerja seks. Keperawanannya dijual seharga 5.000 Ringgit (sekitar 15 juta rupiah) oleh seorang germo. Dua dari pelaku trafiking tersebut, yaitu Nurdin dan Chong Kum telah ditangkap dan dijatuhi hukuman penjara selama 15 tahun”.

(Kompas, 10 February 2009).

Deputi Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan, Emy

(15)

komersil masih menjadi masalah serius di Indonesia, terutama di daerah

perbatasan, daerah perdagangan, dan daerah pariwisata. Remaja terutama remaja

putri yang berusia 13-18 tahun kerap menjadi obyek perdagangan manusia untuk

tujuan eksploitasi seksual komersial.

Hal ini senada dengan sebuah penelitian yang telah dilakukan oleh

ILO-IPEC (dalam Suyanto, 2010), berhasil mengidentifikasi bahwa rata-rata usia anak

yang dilacurkan di sektor eksploitasi seksual komersil adalah 10-12 tahun, yang

sebelumnya sama sekali belum mengenal seks karena usia mereka yang masih

belia, tetapi dipaksa oleh germo, calo, atau diperdaya mafia pelacuran untuk

bekerja sebagai PSK (Jurnal Perempuan, dalam Suyanto, 2010). Studi lainnya

yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian Unair bekerjasama dengan Dinas Sosial

dan Pemberdayaan Perempuan Kota Surabaya (dalam Suyanto, 2010),

menemukan bahwa 2,2% responden dari 200 responden yang diwawancarai

ternyata pertama kali dilacurkan pada saat mereka masih berusia 7 tahun.

Responden lainnya mengaku pertama kali dilacurkan pada saat berusia 14 tahun

(10,9%), 15 tahun (32, 6%), dan sebagian besar di usia 16 tahun (45, 7%).

Di Sumatera Utara, menurut catatan resmi Dinas Sosial diketahui ada 281

anak perempuan yang terpaksa bekerja sebagai PSK. Jumlah ini belum termasuk

PSK anak yang banyak beroperasi di diskotik atau pub yang jumlahnya

diperkirakan mencapai 500 orang. Menurut Achmad Sofian (dalam Suyanto,

2010), dari Pusat Kajian dan Perlindungan Anak Medan, mekanisme yang

(16)

bujuk rayu atau penipuan, tetapi tak jarang dengan cara penyekapan dan ancaman

kekerasan fisik.

Sementara itu fenomena eksploitasi seksual komersil itu sendiri sudah

lama menjadi fenomena yang menyedihkan, bahkan sudah tercatat sejak tahun

1979-an. Sofian dan Rinaldi (dalam Suyanto, 2010) menyebutkan bahwa lebih

dari 200 ABG dijadikan pelacur dihotel GM Tanjung Balai. Belakangan sudah

mulai bermunculan pula istilah-istilah baru yang menjurus pada dunia esek-esek,

baik yang melibatkan orang dewasa maupun anak-anak.

Banyak faktor yang menyebabkan remaja tetap bertahan melakoni

profesinya sebagai pelacur, Saptari (dalam Suyanto, 2010) menyebutkan paling

tidak ada tiga faktor yang menyebabkan seorang remaja yang menjadi korban

eksploitasi tetap bertahan menjadi pelacur. Pertama, karena keadaan ekonomi atau

kondisi kemiskinan. Kedua, karena pandangan tentang seksualitas yang cenderung

menekankan arti penting keperawanan sehingga tidak memberi kesempatan bagi

perempuan yang sudah tidak perawan kecuali masuk kedalam peran yang

diciptakan untuk mereka. Ketiga, karena system paksaan dan kekerasan.

Dikota Medan, faktor yang menjadi penyebab remaja menjadi korban

eksploitasi seksual komersil adalah gaya berpacaran remaja yang tidak sehat,

berpacaran di luar batas hingga tidak perawan lagi atau dikecewakan pacar. Faktor

lainnya adalah gaya hidup konsumerisme, yakni ingin mengikuti gaya hidup

(17)

sebagainya, yang terakhir adalah pengaruh dari teman bergaul (ECPAT, 2008).

Hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh Anis (18 tahun) :

“Pertama aku tau kek-kek gini ni tahun 2006. Aku diajak sama kawan genk aku di sekolah untuk ikut mereka ke diskotik untuk dugemlah. Teros, aku mabuk kak, kan gak sadar aku, teros disitulah kawan-kawan aku nawarin aku ke tamu diskotik tuh. Untuk “dipakek”, kata mereka. Besoknya pas aku bangun tidor, aku liat berapa lembar uang ratusan didekat aku. Sampe sekarang aku masih gituan terus sambil sembunyi-sembunyi, karna bujukan kawan-kawan aku sama karna masalah ekonomi. (Komunikasi personal, 21 Februari 2011).

Remaja yang menjadi korban eksploitasi seksual komersil dan terjerumus

ke dalam dunia prostitusi akan sulit untuk keluar dari kondisi tersebut. Tak jarang

ketika menghadapi kondisi sulit itu banyak remaja yang mengalami trauma

psikologis ketika remaja menyadari dirinya telah menjadi korban eksploitasi

seksual komersil (Suyanto, 2010). Hal itu muncul karena remaja mengalami

peristiwa yang menimbulkan reaksi stress traumatik. individu mengalami stres

traumatik karena mengalami suatu pengalaman mental yang luar biasa

menyakitkan, melampaui ambang kemampun rata-rata orang untuk

menanggungnya, sehingga mengakibatkan perubahan drastis dalam kehidupan

seseorang, mengubah persepsi terhadap kehidupannya, mengubah perilaku

seseorang, dan emosi seseorang (Yoga, dalam Sulistyaningsih, 2009). Dampak

traumatis remaja yang mengalami eksploitasi seksual komersil tersebut tergambar

dari hasil wawancara :

(18)

tertekannnya aku kak, kaya najis gitu aku diliatin orang-orang dekat sini. Padahal aku pun gak mau jadi kayak gitu.”

(Komunikasi Personal, 30 Februari 2011).

Trauma psikologis yang dialami oleh remaja yang menjadi korban

eksploitasi seksual komersil tersebut memiliki dampak yang merugikan kesehatan

mental karena menurunkan fungsi fisik, emosi, pikiran, dan hubungan

interpersonal pada remaja itu sendiri (Suyanto, 2010). Untuk bisa pulih kembali

biasanya diperlukan waktu sekitar 6 hingga 16 bulan dan berapa lama waktu yang

diperlukan seorang remaja tergantung pada karakteristik individu dan sifat

peristiwa traumatik yang dialami. Namun pada sebagian orang stress traumatik

yang berat dapat berlangsung selama bertahun-tahun bahkan dapat berlanjut

menjadi gangguan yang lebih berat (Sulistyaningsih, 2009).

“lama jugak lah dulu aku gak mau keluar rumah, duh dah macam orang gilaklah kak, mana tetanggaku omongannya bikin pedih kuping. Disuruh ibuk lah aku sholat kak, dzikir. Pertama-tama gak ku buat, mana ada guna pikirku kak, dah jerit-jerit ajalah aku dulu kak, udah hampir dibawa ke RSJ, pokoknya sampe hari ni aku masih ingat-ingat itu terus. Tapi setelah setahun, setelah pindah rumah barulah aku bisa agak gak kayakorang gilak lagi kak.”

(Komunikasi Personal, 30 Februari, 2011).

