• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Pelayanan Klinik Terhadap Resep Antidiabetes di Apotek Kecamatan Tarogong Kaler, Kecamatan Tarogong Kidul dan Kecamatan Garut Kota Wilayah Kabupaten Garut

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gambaran Pelayanan Klinik Terhadap Resep Antidiabetes di Apotek Kecamatan Tarogong Kaler, Kecamatan Tarogong Kidul dan Kecamatan Garut Kota Wilayah Kabupaten Garut"

Copied!
120
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN PELAYANAN KLINIK TERHADAP

RESEP ANTIDIABETES DI APOTEK KECAMATAN

TAROGONG KALER, KECAMATAN TAROGONG

KIDUL DAN KECAMATAN GARUT KOTA

WILAYAH KABUPATEN GARUT

SKRIPSI

RIZZA PERMANA SUCI

NIM: 1111102000082

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

(2)

GAMBARAN PELAYANAN KLINIK TERHADAP

RESEP ANTIDIABETES DI APOTEK KECAMATAN

TAROGONG KALER, KECAMATAN TAROGONG

KIDUL DAN KECAMATAN GARUT KOTA

WILAYAH KABUPATEN GARUT

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi

RIZZA PERMANA SUCI

NIM: 1111102000082

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

(3)
(4)
(5)
(6)

Nama : Rizza Permana Suci Program Studi : Farmasi

Judul : GAMBARAN PELAYANAN KLINIK TERHADAP RESEP ANTIDIABETES DI APOTEK KECAMATAN TAROGONG

KALER, TAROGONG KIDUL DAN GARUT KOTA

WILAYAH KABUPATEN GARUT

Berdasarkan Permenkes Republik Indonesia No. 35 tahun 2014 tentang standar pelayanan kilnik, Apoteker memiliki tugas dalam memberikan pelayanan obat dan pelayanan klinik. Pasien diabetes melitus merupakan salah satu pasien yang memenuhi kriteria untuk mendapatkan pelayanan klinik oleh Apoteker di Apotek.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pelayanan klinik meliputi dispensing, Pelayanan Informasi Obat dan Konseling terhadap resep antidiabetes di Apotek Kecamatan Tarogong kaler, Kecamatan Tarogong kidul dan Kecamatan Garut Kota wilayah Kabupaten Garut. Penelitian ini dilakukan dengan teknik survei dan observasi menggunakan metode simulasi pasien terhadap 35 apotek terpilih dengan sasaran penelitian Apoteker dan petugas apotek (non apoteker). Alat bantu penelitian ini adalah skenario, check list, dan resep yang ditulis oleh dokter. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata persentase kehadiran Apoteker di Kecamatan Tarogong Kaler 30% (buruk), Kecamatan Tarogong Kidul 78,18% (sedang) dan Kecamatan Garut Kota 80% (baik). Pelayanan klinik di Apotek belum dilaksanakan seluruhnya oleh Apoteker, hasil menunjukkan bahwa pemberi pelayanan klinik di Apotek Kecamatan Tarogong Kaler tidak dilakukan oleh Apoteker, Pemberi pelayanan klinik di Apotek Kecamatan Tarogong Kidul 36,36% dilakukan oleh Apoteker dan Apotek di Kecamatan Garut Kota 60% dilakukan oleh Apoteker. Selama pelaksanaan pelayanan klinik di Apotek, 91,43% kegiatan dispensing berupa penyerahan obat dilakukan sesuai resep, 54,29% Apoteker dapat ditemui di Apotek dan bersedia memberikan Pelayanan Informasi Obat dengan melakukan tahapan kegiatan konseling. Selama Pemberian Informasi Obat kesalahan informasi kesalahan informasi obat yang dilakukan Apoteker cenderung lebih kecil dibandingkan dibanding yang dilakukan petugas apotek (non apoteker). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan pelayanan klinik di Apotek wilayah Kecamatan Tarogong Kaler, Kecamatan Tarogong Kidul dan Kecamatan Garut Kota di Kabupaten Garut belum berjalan dengan baik dan belum sesuai dengan peraturan Permenkes Republik Indonesia No. 35 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek.

(7)

Study Peogram: Farmasi

Title : DESCRIPTION OF CLINICAL SERVICES IN PHARMACIES

FOR ANTIDIABETIC RECIPES AT KECAMATAN

TAROGONG KALER, TAROGONG KIDUL AND GARUT KOTA IN GARUT

According to Permenkes of The Republic of Indonesia No. 35 year 2014 about the standard of pharmacy services in drug stores that pharmacists has duties in service of medicine and clinical service. Patient with diabetes mellitus is one of the patients who meet the criteria for clinical service. The purpose this study was to describe the clinical services about dispensing, drug information service and counseling in pharmacies at Kecamatan Garut Kota, Kecamatan Tarogong Kaler and Kecamatan Tarogong Kidul in Garut. In this study, the survei and observation with patient simulation method is used on 35 selected pharmacists, the target in this study were pharmacist and non pharmacist. The tools of this study were scenarios, checklist, and prescriptions written by a doctor. The result showed that the average percentage of attendance of Pharmacists in Kecamatan Tarogong Kaler was 30% (bad), Kecamatan Tarogong Kidul was 78,18% (moderate) dan Kecamatan Garut Kota was 80% (good). Drug information provider in pharmacies had not been fully undertaken by pharmacist yet, the result showed drug information provider in pharmacies in Kecamatan Tarogong Kidul 36,36% by pharmacist and in Kecamatan Garut Kota 60% by pharmacist. During clinical service in pharmacies, 91,43% dispensing was done according to recipe, 54,29% could be encountered in pharmacies and given clinical service form drug information service and by doing stages counseling. During drug information service by pharmacist, mistakes that was made less than non pharmacist. According to this study, the clinical services in pharmacies at Kecamatan Tarogong Kaler, Kecamatan Tarogong Kidul and Kecamatan Garut Kota in Kabupaten Garut were still lacked and were not suitable with the regulations of The republic of Indonesia in Permenkes No.35 year 2014 of standard of pharmaceutical Services in pharmacies.

(8)

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, karunia serta nikmat Iman dan Islam yang tak terhingga. Shalawat serta salam senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Syukur atas limpahan cinta dan kasih-Nya sehingga penulis dapat menjalani masa perkuliahan dan penelitian

hingga akhirnya menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Gambaran Pelayanan Klinik Terhadap Resep Antidiabetes di Apotek Kecamatan Tarogong Kaler, Kecamatan Tarogong Kidul dan Kecamatan Garut Kota Wilayah Kabupaten Garut” yang bertujuan untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Farmasi di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Pada kesempatan ini penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Yardi, Ph.D, Apt dan Bapak Asep Dasuki S, S.Si, Apt, MM. selaku pembimbing yang telah banyak memberikan ilmu, waktu, tenaga, kesabaran dalam membimbing, memberikan saran, dukungan, kesempatan untuk penulis menuangkan ide, dan kepercayaannya selama penelitian berlangsung hingga tersusunnya skripsi ini.

2. Dr. H. Arif Sumatri, SKM, M.Kes, selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan banyak motivasi dan bantuan.

3. Bapak Yardi, Ph.D, Apt selaku Ketua Program Studi Farmasi sekaligus pembimbing yang telah memberikan ilmu dan bimbingannya.

4. Ibu Dr. Dra. Hj. Delina Hasan, Apt., M.Kes. sekalu Penasehat Akademik

(9)

skripsi ini.

6. Instansi Pemerintah Daerah Kabupaten Garut, Dinas Kesehatan Kabupaten Garut dan Instansi Kesatuan Bangsa yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian di Kabupaten Garut.

7. Kedua orang tua penulis, papa Ade Hidayat dan mama Eli Susmini yang selalu menjadi orang tua terhebat dalam doa, dukungan moril dan materil sekaligus menjadi sahabat terbaik dalam bercerita kesenangan, kesedihan dan ketegangan yang dihadapi penulis. Mereka adalah sebuah titipan terindah yang diberikan oleh Allah SWT, semoga berkah hidup, kesenangan, kebahagian dan kesehatan selalu mengiringi kehidupannya di dunia dan akhirat.

8. Saudara perempuan tersayang Rezza Permana Suci yang sekarang telah menjadi seorang ibu dari dua putri tercantik yaitu Andra, Raya dan istri Tangguh Fauzia Ilham namun tetap selalu memberikan waktu, perhatian dan dukungannya.

9. Inten Novita Sari yang selalu mengajarkan kemandirian selama ini. Wardah Annajiah yang mengajarkan kesabaran pada kesukakaran yang dihadapi. Rahmi Sertiana Nur Aiman yang memberikan nasihat saat penulis mulai down. Sry Wardiyah yang selalu siaga disaat penulis membutuhkannya. Arum Puspa Azizah, Kak Sonia, Kak fifi, Kak Tari yang menjadi sahabat kosan di tahun terakhir ini. Nufa Mathey yang selalu menjadi sahabat terbaik sejak SMA dan selalu ada kapanpun penulis kesulitan. Kak Amri yang tiba-tiba dapat menjadi teman bertukar pemikiran. Teman seangkatan Farmasi 2011 terutama AC yang telah menjadi sahabat selama 4 tahun perkuliahan, sahabat seperjuangan dan menjadi sahabat bermetamorfosis.

