DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN………. 1
BAB II : PERAN GENDER ………... 5
1. Perspektif Gender………... 7
Gender sebagai Perbedaan. 10
Gender sebagai Struktur 11
Gender sebagai Proses Interaktif 11
2. Orientasi Gender 12
Model tradisional dan nontradisional 12
Androgini ……. 15
BAB III : STEREOTIP GENDER ……….. 19
BAB I
PENDAHULUAN
Isu-isu tentang gender, menurut Oskamp dan Costanzo (1993) merupakan hal yang
penting dalam kehidupan sehari-hari. Isu-isu ini mempengaruhi cara-cara bayi
diperlakukan, norma-norma dan pola-pola sosialisasi untuk anak perempuan dan laki-
laki, serta bekerjanya sistem pendidikan. Selanjutnya akan diuraikan berbagai aspek yang
berkaitan dengan gender, dimulai dengan pengertian mengenai peran gender,
maskulinitas dan femininitas; perspektif gender, sampai model tradisional dan model
nontradisional dalam orientasi gender serta stereotip gender. Sebelum sampai pada
perspektif gender akan diutarakan terlebih dahulu pengertian dari gender serta konsep-
konsep yang terkait yakni peran gender, maskulinitas dan femininitas.
Secara biologis terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan, baik dari segi
kromosom, hormonal, bentuk fisik, serta susunan kimiawi. Perbedaan biologis ini yang
disebut sebagai jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Sedangkan perbedaan secara
psikologis antara laki-laki dan perempuan diistilahkan dengan peran gender.
Pengertian gender secara umum menurut kamus diasosiasikan dengan jenis kelami
secara biologis, antara lalin Kamus Oxford (1994) mengartikan gender sebagai : sexual
classification; sex : the male and female gender. Sheriff dalam Gilbert (1993)
menyatakan jenis kelamin perempuan dan laki-laki sebagai bentuk biologis yang menjadi
traits dan perilaku yang disebut gender ini diasosiasikan dengan jenis kelamin secara
biologis. Namun, kini gender lebih dipandang sebagai ‘constructed by social reality’
sebagai perempuan dan laki-laki. Dengan demikian, gender bukan hanya mengacu pada
jenis kelamin biologis, tetapi juga gambaran-gambaran psikologis, social dan budaya
serta ciri-ciri khusus yang diasosiasikan dengan kategori biologis perempuan dan laki-
laki (Gilbert, 1993).
Kini, lanjut Gilbert, di area Psikologi lebih digunakan istilah gender dari pada jenis
kelamin dalam mempelajari perilaku personal perempuan dan laki-laki dalam suatu
konteks social. Unger & Crowfort (1992) memisahkan antara jenis kelamin dan gender,
dengan pemahaman bahwa gender gender merupakan konstruksi social. Jenis kelamin
didefinisikan oleh Unger dan Crowfort (1992) as biological differences in genetic.
Sebagaimana spesies mamalia lainnya yang memiliki dua bentuk biologis yakni
perempuan dan laki-laki, demikian pula manusia di dalamnya terdiri dari perempuan dan
laiki-laki, bayi manusia dikatakan sebagai perempuan dan laki-laki di saat ia lahir,
berdasarkan alat genital yang dimilikinya. Sedangkan definisi gender menurut Unger &
Crowfort adalah : …what culture make out of the ‘raw material’ of biological sex’.
Unger & Crowfort menyatakan penting untuk membedakan antara jenis kelamin dan
gender (meskipun ke duanya sering digunakan bersamaan), disebabkan dua alasan : (1)
menyamakan jenis kelamin dan gender dapat mengarahkan keyakinan bahwa perbedaan
traits dan perilaku konsep jenis kelamin dan gender membantu kita untuk menganalisis
Semua orang memiliki peran-peran tersendiri di tengah masyarakatnya. Di antara
peran tersebut, termasuk peran berdasarkan jenis kelamin, yang disebut peran gender.
Sejak seseorang dilahirkan, lingkungan telah mulai mempersiapkan seorang anak untuk
berperilaku yang dianggap lingkungan sesuai bagi perempuan dan laki-laki.
Pola perilaku yang dianggap cocok untuk masing-masing jenis kelamin berdasarkan
harapan masyarakat didistilahkan sebagai peran gender (gender role) Hurlock
mengartikan (1984 : 456), mengartikan peran gender sebagai :”pattern of behaviour for
members of the two sexes approved and accepted by the social group with which the
individual is identified”. Peran gender menurut Myers (1996) merupakan suatu set
perilaku yang diharapkan (norma) untuk laki-laki dan perempuan. Menurut Corsini
(1987) peran gender merupakan sekumpulan atribut, sikap, trait kepribadian dan perilaku
yang dianggap sesuai untuk masing-masing jenis kelamin. Berdasarkan pengertian
budaya dari peran gender, Ward menyatakan : A culturally defined sex role reflects those
behaviours and attitudes that are generally agreed upon eithin a culture as being either
masculine or feminine (dalam Hurlock, 1984:456).