Untuk mengatasi trauma yang dialaminya, remaja menggunakan berbagai

macam pilihan. Ada individu yang mampu bertahan kemudian pulih dari situasi

traumatis tersebut secara efektif, namun ada pula individu lain yang gagal karena

tidak berhasil keluar dari situasi yang tidak menguntungkan. Tugade & Fredrikson

(dalam Rezki Rahayu, 2008) mengungkapkan kemampuan untuk melanjutkan

hidup setelah mengalami hal yang tidak menyenangkan menggambarkan adanya

(19)

Menurut Sulistyaningsih (2009) resiliensi individu muncul ketika individu

berhasil mengatasi kesulitan hidup (adversity). Bagaimana individu tersebut

menghadapi permasalahan dirinya sebagai korban sebuah tragedi dipengaruhi oleh

bagaimana dirinya menyikapi kesulitan yang dihadapinya dengan segala

kelebihan dan keterbatasannya.

Ketika individu menghadapi kesulitan akan menampilkan beberapa reaksi

yang berbeda (Siebert, dalam Nurfadilah, 2006). Ada remaja yang menggunakan

cara-cara negatif ketika tidak tahan menjadi korban eksploitasi seksual komersil,

misalnya dengan luapan amarah secara verbal dan disertai dengan tindakan untuk

menyakiti dirinya sendiri. Remaja tersebut menjadi tidak berdaya untuk

melakukan coping dengan apa yang telah dialaminya. Selain itu, ada pula remaja

yang cenderung melihat dirinya sebagai korban dan menempatkan orang lain

sebagai penyebab “hancurnya” hidup mereka sehingga perasaan dan pikiran

mereka cenderung negatif. Namun, ada juga individu yang dengan cepat berupaya

untuk mengatasi peristiwa traumatis tersebut dan kembali kepada realita yang

dihadapinya, tetap berkarya dengan kekuatan dan keterbatasan yang mereka miliki

dalam kondisi sulit, yang membuat meraka menjadi lebuh kuat, dan lebih baik

dari sebelumnya (Sulistyaningsih, 2009).

Proses resiliensi itu sendiri, dimulai ketika individu pada usia berapa pun

mengalami kesulitan hidup, ia memiliki faktor-faktor pelindung (protective

factors) yang dapat melindunginya terhadap dampak negatif. Individu tersebut

mampu mengatasi kesulitan hidup tanpa mengalami gangguan apabila ia memiliki

(20)

berada dalam keseimbangan, apabila dengan segala kekuatan emosi dan

mekanisme coping yang sehat berusaha mengatasi kesulitan hidupnya. Tanpa

perlindungan yang cukup, individu akan menuju proses gangguan psikologis,

disebabkan ketidakmampuan atau coping mengatasi masalah tersebut

(Sulistyaningsih, 2009).

Dalam proses resiliensi terdapat dua hal penting yakni, kesulitan hidup

tidak secara otomatis mengakibatkan disfungsi, tetapi sebaliknya justru dapat

menghasilkan sejumlah pencapaian bagi individu yang mengalaminya. Selain itu

reaksi terhadap kesulitan hidup yang pada awalnya bersifat disfungsional, lama

kelamaan dapat membaik. Dengan kata lain, resiliensi merupakan proses adaptasi

yang diawali dengan adanya stress dapat membuka kemungkinan terjadinya

perubahan pribadi menuju pada suatu yang lebih baik (Sulistyaningsih, 2009)

Benard (dalam Rezki Rahayu, 2008) menjelaskan lebih jauh bahwa

kapasitas resiliensi ini ada pada setiap orang. Artinya, kita semua lahir dengan

kemampuan untuk dapat bertahan dari penderitaan, kekecewaan, atau tantangan.

Menurut Grotberg (2000), upaya mengatasi kondisi-kondisi yang tidak

menyenangkan tersebut dan mengembangkan resiliensi, sangat bergantung pada

pemberdayaan tiga faktor dalam diri individu, yaitu I have (Aku punya) termasuk

didalamnya hubungan yang dilandasi oleh kepercayaan penuh, dorongan untuk

mandiri; I am (Aku ini) termasuk didalamnya disayang dan disukai oleh banyak

orang, bangga dengan diri sendiri, mencintai, empati, dan kepedulian pada orang

(21)

masalah, menjalin hubungan-hubungan yang saling mempercayai. Interaksi ketiga

faktor tersebut juga mempengaruhi lamanya proses resiliensi seseorang.

Seperti yang sudah diungkapkan di atas setiap orang memiliki kapasitas

resiliensi dalam dirinya. Begitu juga dengan remaja putri yang menjadi korban

eksploitasi seksual komersil, yang telah berhasil keluar dari dari masalah tersebut,

namun masyarakat akan cenderung memberikan label negative kepada remaja

yang menjadi korban eksploitasi seksual tersebut. Selain itu remaja korban

eksploitasi seksual mengalami pengabaian hak yang dilakukan oleh orang dewasa

demi kepentingan nista dari orang dewasa tersebut. Remaja yang menjadi korban

eksploitasi seksual tersebut merupakan individu yang tak berdaya dan tak mampu

menolak paksaan, deraan dan trauma dari orang dewasa (Suyanto, 2001).

Eksploitasi seksual komersil yang dialami remaja putri dapat membuat

remaja korbannya menjadi terpuruk dan mengalami kerugian, namun dapat

memberikan keuntungan kepada pelaku eksploitasi seksual. Dengan

menggunakan power yang dimiliki pelaku eksploitasi, mereka bisa melakukan

eksploitasi terhadap remaja yang menjadi korbannya (Koentjoro, 2004). Perkin &

Bennet (dalam Koentjoro, 2004) mengatakan jika remaja putri yang mejadi

korban eksploitasi seksual dan kemuadi menjadi pelacur hal itu merupakan

produk dari lingkungan dan kondisi sosial mereka. Perlakuan sosial, seperti

rayuan lelaki terhadap seorang remaja karena daya tarik seksualnya sehingga

(22)

Remaja yang menjadi korban eksploitasi seksual harus berjuang

menghadapi pengalaman traumatis yang dialaminya untuk menjadi individu yang

resilien. Tetapi, resiliensi dapat terlihat dengan jelas apabila seseorang berada

pada tantangan atau masalah. Menurut Bobey (dalam Rezki Rahayu, 2008)

semakin seseorang berhadapan dengan banyak tantangan dan hambatan, maka

akan semakin terlihat apakah ia telah berhasil mengembangkan karakteristik

resiliensi dalam dirinya atau tidak. Remaja yang resilien akan memandang

peristiwa stressful yang dialaminya merupakan hal yang dapat mendorong dirinya

untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan baru, menilai kembali prioritas

yang dimilikinya, belajar mengenai pandangan baru, dan memperoleh

kekuatan-kekuatan baru.

Dengan adanya resiliensi pada remaja putri yang menjadi korban

eksploitasi seksual komersil dapat membuat mereka memiliki sikap yang positif

untuk menjadi seorang yang percaya diri dalam berinteraksi dengan orang lain.

Selain itu dapat merubah penderitaan menjadi tantangan, kegagalan menjadi

keberhasilan dan keputusasaan menjadi kekuatan. Resiliensi dapat merubah

seorang korban menjadi lebih kuat dan mendorong orang berkembang dan

menjadi lebih baik.

“ya, kami pindah rumah kata ibuk biar aku gak malu sama tetangga-tetangga kak. Alhamdulilah aku dapat dukungan banyaklah dari ayah, ibuk, pokoknya sodara-sodara. Kan itu cuman yang aku butuhkan kak, sekarang aku dah bisa kaya dulu lagi, malah mungkin lebih, udah makin rajin sholat, udah makin punya prinsip lah kak, ambil hikmahnya kak. Ya walaupun butuh waktu lama kak, setahunan lebih..”