(10)

memberikan manfaat untuk banyak pihak dan memberikan kontribusi dalam ilmu pengetahuan. Akhir kata, penulis berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu penulis dalam penelitian ini.

Ciputat, Juni 2015

(11)

Sebagai civitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, saya yang bertandatangan di bawah ini:

Nama : Rizza Permana Suci

NIM : 1111102000082

Program Studi : Farmasi

Fakultas : Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) Jenis Karya : Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi/karya ilmiah saya dengan judul

GAMBARAN PELAYANAN KLINIK TERHADAP RESEP ANTIDIABETES DI APOTEK KECAMATAN TAROGONG KALER, KECAMATAN TAROGONG KIDUL DAN KECAMATAN GARUT KOTA

WILAYAH KABUPATEN GARUT

Untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta untuk kepentinan akademik sebatas sesuai dengan Undan-Undang Hak cipta.

Demikian persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Dibuat di : Ciputat

Tanggal : Juni 2015

Yang menyatakan,

(12)

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERNYATAAN ORISINILITAS ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI ... v

ABSTRAK ... vi

2.1 Gambaran Umum Kabupaten Garut ... 6

2.2 Perkembangan Profesi Kefarmasian ... 6

2.3 Apoteker ... 8

2.4 Peran Apoteker ... 8

2.4.1 Peran Apoteker Menurut WHO ... 8

2.4.2 Peran Apoteker Menurut Peraturan di Indonesia ... 8

2.5 Apotek ... 10

2.6 Pelayanan Kefarmasian di Apotek ... 11

2.6.1 Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan Bahan Medis Habis Pakai ... 11

2.6.2 Pelayanan Farmasi Klinik di Apotek ... 11

2.7 Diabetes Melitus ... 18

(13)

2.9 Peran Apoteker dalam Penatalaksanaan Diabetes Melitus ... 22

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 26

3.1 Kerangka konsep ... 26

3.2 Definisi Operasional ... 27

BAB 4 METODE PENELITIAN ... 34

4.1 Alur Penelitian ... 34

4.2 Waktu dan Tempat Penelitian... 35

4.2.1 Lokasi ... 35

4.2.2 Waktu Penelitian ... 35

4.3 Rancangan Penelitian ... 35

4.4 Populasi dan Sampel ... 36

4.4.1 Populasi ... 36

4.4.2 Sampel ... 36

4.5 Kriteria Inklusi dan Eksklusi ... 37

4.5.1 Kriteria Inklusi ... 37

4.5.2 Kriteria Eksklusi... 37

4.6 Langkah Penelitian ... 37

4.6.1 Penelitian Pendahuluan ... 37

4.6.2 Instrumen Penelitian... 37

4.6.3 Validitas Instrumen ... 38

4.6.4 Teknik Pengumpulan Data ... 39

4.6.5 Manajemen Data ... 40

4.7 Analisis Data... 40

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 42

5.1 Gambaran Kehadiran Apoteker di Apotek Kecamatan Tarogong Kaler, Kecamatan Tarogong Kidul dan Kecamatan Garut Kota ... 43

5.2 Gambaran Pemberi Pelayanan Klinik di Apotek Kecamatan Tarogong Kaler, Kecamatan Tarogong Kidul dan Kecamatan Garut Kota ... 45

5.3 Gambaran Pelaksanaan Pelayanan Klinik di Apotek Kecamatan Tarogong Kaler, Kecamatan Tarogong Kidul dan Kecamatan Garut Kota ... 47

5.3.1 Gambaran Pelaksanaan Pelayanan Dispensing di Apotek ... 47

5.3.2 Gambaran Pelaksanaan Pelayanan Informasi Obat di Apotek ... 48

5.3.3 Gambaran Pelaksanaan Konseling di Apotek ... 50

5.4Gambaran Kualitas Pelayanan Klinik di Apotek di Kecamatan Tarogong Kaler, Kecamatan Tarogong Kidul dan Kecamatan Garut Kota ... 53

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 60

(14)

LAMPIRAN ... 69

(15)

Tabel 2.1. Diagnosis Diabetes Mellitus dari ACCP/ADA 2013 ... 18

Tabel 2.2. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus ... 19

Tabel 5.1 Gambaran Frekuensi Kehadiran Apoteker di Kecamatan Tarogong Kaler ... 43

Tabel 5.2. Gambaran Frekuensi Kehadiran Apoteker di Kecamatan Tarogong Kidul ... 43

Tabel 5.3. Gambaran Frekuensi Kehadiran Apoteker di Kecamatan Garut Kota ... 43

(16)

Gambar 2.1. Tahapan Perubahan Praktik Kefarmasiaan ... 7

Gambar 5.1. Gambaran Distribusi Pemberi Pelayanan Klinik di Apotek ... 45

Gambar 5.2. Persentase Kesesuaian Penyehan Obat dengan Resep ... 47

Gambar 5.3. Gambaran Distribusi Apoteker yang Hadir di Apotek Saat Penelitian ... 48

Gambar 5.4 Gambaran Tahapan Konseling yang Dilaksanakan oleh Apoteker dan Non Apoteker ... 50

(17)

Lampiran 1. Check List yang digunakan sebagai acuan selama wawancara dengan

metode simulasi pasien ... 68

Lampiran 2. Komposisi resep yang diberikan oleh pasien ... 72

Lampiran 3. Perhitungan Frekuensi Kehadiran Apoteker di Apotek Kecamatan Wilayah Kabupaten Garut ... 73

Lampiran 4. Perhitungan Distribusi Pemberi Pelayanan Klinik di Apotek ... 76

Lampiran 5. Perhitungan Persentase Kesesuaian Penyerahan Obat dengan Resep ... 78

Lampiran 6. Perhitungan Distribusi Apoteker yang Hadir di Apotek Saat Penelitian ... 79

Lampiran 7. Perhitungan Persentase Tahapan Konseling yang Dilaksanakan Apoteker dan Non Apoteker ... 80

Lampiran 8. Perhitungan Persentase Kualitas Pelayanan Klinik di Kecamatan Tarogong Kaler, Kecamatan Tarogong Kidul dan Kecamatan Garut Kota ... 81

Lampiran 9. Perhitungan Persentase Kesalahan Informasi Obat yang Diberikan oleh Pemberi Pelayaan di Apotek ... 94

Lampiran 10. Surat Izin Penelitian... 97

Lampiran 11 Surat Persetujuan Penelitian dari Pemerintah Daerah Kabupaten Garut ... 99

(18)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Pelayanan klinik merupakan praktik kefarmasian yang berpusat pada pasien dan membutuhkan Apoteker sebagai penyedia layanan tersebut (American Pharmacist Association, 1995). Peran Apoteker sendiri telah diatur dalam berbagai peraturan seperti peran Apoteker yang dikenal sebagai seven star of pharmacist pada publikasi WHO tentang The Role of Pharmacist in The Health Care System di Kanada 27-29 Agustus 1997. Tujuh peran tersebut adalah care giver (pemberi pelayanan), decision-maker (pemberi keputusan yang tepat),

communicator (kemampuan berkomunikasi antar profesi), leader (mampu menempatkan diri sebagai pimpinan dalam situasi multidisipliner), manager

(mampu mengelola SDM secara efektif), life-long learner (selalu belajar sepanjang karier) dan teacher (pemberi peluang untuk meningkatkan pengetahuan) (WHO, 1997).

(19)

Standar pelayanan farmasi di Apotek secara khusus dibuat dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 35 tahun 2014, pada Bab Pendahuluan tercantum bahwa farmasi dalam hal ini Apoteker harus memberikan pelayanan obat dan pelayanan klinik. Pelayanan obat mencakup penjaminan mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian, dan pengelolaan obat. Sedangkan pelayanan klinik mencakup pengkajian resep, dispensing, pelayanan informasi obat (PIO), konseling, pelayanan kefarmasian di rumah (home pharmacy care), pemantauan terapi obat (PTO), dan monitoring efek samping obat (Permenkes RI No.35, 2014).

Dalam pelaksanaan pelayanan klinik ini diperlukan kehadiran Apoteker selaku pemberi pelayanan. Namun beberapa penelitian menunjukkan tingkat kehadiran Apoteker di Apotek masih rendah, yaitu di Jakarta tahun 2003 menunjukkan Apoteker yang berkerja tidak penuh 54,7%, di Medan tahun 2008 menunjukkan 52,94% Apoteker tidak hadir setiap hari (Purwanti Angki dkk., 2004 dan Ginting BR Adelina, 2009). Penelitian terbaru dilakukan oleh Rendy Ricky Kwando (2014) didapatkan hasil persentase kehadiran Apoteker di Apotek Surabaya Timur adalah 63,33%. Kehadiran Apoteker ini menjadi penting karena dengan meningkatnya frekuensi kehadiran Apoteker di Apotek maka akan meningkatkan pelaksanaan pelayanan kefarmasian di Apotek (Kwando Rendi Ricky, 2014).

