IMPLEMENTASI PASAL 105 HURUF A KHI TENTANG HADHANAH (Analisis Yuridis Putusan Nomor:666/Pdt.G/2009/PAJB)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy.)
Oleh:
Deni Hamdani
NIM: 207044100261
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
IMPLEMENTASI PASAL 105 HURUF A KHI TENTANG HADHANAH (Analisis Yuridis Putusan Nomor:666/Pdt.G/2009/PAJB)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy.)
Oleh:
Deni Hamdani
NIM: 207044100261
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing
Drs. H. Ahmad Yani, M.Ag.
NIP: 196404121994031004
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul “IMPLEMENTASI PASAL 105 HURUF A KHI TENTANG HADHANAH (Analisis Yuridis Putusan Nomor:666/Pdt.G/2009/PAJB)” telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 21 Juni 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy.) pada Program Studi Ahwal al-Syakhshiyyah Konsentrasi Peradilan Agama.
Jakarta, 21 Juni 2011 Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr. H. M Amin Suma, S.H.,M.A.,M.M.
NIP: 195505051982031012
Panitia Ujian Munaqasyah
Ketua : Prof. Dr. H. M Amin Suma, S.H.,M.A.,M.M. NIP: 195505051982031012
Sekretaris : Mufidah, S.Hi.
Pembimbing : Drs. H. Ahmad Yani, M.Ag. NIP: 196404121994031004
Penguji I : Prof. Dr. H. M Amin Suma, S.H.,M.A.,M.M. NIP: 195505051982031012
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT., atas segala rahmat, hidayah dan
inayahNya yang telah dilimpahkan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan
tugas penyusunan skripsi ini. Shalawat serta salam mudah-mudahan tetap
tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW., beserta para keluarganya, sahabat dan
para pengikutnya yang telah berjasa besar kepada kita semua dalam membuka
gerbang ilmu pengetahuan.
Skripsi yang berjudul Implementasi Pasal 105 Huruf a KHI tentang Hadhanah (Analisis Yuridis Putusan No.666/Pdt.G/2009/PAJB) ini penulis susun dalam rangka memenuhi dan melengkapi persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana
Syari’ah (S.Sy.) pada program studi Ahwal Syakhshiyyah, konsentrasi Peradilan
Agama, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Setulusnya dari hati yang paling dalam penulis menyadari, bahwa suksesnya
penulisan skripsi ini tidaklah begitu saja dapat diselesaikan dan bukan semata-mata
atas usaha penulis pribadi, namun juga karena bantuan dan motivasi dari berbagai
pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mempersembahkan ucapan terima kasih yang
mendalam kepada:
1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M., Dekan Fakultas Syariah
ii
2. Drs. H. A. .Basiq Djalil, S.H.,M.A. dan Drs. H. Ahmad Yani, M.Ag.
masing-masing sebagai Ketua Program Studi Ahwal Syakhshiyyah dan Ketua
Koordinator Teknis Program Non Reguler. Hj. Rosdiana, M.A. dan Mufidah,
S.Hi., yang keduanya adalah Sekretaris Program Studi Ahwal Syakhshiyyah dan
Sekretaris Non Reguler Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Drs. H. Ahmad Yani, M.Ag., dosen pembimbing yang telah membimbing,
memberikan perhatian dan memotivasi yang besar selama proses bimbingan
sehingga penulis dapat segera menyelesaikan skripsi ini.
4. Drs. H. Muhyiddin, S.H., M.H., selaku Hakim Humas yang bersedia untuk
berwawancara dan Adri Syafruddin Sulaiman, S.H., sebagai Panitera Muda
Hukum yang memberikan informasi, fotocopi data dan putusan di Pengadilan
Agama Jakarta Barat tempat mengadakan penelitian.
5. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum, atas didikan dan curahan ilmu
pengetahuan serta civitas akademika , staf Perpustakaan Utama dan FSH UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan pelayanan administrasi,
akademik, fasilitas berupa literatur buku dan referensi untuk penulisan skripsi.
6. Ayahanda H. Zulkipli dan ibunda Darliyeti yang senantiasa memberikan do’a,
pengorbanan, nasihat dan arahan masa depan serta ibunda Sulastri, aa Irfan, uni
Mira, Iskandar atas segala kebaikan. Adik-adikku Rahmi, Faisal, Rahma dan
Keponakanku Maya, Lisa, Rafi yang meluluhkan hati penulis dengan tangisan
iii
7. Sahabat seperjuangan di kelas PA Aripin, Aris, DK, Hakim, Indro, Mila, N-din,
pak Tamim, Royhan, Tiram, /rif dan di kelas PH-PS Amin, Ani, bang Syam,
Fadli, UIN, Vina serta sahabat-sahabat lain yang tidak disebutkan dengan tidak
mengurangi rasa persahabatan penulis kepada mereka.
Akhirnya atas jasa dan bantuan semua pihak, baik moril maupun materil yang
telah membantu, penulis ucapkan terima kasih. Penulis berdo’a semoga Allah SWT.
senantiasa mencurahkan rahmat, hidayah dan inayah kepada kita semua. Dengan
selesainya karya tulis ini, penulis tentunya sangat mengharapkan saran dan kritik
yang konstruktif demi meningkatkan kualitas keilmuan penulis. Harapan penulis,
semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca.
