GAMBARAN RESILIENSI REMAJA PUTRI KORBAN
EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIL
(PROSTITUSI)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Ujian Sarjana Psikologi
Disusun Oleh :
Indah R Sebayang
071301109
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan
sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul :
Gambaran Resiliensi Remaja Putri Korban Eksploitasi Seksual Komersil (Prostitusi)
Adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah di ajukan untuk memperoleh
gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.
Adapun bagian-bagian tertentu dalanm penulisan skripsi ini yang saya
kutip dari hasil karya orang lain telah di tulis sumbernya secara jelas sesuai
dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.
Apabila di kemudian hari di temukan adanya kecurangan di dalam skripsi
ini, saya bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang
dan sanksi-sanksi lainnya yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Medan, Maret 2012
Indah Rasulinta Sebayang
Especially Dedicated to :
Setiap tetesan keringat, air mata, cinta dan kasih sayang serta pengorbanan
dan pelajaran hidup yang di berikan papi dan mami kepadaku..
Kak Sigit yang dahulu selalu memberikan semangat serta pelajaran dan
makna hidup..
Setiap remaja di luasnya dunia yang pernah menjadi korban kerakusan
KATA PENGANTAR
Segala pujian, hormat, serta syukur penulis persembahkan bagis Yesus
Kristus, My Saviour... Atas anugrah-Nya yang melimpah sehingga penulis di beri
kekuatan untuk dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Gambaran Resiliensi
Remaja Putri Korban Eksploitasi Seksual Komersil (Prostitusi)”. To God be
Glory..
Rasa syukur tidak henti-hentinya penulis panjatkan karena kasihnya-Nya
yang begitu besar telah menghadirkan orang-orang terkasih untuk memberikan
bimbingan, dukungan serta kasih sayang sehingga menjadi berkat bagi penulis,
yaitu :
1. Prof. Dr. Irma Wati, psikolog, selaku Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Sumatera Utara
2. Elvi Andriani Yusuf, M. Si, psikolog, selaku dosen pembimbing utama
yang selalu mengarahkan, membimbing dan memberikan semangat kepada
penulis dalam proses penyusunan skripsi ini.
3. Rahma Yuliarni, M. Psi, selaku dosen pembimbing pendamping yang
selalu memberikan bimbingan serta arahan kepada penulis.
4. Meutia Nauly, M. Si, selaku dosen pembimbing pendamping yang selalu
meluangkan waktu untuk penulis serta selalu memberikan arahan dan
masukan kepada penulis.
5. Eka Danta Ginting, MA, selaku Kepala Program Studi S1 yang juga selalu
6. Etty Rahmawati, M. Si, selaku dosen pembimbing akademik yang telah
memberikan bimbingan dan semangat kepada penulis selama menjalani
perkuliahan di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.
7. Dosen-dosen Fakultas Psikologi yang telah membagikan segala ilmu
pengetahuan, dan pengalaman kepada penulis.
8. Seluruh staff tata usaha, administrasi, dan perpustakaan Fakultas Psikologi
Universitas Sumatera Utara, yang telah melancarkan segala urusan
administrasi penulis.
9. Kedua orangtuaku.. terima kasih papi, mami.. Atas dukungan serta doanya
untukku selama ini. Terima kasih untuk segala doa, dukungan dan
pengertiannya.. I Love You so much....
10.Adik bungsuku yang selalu bersedia menemaniku, mengantarkanku serta
membantuku selama proses pengambilan data skripsi.. Thank’s my broda..
Firman A Sebayang. Mentari Kristine Natalia Tambunan, thank’s untuk
waktunya menemaniku mengerjakan serta memeriksa segala kelengkapan
data skripsiku selama ini. Berliana Wulandari Tambunan dan Rona Uli
Sitorus.. hayoolah lekas nyusul biar sama-sama sarjana cucu nenek
11.Seluruh keluarga di Pekanbaru, nenek, tulang Ronald Salmon Hutabarat,
ST dan nantulang Wati Purba. Tulang Saut Hutabarat dan nantulang Riska,
bibi cantik, Ida Purnama, S. Pd terima kasih atas dukungan serta doanya
supaya Indah mampu menyelesaikan skripsi Indah. Kedua jagoan kecil,
12.Abang-abangku.. Navarro Sebayang, SH dan Alex Sebayang, SH, Yos
Arnold, SH, Briptu Amir Hamzah, Briptu Aulia Rahman, Briptu Kristian
Surbakti. Terima kasih atas cerita-cerita lucunya selama ini. And my little
son, Rajata Sebayang, jangan bosan meluk bibi cantik ya sayang..
13.Hendarjat Hambali, M. Psi, terima kasih untuk semangat, doa serta
keyakinan dan waktu yang di berikan kepada penulis selama ini hingga
penulis menyelesaikan skripsi ini.
14.Kompol Sigit Hariadi, SIK, thank’s atas segala dukungan, waktu, nasihat,
perhatian, kasih sayang, materi, respon positif, serta pelukan hangat saat
aku membutuhkan itu semua. Tak ada yang mampu mengantikan itu.
Tetaplah menjadi kakak sejati untukku. AKP I Gede Putra, SIK, terima
kasih atas waktu serta nasihatnya selama Ninda mengerjakan skripsi
Ninda.
15.Ucapan spesial kupersembahkan kepada IPTU Gokma Uliate Sitompul,
SH, yang selalu menyediakan waktu, perhatian, serta mengingatkan aku
agar tekun mengerjakan skripsiku, walau terkadang itu menjengkelkan.
Love You my sweetheart. Tetaplah sabar mendampingiku.
16.Seluruh teman-teman psikologi yang aku sayangi, Christy Ruth
Nainggolan, S. Psi, Ikbal Sutan, S. Psi, Rayes Simanullang, S. Psi,
Chairunnisa Aprilia, S. Psi, Agus Manurung, Roimer Sitorus, Imelvi Putri,
Nuru Hasanah, terima kasih sudah menyediakan waktu untukku, untuk
17.Kepada seluruh staff Pusat Kajian dan Perlindungan Anak Medan, terima
kasih untuk semua bantuannya selama penulis mengerjakan skripsi
penulis.
18.Kedua responden penelitian penulis serta keluarganya yang mau
meluangkan waktu serta mau membagi pengalaman kepada penulis
sehinggga penulis mendapat pelajaran hidup yang berharga.
19.Segenap pihak yang telah membantu penulis dan tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu, terima kasih atas bantuannnya selama ini hinggar
penulis mampu menyelesaikan tugas akhir penulis.
Akhirnya dengan segenap kesadaran bahwa penulisan karya ini jauh dari
kesempurnaan. Maka, kritik dan saran senantiasa penulis nantikan untuk
perbaikan. Akhir kata semoga karya ini bisa memberi manfaat bagi penulis
khususnya dan pembaca umumnya.
Medan, Maret 2012
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...i
DAFTAR ISI...iii
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG... ...1
B. RUMUSAN MASALAH...12
C. TUJUAN PENELITIAN...12
D. MANFAAT PENELITIAN...12
E. SISTEMATIKA PENULISAN...14
BAB II LANDASAN TEORI A. RESILIENSI...16
1. PENGERTIAN RESILIENSI...16
2. KARAKTERISTIK RESILIENSI...17
3. FAKTOR RESILIENSI...19
B. EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIL...26
1. PENGERTIAN EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIL...26
2. FAKTOR-FAKTOR EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIL...28
3. DAMPAK EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIL...30
C. REMAJA...33
1. PENGERTIAN REMAJA...33
3. PERKEMBANGAN FISIK DAN SEKSUAL REMAJA...37
4. PERKEMBANGAN SOSIAL REMAJA...40
D. RESILIENSI REMAJA PUTRI KORBAN EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIL...46
BAB III METODE PENELITIAN A. METODE PENELITIAN...50
B. METODE PENGUMPULAN DATA...51
C. RESPONDEN PENELITIAN...51
1. KARAKTERISTIK RESPONDEN...51
2. JUMLAH RESPONDEN...52
3. PROSEDUR PENGAMBILAN RESPONDEN...53
4. LOKASI PENELITIAN...53
D. TEKNIK PENGAMBILAN DATA...53
E. ALAT PENGUMPULAN DATA...55
F. PROSEDUR PENELITIAN...56
1. TAHAP PERSIAPAN...56
2. TAHAP PELAKSANAAN...58
3. TAHAP PENCATATAN DATA...60
G. TEKNIK DAN PROSEDUR ANALISA DATA...61
H. KREDIBILITAS PENELITIAN...64
1. ANALISA DAN INTERPRETASI RESPONDEN I...76
B. DESKRIPSI DATA RESPONDEN II...143
1. ANALISA DAN INTERPRETASI RESPONDEN II...153
C. DISKUSI...222
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN...253
B. SARAN...258
1. SARAN PRAKTIS...258
2. SARAN PENELITIAN SELANJUTNYA...259
DAFTAR PUSTKA...261
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Jadwal Pelaksaan Wawancara... ...66
Tabel 2 Deskripsi Data Responden I...67
Tabel 3 Interpretasi Responden I...124
Tabel 4 Gambaran Resiliensi Responden I...142
Tabel 5 Deskripsi Data Responden II...143
Tabel 6 Interpertasi Responden II...205
BAB I
PENDAHULUAN
I.A. Latar Belakang
Remaja merupakan periode kehidupan yang unik, karena saat itu terjadi
perubahan yang amat kompleks, diantaranya perubahan fisik, emosional, kognitif,
perubahan pertumbuhan dan perkembangan sosial yang menjembatani antara
masa kanak-kanak menuju masa dewasa (Santrock, 2007).