Pentingnya kehadiran Apoteker selaku pemberi pelayanan klinik di Apotek berkaitan juga dengan penelitian di Apotek Farmasi Airlangga Surabaya yang menyatakan Drug Related Problem (DTPs) terjadi pada resep polifarmasi di Apotek, dengan persentase Adverse Drug Reactions (ADRs) sebanyak 27 kejadian (40,30%), dan ketidakpatuhan sebanyak 24 kejadian (35,82%) dan peran Apoteker di Apotek diperlukan untuk mengatasi hal tersebut (Christina A.K. Dewi, et al., 2014). Diabetes melitus adalah salah satu penyakit yang biasanya memerlukan obat dalam jumlah banyak (polifarmasi) untuk mengatasi atau mencegah komplikasi (Rambadhe dkk, 2012).

(20)

kurangnya insulin yang dihasilkan dalam tubuh karena kerusakan pankreas (diabetes tipe 1) atau akibat resistensi insulin (diabetes tipe 2) (International Diabetes Federation, 2011). Penyakit diabetes ini 90% di dominasi oleh diabetes melitus tipe 2 (WHO, 2013). Permasalahan penyakit diabetes melitus di Indonesia menduduki peringkat ke empat dan di Jawa Barat prevalensinya mencapai 1,3% (Riskesdas, 2013). Berdasarkan berita dari surat kabar, dr. Zulkarnain menyatakan bahwa di kabupaten Garut pada tahun 2011 prevalensi diabetes mencapai 4-5% dari jumlah penduduk (John, 2011).

Ditinjau dari sifat penyakitnya, diabetes melitus merupakan penyakit seumur hidup (lifelong disease) dengan resiko komplikasi yang tinggi sehingga menyebabkan kematian, maka diperlukan perhatian lebih dalam perawatannya. Peningkatan kepedulian pasien diabetes sendiri diperlukan dalam menjaga dan mengontrol kondisinya agar tetap dapat hidup lebih panjang dan sehat (Sutandi Aan, 2012). Selain itu pengetahuan tentang obat diperlukan oleh pasien untuk dapat menggunakan obat dengan benar, dengan tujuan memperoleh terapi yang maksimal dan efek samping obat yang minimal (Amor et al, 2010 dan Mitchel et al, 2011 dikutip dalam Nita Yunita, 2012). Hal tersebut menjadi bagian peran apoteker dalam segi pelayanan klinik dalam pemberian informasi obat dan konseling yang harus dilakukan terutama untuk pasien dengan terapi jangka panjang/penyakit kronis seperti diabetes melitus (Permenkes RI No.35, 2014).

Paparan fakta tersebut memicu ketertarikan peneliti untuk meneliti gambaran pelayanan klinik di Apotek terhadap resep antidiabetes di Apotek Kecamatan Garut Kota, Kecamatan Tarogong kaler dan Kecamatan Tarogong kidul wilayah Kabupaten Garut yang menjadi wilayah dengan populasi Apotek terbesar di antara Kecamatan lain (Dinas Kesehatan Kabupaten Garut, 2014).

1.2. Rumusan masalah

(21)

terapi obat pasien, mencegah komplikasi, menurunkan pengeluaran biaya pasien, dan bahkan mencegah kematian akibat obat.

Namun berdasarkan penelitian yang dilakukan sebelumnya di beberapa kota besar wilayah Indonesia frekuensi kehadiran Apoteker selaku pemberi pelayanan klinik di tempat kerja (Apotek) masih kurang sehingga pelayanan klinik juga menjadi kurang dan tingkat DTPs pada resep polifarmasi masih tinggi di Apotek. Diabetes melitus adalah salah satu penyakit yang biasanya memerlukan obat dalam jumlah banyak (polifarmasi). Berdasarkan uraian tersebut maka dilakukan penelitian ini untuk menggambarkan bagaimana pelayanan klinik terhadap resep antidiabetes di Apotek Kecamatan Garut Kota, Kecamatan Tarogong kaler dan Kecamatan Tarogong kidul wilayah Kabupaten Garut dengan membandingkan antara pedoman pelayanan klinik berdasarkan peraturan yang ada dengan pelayanan klinik di lapangan.

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Mengetahui gambaran pelayanan klinik di Apotek Kecamatan Tarogong Kaler, Kecamatan Tarogong Kidul dan Kecamatan Garut Kota wilayah Kabupaten Garut.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui gambaran kehadiran Apoteker di tempat kerja (Apotek) di Kecamatan Tarogong Kaler, Kecamatan Tarogong Kidul dan Kecamatan Garut Kota wilayah Kabupaten Garut.

2. Untuk mengetahui gambaran pemberi pelayanan klinik, pelaksanaan pelayanan klinik, dan kualitas pelayanan klinik pada resep antidiabetes di Apotek Kecamatan Tarogong Kaler, Kecamatan Tarogong Kidul dan Kecamatan Garut Kota wilayah Kabupaten Garut.

1.4. Manfaat penelitian 1.4.1. Secara Teoritis

(22)

1.4.2. Secara Metodelogi

Metode penelitian ini dapat menjadi referensi untuk diaplikasikan pada penelitian farmasi klinis sejenis di Apotek daerah lain.

1.4.3. Secara Aplikatif

Hasil penelitian berupa gambaran pelayanan klinik di Apotek ini dapat digunakan menjadi informasi tentang sejauh mana penerapan pelayanan klinik yang berpusat pada pasien telah terlaksana di Apotek dan menjadi masukan tersendiri untuk para ahli profesi farmasi dalam melaksanakan peranannya sebagai tenaga kesehatan.

1.5. Ruang Lingkup

(23)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Gambaran Umum Kabupaten Garut

Kabupaten Garut adalah wilayah yang secara geografis berdekatan dengan Kota Bandung sebagai ibukota provinsi Jawa Barat. Kabupaten Garut memiliki luas wilayah administratif sebesar 306.519 Ha (3.065,19 km2) dengan batasan sebelah utara dengan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Sumedang, sebelah timur dengan Kabupaten Tasikmalaya, sebelah selatan dengan Samudera Indonesia dan sebelah barat dengan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Cianjur. Kabupaten Garut memiliki 42 Kecamatan dengan jumlah penduduk 3.003.004 jiwa pada tahun 2013 (Pemerintah Daerah Kabupaten Garut, 2013).

Menurut Dinas Kesehatan Kabupaten Garut, jumlah seluruh Apotek di Kota Garut pada tahun 2014 adalah 139 Apotek. Distribusi Apotek terbesar berada di Kecamatan Garut Kota sebanyak 41 Apotek, Kecamatan Tarogong Kidul sebanyak 22 Apotek dan Kecamatan Tarogong Kaler sebanyak 8 Apotek. Data Pemerintah Daerah Kabupaten Garut pada tahun 2013 menunjukkan jumlah penduduk di Kecamatan Tarogong Kaler 93.563 jiwa, jumlah penduduk di Kecamatan Tarogong Kidul 131.118, dan jumlah penduduk di Kecamatan Garut Kota 170.875 jiwa.

2.2. Perkembangan Profesi Kefarmasian

Secara historis, perubahan-perubahan dalam profesi kefarmasian dapat dibagi dalam 4 tahap (Ross W. Holland dan Christine M. Nimmo, 1999):

(24)

b. Tahap 2 : Pada periode ini muncul farmasi industri manufaktur dan pada saat yang sama pembuatan resep obat oleh Dokter sedang meningkat, sehingga pekerjaan utama Apoteker berhenti dalam memproduksi obat dan berpindah ke peracikan obat yang telah diproduksi dari industri yang disesuaikan dengan resep. Pada tahap ini pasien masih datang ke Apotek untuk mendapatkan obat dan bimbingan dalam penggunaan obat. Peran Apoteker masih memiliki nilai sosial yang jelas.

c. Tahap 3 : Pada tahap ini tugas utama Apoteker mengalami penyimpangan. Banyaknya jumlah produk obat yang semakin meningkat membuat fokus utama peran Apoteker menjadi ke produk obat dan peran pada pasien menjadi memudar. Hal tersebut juga di dorong oleh adanya Kode Etik Asosiasi Farmasi Amerika (American Pharmaceutical Association/AphA Code of Ethics) mulai tahun 1922-1969 farmasis dilarang untuk mendiskusikan efek terapi atau komposisi resep dengan pasien.

d. Tahap 4 : Akibat perubahan fokus farmasis terhadap produk (obat) maka muncul berbagai laporan tentang kegagalan terapi, hal ini memicu untuk farmasis mengisi kembali bidang pelayanan kefarmasian. Sehingga pada tahap keempat, Apoteker kembali berperan dalam pemberian informasi obat, saran dan konseling pasien.

Gambar 2.1 Tahapan perubahan praktik kefarmasian

(25)

2.3. Apoteker

Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan Apoteker (Peraturan Pemerintah RI No. 51, 2009). Apoteker sebagai pelaku utama pelayanan kefarmasiaan yang bertugas sebagai pelaksana atau pemberi pelayanan kesehatan diberi wewenang sesuai kompetensi pendidikan yang diperolehnya, sehingga terkait erat dengan hak dan kewajiban (Ikatan Apoteker Indonesia. 2011). Berdasarkan Peraturan pemerintah No. 51 tahun 2009 pasal 1, pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. Sebagai konsekuensi perubahan orientasi dari obat kepada pasien yang mengacu kepada pharmaceutical care (pelayanan kefarmasiaan) maka Apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan agar dapat melaksanakan interaksi langsung dengan pasien (Peraturan Pemerintah RI No. 51, 2009).

