• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi pasal 105 huruf akhi tentang hadhanah (analisis Yuridis putusan nomor: 666/Pdt.G?2009/PAJH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Implementasi pasal 105 huruf akhi tentang hadhanah (analisis Yuridis putusan nomor: 666/Pdt.G?2009/PAJH"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

IMPLEMENTASI PASAL 105 HURUF A KHI TENTANG HADHANAH (Analisis Yuridis Putusan Nomor:666/Pdt.G/2009/PAJB)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (S.Sy.)

Oleh:

Deni Hamdani

NIM: 207044100261

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)

IMPLEMENTASI PASAL 105 HURUF A KHI TENTANG HADHANAH (Analisis Yuridis Putusan Nomor:666/Pdt.G/2009/PAJB)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (S.Sy.)

Oleh:

Deni Hamdani

NIM: 207044100261

Di Bawah Bimbingan

Pembimbing

Drs. H. Ahmad Yani, M.Ag.

NIP: 196404121994031004

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul “IMPLEMENTASI PASAL 105 HURUF A KHI TENTANG HADHANAH (Analisis Yuridis Putusan Nomor:666/Pdt.G/2009/PAJB)” telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 21 Juni 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy.) pada Program Studi Ahwal al-Syakhshiyyah Konsentrasi Peradilan Agama.

Jakarta, 21 Juni 2011 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. Dr. H. M Amin Suma, S.H.,M.A.,M.M.

NIP: 195505051982031012

Panitia Ujian Munaqasyah

Ketua : Prof. Dr. H. M Amin Suma, S.H.,M.A.,M.M. NIP: 195505051982031012

Sekretaris : Mufidah, S.Hi.

Pembimbing : Drs. H. Ahmad Yani, M.Ag. NIP: 196404121994031004

Penguji I : Prof. Dr. H. M Amin Suma, S.H.,M.A.,M.M. NIP: 195505051982031012

(4)

i

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT., atas segala rahmat, hidayah dan

inayahNya yang telah dilimpahkan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan

tugas penyusunan skripsi ini. Shalawat serta salam mudah-mudahan tetap

tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW., beserta para keluarganya, sahabat dan

para pengikutnya yang telah berjasa besar kepada kita semua dalam membuka

gerbang ilmu pengetahuan.

Skripsi yang berjudul Implementasi Pasal 105 Huruf a KHI tentang Hadhanah (Analisis Yuridis Putusan No.666/Pdt.G/2009/PAJB) ini penulis susun dalam rangka memenuhi dan melengkapi persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana

Syari’ah (S.Sy.) pada program studi Ahwal Syakhshiyyah, konsentrasi Peradilan

Agama, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Setulusnya dari hati yang paling dalam penulis menyadari, bahwa suksesnya

penulisan skripsi ini tidaklah begitu saja dapat diselesaikan dan bukan semata-mata

atas usaha penulis pribadi, namun juga karena bantuan dan motivasi dari berbagai

pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mempersembahkan ucapan terima kasih yang

mendalam kepada:

1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M., Dekan Fakultas Syariah

(5)

ii

2. Drs. H. A. .Basiq Djalil, S.H.,M.A. dan Drs. H. Ahmad Yani, M.Ag.

masing-masing sebagai Ketua Program Studi Ahwal Syakhshiyyah dan Ketua

Koordinator Teknis Program Non Reguler. Hj. Rosdiana, M.A. dan Mufidah,

S.Hi., yang keduanya adalah Sekretaris Program Studi Ahwal Syakhshiyyah dan

Sekretaris Non Reguler Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

3. Drs. H. Ahmad Yani, M.Ag., dosen pembimbing yang telah membimbing,

memberikan perhatian dan memotivasi yang besar selama proses bimbingan

sehingga penulis dapat segera menyelesaikan skripsi ini.

4. Drs. H. Muhyiddin, S.H., M.H., selaku Hakim Humas yang bersedia untuk

berwawancara dan Adri Syafruddin Sulaiman, S.H., sebagai Panitera Muda

Hukum yang memberikan informasi, fotocopi data dan putusan di Pengadilan

Agama Jakarta Barat tempat mengadakan penelitian.

5. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum, atas didikan dan curahan ilmu

pengetahuan serta civitas akademika , staf Perpustakaan Utama dan FSH UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan pelayanan administrasi,

akademik, fasilitas berupa literatur buku dan referensi untuk penulisan skripsi.

6. Ayahanda H. Zulkipli dan ibunda Darliyeti yang senantiasa memberikan do’a,

pengorbanan, nasihat dan arahan masa depan serta ibunda Sulastri, aa Irfan, uni

Mira, Iskandar atas segala kebaikan. Adik-adikku Rahmi, Faisal, Rahma dan

Keponakanku Maya, Lisa, Rafi yang meluluhkan hati penulis dengan tangisan

(6)

iii

7. Sahabat seperjuangan di kelas PA Aripin, Aris, DK, Hakim, Indro, Mila, N-din,

pak Tamim, Royhan, Tiram, /rif dan di kelas PH-PS Amin, Ani, bang Syam,

Fadli, UIN, Vina serta sahabat-sahabat lain yang tidak disebutkan dengan tidak

mengurangi rasa persahabatan penulis kepada mereka.

Akhirnya atas jasa dan bantuan semua pihak, baik moril maupun materil yang

telah membantu, penulis ucapkan terima kasih. Penulis berdo’a semoga Allah SWT.

senantiasa mencurahkan rahmat, hidayah dan inayah kepada kita semua. Dengan

selesainya karya tulis ini, penulis tentunya sangat mengharapkan saran dan kritik

yang konstruktif demi meningkatkan kualitas keilmuan penulis. Harapan penulis,

semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca.

Jakarta, 23 Juni 2011

(7)

iv

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

LEMBAR PERNYATAAN ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Review Studi Terdahulu ... 8

E. Kerangka Teori ... 10

F. Metode Penelitian ... 13

G. Sistematika Penulisan ... 16

BAB II LANDASAN TEORI ... 18

A. Pengertian dan Dasar Hukum Hadhanah ... 18

B. Hadhanah Menurut Fuqaha dan Hukum Positif ... 25

C. Syarat dan Hak Hadhanah ... 29

D. Masa dan Hikmah Hadhanah ... 34

BAB III PASAL 105 HURUF A KHI ... 40

A. Latar Belakang Pembentukan KHI ... 40

B. Landasan dan Kedudukan KHI ... 45

(8)

v

D. Substansi Pasal 105 Huruf a KHI ... 48

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISA HASIL PENELITIAN ... 54

A. Potret Pengadilan Agama Jakarta Barat ... 54

B. Implementasi Pasal 105 Huruf a KHI dalam Putusan No.666/ Pdt.G/ 2009/ PAJB ... 57

C. Analisa ... 70

BAB V PENUTUP ... 75

A. Kesimpulan ... 75

B. Saran-Saran ... 77

DAFTAR PUSTAKA ... 79

LAMPIRAN-LAMPIRAN 1. Lampiran 1 : Lembaran Mohon Data/ Wawancara ... 83

2. Lampiran 2 : Lembaran Mohon Kesediaan Menjadi Pembimbing Skripsi Program Non Reguler ... 84

3. Lampiran 3 : Lembaran Surat Keterangan Pengadilan Agama Jakarta Barat . 85 4. Lampiran 4 : Lembaran Hasil Wawancara... 86