Jakarta, 23 Juni 2011
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iv
LEMBAR PERNYATAAN ... vi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7
D. Review Studi Terdahulu ... 8
E. Kerangka Teori ... 10
F. Metode Penelitian ... 13
G. Sistematika Penulisan ... 16
BAB II LANDASAN TEORI ... 18
A. Pengertian dan Dasar Hukum Hadhanah ... 18
B. Hadhanah Menurut Fuqaha dan Hukum Positif ... 25
C. Syarat dan Hak Hadhanah ... 29
D. Masa dan Hikmah Hadhanah ... 34
BAB III PASAL 105 HURUF A KHI ... 40
A. Latar Belakang Pembentukan KHI ... 40
B. Landasan dan Kedudukan KHI ... 45
v
D. Substansi Pasal 105 Huruf a KHI ... 48
BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISA HASIL PENELITIAN ... 54
A. Potret Pengadilan Agama Jakarta Barat ... 54
B. Implementasi Pasal 105 Huruf a KHI dalam Putusan No.666/ Pdt.G/ 2009/ PAJB ... 57
C. Analisa ... 70
BAB V PENUTUP ... 75
A. Kesimpulan ... 75
B. Saran-Saran ... 77
DAFTAR PUSTAKA ... 79
LAMPIRAN-LAMPIRAN 1. Lampiran 1 : Lembaran Mohon Data/ Wawancara ... 83
2. Lampiran 2 : Lembaran Mohon Kesediaan Menjadi Pembimbing Skripsi Program Non Reguler ... 84
3. Lampiran 3 : Lembaran Surat Keterangan Pengadilan Agama Jakarta Barat . 85 4. Lampiran 4 : Lembaran Hasil Wawancara... 86
vi
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk
memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 9 Juni 2011
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia diciptakan oleh Allah SWT mempunyai naluri manusiawi yang
perlu mendapat pemenuhan. Dalam pada itu manusia diciptakan oleh Allah SWT
untuk mengabdikan dirinya kepada Khaliq penciptanya dengan segala aktifitas
hidupnya. Pemenuhan naluri manusiawi manusia yang antara lain keperluan
biologisnya termasuk aktifitas hidup, agar manusia menuruti tujuan kejadiannya,
Allah SWT mengatur hidup manusia dengan perkawinan. Aturan perkawinan
menurut Islam merupakan tuntunan agama yang perlu mendapat perhatian,
sehingga tujuan melangsungkan perkawinanpun hendaknya ditujukan untuk
memenuhi petunjuk agama sehingga kalau diringkas ada dua tujuan orang
melangsungkan perkawinan ialah memenuhi nalurinya dan memenuhi petunjuk
agama.1
Kebahagiaan masyarakat dapat dicapai dengan adanya ketenangan dan
ketentraman anggota keluarga dalam keluarganya. Keluarga merupakan bagian
masyarakat menjadi faktor terpenting dalam penentuan ketenangan dan
ketentraman masyarakat. Ketenangan dan ketentraman keluarga tergantung dari
keberhasilan pembinaan yang harmonis antara suami istri dalam satu rumah
1
2
tangga. Keharmonisan diciptakan oleh adanya kesadaran anggota keluarga dalam
menggunakan hak dan pemenuhan kewajiban. Allah menjadikan unit keluarga
yang dibina dengan perkawiann antara suami dan istri dalam membentuk
ketenangan dan ketentraman serta mengembangkan cinta dan kasih sayang
sesama warganya.2
Membina sebuah mahligai rumah tangga atau hidup berkeluarga
merupakan perintah agama bagi setiap muslim dan muslimah. Melalui rumah
tangga yang Islami diharapkan akan terbentuk komunitas kecil masyarakat
Islam.3 Dalam bentuknya yang kecil, hidup berkomunitas itu dimulai dengan
adanya keluarga yang mempunyai fungsi-fungsi sosial seperti reproduksi,
ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya. Karena fungsi keluarga yang
sedemikian itu, sangatlah wajar jika keluarga merupakan gejala kehidupan umat
manusia yang terpenting dan terbentuk oleh paling tidak seorang laki-laki,
seorang perempuan beserta anak-anaknya.4
Perkawinan merupakan cara yang dipilih Allah sebagai jalan bagi
manusia untuk beranak-pinak, berkembang biak dan melestarikan hidupnya
setelah masing-masing pasangan siap melakukan peranannya yang positif dalam
mewujudkan tujuan perkawinan. Allah tidak menjadikan manusia seperti
2
Ibid., h.31. 3
Hasbi Indra, dkk, Potret Wanita Shalehah (Jakarta: Penamadani, 2004), h.61. 4
3
makhluk lainnya yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan secara
anarkhi tanpa aturan. Demi menjaga kehormatan dan martabat kemuliaan
manusia, Allah mengadakan hukum sesuai dengan martabatnya, sehingga
hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat dan
berdasarkan rasa saling meridhai, dengan upacara ijab qabul sebagai lambang
adanya rasa ridha meridhai dan dengan dihadiri para saksi yang menyaksikan
bahwa pasangan laki-laki dan perempuan itu telah saling terikat.5
Perkawinan bertujuan membentuk keluarga yang diliputi rasa saling
mencintai dan rasa kasih sayang antara sesama anggota keluarga. Keluarga
seperti inilah yang merupakan bangunan umat yang dicita-citakan oleh Islam.6
Hal tersebut bertujuan agar masing-masing pihak merasa damai dalam rumah
tangga yang sakinah, mawaddah wa rohmah.
Di antara banyaknya rumah tangga yang bahagia, ada saja rumah tangga
yang mengalami krisis internal sehingga terkadang menimbulkan ketegangan.
Ketegangan suami istri biasanya timbul dari hal kecil seperti perasaan kurang
dihargai bagi istri oleh suaminya maupun sebaliknya. Hal kecil tersebut bila
dibiarkan dan tidak coba dikomunikasikan, maka akan dapat menjadi bom atom
yang sewaktu-waktu dapat meledak sehingga akhirnya terjadi perceraian.
5
Ghozali, Fiqh Munakahat, h.10. 6
4
Perceraian merupakan alternatif terakhir (pintu darurat) yang dapat dilalui
oleh suami istri bila ikatan perkawinan (rumah tangga) tidak dapat dipertahankan
keutuhan dan kelanjutannya. Sifat alternatif terakhir dimaksud, berarti sudah
ditempuh berbagai cara dan teknik untuk mencari kedamaian di antara kedua
belah pihak, baik melalui hakam (arbitrator) dari kedua belah pihak maupun
langkah-langkah dan teknik yang diajarkan oleh al-Qur‟an dan al-Hadits.7
Suatu gugatan perceraian bisa mengundang berbagai macam
permasalahan. Di samping gugatan cerai itu sendiri, muncul pula masalah lain
sebagai akibat dari dikabulkannya gugatan cerai tersebut, seperti masalah
pembagian harta bersama dan bilamana mempunyai keturunan timbul pula
permasalahan tentang siapa yang lebih berhak melakukan Hadhanah
(pemeliharaan terhadap anak).8 Anak yang lahir dari perkawinan itu, tentu
memiliki sejumlah hak dan kewajiban dari dan kepada orang tuanya, terutama
menyangkut hak anak untuk mendapatkan makan dan minum serta pakaian dan
tempat tinggal di samping hak-hak pemeliharaan dan pendidikan. 9
Apabila dua orang suami istri bercerai sedangkan keduanya mempunyai
anak yang belum mumayyiz (belum mengerti kemashlahatan dirinya), maka
istrinya yang lebih berhak untuk mendidik dan merawat anak itu hingga ia
7
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h.73. 8
Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer (Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyyah) (Jakarta: Prenada Media, 2004), h.189.
9
5
mengerti akan kemashlahatan dirinya.10 Dalam waktu itu si anak hendaknya
tinggal bersama ibunya selama ibunya belum menikah dengan orang lain.
Meskipun si anak ditinggalkan bersama ibunya, tetapi nafkahnya tetap wajib
dipikul oleh bapaknya.11
Ditegaskan juga dalam pasal 105 huruf a KHI, bahwa dalam hal
terjadinya perceraian: “pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum
berumur 12 tahun adalah hak ibunya”. Pengadilan Agama adalah Institusi yang
akan menerapkan hukum materil dari Kompilasi Hukum Islam ini, terutama
masalah yang berkaitan dengan Hadhanah itu sendiri. Sebab, di Indonesia tidak
ada Undang-Undang yang secara khusus mengatur masalah pemeliharaan anak,
yang ada hanya Undang-Undang yang mengatur masalah kesejahteraan anak,
pengadilan anak, larangan mengeksploitasi anak dan perlindungan terhadap anak.
Jika terjadi perselisihan antara suami dan istri mengenai penguasaan
anak-anak maka dapat diselesaikan melalui jalur musyawarah keluarga ataupun
dengan putusan pengadilan.12 Seyogyanya, Pasal 105 huruf a KHI tersebut,
diimplementasikan dalam putusan di Pengadilan Agama. Letak masalahnya
10
Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam: Hukum Fiqh Lengkap, cet.XXXIX (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2006), h.426.
11
Ibid., h.427. 12
6
adalah bagaimana jika ada sesuatu hal yang menyebabkan Pengadilan Agama
memutuskan bahwa hak pemeliharaan anak berpindah kepada ayahnya.
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik mengkajinya dalam
bentuk skripsi dengan judul “IMPLEMENTASI PASAL 105 HURUF A KHI TENTANG HADHANAH (Analisis Putusan No.666/ Pdt.G/ 2009/ PAJB)”.
