• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tradisi Perjodohan Dalam Komunitas Pesantren (Studi Pada Keluarga Kyai Pondok Buntet Pesantren)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tradisi Perjodohan Dalam Komunitas Pesantren (Studi Pada Keluarga Kyai Pondok Buntet Pesantren)"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

“TRADISI PERJODOHAN DALAM KOMUNITAS PESANTREN”

(Studi Pada Keluarga Kyai Pondok Buntet Pesantren)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi

Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

DEDI MUHADI NIM: 1111044200012

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

( AHWAL SYAKHSIYYAH )

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

(2)
(3)
(4)
(5)

ABSTRAK

DEDI MUHADI.

NIM: 1111044200012. TRADISI PERJODOHAN

DALAM KOMUNITAS PESANTREN (Studi Pada Keluarga Kyai Pondok Buntet

Pesantren). Program Studi Hukum Keluarga Konsentrasi Administrasi Keperdataan

Islam, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta, 1436 H/2015 M. x +70 halaman dan lampiran.

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui tadisi perjodohan yang dilakukan oleh

keluarga Pondok Buntet Pesantrendan faktor apa saja yang menjadi alasan para

keluarga kyai Pondok Buntet Pesantren menjodohkan anak-anaknya.

Dalam skripsi ini penulis menggunakan menggunakan jenis penelitian

kualitatif. dengan metode Riset Kepustakaan (

library reseach

) dan riset lapangan

(

field riseach

).

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa kebiasaan menjodohkan anak-anaknya

di kalangan keluarga kyai pondok Buntet Pesantren sudah menjadi tradisi yang turun

temurun hingga saat ini, perjodohan adalah pernikahan yang semi pemaksaan, yang

mana menurut Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2)

menyatakan bahwa perkawinan harus didasarkan atas persetujuan calon mempelai.

Perjodohan menjadi momok di masyarakat, bahwa pernikahan melalui perjodohan

tidak akan harmonis dan langgeng karena terdapat unsur pemaksaan. Tetapi

perjodohan di keluarga pesantren khususnya di keluarga Buntet Pesantren

menggunakan konsep perkawinan

endogami

dengan cara ditawarkan tanpa ada

pemaksaan

,

selain itu walaupun keluarga kyai melangsungkan pernikahan melalui

perjodohan, mereka tetap harmonis dan menciptakan keluarga yang

sakinah,

mawaddah warahmah.

Kata Kunci

: Perkawinan, perjodohan, pesantren,kyai.

(6)

ِﻢْﯿِﺣﱠﺮﻟا ِﻦَﻤْﺣﱠﺮﻟا ِﮫﱠﻠﻟا ِﻢْﺴِﺑ

Dengan mengucapkan paja dan puji syukur kepada Allah SWT, yang telah

memberikan taufiq dan hidayah selalu merahmati seluruh hamba-Nya dengan kasih

sayang. Shalawat beriringan salam saya haturkan kepada Kanjeng Nabi Muhammad

SAW, keluarga dan para sahabatnya, serta kaum muslimin yang selalu mengikuti

jejaknya hingga akhir zaman.

Selanjutnya penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat diselesaikan karena

mendapatkan dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu sebagai ungkapan

rasa hormat yang dalam, penulis menyampaikan terimakasih kepada Bapak/Ibu,

terutama:

1.

Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syaarif Hidayatullah Jakarta.

2.

Dr. H. Abdul Halim, M.Ag. Ketua Program Studi Hukum Keluarga, dan Arip

Puqon, M.A selaku Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga yang telah

memberikan motivasi dan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan

skripsi ini.

(7)

4.

Dr. Ahmad Tholabi Karlie, M.A. Dosen pembimbing akademik dan seluruh

dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.tidak

lupa juga kepada staf perpustakaan dan karyawan.

5.

Kedua orang tua Apa H. Hafiz dan Umi Hj. Sri Mulyati,yang selalu

memberikan doa, pengorbanan dan dorongan motivasi terbeser dalam

penulisan skripsi ini,

“allahummagfirlii waliwalidayya warhamhuma kama

rabbayani sogiro

”. Aa, teteh, dan adik serta saudara-saudaraku yang selalu

memeberikan dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini.

6.

Para Kyai dan Keluarga Besar Buntet Pesantren Cirebon, terutama keluarga

besar KH Arsyad dan KH Anis Manshur, Kang M. Lutfi Yusuf, KH Ade

Nasihul Umam, KH Salman Al Farisi yang telah bersedia membimbing dan

membantu penulis dalam penulisan skripsi ini.

7.

Seluruh sahabat Administrasi Keperdataan Islam Hukum Keluraga angkatan

2011, yang telah memberikan semangat dan membenatu dalam penulisan

skripsi ini.

8.

Kelurga Besar Forum Silaturahim Buntet Pesantren Cirebon (FORSILA BPC)

Jakarta Raya, yang telah berbagi ilmu dan pengalaman yang tidak ternilai, dan

selalu memeberikan dukungan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

ini.

9.

Kelurga Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat

(8)

10.

Keluarga Besar Komunitas Fotografi Ponsel (KOFIPON) dan Rumpak Sinang

Bicycle Community (Rumbicy) yang selalu mendukung penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini.

11.

Untuk sahabat, orang yang selalu memberikan dukungan Anisa Tiasari,

Yayah Sa’diyah, Vivin Zuhrotunnisa, Syifa Dzihni Hafidzah dan sahabatku

yang lainnya yang tidak dapat aku sebutkan satu persatu.

12.

Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, namun telah

memberikan kontribusi yang cukup besar dalam penyusunan skripsi ini.

Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat digunakan sebagai

rujukan penyusunan skripsi lainnya di masa mendatang. Penulis pun sangat

menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan karena itu penulis

mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini selanjutnya.

Ciputat, 15 Oktober 2015

(9)

DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING

...

i

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI

...

ii

LEMBAR PERNYATAAN

...

iii

ABSTRAK

...

iv

KATA PENGANTAR

...

v

DAFTAR ISI

...

viii

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah ...

1

B.

Batasan dan Perumusan Masalah ...

8

C.

Tujuan dan Manfaat Penelitian ...

8

D.

Metode Penelitian ...

9

E.

Kerangka Teori ...

11

F.

Review Studi Terdahulu ...

12

G.

Sistematika Penulisan ...

14

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN DAN

PERJODOHAN

A.

Perkawinan ...

16

B.

Jenis-jenis Wali dan Peran Wali dalam Perkawinan ...

25

C.

Peran Wali dan Persetujuan Mempelai Perempuan dalam Hukum

Islam Indonesia ...

34

BAB III GAMBARAN UMUM PONDOK PESANTREN

A.

Pondok Pesantren ...

36

B.

Kyai ...

40

C.

Sejarah dan Tradisi ...

44

D.

Kondisi Obyektif Pondok Buntet Pesantren Cirebon ...

46

BAB IV TRADISI

PERJODOHAN

DAN

PERSEPSI

SOSIAL

KEAGAMAAN

A.

Pandangan Kyai Buntet Pesantren Tentang Perjodohan ...

52

B.

Perjodohan Menurut Hukum Islam ...

55

C.

Analisis Penulis ...

58

BAB V PENUTUP

A.

Kesimpulan ...

63

B.

Saran ...

64

DAFTAR PUSTAKA

...

65

(10)

1 A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan suatu ketentuan dari ketentuan-ketantuan

Allah di dalam menjadikan dan menciptakan alam ini. Perkawinan bersifat

umum, menyeluruh, berlaku tanpa kecuali baik bagi manusia, hewan, dan

tumbuh-tumbuhan.1 Akan tetapi Allah tidak menjadikan manusia seperti

makhluk lainnya, yang hidup bebas mengikuti naluri dan hawa nafsunya,

serta berhubungan antara jantan dan betina tanpa adanya aturan. Untuk

menjaga kehormatan dan martabat manusia, Allah SWT menciptakan

hukum sesuai dengan martabat tersebut, dan Islam menjadikan pernikahan

untuk memformat kasih sayang di antara mereka dalam membangun

rumah tangga yang baik dan sah menurut agama.

Salah satu dasar terpenting membangun rumah tangga adalah cinta.

Cinta merupakan keadaan ketertarikan kepada seseorang kepada seorang

lainnya, yang bersamanya ia merasakan kesatuan emosianal dan spiritual.

