• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jaringan Sosial Dan Moral Ekonomi Pedagang Pekanan (Studi Kasus Terhadap Pedagang Etnis Minang Yang Berjualan Di Perkebunan Wilayah Kota Pinang, Labuhanbatu Selatan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Jaringan Sosial Dan Moral Ekonomi Pedagang Pekanan (Studi Kasus Terhadap Pedagang Etnis Minang Yang Berjualan Di Perkebunan Wilayah Kota Pinang, Labuhanbatu Selatan)"

Copied!
169
0
0

Teks penuh

(1)

JARINGAN SOSIAL DAN MORAL EKONOMI PEDAGANG PEKANAN (Studi Kasus Terhadap Pedagang Etnis Minang yang berjualan di Perkebunan

wilayah Kota Pinang, Labuhanbatu Selatan)

SKRIPSI

Diajukan guna memenuhi salah satu syarat Untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial

DISUSUN OLEH

080901044 ANGGRE WIRAWAN

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)
(3)

ABSTRAK

Keterbatasan akses masyarakat perkebunan ke kota dikarenakan jarak yang jauh mengakibatkan terhambatnya usaha mereka untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal inilah yang menjadi dasar bagi pedagang-pedagang terutama yang beretnis Minang melihatnya sebagai peluang usaha. Jarak serta lokasi yang tidak mudah karena infrastruktur jalan yang buruk, berlubang, masih berbatu, berdebu bahkan jika hujan akan berlumpur tidak menghambat mereka berjualan ke pekan-pekan di perkebunan. Dalam aktivitas perdagangannya, hambatan-hambatan yang ada dapat dihadapi para pedagang pekan etnis Minang dengan memperkuat jaringan serta dengan adanya bentuk-bentuk moral ekonomi yang terbangun pada para pedagang. Keadaan yang demikian juga terlihat pada pedagang pekan etnis Minang yang berjualan di wilayah perkebunan sekitar Kota Pinang, Labuhanbatu Selatan yang membangun jaringan sosial serta mengedepankan nilai-nilai moral ekonomi dalam aktivitas perdagangannya.

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis serta melihat pola jaringan sosial yang terbangun serta aspek-aspek moral ekonomi yang terbangun pada pedagang-pedagang etnis Minang yang berjualan dengan sistem pekanan serta usaha mereka untuk mempertahankan kelangsungan usahanya tersebut.

Metode penelitian yang digunakan adalah studi kasus dengan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara mendalam, pengamatan partisipan serta studi kepustakaan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa usaha berjualan ke pekan-pekan yang dijalani sebagian masyarakat Minang di Kota Pinang telah berlangsung sejak 17 tahun yang lalu, dipelopori oleh Bapak Sudirman Pili yang merupakan orang Minang pertama yang merintis usaha tersebut. Kedatangan para pedagang di pekan perkebunan telah mengakibatkan munculnya dampak ekonomis dan dampak sosial di sekitar daerah pekan. Dampak ekonomisnya adalah bergeraknya roda perekonomian di sekitar daerah pekan sedangkan dampak sosial dari keberadaan pekan adalah dijadikannya lokasi pekan sebagai sarana transformasi dan nilai-nilai ke wilayah perkebunan yang jauh dari pusat kota.

(4)

PRAKATA

Alhamdulillah. Rasa syukur yang tiada henti keluar dari nafas dan lafaz kepada Allah sang penguasa jiwa-jiwa yang tenang, berkat hidayah dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Jaringan Sosial dan Moral Ekonomi Pedagang Pekan (Studi Kasus Terhadap Pedagang Etnis Minang yang berjualan di Perkebunan wilayah Kota Pinang, Labuhanbatu Selatan)”. Skripsi ini merupakan karya ilmiah yang disusun untuk memenuhi salah satu syarat agar dapat menyelesaikan studi di Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

(5)

Pada kesempatan ini dengan segala kerendahan dan ketulusan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H,M.Sc.(CTM)Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dan para pembantu dekan serta seluruh staf pegawai dan administrasi.

3. Ibu Drs. Lina Sudarwati, M.Si selaku Ketua Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

4. Bapak Drs. T. Ilham Saladin selaku Sekretaris Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

5. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku ketua penguji dan Bapak Drs. Sismudjito selaku dosen penguji II ujian komprehensif penulis yang banyak memberikan saran dan masukan yang membangun kepada penulis.

6. Ibu Dra. Hadriana Marhaeni Munthe, M.Si selaku Dosen wali penulis.

7. Bapak/Ibu Dosen dan staf Pengajar Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, semoga ilmu yang disampaikan kepada penulis dapat menjadikan bekal nantinya dan dapat penulis terapkan serta amalkan ditengah-tengah masyarakat.

8. Kekasihku Sauma Rahmah, yang setia memberikan semangat serta selalu mengingatkan penulis dikala sedang malas dan lalai ketika menyelesaikan skripsi ini.

(6)

Masagus Tarigan dan Riawan Aditya yang ada ketika penulis membutuhkan bantuan dan pertolongan.

10.Rekan-rekan seperjuangan Angkatan 2008. Rudi Cina, Syahrul, Reza, Azhar, Okta Dedi, Jhon, Arman, Dicky, Nanda (Hidup Kates dan Salam Komando), Esty, Elfi, Rhina, Ayu, Imay, Mitha, Silky, Dhani (Genk Terong), Alfath Andri, Satya Mitra, kak Riama, kak Judika, kak Grace, Sylvia, Ririn, Sugi, Lucie, Burhan, Rijal, Gio, Bresman, Reni, Frina, Roy, Dessie, Ricat, Wistin, Evlin, Dian, Salmen, Belman, Heberlin, Amos Pasaribu, Irma, Frisilia, Roby, Raja, Sondang, Fitri, Putri, Nari, Hendra, Vera, Lenni, Roinal, Gusnimar, Yuacep, Khodijah, Yudis, Ruth, Dicky, Eninta, Zulfikar, Vanny, Ratih, Poibe, Okta Virna, Santi. Serta seluruh rekan-rekan yang tidak tersebut namanya di sini.

11.Rekan-rekan mahasiswa departemen Sosiologi serta seluruh rekan mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Mudah-mudahan semua jasa dan dorongan semangat yang diberikan kepada penulis, menjadi pahala yang selalu dilipat gandakan oleh Allah SWT.

Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini dikemudian hari. Semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat menambah wawasan bagi kita semua. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih

(7)

DAFTAR ISI

Abstrak……….. i

Kata Pengantar……….. ii

Daftar Isi………... v

BAB I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah………. 1

1.2. Perumusan Masalah………... 10

1.3. Tujuan Penelitian……….. 10

1.4.Manfaat Penelitian………. 11

1.5.Defenisi Konsep………. 11

BAB II. KAJIAN PUSTAKA 2.1. Jaringan Sosial……… 16

2.2. Trust (Kepercayaan)……… 19

2.3. Kelompok atau Group……… 21

2.4. Aspek Moral Ekonomi Pedagang………... 23

2.5. Orientasi Subyektif dalam Hubungan Sosial: Variabel-variabel Berpola………. 28

BAB.III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian ……… 30

3.2. Lokasi Penelitian……….. 31

3.3. Unit Analisis dan Informan……….. 31

3.4.Teknik Pengumpulan Data……… 32

3.5. Interpretasi Data……….. 34

(8)

3.7. Keterbatasan Penelitian……….. 35

BAB IV. DESKRIPSI DAN PROFIL INFORMAN 4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian……….. 37

4.2. Letak dan Batas Wilayah……….. 39

4.3. Keadaan Penduduk……… 41

4.3.1 Komposisi Penduduk Berdasarkan Kecamatan……… 41

4.3.2 Komposisi Penduduk Berdasarkan Perbandingan Jenis Kelamin………. 42

4.3.3 Laju Pertumbuhan Penduduk……… 43

4.3.4 Komposisi Penduduk Menurut Suku Bangsa per Kecamatan………. 44

4.3.5 Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama Yang Dianut per Kecamatan……… 45

4.3.6 Penggunaan Lahan Menurut Jenis……….. 45

4.3.7 Jumlah Tempat Berjualan Yang Terdapat Di Pasar atau Pekan Tiap Kecamatan……… 47

4.3.8 Perkembangan Jumlah Pedagang di Kabupaten Labuhanbatu Selatan……… 48

4.3.9 Jumlah Pedagang Di Pasar/Pekan Menurut Kecamatan... 49

4.4. Daerah Pekanan yang Didatangi Pedagang Minang Pancasila…... 49

4.4.1 Sidodadi……… 49

4.4.2 Simpang Kanan………. 50

4.4.3 Aek Roso……… 51

(9)

4.4.5 Tanjung Medan……… 52

4.4.6 Ujung Gading……….. 52

4.4.7 Langkiman……… 53

4.4.8 IP……….. 53

4.4.9 Trans………. 54

4.5 Profil Informan……… 54

BAB V TEMUAN DAN INTERPRETASI DATA 5.1. Keberadaan Pedagang Etnis Minang Di Kota Pinang……… 88

5.2. Awal Pedagang Minang Berjualan Ke Pekan……… 90

5.3. Unsur Perekat Keterlekatan Hubungan Sesama Pedagang Pekan.. 92

5.3.1 Aspek Ekonomi……… 93

5.3.2 Aspek Nilai Sosial dan Kemasyarakatan………. 94

5.3.3 Adanya Figur Pemersatu yang Kharismatik……… 98

5.4 Jaringan Sosial Pedagang Pekan Etnis Minang………. 100

5.4.1 Jaringan Antara Sesama Pedagang Pekan Etnis Minang 100

5.4.2 Jaringan Antara Pedagang Pekan dengan Pedagang Grosir………. 105

5.4.2.1 Sistem Pembayaran Barang Pedagang Etnis Minang Kepada Pedagang Grosir…………... 106

5.4.3 Jaringan Antara Pedagang Pekan dan Pelanggan…….. 109

(10)