Hal yang memotifasi penulis untuk mengadakan penelitian di Pengadilan Agama
Jakarta Barat adalah dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan jawaban
dan penjelasan mengenai status pemeliharaan anak yang belum mumayyiz yang
dipelihara oleh ayahnya, yaitu dengan menganalisis putusan yang ada.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah
Agar apa yang dibahas dalam penelitian ini tidak meluas dan simpang
siur, maka penulis memfokuskan penelitian untuk menganalisis
implementasi pasal 105 huruf a KHI tentang Hadhanah dalam putusan di
Pengadilan Agama Jakarta Barat.
2. Perumusan Masalah
Dalam hal terjadinya perceraian pemeliharaan anak yang belum
mumayyiz atau belum berumur 12 tahun pada pasal 105 huruf a KHI,
dijelaskan bahwa hal tersebut merupakan hak ibunya yang melahirkan untuk
mengasuh. Kenyataan yang terjadi, seorang ayah dapat memelihara anaknya
7
Adapun rumusan masalah tersebut, penulis rinci dalam bentuk
pertanyaan sebagai berikut:
1) Apa substansi pasal 105 huruf a KHI tentang Hadhanah?
2) Bagaimana implementasinya di Pengadilan Agama Jakarta Barat?
3) Bagaimana pertimbangan Hakim dalam putusan No.666/Pdt.G/2009/
PAJB tentang Hadhanah?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan penelitian
Penelitian ini bermaksud untuk mendeteksi dan menelusuri bagaimana
sesungguhnya realitas hukum yang ada di lingkungan Pengadilan Agama,
khususnya dalam lingkup status pemeliharaan anak di bawah umur 12 tahun
setelah perceraian orang tuanya. Adapun tujuan penulis dari penelitian ini
sebagai berikut:
1) Untuk mengetahui substansi pasal 105 huruf a KHI tentang Hadhanah.
2) Untuk mengetahui implementasinya di Pengadilan Agama Jakarta Barat.
3) Untuk mengetahui pertimbangan Hakim dalam putusan No.666/ Pdt.G/
2009/ PAJB tentang Hadhanah.
2. Manfaat Penelitian
1) Ingin memberikan gambaran kepada pembaca mengenai substansi pasal
105 huruf a KHI tentang Hadhanah dan implementasinya dalam putusan
8
2) Turut berkontribusi dalam memperkaya khazanah ilmu pengetahuan
khususnya dalam bidang pemeliharaan anak.
3) Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan acuan dan
masukan bagi para calon sarjana syari‟ah di Universitas, Institut maupun
Perguruan Tinggi.
D. Review Studi Terdahulu
Penulis Judul Skripsi Persamaan Perbedaan
Aziz Angga
Riana pada tahun
2010 di bawah
bimbingan Dr.
H.Azizah,M.A.
dan Hj.
Rosdiana,M.A.
Kewajiban Pembiayaan
Hadhanah Akibat
Perceraian (Studi Kritis
Pasal 105 Poin c Jo
Pasal 156 Poin d KHI)
Studi tentang
Hadhanah
dalam pasal
Kompilasi Hukum Islam Analisis penetapan hak Hadhanah dalam
putusan di
Pengadilan
Agama
Muhammad
Ansory pada
tahun 2010 di
bawah bimbingan
Prof. Dr. H. A.
Sutarmadi
Hak Hadhanah Ibu
Wanita Karir (Analisis
Putusan Perkara
Nomor:458/Pdt.G/2006
/ PADepok)
Hadhanah
dalam putusan
Pengadilan
Agama
Studi pasal
KHI dan
penetapan
Hadhanah
9
Khaslaili binti
Lahuri pada tahun
2008di bawah
bimbingan
Drs.H.A. Basiq
Djalil,S.H.,M.A.
Hak Hadhanah Menurut
Undang-Undang
Keluarga Islam di
Mahkamah Syariah
Negeri Selangor,
Malaysia
Penetapan hak
Hadhanah di
Instansi
pemerintahan
Hak
Hadhanah
menurut KHI
di Pengadilan
Agama
Rizal Purnomo
pada tahun 2008
di bawah
bimbingan
Kamarusdiana,
S.Ag.,M.H.
Gugat Rekonpensi
dalam Sengketa Cerai
Gugat dan Implikasinya
Terhadap Hak
Hadhanah di
Pengadilan Agama
Cerai Gugat
dan Hak
Hadhanah di
Pengadilan
Agama
Studi kritis
terhadap
pasal
Kompilasi
Hukum Islam
Mohd Norman
Shah bin Yaziz
pada tahun 2008
di bawah
bimbingan
Drs.H.A.Basiq
Djalil, SH,MA
Pelaksanaan Sulh dalam
Penyelesaian Sengketa
Hadhanah : Studi Kasus
di Mahkamah Syariah
Wilayah Persekutuan
Kuala Lumpur,
Malaysia
Penyelesaian
sengketa hak
Hadhanah di
10
E. Kerangka Teori
Dalam Islam pemeliharaan anak disebut dengan Hadhanah. Secara
etimologis, Hadhanah berarti “di samping” atau berada “di bawah ketiak”.13
Dalam kitab Fathul Mu‟in Hadhanah yaitu mendidik anak yang belum bisa
mengatur dirinya sendiri sampai mumayyiz, yang lebih utama adalah ditangani
oleh ibu yang tidak bersuamikan orang lain, lalu para ibunya ibu dan terus ke
atas, kemudian ayah , lalu para ibunya ayah, kemudian saudara wanita, kemudian
anak wanitanya saudara wanita, kemudian anak wanitanya saudara lelaki,
kemudian saudara wanita ayah.14
Para ahli fiqh memberi definisi bahwa Hadhanah ialah suatu ungkapan
tentang melaksanakan penjagaan anak kecil, laki-laki maupun perempuan atau
yang kurang waras akal fikirannya dan belum cukup umur; Hadhanah ini tidak
berlaku buat orang yang sudah besar, baligh dan berusia dewasa.15
Dalam literatur bahasa Indonesia, kompilasi secara bahasa mengandung
arti kumpulan yang tersusun secara teratur (daftar informasi,
keterangan-keterangan dan sebagainya).16 Berdasarkan keterangan tersebut dapat diketahui
bahwa ditinjau dari sudut bahasa, kompilasi itu adalah kegiatan pengumpulan
13
Ibid.,h.292.
14 Aliy As‟ad, Terjemah Fathul Mu’in
, jil.III, (Yogyakarta: Menara Kudus, 1979), h.246. 15
Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqh Wanita Islam. Penerjemah S. Ziyad Abbas, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1991), h.105.
16
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
11
dari berbagai bahan tertulis yang diambil dari berbagai buku/ tulisan mengenai
suatu persoalan tertentu. Pengumpulan bahan dari berbagai sumber yang dibuat
oleh beberapa penulis yang berbeda untuk ditulis dalam suatu buku tertentu,
sehingga dengan kegiatan ini semua bahan yang diperlukan dapat ditemukan
dengan mudah.17
Kata hukum barasal dari bahasa arab al-hukm. Kata al-hukm merupakan
bentuk mufradat (singular), jamak (plural)-nya adalah al-ahkam. Al-hukm secara
etimologi berarti ketetapan, keputusan penyelesaian suatu masalah. Kata
al-hukm, merupakan bentuk masdar dari hakama yahkumu. Hakama artinya
memutuskan, menetapkan dan menyelesaikan masalah.18
Islam adalah nama agama yang diberikan oleh Allah SWT; sumber ajaran
Islam adalah wahyu (revelation), bukan hasil cipta, rasa dan karsa manusia. Oleh
karena itu hakikat agama Islam adalah terjemahan dari ad-Diin (
نيدلا
), karenamempunyai ciri khusus yakni bersumber dari wahyu; bukan terjemahan dari kata
religion yang artinya agama, yang mengatur urusan manusia dengan Tuhannya
tetapi bersumber dari cipta, rasa dan karsa manusia (kebudayaan), tidak dari
wahyu.19
17
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, cet.V, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2007), h.11.