(23)

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melihat mengenai

resiliensi pada remaja putri korban eksploitasi seksual komersil serta mengetahui

faktor-faktor yang mempengaruhi pencapaian resiliensi pada remaja putri korban

eksploitasi seksual di kota Medan.

I.B. Rumusan Masalah

Melalui penjabaran di atas, perumusan masalah pada penelitian ini adalah :

1. Bagaimana gambaran resiliensi pada remaja putri korban eksploitasi

seksual komersil khususnya sektor prostitusi

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi pencapaian resiliensi pada remaja putri

korban eksploitasi seksual komersil sektor prostitusi

I.C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran mengenai

resiliensi pada remaja putri yang menjadi korban eksploitasi seksual komersil.

I.D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis dalam

memberikan informasi dan perluasan teori di bidang psikologi

perkembangan, yakni mengenai resiliensi pada remaja putri. Selain itu,

penelitian ini diharapkan dapat memperkaya sumber kepustakaan

(24)

nantinya diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan penunjang untuk

penelitian selanjutnya.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Peneliti Selanjutnya

Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan informasi bagi

peneliti-peneliti lainnya yang berminat meneliti lebih lanjut mengenai

resiliensi pada remaja putri.

b. Bagi Kepolisian Wilayah Hukum Sumatera Utara

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi aparat

Kepolisian Wilayah Hukum Sumatera Utara khususnya Unit Penanganan

Perempuan dan Anak, sehingga dapat melakukan pemeriksaan serta

penanganan yang tepat sehingga dapat membuat remaja putri tidak merasa

takut saat memberikan keterangan kepada pihak kepolisian.

c. Bagi Orang tua

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada para

orangtua sehingga diharapkan orangtua dapat memberikan dukungan yang

maksimal kepada remaja yang telah menjadi korban eksploitasi seksual

komersil sektor prostitusi. Dengan menyediakan lingkungan yang dapat

memfasilitasi tercapainya resiliensi remaja putri korban eksploitasi seksual

komersil sektor prostitusi.

d. Bagi Lembaga Swadaya Masyarakat dan Lembaga Terkait Lainnya

Bagi LSM dan lembaga terkait lainnya yang menangani

(25)

informasi dari penelitian ini dapat digunakan untuk memberikan

pendampingan dan penanganan yang bersifat suportif kepada korban

eksploitasi seksual sektor prostitusi.

I.E. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan dari penelitian ini adalah :

BAB I : Pendahuluan

Pendahuluan berisi mengenai latar belakang permasalahan,

perumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat

penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II : Landasan Teori

Landasan teori berisi teori yang digunakan sebagai landasan

penelitian

BAB III : Metodologi Penelitian

Pada bab ini dijelaskan alasan digunakannya pendekatan kualitatif,

responden penelitian, teknik pengambilan responden, teknik

pengumpulan data, alat bantu pengumpulan data serta prosedur

penelitian.

BAB IV : Analisa Dan Interpretasi Data

Analisa Data dan Interpretasi berisi pendeskripsian data responden,

(26)

yang dilakukan dan pembahasan data-data penelitian sesuai dengan

teori yang relevan dan diskusi.

BAB V : Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan, dan Saran yang menjelaskan kesimpulan dari

penelitian ini, diskusi mengenai hasil penelitian yang ada serta

(27)

BAB II

LANDASAN TEORI

II.A. RESILIENSI

II.A.1. Pengertian Resiliensi

Kata resiliensi sendiri berasal dari bahasa latin abad pertengahan ’resilire’

yang berarti ’kembali’. Dalam bahasa inggris, kata ’resiliency’ atau ’resilient

biasa digunakan untuk menyebutkan suatu kondisi seseorang yang berhasil

kembali dari kondisi terpuruk. Jika dilihat dari asal dan makna kata, maka

resiliensi secara umum dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk

kembali pada kondisi semula ketika menghadapi tantangan atau kondisi yang

terpuruk (Putrantie, 2008).

Resiliensi merupakan konstruk psikologi yang diajukan oleh para ahli

behavioral dalam mengetahui, mendefinisikan, dan mengukur kapasitas individu

untuk tetap bertahan dan berkembang pada kondisi yang menekan (adverse

conditions) dan untuk mengetahui kemampuan individu untuk kembali pulih

(recovery) dari kondisi tekanan (Manara Untung, 2008). Sementara itu resiliensi

menurut Grotberg (2000) merupakan sebagai proses dinamis individu dalam

mengembangkan kemampuan diri untuk menghadapi, mengatasi, memperkuat dan

mentrasformasikan pengalaman-pengalaman yang dialami pada situasi sulit

(28)

Desmita (2005) mengatakan resiliensi merupakan kemampuan atau

kapasitas insani yang dimiliki seseorang, kelompok atau masyarakat yang

memungkinkannya menghadapi, mencegah, meminimalkan dan bahkan

menghilangkan dampak-dampak yang merugikan dari kondisi-kondisi yang tidak

menyenangkan, atau bahkan mengubah kondisi kehidupan yang menyengsarakan

menjadi suatu hal yang wajar untuk diatasi. Adanya resiliensi akan membuat

seseorang berhasil menyesuaikan diri dalam berhadapan dengan kondisi-kondisi

yang tidak menyenangkan (Desmita, 2005).

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa resiliensi

adalah kemampuan seseorang untuk bangkit kembali pada kondisi semula ketika

menghadapi tantangan atau kondisi yang terburuk, dimana resiliensi merupakan

proses dinamis individu dalam mengembangkan kemampuan diri untuk

menghadapi, mengatasi, memperkuat dan mentransformasikan

pengalaman-pengalaman yang di alami pada situasi sulit menuju pencapaian adaptasi yang

positif.

II.A.2. Karakteristik Resiliensi

Karakteristik resiliensi menurut Wolin dan Wolin (1999, dalam Rezki

Rahayu, 2008) adalah sebagai berikut :

1. Insight

Insight adalah kemampuan mental untuk bertanya pada diri sendiri dan

menjawab dengan jujur. Hal ini untuk membantu individu untuk dapat

(29)

berbagai situasi. Insight adalah kemapuan yang paling mempengaruhi

resiliensi.

2. Kemandirian

Kemandirian adalah kemampuan untuk mengambil jarak secara emocional

maupun fisik dari sumber masalah dalah hidup seseorang. Kemandiran

melibatkan kemampuan untuk menjaga keseimbangan antara jujur pada

diri sendiri dengan peduli pada orang lain.

3. Hubungan

Seseorang yang resilien dapat mengembangkan hubungan yang jujur,

saling mendukung dan berkualitas bagi kehidupan atau memiliki role

model yang sehat.

4. Inisiatif

Inisiatif melibatkan keinginan yang kuat untuk bertanggung jawab atas

kehidupan sendiri atau masalah yang sedang dihadapi. Individu yang

resilien bersikap proaaktif, bukan kreatif, bertanggung jawab dalam

pemecahan masalah, selalu berusaha memperbaiki diri ataupun situasi

yang dapat diubah, serta meningkatkan kemampuan untuk menghadapi

hal-hal yang tidak dapat diubah.

5. Kreativitas

Kreativitas melibatkan kemampuan memikirkan berbagai pilihan,

konsekuensi, dan alternatif dalam menghadapi tantangan hidup. Individu

yang resilien tidak terlibat dalam perilaku negatif, sebab ia mampu

(30)

keputusan yang benar.

