• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara Social Support dengan Optimisme pada Orang dengan HIV/AIDS (ODHA)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan antara Social Support dengan Optimisme pada Orang dengan HIV/AIDS (ODHA)"

Copied!
169
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA SOCIAL SUPPORT DENGAN

OPTIMISME PADA ORANG DENGAN HIV/AIDS (ODHA)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh

ERNI JULIANTI SIMANJUNTAK

071301087

FAKULTAS PSIKOLOGI

(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur peneliti panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan karunia dan kekuatan dalam penyelesaian skripsi ini yang berjudul

“Hubungan antara Social Support dengan Optimisme pada Orang dengan HIV/AIDS (ODHA)” guna memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara. Peneliti juga

mengucapkan terima kasih kepada keluarga peneliti, khususnya kepada bapak dan mama termasuk keluarga besar peneliti yang senantiasa memberikan dukungan

dan semangat kepada peneliti. Peneliti menyadari bahwa tanpa bantuan pihak lain maka peneliti tidak mampu menyelesaikan penelitian ini. Oleh karena itu, peneliti ingin menyampaikan terima kasih yang tulus kepada semua pihak yang telah

membantu penyelesaian penelitian ini. Ucapan terima kasih peneliti tujukan kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

2.Ibu Arliza Juairiani, M.Si., Psikolog selaku dosen pembimbing yang telah membimbing penulis selama proses mengerjakan tugas ini. Terima kasih atas

bimbingan, arahan, masukan, kesabaran, waktu dan tenaga yang telah ibu berikan kepada peneliti, sehingga peneliti dapat menyelesaikan penelitian ini.

(3)

4.Ibu Aprilia Fadjar Pertiwi, M.Si., Psikolog dan Ibu Juliana Irmayanti Saragih, M.Psi., Psikolog selaku dosen penguji proposal penelitian. Terima kasih atas

kritik, masukan, bimbingan, dan saran yang telah diberikan guna membuat penelitian ini menjadi lebih baik.

5. Seluruh dosen di departemen Psikologi Klinis dan seluruh staf pengajar serta

pegawai Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara. Terima kasih atas bantuan telah diberikan kepada peneliti.

6. Kakak dan abang yang membantu peneliti (Bang Aswin, Bang Yustian, Bang Asron, Bang Ivent, Bang Ojak, Kak Yoland), saudara-saudaraku pengurus UKM KMK USU fakultas psikologi (Vivin, Ita, Rany Monika, Kak Yani, Armen,

Erika, Lastiarma, Susi, Rentika, Hitler, Asda, Lia, Christiana), Kelompok Tumbuh Bersama ku (Kak Wiwik, Tetty, Kak Maya, Intan, Christy), Adik-adik

kelompok kecil ku (Christina, Mona, Martina), sahabat-sahabat (Dermika, Arini, Lenny, Esna), dan teman-teman stambuk 2007.

7. Abang dan kakak di LSM Medan Plus Support, pendamping (buddies) dan juga

kepada semua orang yang terlibat dan telah bersedia menjadi subjek penelitian Akhir kata, peneliti berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas

segala kebaikan saudara-saudara semua. Semoga penelitian ini membawa manfaat bagi rekan-rekan semua.

Medan, Juni 2011

Peneliti

(4)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1

B. Rumusan Masalah ... 13

C. Tujuan Penelitian ... 14

D. Manfaat Penelitian ... 14

E. Sistematika Penulisan ... 15

BAB II LANDASAN TEORI A. Optimisme ... 1. Definisi Optimisme ... 16

2 Ciri-ciri Optimisme ... 23

3. Manfaat Optimisme ... 28

4. Optimisme pada ODHA ... 29

B. Social Support 1. Pengertian Social Support ... 30

2. Bentuk-Bentuk Social support ... 32

(5)

4. Aspek-aspek Social Support ... 37

5. Dampak Social Support... 37

6. Social Support pada Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) ... 40

C. Hubungan antara Social Support dengan Optimisme Pada Orang Dengan HIV/AIDS ... 41

D. Hipotesi Penelitian ... 43

E. Paradigma Berpikir ... 44

BAB II METODE PENELITIAN A. Identifikasi Variabel Penelitian ... 45

B. Definisi Operasional ... 46

C. Populasi dan Metode Pengambilan Sampel ... 48

D. Metode Pengumpulan Data ... 50

E. Daya Beda Aitem, Validitas, Dan Reliabilitas Alat Ukur 1. Uji Daya Beda Aitem ... 53

2. Uji Validitas Alat Ukur ... 54

3. Uji Reliabilitas Alat Ukur ... 55

F. Hasil Uji Coba Alat Ukur ... 56

G. Prosedur Penelitian 1. Tahap persiapan penelitian ... 59

2. Tahap pelaksanaan penelitian ... 60

(6)

H. Metode Analisis Data ... 61

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Subjek Penelitian... 63

a. Jenis kelamin ... 63

b. Usia ... 64

c. Status pernikahan ... 64

d. Pendidikan ... 65

e. Kurun waktu menderita HIV/AIDS ... 65

f. Faktor resiko ... 66

g. Status tempat tinggal ... 67

h.Status sebagai ODHA diketahui keluarga atau tidak ... 68

B. HASIL PENELITIAN 1.Hasil uji asumsi ... 68

i. Uji normalitas ... 68

ii. Uji Linieritas ... 70

2.Hasil Utama ... 71

1.Hubungan social support secara keseluruhan dengan optimisme ... 72

2.Hubungan masing-masing bentuk social support dan aitem dengan optimisme... 73

2a. Emotional or esteem support ... 73

2b. Tangible/ instrumental Support ... 74

(7)

2d. Companionship Support ... 77

3.Hasil Tambahan ... 78

1.Kategorisasi data penelitian ... 78

2.Hubungan berdasarkan gambaran subjek penelitian (data kontrol ... 80

3.Perbandingan mean dan berdasarkan kekuatan hubungan ... 82

C. PEMBAHASAN ... 83

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan... 93

B. Saran ... 96

1.Saran metodologis ... 96

2.Saran Praktis ... 97

DAFTAR PUSTAKA ... 99

(8)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Blue print LOT-R (Life Orientation Test-Revised) yang

sudah diadaptasi kedalam bahasa Indonesia ... 51

Tabel 2. Blue print kuesioner social support ... 52

Tabel 3. Hasil analisis aitem pada masing-masing bentuk social support ... 57

Tabel 4. Hasil analisis aitem social support secara keseluruhan ... 58

Tabel 5. Distribusi aitem-aitem hasil uji coba kuesioner social support ... 58

Tabel 6. Gambaran subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin ... 63

Tabel 7. Gambaran subjek penelitian berdasarkan usia ... 64

Tabel 8. Gambaran subjek penelitian berdasarkan status pernikahan ... 64

Tabel 9. Gambaran subjek penelitian berdasarkan pendidikan ... 65

Tabel 10. Gambaran subjek penelitian berdasarkan lama waktu menderita HIV/AIDS ... 66

Tabel 11. Gambaran subjek penelitian berdasarkan faktor resiko ... 66

Tabel 12. Gambaran subjek penelitian berdasarkan status tempat tinggal ... 67

Tabel 13. Gambaran subjek penelitian berdasarkan pengetahuan keluarga akan status sebagai ODHA oleh keluarga ... 68

Tabel 14. Uji Normalitas Variabel social support dan optimisme ... 68

Tabel 15. Uji Linearitas variabel social support dengan optimisme ... 71

Tabel 16. Hasil penelitian dengan uji korelasi Spearman ... 72

Tabel 17. Deskripsi variabel social support dan optimisme ... 79

Tabel 18. Kriteria jenjang kategorisasi variabel social support dan optimisme ... 79

Tabel 19. Matriks kategorisasi variabel social support optimisme ... 80

(9)

DAFTAR GAMBAR

(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Persiapan Alat Ukur ... 114

Lampiran 2 Data Uji Coba dan Reliabilitas ... 121

Lampiran 3 Data Mentah ... 135

Lampiran 4 Hasil Uji Korelasi dengan SPSS ... 141

(11)

Hubungan Antara Social Support dengan Optimismo Pada Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA)

Erni Julianti Simanjuntak dan Arliza Juairiani, M.Si., Psikolog

ABSTRAK

Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah salah satu penyakit kronis bersifat fatal. Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) ini menjalani kehidupan yang sulit karena lemahnya kondisi fisik, tekanan emosional, stres psikologis, stigma sosial dan diskriminasi di masyarakat. Di tengah kondisi seperti itu, ODHA diharapkan memiliki optimisme yaitu sikap positif dari dalam dirinya bahwa mereka memiliki harapan-harapan yang baik akan masa depan, bahkan dengan penyakit yang dihadapinya (Carver&Scheier 1993). Sama seperti penyakit kronis lainnya ODHA membutuhkan social support yang dapat memberikan kenyamanan fisik dan psikologis. Berbagai penelitian telah menguji hubungan antara social support dengan optimisme tetapi masih sedikit yang memfokuskan pada penyakit kronis dengan adanya stigma seperti HIV/AIDS ini. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara social support dengan optimisme pada ODHA. Pengambilan sampel dilakukan dengan incidental sampling karena area yang diteliti bersifat sensitif. Subjek penelitian ini adalah ODHA sebanyak 43 orang. Social support diukur dengan kuesioner yang disusun berdasarkan bentuk-bentuk social support yang dikemukakan oleh Wills&Fegan (dalam Sarafino, 2006). Dan untuk mengukur optimisme, menggunakan Life Orientation Test-Revised (LOT-R) (Scheier & Carver, 1985). LOT-R ini diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia sesuai dengan kebutuhan penelitian untuk mengukur optimisme disposisional pada subjek penelitian.