18
Jaenal Aripin dan Azharudin Lathif, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: UIN Press, 2006), h.11.
19
12
Hukum Islam merupakan rangkaian dari kata hukum dan Islam. Kedua
kata ini berasal dari bahasa Arab, namun apabila dirangkai menjadi “hukum
Islam”, kata tersebut tidak dikenal dalam terminologi Arab. Kita tidak dapat
menemukan kata itu dalam al-Qur‟an, Hadits atau literatur Arab lainnya. Kata
hukum Islam merupakan kata yang sudah melembaga, dipakai secara lumrah di
Indonesia; Apabila didefinisikan, hukum Islam adalah: “seperangkat peraturan
berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Rasulullah tentang tingkah laku manusia
mukallaf yang diakui dan diyakini mengikat untuk semua orang yang beragama
Islam”.20
Dalam literatur Indonesia, ada beberapa istilah yang digunakan untuk
menyebut hukum Islam. Yang terpenting adalah syariah/ syariat Islam, fikih
Islam dan undang-undang Islam. Seperti dikemukakan para ahli ilmu hukum
Islam (ushul fiqh) ialah “Doktrin Allah SWT yang berhubungan dengan tindakan
orang dewasa (mukallaf), baik itu dalam bentuk tuntutan (iqtidha‟) maupun
berupa kebebasan untuk memilih (takhyir) antara melakukan atau tidak
melakukan dan/atau dalam bentuk penetapan (wadha‟).21
Kompilasi dalam pengertian Kompilasi Hukum Islam ini adalah
merupakan rangkuman dari berbagai pendapat hukum yang diambil dari berbagai
20
Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri’: Sejarah Pembentukan Hukum Islam, (Depok: Gramata Publising, 2010), h.7.
21
13
kitab yang ditulis oleh para ulama fiqh yang biasa dipergunakan sebagai referensi
pada Pengadilan Agama untuk diolah dan dikembangkan serta dihimpun ke
dalam satu himpunan.22 Adapun isi dari Kompilasi Hukum Islam adalah
kaidah-kaidah atau garis-garis hukum Islam sejenis, yakni mengenai hukum perkawinan,
hukum kewarisan dan hukum perwakafan yang disusun secara sistematis.
Dalam literatur bahasa Indonesia, pasal secara bahasa mengandung arti
bab, paragraf (bagian dari bab) atau artikel (dalam undang-undang)23. Sedangkan
huruf adalah unsur abjad yang melambangkan bunyi, aksara24. Pasal 105 huruf a
KHI, dalam hal terjadinya perceraian: “Pemeliharaan anak yang belum
mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;”25
F. Metode Penelitian 1. Pendekatan Masalah
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yaitu jenis
data yang digunakan bersifat naratif dalam bentuk pernyataan- pernyataan
yang menggunakan penalaran.26 Pendekatan masalah yang digunakan adalah
pendekatan yuridis normatif yaitu mengacu kepada norma-norma hukum
22
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, h.14. 23
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h.650. 24
Ibid., h.316. 25
Muhammad Amin Suma, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam dan Peraturan Pelaksanaan Lainnya di Negara Hukum Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h.397.
26
14
yang terdapat dalam Peraturan Perundang-undangan dan putusan Pengadilan
serta norma-norma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.27
2. Jenis Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu jenis penelitian yang
menggambarkan dan memberikan analisa terhadap kenyataan yang ada di
lapangan serta mengungkapkan Peraturan Perundang-undangan yang
berkaitan dengan teori-teori hukum yang menjadi objek penelitian yaitu
putusan Pengadilan dan juga hukum dalam pelaksanaannya di dalam
masyarakat yang berkenaan objek penelitian.
3. Sumber Data
a. Data Primer
1) Putusan No. 666/Pdt.G/2009/PAJB.
2) Wawancara langsung ke tempat objek penelitian untuk memperoleh
informasi yang dikehendaki.
b. Data Sekunder
Penelitian kepustakaan lainnya yang memberikan penjelasan
mengenai sumber data primer, seperti Peraturan Perundang-undangan,
buku, artikel, internet dan karya ilmiah yang berkaitan dengan penelitian.
27
15
4. Teknik Pengumpulan Data
a. Studi pustaka yaitu pengumpulan data dari berbagai macam literatur yang
relevan dengan pokok masalah yang dijadikan sumber penulisan skripsi.
b. Studi Dokumentasi yaitu pengumpulan data dengan cara mengambil
informasi berupa data dan putusan di Pengadilan Agama Jakarta Barat
yang kesemuanya berhubungan erat dengan persoalan yang dibahas.
c. Wawancara yaitu pengumpulan data dengan cara tanya jawab dengan
pihak yang bersangkutan yaitu Hakim Humas Pengadilan Agama Jakarta
Barat dan staf-staf yang berwenang.
5. Teknik Pengolahan Data
Setelah mengumpulkan data berupa teori dan fakta di lapangan,
kemudian membaca, mengamati dan menganalisa dengan pengamatan
kualitatif secara mendalam, melacak dan menemukan berbagai faktor yang
terkait dengan masalah tersebut. Kemudian menghubungkan antara teori dan
praktek yang menimbulkan masalah. Setelah itu, ditelaah dan dianalisis
sehingga ditemukan kesimpulan yang objektif, logis, konsisten dan sistematis
sesuai yang dikehendaki dalam penulisan karya ilmiah ini.
6. Analisa Data
Berdasarkan sifat penelitian ini yang menggunakan metode penelitian
bersifat deskriptif analitis, analisa data yang dipergunakan adalah pendekatan
kualitatif terhadap data primer dan data sekunder dengan menggunakan
16
membandingkan teori yang ada dengan praktek di lapangan, serta
menghubungkannya dengan wawancara yang didapatkan dari tempat objek
penelitian, dideskripsikan sehingga akan mendapatkan suatu kesimpulan yang
objektif dan konkret sesuai dengan masalah yang ada.
7. Teknik penulisan
Standar penulisan yang digunakan pada penelitian ini mengacu pada
Buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta 2007.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan merupakan pola dasar pembahasan skripsi dalam
bentuk bab dan sub bab yang secara logis saling berhubungan dan merupakan
suatu dari masalah yang diteliti. Adapun sitem penulisan skripsi ini adalah
sebagai berikut:
Bab pertama berisi pendahuluan, memuat latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi
terdahulu, kerangka teori, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab kedua berisi landasan teori, memuat pengertian dan dasar hukum
Hadhanah, Hadhanah menurut fuqaha dan hukum positif, syarat dan hak
Hadhanah serta masa dan hikmah Hadhanah.