Inilah adanya persahabatan antara laki-laki dan perempuan yang saling

mencintai berubah menjadi keadaan jasadi setelah sebelumnya berupa

keadaan rasional dan spiritual.2

1

Abdul Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, (Surabaya : Bina Ilmu. 1995), hlm. 41

2

(11)

2

Dari perkawinan akan timbul hubungan suami isteri dan kemudian

hubungan antara orang tua dengan anak-anaknya. Timbul pula hubungan

kekeluargaan sedarah dan semenda. Oleh karena itu perkawinan

mempunyai pengaruh yang sangat luas, baik dalam hubungan

kekeluargaan pada khususnya, maupun dalam kehidupan bermasyarakat

dan bernegara pada umumnya, karena perkawinan merupakan titik awal

pembentukan keluarga, dan keluarga merupakan suatu unit terkecil dari

suatu bangsa.3

Perkawinan menurut syara’ adalah akad yang menimbulkan

kebolehan bergaul antara laki-laki dan perempuan dalam tuntutan naluri

kemanusian dalam kehidupan, dan menjadikan untuk kedua pihak secara

timbal balik hak-hak dan kewajiban-kewajiban (Dr. Ahmad Ghandur,

al-Ahwal al-Syakhsiyah fi al-Tasyri’ al-Islamiy).4 Sedangkan perkawinan

menurut Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan pada

pasal 1 dijelaskan bahwa: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara

seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk

keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan

Yang Maha Esa”.5 Dan dalam Kompilasi Hukum Islam Tentang

Dasar-Dasar Perkawinan pada pasal 2 dijelaskan bahwa: “Perkawinan menurut

3

Mona Eliza, Pelanggaran Terhadapa UU Perkawinan dan Akibat Hukumnya, (Tangerang Selatan: Adelina Bersaudara. 2009), hlm. 2

4

Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. (Jakarta: Prenada Media. 2009), hlm. 39

5

(12)

hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau

miitsaaqon gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya

merupakan ibadah.

Apabila seorang laki-laki dan seorang perempuan telah sepakat

satu sama lain untuk melakukan suatu perkawinan, berarti mereka telah

berjanji akan taat kepada peraturan hukum yang berlaku. Dan untuk

menghentikan suatu perkawinan, mereka tidak secara leluasa dapat

menghentikannya sendiri, melainkan terikat juga pada aturan hukum yang

berlaku.

Perkawinan dilakukan atas prinsip:

1. Kerelaan (al-taraadhi), bahwa melangsungkan sebuah perkawinan

tidak boleh ada unsur paksaan, baik secara fisik maupun psikis dari

pihak calon suami dan calon istri.

2. Kesetaraan (al-musaawah), bahwa sebuah perkawinan tidak boleh

muncul diskriminasi dan subordinasi di antara pihak karena merasa

dirinya memiliki suporioritas yang lebih kuat dalam mengambil sebuah

kebijakan, yang akibatnya merugikan pihak lain. Melainkan

perkawinan adalah sebuah hubungan kemitrasejajaran antara suami,

istri, dan anak-anak yang dilahirkan.

3. Keadilan (al-adaalah), bahwa menjalin sebuah kehidupan rumah

tangga diperlukan adanya kesepahaman bahwa antara suami dan istri

(13)

4

4. Kemaslahatan (al-maslahat), bahwa dalam menjalankan sebuah

perkawinan yang dituntut adalah bagaimana mewujudkan sebuah

keluarga sakinah, mawaddah warahmah, yang dapat membawa

implikasi positif di lingkungan masyarakat yang lebih luas.

5. Pluralisme (al-ta’addudiyyah), bahwa perkawinan dapat

dilangsungkan tanpa adanya perbedaan status sosial, budaya dan

agama, selama hal itu dapat mewujudkan sebuah keluarga yang

bahagia, sejahtera, dan aman baik lahir maupun batin.

6. Demokratis (al-diimuqrathiyyah), bahwa sebuah perkawinan dapat

berjalanan dengan baik sesuai dengan fungsi-fungsinya, apabila

pihak-pihak memahami dengan baik hak dan kewajibannya dalam keluarga.6

Melihat beberapa prinsip perkawinan di atas, penulis tidak sepakat

dengan prinsip ke lima, yaitu prinsip pluralisme, karena dalam perkawinan

sekufu’ (setara) menjadi alasan terpenting.

Di tengah-tengah masyarakat, sikap berhati-hati dalam

mempertimbangkan berbagai faktor yang terkait dengan pelaksanaan

pernikahan adalah wajar, karena pernikahan diharapakan akan berjalan

dengan baik dan langgeng seumur hidup. Pertimbangan yang dilakukan

oleh masyarakat Indonesia meliputi tiga kriteri dan dikenal dengan nama

bobot bibit bebet.

6

(14)

Bahkan, dalam komunitas Islam tradisional pesantren (Jawa) pada

umumnya, untuk menentukan pilihan siapa calon suami atau istri bagi

anaknya mendapat perhatian yang matang dari keluarga. Hal ini bukan

hanya menyangkut idealisme dalam memilih pasangan hidup semata,

melainkan juga menyangkut rasa tanggung jawab7 terhadap keluarga,

karena calon menantu adalah calon anggota baru.

Untuk itu, dalam menentukan jodoh biasanya orang tua sangat

berperan penting dan anaknya akan mengikuti pilihan orang tuanya,

bahkan pada pondok pesantren salaf (khususnya), penjodohan di kalangan

keluarga kyai atau santri seolah telah menjadi tradisi di kalangan mereka

hingga saat ini. Namun secara sosiologis, kelompok kyai tidak dapat

terbuka secara lugas dalam masalah ini karena kuatnya prinsip mereka

terhadap prinsip perkawinan endogamous.8

Walaupun sebagian keluarga kyai atau santri sudah mulai

meninggalkannya, namun jika ditelusuri ke lapangan kenyataannya kita

akan menemukan kesulitan untuk mengetahuinya secara terang-terangan,

dikarenakan ketertutupan dari pihak keluarga, hal tersebut masih ada.

Fenomena proses pemilihan jodoh ini sangat dipengaruhi oleh berbagai

kepentingan, salah satunya kepentingan orang tua dan keluarga, karena

7

Abdurrahman Wahid, Bunga Rampai Pesantren (Jakarta: Dharma Bakti, 1958), hlm, 14-15

8

(15)

6

mereka beranggapan bahwa penentuan jodoh adalah hak meraka, sehingga

mengenyampingkan kepentingan si anak.

Hal ini seperti yang terjadi pada masyakat pesantren di lingkungan

Pondok Buntet Pesantren, di Desa Mertapada Kulon Kecamatan

Astanajapura Kabupaten Cirebon. Pesantren ini adalah pondokan salaf,

yang mana santrinya lebih dikhususkan mengkaji kitab kuning. Buntet

Pesantren adalah sebuah nama desa dan di dalamnya terdapat puluhan

pondok pesantren atau masyarakat setempat biasanya menggunakan istilah

asrama, Buntet Pesantren memiliki kurang lebih 40 asrama dan kyai,

semuanya dalam satu keluarga dari keturunan sang pendiri yaitu Kiai

Muqoyyim. Santri keseluruhan di Buntet Pesantren mencapai 1.000 lebih

santri dari berbagai daerah di Indonesia. Alumni dari pondok Buntet

Pesantren sudah tersebar di seluruh penjuru dan telah menjadi ulama di

kampung halamannya masing-masing, selain itu ada pula yang aktif di

pemerintahan dari mulai tingakatan paling bawah sampai tingkatan

menteri.

Penulis memilih Pondok Buntet Pesantren sebagai objek penelitian

karena perjodohan sudah menjadi tradisi dalam lingkungan keluarga kyai

Buntet Pesantren. Disamping itu keluarga Buntet Pesantren memiliki

puluhan kyai dan semuanya masih memiliki hubungan keluarga.

Perjodohan di Buntet Pesantren adalah sesama keluarga terdekatnya atau

(16)

Dalam proses perjodohan dalam keluarga kyai Buntet Pesantren

adalah saling menjodohkan putra putrinya dengan keluarga terdekatnya,

seperti perkawinan antara misanan atau antara nak-sanak. Perkawinan di

Buntet Pesantren tidak hanya dengan keluarga terdekat saja, namun ada

juga perjodohan dengan sesama garis keturunan kyai Buntet Pesantren.