Adapun hasil analisis data penelitian menggunakan korelasi Spearman menunjukkan korelasi antara social support secara keseluruhan dengan optimisme rs = 0467 signifikansi p<0.05 (p = 0.001) yang berarti ada hubungan positif antara social support secara keseluruhan dengan optimisme. Hasil penelitian juga menunjukkan ada hubungan positif yang signifikan antara masing-masing bentuk social support dengan optimisme pada ODHA yang ditunjukkan dengan korelasi Spearman untuk emotional support rs=0,405, (p=0,004), tangible support rs=0,461

(p=0,001), informational support rs = 0,340 (p=0,013) dan companionship support

rs = 0,428 (p=0,002).

(12)

Hubungan Antara Social Support dengan Optimismo Pada Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA)

Erni Julianti Simanjuntak dan Arliza Juairiani, M.Si., Psikolog

ABSTRAK

Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah salah satu penyakit kronis bersifat fatal. Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) ini menjalani kehidupan yang sulit karena lemahnya kondisi fisik, tekanan emosional, stres psikologis, stigma sosial dan diskriminasi di masyarakat. Di tengah kondisi seperti itu, ODHA diharapkan memiliki optimisme yaitu sikap positif dari dalam dirinya bahwa mereka memiliki harapan-harapan yang baik akan masa depan, bahkan dengan penyakit yang dihadapinya (Carver&Scheier 1993). Sama seperti penyakit kronis lainnya ODHA membutuhkan social support yang dapat memberikan kenyamanan fisik dan psikologis. Berbagai penelitian telah menguji hubungan antara social support dengan optimisme tetapi masih sedikit yang memfokuskan pada penyakit kronis dengan adanya stigma seperti HIV/AIDS ini. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara social support dengan optimisme pada ODHA. Pengambilan sampel dilakukan dengan incidental sampling karena area yang diteliti bersifat sensitif. Subjek penelitian ini adalah ODHA sebanyak 43 orang. Social support diukur dengan kuesioner yang disusun berdasarkan bentuk-bentuk social support yang dikemukakan oleh Wills&Fegan (dalam Sarafino, 2006). Dan untuk mengukur optimisme, menggunakan Life Orientation Test-Revised (LOT-R) (Scheier & Carver, 1985). LOT-R ini diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia sesuai dengan kebutuhan penelitian untuk mengukur optimisme disposisional pada subjek penelitian.

Adapun hasil analisis data penelitian menggunakan korelasi Spearman menunjukkan korelasi antara social support secara keseluruhan dengan optimisme rs = 0467 signifikansi p<0.05 (p = 0.001) yang berarti ada hubungan positif antara social support secara keseluruhan dengan optimisme. Hasil penelitian juga menunjukkan ada hubungan positif yang signifikan antara masing-masing bentuk social support dengan optimisme pada ODHA yang ditunjukkan dengan korelasi Spearman untuk emotional support rs=0,405, (p=0,004), tangible support rs=0,461

(p=0,001), informational support rs = 0,340 (p=0,013) dan companionship support

rs = 0,428 (p=0,002).

(13)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah salah satu penyakit kronis dan juga penyakit yang bersifat fatal (Feist, 2010), yang saat ini melanda seluruh dunia. Penyakit ini tidak

mengenal batas negara dan juga menyebar ke seluruh lapisan masyarakat. Di Indonesia sendiri epidemi AIDS berlangsung hampir 20 tahun namun diperkirakan masih akan berlangsung terus dan memberikan dampak yang tidak

mudah diatasi (Alman, dalam Taylor, 2009)

AIDS adalah sekumpulan gejala dan infeksi

rusaknya menyerang sel darah putih (CD4) yang berfungsi sebagai sistem kekebalan tubuh dan merusaknya serta menjadikannya tempat berkembang biak dan menghasilkan

HIV baru. Tanpa kekebalan tubuh, manusia mudah diserang penyakit, tubuh lemah tidak mampu melawan penyakit sehingga penderita dapat meninggal dunia

akibat penyakit ringan sekalipun seperti influenza atau pilek biasa. Individu dengan AIDS rentan terjangkit penyakit yang mengancam (Sarafino, 1998). Orang yang terkena virus ini akan menjadi rentan terhadap berbagai masalah fisik yang

terjadi akibat penurunan daya tahan tubuh. Penderita akan rentan terhadap berbagai penyakit terutama penyakit infeksi (infeksi opportunistic) seperti TB

(14)

kaposi, limpoma, infeksi gastrointestinal, infeksi/kelainan neurologik (Ignatavicius & Bayne, 1991; Bare & Smeltzer; Depkes R.I., 2003).

Penanganan terhadap penyakit ini telah ada, akan tetapi sampai saat ini belum ada vaksin yang dapat melawan virus tersebut. Para ahli berusaha mendapatkan obat untuk mengatasi AIDS, dan obat itu disebut sebagai

Antiretroviral Agents (ARV). Akan tetapi, obat ini tidak dapat menyembuhkan AIDS, hanya dapat memperlambat pertumbuhan HIV pada tahap awal (Taylor,

2006).

Depkes RI tahun 2005 memprediksi pada tahun 2010 penderita HIV/AIDS akan mencapai 93.968 hingga 130.000 orang. Dan data menunjukkan sampai

Maret 2009 tercatat 17.988 orang pengidap HIV dan AIDS. Jumlah tersebut diyakini masih jauh dari jumlah sebenarnya dan masih akan terus meningkat

(Ditjen PPM & PL Depkes RI, 2009). Berdasarkan data Komisi Penanggulangan AIDS Nasional sampai 30 Desember 2009, rerata kasus HIV/AIDS adalah 8,15 per 100.000 penduduk. Tingkat usia penderita kasus HIV/AIDS 49,57% berada

pada rentang umur 20-29 tahun. Sementara 29,84% rentang umur 30-39 tahun dan 8,71% pada usia antara 40-49 tahun (Rinda, 2010). Project Officer Global Fund

Dinas Kesehatan Sumatera Utara, Andi Ilham Lubis mengatakan dari laporan yang diterima Dinkes Sumut selama Juni 2010 lalu, tercatat 2260 penderita HIV/AIDS di Sumut. Rinciannya, penderita HIV sebanyak 884 orang dan AIDS

sebanyak 1.376 orang. Sedangkan pada Juli 2010, terjadi peningkatan menjadi 2.291 orang, dimana penderita HIV 909 orang dan AIDS 1.382 orang (Adela Eka,

(15)

Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) adalah orang-orang yang secara positif didiagnosa terinfeksi virus HIV. ODHA adalah seseorang yang yang setelah

menjalankan tes atau pemeriksaan darah dinyatakan terinfeksi HIV/AIDS (Tuapattinaja, 2004). Orang-orang yang mungkin tertular virus HI ini tidak memandang usia, dan latar belakang. Semua orang bisa saja terinfeksi oleh virus

ini. Akan tetapi ditemukan kelompok berisiko tinggi seperti pengguna napza suntik (penasun), pekerja seks (pria & wanita), waria, dan lelaki suka lelaki.

Angka prevalensi HIV pada penasun cukup tinggi di Surabaya (56%), Medan (56%), Jakarta (55%), dan Bandung (43%). Angka prevalensi HIV pada waria sangat tinggi di Jakarta (34%), Surabaya (25,2%) dan Bandung (14%). Angka

prevalensi HIV wanita penjaja seks (WPS) tertinggi terdapat di Papua 15,9%, berikutnya Bali 14,1%, Batam 12,3%, Jawa Barat 11,6%, Jakarta 10,2%, Jawa

Tengah 6,6%, Jawa Timur 6,5%, dan Medan 6,1% (Rinda, 2010). Sementara laporan Departemen Kesehatan tentang situasi perkembangan kasus HIV/AIDS mengungkapkan, cara penyebaran virus ini secara kumulatif diketahui melalui

heteroseksual yang mencapai persentase 49,7%, disusul IDU (Injection Drugs Use) penggunaan jarum suntik pengidap narkoba secara bergantian 40,7% dan hubungan seksual sesama laki-laki 3,4% (Rinda, 2010).

Sejak ditemukannya penyakit AIDS (Acquired Imuno Deficiency Syndrome) dan virus penyebabnya HIV (Human Imunodeficiency Virus), muncul dampak yang begitu luas bagi individu dengan HIV/AIDS dan juga di masyarakat dan dampak yang ditimbulkan adalah dampak negatif seperti masalah fisik,

(16)

Individu yang positif terinfeksi HIV, salah satu masalah ditunjukkan dengan perubahan karakter psikososial yaitu: hidup dalam stres, depresi, merasa

kurangnya social support, dan perubahan perilaku (WHO dalam Nasronudin, 2004). ODHA menjalani kehidupannya terasa sulit karena dari segi fisik individu tersebut akan mengalami perubahan yang berkaitan dengan perkembangan

penyakitnya, tekanan emosional dan stres psikologis yang dialami karena dikucilkan oleh keluarga dan teman karena takut tertular, serta adanya stigma

sosial dan diskriminasi di masyarakat. Wolcott, dkk (dalam Ader, 1991) mengemukakan bahwa penderita HIV/AIDS menghadapi situasi hidup dimana mereka sering menghadapi sendiri kondisinya tanpa dukungan dari teman dan

keluarga yang memberi dampak kecemasan, stres, depresi, rasa bersalah dan pemikiran.