Secara umum, periode remaja merupakan klimaks dari periode-periode
perkembangan sebelumnya, sehingga dalam periode selanjutnya individu telah
menpunyai suatu pola pribadi yang lebih baik. Masalah-masalah sehubungan
dengan perkembangan fisik pada periode pubertas masih terus berlanjut, tetapi
pada akhirnya mereda saat individu memasuki masa dewasa. Bagi sebagian besar
orang, memasuki usia remaja tidaklah mudah. Hall (dalam Santrock, 2007),
menyebutkan bahwa masa remaja adalah masa storm and stress, karena pada
masa ini muncul gejolak emosi yang penuh dengan ketidakseimbangan.
Remaja juga mulai mengalami kematangan fisik yang ditandai dengan
mulai matangnyanya organ-organ seksual, dalam arti organ-organ seksualnya
sudah dapat berfungsi sepenuhnya untuk mengembangkan keturunan. Pada remaja
putri ditandai dengan menstruasi yang pertama, sedangkan pada remaja pria
Matangnya organ-organ seksual pada remaja akan mengakibatkan
munculnya dorongan-dorongan seksual (Santrock, 2007). Problem tentang seksual
pada remaja adalah berkisar masalah bagaimana mengendalikan dorongan
seksual, konflik antara mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh
dilakukan, adanya "ketidaknormalan" yang dialaminya berkaitan dengan
organ-organ reproduksinya, pelecehan seksual, homoseksual, kehamilan dan aborsi
(Hurlock, 1980).
Dalam masa ini juga, remaja mulai mengalami ketertarikan terhadap lawan
jenis disertai dorongan seksual, hal yang sifatnya kodrati dialami oleh remaja.
Remaja pun mulai ingin berkenalan, bergaul dengan teman-temannya dari jenis
kelamin lain, dan mengenal pacaran (Santrock, 2007). Dalam kondisi demikian,
remaja merupakan sosok yang mudah untuk terjerumus kedalam situasi yang
kurang menguntungkan bagi remaja sendiri. Salah satunya adalah ketika remaja
terjebak dunia seks bebas dan kemudian menjadi korban eksploitasi seksual
komersil dan terjebak kedalam dunia prostitusi (Santrock, 2007).
Dewasa ini salah satu isu yang mencemaskan dan sepakat untuk segera
ditangani adalah perdagangan perempuan dan anak sektor ekploitasi seksual
komersil (ECPAT, 2006). Remaja di Indonesia, ternyata menjadi makanan empuk
bagi sebagian “pemangsa-pemangsa” remaja khususnya remaja putri. Mereka
diperjualbelikan atau malah dijadikan pelacur oleh orang-orang yang ingin
ILO-IPEC (dalam Suyanto, 2010) mengatakan remaja yang menjadi
korbannya sesungguhnya membutuhkan perhatian serius karena memiliki dampak
yang sangat merugikan dan membahayakan kelangsungan serta masa depan
korban eksploitasi seksual itu sendiri. Remaja yang menjadi korban eksploitasi
seksual bukan saja rentan terhadap hinaan, penipuan dan marginalisasi, tetapi juga
banyak di antara mereka yang tidak dapat menikmati hak untuk memperoleh
pendidikan yang layak, serta tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya untuk
berkembang secara sehat.
Fenomena eksploitasi seksual komersil tersebut tidak hanya menimpa
remaja dengan ekonomi rendah, namun juga banyak dialami oleh remaja yang
berstatus sosial tinggi (Suyanto, 2010). Dalam masyarakat luas istilah eksploitasi
seksual mungkin belum banyak didengar atau malah belum dipahami dengan
baik, walaupun sebenarnya kasus-kasus yang terkait dengan masalah tersebut
sudah banyak ditemui baik lewat media cetak ataupun media elektronik, berikut
ini adalah salah satu kasus eskploitasi seksual komersil yang dimuat dimedia
cetak.
“Pada bulan Juni 2008, Mawar, seorang gadis usia 15 tahun asal Lampung, Indonesia, diculik dan diperdagangkan ke Malaysia dan dipaksa untuk menjadi seorang pekerja seks. Keperawanannya dijual seharga 5.000 Ringgit (sekitar 15 juta rupiah) oleh seorang germo. Dua dari pelaku trafiking tersebut, yaitu Nurdin dan Chong Kum telah ditangkap dan dijatuhi hukuman penjara selama 15 tahun”.
(Kompas, 10 February 2009).
Deputi Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan, Emy
komersil masih menjadi masalah serius di Indonesia, terutama di daerah
perbatasan, daerah perdagangan, dan daerah pariwisata. Remaja terutama remaja
putri yang berusia 13-18 tahun kerap menjadi obyek perdagangan manusia untuk
tujuan eksploitasi seksual komersial.
Hal ini senada dengan sebuah penelitian yang telah dilakukan oleh
ILO-IPEC (dalam Suyanto, 2010), berhasil mengidentifikasi bahwa rata-rata usia anak
yang dilacurkan di sektor eksploitasi seksual komersil adalah 10-12 tahun, yang
sebelumnya sama sekali belum mengenal seks karena usia mereka yang masih
belia, tetapi dipaksa oleh germo, calo, atau diperdaya mafia pelacuran untuk
bekerja sebagai PSK (Jurnal Perempuan, dalam Suyanto, 2010). Studi lainnya
yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian Unair bekerjasama dengan Dinas Sosial
dan Pemberdayaan Perempuan Kota Surabaya (dalam Suyanto, 2010),
menemukan bahwa 2,2% responden dari 200 responden yang diwawancarai
ternyata pertama kali dilacurkan pada saat mereka masih berusia 7 tahun.
Responden lainnya mengaku pertama kali dilacurkan pada saat berusia 14 tahun
(10,9%), 15 tahun (32, 6%), dan sebagian besar di usia 16 tahun (45, 7%).
Di Sumatera Utara, menurut catatan resmi Dinas Sosial diketahui ada 281
anak perempuan yang terpaksa bekerja sebagai PSK. Jumlah ini belum termasuk
PSK anak yang banyak beroperasi di diskotik atau pub yang jumlahnya
diperkirakan mencapai 500 orang. Menurut Achmad Sofian (dalam Suyanto,
2010), dari Pusat Kajian dan Perlindungan Anak Medan, mekanisme yang
bujuk rayu atau penipuan, tetapi tak jarang dengan cara penyekapan dan ancaman
kekerasan fisik.
Sementara itu fenomena eksploitasi seksual komersil itu sendiri sudah
lama menjadi fenomena yang menyedihkan, bahkan sudah tercatat sejak tahun
1979-an. Sofian dan Rinaldi (dalam Suyanto, 2010) menyebutkan bahwa lebih
dari 200 ABG dijadikan pelacur dihotel GM Tanjung Balai. Belakangan sudah
mulai bermunculan pula istilah-istilah baru yang menjurus pada dunia esek-esek,
baik yang melibatkan orang dewasa maupun anak-anak.
Banyak faktor yang menyebabkan remaja tetap bertahan melakoni
profesinya sebagai pelacur, Saptari (dalam Suyanto, 2010) menyebutkan paling
tidak ada tiga faktor yang menyebabkan seorang remaja yang menjadi korban
eksploitasi tetap bertahan menjadi pelacur. Pertama, karena keadaan ekonomi atau
kondisi kemiskinan. Kedua, karena pandangan tentang seksualitas yang cenderung
menekankan arti penting keperawanan sehingga tidak memberi kesempatan bagi
perempuan yang sudah tidak perawan kecuali masuk kedalam peran yang
diciptakan untuk mereka. Ketiga, karena system paksaan dan kekerasan.
Dikota Medan, faktor yang menjadi penyebab remaja menjadi korban
eksploitasi seksual komersil adalah gaya berpacaran remaja yang tidak sehat,
berpacaran di luar batas hingga tidak perawan lagi atau dikecewakan pacar. Faktor
lainnya adalah gaya hidup konsumerisme, yakni ingin mengikuti gaya hidup
sebagainya, yang terakhir adalah pengaruh dari teman bergaul (ECPAT, 2008).
Hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh Anis (18 tahun) :
“Pertama aku tau kek-kek gini ni tahun 2006. Aku diajak sama kawan genk aku di sekolah untuk ikut mereka ke diskotik untuk dugemlah. Teros, aku mabuk kak, kan gak sadar aku, teros disitulah kawan-kawan aku nawarin aku ke tamu diskotik tuh. Untuk “dipakek”, kata mereka. Besoknya pas aku bangun tidor, aku liat berapa lembar uang ratusan didekat aku. Sampe sekarang aku masih gituan terus sambil sembunyi-sembunyi, karna bujukan kawan-kawan aku sama karna masalah ekonomi. (Komunikasi personal, 21 Februari 2011).
Remaja yang menjadi korban eksploitasi seksual komersil dan terjerumus
ke dalam dunia prostitusi akan sulit untuk keluar dari kondisi tersebut. Tak jarang
ketika menghadapi kondisi sulit itu banyak remaja yang mengalami trauma
psikologis ketika remaja menyadari dirinya telah menjadi korban eksploitasi
seksual komersil (Suyanto, 2010). Hal itu muncul karena remaja mengalami
peristiwa yang menimbulkan reaksi stress traumatik. individu mengalami stres
traumatik karena mengalami suatu pengalaman mental yang luar biasa
menyakitkan, melampaui ambang kemampun rata-rata orang untuk
menanggungnya, sehingga mengakibatkan perubahan drastis dalam kehidupan
seseorang, mengubah persepsi terhadap kehidupannya, mengubah perilaku
seseorang, dan emosi seseorang (Yoga, dalam Sulistyaningsih, 2009). Dampak
traumatis remaja yang mengalami eksploitasi seksual komersil tersebut tergambar
dari hasil wawancara :
tertekannnya aku kak, kaya najis gitu aku diliatin orang-orang dekat sini. Padahal aku pun gak mau jadi kayak gitu.”
(Komunikasi Personal, 30 Februari 2011).
Trauma psikologis yang dialami oleh remaja yang menjadi korban
eksploitasi seksual komersil tersebut memiliki dampak yang merugikan kesehatan
mental karena menurunkan fungsi fisik, emosi, pikiran, dan hubungan
interpersonal pada remaja itu sendiri (Suyanto, 2010). Untuk bisa pulih kembali
biasanya diperlukan waktu sekitar 6 hingga 16 bulan dan berapa lama waktu yang
diperlukan seorang remaja tergantung pada karakteristik individu dan sifat
peristiwa traumatik yang dialami. Namun pada sebagian orang stress traumatik
yang berat dapat berlangsung selama bertahun-tahun bahkan dapat berlanjut
menjadi gangguan yang lebih berat (Sulistyaningsih, 2009).
“lama jugak lah dulu aku gak mau keluar rumah, duh dah macam orang gilaklah kak, mana tetanggaku omongannya bikin pedih kuping. Disuruh ibuk lah aku sholat kak, dzikir. Pertama-tama gak ku buat, mana ada guna pikirku kak, dah jerit-jerit ajalah aku dulu kak, udah hampir dibawa ke RSJ, pokoknya sampe hari ni aku masih ingat-ingat itu terus. Tapi setelah setahun, setelah pindah rumah barulah aku bisa agak gak kayakorang gilak lagi kak.”
(Komunikasi Personal, 30 Februari, 2011).
Untuk mengatasi trauma yang dialaminya, remaja menggunakan berbagai
macam pilihan. Ada individu yang mampu bertahan kemudian pulih dari situasi
traumatis tersebut secara efektif, namun ada pula individu lain yang gagal karena
tidak berhasil keluar dari situasi yang tidak menguntungkan. Tugade & Fredrikson
(dalam Rezki Rahayu, 2008) mengungkapkan kemampuan untuk melanjutkan
hidup setelah mengalami hal yang tidak menyenangkan menggambarkan adanya
Menurut Sulistyaningsih (2009) resiliensi individu muncul ketika individu
berhasil mengatasi kesulitan hidup (adversity). Bagaimana individu tersebut
menghadapi permasalahan dirinya sebagai korban sebuah tragedi dipengaruhi oleh
bagaimana dirinya menyikapi kesulitan yang dihadapinya dengan segala
kelebihan dan keterbatasannya.
Ketika individu menghadapi kesulitan akan menampilkan beberapa reaksi
yang berbeda (Siebert, dalam Nurfadilah, 2006). Ada remaja yang menggunakan
cara-cara negatif ketika tidak tahan menjadi korban eksploitasi seksual komersil,
misalnya dengan luapan amarah secara verbal dan disertai dengan tindakan untuk
menyakiti dirinya sendiri. Remaja tersebut menjadi tidak berdaya untuk
melakukan coping dengan apa yang telah dialaminya. Selain itu, ada pula remaja
yang cenderung melihat dirinya sebagai korban dan menempatkan orang lain
sebagai penyebab “hancurnya” hidup mereka sehingga perasaan dan pikiran
mereka cenderung negatif. Namun, ada juga individu yang dengan cepat berupaya
untuk mengatasi peristiwa traumatis tersebut dan kembali kepada realita yang
dihadapinya, tetap berkarya dengan kekuatan dan keterbatasan yang mereka miliki
dalam kondisi sulit, yang membuat meraka menjadi lebuh kuat, dan lebih baik
dari sebelumnya (Sulistyaningsih, 2009).
Proses resiliensi itu sendiri, dimulai ketika individu pada usia berapa pun
mengalami kesulitan hidup, ia memiliki faktor-faktor pelindung (protective
factors) yang dapat melindunginya terhadap dampak negatif. Individu tersebut
mampu mengatasi kesulitan hidup tanpa mengalami gangguan apabila ia memiliki
berada dalam keseimbangan, apabila dengan segala kekuatan emosi dan
mekanisme coping yang sehat berusaha mengatasi kesulitan hidupnya. Tanpa
perlindungan yang cukup, individu akan menuju proses gangguan psikologis,
disebabkan ketidakmampuan atau coping mengatasi masalah tersebut
(Sulistyaningsih, 2009).
Dalam proses resiliensi terdapat dua hal penting yakni, kesulitan hidup
tidak secara otomatis mengakibatkan disfungsi, tetapi sebaliknya justru dapat
menghasilkan sejumlah pencapaian bagi individu yang mengalaminya. Selain itu
reaksi terhadap kesulitan hidup yang pada awalnya bersifat disfungsional, lama
kelamaan dapat membaik. Dengan kata lain, resiliensi merupakan proses adaptasi
yang diawali dengan adanya stress dapat membuka kemungkinan terjadinya
perubahan pribadi menuju pada suatu yang lebih baik (Sulistyaningsih, 2009)
Benard (dalam Rezki Rahayu, 2008) menjelaskan lebih jauh bahwa
kapasitas resiliensi ini ada pada setiap orang. Artinya, kita semua lahir dengan
kemampuan untuk dapat bertahan dari penderitaan, kekecewaan, atau tantangan.
Menurut Grotberg (2000), upaya mengatasi kondisi-kondisi yang tidak
menyenangkan tersebut dan mengembangkan resiliensi, sangat bergantung pada
pemberdayaan tiga faktor dalam diri individu, yaitu I have (Aku punya) termasuk
didalamnya hubungan yang dilandasi oleh kepercayaan penuh, dorongan untuk
mandiri; I am (Aku ini) termasuk didalamnya disayang dan disukai oleh banyak
orang, bangga dengan diri sendiri, mencintai, empati, dan kepedulian pada orang
masalah, menjalin hubungan-hubungan yang saling mempercayai. Interaksi ketiga
faktor tersebut juga mempengaruhi lamanya proses resiliensi seseorang.
Seperti yang sudah diungkapkan di atas setiap orang memiliki kapasitas
resiliensi dalam dirinya. Begitu juga dengan remaja putri yang menjadi korban
eksploitasi seksual komersil, yang telah berhasil keluar dari dari masalah tersebut,
namun masyarakat akan cenderung memberikan label negative kepada remaja
yang menjadi korban eksploitasi seksual tersebut. Selain itu remaja korban
eksploitasi seksual mengalami pengabaian hak yang dilakukan oleh orang dewasa
demi kepentingan nista dari orang dewasa tersebut. Remaja yang menjadi korban
eksploitasi seksual tersebut merupakan individu yang tak berdaya dan tak mampu
menolak paksaan, deraan dan trauma dari orang dewasa (Suyanto, 2001).