Dalam hal ini, semua yang menentukan adalah keluarga besar dan

si anak yang akan dijodohkan tidak mengetahuinya, anak tidak diberi

kesempatan untuk memberikan pendapatnya, apakah ia mau menerima

perjodohan ini atau tidak. Jika keluarga besar sudah sama-sama saling

setuju, maka anak tidak dapat menolak. Di sini, anak sama sekali tidak

mempunyai hak untuk menentukan pilhannya sendiri, sehingga ada

keterpaksaan di dalam menjalankan kehidupan berumah tangga.

Meski demikian perjodohan di lingkungan pesantren pada dasarnya

dilandasi rasa tanggung jawab yang besar seorang ayah terhadap anak agar

terjaga diri dan keluarganya.9

Hukum Islam di Indonesia menentukan salah satu syarat

perkawinan adalah persetujuan calon mempelai (Pasal 16 ayat (1) (2) Pasal

17 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam). Karena suatu ikatan pernikahan

harus berdasarkan atas kerelaan kedua belah pihak, tanpa adanya paksaan.

Agar tujuan dari pernikahan yaitu terciptanya keluarga sakinah,

mawadaah, wa rahmah.

9

(17)

8

Berangkat dari uraian tersebut di atas, penyusun merasa perlu

untuk mengadakan penelitian lebih lanjut. Bagaimana praktik perjodohan

yang terjadi pada masyarakat pesantren di Pondok Buntet Pesantren. Maka

penulis membuat skripsi dengan judul “Tradisi Perjodohan dalam Komunitas Pesantren” (Studi Pada Keluarga Kyai Pondok Buntet Pesantren Cirebon).

B. Batasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Sesuai dengan latar belakang yang telah dipaparkan di atas dan

untuk mempertajam pembahasan maka penulis akan membatasi

masalah tentang tradisi perjodohan dalam komunitas pesantren

pada masyarakat Pondok Buntet Pesantren Cirebon.

2. Perumusan Masalah

Untuk mengetahui tradisi perjodohan komunitas pesantren pada

masyakarat Pondok Buntet Pesantren Cirebon, berdasarkan

uraian pada latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan

pada fokus-fokus permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana peran Kyai dalam menentukan perjodohan pada

keluarga Pondok Buntet Pesantren Cirebon?

2. Bagaimana tradisi perjodohan dalam komunitas pesantren

pada keluarga Kyai Pondok Buntet Pesantren Cirebon?

3. Bagaimana hukumnya perjodohan dalam pandangan hukum

(18)

C. Tujuan dan Manfaaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Dalam penyusunan skripsi ini penulis mempunyai tujuan

sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui alasan penyebab terjadi perjodohan

dalam komunitas pesantren pada masyakarat Pondok

Buntet Pesantren Cirebon.

2. Untuk mengetahui tradisi perjodohan dalam komunitas

pesantren, khususnya tradisi perjodohan pada keluarga

Kyai Pondok Buntet Pesantren Cirebon.

3. Untuk mengetahui hukum Islam dan Hukum Positif tentang

tradisi perjodohan dalam komunitas pesantren, khususnya

Pondok Buntet Pesantren.

2. Manfaat Penelitian

1. Secara Akademis. Mengaplikasikan disiplin ilmu sesuai

dengan program studi penulis, tambahan referensi guna

penelitian lanjutan serta kontribusi untuk data

perpustakaan.

2. Secara Praktis, kontribusi hasanah bagi masyarakat Islam

dan golongan education pada umumnya. Lebih khusus

terhadap lembaga-lembaga yang menangani masalah

perkawinan agar lebih merujuk pada aturan-aturan yang

(19)

10

D. Metode Penelitian

Untuk terciptanya sasaran yang menjadi tujuan penulis, skripsi ini

maka digunakan dua metode:

1. Riset Kepustakaan (Library reseach)

Yaitu dengan cara mengumpulkan dan membaca bahan-bahan dar

buku, artikel, majalah, dan bahan informasi lainnya yang berhubungan

dengan masalah yang dibahas.10

2. Riset Lapangan (Field Reseach)

Riset lapangan adalah mengadakan penelitain secara langsung di

Buntet Pesantren Cirebon. Mengingat kajian ini bersifat ilmiah dan

dituangkan dalam bentuk skripsi, penulis berusaha mendapatkan data yang

akuratdan bukti-bukti yang benar. Untuk itu penulis mengguakan jenis

penelitian kualitatif dengan pendekatan secara sosiologis (empiris) yaitu

dengan melihat secara langsung kehidupan keluarga Kyai Pondok Buntet

Pesantren, yang melakukan tradisi perjodohan. Metode yang digunakan

dalam penelitian ini adalah metode Deskriptif yaitu penelitian atau

penyelidikan yang bertujuan pada pemecahan masalah yang ada pada

tradisi perjodohan dalam keluarga Kyai Pondok Buntet Pesantren.

Sumber penelitian yang digunakan penulis yaitu :

a) Data Primer, yaitu data yang dikumpulkan sendiri oleh perorangan/suatu organisasi secara langsung melalui objeknya. Pada

10

(20)

skripsi ini penulis mewawancari para Kyai Buntet Pesantren dan

kelurga Kyai Buntet Pesantren.

b) Data Skunder, yaitu data yang diperoleh dengan cara membandingkan atas dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah yang

diajukan, dokumen-dokumen yang dimaksud adalah Al-Qur’an, Hadis,

buku-buku ilmiyah, Undang-Undang Perkawinan, Kopilasi Hukum

Islam (KHI), serta peraturan-peraturan lainnya yang erat kaitannya

dengan masalah ini.

Teknik pengumpulan data yang digunakan penelitian adalah:

a) Observasi, yaitu mengadakan pengamatan terhadap objek penelitian

terutama tentang terjadinya tradisi perjodohan di kelurga Kyai

Buntet Pesantren.

b) Wawancara, yaitu suatu percakapan yang diarahkan pada suatu

masalah tertentu, maksudnya ada proses tanya jawab antara peneliti

dan objek yang diteliti dengan tujuan mengumpulkan

keterangan-keterangan dari responden.

Mengenai teknik penulisan, penulis menggunakan buku pedoman

penulisan skripsi Fakultas Sayriah dan Hukum UIN Sayrif Hidayatullah

Jakarta 2012.

E. Kerangka Teori

Pernikahan adalah suatu wujud sosialitas budaya manusia. Dalam

lembaga pernikahan, dua individu dipertemukan, diikat, dan mendapatkan

(21)

12

menjadi awal dan cikal bakal terbentuknya unit komunitas terkecil dalam

masyarakat, yakni keluarga, yang akan menjalankan fungsinya dalam

struktur dan tatanan masyarakat yang lebih luas. Menurut

Koentjaraningrat, pernikahan dapat diperinci ke dalam pelamaran, upacara

pernikahan, perayaan, mas kawin, harta pembawaan pengantin wanita,

adat menetap sesudah menikah, poligami, poliandri, perceraian, dan lain

sebagainya. Semua hal tersebut berada dalam usaha perincian untuk

memerinci kompleks budaya dan kompleks sosial ke dalam tema budaya

dan pola sosial.11

Lelaki dan perempuan mempunyai hak yang sama dalam memilih

jodoh untuk menentukan siapa yang akan menjadi pedamping hidupnya.

Oleh karena itu agama islam memberikan tuntunan dalam menentukan

pilihan.

Namun dalam kehidupan saat ini, intervensi keluarga dalam

menentukan jodoh sering kita jumpai, terutama dalam kalangan keluarga

pesantren.Dengan tujuan agar tetap terjaganya sanadnya (keturunan).

Intervensi keluarga dalam menentukan jodoh mengabaikan hak perempuan

untuk memilih jodohnya. Selain itu, kontradiktif dengan hukum Islam di

Indonesia yang mentukan salah satu syarat perkawinan adalah persetujuan

calon mempelai (Pasal 16 ayat (1) (2) Pasal 17 ayat (2) Kompilasi Hukum

Islam).