Dewasa ini pandangan masyarakat terhadap ODHA sudah sedikit mengalami perkembangan ke arah positif. Akan tetapi sebagian besar masyarakat masih memberikan

faktor yang menimbulkan penyakit HIV

mengenai penyakit HIV penyakit ini adalah merupakan suatu “hukuman” atas perbuatan yang melanggar moral atau tidak bertanggungjawab sehingga penderita HIV

(17)

Ketakutan karena pengalaman dan kemungkinan mendapat stigma dan diskriminasi menambah beban pikiran dan kecemasan ODHA. Hal ini membuat

mereka memiliki penilaian yang kerap kali salah terhadap orang yang mendekati mereka. Ketakutan mendapat stigma justru membuat mereka sendiri menstigma diri sendiri bahwa mereka akan direndahkan dan dikucilkan. Pikiran negatif ini

membuat mereka cenderung untuk menarik diri dan menghindari pergaulan dengan orang lain bahkan menghambat mereka untuk mencari dukungan sosial

yang dapat membantu mereka mengatasi masalah kesehatan yang dialaminya. Hal ini jugalah yang membuat fenomena HIV/AIDS termasuk dalam fenomena gunung es. Dimana kasus HIV/AIDS yang muncul kepermukaan masih sangat

sedikit tetapi sesungguhnya masih begitu banyak penderita HIV/AIDS yang tidak terdata dan tidak pernah diketahui (Sahabat Senandika, Yayasan Spiritia, No. 12,

November 2003).

Hidup seorang ODHA sangat tertekan, karena hidupnya sudah divonis tidak akan lepas dari virus yang akan senantisa bersarang dalam tubuhnya, juga

trauma yang diperoleh dari masyarakat. Orang dengan HIV/AIDS akan merasa hidupnya tidak berarti. Pandangan dan harapan masa depan menjadi suram dan

gelap dimana hasil dari segala sesuatunya menjadi sangat buruk, yang dapat memicu usaha untuk bunuh diri (Preau, dkk., 2008).

Di tengah kondisi seperti itu, individu diharapkan memiliki sikap positif

dari dalam dirinya untuk mampu bertahan dengan tetap memiliki harapan-harapan yang baik akan masa depan, bahkan dengan penyakit yang dihadapinya. Individu

(18)

meskipun dengan banyak tantangan dan kemalangan dikenal dengan individu yang memiliki optimisme (Scheier & Carver, dalam Snyder, 2002)

Optimisme merupakan sikap selalu memiliki harapan baik dalam segala hal serta kecenderungan untuk mengharapkan hasil yang menyenangkan. Dengan kata lain optimisme adalah cara berpikir atau paradigma berpikir positif (Carver &

Scheier 1993). Orang yang optimis adalah orang yang memiliki ekspektasi yang baik pada masa depan dalam kehidupannya. Masa depan mencakup tujuan dan

harapan-harapan yang baik dan positif mencakup seluruh aspek kehidupannya (Scheier & Carver, dalam Snyder, 2002)

Optimisme dapat mengarahkan seseorang untuk mengatasi stres lebih

efektif dan menurunkan resiko jatuh sakit (Scheiver, dkk,, 1994, dalam Taylor, 2009). Sikap optimis akan membuat individu untuk mengambil langkah yang

lebih efektif, aktif dan persisten yang mungkin dapat memperbaiki prospek jangka panjang terhadap penyesuaian psikologis dan kesehatan (Segerstom, dkk., dalam Taylor, 2009). Adanya sikap yang optimis telah terbukti melindungi dari berbagai

penyakit lain seperti penyakit jantung koroner (Kubzansky, Sparrow, Voconas, & Kawachi, 2001), efek samping dari treatmen kanker (deMoor et al., 2006), depresi

pada usia paruh baya (Bromberger & Matthews, 1996), kematian karena kanker pada lansia (Schulz, dkk., 1996), hilangnya fungsi pulmonari (Kubzansky et al., 2002). Untuk penderita HIV, usaha yang diperlukan adalah meningkatkan sistem

(19)

penurunan laju pertumbuhan virus dalam tubuh dan terjadi peningkatan CD4 (Joel, dkk., 2004).

ODHA yang memiliki sikap optimis, lebih mampu untuk mengatasi stres yang dihadapinya. Seorang yang optimis akan lebih aktif dan mengatasi stess yang dialaminya dengan problem-focused coping dan juga memiliki perencanaan

penuh. Sikap optimis akan cenderung untuk menerima realitas dari kondisi stressful, juga mencoba melihat sisi positif dari situasi yang buruk tersebut untuk mengambil dan mempelajari sesuatu dari hal tersebut. Sikap optimis menjadi mediator terhadap kesehatan individu, dimana ketika memiliki kemampuan untuk menemukan arti dari pengalamannya, maka akan memperlambat penurunan CD4

nya, dan tingkat kematian pun akan berkurang (Bower, dkk., dalam Taylor, 2009). Optimisme berhubungan dengan strategi coping yang aktif. Optimisme

memprediksi sikap positif dan kecenderungan untuk merencanakan penyelesaian, mencari informasi, membangun banyak relasi untuk mendapat dukungan dan membentuk kembali situasi buruk untuk melihat aspek positifnya. Orang yang

optimis tidak menganut fatalisme, menyalahkan diri sendiri, dan menghindar. Mereka juga tidak fokus pada aspek negatif dari situasi atau mencoba menekan

simptom-simptomnya. Sebaliknya orang yang optimis akan menerima situasi yang tidak dapat diubah daripada mencoba lari dari situasi tersebut (Scheier & Carver, dalam Snyder, 2002).

Akan tetapi pada kenyataanya, sebagian besar penderita HIV positif (HIV+) dijumpai menunjukkan sikap yang bertolak belakang, yaitu sikap pesimis,

(20)

menunjukkan sikap pesimis mereka seperti keinginan untuk bunuh diri dan merasa tidak ada harapan lagi. Orang yang pesimis cenderung untuk melakukan

penolakan dan mencari jalan keluar dengan coping yang salah seperti menarik diri dan menggunakan obat-obat terlarang (Scheier & Carver, dalam Snyder, 2002).

Sama halnya seperti penderita penyakit lain, orang dengan dengan

HIV/AIDS juga membutuhkan dukungan sosial. Dan dewasa ini, orang dengan HIV/AIDS sudah lebih mendapat perhatian dari orang-orang terdekatnya,

masyarakat dan lembaga-lembaga kemasyarakatan. Suatu perubahan yang positif dimana berbagai social support diberikan kepada orang dengan HIV/AIDS supaya dapat berdaya dan menjalani kehidupannya. Dukungan sosial ini merupakan

faktor eksternal menjadi pelindung bagi individu (Vollmann, dkk., 2007)

Social support sangat penting untuk ODHA. Social support adalah kenyamanan, perhatian, penghargaan yang dirasakan atau bantuan yang diterima oleh seseorang dari orang lain atau kelompok (Sarafino, 2006). Emery dan Oltmanns (2000) mengatakan bahwa social support merupakan bantuan secara

emosional dan langsung yang diberikan kepada seseorang.

Dukungan ini bisa berasal dari pihak manapun yang merupakan significant

others bagi orang yang menghadapi masalah atau situasi stres, seperti orang tua, pasangan, sahabat, rekan kerja ataupun dokter dan komunitas organisasi. Social support dapat bersumber dari keluarga, sahabat, tetangga, teman kerja, dan orang lain (DiMatteo, M. Robin, 1991).

Anggota keluarga dan sahabat dapat memberikan bantuan dengan

(21)

esteem support), sumber-sumber fisik dan bantuan secara langsung seperti meminjamkan uang, membantu merawat anak, dll (instrumental or tangible

support), bantuan berupa saran-saran, petunjuk, informasi dan nasehat (informational support), serta dukungan dengan mendamping (companionship support) (Sarafino, 2006).

Social support dapat memberikan kenyamanan fisik dan psikologis kepada individu. Hal tersebut dapat dilihat dari bagaimana social support mempengaruhi

kejadian dan efek dari keadaan stres. Stres yang tinggi dan berlangsung dalam jangka waktu yang panjang atau lama dapat memperburuk kondisi kesehatan dan menyebabkan penyakit. Tetapi social support yang diterima oleh individu yang

sedang mengalami atau menghadapi stres akan membantu individu mempertahankan daya tahan tubuh dan meningkatkan kesehatannya (Baron &

Byrne, 2000).

Kondisi ini dijelaskan oleh Sarafino (2006) bahwa berinteraksi dengan orang lain dapat memodifikasi atau mengubah persepsi individu mengenai

kejadian tersebut, dan ini akan mengurangi potensi munculnya stres baru atau stres yang berkepanjangan. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa social support

yang diterima subjek tersebut ternyata berdampak positif terhadap aspek kesehatan, psikologis, sosial dan pekerjaan subjek, sehingga hal tersebut dapat membantu subjek dalam meningkatkan kesehatan guna memerangi virus HIV.