2.4. Peran Apoteker dalam Pelayanan Klinik di Apotek 2.4.1. Peran Apoteker Menurut WHO

Apoteker memiliki tujuh peran penting yang dikenal sebagai seven star of pharmacist pada publikasi WHO tentang The Role of Pharmacist in The Health Care System di Kanada 27-29 Agustus 1997. Tujuh peran tersebut adalah care giver (pemberi pelayanan), decision-maker (pemberi keputusan yang tepat),

communicator (kemampuan berkomunikasi antar profesi), leader (mampu menempatkan diri sebagai pimpinan dalam situasi multidisipliner), manager

(mampu mengelola SDM secara efektif), life-long learner (selalu belajar sepanjang karier) dan teacher (pemberi peluang untuk meningkatkan pengetahuan) (WHO, 1997).

2.4.2. Peran Apoteker Menurut Peraturan di Indonesia

(26)

fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak (UUD RI, 1945).

Pelayanan kefarmasian adalah bagian dari pelayanan kesehatan yang menjadi hak warga negara. Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 51 tahun 2009 pasal 1 ayat 3 pelayanan kefarmasian dilakukan oleh tenaga kefarmasian yang terdiri atas:

a. Apoteker: Sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan Apoteker.

Dalam melakukan Pelayanan Kefarmasian seorang Apoteker harus menjalankan peran yaitu (Permenkes RI No.35, 2014):

1. Pemberi layanan

Apoteker sebagai pemberi pelayanan harus berinteraksi dengan pasien. Apoteker harus mengintegrasikan pelayanannya pada sistem pelayanan kesehatan secara berkesinambungan.

2. Pengambil keputusan

Apoteker harus mempunyai kemampuan dalam mengambil keputusan dengan menggunakan seluruh sumber daya yang ada secara efektif dan efisien. 3. Komunikator

Apoteker harus mampu berkomunikasi dengan pasien maupun profesi kesehatan lainnya sehubungan dengan terapi pasien. Oleh karena itu harus mempunyai kemampuan berkomunikasi yang baik.

4. Pemimpin

Apotek er diharapkan memiliki kemampuan untuk menjadi pemimpin. Kepemimpinan yang diharapkan meliputi keberanian mengambil keputusan yang empati dan efektif, serta kemampuan mengkomunikasikan dan mengelola hasil keputusan.

5. Pengelola

Apoteker harus mampu mengelola sumber daya manusia, fisik, anggaran dan informasi secara efektif. Apoteker harus mengikuti kemajuan teknologi informasi dan bersedia berbagi informasi tentang obat dan hal-hal lain yang berhubungan dengan obat.

(27)

Apoteker harus terus meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan profesi melalui pendidikan berkelanjutan (Continuing Professional Development/ CPD)

7. Peneliti

Apoteker harus selalu menerapkan prinsip/kaidah ilmiah dalam mengumpulkan informasi sediaan farmasi dan pelayanan kefarmasian serta memanfaatkannya dalam pengembangan dan pelaksanaan pelayanan kefarmasiaan.

b. Tenaga teknis kefarmasian: Tenaga yang membantu Apoteker dalam menjalani pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi, dan Tenaga Menengah Farmasi/Asisten Apoteker.

Asisten Apoteker ini memliki ruang lingkup, tugas dan tanggung jawab, dan wewenang untuk melaksanankan penyiapan pekerjaan kefarmasian pada unit pelayanan kesehatan. Penyiapan pekerjaan kefarmasian yang dilakukan adalah penyiapan rencana kerja kefarmasian, penyiapan pengelolaan perbekalan farmasi dan penyiapan pelayanan farmasi klinik. Penyiapan pelayanan farmasi klinik adalah kegiatan-kegiatan yang meliputi dispensing dan penyusunan laporan kegiatan farmasi klinik (Permenkes No.376/MENKES/PER/V/2009, 2009).

2.5. Apotek

(28)

2.6. Pelayanan Kefarmasian Di Apotek

Pelayanan kefarmasian di Apotek tercantum jelas pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 35 tahun 2014. Pelayanan kefarmasian di Apotek meliputi 2 (dua) kegiatan, yaitu kegiatan yang bersifat manajerial berupa pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai dan pelayanan farmasi klinik.

2.6.1. Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan Bahan Medis Habis Pakai

Secara singkat dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 35 tahun 2014 dijelaskan bahwa pengelolaan sediaan Farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku meliputi perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pemusnahan, pengendalian, pencatatan dan pelaporan.

2.6.2. Pelayanan Farmasi Klinik Di Apotek

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 35 tahun 2014, pelayanan farmasi klinik di Apotek merupakan bagian dari pelayanan kefarmasian yang langsung dan bertanggung jawab kepada pasien berkaitan dengan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.

Pelayanan farmasi klinik meliputi: a. Pengkajian Resep

Kegiatan pengkajian resep meliputi administrasi, kesesuaian farmasetik dan pertimbangan klinis.

1. Kajian administratif meliputi:

a. nama pasien, umur, jenis kelamin dan berat badan

b. nama Dokter, nomor Surat Izin Praktik (SIP), alamat, nomor telepon dan paraf.

c. tanggal penulisan resep

2. Kajian kesesuaian farmasetik meliputi: a. bentuk dan kekuatan sediaan

b. stabilitas

(29)

3. Pertimbangan klinis meliputi: a. ketepatan indikasi dan dosis obat b. aturan, cara dan lama penggunaan obat c. duplikasi dan/atau polifarmasi

d. reaksi obat yang tidak diinginkan (alergi, efek samping obat, manifestasi klinis lain)

e. kontra indikasi dan interaksi

Jika ditemukan adanya ketidaksesuaian dari hasil pengkajian maka Apoteker harus menghubungi dokter penulis resep.

b. Dispensing

Dispensing terdiri dari penyiapan, penyerahan dan pemberian informasi obat. Apoteker menyiapkan obat sesuai dengan permintaan resep, melakukan peracikan obat bila diperlukan, memberikan etiket, memasukkan obat ke dalam wadah yang tepat dan terpisah untuk obat yang berbeda untuk menjaga mutu obat dan menghindari penggunaan yang salah. Apoteker di Apotek juga dapat melayani obat non resep atau pelayanan swamedikasi. Apoteker harus memberikan edukasi kepada pasien yang memerlukan obat non resep untuk penyakit ringan dengan memilihkan obat bebas atau bebas terbatas yang sesuai.

Rincian standar praktik Apoteker Indonesia berupa dispensing juga dijelaskan lebih rinci oleh Ikatan Apoteker Indonesia (IAI). Rincian praktik tersebut ada pada standar 3 praktik Apoteker (IAI, 2013):

1. Apoteker menerapkan cara dispensing yang baik

2. Apoteker memastikan resep yang diterima berasal dari dokter

3. Memastikan resep yang diterima sesuai dengan nama pasien yang dimaksud.

4. Apoteker memastikan obat yang tertera dalam resep sesuai dengan tujuan penggunaan obat pasien.

5. Memastikan resep tidak berpotensi menimbulkan masalah DRP. 6. Apoteker berkomunikasi dengan dokter.

7. Apoteker melakukan dispensing obat sitostatika secara tepat.

(30)

9. Apoteker melakukan pengecekan ulang terhadap identitas pasien. 10. Apoteker menyelesaikan dispensing tepat waktu.

11. Memastikan pasien paham bila terjadi penggantian merek obat. 12. Memastikan pasien memahami tentang obat yang diterimanya

c. Pelayanan Informasi Obat (PIO)

Pelayanan Informasi Obat merupakan kegiatan yang dilakukan oleh Apoteker dalam pemberian informasi mengenai obat yang tidak memihak, dievaluasi dengan kritis dan dengan bukti terbaik dalam segala aspek penggunaan obat kepada profesi kesehatan lain, pasien atau masyarakat. Informasi mengenai obat termasuk obat resep, obat bebas dan herbal (Permenkes, 2014).

Informasi meliputi dosis, bentuk sediaan, formulasi khusus, rute dan metode pemberian, farmakokinetik, farmakologi, terapeutik dan alternatif, efikasi, keamanan penggunaan pada ibu hamil dan menyusui, efek samping, interaksi, stabilitas, ketersediaan, harga, sifat fisika atau kimia dari obat dan lain-lain. Kegiatan pelayanan informasi obat di Apotek meliputi (Permenkes, 2014):

a. menjawab pertanyaan baik lisan maupun tulisan.

b. membuat dan menyebarkan buletin/brosur/leaflet, pemberdayaan masyarakat (penyuluhan).

c. memberikan informasi dan edukasi kepada pasien.

d. memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada mahasiswa farmasi yang sedang praktik profesi.

e. melakukan penelitian penggunaan obat.

f. membuat atau menyampaikan makalah dalam forum ilmiah. g. melakukan program jaminan mutu.

h. Pelayanan informasi obat harus didokumentasikan untuk membantu penelusuran kembali dalam waktu yang relatif singkat dengan menggunakan formulir sesuai format yang telah ditetapkan.