6. Humor

Humor adalah kemampuan untuk melihat sisi terang kehidupan,

menertawakan diri sendiri, dan menemukan kebahagiaan dalam situasi

apapun. Individu yang resilien menggunakan rasa humornya untuk

memandang tantangan hidup dengan cara yang baru dan lebih ringan.

7. Moralitas

Moralitas atau orientasi pada nilai-nilai dengan keinginan untuk hidup

secara baik dan produktif. Individu yang resilien dapat mengevaluasi

berbagai hal dan membuat keputusan yang tepat tanpa rasa takut akan

pendapat orang lain. Mereka juga dapat mengatasi kepentingan diri sendiri

dalam membantu orang yang membutuhkan.

Berdasarkan uraian diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa karakteristik

resiliensi merupakan kemampuan mental bertanya pada diri sendiri, kemandirian

yang dimiliki individu, hubungan yang saling mendukung, inisiatif pada individu,

kemampuan kreatif yang dimiliki individu, kemampuan humor yang individu

dalam menjalani kehidupan serta orientasi nilai yang dimiliki.

II.A.3. Faktor dan Sumber Resiliensi

Grotberg (2000) mengidentifikasikan faktor-faktor yang mempengaruhi

resiliensi seseorang. Faktor-faktor tersebut meliputi dukungan eksternal dan

sumber-sumber yang ada pada diri seseorang (misalnya keluarga, lembaga

(31)

berkembang dalam diri seseorang (seperti self esteem, a capacity for self

monitoring, spritualits dan altruism), dan kemampuan sosial (seperti mengatasi

konflik dan kemampuan berkomunikasi).

Grotberg (2000) mengemukakan faktor-faktor resiliensi yang di

identifikasikan berdasarkan sumber-sumber yang berbeda. Untuk dukungan

eksternal dan sumber-sumbernya digunakan istilah I Have, untuk kekuatan

individu dalam diri pribadi digunakan istilah I Am, dan untuk kemampuan

interpersonal digunakan istilah I Can.

Setiap sumber dari masing-masing faktor memberikan kontribusi pada

berbagai jenis tindakan yang dapat meningkatkan pencapain resiliensi seseorang.

Individu yang resilien tidak membutuhkan semua sumber dari setiap faktor, tetapi

apabila individu hanya memiliki satu faktor individu tersebut tidak dapat

dikatakan sebagai individu yang resilien.

1. I Have

Grotberg (2000) mengungkapkan bahwa I have merupakan sumber

resiliensi yang berhubungan dengan pemaknaan remaja terhadap besarnya

dukungan yang diberikan oleh lingkungan sosial terhadap dirinya.

Sebelum seseorang menyadari siapa dirinya (I Am) atau apa yang bisa dia

lakukan (I Can), remaja membutuhkan dukungan eksternal dan sumber

daya untuk mengembangkan perasaan keselamatan dan keamanan, yaitu

inti untuk mengembangkan reesiliensi dalam diri remaja tersebut.

Sumber-sumber dari faktor I Have yang harus dikembangkan oleh remaja untuk

(32)

a. Hubungan yang Dilandasi Kepercayaan

Individu yang resilien memperoleh dukungan berupa hubungan yang baik

dengan keluarga, lingkungan sekolah yang menyenangkan, ataupun

hubungan dengan orang lain diluar keluarga. Melalui I have, seseorang

merasa memiliki hubungan yang penuh kepercayaan. Hubungan seperti ini

diperoleh dari orang tua, anggota keluarga lain, guru, dan teman-teman

yang mencintai dan menerima diri remaja tersebut..

b. Struktur dan Peraturan di Rumah

Individu yang resilien juga mempunyai struktur dan aturan di dalam rumah

yang ditetapkan oleh orang tua mereka. Para orang tua berharap bahwa

anak-anak dapat mematuhi semua peraturan yang ada. Anak-anak juga

akan menerima konsekuensi dari setiap tindakan yang mereka lakukan

dalam menjalani aturan tersebut. Ketika mereka melanggar aturan, mereka

butuh seseorang untuk memeberi tahu kesalahan yang mereka perbuat dan

jika perlu menerapkan hukuman.

c. Dorongan Untuk Mandiri

Individu yang resilien juga memperoleh dukungan untuk mandiri dan

dapat mengambil keputusan berdasarkan pemikiran serta inisiatifnya

sendiri. Dukungan yang diberikan oleh orangtua ataupun anggota keluarga

lainnya akan sangat membantu dalam membentuk sikap mandiri dalam

diri seseorang. Orangtua akan mendukung serta melatih anak untuk dapat

berinisiatif dan “berkuasa” atas dirinya sendiri untuk mengambil

(33)

d. Role Models

Individu yang resilien mempunyai orang-orang yang dapat menunjukkan

apa yang harus remaja lakukan seperti mencari informasi terhadap sesuatu

dan memberikan semangat agar remaja mengikutinya dengan tujuan

membuat remaja tersebut bangkit dan kembali menjadi sosok yang

mandiri dari sebelumnya.

e. Memperoleh Layanan Kesehatan, Pendidikan, Keamanan dan Kesejahteraan

Individu yang resilien juga akan mendapatkan jaminan kesehatan,

pendidikan, dan kesejahteraan serta keamanan dari orangtua. Sehingga hal

ini akan membantu mereka untuk mengembangkan rasa percaya diri dalam

diri remaja.

2. I Am

Grotberg (2000) mengatakan bahwa I Am merupakan kekuatan

yang terdapat dalam diri seseorang, kekuatan tersebut meliputi perasaan,

tingkah laku, dan kepercayaan yang ada dalam dirinya. Beberapa sumber

yang dimiliki oleh remaja dan harus dikembangkan oleh remaja adalah :

a. Bangga Terhadap Diri Sendiri

Individu yang resilien tahu bahwa mereka adalah seorang yang penting

dan merasa bangga akan siapakah mereka itu dan apapun yang mereka

lakukan atau akan dicapai. Individu itu tidak akan membiarkan orang lain

(34)

masalah dalam hidup, kepercayaan diri dan self esteem membantu mereka

untuk dapat bertahan dan mengatasi masalah tersebut.

b. Disayang dan Disukai Orang Lain

Individu yang resilien pasti mempunyai orang yang menyukai dan

mencintainya. Individu akan bersikap baik terhadap orang-orang yang

menyukai dan mencintainya. seseorang dapat mengatur sikap dan

perilakunya jika menghadapi respon-respon yang berbeda ketika berbicara

dengan orang lain.

c. Percaya Diri, Optimis dan Penuh Harap

Bagian yang lain adalah dipenuhi harapan, iman, dan kepercayaan.

Individu percaya ada harapan bagi mereka, serta orang lain dan institusi

yang dapat dipercaya. Individu merasakan mana yang benar maupun salah,

dan ingin ikut serta di dalamnya. Individu mempunyai kepercayaan diri

dan iman dalam moral dan kebaikan, serta dapat mengekspresikannya

sebagai kepercayaan terhadap Tuhan dan manusia yang mempunyai

spiritual yang lebih tinggi.

d. Memiliki Empati dan Peduli Terhadap Sesama

Individu yang resilien juga merasa bahwa mereka memiliki empati dan

sikap kepedulian yang tinggi terhadap sesama. Perasaan itu mereka

tunjukkan melalui sikap peduli mereka terhadap peristiwa yang terjadi

pada orang lain. Mereka juga merasakan ketidaknyamanan dan

penderitaan yang dirasakan oleh orang lain dan berusaha membantu untuk

(35)

e. Mampu Bertanggung Jawab Terhadap Perilaku Sendiri dan Menerima Konsekuensinya

Individu yang resilien dapat melakukan berbagai macam hal menurut

keinginan mereka dan menerima berbagai konsekuensi dan perilakunya.