Eksploitasi seksual komersil yang dialami remaja putri dapat membuat
remaja korbannya menjadi terpuruk dan mengalami kerugian, namun dapat
memberikan keuntungan kepada pelaku eksploitasi seksual. Dengan
menggunakan power yang dimiliki pelaku eksploitasi, mereka bisa melakukan
eksploitasi terhadap remaja yang menjadi korbannya (Koentjoro, 2004). Perkin &
Bennet (dalam Koentjoro, 2004) mengatakan jika remaja putri yang mejadi
korban eksploitasi seksual dan kemuadi menjadi pelacur hal itu merupakan
produk dari lingkungan dan kondisi sosial mereka. Perlakuan sosial, seperti
rayuan lelaki terhadap seorang remaja karena daya tarik seksualnya sehingga
Remaja yang menjadi korban eksploitasi seksual harus berjuang
menghadapi pengalaman traumatis yang dialaminya untuk menjadi individu yang
resilien. Tetapi, resiliensi dapat terlihat dengan jelas apabila seseorang berada
pada tantangan atau masalah. Menurut Bobey (dalam Rezki Rahayu, 2008)
semakin seseorang berhadapan dengan banyak tantangan dan hambatan, maka
akan semakin terlihat apakah ia telah berhasil mengembangkan karakteristik
resiliensi dalam dirinya atau tidak. Remaja yang resilien akan memandang
peristiwa stressful yang dialaminya merupakan hal yang dapat mendorong dirinya
untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan baru, menilai kembali prioritas
yang dimilikinya, belajar mengenai pandangan baru, dan memperoleh
kekuatan-kekuatan baru.
Dengan adanya resiliensi pada remaja putri yang menjadi korban
eksploitasi seksual komersil dapat membuat mereka memiliki sikap yang positif
untuk menjadi seorang yang percaya diri dalam berinteraksi dengan orang lain.
Selain itu dapat merubah penderitaan menjadi tantangan, kegagalan menjadi
keberhasilan dan keputusasaan menjadi kekuatan. Resiliensi dapat merubah
seorang korban menjadi lebih kuat dan mendorong orang berkembang dan
menjadi lebih baik.
“ya, kami pindah rumah kata ibuk biar aku gak malu sama tetangga-tetangga kak. Alhamdulilah aku dapat dukungan banyaklah dari ayah, ibuk, pokoknya sodara-sodara. Kan itu cuman yang aku butuhkan kak, sekarang aku dah bisa kaya dulu lagi, malah mungkin lebih, udah makin rajin sholat, udah makin punya prinsip lah kak, ambil hikmahnya kak. Ya walaupun butuh waktu lama kak, setahunan lebih..”
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melihat mengenai
resiliensi pada remaja putri korban eksploitasi seksual komersil serta mengetahui
faktor-faktor yang mempengaruhi pencapaian resiliensi pada remaja putri korban
eksploitasi seksual di kota Medan.
I.B. Rumusan Masalah
Melalui penjabaran di atas, perumusan masalah pada penelitian ini adalah :
1. Bagaimana gambaran resiliensi pada remaja putri korban eksploitasi
seksual komersil khususnya sektor prostitusi
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi pencapaian resiliensi pada remaja putri
korban eksploitasi seksual komersil sektor prostitusi
I.C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran mengenai
resiliensi pada remaja putri yang menjadi korban eksploitasi seksual komersil.
I.D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis dalam
memberikan informasi dan perluasan teori di bidang psikologi
perkembangan, yakni mengenai resiliensi pada remaja putri. Selain itu,
penelitian ini diharapkan dapat memperkaya sumber kepustakaan
nantinya diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan penunjang untuk
penelitian selanjutnya.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan informasi bagi
peneliti-peneliti lainnya yang berminat meneliti lebih lanjut mengenai
resiliensi pada remaja putri.
b. Bagi Kepolisian Wilayah Hukum Sumatera Utara
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi aparat
Kepolisian Wilayah Hukum Sumatera Utara khususnya Unit Penanganan
Perempuan dan Anak, sehingga dapat melakukan pemeriksaan serta
penanganan yang tepat sehingga dapat membuat remaja putri tidak merasa
takut saat memberikan keterangan kepada pihak kepolisian.
c. Bagi Orang tua
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada para
orangtua sehingga diharapkan orangtua dapat memberikan dukungan yang
maksimal kepada remaja yang telah menjadi korban eksploitasi seksual
komersil sektor prostitusi. Dengan menyediakan lingkungan yang dapat
memfasilitasi tercapainya resiliensi remaja putri korban eksploitasi seksual
komersil sektor prostitusi.
d. Bagi Lembaga Swadaya Masyarakat dan Lembaga Terkait Lainnya
Bagi LSM dan lembaga terkait lainnya yang menangani
informasi dari penelitian ini dapat digunakan untuk memberikan
pendampingan dan penanganan yang bersifat suportif kepada korban
eksploitasi seksual sektor prostitusi.
I.E. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan dari penelitian ini adalah :
BAB I : Pendahuluan
Pendahuluan berisi mengenai latar belakang permasalahan,
perumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat
penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II : Landasan Teori
Landasan teori berisi teori yang digunakan sebagai landasan
penelitian
BAB III : Metodologi Penelitian
Pada bab ini dijelaskan alasan digunakannya pendekatan kualitatif,
responden penelitian, teknik pengambilan responden, teknik
pengumpulan data, alat bantu pengumpulan data serta prosedur
penelitian.
BAB IV : Analisa Dan Interpretasi Data
Analisa Data dan Interpretasi berisi pendeskripsian data responden,
yang dilakukan dan pembahasan data-data penelitian sesuai dengan
teori yang relevan dan diskusi.
BAB V : Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan, dan Saran yang menjelaskan kesimpulan dari
penelitian ini, diskusi mengenai hasil penelitian yang ada serta
BAB II
LANDASAN TEORI
II.A. RESILIENSI
II.A.1. Pengertian Resiliensi
Kata resiliensi sendiri berasal dari bahasa latin abad pertengahan ’resilire’
yang berarti ’kembali’. Dalam bahasa inggris, kata ’resiliency’ atau ’resilient’
biasa digunakan untuk menyebutkan suatu kondisi seseorang yang berhasil
kembali dari kondisi terpuruk. Jika dilihat dari asal dan makna kata, maka
resiliensi secara umum dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk
kembali pada kondisi semula ketika menghadapi tantangan atau kondisi yang
terpuruk (Putrantie, 2008).
Resiliensi merupakan konstruk psikologi yang diajukan oleh para ahli
behavioral dalam mengetahui, mendefinisikan, dan mengukur kapasitas individu
untuk tetap bertahan dan berkembang pada kondisi yang menekan (adverse
conditions) dan untuk mengetahui kemampuan individu untuk kembali pulih
(recovery) dari kondisi tekanan (Manara Untung, 2008). Sementara itu resiliensi
menurut Grotberg (2000) merupakan sebagai proses dinamis individu dalam
mengembangkan kemampuan diri untuk menghadapi, mengatasi, memperkuat dan
mentrasformasikan pengalaman-pengalaman yang dialami pada situasi sulit
Desmita (2005) mengatakan resiliensi merupakan kemampuan atau
kapasitas insani yang dimiliki seseorang, kelompok atau masyarakat yang
memungkinkannya menghadapi, mencegah, meminimalkan dan bahkan
menghilangkan dampak-dampak yang merugikan dari kondisi-kondisi yang tidak
menyenangkan, atau bahkan mengubah kondisi kehidupan yang menyengsarakan
menjadi suatu hal yang wajar untuk diatasi. Adanya resiliensi akan membuat
seseorang berhasil menyesuaikan diri dalam berhadapan dengan kondisi-kondisi
yang tidak menyenangkan (Desmita, 2005).
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa resiliensi
adalah kemampuan seseorang untuk bangkit kembali pada kondisi semula ketika
menghadapi tantangan atau kondisi yang terburuk, dimana resiliensi merupakan
proses dinamis individu dalam mengembangkan kemampuan diri untuk
menghadapi, mengatasi, memperkuat dan mentransformasikan
pengalaman-pengalaman yang di alami pada situasi sulit menuju pencapaian adaptasi yang
positif.
II.A.2. Karakteristik Resiliensi
Karakteristik resiliensi menurut Wolin dan Wolin (1999, dalam Rezki
Rahayu, 2008) adalah sebagai berikut :
1. Insight
Insight adalah kemampuan mental untuk bertanya pada diri sendiri dan
menjawab dengan jujur. Hal ini untuk membantu individu untuk dapat
berbagai situasi. Insight adalah kemapuan yang paling mempengaruhi
resiliensi.
2. Kemandirian
Kemandirian adalah kemampuan untuk mengambil jarak secara emocional
maupun fisik dari sumber masalah dalah hidup seseorang. Kemandiran
melibatkan kemampuan untuk menjaga keseimbangan antara jujur pada
diri sendiri dengan peduli pada orang lain.
3. Hubungan
Seseorang yang resilien dapat mengembangkan hubungan yang jujur,
saling mendukung dan berkualitas bagi kehidupan atau memiliki role
model yang sehat.
4. Inisiatif
Inisiatif melibatkan keinginan yang kuat untuk bertanggung jawab atas
kehidupan sendiri atau masalah yang sedang dihadapi. Individu yang
resilien bersikap proaaktif, bukan kreatif, bertanggung jawab dalam
pemecahan masalah, selalu berusaha memperbaiki diri ataupun situasi
yang dapat diubah, serta meningkatkan kemampuan untuk menghadapi
hal-hal yang tidak dapat diubah.