Dalam standar praktik kefarmasian yang dijelaskan dalam IAI Pelayanan Informasi Obat adalah bagian dari Konseling dimana dalam pelaksanaannya harus memperhatikah hal-hal seperti berikut (IAI, 2013):

(31)

b. Apoteker memberikan penjelasan dan uraian atas setiap obat yang diberikan kepada pasien.

c. Apoteker memberikan konseling obat kepada pasien dan keluarga. d. Melakukan konseling sesuai informasi terkini dan berbasis bukti.

e. Apoteker menggunakan berbagai macam metode komunikasi untuk menjamin efektifitas konseling.

f. Apoteker secara aktif menyediakan bahan informasi. g. Apoteker mendokumentasikan pelayanan konseling.

h. Apoteker memelihara pengetahuan dan keterampilan untuk memberikan pelayanan informasi obat.

i. Apoteker memiliki akses ke sumber informasi terkini yang relevan untuk mendukung pelayanan.

j. Apoteker mengevaluasi mutu pelayanan informasi obat.

d. Konseling

Konseling merupakan proses interaktif antara Apoteker dengan pasien/keluarga untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman, kesadaran dan kepatuhan sehingga terjadi perubahan perilaku dalam penggunaan obat dan menyelesaikan masalah yang dihadapi pasien. Untuk mengawali konseling, Apoteker menggunakan three prime questions. Apabila tingkat kepatuhan pasien dinilai rendah, perlu dilanjutkan dengan metode Health Belief Model. Apoteker harus melakukan verifikasi bahwa pasien atau keluarga pasien sudah memahami obat yang digunakan. Kriteria pasien/keluarga pasien yang perlu diberi konseling: 1. Pasien kondisi khusus (pediatri, geriatri, gangguan fungsi hati dan/atau

ginjal, ibu hamil dan menyusui).

2. Pasien dengan terapi jangka panjang/penyakit kronis (misalnya: TB, DM, AIDS, epilepsi).

3. Pasien yang menggunakan obat dengan instruksi khusus (penggunaan kortikosteroid dengan tappering down/off).

4. Pasien yang menggunakan obat dengan indeks terapi sempit (digoksin, fenitoin, teofilin).

(32)

dari satu obat untuk penyakit yang diketahui dapat disembuhkan dengan satu jenis obat.

6. Pasien dengan tingkat kepatuhan rendah.

Tahap kegiatan konseling:

1. Membuka komunikasi antara Apoteker dengan pasien

2. Menilai pemahaman pasien tentang penggunaan obat melalui Three Prime Questions, yaitu:

a) Apa yang disampaikan Dokter tentang obat Anda?

b) Apa yang dijelaskan oleh Dokter tentang cara pemakaian obat Anda? c) Apa yang dijelaskan oleh Dokter tentang hasil yang diharapkan setelah

Anda menerima terapi obat tersebut?

Adapun hal yang harus diperhatikan dalam pengkajian penggunaan obat menurut standar praktik kefarmasian IAI 2013:

a. Apoteker menggali riwayat penggunaan obat pasien (patient’s history

taking).

b. Apoteker mengkaji (review) interaksi obat dengan obat, obat dengan makanan, dan kontra indikasi terhadap pasien.

c. Apoteker melakukan identifikasi, dokumentasi dan mempertimbangkan kemungkinan terjadinya ADR dan precaution serta kondisi kontraindikasi. d. Menjamin pasien mematuhi penggunaan obat secara rasional.

e. Mampu menyelesaikan masalah penggunaan obat yang rasional. f. Apoteker mampu melakukan telaah penggunaan obat pasien. g. Melakukan Monitoring Efek Samping Obat (MESO).

h. Mampu melakukan Evaluasi Penggunaan Obat (EPO).

i. Mampu melakukan praktik Therapeutic Drug Monitoring (TDM). j. Mampu mendampingi pengobatan mandiri (swamedikasi) oleh pasien. 3. Menggali informasi lebih lanjut dengan memberi kesempatan kepada pasien

untuk mengeksplorasi masalah penggunaan obat.

4. Memberikan penjelasan kepada pasien untuk menyelesaikan masalah penggunaan obat.

(33)

6. Apoteker mendokumentasikan konseling dengan meminta tanda tangan pasien sebagai bukti bahwa pasien memahami informasi yang diberikan dalam konseling dengan menggunakan formulir sesuai ketetapan peraturan.

e. Pelayanan Kefarmasian di Rumah (Home Pharmacy Care)

Apoteker sebagai pemberi layanan diharapkan juga dapat melakukan pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya. Jenis Pelayanan Kefarmasian di rumah yang dapat dilakukan oleh Apoteker, meliputi :

1. Penilaian/pencarian (assessment) masalah yang berhubungan dengan pengobatan.

2. Identifikasi kepatuhan pasien. Pendampingan pengelolaan obat dan/atau alat kesehatan di rumah, misalnya cara pemakaian obat asma, penyimpanan insulin.

3. Konsultasi masalah obat atau kesehatan secara umum.

4. Monitoring pelaksanaan, efektifitas dan keamanan penggunaan obat berdasarkan catatan pengobatan pasien.

5. Dokumentasi pelaksanaan pelayanan kefarmasian di rumah dengan menggunakan formulir yang telah ditetapkan.

f. Pemantauan Terapi Obat (PTO)

Merupakan proses yang memastikan bahwa seorang pasien mendapatkan terapi obat yang efektif dan terjangkau dengan memaksimalkan efikasi dan meminimalkan efek samping. Kriteria pasien:

1. Anak-anak dan lanjut usia, ibu hamil dan menyusui. 2. Menerima obat lebih dari 5 (lima) jenis.

3. Adanya multidiagnosis.

4. Pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau hati. 5. Menerima obat dengan indeks terapi sempit.

6. Menerima obat yang sering diketahui menyebabkan reaksi obat yang merugikan.

Kegiatan:

(34)

2. Mengambil data yang dibutuhkan yaitu riwayat pengobatan pasien yang terdiri dari riwayat penyakit, riwayat penggunaan obat dan riwayat alergi, melalui wawancara dengan pasien atau keluarga pasien atau tenaga kesehatan lain. 3. Melakukan identifikasi masalah terkait obat. Masalah terkait obat antara lain

adalah adanya indikasi tetapi tidak diterapi, pemberian obat tanpa indikasi, pemilihan obat yang tidak tepat, dosis terlalu tinggi, dosis terlalu rendah, terjadinya reaksi obat yang tidak diinginkan atau terjadinya interaksi obat. 4. Apoteker menentukan prioritas masalah sesuai kondisi pasien dan menentukan

apakah masalah tersebut sudah atau berpotensi akan terjadi.

5. Memberikan rekomendasi atau rencana tindak lanjut yang berisi rencana pemantauan dengan tujuan memastikan pencapaian efek terapi dan meminimalkan efek yang tidak dikehendaki.

6. Hasil identifikasi masalah terkait obat dan rekomendasi yang telah dibuat oleh Apoteker harus dikomunikasikan dengan tenaga kesehatan terkait untuk mengoptimalkan tujuan terapi.

7. Melakukan dokumentasi pelaksanaan pemantauan terapi obat dengan

menggunakan formulir yang telah ditetapkan

g. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)

Merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap obat yang merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi pada dosis normal yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis dan terapi atau memodifikasi fungsi fisiologis. Kegiatan:

1. Mengidentifikasi obat dan pasien yang mempunyai resiko tinggi mengalami efek samping obat.

2. Mengisi formulir Monitoring Efek Samping Obat (MESO).

3. Melaporkan ke Pusat Monitoring Efek Samping Obat Nasional dengan menggunakan formulir 10 sebagaimana terlampir.

Faktor yang perlu diperhatikan:

1. Kerjasama dengan tim kesehatan lain.

(35)

2.7. Diabetes Melitus 2.7.1. Pendahuluan

Diabetes adalah salah satu penyakit tidak menular yang menjadi prioritas ke empat penyakit yang diidentifikasi oleh WHO bersama dengan penyakit

cardiovascular disease (CVD), yang mencakup serangan jantung, stroke, kanker dan penyakit pernapasan kronis. Diabetes melitus merupakan penyakit yang sering diderita oleh sebagian besar orang di dunia, bersifat kronis dan pembiayaannya mahal. Penyakit diabetes ini ditandai dengan hiperglikemia (tingginya kadar glukosa dalam darah), akibat kurangnya insulin yang dihasilkan dalam tubuh karena kerusakan pankreas (diabetes tipe 1) atau akibat resistensi insulin (diabetes tipe 2) (International Diabetes Federation, 2011).

Tabel 2.1 Diagnosis DM dari ACCP/ADA 2013

Gula darah terkontrol Prediabetes Diabetes Melitus (DM)

Berdasarkan data WHO, 347 juta penduduk dunia mengidap penyakit diabetes yang didominasi oleh diabetes tipe 2 sebanyak 90%. Diprediksi bahwa pada tahun 2030 penyakit diabetes ini akan menjadi 7 penyakit terbesar di dunia yang menyebabkan kematian. Kematian akibat diabetes 80% akan terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah, dengan usia penduduk antara 35-64 tahun. Total kematian akibat diabetes diproyeksikan meningkat lebih dari 50% dalam 10 tahun kedepan (WHO, 2013).

(36)

dilakukan pada responden dengan umur > 15 tahun didapatkan hasil bahwa prevalensi diabetes mellitus menduduki peringkat ke empat di Indonesia.