5.5 Kelompok Salang atau Pinjam-meminjam Antara Pedagang

Pekan Etnis Minang……….. 114 5.6 Membangun dan Manfaat Adanya Rasa Saling Percaya (Trust)… 118 5.6.1 Trust antara sesama pedagang pekan etnis Minang…… 118 5.6.2 Trust antara pedagang pekan etnis Minang dan

pedagang grosir………... 120 5.7 Moral Ekonomi Pedagang Pekan Etnis Minang………. 122 5.7.1 Prinsip Pedagang Pekan: “Samo-samo Tagak”……….. 124 5.7.2 Penetapan Harga Jual Kepada Pelanggan……… 126 5.7.3 Resiprositas dan Keikhlasan Pedagang Pekan…………. 129 BAB VI PENUTUP

6.1 Kesimpulan……….. 134 6.2 Saran……… 135 DAFTAR TABEL

(11)

ABSTRAK

Keterbatasan akses masyarakat perkebunan ke kota dikarenakan jarak yang jauh mengakibatkan terhambatnya usaha mereka untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal inilah yang menjadi dasar bagi pedagang-pedagang terutama yang beretnis Minang melihatnya sebagai peluang usaha. Jarak serta lokasi yang tidak mudah karena infrastruktur jalan yang buruk, berlubang, masih berbatu, berdebu bahkan jika hujan akan berlumpur tidak menghambat mereka berjualan ke pekan-pekan di perkebunan. Dalam aktivitas perdagangannya, hambatan-hambatan yang ada dapat dihadapi para pedagang pekan etnis Minang dengan memperkuat jaringan serta dengan adanya bentuk-bentuk moral ekonomi yang terbangun pada para pedagang. Keadaan yang demikian juga terlihat pada pedagang pekan etnis Minang yang berjualan di wilayah perkebunan sekitar Kota Pinang, Labuhanbatu Selatan yang membangun jaringan sosial serta mengedepankan nilai-nilai moral ekonomi dalam aktivitas perdagangannya.

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis serta melihat pola jaringan sosial yang terbangun serta aspek-aspek moral ekonomi yang terbangun pada pedagang-pedagang etnis Minang yang berjualan dengan sistem pekanan serta usaha mereka untuk mempertahankan kelangsungan usahanya tersebut.

Metode penelitian yang digunakan adalah studi kasus dengan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara mendalam, pengamatan partisipan serta studi kepustakaan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa usaha berjualan ke pekan-pekan yang dijalani sebagian masyarakat Minang di Kota Pinang telah berlangsung sejak 17 tahun yang lalu, dipelopori oleh Bapak Sudirman Pili yang merupakan orang Minang pertama yang merintis usaha tersebut. Kedatangan para pedagang di pekan perkebunan telah mengakibatkan munculnya dampak ekonomis dan dampak sosial di sekitar daerah pekan. Dampak ekonomisnya adalah bergeraknya roda perekonomian di sekitar daerah pekan sedangkan dampak sosial dari keberadaan pekan adalah dijadikannya lokasi pekan sebagai sarana transformasi dan nilai-nilai ke wilayah perkebunan yang jauh dari pusat kota.

(12)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Permasalahan kesejahteraan masyarakat merupakan masalah yang tidak akan ada habisnya untuk dikaji pada suatu negara. Kesejahteraan merupakan tuntutan-tuntutan yang harus segera dipenuhi karena menyangkut hajat hidup masyarakat, negara dibebani kewajiban untuk menjamin hal itu kepada tiap warga negaranya. Dalam upaya pemenuhan kesejahteraan tersebut, tiap individu dituntut untuk aktif dan kreatif agar tidak hanya mengharapkan kesejahteraan dan pemenuhan kebutuhan hidupnya ditanggung oleh negara karena negara juga memiliki keterbatasan akan hal itu akan tetapi negara berkewajiban untuk memberikan akses bagi tiap warganya untuk dapat berusaha dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya. Salah satu cara yang ditempuh pemerintah yaitu dengan melaksanakan pemekaran daerah dengan tujuan agar tiap daerah dapat memberdayakan potensi serta kekuatan daerah untuk mengelola dan mengatur wilayah sendiri secara lebih luas, dengan begitu akses masyarakat terhadap pusat pemerintahan dan ekonomi menjadi lebih dekat dan harapan meningkatnya kesejahteraan akan dapat terpenuhi.

(13)

produksi di wilayah Labuhanbatu Selatan seluas 109.647,3 Ha sehingga sebagian besar masyarakatnya banyak yang bekerja sebagai petani dan buruh perkebunan. Selain menjadi petani dan buruh perkebunan sebesar 75% (246.961 orang), masyarakat kabupaten ini juga ada yang berprofesi sebagai pegawai negeri dan karyawan sebesar 15% (93.983 orang) serta pedagang 10% (1005 orang). Terdapat juga masyarakat yang bekerja sebagai pedagang Pekanan terutama yang beretnis Minang yang berjualan berbagai macam jenis barang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang tinggal di perkebunan yang jauh aksesnya dari pusat kota.

(14)

target utama sebagai pembeli baru menerima gaji dari perkebunan tempat mereka bekerja.

Lokasi pekan yang didatangi para pedagang berbeda tiap harinya, pada hari senin para pedagang akan pergi ke pekan Sidodadi dengan jarak yang harus ditempuh lebih kurang 50 km. Pada hari selasa pedagang akan ke daerah Simpang Kanan dengan jarak tempuh lebih kurang 60 km daerah ini sudah masuk wilayah provinsi Riau. Pada hari rabu para pedagang libur, biasanya waktu libur ini digunakan pedagang untuk berbelanja barang ke Medan, sebagian pedagang yang tidak berbelanja akan memperbaiki mobil atau menghabiskan waktu bersama keluarganya. Hari kamis para pedagang akan pergi ke Lohsari, pekan ini merupakan yang terdekat karena hanya berjarak 20 km. Pada hari jumat pedagang sebagian pergi ke pekan Sidodadi sedangkan sebagian pedagang ada yang libur untuk beribadah sholat jumat. Hari sabtu pedagang kembali datang ke pekan Simpang Kanan karena daerah ini mengadakan pekanan dua kali dalam seminggu. Sedangkan pada hari minggu para pedagang akan menuju daerah Tanjung Medan yang berjarak 30 km. Terdapat juga pekanan yang hanya berlangsung satu kali dalam sebulan yaitu pekan Langkiman yang berjarak 250 km, merupakan pekan yang terjauh jarak serta terberat perjalanannya karena harus melewati perkebunan kelapa sawit hingga sampai ke wilayah Kabupaten Tapanuli Utara.

(15)

kota baik berjualan kaki lima bagi mereka yang tidak memiliki modal cukup besar ataupun menyewa toko bagi perantau yang memiliki modal cukup serta ada juga yang berdagang ke pekan-pekan perkebunan. Melihat peluang usaha yang cukup baik maka banyak pedagang membawa sanak family, kerabat dan teman-teman untuk ikut membuka usaha di kota ini sehingga semakin lama jumlah perantau Minang bertambah banyak dan akhirnya terbentuk komunitas masyarakat Minang yang mayoritas berprofesi sebagai pedagang.

Berdagang merupakan salah satu kultur yang menonjol dalam masyarakat Minangkabau. Bagi mereka, berdagang tidak hanya sekedar mencari nafkah dan mengejar kekayaan, tetapi juga sebagai bentuk eksistensi diri untuk menjadi seorang yang merdeka. Dalam budaya Minang yang egaliter, setiap orang akan berusaha untuk menjadi seorang pemimpin. Menjadi sub-ordinat orang lain, sehingga siap untuk diperintah-perintah bukanlah sebuah pilihan yang tepat. Prinsip lebih baik menjadi pemimpin kelompok kecil daripada menjadi anak buah organisasi besar (elok jadi kapalo samuik daripado ikua gajah) merupakan prinsip sebagian besar masyarakat Minang. Menjadi seorang pedagang merupakan salah satu cara memenuhi prinsip tersebut, sekaligus menjadi orang yang merdeka. Dengan berdagang, orang Minang bisa memenuhi ambisinya dapat menjalankan kehidupan sesuai dengan keinginannya, hidup bebas tanpa ada pihak yang mengekang. Sehingga banyak perantau muda Minangkabau lebih memilih berpanas-panas terik di pinggir jalan, berteriak berjualan kaos kaki, daripada harus kerja kantoran, yang acap kali di perintah dan di marah-marahi.

(16)

Pertumbuhan besar-besaran pada masyarakat Minang tidak diikuti dengan ketersediaan peluang kerja yang memadai di daerah asal. Akibatnya, mereka pergi ke daerah lain untuk mencari pekerjaan dan pada awalnya sebagian besar dari mereka mengawali usaha dengan berdagang. Oleh karena itu menjadi pedagang kaki lima sering menjadi pekerjaan awal bagi banyak perantau Minang. Motivasi orang minang berdagang karena ingin melawan dunia orang, suatu tema yang mengandung amanat untuk hidup bersaing terus menerus mencapai kemuliaan, kenamaan, kepintaran dan kekayaan.

Berkembangnya kultur dagang dalam masyarakat Minang, disebabkan adanya harta pusaka tinggi yang menjamin kepemilikan tanah dan keberlangsungannya bagi setiap orang di Minangkabau. Dengan kepemilikan tanah tersebut, posisi masyarakat Minang tidak hanya sebagai pihak penggarap saja, melainkan juga menjadi pedagang langsung yang menjual hasil-hasilnya ke pasaran. Selain itu, kultur menjadikan profesi berdagang sebagai pekerjaan awal untuk memenuhi kebutuhan hidup.

(17)

dapat menyebar luas di sana (Naim, 1979). Jika ditanya mengapa mereka menjadi pedagang tentunya jawabannya beragam, namun yang pasti mereka menjadi pedagang tentunya memiliki harapan terhadap apa yang mereka usahakan. Pedagang dalam hal ini yang berfungsi sebagai penjual ketika mereka memulai usaha berdagang hal utama yang mereka harapkan adalah keuntungan setelah itu kemudian loyalitas dan eksistensi diri. Untuk mencapai hal tersebut mereka menerapkan berbagai strategi dalam berdagang khususnya untuk mempromosikan barang dagangan mereka mulai dari berteriak memanggil pembeli, menyapa pembeli, mempersilahkan pembeli melihat-lihat, tersenyum serta membuat bentuk pajangan yang menarik dan banderol harga yang murah dan terjangkau.