Bab ketiga berisi pasal 105 huruf a KHI, memuat latar belakang
pembentukan KHI, landasan dan kedudukan KHI, eksistensi KHI di Pengadilan
17
Bab keempat berisi deskripsi dan analisa hasil penelitian, memuat potret
Pengadilan Agama Jakarta Barat, implementasi pasal 105 huruf a KHI dalam
putusan No.666/Pdt.G/2009/PAJB dan analisa.
Bab kelima berisi penutup, memuat kesimpulan dan saran-saran.
18
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian dan Dasar Hukum Hadhanah 1. Pengertian Hadhanah
Hadhanah (
ةناضح
) jamaknya ahdhan (ناضحا
) atau hudhun (نضح
),
terambil dari kata hidhn (
نضح
) yaitu anggota badan yang terletak di bawahketiak hingga al-kayh (bagian badan sekitar pinggul antara pusat hingga
pinggang).1 Hadhanah menurut bahasa berarti meletakkan sesuatu dekat tulang
rusuk atau dipangkuan.2 Burung dikatakan (
هضْيب رئاَّلا نضح
)
manakalaburung itu mengerami telornya karena dia mengumpulkan (mengepit) telornya itu
ke dalam dirinya di bawah (himpitan) sayapnya. Demikian pula sebutan
Hadhanah diberikan kepada seorang perempuan (ibu) manakala mendekap
(mengemban) anaknya di bawah ketiak, dada serta pinggulnya.3
Dalam Ensiklopedi Hukum Islam dijelaskan, Hadhanah yaitu mengasuh
anak kecil atau anak normal yang belum atau tidak dapat hidup mandiri,
yakni dengan memenuhi kebutuhan hidupnya, menjaga dari hal-hal yang
1
Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, h.99 2
Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, Ilmu Fiqh, jil.II, (Jakarta, Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, 1984/1985), h.206.
3
19
membahayakan, memberinya pendidikan fisik maupun psikis, mengembangkan
kemampuan intelektual agar sanggup memikul tanggung jawab hidup.4
Dalam Ensiklopedi Islam Indonesia, Hadhanah adalah tugas menjaga atau
mengasuh bayi/ anak kecil yang belum mampu menjaga dan mengatur diri
sendiri. Mendapat asuhan dan pendidikan adalah hak setiap anak dari kedua
orangtuanya. Kedua orangtua anak itulah yang lebih utama untuk melakukan
tugas tersebut, selama keduanya mempunyai kemampuan untuk itu.5
2. Dasar Hukum Hadhanah.
Para ulama menetapkan bahwa pemeliharaan anak itu hukumnya adalah
wajib selama berada dalam ikatan perkawinan. Adapun dasar hukumnya adalah
mengikuti umum perintah Allah SWT untuk membiayai anak dan istri. Firman
Allah SWT Surat al-Baqarah (2) ayat 233:
4 “Hadhanah”, dalam Abdul Aziz Dahlan, dkk, ed.,
Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeva, 1997), h.37.
5 “Hadhanah” dalam Harun Nasution, dkk, ed.,
20
Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun
penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”.
Dengan tuntutan ini, anak yang dilahirkan mendapat jaminan
pertumbuhan fisik dan perkembangan jiwa dengan baik. Bahkan jaminan tersebut
harus tetap diperolehnya walau ayahnya telah meninggal dunia, karena para
warispun berkewajiban demikian, yakni berkewajiban memenuhi kebutuhan ibu
sang anak agar ia dapat melaksanakan penyusuan dan pemeliharaan anak itu
dengan baik. Adapun yang dimaksud dengan para waris adalah yang mewarisi
sang ayah, yakni anak yang disusukan. Dalam arti warisan yang menjadi hak
anak dari ayahnya yang meninggal digunakan antara lain untuk biaya penyusuan
bahkan makan dan minum ibu yang menyusuinya. Ada juga yang berpendapat
21
Betapapun, ayat ini memberi jaminan hukum untuk kelangsungan hidup dan
pemeliharaan anak.6
Dalam Surat At-Tahrim (66) ayat 6:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”.
Pada ayat di atas, orang tua diperintahkan oleh Allah SWT memelihara
keluarganya dari api neraka, dengan berusaha agar seluruh anggota keluarganya
itu melaksanakan perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangan Allah,
termasuk anggota keluarga dalam ayat ini adalah anak.7 Ayat enam di atas
menggambarkan bahwa dakwah dan pendidikan harus bermula dari rumah. Ayat
di atas walau secara redaksional tertuju kepada kaum pria (ayah) tetapi itu bukan
berarti hanya tertuju kepada mereka. Ayat ini tertuju kepada perempuan dan
lelaki (ibu dan ayah) sebagaimana ayat-ayat yang serupa (misalnya ayat-ayat
yang memerintahkan berpuasa) yang juga tertuju pada lelaki dan perempuan. Ini
berarti kedua orang tua bertanggung jawab terhadap anak-anak dan juga
6
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, cet.XI, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), h.505.
7
22
pasangan masing-masing sebagaimana masing-masing bertanggung jawab atas
kelakuannya. Ayah dan ibu sendiri tidak cukup untuk menciptakan suatu rumah
tangga yang diliputi oleh nilai-nilai agama serta dinaungi oleh hubungan yang
harmonis.8
Jumhur ulama berpendapat bahwa hak mengasuh anak kecil diserahkan
kepada ibu, jika suami menceraikannya berdasarkan hadits dari Abu Ayub
al-Anshari, Nabi SAW bersabda:
9
Artinya: ”Dari Abu Abdurrahman al-Hubuliy, dari Abu Ayyub berkata: aku
mendengar Rasulullah SAW, bersabda: „Barangsiapa memisahkan antara seorang ibu dengan anaknya maka Allah SWT akan memisahkan antara dirinya dan para kekasihnya pada hari kiamat”(Hadits Hasan Riwayat at-Tirmidzi/ 1283).10
Karena itu, hendaklah hakim, wali, bekas suami atau orang lain
berhati-hati dalam memberi keputusan atau berusaha memisahkan seorang ibu dengan
8
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: pesan, kesan dan keserasian al-Qur’an, Cet.VIII, h.327
9
Abu Isya Muhammad, al-Jami’u al-Shahih wa huwa Sunan al-Tirmidzi, juz.III, (Beirut: Dar al-Fikr, 1974), h.580.
10
23
anaknya mengingatkan ancaman Rasulullah SAW dalam hadits di atas.11 Di
dalam sebuah hadits lain yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud ada
peristiwa, seorang wanita menghadap Rasulullah SAW:
Artinya: ” Dari Abdullah ibnu Amr bahwa ada seorang wanita berkata:
„Wahai Rasulullah, sesungguhnya anakku ini, perutkulah yang menjadi
tempatnya, payudaraku yang menjadi tempat minumnya dan pangkuanku menjadi pelindungnya. Sesungguhnya ayahnya telah menceraikan aku dan dia bermaksud mengambilnya dariku. Maka Rasulullah SAW, bersabda kepadanya „kamu lebih berhak terhadap anak itu selama kamu belum menikah’(dengan orang lain)”. (Riwayat Ahmad dan Abu Daud dan dishahihkan oleh Hakim)13
Hadits tersebut menegaskan bahwa ibulah yang lebih berhak untuk
memelihara anaknya, selama ibunya itu tidak menikah dengan laki-laki lain.
11
M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), h.179.
12
Abu Daud Sulaiman Sajastani, Sunan Abu Daud ( Kairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1952), h. 529.