2.7.3. Penatalaksanaan Diabetes

Penatalaksanaan diabetes mempunyai tujuan akhir untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas DM, yang secara spesifik ditujukan untuk mencapai 2 target utama, yaitu (Azrifitria dan Silma Awalia, 2013):

a. Menjaga agar kadar glukosa plasma berada dalam kisaran normal.

b. Mencegah atau meminimalkan kemungkinan terjadinya komplikasi diabetes.

The American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan beberapa parameter yang dapat digunakan untuk menilai keberhasilan penatalaksanaan diabetes.

Tabel 2.2 Penatalaksanaan Diabetes

Parameter Glikemik

GDP 70-130 mg/dL

Kadar glukosa 2 jam setelah makan <180 mg/dL

Hemoglobin A1c < 7%

Parameter Non Glikemik

Tekanan Darah < 130/80 mmHg

LDL

< 100 mg/dL

< 70 mg/dL (dengan penyakit kardiovaskular)

HDL > 40 mg/dL (Pria)

> 50 mg/dL (Wanita)

Trigliserida < 150 mg/dL

Sumber: Farmakoterapi Diabetes, 2013

(37)

direkomendasikan. Latihan fisik ini diperlukan karena dapat meningkatkan metabolisme karbohidrat, meningkatkan sensitivitas terhadap insulin dan meningkatkan fungsi kardiovaskular (Sweetman.S., 2009).

Bila dalam 3 bulan pemberian terapi non farmakologi tidak menunjukkan perubahan pada pasien diabetes melitus maka penambahan terapi farmakologi berupa pemberian obat antidiabetes oral bisa dilakukan. Terdapat dua golongan utama obat antidiabetes oral yang bisa diberikan yaitu kelas sulfonilurea dan kelas biguanid (Sweetman.S, 2009).

Umumnya pengobatan awal untuk penyakit diabetes ini adalah kombinasi dari perubahan gaya hidup lebih sehat dengan penggunaan obat metformin (Maric Andreja, 2010). Metformin ini menimbulkan efek hipoglikemia yang rendah namun mudah menyebabkan terjadinya laktat asidosis pada pasien yang mengalami kerusakan ginjal (Sweetman.S., 2009). Metformin menurunkan glukosa darah dengan cara menghambat produksi glukosa hepatik dan menurunkan resistensi terhadap insulin. Penggunaan metformin secara tunggal, mampu menurunkan HbA1c sampai 1,5% (Maric Andreja. 2010).

Dosis awal metformin 500 mg adalah dua atau tiga kali per hari atau 850 mg satu atau dua kali perhari setelah makan (Sweetman.S., 2009). Metformin digunakan saat sedang makan untuk mengurangi efek samping yang berhubungan dengan pencernaan (McEvoy, 2002). Metformin ini mampu mengalami interaksi bila digabungkan dengan obat lain, contohnya simetidin. Penggunaan simetidin dan metformin secara bersamaan bisa menyebabkan penurunan ekskresi metformin oleh ginjal sehingga bisa menyebabkan lactic acidosis. Maka bila kedua obat ini harus di gunakan dalam waktu yang sama atau berdekatan maka turunkan dosis metformin untuk mencegah interaksi tersebut (Baxter Karen, 2008).

2.8. Pelayanan Kefarmasian Pada Pasien Diabetes

Secara prinsip, pelayanan kefarmasian terdiri dari beberapa tahap yang harus dilaksanakan secara berurutan (Depkes RI, 2005):

(38)

Penyusunan database dilakukan dengan menyalin nama, umur, berat badan pasien serta terapi yang diberikan yang tertera pada resep. Mengenai masalah medis (diagnosis, gejala) yang selanjutnya dikonfirmasikan ulang kepada pasien dan dokter bila perlu. Riwayat alergi, riwayat obat (riwayat penggunaan obat satu bulan terakhir). Hal ini diperlukan untuk memprediksikan efek samping dan efek yang disebabkan masalah terapi obat lainnya, serta untuk membantu pemilihan obat.

b. Evaluasi atau Pengkajian (Assessment)

Tujuan yang ingin dicapai dari tahap ini adalah identifikasi masalah yang berkaitan dengan terapi obat. Pelaksanaan evaluasi dilakukan dengan membandingkan problem medik, terapi, dan database yang telah disusun, kemudian dikaitkan dengan pengetahuan tentang farmakoterapi, farmakologi dan ilmu pengetahuan lain yang berkaitan.

c. Penyusunan rencana pelayanan kefarmasian (RPK)

Rekomendasi terapi, rencana monitoring (monitoring efektivitas terapi, Monitoring Reaksi Obat Berlawanan (ROB)) dan rencana konseling)

d. Implementasi RPK dan monitoring implementasi

Kegiatan ini merupakan upaya melaksanakan Rencana Pelayanan Kefarmasian (RPK) yang sudah disusun. Rekomendasi terapi yang sudah disusun dalam RPK, selanjutnya dikomunikasikan kepada dokter penulis resep, lalu lakukan monitoring.

e. Tindak Lanjut

Tindak lanjut merupakan kegiatan yang menjamin kesinambungan pelayanan kefarmasian sampai pasien dinyatakan sembuh atau tertatalaksana dengan baik. Kegiatan yang dilakukan dapat berupa pemantauan perkembangan pasien baik perkembangan kondisi klinik maupun perkembangan terapi obat dalam rangka mengidentifikasi ada atau tidaknya Masalah Terapi Obat (MTO) yang baru. Bila ditemukan MTO baru, maka selanjutnya apoteker menyusun atau memodifikasi RPK.

Kegiatan lain yang dilakukan dalam follow-up adalah memantau hasil atau

(39)

follow-up memang sulit dilaksanakan di lingkup farmasi komunitas, kecuali pasien kembali ke Apotek yang sama, apoteker secara aktif menghubungi pasien atau pasien menghubungi Apoteker melalui telepon.

2.9. Peran Apoteker dalam Penatalaksanaan Diabetes Melitus

Kontribusi apoteker ini pada intinya adalah penatalaksanaan penyakit, berarti mencakup terapi obat dan non-obat (Depkes RI, 2005):

a. Mengidentifikasi dan Menilai Kesehatan pasien

Apoteker dapat mengidentifikasi pasien-pasien yang tidak menyadari kalau mereka menderita diabetes. Identifikasi mentargetkan pasien-pasien dengan resiko tinggi, termasuk pasien obesitas, pasien > 40 tahun, pasien dengan tekanan darah tinggi atau dislipidemia, pasien dengan sejarah keluarga diabetes, dan pasien yang mempunyai sejarah gestasional diabetes atau melahirkan anak dengan berat badan > 4,5 kg.

b. Merujuk pasien

Salah satu peran apoteker yang tidak kalah penting adalah merujuk pasien kepada tim perawatan diabetes lainnya seperti bagian gizi, poliklinik mata, pediatris, gigi dan lainnya bila diperlukan. Depresi juga sering dijumpai pada pasien diabetes, sehingga dapat dirujuk ke bagian penyakit jiwa bila diperlukan. c. Memantau Penatalaksanaan diabetes

Pemantauan terhadap kondisi penderita dapat dilakukan apoteker pada saat pertemuan konsultasi rutin atau pada saat penderita menebus obat, atau dengan melakukan hubungan telepon. Pemantauan kondisi penderita sangat diperlukan untuk menyesuaikan jenis dan dosis terapi. Apoteker harus mendorong penderita untuk melaporkan keluhan ataupun gangguan kesehatan yang dirasakannya sesegera mungkin. Apoteker juga harus memantau tingkat kenormalan:

a. Tekanan darah (target < 130/80 mm Hg) b. LDL kolesterol (target < 100 mg/dl)

c. Penggunaan aspirin untuk pasien DM dengan hipertensi dan resiko jantung d. Pemeriksaan mata, kaki, gigi (1x/tahun)

(40)

Penjelasan diberikan kepada pasien mengenai target dan diharapkan pasien mengerti mengapa monitoring memegang peranan penting dalam terapi pencegahan komplikasi yang bisa memperburuk penyakit.

d. Menjaga dan meningkatkan kepatuhan pasien terhadap jadwal terapi Ada 6 langkah yang dapat dilakukan:

a. Libatkan pasien, ciptakan suasana dimana pasien menjadi peduli dan bersedia untuk membantu menangani masalah yang berhubungan dengan obat.

b. Spesifik, dapatkan rincian spesifik bila pasien mendiskusikan masalah obatnya.

c. Identifikasi hambatan utama yang mempengaruhi kepatuhan pasien dalam minum obatnya.

d. Simpulkan masalah pasien.

e. Memecahkan masalah dengan memberi saran pada pasien seperti berikut : a) Meminum obat sesuai dengan yang diresepkan

b) Untuk mendapatkan hasil optimal, jadwal meminum obat harus dipatuhi c) Bila anda masalah dengan efek samping yang dialami, kekhawatiran biaya

obat sehingga mengharapkan obat alternatif lain yang lebih murah maka harus dibicarakan pada dokter.

d) Bila regimen obat terlalu susah, menjadi beban, atau membingungkan tanyakan ke dokter atau Apoteker.

e) Jumlah obat yang anda minum bukanlah pertanda betapa sehat atau tidak sehatnya anda. Lebih baik anda diskusi dengan Dokter atau Apoteker tentang target pengobatan seharusnya (misalnya target kadar gula, tekanan darah, kadar kolesetrol dsb).

f) Bila anda merasa depresi atau tertekan dengan ruwetnya penanganan diabetes anda, bicarakan dengan dokter atau apoteker.

e. Akhiri pertemuan, tanyakan langkah apa yang akan dilakukan pasien setelah diskusi dengan apoteker.