(9)

vi

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk

memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya

atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 9 Juni 2011

(10)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia diciptakan oleh Allah SWT mempunyai naluri manusiawi yang

perlu mendapat pemenuhan. Dalam pada itu manusia diciptakan oleh Allah SWT

untuk mengabdikan dirinya kepada Khaliq penciptanya dengan segala aktifitas

hidupnya. Pemenuhan naluri manusiawi manusia yang antara lain keperluan

biologisnya termasuk aktifitas hidup, agar manusia menuruti tujuan kejadiannya,

Allah SWT mengatur hidup manusia dengan perkawinan. Aturan perkawinan

menurut Islam merupakan tuntunan agama yang perlu mendapat perhatian,

sehingga tujuan melangsungkan perkawinanpun hendaknya ditujukan untuk

memenuhi petunjuk agama sehingga kalau diringkas ada dua tujuan orang

melangsungkan perkawinan ialah memenuhi nalurinya dan memenuhi petunjuk

agama.1

Kebahagiaan masyarakat dapat dicapai dengan adanya ketenangan dan

ketentraman anggota keluarga dalam keluarganya. Keluarga merupakan bagian

masyarakat menjadi faktor terpenting dalam penentuan ketenangan dan

ketentraman masyarakat. Ketenangan dan ketentraman keluarga tergantung dari

keberhasilan pembinaan yang harmonis antara suami istri dalam satu rumah

1

(11)

2

tangga. Keharmonisan diciptakan oleh adanya kesadaran anggota keluarga dalam

menggunakan hak dan pemenuhan kewajiban. Allah menjadikan unit keluarga

yang dibina dengan perkawiann antara suami dan istri dalam membentuk

ketenangan dan ketentraman serta mengembangkan cinta dan kasih sayang

sesama warganya.2

Membina sebuah mahligai rumah tangga atau hidup berkeluarga

merupakan perintah agama bagi setiap muslim dan muslimah. Melalui rumah

tangga yang Islami diharapkan akan terbentuk komunitas kecil masyarakat

Islam.3 Dalam bentuknya yang kecil, hidup berkomunitas itu dimulai dengan

adanya keluarga yang mempunyai fungsi-fungsi sosial seperti reproduksi,

ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya. Karena fungsi keluarga yang

sedemikian itu, sangatlah wajar jika keluarga merupakan gejala kehidupan umat

manusia yang terpenting dan terbentuk oleh paling tidak seorang laki-laki,

seorang perempuan beserta anak-anaknya.4

Perkawinan merupakan cara yang dipilih Allah sebagai jalan bagi

manusia untuk beranak-pinak, berkembang biak dan melestarikan hidupnya

setelah masing-masing pasangan siap melakukan peranannya yang positif dalam

mewujudkan tujuan perkawinan. Allah tidak menjadikan manusia seperti

2

Ibid., h.31. 3

Hasbi Indra, dkk, Potret Wanita Shalehah (Jakarta: Penamadani, 2004), h.61. 4

(12)

3

makhluk lainnya yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan secara

anarkhi tanpa aturan. Demi menjaga kehormatan dan martabat kemuliaan

manusia, Allah mengadakan hukum sesuai dengan martabatnya, sehingga

hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat dan

berdasarkan rasa saling meridhai, dengan upacara ijab qabul sebagai lambang

adanya rasa ridha meridhai dan dengan dihadiri para saksi yang menyaksikan

bahwa pasangan laki-laki dan perempuan itu telah saling terikat.5

Perkawinan bertujuan membentuk keluarga yang diliputi rasa saling

mencintai dan rasa kasih sayang antara sesama anggota keluarga. Keluarga

seperti inilah yang merupakan bangunan umat yang dicita-citakan oleh Islam.6

Hal tersebut bertujuan agar masing-masing pihak merasa damai dalam rumah

tangga yang sakinah, mawaddah wa rohmah.

Di antara banyaknya rumah tangga yang bahagia, ada saja rumah tangga

yang mengalami krisis internal sehingga terkadang menimbulkan ketegangan.

Ketegangan suami istri biasanya timbul dari hal kecil seperti perasaan kurang

dihargai bagi istri oleh suaminya maupun sebaliknya. Hal kecil tersebut bila

dibiarkan dan tidak coba dikomunikasikan, maka akan dapat menjadi bom atom

yang sewaktu-waktu dapat meledak sehingga akhirnya terjadi perceraian.

5

Ghozali, Fiqh Munakahat, h.10. 6

(13)

4

Perceraian merupakan alternatif terakhir (pintu darurat) yang dapat dilalui

oleh suami istri bila ikatan perkawinan (rumah tangga) tidak dapat dipertahankan

keutuhan dan kelanjutannya. Sifat alternatif terakhir dimaksud, berarti sudah

ditempuh berbagai cara dan teknik untuk mencari kedamaian di antara kedua

belah pihak, baik melalui hakam (arbitrator) dari kedua belah pihak maupun

langkah-langkah dan teknik yang diajarkan oleh al-Qur‟an dan al-Hadits.7

Suatu gugatan perceraian bisa mengundang berbagai macam

permasalahan. Di samping gugatan cerai itu sendiri, muncul pula masalah lain

sebagai akibat dari dikabulkannya gugatan cerai tersebut, seperti masalah

pembagian harta bersama dan bilamana mempunyai keturunan timbul pula

permasalahan tentang siapa yang lebih berhak melakukan Hadhanah

(pemeliharaan terhadap anak).8 Anak yang lahir dari perkawinan itu, tentu

memiliki sejumlah hak dan kewajiban dari dan kepada orang tuanya, terutama

menyangkut hak anak untuk mendapatkan makan dan minum serta pakaian dan

tempat tinggal di samping hak-hak pemeliharaan dan pendidikan. 9

Apabila dua orang suami istri bercerai sedangkan keduanya mempunyai

anak yang belum mumayyiz (belum mengerti kemashlahatan dirinya), maka

istrinya yang lebih berhak untuk mendidik dan merawat anak itu hingga ia

7

Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h.73. 8

Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer (Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyyah) (Jakarta: Prenada Media, 2004), h.189.

9

(14)

5

mengerti akan kemashlahatan dirinya.10 Dalam waktu itu si anak hendaknya

tinggal bersama ibunya selama ibunya belum menikah dengan orang lain.

Meskipun si anak ditinggalkan bersama ibunya, tetapi nafkahnya tetap wajib

dipikul oleh bapaknya.11

Ditegaskan juga dalam pasal 105 huruf a KHI, bahwa dalam hal

terjadinya perceraian: “pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum

berumur 12 tahun adalah hak ibunya”. Pengadilan Agama adalah Institusi yang

akan menerapkan hukum materil dari Kompilasi Hukum Islam ini, terutama

masalah yang berkaitan dengan Hadhanah itu sendiri. Sebab, di Indonesia tidak

ada Undang-Undang yang secara khusus mengatur masalah pemeliharaan anak,

yang ada hanya Undang-Undang yang mengatur masalah kesejahteraan anak,

pengadilan anak, larangan mengeksploitasi anak dan perlindungan terhadap anak.

Jika terjadi perselisihan antara suami dan istri mengenai penguasaan

anak-anak maka dapat diselesaikan melalui jalur musyawarah keluarga ataupun

dengan putusan pengadilan.12 Seyogyanya, Pasal 105 huruf a KHI tersebut,

diimplementasikan dalam putusan di Pengadilan Agama. Letak masalahnya

10

Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam: Hukum Fiqh Lengkap, cet.XXXIX (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2006), h.426.

11

Ibid., h.427. 12

(15)

6

adalah bagaimana jika ada sesuatu hal yang menyebabkan Pengadilan Agama

memutuskan bahwa hak pemeliharaan anak berpindah kepada ayahnya.

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik mengkajinya dalam

bentuk skripsi dengan judul “IMPLEMENTASI PASAL 105 HURUF A KHI TENTANG HADHANAH (Analisis Putusan No.666/ Pdt.G/ 2009/ PAJB)”.