(18)

menyatakan bahwa orang Minang terkenal dengan tiga keunggulan yaitu banyak ulama yang berbobot berasal dari daerah Minang, pemikiran-pemikiran orang Minang sangat cemerlang dan jiwa kesaudagaran orang Minang sangat kuat. Meskipun ia itu sarjana teknik atau ekonomi atau yang lain, bahkan orang Minang yang tidak mengenyam pendidikan dapat menjadi saudagar yang hebat dan sukses.

(19)

tahun 1960-an orang Minangkabau dapat memonopoli kegiatan usaha di Sukaramai.

(20)

menimbulkan persaingan di lokasi pekan, para pedagang yang berasal dari etnis masing-masing menggunakan strategi untuk memperlihatkan kelompok etnis mereka lebih solid seperti pergi berjualan bersama dan memusatkan lokasi berjualan yang saling berdekatan antara pedagang satu etnis.

(21)

Namun dengan kondisi demikian, pedagang-pedagang tersebut terutama pedagang yang telah lama berjualan memliki kondisi perekonomian yang dilihat cukup baik bahkan dapat dikatakan hidup berkecukupan. Mereka mampu mengembangkan usaha mereka, menambah barang dagangan serta dapat mempekerjakan orang lain sebagai anggota atau anak buah, tidak sedikit dari mereka memiliki lebih dari satu lapak jualan di pekan dan menjadi tempat pedagang lain untuk membeli barang dagangan sehingga dijuluki toke oleh pedagang lain. Selain itu mereka juga mampu membangun dan memiliki rumah, kendaraan pribadi dan menyekolahkan anak-anak mereka sampai tingkat kuliah.

(22)

Namun bagi pedagang-pedagang minang Kota Pinang yang berjualan Pekanan, persaingan menjadi hal yang biasa karena justru mereka memberikan kesempatan dan peluang bagi perantau-perantau yang baru datang untuk berjualan di pekan. Bahkan pedagang Pekan yang telah berhasil akan mengajak saudara dan sanak family atau kerabat untuk berjualan serta memberikan lapak sekaligus tumpangan kendaraan untuk berjualan, meskipun para pedagang tersebut bersaing dalam berjualan dan meraih keuntungan tapi juga timbul kerjasama antara sesama pedagang untuk sama-sama mempertahankan usaha dagangnya seperti pergi berjualan bersama dan membangun tenda lapak berjualan yang dilakukan juga bersama-sama. Sehingga yang dapat terlihat dari pedagang pekan etnis Minang adalah bentuk kerjasama yang juga dilakukan dalam persaingan antara pedagang tersebut.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan dalam latar belakang di atas, maka yang menjadi pokok permasalahan yang diteliti adalah

1. Bagaimana pola jaringan sosial yang terbentuk pada pedagang Pekanan etnis Minang Kota Pinang yang berjualan di perkebunan wilayah Kabupaten Labuhanbatu Selatan?

(23)

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

Adapun yang diharapkan menjadi tujuan penelitian ini adalah:

1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis serta melihat pola jaringan sosial yang terbangun serta aspek-aspek moral ekonomi yang terbangun pada pedagang-pedagang Minang yang berjualan dengan sistem pekanan serta usaha mereka untuk mempertahankan kelangsungan usahanya tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai masalah-masalah yang menyeluruh yang terjadi pada pedagang-pedagang tersebut.

2. Untuk mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan aktivitas pedagang-pedagang minang dalam usahanya untuk mempertahankan kelangsungan mata pencahariannya tersebut.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

(24)

b. Manfaat praktis : Bagi penulis, penelitian ini dapat mengasah penulis dalam membuat karya tulis ilmiah serta menambah pengetahuan penulis mengenai masalah yang diteliti. Penelitian ini juga dapat menjadi masukan bagi pemerintahan daerah Kabupaten Labuhanbatu Selatan dalam pendataan serta input data kependudukan masyarakat etnis minang yang berprofesi sebagai pedagang pekanan.

1.5 Definisi Konsep

Dalam sebuah penelitian ilmiah, definisi konsep sangat diperlukan untuk memfokuskan penelitian sehingga memudahkan penelitian. Konsep adalah definisi, abstraksi mengenai gejala atau realita ataupun suatu pengertian yang nantinya akan menjelaskan suatu gejala (Meleong, 2006:67). Disamping berfungsi untuk memfokuskan dan mempermudah penelitian, konsep ini juga berfungsi sebagai panduan yang nantinya digunakan peneliti untuk menindak lanjuti sebuah kasus yang diteliti dan menghindari terjadinya kekacauan akibat kesalahan penafsiran dalam sebuah penelitian. Adapun konsep yang digunakan sesuai dengan konteks penelitian ini antara lain adalah:

(25)

2. Moral ekonomi pedagang, H.D. Evers dalam Damsar (2000: 90-92) mengemukakan bahwa moral ekonomi pedagang timbul ketika mereka menghadapi permasalahan dalam aktivitas jual beli para pedagang seringkali mengalami dilema. Dalam hal ini aspek moral pedagang yang dimaksud adalah moral pedagang pekanan terutama yang beretnis Minang dalam melakukan transaksi jual beli seperti penetapan harga barang yang tidak terlalu tinggi agar dapat terjangkau oleh masyarakat perkebunan yang mayoritas bekerja sebagai buruh perkebunan. Selain itu juga dilihat saling tolong menolong antara sesama pedagang dalam bentuk peminjaman uang untuk berbelanja barang yang dilakukan secara bergantian maupun saling berbagi lapak berjualan dan memberikan tumpangan bagi pedagang yang tidak memiliki kendaraan.

3. Solidaritas sosial, menurut Soerjono Soekanto (2002: 68-69) solidaritas sosial merupakan kohesi yang ada antara anggota suatu asosiasi, kelompok, kelas sosial atau kasta, dan diantara berbagai pribadi, kelompok maupun kelas-kelas membentuk masyarakat dan bagian-bagiannya. Solidaritas ini menghasilkan persamaaan, saling ketergantungan, dan pengalaman yang sama, merupakan unsur pengikat bagi unit-unit kolektif seperti keluarga, kelompok atau komunitas tertentu. Dalam penelitian ini, solidaritas sosial yang dilihat adalah sikap pedagang yang saling berbagai lapak jualan dan memberikan tumpangan bagi pedagang yang tidak memiliki kendaraan. Dalam perjalanan tidak jarang satu rombongan akan membantu rombongan yang lain jika mengalami kerusakan mobil atau terdapat kendala diperjalanan.

(26)

mereka mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama dan pada saat yang bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian terhadap diri sendiri untuk memenuhi kepentingan-kepentingan tersebut. Dalam penelitian ini, kerja sama antar pedagang yang dapat dilihat adalah proses bongkar muat barang ke mobil yang dilakukan bersama-sama serta pendirian dan bongkar tenda yang dilakukan juga bersama-sama.

6. Moral Sosial adalah aturan serta nilai-nilai yang di dalamnya terdapat kebaikan yang ditujukan untuk kebaikan dan kepentingan orang banyak tanpa mengharapkan pamrih yang dari orang sekitar. Dalam hal ini moral sosial pedagang yang dapat dilihat adalah sikap mereka yang saling tolong menolong antara sesama pedagang, penentuan harga barang yang disesuaikan dengan kemampuan daya beli pedagang, serta solidaritas erat yang terbangun antara sesama pedagang pekan.

5. Co-competition adalah bentuk kerjasama yang terjalin antara sesama pedagang padahal disaat yang bersamaan mereka sedang berkompetisi karena pedagang tersebut juga menjual jenis barang dagangan yang sama.

7. Pedagang Pekanan adalah pedagang yang melakukan aktivitas usaha dagang atau jual belinya pada waktu-waktu tertentu yang berjualan di lokasi pekan yang berpindah-pindah. Misalnya pekan senin, selasa dan seterusnya.

8. Pedagang Minang Perantauan adalah para pedagang yang merupakan berasal dari etnis Minang yang melakukan aktivitas usaha dagangnya di daerah perantauan.

(27)

10. Sektor informal adalah sektor yang tidak terorganisasi (unorganized), tidak teratur (unregulated), dan kebanyakan legal tetapi tidak terdaftar (unregistered). Sektor informal memiliki karakteristik seperti jumlah unit usaha yang banyak dalam skala kecil, kepemilikan oleh individu atau keluarga, teknologi yang sederhana dan padat tenaga kerja, tingkat pendidikan dan keterampilan yang rendah, akses, produktivitas tenaga kerja yang rendah dan tingkat upah yang juga relatif lebih rendah dibandingkan sektor formal.

11. Stratifikasi pedagang adalah tingkatan atau jenjang yang terbentuk antara para pedagang dalam hal ini tingkatan pedagang didasarkan atas lama berjualan, banyaknya barang yang dimiliki serta tingkat keberhasilan pedagang tersebut. 12. Pedagang grosiran adalah para pedagang besar yang menjual barang kepada pedagang pekan untuk dijual kembali, dalam hal ini barang yang dijual dengan harga yang lebih murah daripada dijual secara satuan atau eceran.

13. Pembeli adalah orang yang membeli dagangan para pedagang pekan dalam hal ini pembeli adalah buruh perkebunan atau masyarakat yang tinggal di daerah perkebunan yang mengadakan pekanan.

14. Pelanggan adalah orang yang membeli dagangan para pedagang pekan secara rutin sehingga harga yang ditawarkan pedagang akan berbeda dengan harga yang di tawarkan kepada pembeli biasa.