5. Kreativitas
Kreativitas melibatkan kemampuan memikirkan berbagai pilihan,
konsekuensi, dan alternatif dalam menghadapi tantangan hidup. Individu
yang resilien tidak terlibat dalam perilaku negatif, sebab ia mampu
keputusan yang benar.
6. Humor
Humor adalah kemampuan untuk melihat sisi terang kehidupan,
menertawakan diri sendiri, dan menemukan kebahagiaan dalam situasi
apapun. Individu yang resilien menggunakan rasa humornya untuk
memandang tantangan hidup dengan cara yang baru dan lebih ringan.
7. Moralitas
Moralitas atau orientasi pada nilai-nilai dengan keinginan untuk hidup
secara baik dan produktif. Individu yang resilien dapat mengevaluasi
berbagai hal dan membuat keputusan yang tepat tanpa rasa takut akan
pendapat orang lain. Mereka juga dapat mengatasi kepentingan diri sendiri
dalam membantu orang yang membutuhkan.
Berdasarkan uraian diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa karakteristik
resiliensi merupakan kemampuan mental bertanya pada diri sendiri, kemandirian
yang dimiliki individu, hubungan yang saling mendukung, inisiatif pada individu,
kemampuan kreatif yang dimiliki individu, kemampuan humor yang individu
dalam menjalani kehidupan serta orientasi nilai yang dimiliki.
II.A.3. Faktor dan Sumber Resiliensi
Grotberg (2000) mengidentifikasikan faktor-faktor yang mempengaruhi
resiliensi seseorang. Faktor-faktor tersebut meliputi dukungan eksternal dan
sumber-sumber yang ada pada diri seseorang (misalnya keluarga, lembaga
berkembang dalam diri seseorang (seperti self esteem, a capacity for self
monitoring, spritualits dan altruism), dan kemampuan sosial (seperti mengatasi
konflik dan kemampuan berkomunikasi).
Grotberg (2000) mengemukakan faktor-faktor resiliensi yang di
identifikasikan berdasarkan sumber-sumber yang berbeda. Untuk dukungan
eksternal dan sumber-sumbernya digunakan istilah I Have, untuk kekuatan
individu dalam diri pribadi digunakan istilah I Am, dan untuk kemampuan
interpersonal digunakan istilah I Can.
Setiap sumber dari masing-masing faktor memberikan kontribusi pada
berbagai jenis tindakan yang dapat meningkatkan pencapain resiliensi seseorang.
Individu yang resilien tidak membutuhkan semua sumber dari setiap faktor, tetapi
apabila individu hanya memiliki satu faktor individu tersebut tidak dapat
dikatakan sebagai individu yang resilien.
1. I Have
Grotberg (2000) mengungkapkan bahwa I have merupakan sumber
resiliensi yang berhubungan dengan pemaknaan remaja terhadap besarnya
dukungan yang diberikan oleh lingkungan sosial terhadap dirinya.
Sebelum seseorang menyadari siapa dirinya (I Am) atau apa yang bisa dia
lakukan (I Can), remaja membutuhkan dukungan eksternal dan sumber
daya untuk mengembangkan perasaan keselamatan dan keamanan, yaitu
inti untuk mengembangkan reesiliensi dalam diri remaja tersebut.
Sumber-sumber dari faktor I Have yang harus dikembangkan oleh remaja untuk
a. Hubungan yang Dilandasi Kepercayaan
Individu yang resilien memperoleh dukungan berupa hubungan yang baik
dengan keluarga, lingkungan sekolah yang menyenangkan, ataupun
hubungan dengan orang lain diluar keluarga. Melalui I have, seseorang
merasa memiliki hubungan yang penuh kepercayaan. Hubungan seperti ini
diperoleh dari orang tua, anggota keluarga lain, guru, dan teman-teman
yang mencintai dan menerima diri remaja tersebut..
b. Struktur dan Peraturan di Rumah
Individu yang resilien juga mempunyai struktur dan aturan di dalam rumah
yang ditetapkan oleh orang tua mereka. Para orang tua berharap bahwa
anak-anak dapat mematuhi semua peraturan yang ada. Anak-anak juga
akan menerima konsekuensi dari setiap tindakan yang mereka lakukan
dalam menjalani aturan tersebut. Ketika mereka melanggar aturan, mereka
butuh seseorang untuk memeberi tahu kesalahan yang mereka perbuat dan
jika perlu menerapkan hukuman.
c. Dorongan Untuk Mandiri
Individu yang resilien juga memperoleh dukungan untuk mandiri dan
dapat mengambil keputusan berdasarkan pemikiran serta inisiatifnya
sendiri. Dukungan yang diberikan oleh orangtua ataupun anggota keluarga
lainnya akan sangat membantu dalam membentuk sikap mandiri dalam
diri seseorang. Orangtua akan mendukung serta melatih anak untuk dapat
berinisiatif dan “berkuasa” atas dirinya sendiri untuk mengambil
d. Role Models
Individu yang resilien mempunyai orang-orang yang dapat menunjukkan
apa yang harus remaja lakukan seperti mencari informasi terhadap sesuatu
dan memberikan semangat agar remaja mengikutinya dengan tujuan
membuat remaja tersebut bangkit dan kembali menjadi sosok yang
mandiri dari sebelumnya.
e. Memperoleh Layanan Kesehatan, Pendidikan, Keamanan dan Kesejahteraan
Individu yang resilien juga akan mendapatkan jaminan kesehatan,
pendidikan, dan kesejahteraan serta keamanan dari orangtua. Sehingga hal
ini akan membantu mereka untuk mengembangkan rasa percaya diri dalam
diri remaja.
2. I Am
Grotberg (2000) mengatakan bahwa I Am merupakan kekuatan
yang terdapat dalam diri seseorang, kekuatan tersebut meliputi perasaan,
tingkah laku, dan kepercayaan yang ada dalam dirinya. Beberapa sumber
yang dimiliki oleh remaja dan harus dikembangkan oleh remaja adalah :
a. Bangga Terhadap Diri Sendiri
Individu yang resilien tahu bahwa mereka adalah seorang yang penting
dan merasa bangga akan siapakah mereka itu dan apapun yang mereka
lakukan atau akan dicapai. Individu itu tidak akan membiarkan orang lain
masalah dalam hidup, kepercayaan diri dan self esteem membantu mereka
untuk dapat bertahan dan mengatasi masalah tersebut.
b. Disayang dan Disukai Orang Lain
Individu yang resilien pasti mempunyai orang yang menyukai dan
mencintainya. Individu akan bersikap baik terhadap orang-orang yang
menyukai dan mencintainya. seseorang dapat mengatur sikap dan
perilakunya jika menghadapi respon-respon yang berbeda ketika berbicara
dengan orang lain.
c. Percaya Diri, Optimis dan Penuh Harap
Bagian yang lain adalah dipenuhi harapan, iman, dan kepercayaan.
Individu percaya ada harapan bagi mereka, serta orang lain dan institusi
yang dapat dipercaya. Individu merasakan mana yang benar maupun salah,
dan ingin ikut serta di dalamnya. Individu mempunyai kepercayaan diri
dan iman dalam moral dan kebaikan, serta dapat mengekspresikannya
sebagai kepercayaan terhadap Tuhan dan manusia yang mempunyai
spiritual yang lebih tinggi.
d. Memiliki Empati dan Peduli Terhadap Sesama
Individu yang resilien juga merasa bahwa mereka memiliki empati dan
sikap kepedulian yang tinggi terhadap sesama. Perasaan itu mereka
tunjukkan melalui sikap peduli mereka terhadap peristiwa yang terjadi
pada orang lain. Mereka juga merasakan ketidaknyamanan dan
penderitaan yang dirasakan oleh orang lain dan berusaha membantu untuk
e. Mampu Bertanggung Jawab Terhadap Perilaku Sendiri dan Menerima Konsekuensinya
Individu yang resilien dapat melakukan berbagai macam hal menurut
keinginan mereka dan menerima berbagai konsekuensi dan perilakunya.
Individu merasakan bahwa ia bisa mandiri dan bertanggung jawab atas hal
tersebut. Individu mengerti batasan kontrol mereka terhadap berbagai
kegiatan dan mengetahui saat orang lain bertanggung jawab.