Sementara itu Hoyenga & Hoyenga (1993:9) mendefinisikan peran gender sebagai :
….”are those expected of, prscribed for, or proscribed for a given culture are the gender
or sexual stereotypes”.
Pengertian feminine menurut Hoyenga & Hoyenga (1993 :5) adalah :
with ‘stereotypical’, it refer to any trait that is culturally believed to be associated more often with females than with males in some particular culture or subculture.
Berarti feminine merupakan ciri-ciri atau traits yang dipercaya dan dibentuk oleh
budaya sebagai ideal bagi perempuan. Sedangkan difemininkan (to be femininized)
berarti meningkatkan trait feminine atau membuat trait feminine lebih banyak atau
menjadi lebih penting. Contohnya dikebanyakan budaya, perawatan bayi dianggap
feminine. Setiap orang baik laki-laki ataupun perempuan dapat ditingkatkan
femininitasnya misalnya dengan meningkatkan ketrampilan pengasuhannya. Sebaliknya
dapat juga seseorang dikatakan kehilangan atau terhambat beberapa sifat femininnya.
Pengertian maskulin sendiri mengacu pada definisi Hoyenga&Hoyenga (1993:6) berikut :
….parallel to those given form feminine : a gender relted difference occurring more often
in males, or a culturally defined masculine trait or role.
Dengan demikian, maskulin adalah sifat yang dipercaya dan dibentuk oleh budaya
sebagai ciri-ciri yang ideal bagi laki-laki. Kebalikan dari difemininkan (ditingkatkan
femininitasnya) berarti meningkatkan atau lebih menampilkan trait maskulinitas pada
seorang laki-laki maupun perempuan. Misalnya asertif dianggap trait maskulin,
dimaskulinkan dengan cara memberikan pelatihan asertif, agar meningkat trai maskulin
ini pada seseorang atau pelatihan angkat berat agar lebih berotot yang berarti lebih
maskulin.
Melalui berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa peran gender merupakan
dianggap cocok untuk laki-laki atau peremuan, dikaitkan dengan ciri-ciri femini dan
BAB II PERAN
GENDER
Menurut Stockard dan Johnson (1993), hampir semua masyarakat memiliki
pembagian kerja yang didasarkan atas gender. Pembagian kerja ini memang penting
untuk kelangsungan hidup dari masyarakat tersebut. Meskipun setiap masyarakat
memiliki peran-peran gender, namujn aktivitas-aktivitas untuk masing-masing tipe
(maskulin dan feminine) tidaklah sama dan dapat pula berubah atau bergeser di antara
generasi yang berbeda. Misalnya, pada beberapa masyarakat, perempuan yang berternak
ungags dan hewan kecil, sedangkan pada beberapa masyarakat yang lainnya, perempuan
yang mengerjakannya. Pada beberapa masyarakat, laki-laki yang mengurus perternakan
susu, sementara di masyarakat lainnya, perempuan yang mengerjakannya. Bervariasinya
peran gender di antara berbagai budaya serta antar waktu yang berbeda menunjukkan
bahwa budaya memang membentuk peran gender kita.
Hurlock (1984) menyatakan kualitas yang menentukan pola perilaku yang diharapkan
dianggap bernilai oleh budaya itu. Berbagai penelitian Antropologi menunjukkan adanya
perbedaan peran gender pada masing-masing budaya, di antaranya yang paling sering
diutarakan adalah penelitian Mead (dalam Rosaldo, 1983; Stocard dan Johnson, 1993).
Studi ini merupakan suatu penelitian tentang peran social pada tiga masyarakat sederhana
di kawasan Pasifik yaitu Arapesh, Mundugumor dan Tcambuli. Menurut Mead hanya
sedikit perbedaan antara peran laki-laki dan perempuan pada masyarakat Arapesh dan
Mundugumor. Laki-laki dan perempuan Arapesh digambarkan menunjukkan perilaku
yang di banyak masyarakat yang dianggap sebagai feminine, yakini pasif, kooperatif dan
tidak agresif. Ibu dan ayah orang Arapesh, keduanya secara aktif terlibat dalam
membesarkan bayi mereka. Sebaliknya di masyarakat Mundugumor, laki-laki dan
perempuan menunjukkan perilaku yang sesuai dengan gambaran maskulin yakni
memiliki trait benci, agresif dan kaku.
Berlainan dengan ke dua masyarakat di atas, pada masyarakat Tcambuli jelas terlihat
adanya perbedaan, namun perbedaan antara laki-laki dan perempuan justru kebalikan dari
peran tradisional feminine dan maskulin dalam kultur Barat. Laki-laki digambarkan
sebagai sensitive dan perhatian terhadap orang lain, dependen dan tertarik dengan seni
misalnya dalam pembuatan cenderamata. Sementara perempuan mandiri, agresif dan
memainkan peran sebagai pengontrol dalam pembuatan keputusan (Hetherington &
Parke, 1986; Frieze, 1978; Weitzman, 1975).