(41)

Biasanya pertanyaan berkisar tentang penyebab penyakit dan gejala-gejala yang harus diwaspadai, pemeriksaan diagnostik yang harus dilakukan, hal-hal apa yang harus dihindari untuk mencegah atau memperlambat perkembangan penyakit, tentang terapi obat dan efek samping obat, tentang komplikasi dan pencegahannya, sampai pada perawatan kaki, kulit, mulut dan gigi dan lain sebagainya.

h. Memberikan Pendidikan dan Konseling

Tujuan pendidikan kepada pasien adalah untuk memberikan pengetahuan dan kemampuan kepada pasien untuk berpartisipasi dalam pengobatannya. Penelitian menunjukkan bahwa pasien yang tidak pernah mendapat pendidikan mengenai diabetes, resiko untuk komplikasi major meningkat 4 kali lipat. Materi inti untuk pendidikan yang komprehensif yang dapat diberikan kepada pasien diabetes (Sumber: National Standard for diabetes self-management education, Diabetes Care 2005) terdiri dari definisi diabetes, proses penyakit, dan pilihan pengobatan, terapi nutrisi, aktivitas fisik, penggunaan obat, memonitor kadar gula sendiri, mencegah, mendeteksi, dan mengobati komplikasi-komplikasi akut dan kronis, target untuk mencapai hidup sehat, menyesuaikan sendiri perawatan dalam kehidupan sehari-hari (problem solving) serta penyesuaian psikososial dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan kepada pasien dapat diberikan dalam 3 tahap: a. Tahap I : Segera dilaksanakan setelah pasien di diagnosa dengan DM sehingga

dapat membantu mengatasi kebingungan, syok, terkejut dan lain sebagainya. Apoteker berusaha membantu pasien memahami dan menerima diagnosis. b. Tahap II : Memberikan informasi yang lebih dalam, dengan berfokus pada

masalah yang telah teridentifikasi sewaktu menilai pasien (misalnya peripheral neuropathy) dan hal-hal lain yang mungkin dapat diantisipasi (misalnya mengatasi reaksi hipoglikemi). Kegunaan dan cara minum obat yang benar harus dijelaskan.

(42)

Secara umum, tujuan jangka panjang yang ingin dicapai dengan memberikan penyuluhan atau konseling kepada penderita diabetes dan keluarganya antara lain:

a. Agar penderita DM memiliki harapan hidup lebih lama dengan kualitas hidup yang optimal. Kualitas hidup sudah merupakan keniscayaan. Seseorang yang dapat bertahan hidup tetapi dengan kualitas hidup yang rendah, akan menggangggu kebahagiaan dan ketenangan keluarga.

b. Untuk membantu penderita DM agar dapat merawat dirinya sendiri, sehingga komplikasi yang mungkin timbul dapat diminimalkan, selain itu juga agar jumlah hari sakit dapat ditekan.

c. Agar penderita DM dapat berfungsi dan berperan optimal dalam masyarakat. d. Agar penderita DM dapat lebih produktif dan bermanfaat.

e. Untuk menekan biaya perawatan, baik yang dikeluarkan secara pribadi, keluarga ataupun negara.

(43)
(44)

3.2.Definisi Operasional

No Variabel Definisi Operasional Alat Ukuran Skala

1. Kehadiran di Apotek Keberadaan Apoteker di tempat

kerja/apotek saat Apotek buka

apoteker hadir 3 kali seminggu

d. Skor 2

apoteker hadir 2 kali seminggu

e. Skor 1

apoteker hadir 1 minggu sekali

f. Skor 0

Kehadiran apoteker tidak bisa ditentukan

2 Pelaksana pelayanan klinik Apoteker/petugas Apotek (Non

(45)

3 Dispensing Kesesuaian obat baik dari jenis dan jumlah sesuai dengan resep yang dilakukan oleh pemberi pelayanan di Apotek

Checklist Hasil perhitungan skor akan dibuat rata-rata persentase dan digolongkan

Checklist Hasil perhitungan skor dari ketepatan menjawab pertanyaan yang ada dalam

a. Tujuan penggunaan Informasi yang diberikan Apoteker atau

(46)

menurunkan gula darah atau waktu obat harus dikonumsi dari segi waktu. Jawaban dinyatakan tepat bila informasi yang disampaikan:

- Metformin digunakan pada pagi dan sore hari atau digunakan 2 kali sehari dengan selang waktu 12 jam

(47)

e. Jumlah obat sekali minum Informasi yang diberikan Apoteker atau tablet obat digunakan saat sekali minum

Checklist a. Skor 1 Jawaban tepat

b. Skor 0

Jawaban tidak tepat

Skala nominal

f. Nama obat Informasi yang diberikan Apoteker atau

petugas Apotek (non Apoteker) tentang

g. Indikasi Informasi yang diberikan Apoteker atau

petugas Apotek (non Apoteker) tentang kondisi penyakit yang memerlukan penggunaan obat dalam resep. Informasi dinyatakan tepat bila hal yang

disampaikan adalah:

- Metformin: digunakan untuk DM tipe 2 atau digunakan untuk DM tahap awal

- Simetidin: digunakan untuk mengatasi sakit lambung

h. Interaksi Informasi yang diberikan Apoteker atau

petugas Apotek (non Apoteker) tentang - Metformin akan menurun ekskresinya

(48)

i. Pencegahan interaksi Informasi yang diberikan Apoteker atau lebih kecil bila penggunaan kedua obat harus dalam waktu yang sama atau konsultasikan dengan dokter tentang obat pilihan mag lain yang tidak berinteraksi dengan metformin.

j. Efek samping obat (ESO) Informasi yang diberikan Apoteker atau

petugas Apotek (non Apoteker) tentang reaksi yang tidak diharapkan muncul diakibatkan dari penggunaan obat. informasi dinyatakan tepat bila hal yang disampaikan adalah: metformin

k. Pencegahan ESO Informasi yang diberikan Apoteker atau

(49)

l. Gejala ESO Informasi yang diberikan Apoteker atau tidak enak pada perut seperti sakit mag atau cenderung sering buang air besar.

Checklist a. Skor 1 tepat bila info yang disampaikan adalah - untuk menjaga agar gula darah

terkontrol maka disarankan pasien untuk menghindari makanan dengan kandungan tinggi gula, karbohidrat yang berlebihan

- untuk mencegah parahnya penyakit mag yang dialami pasien maka hindari makanan yang pedas, asam, minuman

n. Cara penyimpanan Apoteker atau petugas Apotek (non

Apoteker) menyarankan tentang tata cara penempatan obat. Informasi dinyatakan tepat bila info yang disampaikan adalah:

Simpan obat suhu ruangan, di tempat tertutup dan terjaga dari cahaya

4 Konseling Bentuk pelayanan klinik dimana

(50)

melakukan tahapan konseling kepada

2. Apa yang dijelaskan dokter tentang

cara pemakaian obat anda?

3. Apa yang dijelasan oleh dokter

(51)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Alur Penelitian

Penelitian Pendahuluan

Pendataan jumlah apotek pada wilayah Kecamatan Garut Kota, Kecamatan Tarogong Kaler dan

Kecamatan Tarogong Kidul

Persiapan Instrumen Penelitian

- Skenario - Lembar Resep - Protokol Penelitian

- Check List

- Alat Perekam

Validasi Instrumen

- Validasi Isi - Validasi Rupa

Teknik Pengumpulan Data

Interaksi langsung dengan apoteker sebagai keluarga pasien

simulasi

Managemen Data Editing, Coding, data

processing

Analisis Data

Analisis univariat dengan

(52)

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian 4.2.1. Lokasi

Penelitian ini dilakukan di Kecamatan wilayah Kabupaten Garut yaitu Kecamatan Garut Kota, Kecamatan Tarogong Kaler dan Kecamatan Tarogong Kidul di Kabupaten Garut. Alasan pemilihan Lokasi ini adalah dikarenakan distribusi apotek terbanyak di kabupaten Garut ada di tiga kecamatan tersebut.

4.2.2. Waktu Penelitian

Waktu penelitian pendahuluan dilakukan pada bulan November 2014 dan waktu pengumpulan data, pengolahan dan pembahasan dilakukan pada bulan Maret – Mei 2015.

4.3. Rancangan Penelitian

Penelitian ini berupa penelitian non-eksperimental. Desain penelitian ini ex post facto (Sarwono Jonathan, 2006). Ditinjau dari metode, penelitian ini adalah penelitian jenis survei dimana peneliti tidak melakukan perubahan (tidak ada perlakuan khusus) terhadap variabel-variabel yang diteliti dan menurut tingkat eksplanasi (penjelasan) penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dimana penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui nilai variabel mandiri, baik satu variabel atau lebih (independent) tanpa membuat perbandingan, atau penghubungan dengan variabel yang lain (Siregar Syofian, 2013).