Bukti mengindikasikan bahwa optimisme dan social support memiliki korelasi (Boland and Cappeliez, dkk., 1997, dalam Optimism, social support, and

(22)

penyakit kronis seperti kanker payudara, optimisme dan social support saling berkaitan secara positif, social support menjadi mediator terhadap optimisme dan

penyesuaian hubungan, sebagaimana juga optimisme membuat individu membangun lebih banyak relasi dan meningkatkan social support pada kondisi yang stres (Brissette et al. 2002; Dougall et al. 2001 dalam dalam Optimism,

Social Support, And Adjustment In African American Women With Breast Cancer).

Demikian halnya dengan ODHA, social support yang mereka rasakan akan membantu mereka dalam menghadapi masalah berkaitan dengan kondisi kesehatannya sama seperti pada penyakit kronis lainnya. Akan tetapi mengingat

bahwa selain HIV/AIDS adalah penyakit kronis, penderita HIV/IDS juga merasakan stigma sosial yang membuat mereka sulit berinteraksi dengan orang

lain, sehingga peneliti hendak mengukur keterkaitan antara social support yang mereka rasakan dengan kecenderungan mereka untuk memiliki harapan positif yaitu hasil yang baik dan menyenangkan dalam kehidupannya mendatang.

Berbagai bentuk social support diterima oleh ODHA dari hubungannya dengan orang lain. Social support seperti emotional support, informational

support, instrumental or tangible support, dan companionship support akan membantu ODHA menghadapi stres. Social support mengurangi stres, dan membantu individu untuk mengatasi tuntutan dan akibat penyakit yang serius

(Wortman & House, 1987).

Jenis dukungan sosial diatas menjelaskan kelengkapan atau tersedianya

(23)

keuntungan dan manfaat social support muncul dari persepsi bahwa dukungan sosial tersebut dibutuhkan dan tepat. Kejadian stressful yang berbeda menciptakan

kebutuhan yang berbeda, dan dukungan sosial paling efektif ketika kebutuhan akan dukungan sosial dan jenis dukungan sosial yang diberikan tepat dan sesuai (Taylor, 2009). Martin (dalam Sarafino, 2006) menemukan bahwa pasien

penderita kanker menerima emotion/esteem support, informational dan tangible support. Akan tetapi pasien kanker merasa bahwa dari semua dukungan yang diterima, emotion/esteem support lebih dapat menolong dalam masalah.

Dukungan sosial tidak bermanfaat jika bentuk dukungan sosial yang diberikan bukan yang dibutuhkan. Dukungan emosional paling penting ketika

datang dari orang-orang terdekat, sementara dukungan informasi dan nasihat diberikan oleh seseorang yang ahli, (Taylor, 2009). Dengan demikian, seseorang

yang membutuhkan penghiburan dari anggota keluarga tetapi justru menerima nasihat, berarti bukan mendukung tetapi membuat situasi stres semakin lebih buruk (Darkof & Taylor, dalam Taylor, 2009). Kurik dan Mahler (dalam Sheridan

& Radmacher, 1989) menemukan bahwa pasien operasi bypass koroner yang telah menikah dan pasangannya mengunjungi dengan teratur, sembuh lebih cepat dari

pada mereka yang jarang dikunjungi oleh pasangannya dan mereka yang belum menikah.

Social support akan bermanfaat jika diberikan dan diterima pada waktu dan kondisi seseorang membutuhkan bentuk dukungan tersebut. Penderita membutuhkan jenis dukungan yang berbeda pada waktu yang berbeda selama

(24)

tempat medis dibutuhkan diwaktu tertentu dan waktu yang lain dukungan emosional adalah yang paling penting (Taylor, 2009).

Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) awalnya tidak menerima keadaannya. Saat

mengetahui dirinya mengidap HIV/AIDS, orang dengan HIV/AIDS menjadi

pendiam, menutup diri dari keluarga dan lingkungannya, hopeless, helplessness dan

memiliki keinginan untuk bunuh diri. Saat seperti ini, kepuasan akan dukungan

emosional yang dirasakan akan melindungi dari emosi-emosi negatif karena stres

yang dialami (Sarafino, 2006).

Dukungan berupa informasi yang diperoleh juga sangat membantu ODHA untuk memahami penyakitnya dan membantunya untuk mencari cara mengatasi

dan bertahan. Dukungan informasi mengurangi stres karena mendapat informasi sehubungan dengan simptom AIDS. Juga kehadiran internet dirasakan menjadi

sumber yang penting sebagai sumber informasi bagi ODHA (Hay, dkk., dalam Taylor, 2009).

Demikian halnya dengan penderita HIV/AIDS, kepuasan akan social

support yang mereka rasakan akan membantu mereka dalam menghadapi kondisi stres yang mereka hadapi dan ini akan memediasi optimisme pada ODHA. Dan

kepuasan yang dirasakan atas bentuk-bentuk dukungan sosial dari interaksi dengan orang lain juga akan membatu ODHA semakin optimism dalam menjalani kehidupannya.

Penelitian pada berbagai penyakit kronis mengindikasikan bahwa social

support berhubungan dengan kondisi kesehatan dan juga optimisme penderita

penyakit yang dialami. Akan tetapi penelitian ini hendak menguji hubungan social

(25)

HIV/AIDS adalah penyakit kronis, penderita HIV/IDS juga merasakan stigma sosial yang membuat mereka sulit berinteraksi dengan orang lain. Oleh karena itu

peneliti hendak mengukur keterkaitan antara social support yang mereka rasakan dengan kecenderungan mereka untuk memiliki harapan positif yaitu hasil yang baik dan menyenangkan dalam kehidupannya mendatang.

Selain itu, penelitian ini juga hendak mengukur hubungan antara bentuk-bentuk social support dengan optimisme pada orang dengan HIV/AIDS. Berbagai

bentuk social support tersebut seperti social support instrumental,

emosional/penghargaan, informatif, dan pendampingan. Telah banyak penelitian yang

mengidentifikasikan social support sebagai faktor pelindung bagi individu. Pada

dasarnya semua dibutuhkan oleh individu, namun, bentuk social support apa yang

berhubungan dengan optimisme orang dengan HIV/AIDS belum banyak dibahas.

Kepuasan yang dirasakan akan bentuk social support ketika berinteraksi dengan

orang lain tentunya akan berhubungan dengan bagaimana pandangan ODHA terhadap

kehidupannya sehingga dapat mengatasi dan meresponi permasalahan yang dihadapi.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dikemukakan diatas, maka

rumusan masalah dalam penelitian ini adalah

1. Apakah ada hubungan antara social support dengan optimisme pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA)?

(26)

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menguji secara empiris hubungan antara

social support dengan optimisme pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA) dengan mengukur juga hubungan antara bentuk-bentuk social support dengan optimisme pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA).

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat teoritis

Memperkaya referensi ilmiah dalam bidang kesehatan mental mengenai optimisme pada orang dengan HIV/AIDS. Penelitian ini juga diharapkan dapat

menjadi referensi bagi peneliti selanjutnya yang tertarik dengan masalah optimisme pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA).

2. Manfaat praktis

a. Memberikan informasi kepada para ODHA mengenai keterkaitan antara optimisme dalam diri mereka dengan social support yang dirasakan.

b. Memberikan informasi dan referensi bagi masyarakat secara luas, lembaga swadaya masyarakat dan pemerintah sebagai pihak di luar ODHA untuk dapat

memberikan social support yang berkaitan dengan optimisme pada orang dengan HIV/AIDS

c. Memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai kondisi penderita

HIV/AIDS, hubungan bentuk-bentuk social support dengan optimisme ODHA, sehingga menjadi bahan pertimbangan dalam upaya membantu dan

(27)

E. SISTEMATIKA PENULISAN

BAB I : PENDAHULUAN

Berisi uraian singkat mengenai gambaran latar belakang masalah, rumusan masalah, dan tujuan penelitian serta manfaat penelitian. BAB II : LANDASAN TEORI

Bab ini memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan permasalahan. Teori-teori yang dimuat adalah teori

tentang optimisme, dan teori social support. BAB III : METODE PENELITIAN

Bab ini menjelaskan tentang identifikasi variabel penelitian, definisi

operasional dari optimisme, social support, emotional or esteem support, instrumental or tangible support, informational support, companionship support, populasi, sampel, teknik pengambilan sampel, metode pengambilan data, uji validitas, uji daya beda dan reliabilitas alat ukur, metode analisa data serta hasil uji coba alat ukur penelitian.

BAB IV : ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

Bab ini akan menjelaskan tentang gambaran subjek penelitian, laporan

hasil penelitian yang meliputi hasil uji asumsi meliputi uji normalitas dan linieritas, hasil utama penelitian, hasil tambahan dan pembahasan. BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini memuat mengenai kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dijelaskan di bab sebelumnya. Selain itu, bab ini juga akan memuat

(28)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Optimisme

1. Definisi Optimisme

Sikap optimis disebut dengan optimisme. Optimisme adalah kepercayaan bahwa kejadian di masa depan akan memiliki hasil yang positif (Scheier dkk.,

2000).