Hal yang memotifasi penulis untuk mengadakan penelitian di Pengadilan Agama

Jakarta Barat adalah dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan jawaban

dan penjelasan mengenai status pemeliharaan anak yang belum mumayyiz yang

dipelihara oleh ayahnya, yaitu dengan menganalisis putusan yang ada.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Agar apa yang dibahas dalam penelitian ini tidak meluas dan simpang

siur, maka penulis memfokuskan penelitian untuk menganalisis

implementasi pasal 105 huruf a KHI tentang Hadhanah dalam putusan di

Pengadilan Agama Jakarta Barat.

2. Perumusan Masalah

Dalam hal terjadinya perceraian pemeliharaan anak yang belum

mumayyiz atau belum berumur 12 tahun pada pasal 105 huruf a KHI,

dijelaskan bahwa hal tersebut merupakan hak ibunya yang melahirkan untuk

mengasuh. Kenyataan yang terjadi, seorang ayah dapat memelihara anaknya

(16)

7

Adapun rumusan masalah tersebut, penulis rinci dalam bentuk

pertanyaan sebagai berikut:

1) Apa substansi pasal 105 huruf a KHI tentang Hadhanah?

2) Bagaimana implementasinya di Pengadilan Agama Jakarta Barat?

3) Bagaimana pertimbangan Hakim dalam putusan No.666/Pdt.G/2009/

PAJB tentang Hadhanah?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan penelitian

Penelitian ini bermaksud untuk mendeteksi dan menelusuri bagaimana

sesungguhnya realitas hukum yang ada di lingkungan Pengadilan Agama,

khususnya dalam lingkup status pemeliharaan anak di bawah umur 12 tahun

setelah perceraian orang tuanya. Adapun tujuan penulis dari penelitian ini

sebagai berikut:

1) Untuk mengetahui substansi pasal 105 huruf a KHI tentang Hadhanah.

2) Untuk mengetahui implementasinya di Pengadilan Agama Jakarta Barat.

3) Untuk mengetahui pertimbangan Hakim dalam putusan No.666/ Pdt.G/

2009/ PAJB tentang Hadhanah.

2. Manfaat Penelitian

1) Ingin memberikan gambaran kepada pembaca mengenai substansi pasal

105 huruf a KHI tentang Hadhanah dan implementasinya dalam putusan

(17)

8

2) Turut berkontribusi dalam memperkaya khazanah ilmu pengetahuan

khususnya dalam bidang pemeliharaan anak.

3) Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan acuan dan

masukan bagi para calon sarjana syari‟ah di Universitas, Institut maupun

Perguruan Tinggi.

D. Review Studi Terdahulu

Penulis Judul Skripsi Persamaan Perbedaan

Aziz Angga

Riana pada tahun

2010 di bawah

bimbingan Dr.

H.Azizah,M.A.

dan Hj.

Rosdiana,M.A.

Kewajiban Pembiayaan

Hadhanah Akibat

Perceraian (Studi Kritis

Pasal 105 Poin c Jo

Pasal 156 Poin d KHI)

Studi tentang

Hadhanah

dalam pasal

Kompilasi Hukum Islam Analisis penetapan hak Hadhanah dalam

putusan di

Pengadilan

Agama

Muhammad

Ansory pada

tahun 2010 di

bawah bimbingan

Prof. Dr. H. A.

Sutarmadi

Hak Hadhanah Ibu

Wanita Karir (Analisis

Putusan Perkara

Nomor:458/Pdt.G/2006

/ PADepok)

Hadhanah

dalam putusan

Pengadilan

Agama

Studi pasal

KHI dan

penetapan

Hadhanah

(18)

9

Khaslaili binti

Lahuri pada tahun

2008di bawah

bimbingan

Drs.H.A. Basiq

Djalil,S.H.,M.A.

Hak Hadhanah Menurut

Undang-Undang

Keluarga Islam di

Mahkamah Syariah

Negeri Selangor,

Malaysia

Penetapan hak

Hadhanah di

Instansi

pemerintahan

Hak

Hadhanah

menurut KHI

di Pengadilan

Agama

Rizal Purnomo

pada tahun 2008

di bawah

bimbingan

Kamarusdiana,

S.Ag.,M.H.

Gugat Rekonpensi

dalam Sengketa Cerai

Gugat dan Implikasinya

Terhadap Hak

Hadhanah di

Pengadilan Agama

Cerai Gugat

dan Hak

Hadhanah di

Pengadilan

Agama

Studi kritis

terhadap

pasal

Kompilasi

Hukum Islam

Mohd Norman

Shah bin Yaziz

pada tahun 2008

di bawah

bimbingan

Drs.H.A.Basiq

Djalil, SH,MA

Pelaksanaan Sulh dalam

Penyelesaian Sengketa

Hadhanah : Studi Kasus

di Mahkamah Syariah

Wilayah Persekutuan

Kuala Lumpur,

Malaysia

Penyelesaian

sengketa hak

Hadhanah di

(19)

10

E. Kerangka Teori

Dalam Islam pemeliharaan anak disebut dengan Hadhanah. Secara

etimologis, Hadhanah berarti “di samping” atau berada “di bawah ketiak”.13

Dalam kitab Fathul Mu‟in Hadhanah yaitu mendidik anak yang belum bisa

mengatur dirinya sendiri sampai mumayyiz, yang lebih utama adalah ditangani

oleh ibu yang tidak bersuamikan orang lain, lalu para ibunya ibu dan terus ke

atas, kemudian ayah , lalu para ibunya ayah, kemudian saudara wanita, kemudian

anak wanitanya saudara wanita, kemudian anak wanitanya saudara lelaki,

kemudian saudara wanita ayah.14

Para ahli fiqh memberi definisi bahwa Hadhanah ialah suatu ungkapan

tentang melaksanakan penjagaan anak kecil, laki-laki maupun perempuan atau

yang kurang waras akal fikirannya dan belum cukup umur; Hadhanah ini tidak

berlaku buat orang yang sudah besar, baligh dan berusia dewasa.15

Dalam literatur bahasa Indonesia, kompilasi secara bahasa mengandung

arti kumpulan yang tersusun secara teratur (daftar informasi,

keterangan-keterangan dan sebagainya).16 Berdasarkan keterangan tersebut dapat diketahui

bahwa ditinjau dari sudut bahasa, kompilasi itu adalah kegiatan pengumpulan

13

Ibid.,h.292.

14 Aliy As‟ad, Terjemah Fathul Mu’in

, jil.III, (Yogyakarta: Menara Kudus, 1979), h.246. 15

Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqh Wanita Islam. Penerjemah S. Ziyad Abbas, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1991), h.105.

16

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,

(20)

11

dari berbagai bahan tertulis yang diambil dari berbagai buku/ tulisan mengenai

suatu persoalan tertentu. Pengumpulan bahan dari berbagai sumber yang dibuat

oleh beberapa penulis yang berbeda untuk ditulis dalam suatu buku tertentu,

sehingga dengan kegiatan ini semua bahan yang diperlukan dapat ditemukan

dengan mudah.17

Kata hukum barasal dari bahasa arab al-hukm. Kata al-hukm merupakan

bentuk mufradat (singular), jamak (plural)-nya adalah al-ahkam. Al-hukm secara

etimologi berarti ketetapan, keputusan penyelesaian suatu masalah. Kata

al-hukm, merupakan bentuk masdar dari hakama yahkumu. Hakama artinya

memutuskan, menetapkan dan menyelesaikan masalah.18

Islam adalah nama agama yang diberikan oleh Allah SWT; sumber ajaran

Islam adalah wahyu (revelation), bukan hasil cipta, rasa dan karsa manusia. Oleh

karena itu hakikat agama Islam adalah terjemahan dari ad-Diin (

نيدلا

), karena

mempunyai ciri khusus yakni bersumber dari wahyu; bukan terjemahan dari kata

religion yang artinya agama, yang mengatur urusan manusia dengan Tuhannya

tetapi bersumber dari cipta, rasa dan karsa manusia (kebudayaan), tidak dari

wahyu.19

17

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, cet.V, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2007), h.11.