(28)
(29)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA 2.1 Jaringan Sosial

Jaringan sosial merupakan hubungan-hubungan yang tercipta antar banyak individu dalam suatu kelompok ataupun antar suatu kelompok dengan kelompok lainnya. Hubungan-hubungan yang terjadi bisa dalam bentuk yang formal maupun bentuk informal. Hubungan sosial adalah gambaran atau cerminan dari kerjasama dan koordinasi antar warga yang didasari oleh ikatan sosial yang aktif dan bersifat resiprosikal (Damsar, 2002:157).

Dalam melihat aktivitas sekelompok individu itu menjadi suatu aksi sosial maka disitulah teori jaringan sosial berperan dalam sistem sosial. Hampir seluruh masalah sosiologi adalah masalah agregasi, yaitu bagaimana aktivitas sekelompok individu dapat menimbulkan efek sosial yang dapat diamati. Hal inilah yang membuat ilmu sosiologi sangat sulit untuk memahami dan mengerti suatu fenomena secara mendalam. Teori jaringan sosial berangkat dari pengkajian atas variasi bagaimana perilaku individu berkumpul (aggregate) menjadi perilaku kolektif.

(30)

hubungan pribadi konkrit dan dalam struktur (jaringan sosial) terhadap hubungan itu. Hubungan ini berlandaskan gagasan bahwa setiap aktor (individu atau kolektivitas) mempunyai akses berbeda terhadap sumber daya yang bernilai seperti kekayaan, kekuasaan, dan informasi. Menurut Wellman dalam teori jaringan sosial terdapat sekumpulan prinsip-prinsip yang berkaitan logis, yaitu sebagai berikut:

1. Ikatan antara aktor biasanya adalah simetris baik dalam kadar maupun intensitasnya. Aktor saling memasok dengan sesuatu yang berbeda dan mereka berbuat demikian dengan intensitas yang semakin besar atau semakin kecil.

2. Ikatan antar individu harus dianalisis dalam konteks struktur jaringan lebih luas.

3. Terstrukturnya ikatan sosial menimbulkan berbagai jenis jaringan non-acak. Disatu pihak, jaringan adalah transitif: bila ada ikatan antara A dan B dan C, ada kemungkinan adanya jaringan yang meliputi A dan C. Akibatnya adalah bahwa lebih besar kemungkinan adanya jaringan yang meliputi A, B, dan C.

4. Adanya kelompok jaringan yang menyebabkan terciptanya hubungan silang antara kelompok jaringan maupun antara individu.

(31)

6. Dengan adanya distribusi yang timpang dari sumber daya yang terbatas menimbulkan baik itu kerja sama maupun kompitisi. Beberapa kelompok akan bergabung untuk mendapatkan sumber daya yang terbatas itu dengan kerja sama, sedangkan kelompok lain bersaing dan memperebutkannya.

(32)

Jaringan antara pedagang pekan dan pedagang pelanggan juga berpengaruh besar terhadap kelangsungan usaha dagang pekan ini karena pasokan barang akan mudah didapat jika telah terjalin komunikasi dan saling mengenal antara pedagang pekan dan pedagang grosiran. Jaringan yang terbangun juga berfungsi untuk mempermudah pasokan barang serta untuk mendapatkan harga yang lebih murah dari pedagang gosiran tersebut bahkan jika jaringan telah mencapai tahap kepercayaan, pedagang grosiran akan memberikan kemudahan dengan mempersilahkan pedagang pekan untuk membawa barang terlebih dahulu dengan pembayaran yang menyusul kemudian ketika pedagang pekan kembali turun berbelanja.

2.2 Trust (Kepercayaan)

Kepercayaan adalah unsur penting dalam modal sosial yang merupakan perekat bagi langgengnya hubungan dalam kelompok masyarakat. Dengan menjaga suatu kepercayaan, orang-orang bisa bekerja sama secara efektif. Social Capital adalah kapabilitas yang muncul dari kepercayaan umum di dalam sebuah masyarakat atau bagian-bagian tertentu darinya. Social Capital bisa dilembagakan dalam kelompok sosial yang paling kecil dan paling mendasar. Demikian juga kelompok-kelompok masyarakat yang paling besar, Negara, dan dalam seluruh kelompok-kelompok lain yang ada diantaranya (Fukuyama, 2002:37).

(33)

dalam transaksi ekonomi tersebut. Qianhong Fu, (Hasbullah, 2006:12 dikutip dari skripsi: modal sosial pada pasar tradisional oleh Dedy Kurnia Putra) membagi tiga tingkatan trust yaitu pada tingkatan individual, relasi sosial dan pada tingkatan personal dan sekaligus sebagai karakteristik individu. Pada tingkatan hubungan sosial, trust merupakan atribut kolektif untuk mencapai tujuan-tujuan kelompok. Sedangkan pada tingkatan sistem sosial trust merupakan nilai yang berkembang menurut sistem sosial yang ada. Trust juga dipandang sebagai komponen ekonomi yang relevan pada kultur yang ada pada masyarakat dan membentuk kekayaan modal sosial.

Kepercayaan akan menimbulkan kewajiban sosial dengan mempercayai seseorang akan menimbulkan kepercayaan kembali dari orang tersebut (resiprositas). Dalam kaitannya dengan resiprositas dan pertukaran, Pretty dan Ward, dalam (Badaruddin, 2005:32) mengemukakan bahwa adanya hubungan-hubungan yang dilandasi oleh prinsip resiprositas dan pertukaran akan menumbuhkan kepercayaan karena setiap pertukaran akan dibayar kembali (repaid and balanced). Hal ini merupakan pelicin dari suatu hubungan kerjasama yang telah dibangun agar tetap konsisten dan berkesinambungan.

(34)

melekat konsep kepercayaan (trust). Pendekatan aktor teratominasi melihat bahwa kepercayaan merupakan institusi sosial yang berakar dari hasil evolusi kekuatan-kekuatan politik, sosial, sejarah dan hukum dipandang sebagai solusi yang efisien terhadap fenomena ekonomi tertentu. Sebaliknya pendekatan aktor yang lebih tersosialisasi memandang bahwa kepercayaan merupakan moralitas umum dalam perilaku ekonomi. Sedangkan pendekatan keterlekatan mengajukan pandangan yang lebih dinamis yaitu bahwa kepercayaan tidak muncul dengan seketika tetapi terbit dari proses hubungan antar pribadi dari aktor-aktor yang sudah lama terlibat dalam perilaku ekonomi secara bersama. Kepercayaan bukanlah merupakan barang baku (tidak berubah) tetapi sebaliknya, kepercayaan terus menerus ditafsirkan dan dinilai oleh para aktor yang terlibat dalam hubungan perilaku ekonomi.

Kepercayaan sosial hanya efektif dikembangkan melalui jalinan pola hubungan sosial resiprosikal atau timbal balik antar pihak yang terlibat dan berkelanjutan. Adanya trust menyebabkan mudah dibinanya kerjasama yang saling menguntungkan (mutual benefit), sehingga mendorong timbulnya hubungan resiprosikal. Hubungan resiprosikal menyebabkan social capital dapat melekat kuat dan bertahan lama. Karena diantara orang-orang yang melakukan hubungan tersebut mendapat keuntungan timbal balik dan tidak ada salah satu pihak yang dirugikan. Disini hubungan telah memenuhi unsur keadilan (fairness) diantara sesama individu (Wafa, 2006:46).

(35)

individu maupun kelompok baik yang bersifat ekonomi maupun non-ekonomi hanya mungkin terjadi apabila ada kelanjutan trust atau rasa saling percaya dari pihak-pihak yang melakukan interaksi. Individu-individu yang memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi memungkinkan terciptanya organisasi-organisasi bisnis yang fleksibel yang mampu bersaing dalam ekonomi global.

2.3 Kelompok atau Group

Kelompok sosial merupakan suatu gejala yang sangat penting dalam kehidupan manusia karena sebagain besar kegiatan manusia berlangsung di dalamnya. Kelompok didefinisikan sebagai dua individu atau lebih yang berinteraksi dan saling bergantung, yang saling bergabung untuk mencapai sasaran-sasaran tertentu. Kelompok dapat bersifat formal dan informal di dalam sistem sosial, kelompok formal adalah kelompok yang didefinisikan sebagai struktur organisasi dengan pembagian kerja yang jelas. Sedangkan kelompok informal adalah kelompok yang didefinisikan sebagai aliansi yang tidak terstruktur secara formal atau tidak ditetapkan secara organisasi. Kelompok informal ini terbentuk secara alamiah dalam suasana kerja yang muncul sebagai tanggapan terhadap kebutuhan akan kontak sosial.

Robert Biersted mengklasifikasikan jenis-jenis kelompok dengan menggunakan indikator atau kriteria untuk membedakan jenis kelompok, yaitu sebagai berikut (Kamanto, 2004:126) :

1. Organisasi

(36)

Berdasarkan ketiga kriteria atau indikator tersebut Biersted kemudian membedakan ada empat jenis-jenis kelompok, yaitu sebagai berikut:

1. Kelompok statistik (statistical group)

2. Kelompok kemasyarakatan (societal group)

3. Kelompok sosial (social group)

4. Kelompok asosiasi (associational group)

Soekanto (2002:115) mengemukakan beberapa persyaratan sebuah kelompok sosial adalah sebagai berikut:

1. Setiap anggota kelompok harus sadar bahwa dia merupakan sebagaian dari kelompok yang bersangkutan.

2. Ada hubungan timbal balik antara anggota yang satu dengan anggota yang lainnya.

3. Ada suatu faktor yang dimiliki bersama sehingga hubungan antara mereka bertambah erat. Faktor tadi dapat merupakan nasib yang sama, ideologi politik yang sama dan lain-lain. Tentunya faktor mempunyai musuh bersama misalnya dan dapat pula menjadi faktor pengikat atau pemersatu diantara mereka.