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan terdapat perbedaan pengertian antara jenis
kelamin, yang berarti perempuan dan laki-laki secara biologis dengan gender, yang
diasosiasikan dengan kategori biologis perempuan dan laki-laki. Sedangkan peran gender
berarti traits dan perilaku yang diharapkan oleh budaya berdasarkan jenis kelaminnya,
traits dan perilaku feminine untuk perempuan dan traits dan perilkau maskulin untuk laki-
laki.
1. Perspektif Gender
Gilbert (1993) mengungkapkan perspektif yang relative baru tentang gender. Pada
dasarnya perspektif ini beranggapan bahwa gender merupakan konstruksi social. Semua
masyarakat mengenali perbedaan biologis perempuan dan laki-laki, dan
menggunakannya sebagai dasar dari perbedaan social. Di sebagaian masuarakat proses
membentuk gender telah dimulai sejak manusia dilahirkan, misalnya dengan mulai
memilihkan pakaian berwarna merah muda untuk bayi perempuan dan pakaian berwarna
biru untuk bayi laki-laki, dan untuk selanjutnya mereka akan diperlakukan sebagai anak
perempuan dan laki-laki. Dengan demikian, gender memiliki pengertian yang lebih luas
dari jenis kelamin secara biologis sebagaimana yang telah diungkapkan di awal dari
tulisan ini.
Proses-proses yang berkaitan dengan gender menurut Unger & Crowford (1992)
mempengaruhi perilaku, pemikiran dan perasaan seseorang, berpengaruh pada interaksi
di antara individu dan membantu menentukan struktur institusi social. Dengan demikian,
proses-proses untuk membedakan perempuan dan laki-laki memang diciptakan.
Berbarengan dengan proses pembedaan laki-laki dan perempuan, ditentukan pula
tiga tingkatan, yakni : tingkatan individu; tingkatan interpersonal; dan tingkatan struktur
social.
Pada tingkatan individu, masyarakat umumnya cenderung menghubungakan traits,
perilku dan minat tertentu dengan salah satu jenis kelamin laki-laki atau perempuan.
Traits, perilaku maupun minat ini diasosiasikan pada laki-laki dan perempuan dalam
suatu dikotomi. Perempuan dikaitkan dengan perilaku atau trait yang feminine,
sedangkan kebalikannya laki-laki yang maskulin, namun tidak ke duanya. Padahal, bila
meninjau pada kenyataan, banyak dari traits, perilaku bahkan ciri fisik yang dimiliki baik
oleh laki-laki maupun perempuan yang menggambarkan kebalikan dari apa yang
dianggap sebagai feminine dan maskulin. Dalam hal ini berarti gender biasanya
dihunakan sebagai frame (kerangka) yang merefleksikan bentuk dari stereotip (Unger &
Crowford, 1992). Para ahli juga sudah meneliti tentang androgini, yang menggambarkan
laki-laki dan perempuan yang memiliki baik trait yang maskulin maupun feminine.
Dalam hal ini gender di lihat dalam multi dimensi, bukan lagi dimensi tunggal, yang
menunjukkan dikotomi, seperti sebelumnya. Penjelasan lebih lanjut mengenai hal ini
akan diuraikan pada bagian orientasi gender.
Pada tingkatan ke dua, yakni tingkat interpersonal, gender merupakan pertanda (cue).
Gender sebagai pertanda ini, memberitahu kita bagaimana berperilaku menghadapi orang
lain dalam hubungan social. Berdasarkan apa yang ditampilkan seseorang kita
memutuskan apakah seseorang itu perempuan atau laki-laki. Melalui klassifikasi yang
kita lakukan, kita memutuskan bagaimana kita berperilaku meghadapinya. Menurut
bisa jadi di luar kesadaran memang nyata adanya. Contohnya salah satu penelitian dari
Eccles (dalam Unger&Crowford, 1992) yang dilakukan melalui observasi terhadap anak-
anak Elementary School, menyimpulkan bahwa meskipun guru-guru meyakini bahwa
mereka memperlakukan anak laki-laki dan anak perempuan secara sama, ternyata anak
laki-laki menerima lebih banyak perhatian, baik positif maupun negative dari pada anak
perempuan. Dalam hal ini menurut Unger&Crowford, pengkategorisasian jenis kelamin,
bukan hanya media melihat perbedaan di antara laki-laki dan perempuan tapi juga suatu
cara menciptakan perbedaan. Kita bukan hanya melihat bahwa laki-laki dan perempuan
merupakan kategori yang berbeda, namun melalui kategorisasi itu, kita sekaligus
menciptakan perbedaan di antara laki-laki dan perempuan.