Individu merasakan bahwa ia bisa mandiri dan bertanggung jawab atas hal

tersebut. Individu mengerti batasan kontrol mereka terhadap berbagai

kegiatan dan mengetahui saat orang lain bertanggung jawab.

3. I Can

I Can merupakan kemampuan individu untuk mengungkapkan

perasaan dan berpikir dalam berkomunikasi dengan orang lain,

memecahkan masalah dalam berbagai setting kehidupan (akademis,

pekerjaan, pribadi dan sosial) dan mengatur tingkah laku, serta

mendapatkan bantuan saat membutuhkannya. Beberapa sumber dalam

faktor ini yang dimiliki oleh remaja dan harus dikembangkannya adalah :

a. Mampu Mengungkapkan Pikiran dan Perasaan dalam Berkomunikasi

Individu tersebut juga memiliki kemampuan untuk berkomunikasi serta

memecahkan masalah dengan baik. Mereka mampu mengekspresikan

pikiran dan perasaan mereka dengan baik.

b. Menjalin Hubungan Yang Saling Mempercayai

Individu yang resilien mencari hubungan yang dapat di percaya dimana

individu dapat menemukan seseorang misalnya orang tua, saudara, teman

(36)

mencari cara terbaik untuk mendiskusikan dan menyelesaikan masalah

personal dan interpersonal.

c. Mampu Mengelola Perasaan

Individu yang resilien memiliki keterampilan berkomunikasi dimana

individu mampu mengekspresikan berbagai macam pikiran dan perasaan

kepada orang lain dan dapat mendengar apa yang orang lain katakan serta

merasakan perasaan orang lain.

d. Mampu Mengukur Temperamen Diri Sendiri dan Orang Lain

Individu yang resilien mampu mengukur temperamen diri sendiri dan

orang lain dimana individu memahami temperamen mereka sendiri

(bagaimana bertingkah, merangsang, dan mengambil resiko atau diam,

reflek dan berhati-hati) dan juga terhadap temperamen orang lain. Hal ini

menolong individu untuk mengetahui berapa lama waktu yang diperlukan

untuk berkomunikasi, membantu individu untuk mengetahui kecepatan

untuk bereaksi, dan berapa banyak individu mampu sukses dalam berbagai

situasi.

e. Mampu Memecahkan Masalah

Individu yang resilien memiliki kemampuan memecahkan masalah.

Individu dapat menilai suatu masalah secara alami serta mengetahui apa

yang mereka butuhkan agar dapat memecahkan masalah dan bantuan apa

yang mereka butuhkan dari orang lain. Individu dapat membicarakan

(37)

masalah yang paling tepat dan menyenangkan. Individu terus-menerus

bertahan dengan suatu masalah sampai masalah tersebut terpecahkan.

Resiliensi merupakan hasil kombinasi dari faktor-faktor I have, I am, dan I

can. Untuk menjadi seorang yang resilien tidak cukup hanya memiliki satu faktor

saja, melainkan harus ditopang oleh faktor-faktor lainnya (Desmita, 2005). Oleh

sebab itu, untuk menumbuhkan resiliensi remaja, ketiga faktor tersebut harus

saling berinteraksi satu sama lain, interaksi ketiga faktor tersebut sangat

dipengaruhi oleh kualitas lingkungan sosial dimana remaja hidup (Desmita,

2005).

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa resiliensi memiliki faktor

yang terdiri dari pemaknaan remaja terhadap besarnya dukungan yang diberikan

oleh lingkungan sosial terhadap dirinya (I Have), kekuatan yang terdapat dalam

diri seseorang, kekuatan tersebut meliputi perasaan, tingkah laku, dan

kepercayaan yang ada dalam dirinya (I Am), kemampuan individu untuk

melakukan hubungan sosial dan interpersonal (I Can). Dimana ketiga faktor

tersebut masing-masing memiliki sumber yang memberikan konstribusi pada

berbagai macam tindakan yang dapat meningkatkan potensi resiliensi. Individu

yang resilien tidak membutuhkan semua sumber-sumber dari setiap faktor, tetapi

apabila individu hanya memiliki satu faktor individu tersebut tidak dapat

dikatakan sebagai individu yang beresiliensi, misalnya individu yang mampu

berkomunikasi dengan baik (I Can) tetapi ia tidak mempunyai hubungan yang

dekat dengan orang lain (I Have) dan tidak dapat mencintai orang lain (I Am), ia

(38)

II.B. EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIL

II.B.1. Pengertian Eksploitasi Seksual Komersil

ILO-IPEC (dalam Suyanto, 2010) menjabarkan bahwa eksploitasi seksual

komersil adalah salah satu masalah kemanusiaan yang membutuhkan perhatian

serius karena dampaknya sangat merugikan dan membahayakan kelangsungan

serta masa depan remaja putri korban eksploitasi seksual komersil. Remaja putri

yang dilacurkan bukan saja rentan terhadap hinaan, penipuan dan marginaliasi,

tetapi juga banyak di antara mereka yang tidak dapat menikmati hak untuk

memperoleh pendidikan yang layak, serta tidak dapat memenuhi kebutuhan

dasarnya untuk berkembang secara sehat.

Eksploitasi seksual komersil adalah penggunaan seseorang untuk

tujuan-tujuan seksual guna mendapatkan uang, barang atau jasa kebaikan bagi pelaku

eksploitasi, perantara atau agen dan orang-orang lain yang mendapatkan

keuntungan dari eksploitasi seksual terhadap remaja yang menjadi korban

(ECPAT, 2006).

Eksploitasi seksual komersil merupakan sebuah pelanggaran mendasar

terhadap hak-hak anak yang beranjak dewasa. Pelanggaran tersebut terdiri dari

kekerasan seksual oleh orang dewasa dan pemberian imbalan dalam bentuk uang

tunai atau barang terhadap korban, atau orang ketiga, atau orang-orang lainnya.

Remaja yang menjadi korban eksploitasi tersebut diperlakukan sebagai sebuah

objek seksual dan sebagai objek komersial. Eksploitasi seksual komersial yang

(39)

terhadap remaja tersebut, dan mengarah pada bentuk-bentuk kerja paksa serta

perbudakan modern (ECPAT, 2008). Melalui eksploitasi seksual yang menimpa

remaja putri, remaja tersebut tidak hanya menjadi sebuah objek seks tetapi juga

sebuah komunitas yang membuatnya berbeda dalam hal intervensi (ECPAT,

2006).

ECPAT Internasional (2008) membagi eksploitasi seksual komersil

menjadi lima bentuk, yaitu :

1. Prostitusi, tindakan menawarkan pelayanan atau pelayanan langsung

seorang remaja putri untuk melakukan tindakan seksual demi

mendapatkan uang atau imbalan lain.

2. Pornografi, pertunjukan apapun atau dengan cara apa saja yang melibatkan

remaja putri di dalam aktivitas seksual yang nyata atau yang menampilkan

bagian tubuh remaja tersebut demi tujuan-tujuan seksual.