4. Berstruktur, berkaidah dan mempunyai pola prilaku.

5. Bersistem dan berproses.

(37)

luar atau kelompok mereka (Kamanto, 2004:130). Seseorang itu termasuk kedalam beberapa kelompok yang baginya adalah kelompok dalam dan selebihnya baginya adalah kelompok luar. Dalam in-group terdapat perasaan persaudaraan sedangkan dalam out-group terdapat perasaan yang lebih dingin. Anggota-anggota dalam in-group menunjukkan adanya kerja sama, hubungan yang baik (good will), saling membantu, dan saling menghormati. Mereka mempunyai perasaan solidaritas, kesetiaan terhadap kelompoknya dan kesediaan berkorban demi kelompoknya. Tetapi sikap mereka terhadap orang lain atau luar kelompoknya selalu menunjukkan kebencian, perasaan menghina, dan permusuhan.

2.4 Aspek Moral Ekonomi Pedagang

H.D. Evers dalam Damsar (2000: 90-92) mengemukakan bahwa moral ekonomi pedagang timbul ketika mereka menghadapi permasalahan dalam aktivitas jual beli. Para pedagang seringkali mengalami dilema. Moral ekonomi pedagang, menurut H.D. Evers timbul karena adanya pertentangan dalam diri pedagang sendiri. Apabila yang menjual dengan harga yang tinggi, maka dagangannya tidak akan laku atau laris. Apabila pedagang menjual dagangannya dengan harga murah, sedangkan modal sangat mahal, maka kerugian yang akan dialami.

(38)

adalah manusia yang kreatif dan dinamis. Hal didasarkan kepada para pedagang tidak tertumpu pada norma-norma yang ada di dalam masyarakat. Mereka bisa menyelesaikan permasalahan pribadi tanpa melanggar norma-norma yang ada.

Menurut Damsar (2000), pada dasarnya setiap manusia yang terlibat dalam aktivitas perekonomian akan mengalami hal sama. Baik masyarakat nelayan maupun masyarakat metropolis. Apabila mereka menghadapi masalah yang disebut dengan masalah subsistensi (keselamatan pribadi) atau resiprositas maka mereka akan mencoba untuk melakukan tindakan-tindakan yang baru, seperti menjual, menggadai, meminjam uang (berhutang) dan lain sebagainya atau bahkan mencuri sekalipun. Tujuan dari itu semua adalah untuk mengamankan posisi mereka dalam aktivitas perekonomian guna menghadapi persaingan yang ada.

Melihat dilema yang dialami oleh pedagang tersebut, Hans Dieter Evers dalam Damsar (2000) menemukan lima solusi atau jalan keluar yang berbeda dengan apa yang dilakukan pedagang dalam menghadapi dilema tersebut, yaitu:

1. Imigrasi Penduduk Minoritas

Kelompok minoritas baru dapat diciptakan melalui imigrasi atau dengan etnogenesis yaitu munculnya identitas baru. Cara diferensiasi etnis dan budaya tersebut secara efektif dapat mengurangi dilema pedagang. Untuk menghindari dilema tersebut maka lebih baik merantau (migrasi) ke daerah lain dan melakukan aktivitas perdagangan di sana.

(39)

Muncul dua komunitas moral yang menekankan pentingnya kerjasama tetapi tidak keluar dari batas-batas moral. Seperti pedagang kredit yang ada di Sumatera Barat, mereka dibutuhkan oleh masyarakat Sumatera Barat sebagai pemasok kebutuhan sandang baru sedangkan pedagang sendiri memperoleh untung yang relatif besar karena harga ditetapkan relatif lebih tinggi dari harga pasaran. Ini berarti terdapat hubungan kerja sama yang saling menguntungkan antara masyarakat pedesaan Sumatera Barat dan pedagang kredit yang masing-masing memiliki komunitas moral sendiri yaitu agama Islam dan agama Kristen.

3. Akumulasi Status Kehormatan (Budaya)

Melalui akumulasi modal budaya berarti adanya peningkatan derajat kepercayaan masyarakat untuk melakukan aktivitasnya. Sesuai dengan studi Geertz tentang peranan santri pada sektor perdagangan orang Jawa bahwa kedermawanan, keterlibatan dalam urusan masyarakat, berziarah, menunaikan ibadah haji yang dilakukan kaum santri memberi dampak kepada akumulasi modal budaya yang dimiliki. Hal ini menghindari dari cemoohan masyarakat sebagai orang kikir dan tamak tetapi sebaliknya dianggap orang yang berbudi baik dan bermurah hati.

4. Munculnya Pedagang Kecil yang bercirikan “Ada Uang Ada Barang”

(40)

permintaan kredit maka akan dipertimbangkan dengan sangat hati-hati dan sangat dibatasi sehingga tidak muncul resiko perkreditan. Dengan ciri-ciri yang dimiliki oleh pedagang kecil tersebut, memungkinkan pedagang untuk menghindari dilema yang biasanya dialaminya.

5. Depersonalisasi (ketidakterlekatan) Hubungan-Hubungan Ekonomi

Jika ekonomi pasar berkembang dan relatif tidak terlekat atau terdiferensiasi maka dilema pedagang ditransformasikan ke dalam dilema sosial pasar ekonomi kapitalis. Evers melihat bahwa suatu ekonomi modern memerlukan rasionalisasi hubungan-hubungan ekonomi dan keunggulan produktivitas di satu sisi dan di sisi yang lain keadilan sosial dan redistribusi dibutuhkan untuk mempertahankan legitimasi penguasa serta tatanan sosial dan politiknya.

(41)

menjadi simpul bagi terbentuknya ikatan pelanggan antara mereka berdua. Adapun keuntungan yang mungkin akan diperoleh pembeli antara lain kepastian dan ketepatan informasi harga suatu barang, diskon, kredit (hutang) dan lainnya. Sedangkan keuntungan dipihak pedagang adalah kepastian pembeli. Jika ada kepastian pembeli dimasa akan datang, maka kepastian akan memperoleh laba merupakan konsekuensi logis dari keadaan sebelumnya.

Ikatan pelanggan yang terajut antara keduanya dapat memudahkan pembentukan hubungan baru dengan pihak lain, ikatan pelanggan antara kedua belah pihak dimungkinkan diperluas dengan mengikutkan beberapa orang lain yang memiliki hubungan dengan pihak pembeli misalnya dengan anggota keluarga luas dari pembeli seperti; kakak, adik, orang tua, paman, tante, dan lainnya. Ikatan pelanggan menuntun para individu baik pembeli maupun penjual untuk berpikir, berperilaku, dan bertindak seperti harapan peran yang seharusnya dimainkan oleh masing pihak sesuai dengan posisi dan status masing-masing. Dalam ikatan pelanggan, antara pembeli dan penjual memiliki suatu derajat kepercayaan dan tingkat keuntungan bersama antara kedua belah pihak.

(42)

kelompok etnik yaitu sebagai seorang suku Minangkabau. Ketika dia mengetahui bahwa sipenjual dari barang diperlukannya adalah orang Minangkabau pula maka dia akan mencoba menjalin ikatan kelompok suku Minangkabau. Melalui ikatan kelompok suku Minangkabau, aktor pembeli merajut simpul jaringan melalui komunikasi yang dilakukan melalui bahasa daerah Minangkabau dan menelusuri jejak keminangkabauan melalui percakapan yang dilakukan. Dalam kenyataannya, cara seperti itu akan melicinkan para aktor untuk mendapat harga yang lebih miring dibanding dengan pembeli yang berasal dari etnik lain.

2.5 Orientasi Subyektif dalam Hubungan Sosial : Variabel-variabel Berpola Teori Parsons yang umum sifatnya (general theory) mengenai tindakan sosial menekankan orientasi subyektif yang mengendalikan pilihan-pilihan individu. Pilihan-pilihan ini secara normatif diatur atau dikendalikan oleh nilai dan standar normatif bersama. Hal ini berlaku untuk tujuan-tujuan yang ditentukan individu serta alat-alat yang digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan itu. Juga dalam memenuhi kebutuhan fisik yang mendasar ada pengaturan normatifnya.

(43)

variable-variabel berpola di atas memperlihatkan lima pilihan dikotomi yang harus diambil seseorang secara eksplisit atau implisit dalam menghadapi orang lain dalam situasi sosial apa saja, yaitu :

1. Afektivitas versus netralitas afektif. 2. Orientasi diri versus orientasi kolektivitas. 3. Universalisme versus partikularisme. 4. Askripsi versus prestasi (achievement). 5. Spesifitas versus kekaburan (diffuseness).

(44)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian

Dalam mengumpulkan data lapangan, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian studi kasus. Penelitian kualitatif menurut Bogdan dan Taylor dalam (Moleong, 2009:4) adalah sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Dengan menggunakan penelitian kualitatif peneliti akan memperoleh informasi atau data yang lebih mendalam mengenai pola Jaringan Sosial dan Moral Ekonomi Pedagang Pekanan Etnis Minang yang berjualan di Perkebunan wilayah Kota Pinang, Labuhanbatu Selatan. Penelitian kualitatif digunakan untuk melihat individu secara utuh serta berusaha untuk menggambarkan fenomena yang terjadi.

(45)

3.2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kota Pinang tepatnya pada pedagang pekanan di Jalan Kalapane Gang Pancasila, Labuhanbatu Selatan. Alasan peneliti memilih daerah ini adalah dikarenakan daerah ini banyak masyarakatnya terutama yang merupakan suku Minang bermata pencaharian sebagai pedagang pekanan di perkebunan, baik yang sudah berumah tangga maupun belum berumah tangga. Dalam melakukan aktivitas jual belinya para pedagang ini harus menghadapi medan perjalanan yang berat dikarenakan lokasi berjualan yang jauh dari kota dengan kondisi jalan yang rusak serta dengan fasilitas yang seadanya di lokasi berjualan tapi hal itu bukan halangan, para pedagang tetap bersemangat berjualan meskipun dengan kondisi yang seperti itu. Dengan kondisi yang seperti itu terbentuk jaringan-jaringan yang memungkinkan pedagang tetap bertahan bahkan menjadi maju usahanya serta adanya sikap moral pedagang yang juga mendukung kelangsungan usaha jualan mereka.

3.3 Unit Analisis dan Informan

Unit analisis adalah satuan yang diperhitungkan sebagai subjek penelitian (Arikunto, 1999:22). Adapun unit analisis dalam penelitian jaringan dan moral sosial pedagang pekanan, yaitu para pedagang pekanan terutama yang merupakan pedagang etnis Minang, pembeli dan pelanggan serta distributor barang dagangan atau pedagang grosiran.