13 Al-Hafizh Ibnu Hajar al-„Asqalani,
24
Apabila ibunya menikah, maka praktis hak Hadhanah tersebut beralih kepada
ayahnya. Alasan yang dapat dikemukakan adalah bahwa apabila ibu anak
tersebut menikah, maka besar kemungkinan perhatiannya akan beralih kepada
suaminya yang baru dan mengalahkan atau bahkan mengorbankan anak
kandungnya sendiri.14
Ketika seorang laki-laki menceraikan istrinya dan baginya mempunyai
seorang anak dari istri itu, maka sang istrilah yang lebih berhak merawat si anak
tersebut sampai melewati umur 7 tahun. Kemudian (anak tersebut) diperintahkan
untuk memilih di antara kedua orang tuanya. Maka mana yang dia pilih di antara
keduanya, maka hendaknya diserahkan si anak kepadanya.15
Artinya: “Dari Ziyad ibnu Sa’d . Abu Muhammad mengatakan, “aku menduganya Hilal ibnu Abi Maimun dari Abu Hurairah ra. Sesungguhnya Nabi SAW, menyuruh memilih pada anak kecil antara (ikut) bapaknya dan (ikut) ibunya. (Hadits Hasan Shahih, diriwayatkan oleh al-Tirmidzi/ hadist 1357)16
14
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, cet.III, (Jakarta: Raja Grafido Persada, 1998), h.251.
15
Musthafa Daib al-Bagha, Matan Ghoyah Wattaqrib. Penerjemah Fuad Kauma, (Semarang: Toha Putra, 1993), h.102.
16 Abu Isya Muhammad,
25
Makna hadist Nabi SAW memutuskan demikian karena kedua orang tua
si anak bercerai, maka beliau menyerahkan pilihan kepada si anak untuk ikut
kepada salah seorang di antara keduanya”.17
Dengan demikian, bagi anak yang
sudah bisa memilih disuruh memilih. Namun pendapat madzhab Hanafiyah
mengatakan bahwa ibu tetap lebih berhak untuk memeliharanya, karena seorang
perempuan lebih besar kasih sayangnya kepada anak.18
B. Hadhanah Menurut Fuqaha dan Hukum Positif 1. Hadhanah Menurut Fuqaha
Para Ulama Fiqh mendefinisikan Hadhanah sebagai tindakan
pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan,
atau yang sudah besar tetapi belum mumayyiz, menyediakan sesuatu yang
menjadi kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya,
mendidik jasmani, rohani dan akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi
hidup dan memikul tanggung jawab.19 Sedangkan para imam madzhab
berikhtilaf20 dalam mengartikan Hadhanah:
17
Muhammad Abid as-Sindi, Musnad Syafi’i. Penerjemah Bahrun Abu Bakar, cet.III, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2006), h.1107.
18
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, h.252 19
M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, h. 215 20
Ikhtilaf ialah perbedaan pendapat di antara ahli hukum Islam (fuqaha) dalam menetapkan sebagian hukum Islam yang bersifat furu’iyyah, bukan pada masalah hukum Islam yang bersifat
26
Madzhab Syafi’i, mengatakan Hadhanah ialah untuk menjaga mereka yang tidak
mampu untuk mengurus diri mereka sendiri.
Madzhab Hambali, mengatakan Hadhanah sebagai menjaga anak-anak kecil atau
orang gila atau orang cacat atau orang tidak sadar.
Madzhab Hanafi, mengatakan Hadhanah untuk mendidik anak-anak yang
sepatutnya mendapat hak penjagaan.
Madzhab Maliki, berpendapat Hadhanah sebagai penjagaan anak-anak dan
menunaikan hak-hak kemashlahatan mereka dan melayani urusan mereka.21
2. Hadhanah Menurut Hukum Positif
Undang-undang perkawinan sampai saat ini belum mengatur secara
khusus tentang penguasaan anak. Bahkan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dan Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam,
masalah Hadhanah menjadi hukum positif di Indonesia dan Pengadilan Agama
diberi wewenang untuk memeriksa dan menyelesaikan.22
Kendati demikian, secara global sebenarnya Undang-Undang perkawinan
telah memberi aturan pemeliharaan anak tersebut yang dirangkai akibat putusnya
perkawinan, di dalam pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
21
Mohd Norman Shah, "Pelaksanaan Sulh Dalam Penyelesaian Sengketa Hadhanah (Studi Kasus di Mahkamah Syariah Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur, Malaysia,” (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h.30.
22
27
Perkawinan dinyatakan: apabila perkawinan putus karena perceraian, maka
akibat itu adalah:
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anaknya,
semata-mata berdasarkan kepentingan anak. Bilamana ada perselisihan
mengenai penguasaan anak, Pengadilan memberikan keputusannya.
b. Bapak bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan
yang diperlukan anak. Akan tetapi bila bapak dalam kenyataan tidak dapat
memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut
memikul biaya tersebut.
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya
penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bekas istri.23
Menyangkut hak dan kewajiban orang tua terhadap anak dimuat di dalam
Bab X mulai pasal 45-49,24
Pasal 45
(1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya
(2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.
Pasal 46
(1) Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik.
23
Suma, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam, h.338 24
28
(2) Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas bila mereka itu memerlukan bantuannya.
Pasal 47
(1) Anak yang belum mencapai umur 18 ( delapan belas ) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.
(2) Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan.
Pasal 48
Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggandakan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya.
Pasal 49
(1) Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal :
a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya; b. Ia berkelakuan buruk sekali.
(2) Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih berkewajiban untuk memberi pemeliharaan kepada anak tersebut.
Pasal-pasal di atas, jelas menyatakan kepentingan anak tetap di atas
segala-galanya. Semangat UUP sebenarnya sangat berpihak kepada kepentingan
dan masa depan anak. Hanya saja UUP hanya menyentuh aspek tanggung jawab
pemeliharaan yang masih bersifat material saja dan kurang memberi penekanan
pada aspek pengasuhan non materialnya.25
25
29
C. Syarat dan Hak Hadhanah 1. Syarat Hadhanah
Pemeliharaan atau pengasuhan anak itu berlaku antara dua unsur yang
menjadi rukun dalam hukumnya, yaitu orang tua yang mengasuh yang disebut
hadhin dan anak yang diasuh atau mahdhun. Keduanya harus memenuhi syarat
yang ditentukan untuk wajib dan sahnya tugas pengasuhan itu. Dalam masa
ikatan perkawinan, ibu dan ayah secara bersama berkewajiban untuk memelihara
anak hasil dari perkawinan itu. Setelah terjadinya perceraian dan keduanya harus
berpisah, maka ibu dan/atau ayah berkewajiban memelihara anaknya secara
sendiri-sendiri.26
Ayah dan ibu yang akan bertindak sebagai pengasuh, disyaratkan hal-hal
sebagai berikut:
1. Sudah dewasa. Orang yang belum dewasa tidak akan mampu melakukan
tugas yang berat itu, oleh karenanya belum dikenai kewajiban dan tindakan
yang dilakukannya itu belum dinyatakan memenuhi persyaratan.
2. Berpikiran sehat. Orang yang kurang akalnya seperti idiot tidak mampu
berbuat untuk dirinya sendiri dan dengan keadaannya itu tentu tidak akan
mampu berbuat untuk orang lain.
26
30
3. Beragama Islam. Tugas pengasuhan itu termasuk tugas pendidikan yang akan
mengarahkan agama anak yang diasuh. Kalau diasuh oleh orang yang bukan
Islam dikhawatirkan anak yang akan diasuh akan jauh dari agamanya.