18

Jaenal Aripin dan Azharudin Lathif, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: UIN Press, 2006), h.11.

19

(21)

12

Hukum Islam merupakan rangkaian dari kata hukum dan Islam. Kedua

kata ini berasal dari bahasa Arab, namun apabila dirangkai menjadi “hukum

Islam”, kata tersebut tidak dikenal dalam terminologi Arab. Kita tidak dapat

menemukan kata itu dalam al-Qur‟an, Hadits atau literatur Arab lainnya. Kata

hukum Islam merupakan kata yang sudah melembaga, dipakai secara lumrah di

Indonesia; Apabila didefinisikan, hukum Islam adalah: “seperangkat peraturan

berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Rasulullah tentang tingkah laku manusia

mukallaf yang diakui dan diyakini mengikat untuk semua orang yang beragama

Islam”.20

Dalam literatur Indonesia, ada beberapa istilah yang digunakan untuk

menyebut hukum Islam. Yang terpenting adalah syariah/ syariat Islam, fikih

Islam dan undang-undang Islam. Seperti dikemukakan para ahli ilmu hukum

Islam (ushul fiqh) ialah “Doktrin Allah SWT yang berhubungan dengan tindakan

orang dewasa (mukallaf), baik itu dalam bentuk tuntutan (iqtidha‟) maupun

berupa kebebasan untuk memilih (takhyir) antara melakukan atau tidak

melakukan dan/atau dalam bentuk penetapan (wadha‟).21

Kompilasi dalam pengertian Kompilasi Hukum Islam ini adalah

merupakan rangkuman dari berbagai pendapat hukum yang diambil dari berbagai

20

Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri’: Sejarah Pembentukan Hukum Islam, (Depok: Gramata Publising, 2010), h.7.

21

(22)

13

kitab yang ditulis oleh para ulama fiqh yang biasa dipergunakan sebagai referensi

pada Pengadilan Agama untuk diolah dan dikembangkan serta dihimpun ke

dalam satu himpunan.22 Adapun isi dari Kompilasi Hukum Islam adalah

kaidah-kaidah atau garis-garis hukum Islam sejenis, yakni mengenai hukum perkawinan,

hukum kewarisan dan hukum perwakafan yang disusun secara sistematis.

Dalam literatur bahasa Indonesia, pasal secara bahasa mengandung arti

bab, paragraf (bagian dari bab) atau artikel (dalam undang-undang)23. Sedangkan

huruf adalah unsur abjad yang melambangkan bunyi, aksara24. Pasal 105 huruf a

KHI, dalam hal terjadinya perceraian: “Pemeliharaan anak yang belum

mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;”25

F. Metode Penelitian 1. Pendekatan Masalah

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yaitu jenis

data yang digunakan bersifat naratif dalam bentuk pernyataan- pernyataan

yang menggunakan penalaran.26 Pendekatan masalah yang digunakan adalah

pendekatan yuridis normatif yaitu mengacu kepada norma-norma hukum

22

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, h.14. 23

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h.650. 24

Ibid., h.316. 25

Muhammad Amin Suma, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam dan Peraturan Pelaksanaan Lainnya di Negara Hukum Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h.397.

26

(23)

14

yang terdapat dalam Peraturan Perundang-undangan dan putusan Pengadilan

serta norma-norma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.27

2. Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu jenis penelitian yang

menggambarkan dan memberikan analisa terhadap kenyataan yang ada di

lapangan serta mengungkapkan Peraturan Perundang-undangan yang

berkaitan dengan teori-teori hukum yang menjadi objek penelitian yaitu

putusan Pengadilan dan juga hukum dalam pelaksanaannya di dalam

masyarakat yang berkenaan objek penelitian.

3. Sumber Data

a. Data Primer

1) Putusan No. 666/Pdt.G/2009/PAJB.

2) Wawancara langsung ke tempat objek penelitian untuk memperoleh

informasi yang dikehendaki.

b. Data Sekunder

Penelitian kepustakaan lainnya yang memberikan penjelasan

mengenai sumber data primer, seperti Peraturan Perundang-undangan,

buku, artikel, internet dan karya ilmiah yang berkaitan dengan penelitian.

27

(24)

15

4. Teknik Pengumpulan Data

a. Studi pustaka yaitu pengumpulan data dari berbagai macam literatur yang

relevan dengan pokok masalah yang dijadikan sumber penulisan skripsi.

b. Studi Dokumentasi yaitu pengumpulan data dengan cara mengambil

informasi berupa data dan putusan di Pengadilan Agama Jakarta Barat

yang kesemuanya berhubungan erat dengan persoalan yang dibahas.

c. Wawancara yaitu pengumpulan data dengan cara tanya jawab dengan

pihak yang bersangkutan yaitu Hakim Humas Pengadilan Agama Jakarta

Barat dan staf-staf yang berwenang.

5. Teknik Pengolahan Data

Setelah mengumpulkan data berupa teori dan fakta di lapangan,

kemudian membaca, mengamati dan menganalisa dengan pengamatan

kualitatif secara mendalam, melacak dan menemukan berbagai faktor yang

terkait dengan masalah tersebut. Kemudian menghubungkan antara teori dan

praktek yang menimbulkan masalah. Setelah itu, ditelaah dan dianalisis

sehingga ditemukan kesimpulan yang objektif, logis, konsisten dan sistematis

sesuai yang dikehendaki dalam penulisan karya ilmiah ini.

6. Analisa Data

Berdasarkan sifat penelitian ini yang menggunakan metode penelitian

bersifat deskriptif analitis, analisa data yang dipergunakan adalah pendekatan

kualitatif terhadap data primer dan data sekunder dengan menggunakan

(25)

16

membandingkan teori yang ada dengan praktek di lapangan, serta

menghubungkannya dengan wawancara yang didapatkan dari tempat objek

penelitian, dideskripsikan sehingga akan mendapatkan suatu kesimpulan yang

objektif dan konkret sesuai dengan masalah yang ada.

7. Teknik penulisan

Standar penulisan yang digunakan pada penelitian ini mengacu pada

Buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta 2007.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan merupakan pola dasar pembahasan skripsi dalam

bentuk bab dan sub bab yang secara logis saling berhubungan dan merupakan

suatu dari masalah yang diteliti. Adapun sitem penulisan skripsi ini adalah

sebagai berikut:

Bab pertama berisi pendahuluan, memuat latar belakang masalah,

pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi

terdahulu, kerangka teori, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab kedua berisi landasan teori, memuat pengertian dan dasar hukum

Hadhanah, Hadhanah menurut fuqaha dan hukum positif, syarat dan hak

Hadhanah serta masa dan hikmah Hadhanah.

Bab ketiga berisi pasal 105 huruf a KHI, memuat latar belakang

pembentukan KHI, landasan dan kedudukan KHI, eksistensi KHI di Pengadilan

(26)

17

Bab keempat berisi deskripsi dan analisa hasil penelitian, memuat potret

Pengadilan Agama Jakarta Barat, implementasi pasal 105 huruf a KHI dalam

putusan No.666/Pdt.G/2009/PAJB dan analisa.

Bab kelima berisi penutup, memuat kesimpulan dan saran-saran.