Sedangkan pada tingkatan ke tiga yakni struktur social, gender merupakan suatu
system hubungan kekuasaan. Menurut Gilbert (1993) gender dapat dipandang sebagai
suatu system kalssifikasi social yang mempengaruhi akses untuk kekuasaan dan sumber-
sumber daya. Laki-laki lebih memiliki kekuasaan public di kebanyakan masyarakat,
kontrol pemerintahan, hukum dan kepentingan publik. Di Indonesia hal ini dapat dilihat
dari sedikitnya perempuan yang berada di jabatan pemerintahan, baik pemimpin daerah,
mulai dari lurah, bupati, gubernur dan lain-lain.
Perspektif gender ini tidak berfokus pada variabel-variabel intrapsikis yang
diasumsikan terkait dengan jenis kelamin biologis dalam menerangkan perilaku manusia.
Perspektif gender ini menyatakan bahwa perilaku manusia muncul dari suatu jaringan
interaksi antara keberadaan perempuan dan laki-laki secara biologis dan lingkungan
laki-laki sama-sama menjadi orang tua, tetapi lebih banyak perempuan yang terlibat
pengasuhan anak. Berdasarkan perspektif gender, perempuan membesarkan anak lebih
karena harapan social diasosiasikan dengan jenis kelamin. Harapan social itu
menggariskan bahwa perempuan melakukan aktivitas pengasuhan lebih banyak dari pada
laki-laki. Jadi, secara budaya, perempuan mengasuk anak; (2) perempuan dan laki-laki
sama-sama menerima ijazah perguruan tinggi, namun ½ dari laki-laki memulai pekerjaan
dengan gaji yang lebih tinggi (Gilbert, 1993). Berdasarkan perspektif gender, laki-laki
mendapatkan gaji lebih tinggi bukan karena laki-laki lebih mampu dari perempuan, tetapi
karena lingkungan kerja lebih memberi reward (penghargaan) pada laki-laki. Jadi secara
budaya, laki-laki ‘pencari nafkah’.
Selanjutnya menurut Gilbert, dalam menjelaskan fenomena yang berkaitan dengan
gender, perspektif gender ini melihat gender yang berperan sebagai perbedaan, struktur
dan proses.
Gender sebagai Perbedaan
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Gilbert (1993), perbedaan pengalaman
berdasarkan konteks sosiokultural pada anak perempuan dan laki-laki selama masa
perkembangan anak dan remaja merupakan hal yang penting untuk memahami
penemuan-penemuan tentang perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Perspektif
gender ini berusaha menjelaskan bahwa apa yang ditemukan sebagai perbedaan trait atau
perilaku di antara anak laki-laki dan perempuan, harus dipahami berdasarkan latar
lingkungan masyarakatnya. Misalnya penemuan tentang anak perempuan memiliki
kecemasan yang lebih tinggi terhadap matematika dari pada anak laki-laki. Perbedaan
yang tampil ini bukan semata-mata sebagai perbedaan, namun harus dilihat berdasarkan
pengalaman adanya perbedaan anak laki-laki dan perempuan ketika menerimanya.
Dengan demikian perbedaan yang tampil seharusnya dipahami sebagai perbedaan gender
bukan perbedaan jenis kelamin, berkaitan dengan contoh, maka perbedaan tingkat
kecemasan terhadap matematika di antara anak laki-laki dan perempuan bukanlah
menunjukkan perbedaan jenis kelamin, namun merupakan perbedaan gender.
Gender sebagai Struktur
Sheriff (dalam Gilbert, 1993) memandang isu gender bukan sekedar terkait
dengan individu perempuan, laki-laki dan sosialisasi, namun juga melibatkan struktur-
struktur social dan prinsip-prinsip organisasi. Contohnya seperti fenomena yang disebut
glass ceiling effect yang juga dikemukakan oleh Baron & Byrne (1997), yakni adanya
hambatan yang tidak kasat mata namun memiliki kekuatan, yang didasarkan atas bias-
bias sikap atau bias organisasi yang mencegah perempuan untuk sampai pada posisi
puncak atau top management.
Gender sebagai Proses Interaktif
Teori-teori gender ini menurut Gilbert (1993) memandang fenomena hubungan
antar jenis kelamin sebagai proses yang dipengaruhi oleh pilihan individu, dicapai dengan
Studi dari Eccles dan rekan (Gilbert, 1993) mengungkapkan bagaimana harapan
orang tua yang berkaitan dengangender mempengaruhi partisipasi pada aktivitas stereotip
peran gender seperti matematika dan olah raga. Harapan-harapan orang tua mengubah
persepsi dan atribusi terhadap kemampua dan minat anak-anaknya. Misalnya anak
perempuan memperoleh nilai bagus pada matematika, dianggap karena kerja keras,
sedangkan anak laki-laki karena memang memiliki bakat matematika dan hal ini
mempengaruhi persepsi diri dari si anak dan pilihan aktivitasnya.