11

(22)

F. Review Studi Terdahulu

Untuk memudahkan dan meyakinkan pembaca bahwa penulis tidak

melakukan plagiasi atau duplikasi maka penulis menjabarkan review studi

terdahulu dalam bentuk table berikut ini:

No Identitas Subtansi Pembeda

1 Ahmaditus Farida, (2010)

Al-Ahwal

Asy-Syakhsyiyah, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN

Sunan Kalijaga

Yogyakarta. Dengan

skripsinya yang berjudul “Dinjauan Hukum Islam terhadap Penjodohan Anak di Keluarga Kyai di Pondok Pesantren Al Miftah Desa Kauman

Kecamatan Naggulan

Kabupaten Kulon Progo”

Dalam skripsi ini, Ahamaditus Farida mengulas tentang tinjauan hukum Islam terhadap penjodohan anak di keluarga Kyai di pondok pesantren Al Miftah saja, dan

lebih menitik

beratkan tentang hak anak dalam menentukan

pasangan hidup.

Sedangkan dalam skripsi saya lebih menjelaskan tentang tradisi perjodohan di dalam komunitas pesantren di pondok Buntet Pesantren

Cirebon, dan menitik beratkan kepada dampak dari perjodohan tersebut.

2 Dita Sundawa Putri,

(2013) Al-Ahwal Asy-Syakhsyiyah, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN

Sunan Kalijaga

Yogyakarta. Dengan

skripsinya “Tinjauan Hukum Islam terhadap praktik kawin paksa karena adanya hak ijbar wali. Studi kasus pada dua pasangan keluarga di Kota Gede Yogyakarta”.

Dalam skripsi ini, Dita Sundawa Putri menjelaskan

tentang tinjauan

hukum Islam

terhadap kawin paksa atas adanya hak ijbar wali, dan

lebih menitik

beratkan hak anak

yang telah

dipaksakan untuk menikah dengan alasan adanya hak

Sedangkan dalam skripsi saya lebih menjelaskan tentang tradisi perjodohan pada komunitas pesantren, dan lebih menitik beratkan

terhadap

Dampak dari

(23)

14

ijbar pada wali.

3 Zamakhsyari Dhofier,

(1982) LP3S, Jakarta.

Terjemahan dari

disertasinya yang berjudul “Tradisi Pesantren studi tentang Pandangan Hidup Kyai”.

Dalam disertasi ini, Zamakhsyari Dhofier

menjelaskan tradisi pesantren dengan pusat kajiannya pada peranan kyai

dalam upaya

memelihara dan mengembangkan faham Islam di Jawa.

Sedangkan dalam skripsi saya, saya menjelaskan tradisi perjodohan dalam komunitas pesantren,

khususnya tradisi perjodohan yang dilakukan oleh keluarga kyai pondok Buntet Pesantren.

G. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini penulis akan memberikan gambaran

[image:23.612.137.515.104.397.2]

mengenai hal apa saja yang akan dilakukan maka secara garis besar

gambaran tersebut dapat dilihat melalui sistematika skripsi berikut ini:

BAB KESATU berisi, Pendahuluan yang akan memberikan gambaran umum dan menyeluruh tentang skripsi ini dengan menguraikan

tentang Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah,

Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, Kerangka Teori,

Riview Studi Terdahulu dan Sistematika Penulisan.

BAB KEDUA berisi, memuat ketentuan umum perkawinan. Berbicara perjodohan maka berbicara tentang perkawinan, maka penulis

merasa penting membahas tentang perkawinan secara umum, dan

(24)

BAB KETIGA berisi, memuat tentang pengertian pondok pesantren, menjelaskan Kyai dan peranannya pada masyarakat, dan

menjelaskan sejarah dan tradisi perjodohan yang berkembang dalam

komunitas pesantren.

BAB KEEMPAT berisi, menjelasakan kondisi obyektif Buntet Pesantren Cirebon dan menjelaskan hasil analisa terhadap tradisi

perjodohan dalam keluarga kyai Buntet Pesantren, yang meliputi: dari segi

rukun dan syarat nikah, dalam hal ini penulis menjelaskan syarat dan

rukun nikah dan bagaimana aplikasinya terhadap perjodohan dalam

keluarga pesantren. Serta uraian hasil wawancara penulis dengan para kyai

pondok Buntet Pesantren.

(25)

16

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN DAN PERJODOHAN

A. Perkawinan

1. Pengertian dan Tujuan Perkawinan

Dalam kamus al-Munawwir kamus Arab-Indonesia kata nikah

(حﺎﻜﻧ) berasal dari kata ﺎﺤﻜﻧ - ﺢﻜﻨﯾ – ﺢﻜﻧ yang artinya mengawini.

Sedangkan zawaj (جاوز) berasal dari kata ﺎﺠﯾوﺰﺗ– جوﺰﯾ– جوز yang artinya

mengawinkan, mencampuri, menemani, mempergauli, menyertai dan

memperistri.1

Perkataan nikah itu dalam bahasa Arab mepunyai arti hakiki dan

majazi. Arti hakikatnya ialah “menghimpit, menindih atau berkumpul” dan

arti majzinya ialah “setubuh atau akad”2.

Dalam bahasa Indonesai kata nikah diartikan “kawin” yaitu

membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin

atau setubuh.3

Definisi nikah menurut syara’ adalah melakukan akad (perjanjian)

antara calon suami dan istri agar dihalalkan melakukan “pergaulan”

1

Ahamad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Bahasa Arab-Indonesia, (Yogyajarta: Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak, 1984), h. 1560.

2

Kamal Mukhtar, Azas-azas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta, Bulan Bintang, 1974), h. 11.

3

(26)

sebagaimana suami istri dengan mengikuti norma, nilai-nilai sosial dan

etika agama.4

Kata nakaha dan zawaj inilah yang dipakai dalam kehidupan

sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat dalam al-Qur’an dan hadist

Nabi. Kata nakaha banyak terdapat dalam al-Qur’an dengan arti kawin

dalam QS. An-Nisa (4) : 3.

َبﺎَﻃ ﺎَﻣ اﻮُﺤِﻜْﻧﺎَﻓ ﻰَﻣﺎَﺘَﯿْﻟا ﻲِﻓ اﻮُﻄِﺴْﻘُﺗ ﻻَأ ْﻢُﺘْﻔِﺧ ْنِإَو

ﻰَﻨْﺜَﻣ ِءﺎَﺴِّﻨﻟا َﻦِﻣ ْﻢُﻜَﻟ

ﻻَأ ﻰَﻧْدَأ َﻚِﻟَذ ْﻢُﻜُﻧﺎَﻤْﯾَأ ْﺖَﻜَﻠَﻣ ﺎَﻣ ْوَأ ًةَﺪِﺣاَﻮَﻓ اﻮُﻟِﺪْﻌَﺗ ﻻَأ ْﻢُﺘْﻔِﺧ ْنِﺈَﻓ َعﺎَﺑُرَو َثﻼُﺛَو

ﻮُﻟﻮُﻌَﺗ

ا

)

ءﺎﺴﻨﻟا

:

3

(

Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (Q.S. An-Nisa:3)

Kata zawaja dalam al-Qur’an terdapat pada QS. Al-Ahzab (33) :

37.

َﮫَّﻠﻟا ِﻖَّﺗاَو َﻚَﺟْوَز َﻚْﯿَﻠَﻋ ْﻚِﺴْﻣَأ ِﮫْﯿَﻠَﻋ َﺖْﻤَﻌْﻧَأَو ِﮫْﯿَﻠَﻋ ُﮫَّﻠﻟا َﻢَﻌْﻧَأ يِﺬَّﻠِﻟ ُلﻮُﻘَﺗ ْذِإَو

ﻲِﻔْﺨُﺗَو

ﺎَّﻤَﻠَﻓ ُهﺎَﺸْﺨَﺗ ْنَأ ُّﻖَﺣَأ ُﮫَّﻠﻟاَو َسﺎَّﻨﻟا ﻰَﺸْﺨَﺗَو ِﮫﯾِﺪْﺒُﻣ ُﮫَّﻠﻟا ﺎَﻣ َﻚِﺴْﻔَﻧ ﻲِﻓ

ﻲِﻓ ٌجَﺮَﺣ َﻦﯿِﻨِﻣْﺆُﻤْﻟا ﻰَﻠَﻋ َنﻮُﻜَﯾ ﻻ ْﻲَﻜِﻟ ﺎَﮭَﻛﺎَﻨْﺟَّوَز اًﺮَﻃَو ﺎَﮭْﻨِﻣ ٌﺪْﯾَز ﻰَﻀَﻗ

َنﺎَﻛَو اًﺮَﻃَو َّﻦُﮭْﻨِﻣ اْﻮَﻀَﻗ اَذِإ ْﻢِﮭِﺋﺎَﯿِﻋْدَأ ِجاَوْزَأ

ًﻟﻮُﻌْﻔَﻣ ِﮫَّﻠﻟا ُﺮْﻣَأ

)

ﺐﺠﺣﻻا

:

37

(

4
(27)

18

Artinya:Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: "Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah", sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada istrinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.(Q.S. Al-Ahzab (33):37).