(27)

18

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pengertian dan Dasar Hukum Hadhanah 1. Pengertian Hadhanah

Hadhanah (

ةناضح

) jamaknya ahdhan (

ناضحا

) atau hudhun (

نضح

),

terambil dari kata hidhn (

نضح

) yaitu anggota badan yang terletak di bawah

ketiak hingga al-kayh (bagian badan sekitar pinggul antara pusat hingga

pinggang).1 Hadhanah menurut bahasa berarti meletakkan sesuatu dekat tulang

rusuk atau dipangkuan.2 Burung dikatakan (

هضْيب رئاَّلا نضح

)

manakala

burung itu mengerami telornya karena dia mengumpulkan (mengepit) telornya itu

ke dalam dirinya di bawah (himpitan) sayapnya. Demikian pula sebutan

Hadhanah diberikan kepada seorang perempuan (ibu) manakala mendekap

(mengemban) anaknya di bawah ketiak, dada serta pinggulnya.3

Dalam Ensiklopedi Hukum Islam dijelaskan, Hadhanah yaitu mengasuh

anak kecil atau anak normal yang belum atau tidak dapat hidup mandiri,

yakni dengan memenuhi kebutuhan hidupnya, menjaga dari hal-hal yang

1

Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, h.99 2

Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, Ilmu Fiqh, jil.II, (Jakarta, Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, 1984/1985), h.206.

3

(28)

19

membahayakan, memberinya pendidikan fisik maupun psikis, mengembangkan

kemampuan intelektual agar sanggup memikul tanggung jawab hidup.4

Dalam Ensiklopedi Islam Indonesia, Hadhanah adalah tugas menjaga atau

mengasuh bayi/ anak kecil yang belum mampu menjaga dan mengatur diri

sendiri. Mendapat asuhan dan pendidikan adalah hak setiap anak dari kedua

orangtuanya. Kedua orangtua anak itulah yang lebih utama untuk melakukan

tugas tersebut, selama keduanya mempunyai kemampuan untuk itu.5

2. Dasar Hukum Hadhanah.

Para ulama menetapkan bahwa pemeliharaan anak itu hukumnya adalah

wajib selama berada dalam ikatan perkawinan. Adapun dasar hukumnya adalah

mengikuti umum perintah Allah SWT untuk membiayai anak dan istri. Firman

Allah SWT Surat al-Baqarah (2) ayat 233:









































4 “Hadhanah”, dalam Abdul Aziz Dahlan, dkk, ed.,

Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeva, 1997), h.37.

5 “Hadhanah” dalam Harun Nasution, dkk, ed.,

(29)

20















Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun

penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”.

Dengan tuntutan ini, anak yang dilahirkan mendapat jaminan

pertumbuhan fisik dan perkembangan jiwa dengan baik. Bahkan jaminan tersebut

harus tetap diperolehnya walau ayahnya telah meninggal dunia, karena para

warispun berkewajiban demikian, yakni berkewajiban memenuhi kebutuhan ibu

sang anak agar ia dapat melaksanakan penyusuan dan pemeliharaan anak itu

dengan baik. Adapun yang dimaksud dengan para waris adalah yang mewarisi

sang ayah, yakni anak yang disusukan. Dalam arti warisan yang menjadi hak

anak dari ayahnya yang meninggal digunakan antara lain untuk biaya penyusuan

bahkan makan dan minum ibu yang menyusuinya. Ada juga yang berpendapat

(30)

21

Betapapun, ayat ini memberi jaminan hukum untuk kelangsungan hidup dan

pemeliharaan anak.6

Dalam Surat At-Tahrim (66) ayat 6:

























Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”.

Pada ayat di atas, orang tua diperintahkan oleh Allah SWT memelihara

keluarganya dari api neraka, dengan berusaha agar seluruh anggota keluarganya

itu melaksanakan perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangan Allah,

termasuk anggota keluarga dalam ayat ini adalah anak.7 Ayat enam di atas

menggambarkan bahwa dakwah dan pendidikan harus bermula dari rumah. Ayat

di atas walau secara redaksional tertuju kepada kaum pria (ayah) tetapi itu bukan

berarti hanya tertuju kepada mereka. Ayat ini tertuju kepada perempuan dan

lelaki (ibu dan ayah) sebagaimana ayat-ayat yang serupa (misalnya ayat-ayat

yang memerintahkan berpuasa) yang juga tertuju pada lelaki dan perempuan. Ini

berarti kedua orang tua bertanggung jawab terhadap anak-anak dan juga

6

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, cet.XI, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), h.505.

7

(31)

22

pasangan masing-masing sebagaimana masing-masing bertanggung jawab atas

kelakuannya. Ayah dan ibu sendiri tidak cukup untuk menciptakan suatu rumah

tangga yang diliputi oleh nilai-nilai agama serta dinaungi oleh hubungan yang

harmonis.8

Jumhur ulama berpendapat bahwa hak mengasuh anak kecil diserahkan

kepada ibu, jika suami menceraikannya berdasarkan hadits dari Abu Ayub

al-Anshari, Nabi SAW bersabda:

9

Artinya: ”Dari Abu Abdurrahman al-Hubuliy, dari Abu Ayyub berkata: aku

mendengar Rasulullah SAW, bersabda: „Barangsiapa memisahkan antara seorang ibu dengan anaknya maka Allah SWT akan memisahkan antara dirinya dan para kekasihnya pada hari kiamat”(Hadits Hasan Riwayat at-Tirmidzi/ 1283).10

Karena itu, hendaklah hakim, wali, bekas suami atau orang lain

berhati-hati dalam memberi keputusan atau berusaha memisahkan seorang ibu dengan

8

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: pesan, kesan dan keserasian al-Qur’an, Cet.VIII, h.327

9

Abu Isya Muhammad, al-Jami’u al-Shahih wa huwa Sunan al-Tirmidzi, juz.III, (Beirut: Dar al-Fikr, 1974), h.580.

10

(32)

23

anaknya mengingatkan ancaman Rasulullah SAW dalam hadits di atas.11 Di

dalam sebuah hadits lain yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud ada

peristiwa, seorang wanita menghadap Rasulullah SAW:

Artinya: ” Dari Abdullah ibnu Amr bahwa ada seorang wanita berkata:

„Wahai Rasulullah, sesungguhnya anakku ini, perutkulah yang menjadi

tempatnya, payudaraku yang menjadi tempat minumnya dan pangkuanku menjadi pelindungnya. Sesungguhnya ayahnya telah menceraikan aku dan dia bermaksud mengambilnya dariku. Maka Rasulullah SAW, bersabda kepadanya „kamu lebih berhak terhadap anak itu selama kamu belum menikah’(dengan orang lain)”. (Riwayat Ahmad dan Abu Daud dan dishahihkan oleh Hakim)13

Hadits tersebut menegaskan bahwa ibulah yang lebih berhak untuk

memelihara anaknya, selama ibunya itu tidak menikah dengan laki-laki lain.

11

M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), h.179.

12

Abu Daud Sulaiman Sajastani, Sunan Abu Daud ( Kairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1952), h. 529.