Terdapat dua pandangan utama mengenai optimisme, “the explanatory style”dan “the dispositional optimism view,” yang juga disebut sebagai “the direct belief view” (Caver, 2002):

1. Explanatory Style

Explanatory Style merupakan pandangan yang melihat bahwa dalam menentukan kepercayaan seseorang, ditentukan berdasarkan pengalaman masa lampau. Pandangan ini didasarkan pada person's attributional style (Scheier,

Carver, & Bridges, 2000). Attributional style dibentuk oleh cara kita mempersepsikan, menjelaskan pengalaman masa lampau. Jika persepsi atau

penjelasan yang dipegang adalah negatif maka kita akan mengharapkan hasil yang negatif pada masa depan. Perasaan learned helplessness berlebihan dan kita percaya bahwa kita tidak dapat merubah pandangan kita terhadap dunia.

(29)

Respon mereka dirating berdasarkan persepsi mereka terhadap penyebab (internal vs external, stable vs unstable, global vs specific) (Seligman, 1988).

Masalah dengan menggunakan attributional theory dalam memahami optimisme adalah bahwa hal tersebut dapat menjadi sangat kompleks dan bersifat subjektif didasarkan pada self report pengalaman masa lampau

(Scheier et al., 2000).

Berdasarkan explanatory style, individu yang percaya pengalaman

masa lampaunya positif dan ingatan-ingatan negatif adalah di luar kontrol mereka (faktor eksternal) dikatakan bahwa mereka mereka memiliki positive explanatory style atau orang yang optimistic. Sedangkan orang yang menyalahkan diri sendiri terhadap kemalangan (faktor internal) dan percaya bahwa mereka tidak akan pernah mendapat sesuatu dikatakan memiliki

negative explanatory style atau orang yang pessimistic. 2. Dispositional Optimism or Direct Belief Model

Konstruk ini berusaha untuk mempelajari optimisme melalui

kepercayaan langsung individu mengenai kejadian masa depan. Pendekatan ini lebih fokus pada kepercayaan optimistik mengenai masa depan, dibanding

dengan attributional theory yang berusaha memahami mengapa individu optimis atau pesimis dan bagaimana mereka bisa menjadi seperti itu

Scheier & Carver (2002) menyatakan bahwa optimisme adalah

kecenderungan disposisional individu untuk memiliki ekspektasi positif secara menyeluruh meskipun individu menghadapi kemalangan atau kesulitan dalam

(30)

Optimisme merupakan sikap selalu memiliki harapan baik dalam segala hal serta kecenderungan untuk mengharapkan hasil yang

menyenangkan. Dengan kata lain optimisme adalah cara berpikir atau paradigma berpikir positif (Carver & Scheier 1993). Orang yang optimis adalah orang yang memiliki ekspektasi yang baik pada masa depan dalam

kehidupannya. Masa depan mencakup tujuan dan harapan-harapan yang baik dan positif mencakup seluruh aspek kehidupannya (Scheier & Carver, dalam

Snyder, 2002)

Konsep optimisme dan pesimisme fokus kepada ekspektasi individu terhadap masa depan. Konsep ini memiliki ikatan dengan teori psikologi

mengenai motivasi, yang disebut dengan expectancy-value theories. Beberapa teori juga menyatakan optimisme dan pesimisme mempengaruhi perilaku dan

emosi seseorang.

Expectancy-value theories, yaitu teori yang dimulai dengan ide bahwa perilaku ditujukan untuk pencapaian tujuan (goal) yang dinginkan (Carver &

Scheier, 1998). Goal adalah tindakan, state akhir, atau nilai yang individu lihat sebagai sesuatu yang diinginkan atau tidak diinginkan. Individu akan

akan mencoba mencocokkan perilaku, mencocokkan dengan diri mereka sendiri terhadap apa yang mereka lihat yang mereka inginkan, dan mereka akan mencoba untuk menghindari yang tidak mereka inginkan. Konsep utama

lainnya adalah expectancies: perasaan percaya diri atau ragu-ragu mengenai kemampuan meraih tujuan (goal). Hanya dengan kepercayaan diri yang

(31)

individu untuk selalu memiliki hasil yang baik dan menyenangkan akan masa depannya.

Dari prinsip ini, muncul beberapa prediksi mengenai orang yang optimis dan orang yang pesimis. Ketika berhadapan dengan sebuah tantangan, orang yang optimis lebih percaya diri dan persisten, meskipun progresnya sulit

dan lambat. Orang yang pesimis lebih ragu-ragu dan tidak percaya diri. Perbedaan juga jelas terlihat dalam menghadapi kesengsaraan. Orang yang

optimis percaya bahwa kesengsaraan dapat ditangani dengan berhasil. Orang yang pesimis menganggap sebagai bencana. Hal ini dapat mengarahkan pada perbedaan tingkah laku yang berhubungan dengan resiko kesehatan,

mengambil pencegahan pada lingkungan yang beresiko, kegigihan dalam mencoba mengatasi ancaman kesehatan. Hal ini juga dapat mengarahkan pada

perbedaan respon coping apa yang individu lakukan ketika berhadapan dengan ancaman seperti diagnosa kanker (Carver et al., 1993; Stanton & Snider, 1993) Selain respon perilaku, individu juga mengalami pengalaman emosi

pada kejadian dalam kehidupan. Kesulitan-kesulitan merangsang beberapa perasaan, perasaan yang merefleksikan baik distres dan tantangan.

Keseimbangan antara perasaan-perasaan tersebut berbeda antara orang yang optimis dan pesimis. Karena orang yang optimis mengharapkan good outcome, mereka cenderung mengalami perpaduan emosi yang lebih positif. Karena orang yang pesimis mengharapkan bad outcome, mereka mengalami perasaan-perasaan yang lebih negatif –kecemasan, kesedihan, keputusasaan

(32)

Penelitian juga menunjukkan, optimisme memiliki efek moderasi terhadap bagaimana individu menghadapi situasi baru atau sulit. Ketika

berhadapan dengan situasi sulit, orang yang optimis akan lebih memiliki reaksi emosi dan harapan yang positif, mereka berharap akan memperoleh hasil yang positif meskipun hal tersebut sulit, mereka cenderung menunjukkan

sikap percaya diri dan persisten. Orang yang optimis juga cenderung untuk menganggap kesulitan dapat ditangani dengan berhasil dengan suatu cara atau

cara lain dan mereka lebih melakukan active dan problem-focused coping strategy dari pada menghindar atau menarik diri (Carver & Scheier, 1985; Chemers, Hu, & Garcia, 2001; Scheier et al., 1986).

Optimisme hampir mirip dengan beberapa konstruk, tetapi sesungguhnya berbeda. Dua konstruk yang memiliki hubungan dekat adalah

sense of control (Thompson, 2002) dan sense of personal efficacy (Bandura, 1997). Konsep-konsep ini memiliki nada yang sama kuat dalam mengharapkan hasil yang diinginkan, seperti optimisme. Tetapi perbedaannya

terletak pada asumsi yang dibuat (atau tidak dibuat) mengenai bagaimana hasil yang diinginkan tersebut diekspektasikan terjadi. Self efficacy adalah konsep

dimana self sebagai agen penyebab adalah yang terpenting. Jika individu memiliki high self-efficacy expectancies, mereka kiranya percaya usaha personal mereka (atau personal skill) adalah yang menentukan hasil.

Contohnya, seandainya kamu percaya kamu memiliki ketabahan personal untuk mengatasi efek samping chemotherapy, kamu akan lebih berjuang keras

(33)

melihat diri mereka sendiri terkontrol, mereka percaya bahwa hasil yang baik akan terjadi lewat usaha personal mereka.

Sebaliknya, optimisme mengambil pandangan yang lebih luas atas penyebab potensial yang menjadi kekuatan. Individu dapat menjadi optimistis karena mereka berbakat sekali, karena mereka pekerja keras, karena mereka

diberkahi, karena mereka beruntung, karena mereka memiliki teman yang tepat, atau kombinasi yang lain atau faktor lain yang menghasilkan hasil yang

baik (Murphy et al., 2000). Contohnya, seseorang dapat menjadi optimistis, dapat mengatasi efek samping chemotherapy salah satu karena ketabahannya personalnya atau karena tim medisnya memiliki trik yang berguna mengatasi

efek samping. Yang terakhir dapat menjadi optimistis, tetapi bukan karena peran self sebagai agen hasil.

Konstruk yang lain yang mirip dengan optimism adalah hope (Snyder, 1994, 2002). Hope dikatakan memiliki dua bagian. Bagian pertama adalah persepsi individu pada kehadiran pathways yang dibutuhkan individu untuk

mencapai tujuannya. Kedua adalah tingkat percaya diri individu dalam kemampuannya menggunakan pathways untuk mencapai tujuan. Jadi, hope

memiliki karakterikstik keduanya yaitu will (confidence) dan the ways (pathways). Dimensi percaya diri (confidence) sama dengan yang di optimisme, dengan lebih dulu menekankan pada agen personal. Komponen

(34)

untuk hasil spesifik yang diharapkan akan terus mencoba cara yang tersisa jika salah satu cara tidak bisa.

Dicatat juga bahwa pesimisme juga mirip dengan konstruk neurotism (Smith, Pope, Rhodewalt, & Poulton, 1989). Neorotism (emotional instability) didefinisikan sebagai kecenderungan untuk cemas, mengalami emosi yang

tidak menyenangkan, dan pesimistik.