Para ulama fiqh sependapat bahwa nikah itu adalah akad yang

diatur oleh agama untuk memberikan kepada pria hak memiliki

penggunaan terhadap faraj (kemaluan) wanita dan seluruh tubuhnya

penikmatan sebagai tujuan primer.5

Sedangkan Definisi Perkawinan menurut Undang-undang no 1

tahun 1974 tentang perkawinan. Perkawinan adalah ikatan lahir batin

antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan

membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.6 Dan perkawinan menurut

Kompilasi Hukum Islam adalah Perkawinan menurut hukun Islam adalah

pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk

mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.7

Menurut hemat penulis dari definisi di atas dapat disimpulkan

bahwa perkawinan merupakan langkah awal umat manusia untuk

5

Hartono Ahmad Jaiz, Wanita Antara Jodoh, Poligami, dan Perselingkuhan (Jakarta: Pustaka AL-Kautsar, 2007), h.80

6

Undang-Undang no 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 1

7

(28)

mempertahankan eksistensinya dalam kehidupan dan berumah tangga

dengan tujuan terciptanya rumah tangga yang sakinah, mawadaah wa

rahmah.

2. Rukun dan Syarat Perkawinan

Pernikahan yang di dalamnya terdapat akad, layaknya akad-akad

lain yang memerlukan adanya persetujuan kedua belah pihak yang

mengadakan akad. Adapun rukun nikah adalah:

1) Mempelai laki-laki

2) Mempelai perempuan

3) Wali

4) Dua orang saksi

5) Shigat ijab kabul8

Ijab yaitu ucapan wali (dari pihak perempuan) atau wakilnya

sebagai penyerahan kepada pihak pengantin laki-laki.

Qabul yaitu ucapan pengantin laki-laki atau wakilnya sebagai tanda

penerimaan.

Dari lima rukun nikah tersebut yang paling penting ialah Ijab

Kabul antara yang mengadakan dengan yang menerima akad sedangkan

yang dimaksud dengan syarat perkawinan ialah syarat yang bertalian

dengan rukun-rukun pernikahan, yaitu syarat-syarat bagi calon mempelai,

wali, saksi, dan ijab kabul.

8

(29)

20

Syarat-syarat calon mempelai pria adalah

1) Beragama Islam

2) Laki-laki

3) Jelas orangnya

4) Dapat memberikan persetujuan

5) Tidak terdapat halangan perkawinan

Syarat-syarat calon mempelai wanita adalah

1) Beragama Islam

2) Perempuan

3) Jelas orangnya

4) Dapat dimintai persetujuan

5) Tidak terdapat halangan perkawinan

Selain beberapa persyaratan di atas, calon mempelai pun dalam

hukum perkawinan Islam di Indonesia menentukan salah satu syarat, yaitu

persetujuan calon mempelai.9

3. Dasar Hukum Perkawinan

Perkawinan atau pernikahan itu adalah sunnatullah artinya perintah

Allah dan Rasulnya, tidak hanya semata-mata keinginan manusia atau

9

(30)

hawa nafsunya saja karenanya seseorang yang telah berumah tangga

berarti ia telah mengerjakan sebagian dari syariat (aturan) Agama Islam.10

Nikah dalam Islam sebagai landasan pokok dalam pembentukan

keluarga. Nikah harus dilakukan manusia untuk mencapai tujuan syari’at

yakni kemaslahatan dalam kehidupan.11

Oleh karenanya nikah disyariatkan berdasarkan dalil al-Qur’an dan

al-Hadist, adapun ayat yang menunjukkan syariat nikah adalah Firman

Allah SWT dalam QS. An-Nisa (4) : 3.

ِءﺎَﺴِّﻨﻟا َﻦِﻣ ْﻢُﻜَﻟ َبﺎَﻃ ﺎَﻣ اﻮُﺤِﻜْﻧﺎَﻓ ﻰَﻣﺎَﺘَﯿْﻟا ﻲِﻓ اﻮُﻄِﺴْﻘُﺗ ﻻَأ ْﻢُﺘْﻔِﺧ ْنِإَو

َﻚِﻟَذ ْﻢُﻜُﻧﺎَﻤْﯾَأ ْﺖَﻜَﻠَﻣ ﺎَﻣ ْوَأ ًةَﺪِﺣاَﻮَﻓ اﻮُﻟِﺪْﻌَﺗ ﻻَأ ْﻢُﺘْﻔِﺧ ْنِﺈَﻓ َعﺎَﺑُرَو َثﻼُﺛَو ﻰَﻨْﺜَﻣ

ﻰَﻧْدَأ

اﻮُﻟﻮُﻌَﺗ ﻻَأ

)

ءﺎﺴﻨﻟا

:

3

(

Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (Q.S. An-Nisa:3).

Dan Hadis Nabi Muhammad SAW :

ﷲا ﻰﻠﺻ ِﮫَّﻠﻟَا ُلﻮُﺳَر ﺎَﻨَﻟ َلﺎَﻗ ﮫﻨﻋ ﷲا ﻲﺿر ٍدﻮُﻌْﺴَﻣ ِﻦْﺑ ِﮫَّﻠﻟَا ِﺪْﺒَﻋ ْﻦَﻋ

ﻢﻠﺳو ﮫﯿﻠﻋ

)

َا َﺮَﺸْﻌَﻣ ﺎَﯾ

ِبﺎَﺒَّﺸﻟ

!

ْجَّوَﺰَﺘَﯿْﻠَﻓ َةَءﺎَﺒْﻟَا ُﻢُﻜْﻨِﻣ َعﺎَﻄَﺘْﺳا ِﻦَﻣ

,

ُﮫَّﻧِﺈَﻓ

10

Sidi Nazar Bakri, Kunci Keutamaan RUmah Tangga (Keluarga Yang Sakinah), (Jakarta: CV.Pedoman Ilmu Jaya, 1993), h.3

11

(31)

22

ِﺮَﺼَﺒْﻠِﻟ ُّﺾَﻏَأ

,

ِجْﺮَﻔْﻠِﻟ ُﻦَﺼْﺣَأَو

,

ِمْﻮَّﺼﻟﺎِﺑ ِﮫْﯿَﻠَﻌَﻓ ْﻊِﻄَﺘْﺴَﯾ ْﻢَﻟ ْﻦَﻣَو

;

ُﮫَﻟ ُﮫَّﻧِﺈَﻓ

ٌءﺎَﺟِو

(

ﮫْﯿَﻠَﻋ ٌﻖَﻔَّﺘُﻣ

12

Abdullah Ibnu Mas'ud Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda pada kami: "Wahai generasi muda, barangsiapa di antara kamu telah mampu berkeluarga hendaknya ia kawin, karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia dapat mengendalikanmu." Muttafaq Alaihi.

Dari ayat dan hadits tersebut dapat diambil pengertian bahwa;

pernikahan atau perkawinan adalah perintah Allah dan Rasulnya (aturan

agama islam) disebut juga dengan Sunatullah. Perkawinan adalah sesuatu

yang dasarnya suci dan mulia pada sisi Allah maupun pada sisi manusia,

karena itu seseorang yang telah berumah tangga hendaklah menghargai

dan memuliakan perkawinannya.13

Hukum melakukan perkawinan adalah ibahah atau kebolehan atau

halal. Tetapi berdasarkan kepada perobahan situasi dan kondisinya, hukum

melakukan perkawinan itu dapat beralih menjadi sunnah, wajib, makruh

dan haram.

Ulama Syafi’iyah menyatakan hukum perkawinan itu melihat

keadaan orang-orang tertentu, sebagai berikut:

a. Sunnah bagi orang-orang yang telah berkeinginan untuk kawin,

telah pantas untuk kawin dan dia telah mempunyai

perlengkapan untuk melangsungkan perkawinan.