Dapat disimpulkan bahwa pespektif gender adalah suatu perspektif yang
mengutarakan bahwa gender bukanlah sesuatu yang telah terberi berdasarkan kondisi
biologis perempuan dan laki-laki, namun gender merupakan hasil dari konstruksi
masyarakat, yang dipengaruhi oleh budaya dari masyarakat tersebut.
Untuk selanjutnya akan diuraikan dua model orientasi peran gender dalam
menjelaskan femininitas dan maskulinitas.
2. Orientasi Gender
Bem (1978) menyatakan ada dua model orientasi peran gender dalam menjelaskan
femininitas dan maskulinitas, dalam kaitannya dengan laki-laki dan perempuan, yaitu
model tradisional dan model nontradisional.
Model pertama yang disebut model tradisional, yang memandang femininitas dan
maskulinitas sebagai suatu dikotomi. Sedangkan yang ke dua memandang femininitas
pengelompokan yang lain, yakni androgini, dimana seseorang perempuan atau laki-laki
bisa memiliki ciri-ciri femininitas sekaligus ciri-ciri maskulinitas.
Model tradisional dan model nontradisional
Model tradisional berpandangan bahwa maskulinitas dan femininitas dipandang
sebagai titik-titik yang berlawanan dalam suatu kotinum yang bipolar. Pengukuran-
pengukuran untuk melihat femininitas dan maskulinitas didasarkan atas pandangan
tersebut, sehingga derajat yang tinggi dari maskulinitas menunjukkan derajat yang rendah
dalam femininitas (Betz dan Fitzegerald, 1987).
Feldman (dalam Walsh, 1985) menyatakan perempuan ideal adalah yang
memiliki ciri-ciri femininitas yang tinggi, yakni : berorientasi pada keluarga dan anak-
anak; hangat; pernuh pengertian; lemah lembut dan tulus; peka terhadap perasaan orang
lain; penuh perhatian; baik budi dan penuh kasih sayang; ia seorang yang pemurung;
mudah tergugah; emosional; subyektif; tidak logis; ia juga seorang yang suka mengeluh
dan merajuk; lemah; putus asa; rapuh; mudah tersinggung; perempuan juga merupakan
seorang yang submissive; yang mengalah dan tergantung pada orang lain.
Menurut Brenner (1976) keberhasilan merupakan salah satu dimensi dari peran
gender maskulin. Trait maskulin lain menurut Broverman dan kawan-kawan adalah
memiliki karakteristik agresif, mandiri, tidak emosional, obyektif, tidak mudah
dipengaruhi orang lain, ia juga seorang yang dapat mengambil keputusan, percaya diri,
Menurut model tradisional ini, penyesuaian diri yang positif dihubungkan dengan
kesesuaian antara orientasi peran gender dengan jenis kelamin seseorang. Seorang laki-
laki akan mempunyai penyesuaian diri yang positif jika ia menunjukkan maskulinitas
yang tinggi dan femininitas yang rendah. Dan sebaliknya perempuan yang memiliki
penyesuaian diri yang positif adalah perempuan yang menunjukkan femininitas yang
tinggi dan maskulinitas yang rendah (Kagan, 1964).
Sebagai konsekuensi dari model tradisional dengan pengukuran yang bipolar,
maka individu-individu yang memiliki ciri-cir maskulinitas dan femininitas yang relative
seimbang tidak akan terukur. Hal tersebut menimbulkan reaksi dengan dikembangkannya
model orientasi yang nontradisional.
Model nontradisional mulai dikembangkan tahun 1970-an oleh sejumlah penulis
(antara lain Bem, 1974; Constantinople, 1973; Spence, Helmrich & Stapp, 1974) yang
menyatakan bahwa maskulinitas dan femininitas lebih sesuai bila dikonseptuasilsasikan
terpisah, karena merupakan dimensi yang independen.
Berdasarkan konsep ini Bem (1974) menyimpulkan empat klasifikasi kepribadian
berdasarkan respons seseorang terhadap skala maskulinitas dan femininitas pada Bem
Sex Role Inventory (BSMRI), yaitu :
(1) Sex-typed
Yakni seorang laki-laki yang mendapat skor tinggi pada maskulinitas dan
mendapat skor rendah pada femininitas. Pada perempuan yang mendapat skor
(2) Cross-sex-typed
Yakini laki-laki yang memperoleh skkor tinggi pada femininitas, namun memiliki
skor yang rendah pada maskulinitas. Sedangkan pada perempuan memiliki skor
yang tinggi pada maskulinitas dan skor yang rendah pada femininitas.
(3) Androgini
Yakni laki-laki dan perempuan yang mendapat skor tinggi baik pada maskulinitas
maupun femininitas.
(4) Undifferentiated
Yakni laki-laki dan perempuan yang mendapat skor rendah baik pada
maskulinitas maupun femininitas.