13 Al-Hafizh Ibnu Hajar al-„Asqalani,

(33)

24

Apabila ibunya menikah, maka praktis hak Hadhanah tersebut beralih kepada

ayahnya. Alasan yang dapat dikemukakan adalah bahwa apabila ibu anak

tersebut menikah, maka besar kemungkinan perhatiannya akan beralih kepada

suaminya yang baru dan mengalahkan atau bahkan mengorbankan anak

kandungnya sendiri.14

Ketika seorang laki-laki menceraikan istrinya dan baginya mempunyai

seorang anak dari istri itu, maka sang istrilah yang lebih berhak merawat si anak

tersebut sampai melewati umur 7 tahun. Kemudian (anak tersebut) diperintahkan

untuk memilih di antara kedua orang tuanya. Maka mana yang dia pilih di antara

keduanya, maka hendaknya diserahkan si anak kepadanya.15

Artinya: “Dari Ziyad ibnu Sa’d . Abu Muhammad mengatakan, “aku menduganya Hilal ibnu Abi Maimun dari Abu Hurairah ra. Sesungguhnya Nabi SAW, menyuruh memilih pada anak kecil antara (ikut) bapaknya dan (ikut) ibunya. (Hadits Hasan Shahih, diriwayatkan oleh al-Tirmidzi/ hadist 1357)16

14

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, cet.III, (Jakarta: Raja Grafido Persada, 1998), h.251.

15

Musthafa Daib al-Bagha, Matan Ghoyah Wattaqrib. Penerjemah Fuad Kauma, (Semarang: Toha Putra, 1993), h.102.

16 Abu Isya Muhammad,

(34)

25

Makna hadist Nabi SAW memutuskan demikian karena kedua orang tua

si anak bercerai, maka beliau menyerahkan pilihan kepada si anak untuk ikut

kepada salah seorang di antara keduanya”.17

Dengan demikian, bagi anak yang

sudah bisa memilih disuruh memilih. Namun pendapat madzhab Hanafiyah

mengatakan bahwa ibu tetap lebih berhak untuk memeliharanya, karena seorang

perempuan lebih besar kasih sayangnya kepada anak.18

B. Hadhanah Menurut Fuqaha dan Hukum Positif 1. Hadhanah Menurut Fuqaha

Para Ulama Fiqh mendefinisikan Hadhanah sebagai tindakan

pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan,

atau yang sudah besar tetapi belum mumayyiz, menyediakan sesuatu yang

menjadi kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya,

mendidik jasmani, rohani dan akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi

hidup dan memikul tanggung jawab.19 Sedangkan para imam madzhab

berikhtilaf20 dalam mengartikan Hadhanah:

17

Muhammad Abid as-Sindi, Musnad Syafi’i. Penerjemah Bahrun Abu Bakar, cet.III, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2006), h.1107.

18

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, h.252 19

M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, h. 215 20

Ikhtilaf ialah perbedaan pendapat di antara ahli hukum Islam (fuqaha) dalam menetapkan sebagian hukum Islam yang bersifat furu’iyyah, bukan pada masalah hukum Islam yang bersifat

(35)

26

Madzhab Syafi’i, mengatakan Hadhanah ialah untuk menjaga mereka yang tidak

mampu untuk mengurus diri mereka sendiri.

Madzhab Hambali, mengatakan Hadhanah sebagai menjaga anak-anak kecil atau

orang gila atau orang cacat atau orang tidak sadar.

Madzhab Hanafi, mengatakan Hadhanah untuk mendidik anak-anak yang

sepatutnya mendapat hak penjagaan.

Madzhab Maliki, berpendapat Hadhanah sebagai penjagaan anak-anak dan

menunaikan hak-hak kemashlahatan mereka dan melayani urusan mereka.21

2. Hadhanah Menurut Hukum Positif

Undang-undang perkawinan sampai saat ini belum mengatur secara

khusus tentang penguasaan anak. Bahkan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun

1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan dan Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam,

masalah Hadhanah menjadi hukum positif di Indonesia dan Pengadilan Agama

diberi wewenang untuk memeriksa dan menyelesaikan.22

Kendati demikian, secara global sebenarnya Undang-Undang perkawinan

telah memberi aturan pemeliharaan anak tersebut yang dirangkai akibat putusnya

perkawinan, di dalam pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

21

Mohd Norman Shah, "Pelaksanaan Sulh Dalam Penyelesaian Sengketa Hadhanah (Studi Kasus di Mahkamah Syariah Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur, Malaysia, (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h.30.

22

(36)

27

Perkawinan dinyatakan: apabila perkawinan putus karena perceraian, maka

akibat itu adalah:

a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anaknya,

semata-mata berdasarkan kepentingan anak. Bilamana ada perselisihan

mengenai penguasaan anak, Pengadilan memberikan keputusannya.

b. Bapak bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan

yang diperlukan anak. Akan tetapi bila bapak dalam kenyataan tidak dapat

memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut

memikul biaya tersebut.

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya

penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bekas istri.23

Menyangkut hak dan kewajiban orang tua terhadap anak dimuat di dalam

Bab X mulai pasal 45-49,24

Pasal 45

(1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya

(2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.

Pasal 46

(1) Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik.

23

Suma, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam, h.338 24

(37)

28

(2) Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas bila mereka itu memerlukan bantuannya.

Pasal 47

(1) Anak yang belum mencapai umur 18 ( delapan belas ) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.

(2) Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan.

Pasal 48

Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggandakan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya.

Pasal 49

(1) Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal :

a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya; b. Ia berkelakuan buruk sekali.

(2) Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih berkewajiban untuk memberi pemeliharaan kepada anak tersebut.

Pasal-pasal di atas, jelas menyatakan kepentingan anak tetap di atas

segala-galanya. Semangat UUP sebenarnya sangat berpihak kepada kepentingan

dan masa depan anak. Hanya saja UUP hanya menyentuh aspek tanggung jawab

pemeliharaan yang masih bersifat material saja dan kurang memberi penekanan

pada aspek pengasuhan non materialnya.25

25

(38)

29

C. Syarat dan Hak Hadhanah 1. Syarat Hadhanah

Pemeliharaan atau pengasuhan anak itu berlaku antara dua unsur yang

menjadi rukun dalam hukumnya, yaitu orang tua yang mengasuh yang disebut

hadhin dan anak yang diasuh atau mahdhun. Keduanya harus memenuhi syarat

yang ditentukan untuk wajib dan sahnya tugas pengasuhan itu. Dalam masa

ikatan perkawinan, ibu dan ayah secara bersama berkewajiban untuk memelihara

anak hasil dari perkawinan itu. Setelah terjadinya perceraian dan keduanya harus

berpisah, maka ibu dan/atau ayah berkewajiban memelihara anaknya secara

sendiri-sendiri.26

Ayah dan ibu yang akan bertindak sebagai pengasuh, disyaratkan hal-hal

sebagai berikut:

1. Sudah dewasa. Orang yang belum dewasa tidak akan mampu melakukan

tugas yang berat itu, oleh karenanya belum dikenai kewajiban dan tindakan

yang dilakukannya itu belum dinyatakan memenuhi persyaratan.

2. Berpikiran sehat. Orang yang kurang akalnya seperti idiot tidak mampu

berbuat untuk dirinya sendiri dan dengan keadaannya itu tentu tidak akan

mampu berbuat untuk orang lain.

26

(39)

30

3. Beragama Islam. Tugas pengasuhan itu termasuk tugas pendidikan yang akan

mengarahkan agama anak yang diasuh. Kalau diasuh oleh orang yang bukan

Islam dikhawatirkan anak yang akan diasuh akan jauh dari agamanya.

4. Adil. Dalam arti menjalankan agama secara baik. Kebalikan dari adil dalam

hal ini disebut fasiq yaitu tidak konsisten dalam beragama. Orang yang

komitmen agamanya rendah, tidak dapat diharapkan untuk mengasuh dan

memelihara anak yang masih kecil.27

Adapun syarat untuk anak yang akan diasuh (mahdhun) itu adalah:

1. Ia masih berada dalam usia kanak-kanak dan belum dapat berdiri sendiri

dalam mengurus hidupnya sendiri.