Dari penjelasan dua konsep mengenai optimisme tersebut, dalam

penelitian ini, konsep optimisme yang digunakan adalah optimisme disposissional yaitu kecenderungan disposisional individu untuk memiliki ekspektasi positif secara menyeluruh meskipun individu menghadapi kemalangan atau kesulitan

dalam kehidupan. Rasa optimis yang muncul dari dalam diri seseorang ditunjukkan dengan adanya sikap selalu memiliki harapan baik dalam segala hal

serta kecenderungan untuk mengharapkan hasil yang menyenangkan. Dengan kata lain optimisme adalah cara berpikir atau paradigma berpikir positif (Carver &

Scheier 1993). Orang yang optimis adalah orang yang memiliki ekspektasi yang baik pada masa depan dalam kehidupannya. Masa depan mencakup tujuan dan harapan-harapan yang baik dan positif mencakup seluruh aspek kehidupannya

(35)

2 Ciri-ciri Optimisme

Menurut Ginnis (dalam Shofia F., 2009) orang optimis mempunyai

ciri-ciri khas, yaitu :

a. Jarang terkejut oleh kesulitan. Hal ini dikarenakan orang yang optimis berani menerima kenyataan dan mempunyai penghargaan yang besar pada

hari esok.

b. Mencari pemecahan sebagian permasalahan. Orang optimis berpandangan

bahwa tugas apa saja, tidak peduli sebesar apapun masalahnya bisa ditangani kalau kita memecahkan bagian-bagian dari yang cukup kecil. Mereka membagi pekerjaan menjadi kepingan-kepingan yang bisa

ditangani.

c. Merasa yakin bahwa mampu mengendalikan atas masa depan mereka.

Individu merasa yakin bahwa dirinya mempunyai kekuasaan yang besar sekali terhadap keadaan yang mengelilinginya. Keyakinan bahwa individu menguasai keadaan ini membantu mereka bertahan lebih lama setelah

lain-lainnya menyerah.

d. Memungkinkan terjadinya pembaharuan secara teratur. Orang yang

menjaga optimisnya dan merawat antusiasmenya dalam waktu bertahun-tahun adalah individu yang mengambil tindakan secara sadar dan tidak sadar untuk melawan entropy (dorongan atau keinginan) pribadi, untuk

memastikan bahwa sistem tidak meninggalkan mereka.

e. Menghentikan pemikiran yang negatif. Optimis bukan hanya menyela arus

(36)

lebih logis, mereka juga berusaha melihat banyak hal sedapat mungkin dari segi pandangan yang menguntungkan.

f. Meningkatkan kekuatan apresiasi. Yang kita ketahui bahwa dunia ini, dengan semua kesalahannya adalah dunia besar yang penuh dengan hal-hal baik untuk dirasakan dan dinikmati.

g. Menggunakan imajinasi untuk melatih sukses. Optimis akan mengubah pandangannya hanya dengan mengubah penggunaan imajinasinya. Mereka

belajar mengubah kekhawatiran menjadi bayangan yang positif.

h. Selalu gembira bahkan ketika tidak bisa merasa bahagia. Optimis berpandangan bahwa dengan perilaku ceria akan lebih merasa optimis.

i. Merasa yakin bahwa memiliki kemampuan yang hampir tidak terbatas untuk diukur. Optimis tidak peduli berapapun umurnya, individu

mempunyai keyakinan yang sangat kokoh karena apa yang terbaik dari dirinya belum tercapai.

j. Suka bertukar berita baik. Optimis berpandangan, apa yang kita bicarakan

dengan orang lain mempunyai pengaruh yang penting terhadap suasana hati kita.

k. Membina cinta dalam kehidupan. Optimis saling mencintai sesama mereka. Individu mempunyai hubungan yang sangat erat. Individu memperhatikan orang-orang yang sedang berada dalam kesulitan, dan

menyentuh banyak arti kemampuan. Kemampuan untuk mengagumi dan menikmati banyak hal pada diri orang lain merupakan daya yang sangat

(37)

l. Menerima apa yang tidak bisa diubah. Optimis berpandangan orang yang paling bahagia dan paling sukses adalah yang ringan kaki, yang berhasrat

mempelajari cara baru, yang menyesuaikan diri dengan sistem baru setelah sistem lama tidak berjalan. Ketika orang lain membuat frustrasi dan mereka melihat orang-orang ini tidak akan berubah, mereka menerima

orang-orang itu apa adanya dan bersikap santai. Mereka berprinsip “Ubahlah apa yang bisa anda ubah dan terimalah apa yang tidak bisa anda

ubah”.

Menurut Murdoko (dalam Shofia F., 2009)) bahwa ciri-ciri orang optimis ada 6 (enam), yaitu :

1. Memiliki visi pribadi

Visi pribadi seseorang akan memiliki cita-cita ideal. Pasalnya, dengan

mempunyai visi pribadi seseorang akan memiliki semangat untuk menjalani kehidupan tanpa harus banyak mengeluh ataupun merenungi apa yang telah terjadi dan apa yang akan terjadi nanti. Dengan visi pribadi, individu akan

mempunyai tenaga penggerak yang akan membuat kehidupan dinamis dan berusaha untuk mewujudkan keinginan-keinginan. Artinya, akan muncul

harapan bahwa apa yang akan dilakukan itu membuahkan hasil. Dan yang lebih penting dengan visi pribadi, individu berpikir jauh ke depan (terutama mengenai tujuan hidup).

2. Bertindak konkret

Orang yang optimis tidak akan pernah merasa puas jika yang diinginkan

(38)

melakukan suatu tindakan konkret. Sehingga secara riil menghadapi tantangan yang mungkin timbul.

3. Berpikir realistis

Seorang optimis akan selalu menggunakan pemikiran yang realistis dan rasional dalam menghadapi persoalan. Jika individu ingin menanamkan

optimisme, maka harus membuang jauh-jauh perasaan dan emosi (feeling) yang tidak ada dasarnya. Dengan demikian, segala tindakan apapun perilaku

didasarkan pada kemampuan untuk menggunakan akal sehat secara rasional. Sehingga apapun yang akan terjadi betul-betul sudah diperhitungkan sebelumnya. Individu yang optimis tingkah lakunya selalu dapat

dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, berpikir realistis merupakan sarana untuk tidak mudah diombangambingkan oleh perasaan, karena dengan

menggunakan perasaan, maka objektivitas akan berubah menjadi informantivitas.

4. Menjalin hubungan sosial

Kehidupan sosial pada dasarnya dapat dijadikan sebagai salah satu cara mengukur ataupun menilai sejauhmana seseorang mampu menjadikan orang

disekitarnya sebagai partner di dalam menjalani hidup. Orang yang optimis tidak akan merasa terancam oleh kehadiran orang-orang di sekitar. Seorang yang optimis akan menilai bahwa menjalin hubungan sosial akan membuat

seseorang merasa dikuatkan, karena merasa punya banyak teman dan sahabat yang akan membantu.

(39)

Artinya seseorang harus berani melakukan antisipasi sebelum suatu persoalan muncul, sehingga dituntut memiliki analisa yang tinggi. Karena

tanpa adanya analisa mengenai kemungkinan terjadinya sesuatu, maka yang muncul adalah perilaku menunggu, pasif dan baru bertindak saat itu terjadi. 6. Berani melakukan trial and error

Dengan optimisme, kegagalan yang terjadi akan dipahami sebagai hal yang wajar, bahkan tertantang dan menganggap kegagalan sebagai pemicu untuk

kembali bangkit. Artinya memiliki kemampuan untuk mencoba dan mencoba lagi tanpa rasa bosan sampai mampu mencapai keberhasilan.

Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa ciri-ciri orang

optimis adalah jarang merasa terkejut, mencari pemecahan sebagian permasalahan, merasa yakin mempunyai pengendalian atas masa depan mereka,

memungkinkan terjadinya pembaharuan secara teratur, menghentikan arus pemikiran negatif, meningkatkan kekuatan apresiasi, menggunakan imajinasi untuk meraih sukses, selalu gembira bahkan ketika kita tidak bisa merasa bahagia,

berkeyakinan memiliki kemampuan yang hampir tidak terbatas untuk diukur, suka bertukar sesuatu yang menyenangkan, membina bentuk cinta dalam kehidupan

dan mampu menerima kenyataan hidup. Selain itu orang yang optimis juga memiliki visi pribadi, menjamin hubungan sosial, berpikir proaktif dan berani melakukan trial and error. Orang yang mempunyai rasa optimis yang besar akan

lebih siap dalam menghadapi masa depannya karena merasa lebih mampu dalam memecahkan permasalahan-permasalahan yang dihadapi dengan ketekunan dan

(40)

Sehingga hal tersebut akan mempengaruhi pola pikirnya dan sangat berpengaruh sebagai faktor penunjang kesuksesannya.

3. Manfaat Optimisme

Whelen dkk (1997) melaporkan bahwa optimisme memberikan pengaruh

positif terhadap kesehatan, penyesuaian diri setelah operasi kanker, operasi jantung koroner, penyesuaian di sekolah dan dapat menurunkan depresi serta

ketergantungan alkohol. Optimisme dalam jangka panjang juga bermanfaat bagi kesejahteraan dan kesehatan fisik dan mental, karena membuat individu lebih dapat menyesuaikan diri dalam kehidupan sosial, pekerjaan, perkawinan,

mengurangi depresi dan lebih dapat menikmati kepuasan hidup serta merasa bahagia (Weinstein, 1980 ; Marshall dan Lang, 1990 ; Scheier dkk, 1994).