3. I Can
I Can merupakan kemampuan individu untuk mengungkapkan
perasaan dan berpikir dalam berkomunikasi dengan orang lain,
memecahkan masalah dalam berbagai setting kehidupan (akademis,
pekerjaan, pribadi dan sosial) dan mengatur tingkah laku, serta
mendapatkan bantuan saat membutuhkannya. Beberapa sumber dalam
faktor ini yang dimiliki oleh remaja dan harus dikembangkannya adalah :
a. Mampu Mengungkapkan Pikiran dan Perasaan dalam Berkomunikasi
Individu tersebut juga memiliki kemampuan untuk berkomunikasi serta
memecahkan masalah dengan baik. Mereka mampu mengekspresikan
pikiran dan perasaan mereka dengan baik.
b. Menjalin Hubungan Yang Saling Mempercayai
Individu yang resilien mencari hubungan yang dapat di percaya dimana
individu dapat menemukan seseorang misalnya orang tua, saudara, teman
mencari cara terbaik untuk mendiskusikan dan menyelesaikan masalah
personal dan interpersonal.
c. Mampu Mengelola Perasaan
Individu yang resilien memiliki keterampilan berkomunikasi dimana
individu mampu mengekspresikan berbagai macam pikiran dan perasaan
kepada orang lain dan dapat mendengar apa yang orang lain katakan serta
merasakan perasaan orang lain.
d. Mampu Mengukur Temperamen Diri Sendiri dan Orang Lain
Individu yang resilien mampu mengukur temperamen diri sendiri dan
orang lain dimana individu memahami temperamen mereka sendiri
(bagaimana bertingkah, merangsang, dan mengambil resiko atau diam,
reflek dan berhati-hati) dan juga terhadap temperamen orang lain. Hal ini
menolong individu untuk mengetahui berapa lama waktu yang diperlukan
untuk berkomunikasi, membantu individu untuk mengetahui kecepatan
untuk bereaksi, dan berapa banyak individu mampu sukses dalam berbagai
situasi.
e. Mampu Memecahkan Masalah
Individu yang resilien memiliki kemampuan memecahkan masalah.
Individu dapat menilai suatu masalah secara alami serta mengetahui apa
yang mereka butuhkan agar dapat memecahkan masalah dan bantuan apa
yang mereka butuhkan dari orang lain. Individu dapat membicarakan
masalah yang paling tepat dan menyenangkan. Individu terus-menerus
bertahan dengan suatu masalah sampai masalah tersebut terpecahkan.
Resiliensi merupakan hasil kombinasi dari faktor-faktor I have, I am, dan I
can. Untuk menjadi seorang yang resilien tidak cukup hanya memiliki satu faktor
saja, melainkan harus ditopang oleh faktor-faktor lainnya (Desmita, 2005). Oleh
sebab itu, untuk menumbuhkan resiliensi remaja, ketiga faktor tersebut harus
saling berinteraksi satu sama lain, interaksi ketiga faktor tersebut sangat
dipengaruhi oleh kualitas lingkungan sosial dimana remaja hidup (Desmita,
2005).
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa resiliensi memiliki faktor
yang terdiri dari pemaknaan remaja terhadap besarnya dukungan yang diberikan
oleh lingkungan sosial terhadap dirinya (I Have), kekuatan yang terdapat dalam
diri seseorang, kekuatan tersebut meliputi perasaan, tingkah laku, dan
kepercayaan yang ada dalam dirinya (I Am), kemampuan individu untuk
melakukan hubungan sosial dan interpersonal (I Can). Dimana ketiga faktor
tersebut masing-masing memiliki sumber yang memberikan konstribusi pada
berbagai macam tindakan yang dapat meningkatkan potensi resiliensi. Individu
yang resilien tidak membutuhkan semua sumber-sumber dari setiap faktor, tetapi
apabila individu hanya memiliki satu faktor individu tersebut tidak dapat
dikatakan sebagai individu yang beresiliensi, misalnya individu yang mampu
berkomunikasi dengan baik (I Can) tetapi ia tidak mempunyai hubungan yang
dekat dengan orang lain (I Have) dan tidak dapat mencintai orang lain (I Am), ia
II.B. EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIL
II.B.1. Pengertian Eksploitasi Seksual Komersil
ILO-IPEC (dalam Suyanto, 2010) menjabarkan bahwa eksploitasi seksual
komersil adalah salah satu masalah kemanusiaan yang membutuhkan perhatian
serius karena dampaknya sangat merugikan dan membahayakan kelangsungan
serta masa depan remaja putri korban eksploitasi seksual komersil. Remaja putri
yang dilacurkan bukan saja rentan terhadap hinaan, penipuan dan marginaliasi,
tetapi juga banyak di antara mereka yang tidak dapat menikmati hak untuk
memperoleh pendidikan yang layak, serta tidak dapat memenuhi kebutuhan
dasarnya untuk berkembang secara sehat.
Eksploitasi seksual komersil adalah penggunaan seseorang untuk
tujuan-tujuan seksual guna mendapatkan uang, barang atau jasa kebaikan bagi pelaku
eksploitasi, perantara atau agen dan orang-orang lain yang mendapatkan
keuntungan dari eksploitasi seksual terhadap remaja yang menjadi korban
(ECPAT, 2006).
Eksploitasi seksual komersil merupakan sebuah pelanggaran mendasar
terhadap hak-hak anak yang beranjak dewasa. Pelanggaran tersebut terdiri dari
kekerasan seksual oleh orang dewasa dan pemberian imbalan dalam bentuk uang
tunai atau barang terhadap korban, atau orang ketiga, atau orang-orang lainnya.
Remaja yang menjadi korban eksploitasi tersebut diperlakukan sebagai sebuah
objek seksual dan sebagai objek komersial. Eksploitasi seksual komersial yang
terhadap remaja tersebut, dan mengarah pada bentuk-bentuk kerja paksa serta
perbudakan modern (ECPAT, 2008). Melalui eksploitasi seksual yang menimpa
remaja putri, remaja tersebut tidak hanya menjadi sebuah objek seks tetapi juga
sebuah komunitas yang membuatnya berbeda dalam hal intervensi (ECPAT,
2006).
ECPAT Internasional (2008) membagi eksploitasi seksual komersil
menjadi lima bentuk, yaitu :
1. Prostitusi, tindakan menawarkan pelayanan atau pelayanan langsung
seorang remaja putri untuk melakukan tindakan seksual demi
mendapatkan uang atau imbalan lain.
2. Pornografi, pertunjukan apapun atau dengan cara apa saja yang melibatkan
remaja putri di dalam aktivitas seksual yang nyata atau yang menampilkan
bagian tubuh remaja tersebut demi tujuan-tujuan seksual.
3. Perdagangan remaja putri untuk tujuan seksual, prose perekrutan,
pemindah-tanganan atau penampungan dn penerimaan remaja putri untuk
tujuan eksploitasi seksual.
4. Wisata seks, eksploitasi seksual komersil yang dilakukan oleh orang-orang
yang melakukan perjalanan dari suatu tempat ke tempat yang lain, dan di
tempat tersebut mereka berhubungan seks dengan para remaja putri.
5. Pernikahan dengan remaja berusia dibawah 18 tahun, memungkinkan
remaja tersebut menjadi korban eksploitasi seksual komersil, sebab tujuan
menikahi remaja tersebut untuk menjadikannya sebagai objek seks dan
Berdasarakan uraian diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa
eksploitasi seksual komersil adalah sebuah pelanggaran mendasar terhadap
hak-hak anak. Perbuatan itu terdiri dari kekerasan seksual oleh orang dewasa,
pemberian imbalan dalam bentuk uang tunai atau barang terhadap anak atau orang
ketiga yang menjadikan anak sebagai objek seksual dan sebagai objek komersial.
II.B.2. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Eksploitasi Seksual Komersil
Saptari (dalam Suyanto, 2010) menyebutkan ada tiga faktor yang
mempengaruhi remaja menjadi korban eksploitasi seksual komersil. Pertama,
karena keadaan ekonomi atau kondisi kemiskinan yang dialami remaja korban
eksploitasi seksual komersil. Kedua, karena pandangan tentang seksualitas yang
cenderung menekankan arti penting keperawanan sehingga tidak memberi
kesempatan bagi remaja yang sudah tidak perawan kecuali masuk kedalam peran
yang diciptakan untuk mereka. Ketiga, karena sistem paksaan dan kekerasan.
Selain karena faktor kemiskinan yang membelenggu, menurut Jones et al (dalam
Suyanto, 2010) ada faktor lain yang seperti kurangnya perhatian dari orang tua,
beberapa kepercayaan tradisional serta kehidupan urban yang konsumtif.
Ada banyak faktor yang memungkinkan terjadinya eksploitasi seksual
komersil pada remaja. Walaupu karakteristik setiap daerah tidak persis sama,
namun secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya eksploitasi
seksual komersil terbagi atas faktor pendorong dan faktor penarik. ECPAT (2008)
a. Faktor pendorong
1. Kondisi ekonomi khususnya kemiskinan di pedesaan yang diperberat oleh kebijakan pembangunan ekonomi dan penggerusan di sektor
pertanian
2. Perpindahan penduduk dari desa ke kota dengan pertumbuhan pusat-pusat industrian di perkotaan
3. Ketidaksetaraan gender dan praktek-praktek diskriminasi
4. Adanya tangung jawab anak yang sudah remaja untuk mendukung keluarga
5. Pergeseran dari perekonomian subsisten menjadi ekonomi berbasis pembayaran tunai
6. Peningkatan komsumerisme
7. Disintegrasi keluarga
8. Pertumbuhan jumlah anak gelandangan
b. Faktor penarik
1. Jaringan kriminal yang mengorganisir industri seks dan merekrut remaja put ri sebagai korban eksploitasi seksual
2. Pernikahan yang diatur dimana pengantin yang masih remaja terkadang akan dijual ke rumah bordil setelah menikah
3. Permintaan dari pekerja migran
Faktor lainnya yang mempengaruhi remaja terjerumus menjadi korban
eksploitasi seksual komersil adalah gaya berpacaran remaja yang tidak sehat,
berpacaran di luar batas hingga tidak perawan lagi atau dikecewakan pacar.