(46)

1. Informan Kunci, yaitu para pedagang pekanan etnis minang yang telah berjualan setidaknya lebih dari tiga tahun, kriteria ini ditetapkan untuk menjawab dan menggali informasi mengenai pola jaringan sosial yang terbangun serta aspek moral yang terbentuk antara sesama pedagang pekanan.

2. Informan biasa, yaitu sebagai berikut :

A. Pembeli dan pelanggan yang membeli barang dagangan para pedagang pekanan yang dapat memberi informasi mengenai pola jaringan sosial yang terbentuk antara pedagang dan pembeli serta pelanggan. Juga untuk memberikan informasi mengenai aspek moral ekonomi pedagang pekanan.

B. Pedagang grosiran yaitu tempat para pedagang pekanan membeli barang jualan dengan harga yang lebih murah karena membeli dengan jumlah yang banyak. Pedagang grosiran ini dapat memberi informasi mengenai pola jaringan sosial yang terbentuk antara pedagang pekanan dan pedagang grosiran tersebut.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Data sebuah penelitian dapat digolongkan menjadi dua bagian, yaitu data primer dan data sekunder.

A) Data Primer

(47)

1. Wawancara mendalam, yaitu proses tanya jawab secara langsung ditujukan terhadap informan di lokasi penelitian dengan menggunakan pedoman wawancara atau panduan wawancara serta menggunakan alat bantu perekam atau tape recorder jika memang dibutuhkan untuk memudahkan peneliti menangkap keseluruhan informasi yang diberikan informan. Wawancara terhadap informan ditujukan untuk memperoleh data dan informasi secara lengkap tentang kehidupan sosial ekonomi para pedagang, asal daerah pedagang, penghasilan yang didapatkan serta usaha pedagang dalam mempertahankan usaha dagangnya.

2. Partisipasi observer, yaitu metode pengumpulan data dengan cara peneliti ikut serta dan turut aktif dalam masyarakat secara langsung agar peneliti dapat secara nyata merasakan dan menggambarkan situasi yang ada di lapangan. Dalam penelitian ini, peneliti akan ikut dengan para pedagang pekanan berjualan ke perkebunan dan berinteraksi langsung dengan para pedagang serta pelanggan di lapangan. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan data pola jaringan yang terbentuk baik antara pedagang maupun antara pedagang dengan pelanggan, melihat hubungan kekerabatan antara pedagang, moral sosial pedagang yang terbentuk serta kerja sama yang terjalin antara para pedagang.

B) Data Sekunder

(48)

berkaitan pola jaringan dan moral sosial pedagang serta usaha dan strategi pedagang dalam mempertahankan usaha dagangnya.

3.5 Interpretasi Data

Data yang dikerjakan sejak peneliti mengumpulkan data dilakukan secara intensif setelah pengumpulan data selesai dilaksanakan. Merujuk pada Lexy J. Moleong (2006:190), pengolahan data ini dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber yaitu wawancara, pengamatan (observasi) yang sudah dituliskan dalam catatan lapangan, dokumen resmi, gambar foto, dan sebagainya.

Data tersebut setelah dibaca, dipelajari, dan ditelaah maka langkah selanjutnya adalah mengadakan reduksi data yang dilakukan dengan cara abstraksi. Abstraksi merupakan usaha membuat rangkuman yang yang terperinci, merujuk ke inti dengan menelaah pernyataan-pernyataan yang diperlukan sehingga tetap berada dalam fokus penelitian.

(49)

3.6 Jadwal Kegiatan

No Kegiatan Bulan ke-

1 2 3 4 5 6 7 8 9

1 Pra Survey √

2 Acc Judul Penelitian √

3 Penyusunan Proposal √

4 Seminar Proposal √

5 Revisi Proposal √

6 Penelitian Lapangan √ √ √

7 Pengumpulan dan Analisis Data √ √

8 Bimbingan Skripsi √ √ √

9 Penulisan Laporan √ √ √

10 Sidang Meja Hijau √

3.7 Keterbatasan Penelitian

(50)
(51)

BAB IV

DESKRIPSI WILAYAH DAN PROFIL INFORMAN 4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

Kabupaten Labuhanbatu Selatan (Labusel) yang beribukota di Kota Pinang adalah kabupaten yang baru dimekarkan dari Kabupaten Labuhanbatu pada 24 Juni 2008 sesuai dengan undang-undang Nomor 22 tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Labuhanbatu Selatan, semasa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kabupaten Labuhanbatu Selatan merupakan pintu gerbang penghubung menuju Propinsi Sumatera Utara dari Propinsi Riau. Awalnya Labuhanbatu Selatan merupakan bagian administratif dari Kabupaten Labuhan Batu namun terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah maka Kabupaten Labuhan Batu dipecah menjadi tiga yaitu Kabupaten Labuhanbatu Utara dengan ibukota Aek Kanopan, Labuhanbatu Induk dengan ibukota Rantau Prapat serta Kabupaten Labuhanbatu Selatan dengan ibukota Kota Pinang.

Awal pembentukan kabupaten ini berdasarkan desakan masyarakat, aspirasi masyarakat tersebut akhirnya bergulir melalui proses sebagai berikut:

a) Surat Keputusan DPRD Kabupaten Labuhanbatu Nomor 63 Tahun 2005 Tanggal 31 Oktober 2005 tentang Persetujuan DPRD Labuhanbatu terhadap Pembentukan Kabupaten Labuhanbatu, Labuhanbatu Utara, Labuhanbatu Selatan.

(52)

c) Surat Keputusan DPRD Kabupaten Labuhanbatu Nomor 63b Tahun 2005 tanggal 31 Oktober 2005 tentang kesanggupan dukungan dana dari Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu untuk Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu Utara dan Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu Selatan. d) Keputusan Bupati Labuhanbatu Nomor 135/226/PEM/2005 tanggal 10

Maret 2005 tentang Penetapan Ibu kota Kabupaten Labuhanbatu Utara dan Kabupaten Labuhanbatu Selatan.

e) Surat Bupati Labuhanbatu Nomor 135/2698/PEM/2005 tanggal 1 Nopember 2005 perihal mohon Persetujuan Pamekaran Kabupaten Labuhanbatu menjadi Kabupaten Labuhanbatu, Kabupaten Labuhanbatu Utara, Kabupaten Labuhanbatu Selatan.

f) Keputusan DPRD Sumatra Utara Nomor 1/K/2006 tanggal 21 Januari 2006 tentang Persetujuan Pamekaran Kabupaten Labuhanbatu.

g) Surat Gubernur Sumatera Utara Nomor 135/731 tanggal 26 Januari 2006 perihal Usul Pamekaran Kabupaten Labuhanbatu.

h) Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor 903/035.K tanggal 26 Januari 2006 Tentang Bantuan Dana dalam APBD Provinsi Sumatera Utara bagi calon Kabupaten Labuhanbatu Utara dan calon Kabupaten Labuhanbatu Selatan di Wilayah Propinsi Sumatra Utara.

(53)

j) Keputusan DPRD Kabupaten Labuhanbatu Nomor 08 tahun 2008 tanggal 5 Mei 2008 tentang Dukungan Dana dalam APBD Kabupaten Labuhanbatu bagi Calon Kabupaten Labuhanbatu Utara dan Calon Kabupaten Labuhanbatu selatan di Kabupaten Labuhanbatu.

k) Surat Gubernur Sumatera Utara Nomor 135/6191 tanggal 24 juni 2008 Perihal Bantuan Dana Calon Kabupaten Labuhanbatu Utara dan Calon Kabupaten Labuhanbatu Selatan.

l) Undang - undang RI nomor 22 tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Labuhanbatu Selatan di Propinsi Sumatera Utara ( Lembaran Negara RI Tahun 2008 Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4868 ).

(54)

4.2 Letak dan Batas Wilayah

Kabupaten Labuhanbatu Selatan merupakan bagian dari propinsi Sumatera Utara, letaknya tepat berada pada 1°26’00’’ - 2°12’55’’ Lintang Utara dan 99°40’00’’ - 100°26’00’’ Bujur Timur serta berbatasan langsung dengan propinsi Riau. Memiliki luas wilayah seluas 3.116,00 km2 (311.600 hektar) dan terdiri dari 5 (lima) kecamatan dan 54 desa atau kelurahan yang kesemuanya telah defenitif.

Adapun yang menjadi batas-batas wilayah Kabupaten Labuhanbatu Selatan adalah sebagai berikut:

- Sebelah Utara : Kabupaten Labuhanbatu

- Sebelah Selatan : Kabupaten Padang Lawas Utara

- Sebelah Barat : Kabupaten Padang Lawas Utara

- Sebelah Timur : Propinsi Riau

(55)

Sumber : BPS Labuhanbatu Selatan hasil sensus penduduk tahun 2010

4.3 Keadaan Penduduk

Berdasarkan hasil pencacahan sensus penduduk tahun 2010, jumlah penduduk Labuhanbatu Selatan sementara adalah 277.549 orang, yang terdiri atas 141.415 penduduk laki-laki dan 136.134 penduduk perempuan. Dari hasil sensus penduduk 2010 tersebut masih tampak bahwa penyebaran penduduk Labuhanbatu Selatan masih bertumpu di kecamatan Torgamba yakni sebesar 35,35 persen, kemudian diikuti oleh kecamatan Kota Pinang sebesar 19,48 persen sedangkan kecamatan lainnya di bawah 19 persen.

(56)

masing-masing berjumlah 98.118 orang, 54.063 orang, dan 51.878 orang. Sedangkan kecamatan Silangkitang merupakan kecamatan yang paling sedikit penduduknya, yakni sebanyak 28.208 orang.