Sementara itu Mc Clelland (1961) menunjukkan bukti bahwa optimisme akan lebih memberikan banyak keuntungan dari pada pesimisme. Keuntungan tersebut antara lain hidup lebih bertahan lama, kesehatan lebih baik, menggunakan waktu

lebih bersemangat dan berenergi, berusaha keras mencapai tujuan, lebih berprestasi dalam potensinya, mengerjakan sesuatu menjadi lebih baik seperti

dalam hubungan sosial, pendidikan, pekerjaan dan olah raga. Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh ahli-ahli tersebut di atas dapat dikatakan bahwa optimisme sangat diperlukan oleh individu dalam berbagai

bidang kehidupan.

Dalam bidang kesehatan optimisme mampu meningkatkan kesehatan

(41)

dapat mengurangi depresi, infeksi dalam tubuh dan mempengaruhi terhadap penyakit. Dalam bidang sosial, optimisme dapat meningkatkan kepercayaan diri,

harga diri, mengurangi sikap pesimis, membuat individu lebih dapat menyesuaikan diri dalam kehidupan sosial serta dapat menikmati kepuasan hidup dan merasa bahagia. Disamping itu dengan adanya optimisme akan membuat

orang lebih sukses di sekolah, pekerjaan, manggunakan waktu lebih bersemangat, lebih berprestasi dalam potensinya.

4 Optimisme pada ODHA

Optimisme pada Orang Dengan HIV/AIDS artinya bagaimana mereka

dengan semua kondisi, ancaman, tantangan, kemalangan yang mereka hadapi, tetap memiliki ekspektasi hasil yang baik untuk masa depannya.

Secara umum, dilihat bahwa orang dengan HIV/AIDS cenderung untuk lebih pesimis dalam menjalani kehidupannya, terkhusus di awal saat didiagnosa penderita HIV/AIDS. Tidak jarang orang dengan HIV/AIDS perilaku negatif yang

justru semakin memperburuk keadaanya. Hal ini terjadi ketika individu memiliki sikap pesimis dimana coping yang biasa dilakukan adalah dengan denial dan

avoidance. Sedangkan ODHA yang optimis dalam health related behavior melakukan hal yang lebih positif. Mereka memandang bahwa segala sesuatunya belum berakhir, dan hasil akhirnya akan baik. Mereka cenderung melakukan

active dan adaptive method seperti mencari informasi dan social support. Mereka lebih dapat menerima keadaannya dan juga mencari straregi terhadap setiap

(42)

tersebut memperlambat penurunan CD4 nya, dan tingkat kematian pun akan berkurang (Bower, dkk., 1997, dalam Taylor, 2009).

B. Social Support

1. Pengertian Social Support

Social support merupakan salah satu istilah yang digunakan untuk menerangkan bagaimana hubungan sosial menyumbang manfaat bagi kesehatan

mental atau kesehatan fisik individu. Rook (dalam Smet, 1994) berpendapat social support sebagai satu diantara fungsi pertalian atau ikatan sosial. Ikatan-ikatan sosial menggambarkan tingkat dan kualitas umum dari hubungan interpersonal.

Senada dengan hal tersebut, Taylor mendefinisikan social support sebagai informasi dari orang lain bahwa ia dicintai dan diperhatikan, memiliki harga diri

dan bernilai, serta merupakan bagian dari jaringan komunikasi dan kewajiban bersama. Social support adalah perasaan nyaman, diperhatikan, dihargai, atau menerima pertolongan dari orang atau kelompok lain (Wills & Fegan, dkk., dalam

Sarafino, 2006).

Beberapa ahli juga memberikan definisi social support. Sarason, dkk.,

(dalam Namora, 2009) menyatakan social support adalah keberadaan, kesediaan, kepedulian dari orang-orang yang dapat diandalkan, menghargai, dan menyayangi kita. Gottlieb (dalam Namora, 2009) menyatakan social support adalah informasi

verbal atau non verbal, saran, bantuan nyata, atau tingkah laku diberikan oleh orang-orang yang akrab dengan subjek di dalam lingkungan sosialnya atau yang

(43)

atau berpengaruh pada tingkah laku penerimanya. Sedangkan Thoits dan Peggy (dalam namora, 2009) menyatakan social support merupakan fungsi dari berbagai

ungkapan perilaku supportif kepada seseorang individu yang diberikan oleh orang yang dianggap bermakna bagi individu yang menerimanya (significant others).

Cohen dan Wills (dalam Bishop, 1994) mendefinisikan social support

sebagai pertolongan dan dukungan yang diperoleh seseorang dari interaksinya dengan orang lain. Social support timbul oleh adanya persepsi bahwa terdapat

orang-orang yang akan membantu apabila terjadi suatu keadaan atau peristiwa yang dipandang akan menimbulkan masalah dan bantuan tersebut dirasakan dapat menaikkan perasaan positif serta mengangkat harga diri. Kondisi atau keadaan

psikologis ini dapat mempengaruhi respon-respon dan perilaku individu sehingga berpengaruh terhadap kesejahteraan individu secara umum.

Beberapa pengertian tersebut menunjukkan bahwa segala sesuatu yang ada di lingkungan dapat menjadi social support. Senada dengan pendapat tersebut, Cobb (dalam Gottlieb 1983) menyatakan, setiap informasi apapun dari lingkungan

sosial yang menimbulkan persepsi individu bahwa individu menerima efek positif, penegasan, atau bantuan menandakan suatu ungkapan dari adanya social support.

Adanya perasaan didukung oleh lingkungan membuat segala sesuatu menjadi lebih mudah terutama pada waktu menghadapi peristiwa yang menekan. Cobb menekankan orientasi subyektif yang memperlihatkan bahwa social support

(44)

Social support diasumsikan sebagai persepsi seseorang terhadap dukungan yang berasal dari orang lain, seperti teman dan keluarga dan juga pandangan yang

kompleks secara alami mengenai sejarah dari hubungan individu yang memberi dukungan dan konteks lingkungannya (Hobfoll, dalam Friedlander, 2007)

Dari pengertian-pengertian tersebut di atas social support dapat

disimpulkan sebagai kenyamanan, perhatian, penghargaan, atau bantuan yang diperoleh dan dirasakan seseorang dari interaksinya dengan orang lain. Dan

berdasarkan defenisi tersebut dapat dilihat bahwa sumber social support berasal dari orang lain yang berinteraksi dengan individu sehingga individu tersebut dapat merasakan kenyamanan fisik dan psikologis. Orang lain yang dimaksud terdiri

dari pasangan hidup, orang tua, saudara anak, kerabat, teman, rekan kerja, pihak medis dan anggota kelompok masyarakat.

2. Bentuk-Bentuk Social support

House (dalam Smet, 1994) membedakan social support ke dalam empat

bentuk, yaitu :

a. Dukungan emosional : mencakup ungkapan empati, kepedulian dan perhatian

terhadap orang yang bersangkutan

b. Dukungan penghargaan : terjadi melalui ungkapan penghargaan positif untuk orang tersebut, dorongan maju atau persetujuan dengan gagasan atau perasaan

individu.

c. Dukungan instrumental : mencakup bantuan langsung, seperti memberikan

(45)

d. Dukungan informatif : mencakup pemberian nasehat, petunjuk-petunjuk, saran ataupun umpan balik.

Wills & Fegan (dalam Sarafino, 2006) mengemukakan 4 bentuk-bentuk social support, yaitu:

a. Emotional or esteem supporrt

Jenis dukungan ini melibatkan rasa empati, peduli terhadap sesorang sehingga memberikan perasaan nyaman, perhatian, dan penerimaan secara positif, dan

memberikan semangat kepada orang yang dihadapi. Taylor (2009) berpendapat dengan menyediakan kenyamanan dan menjamin dengan mendalam perasaan dan sehingga sesorang yang menerima dukungan ini akan

merasa dicintai dan dihargai. b. Tangible/ instrumental Support

Dukungan jenis ini meliputi bantuan yang diberikan secara langsung atau nyata, sebagaimana orang yang memberikan atau meminjamkan uang atau langsung menolong teman sekerjanya yang sedang mengalami stres. Menurut

Taylor (2009), Tangible support ini termasuk berupa dukungan material, seperti pelayanan, bantuan finansial, atau benda-benda yang dibutuhkan.

Dimatteo (1991), menyatakan tangible support sebagai bentuk-bentuk yang lebih nyata seperti meminjamkan uang, berbelanja, dan merawat anak.

c. Informational Support

(46)

Adanya informasi akan membantu individu memahami situasi yang stressful lebih baik dan dapat menetapkan sumber dan strategi coping yang harus

dilakukan untuk mengatasinya. d. Companionship Support

Dukungan jenis ini merupakan kesediaan untuk meluangkan waktu dengan

orang lain dengan memberikan perasaan keanggotaan dalam suatu kelompok orang yang tertarik untuk saling berbagi dan kegiatan sosial. Hal ini dapat

mengurangi stres dengan terpenuhinya kebutuhan affiliation dan berhubungan dengan orang lain, dengan menolong seseorang yang terganggu dari kekhawatiran akan masalah yang ia miliki, atau memfasilitasi perasaan yang

positif (Cohen dan Wills dalam Orford, 1992)

Berdasarkan bentuk-bentuk social support yang telah disampaikan oleh

beberapa ahli di atas, maka yang akan digunakan adalah bentuk social support menurut Sarafino (2006) yaitu, emotional or esteem support, tangible/ instrumental support, informational support dan companionship support.