2. Ia berada dalam keadaan tidak sempurna akalnya dan oleh karena itu tidak

dapat berbuat sendiri, meskipun telah dewasa, seperti orang idiot. Orang yang

telah dewasa dan sehat sempurna akalnya tidak boleh berada di bawah

pengasuhan siapapun.28

Dalam kitab Kifayatul Akhyar29, bahwa mengasuh anak setelah

perceraian itu adalah penguasaan atas anak yang diasuh dan ibu lebih utama

daripada ayah karena kasih sayang ibu lebih banyak. Kalau ibu berkeinginan

mengasuh anak setelah perceraian, maka ia harus memenuhi beberapa syarat:

27

Ibid., h.329 28

Ibid., h.330 29

(40)

31

1. Berakal.

Ibu yang gila tidak berhak mengasuh anak, baik gilanya terus menerus

maupun terputus-putus. Kalau gilanya kadang-kadang ada masanya tidak

lama. Misalnya, dalam beberapa tahun gilanya satu hari, maka hak asuhnya

tidak batal seperti yang sesekali terjadi lalu hilang.

2. Merdeka

Budak perempuan kemanfaatannya adalah milik tuan pemilik budak itu. Jadi,

ia tidak boleh disibukkan dengan mengasuh anak. Disamping itu, mengasuh

anak termasuk jenis penguasaan sedangkan budak tidak memiliki hak

penguasaan.

3. Beragama Islam

Ibu yang kafir tidak berhak mendidik anaknya yang Islam, sebab si ibu akan

menipu si anak dan si anak akan tumbuh menjadi seperti kebiasaan ibunya.

Disamping itu, mengasuh anak adalah penguasaan terhadap anak tersebut,

padahal orang kafir tidak berhak menguasai orang Islam.

4. Menjauhkan diri dari hal yang tidak baik.

5. Dapat dipercaya.

Ibu yang fasiq tidak berhak mengasuh anak setelah perceraian karena

mengasuh anak berarti menguasai anak tersebut, sedangkan ibu yang fasiq

tidak terjamin amanahnya dalam memelihara anak, serta anak dikhawatirkan

(41)

32

6. Ibu tidak menikah lagi.

Kalau istri yang dicerai itu menikah lagi pasti akan sibuk melayani suami

yang baru sehingga akan menyengsarakan anak. Kerelaan suami yang baru

tidak berpengaruh dalam hak asuh ini sebagaimana kerelaan tuan juga tidak

berpengaruh pada hak asuh budak perempuan (yakni walaupun suami yang

baru itu rela, ibu tetap tidak berhak mengasuh anak).

7. Menetap (tidak musafir).

Ibu lebih berhak mengasuh anak setelah perceraian apabila ayah dan ibu

setelah perceraian menetap di suatu negara. Apabila salah satunya akan

bepergian ke negara lain maka dilihat dahulu persoalannya. Kalau

berpergiannya untuk keperluan tertentu seperti haji, maka tidak boleh

membawa anak. Karena biasanya perjalanan seperti ini berbahaya dan banyak

kesulitannya. Maka diasuh oleh ayahnya.

Bila kedua orang tua si anak masih lengkap dan memenuhi syarat, maka

yang paling berhak melakukan Hadhanah atas anak adalah ibu. Alasannya adalah

ibu lebih memiliki rasa kasih sayang dibandingkan dengan ayah, sedangkan

dalam usia yang sangat muda itu lebih dibutuhkan kasih sayang. Bila anak berada

dalam asuhan seorang ibu, maka segala biaya yang diperlukan untuk itu tetap

berada di bawah tanggung jawab si ayah. Hal ini sudah merupakan pendapat

(42)

33

2. Hak Hadhanah

Para ulama sepakat bahwasanya hukum Hadhanah, mendidik dan

merawat anak wajib. Tetapi mereka berbeda dalam hal, apakah Hadhanah ini

menjadi hak orang tua (terutama ibu) atau hak anak. Ulama madzhab Hanafi dan

maliki misalnya berpendapat bahwa hak Hadhanah itu menjadi hak ibu sehingga

ia dapat saja menggugurkan haknya. Tetapi menurut Jumhur Ulama, Hadhanah

itu menjadi hak bersama antara orang tua dan anak. Bahkan menurut Wahbah

al-Zuhaily, hak Hadhanah adalah hak bersyarikat antara ibu, ayah dan anak. Jika

terjadi pertengkaran maka yang didahulukan adalah hak dan kepentingan si

anak.30

Bila bertemu kerabat dari pihak ibu dan dari pihak ayah dan mereka

semua memenuhi syarat yang ditentukan untuk melaksanakan Hadhanah maka

urutan yang berhak menurut yang dianut oleh kebanyakan ulama31 adalah:

1. Ibu, ibunya ibu dan seterusnya ke atas;

2. Ayah, ibunya ayah dan seterusnya ke atas;

3. Ibunya kakek melalui ibu, kemudian ibunya dan seterusnya ke atas;

4. Ibunya kakek melalui ayah dan seterusnya ke atas;

5. Saudara-saudara perempuan dari ibu;

6. Saudara-saudara perempuan dari ayah.

30

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h.293 31

(43)

34

Lain dari urutan yang disebutkan di atas, ulama tidak sepakat dalam

keutamaan haknya. Bila ibu yang berhak dan memenuhi syarat melepaskan

haknya, maka ulama berbeda pendapat kepada siapa hak Hadhanah itu beralih.

Sebagian ulama berpendapat hak Hadhanah berpindah kepada ayah. Pendapat

kedua yang dianggap lebih kuat mengatakan bahwa bila ibu melepaskan haknya,

maka hak tersebut pindah kepada ibunya ibu, karena kedudukan ayah dalam hal

ini lebih jauh urutannya.32

D. Masa dan Hikmah Hadhanah 1. Masa Hadhanah

Anak-anak yang masih di bawah umur masih sangat memerlukan

bimbingan dan asuhan serta didikan dari orang tuanya hingga ia menjadi dewasa

dan dapat berdiri sendiri dalam memenuhi keperluannya. Pemeliharaan anak

tersebut pada saatnya akan berakhir dan yang menjadi persoalan adalah sampai

kapankah berakhirnya masa pemeliharaan anak.

Para fuqaha pada umumnya membagi masa usia anak kepada dua yaitu:

1. Masa anak kecil ialah masa sejak anak dilahirkan sampai anak berumur

antara 7 dan 9 tahun. Pada masa ini anak belum dapat mengurus dirinya

sendiri. Ia memerlukan pelayanan, penjagaan dan didikan dari pendidiknya.

32

(44)

35

2. Masa kanak-kanak. Masa ini mulai sejak anak berrmur 7 atau 9 atau 11 tahun.

Pada masa ini anak-anak telah dapat mengurus dirinya sendiri.33

Tidak terdapat ayat-ayat al-Qur‟an dan Hadits yang menerangkan dengan

tegas tentang masa Hadhanah, hanya terdapat isyarat-asyarat yang menerangkan

masa tersebut. Karena itu para ulama melaksanakan ijtihad sendiri-sendiri dalam

menetapkannya dengan berpedoman kepada isyarat-isyarat itu.34 Adapun

pendapat fuqaha sebagai berikut:

a. Menurut madzhab Hanafi, terutama ulama-ulama mereka yang terdahulu

bahwa mengasuh anak kecil laki-laki itu berakhir apabila ia telah sanggup

mengurus keperluannya yang utama seperti makan, berpakaian dan

kebersihannya. Sedangkan untuk anak perempuan berakhir sampai usia

baligh (batas timbul syahwat). Mereka tidak memberi batas yang tegas.

Adapun ulama-ulama Hanafi yang datang kemudian memberi batasnya

berdasarkan ijtihad karena pertimbangan kondisi anak, tempat dan masanya.