3. Perdagangan remaja putri untuk tujuan seksual, prose perekrutan,

pemindah-tanganan atau penampungan dn penerimaan remaja putri untuk

tujuan eksploitasi seksual.

4. Wisata seks, eksploitasi seksual komersil yang dilakukan oleh orang-orang

yang melakukan perjalanan dari suatu tempat ke tempat yang lain, dan di

tempat tersebut mereka berhubungan seks dengan para remaja putri.

5. Pernikahan dengan remaja berusia dibawah 18 tahun, memungkinkan

remaja tersebut menjadi korban eksploitasi seksual komersil, sebab tujuan

menikahi remaja tersebut untuk menjadikannya sebagai objek seks dan

(40)

Berdasarakan uraian diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa

eksploitasi seksual komersil adalah sebuah pelanggaran mendasar terhadap

hak-hak anak. Perbuatan itu terdiri dari kekerasan seksual oleh orang dewasa,

pemberian imbalan dalam bentuk uang tunai atau barang terhadap anak atau orang

ketiga yang menjadikan anak sebagai objek seksual dan sebagai objek komersial.

II.B.2. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Eksploitasi Seksual Komersil

Saptari (dalam Suyanto, 2010) menyebutkan ada tiga faktor yang

mempengaruhi remaja menjadi korban eksploitasi seksual komersil. Pertama,

karena keadaan ekonomi atau kondisi kemiskinan yang dialami remaja korban

eksploitasi seksual komersil. Kedua, karena pandangan tentang seksualitas yang

cenderung menekankan arti penting keperawanan sehingga tidak memberi

kesempatan bagi remaja yang sudah tidak perawan kecuali masuk kedalam peran

yang diciptakan untuk mereka. Ketiga, karena sistem paksaan dan kekerasan.

Selain karena faktor kemiskinan yang membelenggu, menurut Jones et al (dalam

Suyanto, 2010) ada faktor lain yang seperti kurangnya perhatian dari orang tua,

beberapa kepercayaan tradisional serta kehidupan urban yang konsumtif.

Ada banyak faktor yang memungkinkan terjadinya eksploitasi seksual

komersil pada remaja. Walaupu karakteristik setiap daerah tidak persis sama,

namun secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya eksploitasi

seksual komersil terbagi atas faktor pendorong dan faktor penarik. ECPAT (2008)

(41)

a. Faktor pendorong

1. Kondisi ekonomi khususnya kemiskinan di pedesaan yang diperberat oleh kebijakan pembangunan ekonomi dan penggerusan di sektor

pertanian

2. Perpindahan penduduk dari desa ke kota dengan pertumbuhan pusat-pusat industrian di perkotaan

3. Ketidaksetaraan gender dan praktek-praktek diskriminasi

4. Adanya tangung jawab anak yang sudah remaja untuk mendukung keluarga

5. Pergeseran dari perekonomian subsisten menjadi ekonomi berbasis pembayaran tunai

6. Peningkatan komsumerisme

7. Disintegrasi keluarga

8. Pertumbuhan jumlah anak gelandangan

b. Faktor penarik

1. Jaringan kriminal yang mengorganisir industri seks dan merekrut remaja put ri sebagai korban eksploitasi seksual

2. Pernikahan yang diatur dimana pengantin yang masih remaja terkadang akan dijual ke rumah bordil setelah menikah

3. Permintaan dari pekerja migran

(42)

Faktor lainnya yang mempengaruhi remaja terjerumus menjadi korban

eksploitasi seksual komersil adalah gaya berpacaran remaja yang tidak sehat,

berpacaran di luar batas hingga tidak perawan lagi atau dikecewakan pacar.

Sementra faktor lainnya adalah gaya hidup konsumerisme, yakni ingin mengikuti

gaya hidup mewah seperti punya telepon genggam (handphone) bagus, baju

bagus, dan sebagainya. Yang terakhir adalah pengaruh dari teman bergaul serta

pengaruh budaya dibeberapa daerah di Indonesia (ECPAT, 2008).

Berdasarkan uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa faktor-faktor

yang mempengaruhi terjadinya eksploitasi seksual komersil pada remaja putri

adalah disebabkan faktor ekonomi, faktor pergaulan bebas serta budaya.

II.B.3. Dampak Eksploitasi Seksual Komersil

Di berbagai komunitas, disadari bahwa eksploitasi seksual komersil adalah

sebuah masalah yang sulit untuk dihilangkan begitu saja, paling tidak ada akibat

yang kemungkinan besar akan menimpa remaja-remaja korban eksploitasi seksual

komersil jika dibiarkan larut dalam kondisi dan pekerjaan tersebut yang

sesungguhnya tidak pernah mereka sadari resiko dan bahayanya (Suyanto, 2010).

Eksploitasi seksual komersil dalam bentuk apapun sangat membahayakan hak-hak

seseorang untuk menikmati masa remaja mereka dan kemampuan mereka untuk

hidup produktif (ECPAT, 2006). Tindakan tersebut dapat mengakibatkan

dampak-dampak yang serius, seumur hidup, bahkan mengancam jiwa korban eksploitasi

seksual tersebut sehubungan dengan perkembang fisik, psikologis, spiritual,

(43)

Suyanto (2010) mengungkapkan beberapa dampak eksploitasi seksual

komersil pada remaja yaitu, karena remaja-remaja korban eksploitasi seksual

komersil itu masih berusia belia dan belum memiliki akses yang cukup terhadap

informasi-informasi tentang “reproduksi sehat”, maka sesungguhnya mereka

belum menggalami kematangan organ reproduksi. Mereka belum mengetahui

resiko dari hubungan seksual yang dilakukan secara bebas, sehingga kehamilan

dini dan penularan penyakit menular seksual (PMS) dengan seluruh implikasinya

dengan mudah akan menimpa remaja putri yang menjadi korban eksploitasi

seksual komersi. Tidak mustahil, remaja putri yang menjadi korban eksploitasi

seksual komersil akan mengandung seorang bayi yang tidak pernah dikehendaki,

dan kemuadian memilih untuk melakukan aborsi secara illegal dan jauh dari

syarat-syarat medis, sehingga bukan tidak mungkin akan mengancam nyawa

mereka sendiri.

Selanjutnya, remaja yang menjadi korban eksploitasi seksual komersil dan

terjerumus ke dalam dunia prostitusi, sering kali harus menanggung beban

psikologis yang berat berupa stigma dari masyarakat atas pekerjaan yang mereka

tekuni karena dinilai terkutuk, memalukan, tidak bermoral. Seorang remaja

korban eksploitasi seksual, sekalipun mungkin suatu saat mereka menyadari

resiko pekerjaannya atau berkat keajaiban berhasil melarikan diri dari cengkraman

germonya”, tidak mustahil suatu saat akan kembali sendiri ke bisnis syahwat ini

karena masyarakat sekitarnya cenderung menolak dan menjaga jarak dengan

mereka. Seorang remaja korban eksploitasi seksual komersil yang bermaksud

(44)

dan bahkan diisolasi karena khawatir dapat menyebarkan pengaruh buruk bagi

remaja-remaja putri lain disekitarnya. Dan yang terakhir, dalam berbagai kasus

remaja korban eksploitasi seksual komersil, tak jarang harus mengalami berbagai

tindak kekerasan seksual; mulai dari rayuan terselubung, penyekapan,

penganiayaan, dan berbagai bentuk tindak kekerasan lainnya.

Dari uraian diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa dampak

eksploitasi seksual komersil adalah remaja yang menjadi korbannya tidak hanya

mengalami dampak psikologis, namun korban eksploitasi rentan mengalami

kehamilan dan penyakit menular seksual, serta rentan mengalami kekerasan

seksual.