3. Cara Pengukuran Social Support

Menurut Sarason, B.R, dkk, (1987), ada tiga bentuk pengukuran social support, yaitu :

a. Social Embeddedness

Pada pengukuran dengan cara ini, social support yang diterima individu diukur dari jumlah hubungan atau interaksi yang dijalin individu dengan

(47)

banyak dinilai memiliki social support yang besar. Dengan demikian, bentuk pengukuran ini tidak memandang kualitas interaksi yang terjalin.

b. Enacted Social Support

Ciri khas dari bentuk pengukuran ini adalah bahwa social support yang diterima seseorang didasarkan pada frekuensi tingkah laku dukungan yang

diterima individu. Jadi konkretnya, berapa jumlah orang yang mendukung, berapa banyak dukungan tersebut diberikan, menjadi ukurannya. Seperti

halnya bentuk pengukuran yang pertama, bentuk pengukuran ini juga tidak melihat social support dari sudut persepsi individu penerima dukungan.

c. Perceived Social Support

Procidano (dalam McCaskill, J.W.& Lakey, Brian, 1992) secara singkat menyebutkan bahwa perceived support adalah evalusi subjektif dari kualitas

dukungan yang diterima atau didapatkan. Bentuk pengukuran ini didasarkan pada kualitas social support yang diterima, sebagaimana yang dipersepsikan individu penerima dukungan. Semakin kuat seseorang merasakan dukungan,

semakin kuat kualitas dukungan yang diterima. Sehingga, dapat terjadi seseorang mempersepsikan social support yang diterimanya kurang, padahal

individu tersebut memiliki jaringan sosial yang banyak. Sebaliknya, individu bisa mempersepsikan social support yang diterima lebih besar daripada yang sebenarnya diberikan oleh sumbernya. Bentuk pengukuran dengan melihat

enacted social support dan embedded social support memiliki keterbatasan. Individu yang dihadapkan pada kesulitan hidup yang lebih besar tentu akan

(48)

kesulitan yang relatif lebih kecil. Mereka yang mampu menghadapi situasi yang sulit akan menjadi penerima social support yang lebih kecil. Hal tersebut

tidak dapat mencerminkan kecukupan kualitas dukungan yang diterima oleh tiap individu.

Berbeda dengan kedua pengukuran tersebut, pengukuran dengan berdasarkan

pada perceived social support menganggap bahwa dukungan yang dirasakan individu memang benar-benar ditemukan dalam diri mereka. Pengukuran

dengan cara ini lebih mampu mengindikasikan penyesuaian yang baik pada diri individu (Sarason, B.R, dkk., 1987). Penelitian Sarason (1987) menunjukkan bahwa perceived social support cenderung memiliki hubungan

yang lebih kuat dengan pengukuran perbedaan individu dalam kelekatan, kecemasan sosial, social desirability, rasa malu, dan kesepian. penilaian

dukungan oleh individu penerima juga mempengaruhi. Sejalan dengan hal ini, Sarafino (1997) mengemukakan bahwa efektivitas dukungan tergantung dari penilaian individu. Dukungan akan menjadi efektif apabila dukungan tersebut

dinilai adekuat oleh individu penerima.

Berdasarkan penjelasan tersebut, dalam penelitian ini digunakan bentuk

pengukuran social support dengan melihat penerimaan dari social support oleh individu (perceived social support). Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan social support sebagai evaluasi subjektif individu mengenai

(49)

4. Aspek-aspek Social Support

Sarason, dkk (1983) menyebutkan ada dua aspek yang terlibat dalam

pengukuran social support ini, yaitu:

1. Persepsi bahwa ada sejumlah orang yang cukup yang dapat diandalkan individu saat membutuhkan. Aspek ini terkait dengan kuantitas social support

yang diterima individu.

2. Derajat kepuasan terhadap dukungan yang didapatkan. Derajat kepuasan

berhubungan dengan kualitas social support yang dirasakan oleh individu.

5. Dampak Social Support

Seperti yang dikemukakan diatas, social support dapat memberikan kenyamanan fisik dan psikologis kepada individu. Hal ini dapat dilihat dari

bagaimana social support dapat mempengaruhi kesehatan individu, salah satunya adalah kejadian dan efek dari stres. Lieberman (1992) mengemukakan bahwa secara teori social support dapat menurunkan kecenderungan munculnya kejadian

yang dapat mengakibatkan stres.

Selain itu, adanya social support yang diterima oleh individu yang sedang

mengalami atau menghadapi stres maka hal ini akan dapat mempertahankan daya tahan tubuh dan meningkatkan kesehatan individu (Baron & Byrne, 2000). Kondisi ini dijelaskan oleh Sarafino (2006) bahwa berinteraksi dengan orang lain

dapat memodifikasi atau mengubah persepsi individu mengenai kejadian tersebut, dan ini akan mengurangi potensi munculnya stres baru atau stres yang

(50)

Farah Nurbani (2009) dalam penelitiannya menemukan bagaimana dampak social support terhadap psikologis dan kesehatan Orang dengan

HIV/AIDS. Dukungan sosial mempengaruhi psikologis individu, dimana individu menjadi tetap percaya diri dalam berhubungan dengan orang lain, tidak merasa rendah diri, tidak mudah putus asa, tidak minder, merasa dirinya berarti, tidak

merasa cemas, tetap bersemangat, merasa ikhlas dengan kondisi yang dialami dan merasa lebih tenang dalam menghadapi sesuatu masalah. Dampak positif terhadap

psikologis ini jugalah yang mempengaruhi kesehatan individu menjadikannya tidak stres dan mampu untuk melakukan perilaku sehat dan menjaga kesehatannya.

Sarafino (2006) dan Taylor (2009) mengemukakan dua teori untuk menjelaskan bagaimana social support mempengaruhi kesehatan, yaitu:

1. Buffering Hypotesis

Social support akan mempengaruhi kesehatan dengan berfungsi sebagai pelindung dari stres. Social support melindungi seseorang untuk melawan

efek-efek negatif dari stres tinggi. Buffering effect bekerja dengan dua cara, yaitu: pertama saat seseorang bertemu dengan stresor yang kuat, dan yang

kedua adalah social support dapat memodifikasi respon-respon seseorang sesudah munculnya stresor

2. Direct effect hypotesis

Mempertahankan social support dapat memberikan keuntungan pada kesehatan sesorang, baik ada atau tidak dalam stres. Tingginya social support

(51)

dengan adanya social support dapat merasakan, karena orang lain memperhatikannya dan membutuhkannya, mereka akan rajin berolah raga,

makan teratur, dan tidak merokok atau meminum alkohol.

Teori ini sangat penting untuk dipahami oleh orang yang akan memberikan social support, karena tidak selamanya social support dapat

memberikan keuntungan bagi kesehatan. Dalam Sarafino (2006) disebutkan beberapa contoh efek negatif yang timbul dari social support, antara lain:

1. dukungan yang tersedia tidak dianggap sebagai sesuatu yang membantu. Hal ini dapat terjadi karena dukungan yang diberikan tidak cukup, individu merasa tidak perlu dibantu atau terlalu khawatir secara emosional sehingga tidak

meperhatikan dukungan yang diberikan

2. dukungan yang diberikan tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan individu

3. sumber dukungan memberikan contoh yang buruk pada individu seperti melakukan atau menyarankan perilaku tidak sehat

4. terlalu menjaga atau tidak mendukung individu dalam melakukan sesuatu

yang diinginkannya.

Berdasarkan hal tersebut dapat dilihat bahwa, hal ini terjadi karena satu

hal, meskipun social support tersedia untuk seseorang namun ia tidak merasa bahwa itu adalah sebuah dukungan (Dunkle-Scheter, dkk, dalam Sarafino 2006).

Gambar

Tabel 1. Blue print LOT-R (Life Orientation Test-Revised) yang sudah diadaptasi kedalam bahasa Indonesia
Tabel 2. Blue print kuesioner social support
Tabel 3. Hasil analisis aitem pada masing-masing bentuk social support
Tabel 5. Distribusi aitem-aitem hasil uji coba kuesioner social support
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan subjective well- being orang dewasa dengan HIV/AIDS (ODHA). Pendekatan pada penelitian ini menggunakan metode

HUBUNGAN ANTARA KEPERCAYAAN DIRI DENGAN OPTIMISME MASA DEPAN PADA SISWA

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI DUKUNGAN KELUARGA DENGAN OPTIMISME MASA DEPAN PADA REMAJA

Berdasarkan hasil penelitian, simpulan yang dapat diambil adalah ada hubungan negatif yang signifikan antara perceived discrimination dengan harga diri pada ODHA

Berbagai penelitian telah dilakukan untuk melihat self-disclosure dan need for affiliation pada ODHA akan tetapi masih sedikit penelitian yang mengungkap hubungan

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pada ODHA memiliki harga diri yang positif, hal ini disebabkan karena orang dengan HIV AIDS juga masih merasa berguna

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui 1) dinamika psikologis pada ODHA? 2) bagaimana kecenderungan penggunaan coping pada ODHA? Penelitian ini menggunakan

Simpulan: Orang dengan HIV/AIDS ODHA di kota Medan masih memiliki koping yang positif dalam menghadapi stigma dan diskriminasi sehingga ODHA tetap melanjutkan pengobatan di pelayanan