12

Ibnu Hajar al-Asqolani, Bulughul Maram, (Harramain), h. 207

13

(32)

b. Makruh bagi orang-orang yang belum pantas kawin, belum

berkeinginan kawin, sedangkan perbekalan untuk perkawinan

juga belum ada. Begitu pula ia telah mempunyai perlengkapan

untuk perkawinan, namun fisiknya mengalami cacat, seperti

impoten, berpenyakitan, tua bangka, dan kekurangan fisik

lainnya (al-Mahalliy, 206).14

Ulama Hanafiyah menambahkan hukum perkawinan secara khusus

bagi keadaan dan orang tertentu sebagai berikut.

a. Wajib bagi orang-orang yang telah pantas untuk kawin,

berkeinginan untuk kawin dan memiliki perlengkapan untuk

kawin; ia takut akan terjerumus zina kalau tidak kawin.

b. Makruh bagi orang yang pada dasarnya mampu melakukan

perkawinan namun ia merasa akan berbuat curang dalam

perkwinannya itu. (Ibn Humam III, 187).

Sedangkan menurut undang-undang no 1 tahun 1974 tentang

perkawinan Pasal 2 ayat (1) dan (2) “Perkawinan adalah sah apabila

dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.

Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang

berlaku”.15

14

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan (Jakarta: Kencana, 2009), cet. III h.45-46

15

(33)

24

4. Tujuan Perkawinan

Perkawinan mempunyai tujuan antara lain ialah:

1. Menta’ati Perintah Allah SWT, dan mengikuti jejak nabi-nabi

dan Rasul-Nya terutama sunnah Rasulullah Muhammad SAW.,

karena hidup beristeri, berumah tangga dan berkeluarga

termasuk sunnah beliau.

2. Melanjutkan keturunan yang merupakan pewaris kehidupan dan

penyambung cita-cita, membentuk keluarga dan umat yang

diridhai oleh Allah SWT.

3. Mempererat dan memperkokoh tali kekeluargaan dengan rasa

kasih sayang antara keluarga suami dan keluarga isteri sebagai

sarana terwujudnya kehidupan masyarakat yang aman, tentram

dan sejahtera lahir dan batin.

4. Untuk menjaga diri dari perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh

Allah di samping menyalurkan syahwat insaniyah (libido

sexual) secara wajar.

5. Untuk membersihkan keturunan.16

5. Hikmah Perkawinan

Perkawinan merupakan suaru ketentuan-ketentuan dari Allah di

dalam menjadikan dan menciptakan alam ini. Perkawinan bersifat umum,

16

(34)

menyeluruh dan berlaku tanpa terkecuali baik bagi manusia, hewan, dan

tumbuh-tumbuhan.17

Perkawinan yang terjadi pada makhluk hidup, baik tumbuhan,

binatang, maupun manusia, adalah untuk keberlangsungan dan

pengembangbiakan makhluk yang bersangkutan.18 Hikmah perkawinan

menurut ajaran Islam adalah untuk memelihara manusia daripada

pekerjaan maksiat, yang membahayakan diri, harta dan pikiran.19

B. Jenis-Jenis Wali dan Peran Wali Dalam Perkawinan 1. Definisi Wali

Secara etimologi wali mempunyai arti pelindung, penolong atau

penguasa.20 Orang yang berhak menikahkan perempuan adalah wali yang

bersangkutan, apabila wali yang bersangkutan sanggup bertindak sebagai

wali.

Dalam literatur fiqh, jenis perwalian terbagi menjadi dua: al

wilayah al-amah (kekuasaan umum) dan al walayah al-khashah

(kekuasaan khusus). Al-walayah al-khashah terdiri atas dua. Pertama,

kekuasaan atas harta (al-walayah ala al-mal), yakni penguasaan atas harta

benda, seperti mengembangkan, memanfaatkan dan menjaga harta benda.

17

Abdul Qadir Djailani, Keluarga sakinah, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1995), h. 41.

18

Mahmud Al-Shabbagh, Tuntutan Keluarga Bahagia Menurut Islam, (Bandung: PT Remaja Rosda, 1994),h. 1.

19

Amir taat Nasution, Rahasia Perkawinan Dalam Islam, Tuntutan Keluarga Bahagia,

(Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1994), Cet. III, h. 31.

20

(35)

26

Kedua, kekuasaan atas jiwa (al-walayah ala al-nafs), yakni penguasaan

atau urusan-urusan personal (syakhsiyyah), seperti mengajar dan kawin.21

Dalam kaitan ini jenis terakhirlah yang dibicarakan dalam pembahasan

perwalian dalam nikah.

Wali ditunjuk berdasarkan skala prioritas secara tertib dimulai dari

orang yang paling berhak, yaitu mereka yang paling akrab, lebih kuat

hubungan darahnya. Jumhur ulama seperti Imam Syafi’I dan Imam Malik,

mengatakan bahwa wali adalah ahli waris dan diambil dari garis ayah

bukan dari ibu.

Susaunan wali yang harus didahulukan menurut Imam Syafi’I

adalah sebagai berikut:

1) Ayah, ayahnya ayah (kakek) dan seterusnya ke atas.

2) Saudara laki-laki yang sekandung (seayah dan seibu).

3) Saudara laki-laki seayah.

4) Anak laki-laki (keponakan) dari saudara laki-laki yang

sekandung.

5) Anka laki-laki (keponakan) dari saudara laki-laki yang seayah,

dan seterusnya sampai ke bawah.

6) Paman yang bersaudara dengan ayah ang sekandung.

7) Paman yang bersaudara dengan ayah seayah.

8) Saudara sepupu atau anak laki-laki dari paman yang bersaudara

dengan ayah yang sekandung.

21

(36)

9) Saudara sepupu atau anak laki-laki dari paman yang bersaudara

dengan ayah yang seayah, dan seterusnya sampai ke bawah.22

Susunan wali yang harus didaulukan menurut Imam Malik adalah

sebagai berikut:

1) Ayah.

2) Al-Washi (orang yang menerima wasiat dari ayah untuk

menjadi wali).

3) Anaknya yang laki-laki, meskipun anak bersangkutan hasil dari

perzinahan.

4) Cucu laki-laki.

5) Saudara laki-laki yang sekandung.

6) Saudara laki-laki yang seayah.

7) Anak laki-laki dari saudara sekandung.

8) Anak laki-laki dari saudara yang seayah.

9) Kakek yang seayah.

10)Paman yang sekandung dengan ayah.

11)Paman yang seayah dengan seayah.

12)Anak laki-laki dari paman yang seayah dengan ayah.

13)Ayah dari kakek.

14)Pamannya ayah.

15)Orang yang mengasuh perempuan yang bersangkutan.

22

(37)

28

Susunan wali yang harus didahuluakn menurut Imam Hanafi

adalah sebagai berikut:

1) Anak laki-laki, cucu laki-laki, dan seterusnya sampai ke bawah.

2) Ayah, kakek (ayah dari ayah), dan seterusnya sampai ke atas.

3) Saudara laki-laki yang sekandung.

4) Saudaara laki-laki yang seayah.

5) Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang sekandung

6) Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seayah, dan

seterusnya sampai ke bawah.

7) Paman yang bersaudara dengan ayah yang sekandung.

8) Paman yang bersaudara dengan ayah yang seayah.

9) Saudara sepupu atau nak laki-laki dari paman yang bersaudara

dengan ayah yang sekandung, dan seterusnya ke bawah.

Seandainya wali-wali yang disebutkan diatas tidak ada

semuanya, maka yang berhak menjadi wali adalah garis

keturunan perempuan yang sesuai dengan susunanya.

2. Jenis-jenis Wali

Wali memegang peranan penting terhadap keberlangsungan suatu

pernikahan.Menurut Imam Syafi’I dan Imam Malik bahwa keberadaaan

wali adalah termasuk salah satu rukun nikah.Suatu pernikahan tanpa

dihadiri oleh wali dari pihak perempuan adalah tidak sah atau batal.

(38)

هور

)

ٍّﻲِﻟَﻮِﺑ َّﻻِا َحﺎَﻜِﻧ َﻻ

:

َلﺎَﻗ ص ِّﻲِﺒَّﻨﻟا ِﻦَﻋ ضر ﻰَﺳْﻮُﻣ ﻰِﺑَا ْﻦَﻋ

23

(

يرﺎﺨﺒﻟا

.

Artinya: “Dari Abu Musa r.a yang berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidak sah suatu pernikahan tanpa adanya wali”. (HR. Bukhari).