Sementra faktor lainnya adalah gaya hidup konsumerisme, yakni ingin mengikuti
gaya hidup mewah seperti punya telepon genggam (handphone) bagus, baju
bagus, dan sebagainya. Yang terakhir adalah pengaruh dari teman bergaul serta
pengaruh budaya dibeberapa daerah di Indonesia (ECPAT, 2008).
Berdasarkan uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa faktor-faktor
yang mempengaruhi terjadinya eksploitasi seksual komersil pada remaja putri
adalah disebabkan faktor ekonomi, faktor pergaulan bebas serta budaya.
II.B.3. Dampak Eksploitasi Seksual Komersil
Di berbagai komunitas, disadari bahwa eksploitasi seksual komersil adalah
sebuah masalah yang sulit untuk dihilangkan begitu saja, paling tidak ada akibat
yang kemungkinan besar akan menimpa remaja-remaja korban eksploitasi seksual
komersil jika dibiarkan larut dalam kondisi dan pekerjaan tersebut yang
sesungguhnya tidak pernah mereka sadari resiko dan bahayanya (Suyanto, 2010).
Eksploitasi seksual komersil dalam bentuk apapun sangat membahayakan hak-hak
seseorang untuk menikmati masa remaja mereka dan kemampuan mereka untuk
hidup produktif (ECPAT, 2006). Tindakan tersebut dapat mengakibatkan
dampak-dampak yang serius, seumur hidup, bahkan mengancam jiwa korban eksploitasi
seksual tersebut sehubungan dengan perkembang fisik, psikologis, spiritual,
Suyanto (2010) mengungkapkan beberapa dampak eksploitasi seksual
komersil pada remaja yaitu, karena remaja-remaja korban eksploitasi seksual
komersil itu masih berusia belia dan belum memiliki akses yang cukup terhadap
informasi-informasi tentang “reproduksi sehat”, maka sesungguhnya mereka
belum menggalami kematangan organ reproduksi. Mereka belum mengetahui
resiko dari hubungan seksual yang dilakukan secara bebas, sehingga kehamilan
dini dan penularan penyakit menular seksual (PMS) dengan seluruh implikasinya
dengan mudah akan menimpa remaja putri yang menjadi korban eksploitasi
seksual komersi. Tidak mustahil, remaja putri yang menjadi korban eksploitasi
seksual komersil akan mengandung seorang bayi yang tidak pernah dikehendaki,
dan kemuadian memilih untuk melakukan aborsi secara illegal dan jauh dari
syarat-syarat medis, sehingga bukan tidak mungkin akan mengancam nyawa
mereka sendiri.
Selanjutnya, remaja yang menjadi korban eksploitasi seksual komersil dan
terjerumus ke dalam dunia prostitusi, sering kali harus menanggung beban
psikologis yang berat berupa stigma dari masyarakat atas pekerjaan yang mereka
tekuni karena dinilai terkutuk, memalukan, tidak bermoral. Seorang remaja
korban eksploitasi seksual, sekalipun mungkin suatu saat mereka menyadari
resiko pekerjaannya atau berkat keajaiban berhasil melarikan diri dari cengkraman
“germonya”, tidak mustahil suatu saat akan kembali sendiri ke bisnis syahwat ini
karena masyarakat sekitarnya cenderung menolak dan menjaga jarak dengan
mereka. Seorang remaja korban eksploitasi seksual komersil yang bermaksud
dan bahkan diisolasi karena khawatir dapat menyebarkan pengaruh buruk bagi
remaja-remaja putri lain disekitarnya. Dan yang terakhir, dalam berbagai kasus
remaja korban eksploitasi seksual komersil, tak jarang harus mengalami berbagai
tindak kekerasan seksual; mulai dari rayuan terselubung, penyekapan,
penganiayaan, dan berbagai bentuk tindak kekerasan lainnya.
Dari uraian diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa dampak
eksploitasi seksual komersil adalah remaja yang menjadi korbannya tidak hanya
mengalami dampak psikologis, namun korban eksploitasi rentan mengalami
kehamilan dan penyakit menular seksual, serta rentan mengalami kekerasan
seksual.
II.C. REMAJA
II.C.1. Pengertian Remaja
Istilah remaja atau adolescence berasal dari kata latin adolescere yang
berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”. Istilah tersebut mempunyai arti
yang lebih luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik
(Hurlock, 1980).
Piaget (dalam Hurlock, 1980) mengatakan bahwa secara psikologis masa
remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia
dimana anak tidak lagi merasa dibawah tingkat orang-orang yang lebih tua
melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam
Menurut Monks (1999) remaja adalah individu yang berusia antara 12-21
tahun yang sedang menjalani masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa
dewasa, dengan pembagian 12-15 tahun masa remaja awal, 15-18 tahun masa
remaja pertengahan dan 18-21 tahun masa remaja akhir. Hurlock mengatakan
bahwa masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa
dewasa, dimulai saat anak secara seksual matang dan berakhir saat ia mencapai
usia matang secara hukum.
Berdasarkan apa yang telah diuraikan diatas maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa remaja adalah individu yang menjalani masa transisi dari masa
kanak-kanak ke masa dewasa, yang berlangsung antara umur 12 dan 21 tahun,
dengan pembagian 12-15 tahun adalah masa remaja awal, 15-18 tahun adalah
masa remaja pertengahan, dan 18-21 tahun adalah masa remaja akhir.
II.C.2. Ciri-ciri Remaja
Hurlock (1980) berpendapat, bahwa semua periode yang penting selama
masa kehidupan mempunyai karakteristiknya sendiri. Begitupun masa remaja
mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan periode masa
kanak-kanak dan dewasa. Ciri ciri tersebut antara lain :
a. Masa remaja sebagai periode yang penting
Masa remaja dipandang sebagai periode yang penting daripada periode
lain karena akibatnya yang langsung terhadap sikap dan perilaku, serta
akibat-akibat jangka panjangnya. Misalnya saja, perkembangan biologis
fisiologis yang cepat dan disertai percepatan perkembangan mental yang
cepat, terutama pada masa remaja awal. Semua perkembangan itu
menimbulkan perlunya penyesuaian mental dan perlunya membentuk
sikap, nilai, dan minat baru.
b. Masa remaja sebagai periode peralihan
Anak-anak yang beralih dari masa kanak-kanak ke masa dewasa haruslah
meninggalkan segala sesuatu yang bersifat kekanak-kanakan dan harus
mempelajari pola perilaku dan sikap baru untuk menggantikan perilaku
dan sikapnya pada masa yang sudah ditinggalkan. Meskipun disadari
bahwa apa yang telah terjadi akan meninggalkan bekasnya dan akan
mempengaruhi pola perilaku dan sikap baru. Pada masa peralihan ini
remaja bukan lagi seorang anak-anak dan juga bukan orang dewasa.
Namun, status remaja yang tidak jelas ini menguntungkan karena status ini
memberi waktu kepada remaja untuk mencoba gaya hidup yang berbeda
dan menentukan pola perilaku, nilai dan sifat yang paling sesuai bagi
dirinya.
c. Masa remaja sebagai periode perubahan
Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja
beriringan dengan tingkat perubahan fisik. Pada awal masa remaja, ketika
perubahan terjadi dengan pesat maka perubahan perilaku dan sikap juga
berlangsung cepat. Begitu pula jika perubahan fisik menurun maka
perubahan sikap dan perilaku menurun juga.
Setiap periode mempunyai masalahnya sendiri-sendiri, namun masalah
masa remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi baik oleh anak
laki-laki maupun anak perempuan, hal tersebut disebabkan karena sepanjang
masa kanak-kanak sebahagian besar masalah yang dihadapi oleh remaja
diselesaikan oleh orang tua dan guru, sehingga remaja tidak
berpengalaman dalam menghadapi masalah. Selain itu, remaja juga merasa
jika mereka sudah mandiri, sehingga mereka ingin mengatasi masalahnya
sendiri dan menolak bantuan orang lain.
e. Remaja sebagai masa pencarian identitas
Pencarían identitas dimulai pada akhir masa kanak-kanak, penyesuaian
diri dengan standars kelompok lebih penting dari pada bersikap
individualitas. Penyesuaian diri dengan kelompok pada remaja awal masih
tetap penting bagi anak laki-laki dan perempuan, namun lambat laun
mereka mulai mendambakan identitas diri dengan kata lain ingin menjadi
pribadi yang berbeda dengan orang lain.
f. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan
Stereotip populer pada masa remaja mempengaruhi konsep diri dan sikap
remaja terhadap dirinya sendiri, dan ini menimbulkan ketakutan pada
remaja. Remaja takut bila tidak dapat memenuhi tuntutan masyarakat dan
orang tuanya sendiri. Hal ini menimbulkan pertentangan dengan orang tua
sehingga membuat jarak bagi anak untuk meminta bantuan kepada orang
tua guna mengatasi pelbagai masalahnya.