Dengan luas wilayah Labuhanbatu Selatan sekitar 3.116,00 kilo meter persegi yang didiami oleh 277.549 orang maka rata-rata tingkat kepadatan penduduk Labuhanbatu Selatan adalah sebanyak 89 orang per kilo meter persegi. Kecamatan yang paling tinggi tingkat kepadatan penduduknya adalah kecamatan Kota Pinang yakni sebanyak 112 orang per kilo meter persegi sedangkan yang paling rendah adalah kecamatan Silangkitang yakni sebanyak 73 orang per kilo meter persegi.

4.3.1 Komposisi Penduduk Berdasarkan Kecamatan

(57)

Tabel 1

Komposisi Penduduk Berdasarkan Kecamatan

No Kecamatan Jumlah Penduduk

1 Torgamba 98.118 orang

2 Kota Pinang 54.063 orang

3 Kampung Rakyat 51.878 orang

4 Sungai Kanan 45.282 orang

5 Silangkitang 28.208 orang

Labuhanbatu Selatan 277.549 orang

Sumber : BPS Labuhanbatu Selatan hasil sensus penduduk tahun 2010

(58)

kecamatan kampung Rakyat, jumlah penduduk laki-laki sebanyak 26.407 orang dan jumlah penduduk perempuan sebanyak 25.471 orang.

Tabel 2

Komposisi Penduduk Berdasarkan Perbandingan Jenis Kelamin

No Kecamatan Laki-laki Perempuan

1 Sungai Kanan 22.954 orang 22.328 orang

2 Torgamba 50.216 orang 47.902 orang

3 Kota Pinang 27.479 orang 26.584 orang

4 Silangkitang 14.359 orang 13.849 orang

5 Kampung Rakyat 26.407 orang 25.471 orang Labuhanbatu Selatan 141.415 orang 136.134 orang

Sumber : BPS Labuhanbatu Selatan hasil sensus penduduk tahun 2010

4.3.3 Laju Pertumbuhan Penduduk

(59)

pertumbuhannya masih di atas laju pertumbuhan penduduk Labuhanbatu Selatan yakni sebesar 2,95%.

4.3.4 Komposisi Penduduk Menurut Suku Bangsa per Kecamatan

Berdasarkan sumber data dari BPS Labuhanbatu Selatan hasil sensus penduduk tahun 2010, persentase komposisi penduduk dilihat dari suku bangsa per kecamatan adalah berikut:

Tabel 3

Komposisi Penduduk Menurut Suku Bangsa per Kecamatan

NO Kecamatan

Suku Bangsa

Melayu Batak Minang Jawa Aceh Lainnya

1 Sungai Kanan 0,15% 78,30% 0,27% 19,62% 0,07% 1,59%

2 Torgamba 0,70% 41,16% 0,74% 52,84% 0,19% 4,37% 3 Kota Pinang 0,65% 55,65% 0,59% 39,43% 0,15% 3,53% 4 Silangkitang 0,07% 18,27% 0,27% 79,75% 0,07% 1,57% 5 Kampung

Rakyat

0,34% 30,48% 0,68% 62,49% 0,18% 4,03%

Sumber : BPS Labuhanbatu Selatan hasil sensus penduduk tahun 2010

4.3.5 Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama Yang Dianut per Kecamatan

(60)

Tabel 4

Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama Yang Dianut per Kecamatan

No Kecamatan

Agama

Islam Protestan Khatolik Budha Hindu Lainnya

1 Sungai Kanan 97,45% 2,24% 0,29% 0,01% 0,01% - 2 Torgamba 75,98% 22,18% 1,80% 0,03% 0,01% - 3 Kota Pinang 89,59% 8,79% 1,00% 0,57% 0,04% - 4 Silangkitang 99,05% 0,42% 0,49% 0,02% 0,02% -

5 Kampung Rakyat

92,26% 6,43% 0,52% 0,04% 0,04% 0,07%

Sumber : BPS Labuhanbatu Selatan hasil sensus penduduk tahun 2010

4.3.6 Penggunaan Lahan Menurut Jenis

(61)

Tabel 5

Penggunaan Lahan Menurut Jenis

No Jenis Penggunaan Lahan Luas

1 Bangunan perumahan, perkantoran, industri, pendidikan, jalan dll

14.614 hektare

2 Persawahan 14.780 hektare

3 Perkebunan rakyat : a. Kelapa sawit b. Karet

130.264 hektare 28.237 hektare

4 Hutan 39.569 hektare

5 Campuran 6.740 hektare

6 Sungai 9.934 hektare

7 Lainnya 67.462 hektare

Jumlah / Total 311.600 hektare

Sumber : Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Labuhanbatu Selatan 2010

4.3.7 Jumlah Tempat Berjualan Yang Terdapat di Pasar atau Pekan Tiap Kecamatan

(62)

Tabel 6

Jumlah Tempat Berjualan Yang Terdapat di Pasar/Pekan Tiap Kecamatan

No Kecamatan

Pasar atau Pekan

Jenis Tempat Berjualan

Los Kios Ruko Lainnya Jumlah

1 Sungai Kanan 4 6 - - - 6

2 Torgamba 4 5 62 - 4 71

3 Kota Pinang 3 7 315 22 5 249

4 Silangkitang 2 3 - - - 3

5 Kampung Rakyat 1 2 - - - 2

Jumlah / Total 14 23 377 22 9 431

Sumber : Dinas Pasar dan Kebersihan Kabupaten Labuhan Batu Selatan 2009

4.3.8 Perkembangan Jumlah Pedagang di Kabupaten Labuhanbatu Selatan

(63)

Tabel 7

Perkembangan Jumlah Pedagang di Kabupaten Labuhanbatu Selatan

No Tahun

Jumlah Pedagang

Jumlah Pribumi Non Pribumi

1 2004 - - -

2 2005 - - -

3 2006 5.124 - 5.124

4 2007 4.211 - 4.211

5 2008 922 - 922

6 2009 921 84 1005

Sumber : Dinas Pasar dan Kebersihan Kabupaten Labuhanbatu Selatan 2009

4.3.9 Jumlah Pedagang Di Pasar/Pekan Menurut Kecamatan

(64)

Tabel 8

Jumlah Pedagang Di Pasar/Pekan Menurut Kecamatan

No Kecamatan Jumlah Pedagang

1 Sungai Kanan 120 orang

2 Torgamba 100 orang

3 Kota Pinang 670 orang

4 Silangkitang 80 orang

5 Kampung Rakyat 35 orang

Jumlah/Total 1005 orang

Sumber : Dinas Pasar dan Kebersihan Kabupaten Labuhanbatu Selatan 2009

4.4. Daerah Pekanan yang Didatangi Pedagang Minang Pancasila 4.4.1 Sidodadi

(65)

pembeli di pekan ini mayoritas beretnis Jawa dengan persentase 75% dan 25% etnis Batak berupa Nias dan Karo.

4.4.2 Simpang Kanan

Pekan ini terletak di kecamatan Simpang Kanan kabupaten Rokan Hilir Propinsi Riau dan juga merupakan kawasan perkebunan kelapa sawit. Perkebunan-perkebunan yang ada di wilayah ini antara lain PT. Milano, PT. Asam Jawa dan perkebunan-perkebunan rakyat. Pekan ini berlangsung pada hari selasa dan hari sabtu, jarak yang harus ditempuh rombongan pedagang menuju pekan ini adalah sekitar 60 km perjalanan. Biasanya rombongan pedagang berangkat dari Kota Pinang pukul 08.00 pagi sampai di pekan pada pukul 11.00 menjelang siang dan akan selesai berjualan pada pukul 18.00 sore. Di pekan ini terdapat kurang lebih 100 kios dan 250 tenda atau kaki lima, jumlah pedagang yang berjualan di sini mencapai 350 orang. Terdiri dari 65% pedagang beretnis Batak, 30% etnis Minang dan 5 % etnis Jawa. Para pembeli di pekan ini 40% etnis Jawa, 30% etnis Melayu, 25% etnis Batak dan 5% Nias.

4.4.3 Aek Raso

(66)

pada pukul 18.00 sore. Di pekan ini terdapat kurang lebih 75 kios dan 100 kaki lima, jumlah pedagang yang berjualan di pekan ini mencapai 170 orang pedagang. Terdiri dari 75% pedagang beretnis Batak, 25% etnis Minang dan 5% etnis Jawa. Pembeli di pekan ini 75% beretnis Batak dan I15% etnis Nias dan Jawa.

4.4.4 Lohsari

Pekan ini terletak di kecamatan Kampung Rakyat dan merupakan wilayah dari perkebunan kelapa sawit PT. Tolan III dan PT. Perlabian. Pekan ini berlangsung setiap hari kamis, jarak yang ditempuh para pedagang untuk menuju pekan ini adalah 30 km perjalanan. Para pedagang akan berangkat dari Kota Pinang pada pukul 09.00 pagi dan sampai pada pukul 11.00 WIB. Pekan ini berlangsung hingga malam hari tepatnya pada pukul 20.00 malam. Di pekan ini terdapat kurang lebih 150 kios dan 75 kaki lima, jumlah pedagang yang berjualan di pekan ini mencapai 225 pedagang. Terdiri dari 65% pedagang beretnis Batak, 30% etnis Minang dan 10% etnis Jawa. Pembeli di pekan ini 80% beretnis Jawa dan 20% etnis Batak serta Nias.

4.4.5 Tanjung Medan

(67)

berjualan di pekan ini mencapai 130 orang pedagang. Terdiri dari 50% pedagang beretnis Batak, 45% etnis Minang dan 5% etnis Jawa penduduk sekitar yang kebanyakan membuka kios makanan. Mayoritas yang menjadi pembeli di pekan ini adalah penduduk beretnis Jawa namun ada juga pembeli etnis Batak dan Nias yang jumlahnya sangat kecil.