Adapun wali nikah ada empat jenis, yaitu:

1. Wali Nasab, wali nasab adalah wali nikah karena ada hubungan

nasab dengan wanita yang akan melangsungkan pernikahan.

Adapun wali nasab terbagi menjadi dua, yaitu:

a. Wali nasab biasa, yaitu wali nasab yang tidak mempunayi

kewenangan untuk memkasa menikahkan tanpa izin atau

persetujuan dari wanita yang bersangkutan. Dengan kata

lain wali ini tidak mempunyai kewenangan menggunakan

hak ijbar.

b. Wali mujbir, yaitu wali nasab yang berhak memksakan

kehendaknya untuk menikahkan calon mempelai

perempuan tanpa meminta ijin kepada wanita yang

bersangkutan. Hak yang dimiliki oleh wali mujbir disebut

dengan hak ijbar.

2. Wali Hakim, yang dimaksud dengan wali hakim ialah wali

nikah dari hakim atau qadhi. Adapun orang-orang yang berhak

23

(39)

30

menjadi wali hakim adalah Pemerintah (sulthan), Pemimpin

(khilafah), Penguasa (Rois), atau qadhinikah yang diberi

wewenang dari kepala Negara untuk menikahkan wanita yang

berwali hakim.24

3. Wali Tahkim, yaitu wali yang diangkat oleh calon suami atau

calon istri. Wali tahkim terjadi apabila wali nasab tidak ada,

wali nasab ghaib, tidak ada qadli atau pegawai pencatat nikah.

4. Wali Maula, adalah wali yang menikahkan budaknya, yaitu

majikannya sendiri. Adapun maksud budak disini adalah

wanita yang dibawah kekuasaannya/hamba sahaya.

Adapun yang dimaksud dalam penelitian di sini ialah peran wali

terhadap menentukan pasangan yang akan diwalikannya, melihat definisi

di atas dapat diketahui yang mempunyai hak untuk menikahkan terhadap

seseorang yang ada di bawah perwalaiannya dengan tanpa izin dan

persetujuan anaknya adalah wali mujbir.

a. Wali Mujbir menurut Imam Syafi’I adalah ayah, kakek dan

terus ke atas, wali mujbir mempunyai kedudukan istimewa karena boleh

menikahkan anak perempuannya yang masih kecil dan belum baligh. Juga

boleh dianggap dewasa dan masih perawan tanpa minta izin terlebih

dahulu kepada anak yang bersangkutan.25

24

Tihami dan Sohari, Op. Cit., h. 97.

25

(40)

Imam Syafi’I mengacu pada hadis Nabi SAW.

ِﺪْﺒَﻋ ْﻦَﻋ ،ٍﺪْﻌَﺳ ِﻦْﺑ ِدﺎَﯾِز ْﻦَﻋ ،ُنﺎَﯿْﻔُﺳ ﺎﻨﺛﺪﺣ ،ٍﺪﯿِﻌَﺳ ُﻦْﺑ ُﺔَﺒْﯿَﺘُﻗ ﺎﻨﺛﺪﺣ

،ُﺮِﺒْﺨُﯾ ،ٍﺮْﯿَﺒُﺟ َﻦْﺑ َﻊِﻓﺎَﻧ َﻊِﻤَﺳ ،ِﻞْﻀَﻔْﻟا ِﻦْﺑ ِﮫَّﻠﻟا

ٍسﺎَّﺒَﻋ ِﻦْﺑا ِﻦَﻋ

:

ّنَأ

َلﺎَﻗ َﻢَّﻠَﺳَو ِﮫْﯿَﻠَﻋ ُﷲا ﻰَّﻠَﺻ َّﻲِﺒَّﻨﻟا

" :

،ﺎَﮭِّﯿِﻟَو ْﻦِﻣ ﺎَﮭِﺴْﻔَﻨِﺑ ُّﻖَﺣَأ ُﺐِّﯿَّﺜﻟا

ﺎَﮭُﺗﻮُﻜُﺳ ﺎَﮭُﻧْذِإَو ،ُﺮَﻣْﺄَﺘْﺴُﺗ ُﺮْﻜِﺒْﻟاَو

"

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’iid : Telah menceritakan kepada kami Ziyaad bin Sa’d, dari ‘Abdullah bin Al-Fadhl, ia mendengar Naafi’ bin Jubair mengkhabarkan dari Ibnu ‘Abbaas : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Ats-tsayyibu (janda) lebih berhak kepada dirinya sendiri dibandingkan walinya. Adapun seorang gadis dimintai ijin, dan ijinnya itu adalah dengan diamnya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1421].

Hadis ini menunjukaan seorang ayah dibolehkan menikahkan anak

perempuannya yang masih perawan tanpa harus minta izin terlebih dahulu

kepada anak yang bersangkutan.

b. Wali Mujbir menurut Imam Hambali adalah ayah dan

washi, bila kedua orang ini tidak ada maka yang hendak menyandang wali

mujbir adalah hakim dengan syarat bahwa perempuan yang bersangkutan

sudah layak dinikahkan. Kedudukan dan fungsi wali mujbir sama dengan

Imam Syafi’i.

c. Wali Mujbir menurut Imam Malik adalah ayah. Orang lain

dapat diangkat menjadi wali mujbir apabila telah mendapat wasiat dari

bapak. Wasiat yang diucapkan itu harus ada bukti baik secara tertulis

(41)

32

fungsi dari wali mujbir ini adalah boleh menikahkan perempuan yang

kurang waras baik masih kecil maupun sudah beranjak dewasa. Terhadap

perempuan-perempuan yang masih perawan atau sudah janda dan masih

berusia muda, wali ini juga dibolehkan menikahkan dengan laki-laki yang

menjadi pilihannya, tetapi haknya tidak mutlak dan mengandung syarat

tertentu. Apalagi perawan yang memiliki pribadi matang dan bisa

menafkahi diri sendiri, atau janda yang berusia tua, wali ini tidak boleh

menikahkan dengan laki-laki pilihannya sendiri tanpa izin terlebih dahulu

dari mereka.

d. Wali Mujbir menurut Imam Hanafi adalah semua wali yang

tercantum dalam terstrukturisasi adalah wali mujbir, tidak ada perwalian

selain perwalian mujbir.26

Orang yang memiliki hak perwalian ijbar adalah sebagai berikut:

1. Orang yang tidak memiliki kemampuan, atau kurang memiliki

kemampuan, karena masih kecil, atau gila, atau idiot.

2. Perawan yang telah akil baligh. Berlaku hak perwalian ijbar

untuknya menurut jumhur fuqaha selain mazhab hanafi. Karena

illatnya adalah keperawanan, berdasarkan pemahaman hadist.

ﺎَﮭُﺗﻮُﻜُﺳ ﺎَﮭُﻧْذِإَو ،ُﺮَﻣْﺄَﺘْﺴُﺗ ُﺮْﻜِﺒْﻟاَو ،ﺎَﮭِّﯿِﻟَو ْﻦِﻣ ﺎَﮭِﺴْﻔَﻨِﺑ ُّﻖَﺣَأ ُﺐِّﯿَّﺜﻟا

Ats-tsayyibu (janda) lebih berhak kepada dirinya sendiri dibandingkan walinya. Adapun seorang gadis dimintai ijin, dan ijinnya itu adalah dengan diamnya”

26

(42)

Hal ini menunjukkan bahwa nak perempuan yang masih

perawan dan akil baligh hanya dapat dikawinkan dengan

kerelaannya.

3. Menurut mazhab Maliki orang yang memiliki hak perwalian

ijbar adalah Janda yang telah akil baligh yang keperawanannya

hilang dengan perkara yang datang mendadak, seperti akibat

pukulan dan benturan dengan batang kayu, dan yang

sejenisnya. Atau keperawanannya hilang dengan perbuatan

zina atau perkosaan,maka wali mujbir berhak untuk

mengawinkannya.

Sedangkan jumhur fuqaha tidak mengatakan tetapnya

perwalian ijbar terhadap janda yang telah mencapai baligh, atau

pun sebab kehilangan keperawanannya.

C. Peran Wali dan Persetujuan Mempelai Perempuan dalam Hukum Islam Indonesia

Berbicara tentang peran wali dengan pernikahan,

Perundang-undangan Perkawinan Indonesia, sebagaimana yang tertuang dalam

Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 14 dan 19, yang menyatakan bahwa

wali nikah menjadi salah satu rukun nikah. Tanpa kehadiran wali,

perkawinan menjadi tidak sah.27

27

(43)

34

Hubungannya dengan persetujuan calon mempelai, Hukum Islam

Indonesia menetapkannya sebagai salah satu syarat perkawinan.