Berdasarkan model nontradisional ini, terdapat semacam klasifikasi kepribadian
yang mulai banyak dibicarakan sebagai alternative dari peran yang bertolak-belakang
antara laki-laki dan perempuan, yakni tipe kepribadian androgini.
Androgini
Kata androgini sendiri berasal dari bahasa Yunani yang berarti laki-laki dan
perempuan. Kini androgini diistilahkan kepada laki-laki maupun perempuan yang
memiliki kualitas maskulinitas dan kualitas femininitas yang tinggi.
Pendapat yang membuka kemungkinan tentang androgini ini sebenarnya telah ada
menyatakan bahwa di dalam diri seorang perempuan terdapat aspek maskulin yang
disebut animus atau logos dan di dalam diri seorang laki-laki terdapat aspek feminine
yang disebut anima atau eros.
Logos adalah prinsip maskulin yang merupakan prinsip untuk memberi bentuk,
menyusun keteraturan, aspirasi untuk menguasai dan mengembangkan trait kompeten.
Sedangkan eros dihubungkan dengan prinsip keterikatan, kepekaan, sifat responsive,
kecenderungan untuk memberi kasih saying kepada sesama manusia serta pengasih.
Logos dan eros ini, untuk seorang laki-laki digambarkan sebagai Jung dalam suatu
skema, dimana logos merupakan daerah yang terang, sedangkan eros di daerah yang
gelap, sebagai berikut :
Menurut Jung, perkembangan khas seorang laki-laki ke arah logos sedangkan
perkembangan khas seorang perempuan kea rah eros. Menurut Hall & Lindzey (1985),
seorang manusia yang utuh, yang dilambangkan sebagai suatu lingkaran merupakan
perkembangan diri yang utuh, (fullness of selfhood). Seorang manusia yang utuh tidak
membatasi diri, sebagai laki-laki hanya mengarah pada logos, atau perempuan hanya
mengarah pada eros sja, namun mengembangkan eros dan logos bersamaan dalam satu
individu.
Dengan kata lain, pengembangan diri yang utuh berarti mengembangkan potensi-
potensi yang ada di dalam diri dan mewujudkannya sebagai aktualisasi diri. Adanya eros
dan logos di dalam diri manusia memberikan kemungkinan baik pada laki-laki maupun
Pengembangan diri kea rah logos dan eros ini memungkinkan adanya ke dua
karakter feminine dan maskulin di dalam diri seseorang, yang berarti androgini. Dengan
demikian dikatakan seorang yang androgini lebih mengembangkan potensi dirinya,
disbanding seseorang yang mengembangkan hanya karakter feminine atau maskulin saja.
Bem (Betz & Fitzegerald, 1980:62) menggambarkan individu yang memiliki
kepribadian androgini sebagai berikut :
…a balance of masculine and feminine characteristic was postulated to be advenageous because balanced or ‘androgynous’ individual would be freer of artificial sex role-related constraints on the extent of their behavioral and copying repertoires.
Menurut Bem, secara teoritis orang dengan kepribadian androgini dapat
mengadaptasi perilaku-perilaku maskulin, misalnya asertif, aktif, dapat memecahkan
masalah dan mengadaptasi perilaku feminine misalnya dapat mendukung orang lain
secara emosional sesuai dengan situasi tertentu, tanpa perasaan tidak enak.
Wrightsmen dan Deaux (1981) menyebutkan bahwa seseorang yang androgini
cenderung lebih kompeten, yakin pada diri sendiri dan memiliki harga diri yang tinggi.
Selain itu dalam beberapa situasi cenderung fleksibel dan efektif dalam hubungan
interpersonalnya. Penelitian dari Spence dan Helmreich (dalam Wrightsman dan Deaux,
1981) tentang androgini menunjukkan bahwa individu laki-laki maupun perempuan yang
androgini cenderung memiliki motivasi untuk berprestasi yang lebih tinggi bila
dibandingkan dengan individu yang feminine ataupun maskulin. Myers dan Lips (dalam
Wrightsmen dan Deaux, 1981) juga melaporkan bahwa perempuan yang androgini lebih
dengan perempuan yang feminine. Seorang laki-laki dan perempuan yang androgini juga
bertingkah laku dengan cara yang sama dalam menghadapi laki-laki dan perempuan.
Interaksi yang terjadi antara laki-laki dan perempuan yang androgini lebih aktif dan
menyenangkan dari pada interaksi antara laki-laki maskulin dan perempuan feminine.
Dengan demikian, berarti seorang yang androgini secara potensial dapat berfungsi efektif
dalam berbagai situasi dengan tingkat kesehatan psikologis yang tinggi.
Dari berbagai uraian di atas dapat disimpulkan bahwa seorang yang androgini
kemungkinan akan lebih dapat mengembangkan potensi dirinya, oleh karena itu individu
yang androgini secara psikologis akan dapat lebih sehat dibandingkan dengan yang
feminine atau maskulin saja.