4.4.6 Ujung Gading

Pekanan ini terdapat di Padang Lawas Utara dan merupakan masih di wilayah perkebunan kelapa sawit PT. Kasih Idaman, perkebunan Sagala dan perkebunan Ujung Bangau. Jarak pekan ini dari Kota Pinang kurang lebih 40 km perjalanan dan para pedagang biasanya harus menempuh perjalanan selama 2 jam. Rombongan pedagang akan berangkat dari Kota Pinang pada subuh hari sampai pada pukul 06.00 pagi dan pekan ini akan selesai pada puku 14.00 siang hari. Terdapat kurang lebih 75 kios dan 75 kaki lima di pekan ini, jumlah pedagang yang berjualan mencapai 150 orang pedagang yang terdiri dari 60% pedagang beretnis Batak dan 40% pedagang etnis Minang. Pembeli di pekan ini merupakan pekerja perkebunan yang terdiri dari 70% etnis Nias, 25% etnis Batak dan 5% etnis Jawa.

4.4.7 Langkiman

(68)

dari Kota Pinang pukul 23.00 malam dan sampai pada pukul 03.00 pagi hari. Para pedagang akan beristirahat kemudian akan memulai menggelar barang dagangan pada pagi harinya, pekanan ini adalah pekanan yang selalu ditunggu para pedagang karena biasanya pendapatan yang didapat cukup besar dan hanya berlangsung satu kali dalam sebulan tepatnya ketika para pekerja perkebunan menerima upah kerja mereka. Terdapat kurang lebih 300 kios dan 200 lapak kaki lima, jumlah pedagang yang berjualan di sini mencapai 500 pedagang. Terdiri dari 80% pedagang etnis Batak, 15% etnis Minang dan sisanya 5% etnis Jawa. Pembeli di pekan ini mayoritas pekerja perkebunan yang beretnis Nias.

4.4.8 IP

Pekan ini terletak di kecamatan Torgamba dan merupakan termasuk wilayah perkebunan-perkebunan kelapa sawit milik rakyat. Pekan ini merupakan pekan terkecil karena hanya berupa tanah lapang yang tidak memiliki kios ataupun los-los pedagang, terdapat kurang lebih 50 orang pedagang yang berjualan secara kaki lima di sini. Terdiri dari 50% pedagang beretnis Batak, 45% beretnis Minang dan 5% sisanya beretnis Jawa. Para pedagang akan menempuh perjalanan selama 1,5 jam perjalanan tepatnya sepanjang 25 km perjalanan, biasanya para pedagang akan berangkat dari Kota Pinang pukul 09.00 pagi sampai di pekan pukul 10.00 dan selaesai berjualan pada pukul 15.00 siang hari.

4.4.9 Trans

(69)

kurang lebih sepanjang 30 km, biasanya berangkat dari Kota Pinang pada pukul 08.00 pagi sampai di pekan pukul 10.00 dan akan selesai berjualan pada pukul 18.00 sore hari. Di pekan ini terdapat 75 kios dan 60 kaki lima, jumlah pedagang yang berjulan di pekan ini adalah 125 orang pedagang yang terdiri dari 50% pedagang beretnis batak, 45% etnis Minang dan 5% etnis Jawa sedangkan pembelinya mayoritas pekerja perkebunan yang beretnis Jawa.

4.5 Profil Informan

4.5.1 Informan pertama (Pedagang Pekan) Nama : Sudirman Pili (SP) Umur : 57 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Alamat : Jl. Kalapane Gang. Pancasila

(70)

keluarganya, ia diajak oleh saudara yang kebetulan telah terlebih dahulu tinggal di Kota Pinang untuk ikut pindah dan melihat-lihat situasi di daerah ini.

Di Kota Pinang, Bapak SP awalnya ingin ikut membuka usaha di kota karena ia melihat pedagang-pedagang termasuk beberapa pedagang Minang yang berjualan di emperan jalan Soedirman baik dengan menyewa ruko (Rumah Toko) maupun berjualan kaki lima, jalan tersebut merupakan jalan lintas Sumatera yang cukup ramai dilalui kendaraan-kendaraan baik menuju Medan maupun sebaliknya menuju Riau sehingga strategis sebagai tempat berdagang, hal ini terlihat dari banyaknya aktifitas perdagangan di tempat ini. Namun Bapak SP berkenalan dan berteman dengan Bapak Lubis yang merupakan orang asli Kota Pinang. Bapak Lubis memiliki kendaraan berupa truk Colt Diesel yang biasa disewa para pedagang pekan yang pada saat itu mayoritas bersuku Batak untuk mengantarkan mereka berjualan ke pekan-pekan di wilayah perkebunan sekitar Labuhanbatu Selatan, Bapak Lubis ini sering melihat barang dagangan berupa sayur-sayuran dan bumbu-bumbu dapur yang dibawa pedagang pekan tersebut sudah habis ketika pekan selesai. Dari cerita tersebut, Bapak SP kemudian memberanikan diri untuk coba ikut berjualan ke pekan-pekan menjual pakaian karena pada saat itu belum ada pedagang yang menjual jenis barang pakaian di pekan-pekan.

(71)

bapak SP saat pertama kali berjualan hanya membawa satu karung pakaian yang total harga modalnya berkisar dua juta rupiah. Modal tersebut ia dapat dari sisa-sisa modal usaha yang di Medan, kemudian ia menambah modal berdagang dengan meminjam pada sanak saudara. Pada awal-awal berjualan banyak daerah pekanan yang ia datangi bersama-sama para pedagang pekan etnis Batak lainnya antara lain Trans, Ujung Gading, Simpang kanan, Sidodadi, Lohsari, Tanjung Medan, dan Langkiman sebulan sekali. Namun setelah memiliki kendaraan sendiri Bapak SP hanya berjualan di beberapa lokasi pekan antara lain Sidodadi, Lohsari, Simpang Kanan, Tanjung Medan dan Langkiman. Beberapa pekan yang tidak lagi didatangi karena jarak yang sangat jauh dan hasil berjualan yang kurang memuaskan.

(72)

razia yang dilakukan polisi yang melakukan pungutan liar, fasilitas pekan yang tidak memadai dan terdapat pekan yang tempat jualannya sering banjir jika hujan. Namun meskipun banyak hambatan yang dihadapi, Bapak SP merasakan kebahagiaan tersendiri ketika berjualan ke pekan-pekan, banyak pengalaman menarik yang ia dapat diantaranya ia pernah menginap di tengah perkebunan karena tidak bisa pulang akibat jalan licin sehingga mobil-mobil pedagang tidak bisa lewat, ia juga pernah berselisih dengan pedagang lain karena berebut tempat ketika awal-awal berjualan serta pernah membawa hasil jualan yang besar ketika datang ke pekan Langkiman, bahkan pengalaman barang dagangannya tidak laku sama sekali ketika berjualan disatu pekan juga pernah ia alami.

(73)

4.5.2 Informan kedua (Pedagang Pekan) Nama : Buyung Seiko (BS) Umur : 56 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Alamat : Air Batu Kota Pinang

Bapak BS telah 23 tahun tinggal di Kota Pinang, sebelum pindah ke kota ini ia tinggal di Rantau Prapat. Di Rantau Prapat ia membuka usaha menjual arloji, kemudian pindah ke Kota Pinang dan membuka usaha jualan arlojinya di kota dengan menyewa sebuah ruko (Rumah Toko). Bapak BS menamakan tokonya dengan salah satu nama produk arloji yang banyak ia jual yaitu Seiko,

(74)

Menurut Bapak BS, awalnya pedagang Minang yang pertama kali turun ke pekan-pekan adalah Bapak SP kemudian setelah banyak yang melihat hasil berjualan ke pekan cukup menjanjikan keuntungan maka banyak pedagang Minang lain yang ikut berjualan, selain itu banyak juga para pedagang yang mengajak serta sanak saudara untuk berjualan sehingga semakin lama semakin banyak pedagang Minang yang menjadi pedagang pekanan karena untuk berjualan ke pekan tidak terlalu membutuhkan modal yang besar. Banyaknya pedagang Minang yang ikut berjualan baik pedagang yang sudah tinggal di Kota Pinang bahkan banyak juga pedagang yang datang dari Medang dan Padang sehingga terbentuklah kelompok pedagang Minang yang berjualan ke pekan yang kebetulan tempat tinggalnnya juga saling berdekatan. Berdasarkan penuturan Bapak BS, pedagang yang pertama kali menjual barang jenis arloji di pekan adalah anggota-anggotanya yaitu Jamil Pili dan Win. Modal awal mereka berjualan masing-masing berkisar Rp 2.000.000,- dan seiring perjalanan waktu ketiga anggota pak BS tersebut berhasil membuka usaha sendiri bahkan Jamil Pili memiliki kendaraan dan barang jualan yang cukup banyak.

(75)

mempengaruhi jualan karena mereka berjualan hanya beratapkan terpal-terpal atau tenda.

4.5.3 Informan ketiga (Pedagang Pekan) Nama : Yul

Umur : 38 Tahun Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Alamat : Jl. Kalapane Gang. Pancasila

Gambar

Tabel 1
Tabel 2
Tabel 3
Tabel 4
+5

Referensi

Dokumen terkait

Dalam membangun suatu sistem, penting bagi tim proyek untuk mengetahui apakah sistem yang mereka buat atau kembangkan telah sesuai dengan apa yang diharapkan

Peradaban yang spektakuler masih sangat mungkin pernah terdapat di Indonesia mengingat di Indonesia pernah terdapat manusia purba dari periode sekitar 2 juta tahun lalu..

PENGARUH CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY TERHADAP KINERJA KEUANGAN PERUSAHAAN YANG DIUKUR DENGAN RETURN ON ASSET DAN RETURN ON EQUITY (Studi pada Perusahaan Pertambangan Batubara

penyelenggaraan pelayanan publik. Salah satu aasnya yaitu bahwa penyelenggaraan pelayanan publik berasaskan persamaan perlakuan atau tidak diskriminatif, serta fasilitas

Proses tersebut memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan potensi mereka menjadi kemampuan yang semakin lam semakin meningkat dalam sikap (spiritual

Penulisan laporan yang berjudul “ Analisis Kualitas Pelayanan Pramusaji Pada Restoran D’Cost Seafood Palembang” ini merupakan salah satu syarat yang harus ditempuh

Hasil analisis menunjukkan bahwa bahwa tingkat pengetahuan tentang unsur-unsur iklan diabetasol veris “Majalah” di televisi sebagian besar berada pada kategori tinggi yang