Remaja pada masa ini melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana
yang ia inginkan dan bukan sebagaimana adanya, terlebih dalam hal
cita-cita. Semakin tidak realistik cita-citanya ia semakin menjadi marah.
Remaja akan sakit hati dan kecewa apabila orang lain mengecewakannya
atau kalau ia tidak berhasil mencapai tujuan yang ditetapkannya sendiri.
h. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa
Semakin mendekatnya usia kematangan, para remaja menjadi gelisah
untuk meninggalkan stereotip belasan tahun dan untuk memberikan kesan
bahwa mereka sudah hampir dewasa, remaja mulai memusatkan diri pada
perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa yaitu merokok, minum
minuman keras, menggunakan obat-obatan, dan terlibat dalam perbuatan
seks. Mereka menganggap bahwa perilaku ini akan memberi citra yang
mereka inginkan.
Berdasarkan uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa ciri-ciri masa
remaja adalah bahwa masa remaja adalah periode yang penting, periode peralihan,
periode perubahan, usia yng bermasalah, mencari identitas, yang usia yang
menimbulkan ketakutan, masa yang tidak realistik dan ambang masa kedewasaan.
II.C.3. Perkembangan Fisik dan Seksual Remaja
Perkembangan fisik remaja didahului dengan perubahan pubertas.
Pubertas ialah suatu periode dimana kematangan fisik dan seksual terjadi secara
pesat terutama pada awal masa remaja (Santrock, 2007). Menurut Susman &
bersamaan dengan dimulainya masa pubertas. Selain itu, Rogol, Roemmich &
Clark (dalam Santrock, 2007) mengemukakan bahwa pada puncak pertambahan
berat tubuh, berat tubuh remaja putri bertambah rata-rata 18 pon setiap tahunnya
di usia sekitar 12 tahun (kurang lebih enam bulan setelah dimulaimya laju
pertumbuhan tinggi tubuh).
Susman & Rogol (dalam Santrock, 2007) menyatakan bahwa disamping
meningkatnya tinggi dan berat tubuh pada remaja putri, masa pubertas juga
menimbulkan perubahan pada lebar pinggul dan bahu. Proses melebarnya pinggul
pada remaja putri berkaitan dengan meningkatnya hormone estrogen, selain itu
wajah remaja putri menjadi lebih bulat dan lembut.
Urutan perubahan fisik pada remaja putri dimulai dengan membesarnya
payudara atau tumbuh rambut dikemaluan. Selanjutnya, pertumbuhan rambut
diketiak. Seiring dengan perubahan ini, tubuh remaja putri akan bertambah tinggi,
dan pinggulnya berkembang menjadi lebih lebar dibandingkan bahunya
(Santrock, 2007).
Menstruasi pertama (menarche) pada remaja putri, terjadi diakhir siklus
pubertas. Awalnya, siklus menstruasi berlangsung secara tidak teratur dan selama
beberapa tahun pertama, hal itu disebabkan remaja putri mungkin tidak
mengalami ovulasi di setiap siklus. Remaja putri tidak mengalami perubahan
suara seperti yang dialami oleh remaja laki-laki, namun remaja putri memiliki
payudara yang lebih penuh di akhir masa pubertasnya (Santrock, 2007). Galambos
aspek-aspek seksual dari sikap dan perilaku. Ketika tubuh dialiri oleh hormon, maka
remaja putri mulai berperilaku feminim.
Pada masa ini, kehidupan remaja mulai dipenuhi oleh hal-hal yang berbau
seksualitas, dimana masa remaja merupakan masa eksplorasi seksual dan
mengintegrasikan seksualitas ke dalam identitas seseorang. Kebanyakan remaja
memiliki rasa ingin tahu yang tidak ada habis-habisnya mengenai seksualitas
(Santrock, 2007). Proses tersebut berlangsung cukup lama dan melibatkan proses
belajar untuk mengelola perasaan-perasaan seksual, seperti gairah seksual dan
perasaan tertarik, mengembangkan bentuk intimasi yang baru, dan mempelajari
keterampilan perilaku seksual untuk menghindari konsekuensi-konsekuensi yang
tidak diinginkan (Santrock, 2007).
Seiring dengan perkembangan seksual yang dialami oleh remaja, mereka
juga mulai mengembangkan identitas seksualnya yang melibatkan lebih dari
sekedar perilaku seksual, identitas seksual muncul dalam konteks faktor-faktor
fisik, faktor sosial, dan faktor budaya, di mana sebagian besar masyarakat
cenderung memberikan batasan-batasan terhadap perilaku seksual remaja
(Santrock, 2007). Micheal dkk (dalam Santrock, 2007) mengungkapkan bahwa
remaja putri belajar untuk mengaitkan hubungan seksual dengan cinta, mereka
sering kali merasionalisasikan perilaku seksualnya dengan mengatakan bahwa
mereka terbawa oleh gairah sesat. Hyde & DeLameter (dalam Santrock, 2007)
menjelaskan jika jatuh cinta menjadi penyebab utama remaja putri menjadi aktif
secara seksual. Alasannya lain yang menyebabkan remaja putri aktif secara
merupakan suatu cara agar dapat memperolah pacar, rasa ingin tahu, serta hasrat
seksual yang tidak berkaitan dengan cinta dan kepedulian.
Sehubungan dengan perkembangan seksual yang dialami remaja putri,
menurut Santelli (dalam Santrock, 2007) kebanyakan remaja yang aktif secara
seksual memiliki resiko untuk mengalami masalah seksual dan
masalah-masalah lainnya ketika mereka sudah melakukan hubungan seksual sebelum
berusia 16 tahun. Buhrmester (dalam Santrock, 2007) mengungkapkan bahwa
keterlibatan seksual pada remaja putri di masa remaja berkaitan dengan harga diri
yang rendah, tingkat depresi yang lebih besar, tingkat aktivitas seksual yang lebih
besar, dan nilai yang rendah di sekolah. Selain itu, Huebner & Howell; Swenson
& Prelow (dalam Santrock, 2007) menjabarkan bahwa faktor-faktor resiko untuk
masalah seksual pada remaja meliputi faktor-faktor kontekstual seperti status
sosial ekonomi (SES) dan lingkungan keluarga atau pola pengasuhan.
Berdasarkan uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa perkembangan
fisik dan seksual remaja adalah perubahan yang terjadi pada fisik dan organ-organ
reproduksi pada remaja baik perempuan maupun laki-laki, yang mempengaruhi
pola perilaku seksual remaja tersebut.
II.C.4. Perkembangan Sosial Remaja
II.C.4.a. Perkembangan Hubungan Dengan Teman Sebaya
Selama masa remaja terjadi perubahan-perubahan yang dramatis, baik
dalam segi fisik maupun kognitif. Perubahan-perubahan tersebut, ternyata
sendiri (Desmita, 2005). Perkembangan sosial pada remaja merupakan salah satu
tugas yang paling sulit, karena hal tersebut berhubungan dengan penyesuaian
sosial mereka. Remaja juga harus menyesuaikan diri dengan lawan jenis dalam
hubungan yang sebelumnya belum pernah ada dan harus menyesuaikan diri
dengan orang dewasa diluar lingkungan keluarga dan sekolah. Untuk mencapai
tujuan dari pola sosialisasi dewasa, remaja juga harus membuat banyak
penyesuaian baru yaitu penyesuaian diri dengan pengaruh kelompok sebaya,
perubahan dalam perilaku sosial, nilai-nilai baru dalam seleksi persahabatan,
nilai-nilai baru dalam dukungan dan penolakan sosial serta nilai-nilai baru dalam
seleksi pemimpin (Hurlock, 1980).
Perkembangan sosial berarti perolehan kemampuan berperilaku yang
sesuai dengan tuntutan sosial. Menjadi orang yang mampu bersosialisasi
(sozialed), memerlukan tiga proses. Dimana masing-masing proses tersebut
terpisah dan sangat berbeda satu sama lain, tetapi saling berkaitan, sehingga
kegagalan dalam satu proses akan menurunkan kadar sosialisasi individu.
Menurut Hurlock (1980) tiga proses dalam perkembangan sosial adalah sebagai
berikut :
1. Berperilaku dapat diterima secara sosial
Setiap kelompok sosial mempunyai standar bagi para anggotanya tentang
perilaku yang dapat diterima. Untuk dapat bersosialisasi, seseorang tidak
hanya harus mengetahui perilaku yang dapat diterima, tetapi mereka juga
harus menyesuaikan prilakunya sehingga ia bisa diterima sebagain dari