4. Adil. Dalam arti menjalankan agama secara baik. Kebalikan dari adil dalam
hal ini disebut fasiq yaitu tidak konsisten dalam beragama. Orang yang
komitmen agamanya rendah, tidak dapat diharapkan untuk mengasuh dan
memelihara anak yang masih kecil.27
Adapun syarat untuk anak yang akan diasuh (mahdhun) itu adalah:
1. Ia masih berada dalam usia kanak-kanak dan belum dapat berdiri sendiri
dalam mengurus hidupnya sendiri.
2. Ia berada dalam keadaan tidak sempurna akalnya dan oleh karena itu tidak
dapat berbuat sendiri, meskipun telah dewasa, seperti orang idiot. Orang yang
telah dewasa dan sehat sempurna akalnya tidak boleh berada di bawah
pengasuhan siapapun.28
Dalam kitab Kifayatul Akhyar29, bahwa mengasuh anak setelah
perceraian itu adalah penguasaan atas anak yang diasuh dan ibu lebih utama
daripada ayah karena kasih sayang ibu lebih banyak. Kalau ibu berkeinginan
mengasuh anak setelah perceraian, maka ia harus memenuhi beberapa syarat:
27
Ibid., h.329 28
Ibid., h.330 29
31
1. Berakal.
Ibu yang gila tidak berhak mengasuh anak, baik gilanya terus menerus
maupun terputus-putus. Kalau gilanya kadang-kadang ada masanya tidak
lama. Misalnya, dalam beberapa tahun gilanya satu hari, maka hak asuhnya
tidak batal seperti yang sesekali terjadi lalu hilang.
2. Merdeka
Budak perempuan kemanfaatannya adalah milik tuan pemilik budak itu. Jadi,
ia tidak boleh disibukkan dengan mengasuh anak. Disamping itu, mengasuh
anak termasuk jenis penguasaan sedangkan budak tidak memiliki hak
penguasaan.
3. Beragama Islam
Ibu yang kafir tidak berhak mendidik anaknya yang Islam, sebab si ibu akan
menipu si anak dan si anak akan tumbuh menjadi seperti kebiasaan ibunya.
Disamping itu, mengasuh anak adalah penguasaan terhadap anak tersebut,
padahal orang kafir tidak berhak menguasai orang Islam.
4. Menjauhkan diri dari hal yang tidak baik.
5. Dapat dipercaya.
Ibu yang fasiq tidak berhak mengasuh anak setelah perceraian karena
mengasuh anak berarti menguasai anak tersebut, sedangkan ibu yang fasiq
tidak terjamin amanahnya dalam memelihara anak, serta anak dikhawatirkan
32
6. Ibu tidak menikah lagi.
Kalau istri yang dicerai itu menikah lagi pasti akan sibuk melayani suami
yang baru sehingga akan menyengsarakan anak. Kerelaan suami yang baru
tidak berpengaruh dalam hak asuh ini sebagaimana kerelaan tuan juga tidak
berpengaruh pada hak asuh budak perempuan (yakni walaupun suami yang
baru itu rela, ibu tetap tidak berhak mengasuh anak).
7. Menetap (tidak musafir).
Ibu lebih berhak mengasuh anak setelah perceraian apabila ayah dan ibu
setelah perceraian menetap di suatu negara. Apabila salah satunya akan
bepergian ke negara lain maka dilihat dahulu persoalannya. Kalau
berpergiannya untuk keperluan tertentu seperti haji, maka tidak boleh
membawa anak. Karena biasanya perjalanan seperti ini berbahaya dan banyak
kesulitannya. Maka diasuh oleh ayahnya.
Bila kedua orang tua si anak masih lengkap dan memenuhi syarat, maka
yang paling berhak melakukan Hadhanah atas anak adalah ibu. Alasannya adalah
ibu lebih memiliki rasa kasih sayang dibandingkan dengan ayah, sedangkan
dalam usia yang sangat muda itu lebih dibutuhkan kasih sayang. Bila anak berada
dalam asuhan seorang ibu, maka segala biaya yang diperlukan untuk itu tetap
berada di bawah tanggung jawab si ayah. Hal ini sudah merupakan pendapat
33
2. Hak Hadhanah
Para ulama sepakat bahwasanya hukum Hadhanah, mendidik dan
merawat anak wajib. Tetapi mereka berbeda dalam hal, apakah Hadhanah ini
menjadi hak orang tua (terutama ibu) atau hak anak. Ulama madzhab Hanafi dan
maliki misalnya berpendapat bahwa hak Hadhanah itu menjadi hak ibu sehingga
ia dapat saja menggugurkan haknya. Tetapi menurut Jumhur Ulama, Hadhanah
itu menjadi hak bersama antara orang tua dan anak. Bahkan menurut Wahbah
al-Zuhaily, hak Hadhanah adalah hak bersyarikat antara ibu, ayah dan anak. Jika
terjadi pertengkaran maka yang didahulukan adalah hak dan kepentingan si
anak.30
Bila bertemu kerabat dari pihak ibu dan dari pihak ayah dan mereka
semua memenuhi syarat yang ditentukan untuk melaksanakan Hadhanah maka
urutan yang berhak menurut yang dianut oleh kebanyakan ulama31 adalah:
1. Ibu, ibunya ibu dan seterusnya ke atas;
2. Ayah, ibunya ayah dan seterusnya ke atas;
3. Ibunya kakek melalui ibu, kemudian ibunya dan seterusnya ke atas;
4. Ibunya kakek melalui ayah dan seterusnya ke atas;
5. Saudara-saudara perempuan dari ibu;
6. Saudara-saudara perempuan dari ayah.
30
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h.293 31
34
Lain dari urutan yang disebutkan di atas, ulama tidak sepakat dalam
keutamaan haknya. Bila ibu yang berhak dan memenuhi syarat melepaskan
haknya, maka ulama berbeda pendapat kepada siapa hak Hadhanah itu beralih.
Sebagian ulama berpendapat hak Hadhanah berpindah kepada ayah. Pendapat
kedua yang dianggap lebih kuat mengatakan bahwa bila ibu melepaskan haknya,
maka hak tersebut pindah kepada ibunya ibu, karena kedudukan ayah dalam hal
ini lebih jauh urutannya.32
D. Masa dan Hikmah Hadhanah 1. Masa Hadhanah
Anak-anak yang masih di bawah umur masih sangat memerlukan
bimbingan dan asuhan serta didikan dari orang tuanya hingga ia menjadi dewasa
dan dapat berdiri sendiri dalam memenuhi keperluannya. Pemeliharaan anak
tersebut pada saatnya akan berakhir dan yang menjadi persoalan adalah sampai
kapankah berakhirnya masa pemeliharaan anak.
Para fuqaha pada umumnya membagi masa usia anak kepada dua yaitu:
1. Masa anak kecil ialah masa sejak anak dilahirkan sampai anak berumur
antara 7 dan 9 tahun. Pada masa ini anak belum dapat mengurus dirinya
sendiri. Ia memerlukan pelayanan, penjagaan dan didikan dari pendidiknya.