(53)

4.4. Populasi dan Sampel 4.4.1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh apotek yang berada di wilayah Kecamatan Garut Kota, Kecamatan Tarogong Kaler dan Kecamatan Tarogong Kidul di Kabupaten Garut. Sedangkan populasi sasaran dari penelitian ini adalah apoteker atau petugas apotek (non Apoteker) di seluruh apotek yang berada di wilayah Kecamatan tersebut.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Garut sampai bulan November 2014 di dapat jumlah populasi Apotek di tiga Kecamatan tersebut sebanyak 71. Dengan rincian sebagai berikut:

a. Jumlah populasi Apotek di Kecamatan Garut Kota adalah 41 b. Jumlah populasi apotek di Kecamatan Tarogong Kidul adalah 22 c. Jumlah populasi Apotek di Kecamatan Tarogong Kaler adalah 8

4.4.2. Sampel

Populasi dalam penelitian ini terbagi dalam tiga Kecamatan dengan jumlah Apotek berbeda pada setiap Kecamatan dan tidak ada sumber yang menyatakan Apotek di tiga Kecamatan tersebut bersifat homogen. Maka pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan dengan metode Sampel Random Berstrata (Stratified Random Sampling).

Berdasarkan jumlah populasi yang sudah diketahui jumlahnya yaitu 71 Apotek maka jumlah unit sampel Apotek dapat dihitung dengan menggunakan rumus (Lwanga dan Lemeshow, 1991 dikutip dari Jurnal umi athiyah et al., 2014):

………(1)

Keterangan :

n = Jumlah sampel

N = Jumlah populasi apotek

(54)

Berdasarkan hasil perhitungan maka didapat hasil 23 sebagai jumlah sampel minimal yang diperlukan dalam penelitian maka dilakukan pembulatan jumlah sampel dalam penelitian ini yaitu 35 Apotek dengan unit sampel (sasaran penelitian) Apoteker atau petugas Apotek. Sampel apotek yang diambil pada setiap kecamatan adalah:

1. Apotek di Kecamatan Garut Kota :

apotek

2. Apotek di Kecamatan Tarogong Kidul :

apotek

3. Apotek di Kecamatan Tarogong Kaler :

apotek

Setelah jumlah sampel ditetapkan pada tiap kecamatan, kemudian dilanjutkan dengan pengambilan sampel (Apotek) pada tiap kecamatan secara random.

4.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi 4.5.1. Kriteria Inklusi

1. Apotek yang berada di wilayah Kecamatan Garut Kota, Kecamatan Tarogong Kaler dan Tarogong Kidul di Kabupaten Garut.

2. Apotek yang memiliki surat izin resmi dan terdata di Dinas Kesehatan Kabupaten Garut.

4.5.2. Kriteria Eksklusi

1. Apotek yang telah tutup saat penelitian dilakukan.

4.6. Langkah Penelitian 4.6.1. Penelitian Pendahuluan

Sebelum penelitian, dilakukan survei pendahuluan. Tujuan dilakukannya survei pendahuluan adalah untuk memastikan jumlah apotek di daerah Garut Kecamatan Garut Kota, Kecamatan Tarogong Kaler dan Kecamatan Tarogong Kidul. Penelitian pendahuluan ini dilakukan pada bulan November 2014 dengan cara meminta data apotek resmi di tiga Kecamatan tersebut dari Dinas Kesehatan Kabupaten Garut.

4.6.2. Instrumen Penelitian

(55)

2. Lembar Resep Obat Antidiabetes 3. Protokol Penelitian

4. Check List (Lampiran 1) 5. Alat perekam

Skenario dalam penelitian ini menempatkan peneliti sebagai keluarga pasien yang ingin menebus obat antidiabetes untuk salah satu keluarga peneliti yang terjangkit penyakit diabetes melitus. Pasien diabetes melitus tersebut merupakan seorang wanita berumur 40 tahun, baru terdiagnosis diabetes melitus tipe 2, pasien ini memiliki keluhan berupa sakit mag. Dalam skenario ini dipilih obat metformin 500 mg dan simetidin untuk diresepkan pada pasien. Skenario obat ini kemudian di tuliskan dalam resep. Resep yang digunakan dalam penelitian ini adalah resep yang dituliskan oleh dokter, dimana dokter menjadi pihak yang membantu dalam melengkapi instrumen penelitian.

Protokol penelitian ini adalah selama penelitian peneliti tidak diperbolehkan menunjukkan check list saat mengajukan pertanyaan dan peneliti tidak ikut serta membantu atau menambahkan jawaban dari narasumber di Apotek. Hal ini dilakukan agar jawaban yang didapatkan murni berasal dari narasumber di Apotek. Peneliti harus bersikap objektif dalam menggambarkan keadaan setiap Apotek dan Apoteker yang ada di dalamnya. Peneliti juga dituntut untuk memberi perlakuan yang sama pada setiap Apotek yang didatangi sehingga data yang dihasilkan bersifat objektif.

Check list yang digunakan dalam penelitian diambil dari jurnal Profil Informasi Obat pada Pelayanan Resep Metformin dan Glibenklamid di Apotek Wilayah Surabaya yang dibuat Umi Athiyah dkk (2014) karena mampu menggambarkan peran apoteker dalam pemberian informasi obat, telah tervalidasi dan sesuai garis besar informasi obat yang harus disampaikan menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 35 Tahun 2014.

4.6.3. Validitas Instrumen

(56)

Kesehatan Republik Indonesia No.35 tahun 2014 dan mampu mengiterpretasikan hal-hal yang ingin dianalisa sesuai dengan tujuan penelitian.

Validitas rupa menunjukkan apakah alat pengukur/instrument penelitian dari segi rupanya mampu mengukur apa yang ingin di ukur, validitas ini lebih mengacu pada bentuk dan penampilan instrument. Menurut Djamaludin Ancok validitas rupa amat penting dalan pengukuran kemampuan individu seperti pengukuran kejujuran, kecerdasan, bakat dan keterampilan (Siregar Syofian, 2013). Metode simulasi pasien memiliki validitas rupa bila penyedia layanan kesehatan tidak mengetahui adanya simulasi keluarga pasien (Watson et .al, 2004 dikutip dari jurnal umi athiyah et al., 2014). Validitas dalam penelitian ini sangat bergantung pada kemampuan dari peneliti sebagai bagian dari simulasi pasien diamana poisi peneliti sebagai keluarga pasien. Untuk memastikan kemampuan pasien cukup maka dilakukan pilot atau uji coba langsung pada suatu apotek (Watson et.al, 2006 dikutip dari umi athiyah et al., 2014).

Validitas penelitian ini ditingkatkan dengan penggunaan alat perekam dalam melakukan pengumpulan data, sehingga kemungkinan kehilangan informasi menjadi berkurang (Madden et.al, 1997 dikutip dari umi athiyah et al., 2014).

4.6.4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara dengan metode simulasi pasien dan teknik observasi. Wawancara dilakukan dengan cara berinteraksi langsung dengan apoteker atau petugas Apotek di Apotek terpilih. Metode simulasi pasien ini digunakan untuk mempelajari perilaku penyedia layanan kesehatan untuk meminimalkan bias karena pengamatan (Madden et al, 1997 dikutip dari umi athiyah et al., 2014). Tujuannya adalah untuk menguji perilaku tertentu dari apoteker atau petugas apotek (Watson et.al, 2006 dikutip dari umi athiyah et al., 2014). Observasi pada penelitian ini dilakukan dengan mengamati keadaan Apotek dalam segi sarana, pemberian pelayanan dan pelaksanaan pelayanan.

Gambar

GAMBARAN PELAYANAN KLINIK TERHADAP RESEP
Tabel 5.4. Gambaran Pengkategorian Kualitas Pelayanan Klinik di Apotek .....................
Gambar 2.1. Tahapan Perubahan Praktik Kefarmasiaan ......................................................
Gambar 2.1 Tahapan perubahan praktik kefarmasian
+7

Referensi

Dokumen terkait

NA merupakan salah satu media yang umum digunakan dalam prosedur bakteriologi seperti uji biasa dari air, produk pangan, untuk membawa stok kultur, untuk

Kegiatan pengabdian kepada masyarakat melalui kegiatan dilakukan penelitian tentang hama dan penyakit menggunakan PGPR pada tanaman cabai rawit di Desa Polagan Kecamatan

Faktor perbezaan sosial memberikan kesan juga terhadap komunikasi. Berkomunikasi dengan anak-anak ada perbezaannya mengikut tahap umur masing-masing, begitu juga bersama dengan

Bla karena suatu sebab orang tua tdak dapat menjamn tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak dasuh atau dangkat sebaga anak asuh atau

4 Mengidentifikasi letak suatu benda, Siswa bisa melengkapi kalimat dengan Memahami arah preposisi yang benar untuk menyebutkan Hometown letak benda sesuai gambar

[r]

mewujudkan masyarakat gemar belajar sebagai pemenuhan tujuan pendidikan sepanjang hayat bagi siapapun, dimanapuN,1.

Hasil penelitian ini terbagi atas empat bagian : kuadran I menjadi prioritas utama Garuda Indonesia dan harus dilaksanakan sesuai dengan harapan konsumen,