Meskipun cukup menjanjikan bagi perkembangan diri yang sehat bagi perempuan
dan laki-laki, pada kenyataannya konsep ini, dalam perjalanannya menunjukkan berbagai
kelemahan, terutama berkaitan dengan alat ukur yang digunakan. Kritik yang mendasar
terhadap konsep ini diungkapkan oleh Lott (dalam Unger & Crowford, 1992) bahwa
konsep androgini justru menguatkan keyakinan bahwa perilaku memiliki dua gender
maskulin dan feminine. Contohnya seseorang yang menggambarkan dirinya dapat
diandalkan, ambisius dan analitis di sekor sebagai maskulin pada skala androgini. Kritik
dari Lutt adalah mengapa ia harus dilabel sebagai maskulin, bukankah lebih tepat
dikatakan ia seorang yang dapat diandalkan, ambisius dan analitis. Dengan demikian
pelabelan sifat-sifat sebagai maskulin dan feminine malah tidak sejalan dengan usaha
BAB III Stereotip
Gender
Unger & Crowford (1992) menyatakan teori atribusi merupakan bagian dari
Psikologi Sosial yang bersibuk diri dengan cara seseorang menerangkan penyebab dari
perilaku diri sendiri dan orang lain. Selanjutnya akan diuraikan bagian dari teori atribusi
yang relevan dengan studi tentang stereotip gender sebagai bagian dari pembahasan
gender pada tulisan ini.
Atribusi merupakan asumsi-asumsi mengenai mengapa orang berperilaku tertentu.
laki dan perempuan. Melalui atribusi inilah stereotip berperan sebagai mekanisme control
social. Perbedaan atribusi terhadap laki-laki dan perempuan ini hadir pada area perilaku
yang luas dan bervariasi, yang membantu membentuk dasar dari diskriminasi terhadap
laki-laki dan perempuan (Unger & Crowford, 1992).
Penyebab perbedaan ini, salah satunya adalah adanya perbedaan jumlah akses
informasi yang berbeda dari diri si actor dan orang lain. Mereka memiliki informasi yang
sedikit mengenai perubahan perilaku orang lain sebagai fungsi dari perbedaan peran atau
konteks social (Unger & Crowford, 1992). Selanjutnya mereka menyatakan,
menggunakan gender sebagai basis dalam membuat atribusi berarti mengubah
pandanagan kita tentang penyebab perbedaan gender. Berdasarkan pandangan ini,
pertama orang-orang menjadi dokter atau perawat, dan kekmudian membentuk sifat-sifat
kepribadian yang ‘sesuai’ dengan pekerjaan ini.
Karena kita memiliki pengalaman yang terbatas terhadap laki-laki dan perempuan
pada peran yang sama, kita cenderung menerangkan perbedaan gender sebagai hal yang
disposisional meskipun hal itu bisa jadi suatu respons terhadap batasan social. Menurut
Unger dan Crowford hal inilah yang menyebabkan orang-orang tercengang bila
perempuan eksekutif atau atlit berperilaku seperti laki-laki yang memiliki peran yang
sama.
Perbedaan secara biologis antara perempuan dan laki-laki selalu dianggap
menimbulkan dampak adanya perbedaan terhadap perilaku apa yang cocok dan tidak
secara biologis terhadap laki-laki dan perempuan menunjukkan kurangnya data untuk
menyatakan perbedaan biologis sebagai dasar timbulnya perbedaan peran gender (Frieze,
1978). Penelitian-penelitian lain, sebagaimana yang diungkapkan oleh Myers (1994).
Menunjukkan bahwa budaya membentuk adanya perbedaan peran gender. Hal ini sesuai
dengan pendapat Mead (1978), bahwa kebudayaan memegang peranan penting dalam
pembentukan peran gender seseorang. Kebudayaan mempengaruhi proses belajar peran
gender dan identitas gender dengan membentuk stereotip peran gender.
Menurut Wrightdmrn (1981) steretip merupakan konsep yang relative kaku dan
luas di mana setiap individu di dalam suatu kelompok dicap dengan karakter dari
kelompok tersebut.
Stereotip peran gender menurut Jenkins dan McDonald (1971) merupakan
generalisasi pengharapan mengenai aktivigtas, kemampuan, atribut dan pilihan apa yang
sesuai dengan jenis kelamin seseorang. Menurut Hoyenga dan Hoyenga (1992) stereotip
peran gender dihasilkan dari pengkategorisasian perempuan dan laki-laki, yang
merupakan suatu representasi social yang ada dalam sturktur kognisi kita. Stereotip
gender digunakan untuk menggambarkan aspek-aspek sosiologis/antropologis/kultural
dari ciri atau sifat maskulin dan feminine.