32
35
2. Masa kanak-kanak. Masa ini mulai sejak anak berrmur 7 atau 9 atau 11 tahun.
Pada masa ini anak-anak telah dapat mengurus dirinya sendiri.33
Tidak terdapat ayat-ayat al-Qur‟an dan Hadits yang menerangkan dengan
tegas tentang masa Hadhanah, hanya terdapat isyarat-asyarat yang menerangkan
masa tersebut. Karena itu para ulama melaksanakan ijtihad sendiri-sendiri dalam
menetapkannya dengan berpedoman kepada isyarat-isyarat itu.34 Adapun
pendapat fuqaha sebagai berikut:
a. Menurut madzhab Hanafi, terutama ulama-ulama mereka yang terdahulu
bahwa mengasuh anak kecil laki-laki itu berakhir apabila ia telah sanggup
mengurus keperluannya yang utama seperti makan, berpakaian dan
kebersihannya. Sedangkan untuk anak perempuan berakhir sampai usia
baligh (batas timbul syahwat). Mereka tidak memberi batas yang tegas.
Adapun ulama-ulama Hanafi yang datang kemudian memberi batasnya
berdasarkan ijtihad karena pertimbangan kondisi anak, tempat dan masanya.
Maka mereka menentukan batas usia untuk anak laki-laki berusia 7 tahun dan
untuk anak perempuan berusia 9 tahun.
b. Madzhab Maliki menyatakan bahwa batas usia seorang anak untuk diasuh
ialah sejak anak itu lahir sampai baligh. Untuk anak perempuan ialah sejak
33
Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam tentang Perkawinan, h.136. 34
36
lahir sampai ia kawin, bahkan sampai ia dicampuri suaminya, demikian
menurut madzhab ini.35
c. Madzhab Syafi‟i , tidak ada batasan tertentu bagi asuhan. Anak tetap tinggal
bersama ibunya sampai dia bisa menentukan pilihan apakah tinggal bersama
ibu atau ayahnya. Kalau si anak sudah sampai pada tingkat ini, dia disuruh
memilih apakah tinggal bersama ibu ataukah dengan ayahnya; tetapi bila si
anak memilih tinggal bersama ibu dan ayahnya, maka dilakukan undian, bila
si anak diam (tidak memberikan pilihan), dia ikut bersama ibunya.36
d. Madzhab Hambali, masa asuh anak laki-laki dan perempuan adalah 7 tahun
dan sesudah itu si anak disuruh memilih apakah tinggal bersama ibu atau
ayahnya, lalu si anak tinggal bersama orang yang dipilihnya itu.37
Bila anak laki-laki telah melewati masa kanak-kanak yaitu mencapai usia
tujuh tahun, yang dalam fiqh dinyatakan sebagai mumayyiz dan dia tidak idiot,
antara ayah dan ibu berselisih dalam memperebutkan hak Hadhanah, maka si
anak diberi hak pilih antara tinggal bersama ayah atau ibunya untuk pengasuhan
35
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Studi Perbandingan dalam Kalangan Ahlus-Sunnah dan Negara-negara Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h.405.
36
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab. Penerjemah Masykur A.B., dkk, (Jakarta: Lentera Basritama, 1996), h.417.
37
37
selanjutnya. Inilah pendapat sebagian ulama di antaranya imam ahmad dan Imam
Syafi‟i.38
Hak pilih diberikan kepada anak bila terpenuhi dua syarat39, yaitu:
Pertama, kedua orang tua telah memenuhi syarat untuk mengasuh sebagaimana
disebutkan sebelumnya. Bila salah satu memenuhi syarat dan yang lain tidak,
maka si anak diserahkan kepada yang memenuhi syarat, baik ayah atau ibu.
Kedua, si anak tidak dalam keadaan idiot. Bila si anak dalam keadaan idiot,
meskipun telah melewati masa kanak-kanak, maka ibu yang berhak mengasuh;
dan tidak ada hak pilih untuk si anak.
2. Hikmah Hadhanah.
Hikmah Hadhanah (mengasuh anak) dapat dilihat dari dua sisi:
Pertama, sudah menjadi kewajiban seorang lelaki untuk bisa merawat diri dan
keluarganya. Sedangkan, pengasuhan anak menjadi kewajiban wanita.
Pendidikan anak adalah hal utama yang perlu mendapatkan perhatian dimasa
kecilnya, khususnya dari pihak ibu. Karena umumnya, ibulah yang sering
berinteraksi dengan anak.
Kedua, ibu umumnya lebih peduli dan mengasihi anaknya dibanding seorang
ayah. Dengan demikian, sang ibu tidak memiliki banyak waktu untuk
38
Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h.330 39
38
memperhatikan keserasian pakaiannya, makannya, minumnya dan
kesehatannya.40
Hikmah penetapan masa pengasuhan bagi anak laki-laki dalam rentang
waktu 7 tahun pertama dan juga anak wanita dalam 9 tahun pertama, lebih
berdasar bahwa anak laki-laki pada usia 7 tahun umumnya telah siap menerima
pelajaran, ilmu pengetahuan, sastra, keterampilan dan segala hal yang
mengantarkannya kepada kehidupan dunia dan akhiratnya. Berbeda dengan anak
wanita yang terlebih dahulu harus diajarkan bagaimana ia bisa menjaga diri dan
kehidupannya dengan baik. Pada umumnya ibu mampu dan sabar dalam
mendidik anak pada kondisi seperti ini. Setelah masa pengasuhan berlalu, maka
pada saat itulah peran ayah mulai tampak.
Dalam masa pengasuhan, sang ibu mengajarkan anaknya semua hal yang
berkaitan dengan pekerjaan rumah, khususnya bagi putrinya, karena kelak ia
akan menjadi seorang istri. Dengan demikian pada usianya yang kesembilan, ia
telah mampu menjaga dirinya dan mempelajari banyak hal dari ibunya,
khususnya yang berkaitan dengan pengaturan rumah. Masa pengasuhan sembilan
tahun tersebut cukup untuknya untuk memahami apa yang seharusnya
dilakukannya. Bahkan, ia pun bisa mengetahui bagaimana kelak ia mengasuh
anaknya setelah pernikahannya setelah ia melihat semua pekerjaan ibunya
padanya dan juga pada saudaranya.
40
39
Setelah melewati masa pengasuhan, maka mulailah seorang ayah
memegang peranan penting. Ia bertanggung jawab untuk mengajarkan moral dan
agama hingga dengannya anak bisa mendapatkan kemenangan di dunia dan
akhiratnya. Seorang ayah adalah orang yang paling mampu menjaga kesucian
anaknya hingga sang anak kelak akan membangun rumah tangganya dan menjadi
anggota masyarakat yang bisa dibanggakan. Dengan pola inilah, maka
tercapailah kebahagiaan sejati bagi anak.41
41
40
BAB III
PASAL 105 HURUF A KHI
A. Latar Belakang Pembentukan KHI
Pemikiran pemerintah dalam mengeluarkan Kompilasi Hukum Islam
adalah karena hukum Islam yang dipergunakan oleh peradilan agama untuk
menyelesaikan sengketa yang diajukan ke Pengadilan Agama di masa yang lalu,
terdapat dalam berbagai kitab fiqh yang ditulis oleh para fuqaha beberapa abad
yang lalu. Sebagai kitab fiqh, di dalamnya terdapat perbedaan-perbedaan
pendapat di antara para fuqaha yang satu dengan yang lainnya.
Perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam kitab-kitab fiqh itu wajar mempengaruhi Hakim
Pengadilan Agama dalam memutuskan sengketa sehingga sering terjadi putusan
hakim pada suatu Pengadilan Agama berbeda dengan putusan hakim pada
Pengadilan Agama yang lain, padahal sengketanya sama.