II.C. REMAJA

II.C.1. Pengertian Remaja

Istilah remaja atau adolescence berasal dari kata latin adolescere yang

berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”. Istilah tersebut mempunyai arti

yang lebih luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik

(Hurlock, 1980).

Piaget (dalam Hurlock, 1980) mengatakan bahwa secara psikologis masa

remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia

dimana anak tidak lagi merasa dibawah tingkat orang-orang yang lebih tua

melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam

(45)

Menurut Monks (1999) remaja adalah individu yang berusia antara 12-21

tahun yang sedang menjalani masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa

dewasa, dengan pembagian 12-15 tahun masa remaja awal, 15-18 tahun masa

remaja pertengahan dan 18-21 tahun masa remaja akhir. Hurlock mengatakan

bahwa masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa

dewasa, dimulai saat anak secara seksual matang dan berakhir saat ia mencapai

usia matang secara hukum.

Berdasarkan apa yang telah diuraikan diatas maka dapat ditarik

kesimpulan bahwa remaja adalah individu yang menjalani masa transisi dari masa

kanak-kanak ke masa dewasa, yang berlangsung antara umur 12 dan 21 tahun,

dengan pembagian 12-15 tahun adalah masa remaja awal, 15-18 tahun adalah

masa remaja pertengahan, dan 18-21 tahun adalah masa remaja akhir.

II.C.2. Ciri-ciri Remaja

Hurlock (1980) berpendapat, bahwa semua periode yang penting selama

masa kehidupan mempunyai karakteristiknya sendiri. Begitupun masa remaja

mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan periode masa

kanak-kanak dan dewasa. Ciri ciri tersebut antara lain :

a. Masa remaja sebagai periode yang penting

Masa remaja dipandang sebagai periode yang penting daripada periode

lain karena akibatnya yang langsung terhadap sikap dan perilaku, serta

akibat-akibat jangka panjangnya. Misalnya saja, perkembangan biologis

(46)

fisiologis yang cepat dan disertai percepatan perkembangan mental yang

cepat, terutama pada masa remaja awal. Semua perkembangan itu

menimbulkan perlunya penyesuaian mental dan perlunya membentuk

sikap, nilai, dan minat baru.

b. Masa remaja sebagai periode peralihan

Anak-anak yang beralih dari masa kanak-kanak ke masa dewasa haruslah

meninggalkan segala sesuatu yang bersifat kekanak-kanakan dan harus

mempelajari pola perilaku dan sikap baru untuk menggantikan perilaku

dan sikapnya pada masa yang sudah ditinggalkan. Meskipun disadari

bahwa apa yang telah terjadi akan meninggalkan bekasnya dan akan

mempengaruhi pola perilaku dan sikap baru. Pada masa peralihan ini

remaja bukan lagi seorang anak-anak dan juga bukan orang dewasa.

Namun, status remaja yang tidak jelas ini menguntungkan karena status ini

memberi waktu kepada remaja untuk mencoba gaya hidup yang berbeda

dan menentukan pola perilaku, nilai dan sifat yang paling sesuai bagi

dirinya.

c. Masa remaja sebagai periode perubahan

Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja

beriringan dengan tingkat perubahan fisik. Pada awal masa remaja, ketika

perubahan terjadi dengan pesat maka perubahan perilaku dan sikap juga

berlangsung cepat. Begitu pula jika perubahan fisik menurun maka

perubahan sikap dan perilaku menurun juga.

(47)

Setiap periode mempunyai masalahnya sendiri-sendiri, namun masalah

masa remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi baik oleh anak

laki-laki maupun anak perempuan, hal tersebut disebabkan karena sepanjang

masa kanak-kanak sebahagian besar masalah yang dihadapi oleh remaja

diselesaikan oleh orang tua dan guru, sehingga remaja tidak

berpengalaman dalam menghadapi masalah. Selain itu, remaja juga merasa

jika mereka sudah mandiri, sehingga mereka ingin mengatasi masalahnya

sendiri dan menolak bantuan orang lain.

e. Remaja sebagai masa pencarian identitas

Pencarían identitas dimulai pada akhir masa kanak-kanak, penyesuaian

diri dengan standars kelompok lebih penting dari pada bersikap

individualitas. Penyesuaian diri dengan kelompok pada remaja awal masih

tetap penting bagi anak laki-laki dan perempuan, namun lambat laun

mereka mulai mendambakan identitas diri dengan kata lain ingin menjadi

pribadi yang berbeda dengan orang lain.

f. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan

Stereotip populer pada masa remaja mempengaruhi konsep diri dan sikap

remaja terhadap dirinya sendiri, dan ini menimbulkan ketakutan pada

remaja. Remaja takut bila tidak dapat memenuhi tuntutan masyarakat dan

orang tuanya sendiri. Hal ini menimbulkan pertentangan dengan orang tua

sehingga membuat jarak bagi anak untuk meminta bantuan kepada orang

tua guna mengatasi pelbagai masalahnya.

(48)

Remaja pada masa ini melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana

yang ia inginkan dan bukan sebagaimana adanya, terlebih dalam hal

cita-cita. Semakin tidak realistik cita-citanya ia semakin menjadi marah.

Remaja akan sakit hati dan kecewa apabila orang lain mengecewakannya

atau kalau ia tidak berhasil mencapai tujuan yang ditetapkannya sendiri.

h. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa

Semakin mendekatnya usia kematangan, para remaja menjadi gelisah

untuk meninggalkan stereotip belasan tahun dan untuk memberikan kesan

bahwa mereka sudah hampir dewasa, remaja mulai memusatkan diri pada

perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa yaitu merokok, minum

minuman keras, menggunakan obat-obatan, dan terlibat dalam perbuatan

seks. Mereka menganggap bahwa perilaku ini akan memberi citra yang

mereka inginkan.

Berdasarkan uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa ciri-ciri masa

remaja adalah bahwa masa remaja adalah periode yang penting, periode peralihan,

periode perubahan, usia yng bermasalah, mencari identitas, yang usia yang

menimbulkan ketakutan, masa yang tidak realistik dan ambang masa kedewasaan.

II.C.3. Perkembangan Fisik dan Seksual Remaja

Perkembangan fisik remaja didahului dengan perubahan pubertas.

Pubertas ialah suatu periode dimana kematangan fisik dan seksual terjadi secara

pesat terutama pada awal masa remaja (Santrock, 2007). Menurut Susman &

(49)

bersamaan dengan dimulainya masa pubertas. Selain itu, Rogol, Roemmich &

Clark (dalam Santrock, 2007) mengemukakan bahwa pada puncak pertambahan

berat tubuh, berat tubuh remaja putri bertambah rata-rata 18 pon setiap tahunnya

di usia sekitar 12 tahun (kurang lebih enam bulan setelah dimulaimya laju

pertumbuhan tinggi tubuh).

Susman & Rogol (dalam Santrock, 2007) menyatakan bahwa disamping

meningkatnya tinggi dan berat tubuh pada remaja putri, masa pubertas juga

menimbulkan perubahan pada lebar pinggul dan bahu. Proses melebarnya pinggul

pada remaja putri berkaitan dengan meningkatnya hormone estrogen, selain itu

wajah remaja putri menjadi lebih bulat dan lembut.