Namun, menurut Vob Baeyer, Sherk dan Zanna (dalam Hoyenga& Hoyenga,
1992) stereotip gender pribadi yang dimiliki seseorang, dapat berbeda dari apa yang
dimiliki atau diterapkan oleh kebanyakan orang di budayanya. Mungkin saja ada ketidak-
budayanya tentang gender. Pemahaman seseorang akan perbedaan ini dapat
mempengaruhi bagaimana ia menampilkan dan mengevaluasi dirinya.
Menurut Baron dan Byrne (1997) stereotip gender merupakan sifat-sifat yang
dianggap benar-benar dimiliki oleh perempuan dan laki-laki, yang memisahkan ke dua
gender. Dari berbagai hasil penelitian Baron dan Byrne lebih lanjut menyimpulkan : (1)
Memang ada beberapa perbedaan perilaku social di antara perempuan dan laki-laki,
seperti kemampuan memberi dan menerima pesan-pesan nonverbal serta agresivitas,
tetapi (2) Besar dan keluasan perbedaan ini jauh lebih kecil dari apa yang diungkapkan
oleh stereotip.
Sayangnya, demikian dinyatakan oleh Baron dan Byrne (1997), meskipun pada
kenyataannya kebanyakan dari stereotip tersebut tidak akutat, namun tetap memberikan
efek yang negative, antara lain : mencegah perempuan mendapatkan pekerjaan-pekerjaan
tertentu, mencegah promosi tertentuk untuk perempuan serta menghambat perempuan
mendapatkan upah yang sama dalam pekerjaannya.
Stereotip atau belief tentang peran laki-laki dan perempuan bukanlah merupakan
prasangka. Stereotip ini bisa jadi akurat, tidak akurat atau generalisasi yang berlebihan,
namun menurut Myers didasarkan atas setitik kebenaran.
Studi lintas budaya tentang stereotip gender berdasar penelitian William & Best
(1982) di 30 negara yang berbeda, menemukan laki-laki cenderung dilihat lebih mandiri,
tekun sedangkan perempuan dianggap lebih besar kebutuhannya untuk menghargai orang
lain, perasaan bersalah, mendengarkan orang lain dan berhubungan dengan lawan jenis.
Teori-teori tentang stereotip ini telah mengalami perubahan selama 20 tahun
terakhir. Bila tadinya stereotip dianggap suatu bentuk patologi, kini dianggap sebagai
konsekuensi inheren dari kecenderungan manusia untuk mengelompokkan sesuatu,
melalui proses kategorisasi. Stereotip ini meringkas dan mengorganisasikan apa yang
telah dipelajari seseorang tentang kelompok-kelompok social.
Stereotip dapat bermuatan positif, negative atau netral. Stereotip yang negative
dapat berubah menjadi prasangka. Banyak dari penemuan-penemuan teoritis maupun
praktis mengenai stereotip, diperoleh dari kenyataan bahwa kebanyakan dari kelompok
yang menjadi target stereotip negative tertentu, juga menjadi target prasangka dan
perilaku diskriminasi, yang berkaitan dengan stereotip itu. Dapat dikatakan pada kasus-
kasus seperti ini, stereotip negative diekspresikan melalui prasangka dan perilaku
diskriminasi (Snyder & Miene, 1994). Prasangka terhadap kelompok ras tertentu disebut
DAFTAR PUSTAKA
Atwater, LE & DD.Van Fleet. (1977). Another ceiling? Can males compete for
traditionally feminine jobs?. Journal of Management, vol 23 (5), 603-606.
Baron, RA & D. Byrne. (1997). Social Psychology. Boston. Allyn and Bacon.
Deaux, KF, FC Dane, LS Wrightsman. (1993. Social Psychology in the 90s.
pacific Grove. Brooks/Cole Publishing Company.
Frieze, I. (1987). Women and sex role: A social psychological Perspektive. USA.
WW Norton and Co.
Garnets, L & J Pleck. (1979). Sex role identitiy, androgyny and sex role
transcendence : A sex role analyses. Psychology of women quarterly, 3,
270-283.
Gilbert, LA. Two careers/one family: The premise of gender equality. (1993).
Newbury Park : Sage Publication inc.
Hall, CS & G Lindzey. Introduction to theories of personality. New York. John
Wiley and Son.
Hoyenga, KB & KT Hoyenga. (1992). Gender related differences. Boston. Allyn
and Bacon.
Hurlock, EB. (1980). Developmental Psychology: A life span approach. New
Delhi. Tata McGrew Hill Publishing Company.
Myers, DG. (1996). Social Psychology, fifth edition. New York. McGrew Hill
Companies Inc.
Oskamp, S & M Costanzo. (1993). Gender issues in contemporary society.
Newbury Park. Sage Publication Inc.
Stockard, JM & M Johnson. (1992). Sex and gender in society, second edition.
New Jersey. Prentice Hall Inc.
Unger, R & M C Rhoda. (1992). Women and gender: A Feminist Psychology.
New York. McGrew Hill Inc.
Zanna, MP & JM Olsen (eds). (1994). The Psychology of prejudice : The Ontario