Maka mereka menentukan batas usia untuk anak laki-laki berusia 7 tahun dan

untuk anak perempuan berusia 9 tahun.

b. Madzhab Maliki menyatakan bahwa batas usia seorang anak untuk diasuh

ialah sejak anak itu lahir sampai baligh. Untuk anak perempuan ialah sejak

33

Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam tentang Perkawinan, h.136. 34

(45)

36

lahir sampai ia kawin, bahkan sampai ia dicampuri suaminya, demikian

menurut madzhab ini.35

c. Madzhab Syafi‟i , tidak ada batasan tertentu bagi asuhan. Anak tetap tinggal

bersama ibunya sampai dia bisa menentukan pilihan apakah tinggal bersama

ibu atau ayahnya. Kalau si anak sudah sampai pada tingkat ini, dia disuruh

memilih apakah tinggal bersama ibu ataukah dengan ayahnya; tetapi bila si

anak memilih tinggal bersama ibu dan ayahnya, maka dilakukan undian, bila

si anak diam (tidak memberikan pilihan), dia ikut bersama ibunya.36

d. Madzhab Hambali, masa asuh anak laki-laki dan perempuan adalah 7 tahun

dan sesudah itu si anak disuruh memilih apakah tinggal bersama ibu atau

ayahnya, lalu si anak tinggal bersama orang yang dipilihnya itu.37

Bila anak laki-laki telah melewati masa kanak-kanak yaitu mencapai usia

tujuh tahun, yang dalam fiqh dinyatakan sebagai mumayyiz dan dia tidak idiot,

antara ayah dan ibu berselisih dalam memperebutkan hak Hadhanah, maka si

anak diberi hak pilih antara tinggal bersama ayah atau ibunya untuk pengasuhan

35

Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Studi Perbandingan dalam Kalangan Ahlus-Sunnah dan Negara-negara Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h.405.

36

Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab. Penerjemah Masykur A.B., dkk, (Jakarta: Lentera Basritama, 1996), h.417.

37

(46)

37

selanjutnya. Inilah pendapat sebagian ulama di antaranya imam ahmad dan Imam

Syafi‟i.38

Hak pilih diberikan kepada anak bila terpenuhi dua syarat39, yaitu:

Pertama, kedua orang tua telah memenuhi syarat untuk mengasuh sebagaimana

disebutkan sebelumnya. Bila salah satu memenuhi syarat dan yang lain tidak,

maka si anak diserahkan kepada yang memenuhi syarat, baik ayah atau ibu.

Kedua, si anak tidak dalam keadaan idiot. Bila si anak dalam keadaan idiot,

meskipun telah melewati masa kanak-kanak, maka ibu yang berhak mengasuh;

dan tidak ada hak pilih untuk si anak.

2. Hikmah Hadhanah.

Hikmah Hadhanah (mengasuh anak) dapat dilihat dari dua sisi:

Pertama, sudah menjadi kewajiban seorang lelaki untuk bisa merawat diri dan

keluarganya. Sedangkan, pengasuhan anak menjadi kewajiban wanita.

Pendidikan anak adalah hal utama yang perlu mendapatkan perhatian dimasa

kecilnya, khususnya dari pihak ibu. Karena umumnya, ibulah yang sering

berinteraksi dengan anak.

Kedua, ibu umumnya lebih peduli dan mengasihi anaknya dibanding seorang

ayah. Dengan demikian, sang ibu tidak memiliki banyak waktu untuk

38

Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h.330 39

(47)

38

memperhatikan keserasian pakaiannya, makannya, minumnya dan

kesehatannya.40

Hikmah penetapan masa pengasuhan bagi anak laki-laki dalam rentang

waktu 7 tahun pertama dan juga anak wanita dalam 9 tahun pertama, lebih

berdasar bahwa anak laki-laki pada usia 7 tahun umumnya telah siap menerima

pelajaran, ilmu pengetahuan, sastra, keterampilan dan segala hal yang

mengantarkannya kepada kehidupan dunia dan akhiratnya. Berbeda dengan anak

wanita yang terlebih dahulu harus diajarkan bagaimana ia bisa menjaga diri dan

kehidupannya dengan baik. Pada umumnya ibu mampu dan sabar dalam

mendidik anak pada kondisi seperti ini. Setelah masa pengasuhan berlalu, maka

pada saat itulah peran ayah mulai tampak.

Dalam masa pengasuhan, sang ibu mengajarkan anaknya semua hal yang

berkaitan dengan pekerjaan rumah, khususnya bagi putrinya, karena kelak ia

akan menjadi seorang istri. Dengan demikian pada usianya yang kesembilan, ia

telah mampu menjaga dirinya dan mempelajari banyak hal dari ibunya,

khususnya yang berkaitan dengan pengaturan rumah. Masa pengasuhan sembilan

tahun tersebut cukup untuknya untuk memahami apa yang seharusnya

dilakukannya. Bahkan, ia pun bisa mengetahui bagaimana kelak ia mengasuh

anaknya setelah pernikahannya setelah ia melihat semua pekerjaan ibunya

padanya dan juga pada saudaranya.

40

(48)

39

Setelah melewati masa pengasuhan, maka mulailah seorang ayah

memegang peranan penting. Ia bertanggung jawab untuk mengajarkan moral dan

agama hingga dengannya anak bisa mendapatkan kemenangan di dunia dan

akhiratnya. Seorang ayah adalah orang yang paling mampu menjaga kesucian

anaknya hingga sang anak kelak akan membangun rumah tangganya dan menjadi

anggota masyarakat yang bisa dibanggakan. Dengan pola inilah, maka

tercapailah kebahagiaan sejati bagi anak.41

41

(49)

40

BAB III

PASAL 105 HURUF A KHI

A. Latar Belakang Pembentukan KHI

Pemikiran pemerintah dalam mengeluarkan Kompilasi Hukum Islam

adalah karena hukum Islam yang dipergunakan oleh peradilan agama untuk

menyelesaikan sengketa yang diajukan ke Pengadilan Agama di masa yang lalu,

terdapat dalam berbagai kitab fiqh yang ditulis oleh para fuqaha beberapa abad

yang lalu. Sebagai kitab fiqh, di dalamnya terdapat perbedaan-perbedaan

pendapat di antara para fuqaha yang satu dengan yang lainnya.

Perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam kitab-kitab fiqh itu wajar mempengaruhi Hakim

Pengadilan Agama dalam memutuskan sengketa sehingga sering terjadi putusan

hakim pada suatu Pengadilan Agama berbeda dengan putusan hakim pada

Pengadilan Agama yang lain, padahal sengketanya sama.

Referensi

Dokumen terkait

1 tahun 1974 pada pasal 45 ayat 1 dan 2 yang menjelaskan tentang pengasuhan anak yang berbunyi; 1 kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anaknya.2 kewajiban orang tua

orang tua atau keluarga membuat anak merasa tidak kehilangan kasih sayang dan. perhatian meskipun mereka berada

2. Dalam hal penyimpangan terhadap ayat 1 pasal ini dapat memberikan dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat Lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria

berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih ”,

Sejatinya, kedua kalimat tersebut memiliki koherensi yang kuat dimana hak perdata dari seorang ayah hanya dapat diterima oleh anak sah atau anak yang lahir sebagai akibat

01/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam Pasal 105, apabila kedua orang tua cerai dan terjadi perebutan hak asuh anak (h}ad}a>nah) maka ibulah yang paling berhak

Penulisan hukum ini membahas tentang indikator atau alasan pencabutan kuasa asuh orang tua terhadap anak ditinjau dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Faktor penghambat implementasi kebijakan terhadap perlindungan anak di lembaga pendidikan yaitu karena faktor guru atau tenaga pendidik dan tenaga kependidikan, orang tua dan juga