Urutan perubahan fisik pada remaja putri dimulai dengan membesarnya

payudara atau tumbuh rambut dikemaluan. Selanjutnya, pertumbuhan rambut

diketiak. Seiring dengan perubahan ini, tubuh remaja putri akan bertambah tinggi,

dan pinggulnya berkembang menjadi lebih lebar dibandingkan bahunya

(Santrock, 2007).

Menstruasi pertama (menarche) pada remaja putri, terjadi diakhir siklus

pubertas. Awalnya, siklus menstruasi berlangsung secara tidak teratur dan selama

beberapa tahun pertama, hal itu disebabkan remaja putri mungkin tidak

mengalami ovulasi di setiap siklus. Remaja putri tidak mengalami perubahan

suara seperti yang dialami oleh remaja laki-laki, namun remaja putri memiliki

payudara yang lebih penuh di akhir masa pubertasnya (Santrock, 2007). Galambos

(50)

aspek-aspek seksual dari sikap dan perilaku. Ketika tubuh dialiri oleh hormon, maka

remaja putri mulai berperilaku feminim.

Pada masa ini, kehidupan remaja mulai dipenuhi oleh hal-hal yang berbau

seksualitas, dimana masa remaja merupakan masa eksplorasi seksual dan

mengintegrasikan seksualitas ke dalam identitas seseorang. Kebanyakan remaja

memiliki rasa ingin tahu yang tidak ada habis-habisnya mengenai seksualitas

(Santrock, 2007). Proses tersebut berlangsung cukup lama dan melibatkan proses

belajar untuk mengelola perasaan-perasaan seksual, seperti gairah seksual dan

perasaan tertarik, mengembangkan bentuk intimasi yang baru, dan mempelajari

keterampilan perilaku seksual untuk menghindari konsekuensi-konsekuensi yang

tidak diinginkan (Santrock, 2007).

Seiring dengan perkembangan seksual yang dialami oleh remaja, mereka

juga mulai mengembangkan identitas seksualnya yang melibatkan lebih dari

sekedar perilaku seksual, identitas seksual muncul dalam konteks faktor-faktor

fisik, faktor sosial, dan faktor budaya, di mana sebagian besar masyarakat

cenderung memberikan batasan-batasan terhadap perilaku seksual remaja

(Santrock, 2007). Micheal dkk (dalam Santrock, 2007) mengungkapkan bahwa

remaja putri belajar untuk mengaitkan hubungan seksual dengan cinta, mereka

sering kali merasionalisasikan perilaku seksualnya dengan mengatakan bahwa

mereka terbawa oleh gairah sesat. Hyde & DeLameter (dalam Santrock, 2007)

menjelaskan jika jatuh cinta menjadi penyebab utama remaja putri menjadi aktif

secara seksual. Alasannya lain yang menyebabkan remaja putri aktif secara

(51)

merupakan suatu cara agar dapat memperolah pacar, rasa ingin tahu, serta hasrat

seksual yang tidak berkaitan dengan cinta dan kepedulian.

Sehubungan dengan perkembangan seksual yang dialami remaja putri,

menurut Santelli (dalam Santrock, 2007) kebanyakan remaja yang aktif secara

seksual memiliki resiko untuk mengalami masalah seksual dan

masalah-masalah lainnya ketika mereka sudah melakukan hubungan seksual sebelum

berusia 16 tahun. Buhrmester (dalam Santrock, 2007) mengungkapkan bahwa

keterlibatan seksual pada remaja putri di masa remaja berkaitan dengan harga diri

yang rendah, tingkat depresi yang lebih besar, tingkat aktivitas seksual yang lebih

besar, dan nilai yang rendah di sekolah. Selain itu, Huebner & Howell; Swenson

& Prelow (dalam Santrock, 2007) menjabarkan bahwa faktor-faktor resiko untuk

masalah seksual pada remaja meliputi faktor-faktor kontekstual seperti status

sosial ekonomi (SES) dan lingkungan keluarga atau pola pengasuhan.

Berdasarkan uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa perkembangan

fisik dan seksual remaja adalah perubahan yang terjadi pada fisik dan organ-organ

reproduksi pada remaja baik perempuan maupun laki-laki, yang mempengaruhi

pola perilaku seksual remaja tersebut.

II.C.4. Perkembangan Sosial Remaja

II.C.4.a. Perkembangan Hubungan Dengan Teman Sebaya

Selama masa remaja terjadi perubahan-perubahan yang dramatis, baik

dalam segi fisik maupun kognitif. Perubahan-perubahan tersebut, ternyata

(52)

sendiri (Desmita, 2005). Perkembangan sosial pada remaja merupakan salah satu

tugas yang paling sulit, karena hal tersebut berhubungan dengan penyesuaian

sosial mereka. Remaja juga harus menyesuaikan diri dengan lawan jenis dalam

hubungan yang sebelumnya belum pernah ada dan harus menyesuaikan diri

dengan orang dewasa diluar lingkungan keluarga dan sekolah. Untuk mencapai

tujuan dari pola sosialisasi dewasa, remaja juga harus membuat banyak

penyesuaian baru yaitu penyesuaian diri dengan pengaruh kelompok sebaya,

perubahan dalam perilaku sosial, nilai-nilai baru dalam seleksi persahabatan,

nilai-nilai baru dalam dukungan dan penolakan sosial serta nilai-nilai baru dalam

seleksi pemimpin (Hurlock, 1980).

Perkembangan sosial berarti perolehan kemampuan berperilaku yang

sesuai dengan tuntutan sosial. Menjadi orang yang mampu bersosialisasi

(sozialed), memerlukan tiga proses. Dimana masing-masing proses tersebut

terpisah dan sangat berbeda satu sama lain, tetapi saling berkaitan, sehingga

kegagalan dalam satu proses akan menurunkan kadar sosialisasi individu.

Menurut Hurlock (1980) tiga proses dalam perkembangan sosial adalah sebagai

berikut :

1. Berperilaku dapat diterima secara sosial

Setiap kelompok sosial mempunyai standar bagi para anggotanya tentang

perilaku yang dapat diterima. Untuk dapat bersosialisasi, seseorang tidak

hanya harus mengetahui perilaku yang dapat diterima, tetapi mereka juga

harus menyesuaikan prilakunya sehingga ia bisa diterima sebagain dari

Gambar

Gambaran Resiliensi Remaja Putri Korban Eksploitasi Seksual Komersil
Tabel 1.
Tabel 2. Deskripsi Data Responden I
Tabel 3. Interpretasi Intra Subjek
+5

Referensi

Dokumen terkait

,p.54- 65 通常, 様々な外科的手術の後は集中治療室にて患者の経過観察を行う。その際, 少数の患者は急性腎障害acute kidney injury

– (seventy two billion, one hundred thirty three million, nine hundred eight thousand and four hundred Rupiah) as cash dividends of Rupiah 5 (five Rupiah) per share to

Menurut Peneliti Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh diperngaruhi oleh gejala penurunan nafsu makan pada klien karena nutrisi merupakan kesehatan

Dengan surat ini saya menyatakan bahwa, saya bersedia/tidak bersedia* untuk menjadi responden dalam penelitian dengan judul “ Hubungan Tugas Keluarga Denga

(Učenje Spenglera o ciklusima koji se ponavljaju realizirat će se, na primjer, u strukturi cirkusa s više arena.) Upravo zato su prikazi cirkuskih siţea u umjetnosti često

[r]

[r]

Rangkaian Pengendali Seven Segment adalah rangkaian interface menggunakan port paralel melalui konektor DB25, sehingga Rangkaian dapat dikontrol melalui komputer secara