Persetujuan ini penting agar masing-masing suami dan isteri memasuki

gerbang perkawinan dan berumah tangga, benar-benardapat dengan

senang hati membagi tugas, hak dan kewajibannya secara proporsional.

Dengan demikian, tujuan perkawinan dapat tercapai. Apabila salah satu

atau kedua calon mempelai tidak setuju dengan pernikahan tersebut maka

akad nikah dapat dilangsungkan,28 jika akad nikah (secara paksa) tetap

dilaksanakan maka dapat dibatalkan29 dalam jangka waktu 6 bulan setelah

bebas dari ancaman atau menyadarinya.

Adapun bentuk persetujuan dari para calon mempelai, KHI pasal

16 ayat (2) menjelaskan, "Bentuk persetujuan calon mempelai wanita,

dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan,lisan atau isyarat

tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang

tegas"; dan pasal 17 ayat (3) menyebutkan,"Bagi penderita tuna wicara

atau tuna rungu, persetujuan dapat dinyatakan dengan tulisan atau isyarat

pada KHI pasal 19, "wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindaka untuk menikahkannya".

28

Dijelaskan dalam: UU No.1 1974 pasal 6 ayat (1), "Perkawinan harys didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai ", KHI pasal 16 ayat (1), "perkawinan didasrakan atas persetujuan calon mempelai; dan KHI pasal 17 ayat (2), "bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai maka perkawinan tidak dapat dilangsungkan

29

(44)

yang dapat dimengerti." Sedang proses untuk mengetahui ada atu tidaknya

persetujuan dari kedua mempelai dilakukan dengan cara menanyakan

keduanya sebelum akad nikah dilangsungkan, sebagaimana diatur dala

KHI pasal 17 ayat (1), "Sebelum berlangsungnya perkawinan, Pegawai

Pencatat Nikah menanyakan lebih dahulu persetujuan calon mempelai di

hadapan dua orang saksi nikah". Dengan ditetapkannya ketentuan ini,

diharapkan dapat mengikis budaya sementara masyarakat yang masih

membenarkan praktik kawin paksa, karena Islam sendiri tidak

menghendaki adanya paksaan.30

Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa Perundang-undangan

Perkawinan Indonesia pada prinsipnya tidak lagi mengakui hak ijbar wali,

bahkan mengharuskan adanya persetujuan dari mempelai sebelum akad

nikah dilaksanakan. Apabila terjadi pekawinan paksa, maka para pihak

berhak mengajukan permohonan pembatalan.

30

(45)

36

[image:45.612.159.508.103.380.2]

BAB III

GAMBARAN UMUM PONDOK PESANTREN

A. Pondok Pesantren

Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang khas

di Indonesia, lembaga ini tumbuh dan berkembang sejak masa-masa awal

kedatangan agama Islam di Indonesia.1

Bila menelisik akar katanya, Pondok Pesantren merupakan

rangkaian kata yang terdiri dari kata “pondok” dan kata “pesantren”. Kata

“pondok” (kamar, gubuk, atau rumah kecil) dalam bahasa Indonesia

memiliki makna bangunan yang sederhana. Ada pula kemungkinan kata

“pondok” berasal dari bahasa Arab “funduk” yang berarti ruang tempat

tidur, wisma atau hotel sedehana.2

Sedangkan kata “pesantren” berasal dari kata dasar “santri” yang

dibumbuhi awalan “pe” dan akhiran “an” yang berarti tempat tinggal

santri.3 Dengan demikian bila mengartikan secara bahasa maka pondok

pesantren adalah bangunan sederhana yang digunakan olehsantri sebagai

tempat tinggal sekaligus tempat belajar.4

1

Hamdani Rasyid, kaderisasi Ulama di Pesantren, dalam Dinamika Pesantren Telaah Kritis terhadap Keberadaan Saat ini. Editor: Saefullah Ma’sum. (Jakarta: Yayasan Islam Al-Hidayah-Yayasan Saefuddin Zuhri, 1998) cet. II, h.76.

2

Manfred Ziemek, Pesantren Dalam Perubahan Sosial (Jakarta;P3M, 1986) cet. I, h. 98

3

Zamaksari Dhofier, Tradisi Pesantren (Jakarta: LP3S, 1995) h. 18.

4

(46)

Pengertian pondok pesantren secara terminologis cukup banyak

dikemukakan para ahli. Beberapa ahli tersebut adalah:

1. Dhofier (1994: 84) mendefinisikan bahwa pondok pesantren

adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk

mempelajari, memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran

Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan

sebagai pedoman perilaku sehari-hari.

2. Nasir (2005: 80) mendefinisikan bahwa pondok pesantren

adalah lembaga keagamaan yang memberikan pendidikan dan

pengajaran serta mengembangkan dan menyebarkan ilmu

agama Islam.

3. Team Penulis Departemen Agama (2003: 3) dalam buku Pola

Pembelajaran Pesantren mendefinisikan bahwa pondok

pesantren adalah pendidikan dan pengajaran Islam di mana di

dalamnya terjadi interaksi antara kiai dan ustdaz sebagai guru

dan para santri sebagai murid dengan mengambil tempat di

masjid atau di halaman-halaman asrama (pondok) untuk

mengkaji dan membahas buku-buku teks keagamaan karya

ulama masa lalu. Dengan demikian, unsur terpenting bagi

pesantren adalah adanya kiai, para santri, masjid, tempat

tinggal (pondok) serta buku-buku (kitab kuning).

4. Rabithah Ma฀ahid Islamiyah (RMI) mendefinisikan pesantren

(47)

38

meneruskan risalah Muhammad SAW sekaligus melestarikan

ajaran Islam yang berhaluan Ahlu al - sunnah wa a l - Jam ã

’ah

5. Mastuhu (1994: 6) mendefinisikan bahwa pondok pesantren

adalah lembaga tradisional Islam untuk memahami,

menghayati dan mengamalkan ajaran agama Islam ( tafaqquh fi

al-dîn) dengan menekankan pentingnya moral agama Islam

sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari.

6. Arifin (1995: 240) mendefinisikan pondok pesantren sebagai

suatu lembaga pendidikan agama Islam yang tumbuh serta

diakui oleh masyarakat sekitar, dengan sistem asrama (kampus)

di mana menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian

atau madrasah yang sepenuhnya berada di bawah kedaulatan

dari kepemimpinan (leadership) seorang atau beberapa orang

kiai dengan ciri-ciri khas yang bersifat kharismatik serta

independen dalam segala hal.

Sedangkan pesantren tradisional merupakan jenis pesantren yang

tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai inti

pendidikannya (Asrohah, 1999 : 59).

Menurut Mastuhu (1994: 55) pondok pesantren adalah suatu

lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami,

(48)

menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku

sehari-hari.

Sebuah pesantren pada dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan

Islam tradisional di mana siswanya tinggal bersama dan belajar di bawah

bimbingan seorang (atau lebih) guru yang lebih dikenal dengan sebutan

“kyai”. Asrama untuk para santri berada dalam lingkungan komplek

pesantren di mana kyai bertempat tinggal yang juga menyediakan sebuah

masjid untuk beribadah, ruangan belajar dan kegiatan-kegiatan keagamaan

lainnya.5

Pesantren telah ada di Nusantara kita jauh sebelum lembaga

pendidikan formal gencar dikembangkan. Sejarahnya sangat dialektis dan

fluktuatif. Secara kultural, pesantren nyaris identik dengan pendidikan

tradisional Islam.6 Abdurahman Wahid menjelaskan bahwa sistm

pendidikan pondok pesantren sebetulnya sama dengan sistem yang

dipergunakan Akademi Militer, yakni dicirikan dengan sebuah bangunan

beranda yang di situ seseorang dapat mengambil pengalaman secara

integral. Dibandingan dengan lingkungan pendidikan parsila yang

ditawarkan sistem pendidikan sekolah umum di Indonesia sekarang ini,

sebagai budaya pendidikan nasional, pondok pesantren mempunyai kultur

5

ZaksariDhofie, TradisiPesantren,.Op.cit, h.79-80.

66

(49)

40

yang unik. Karena keunikannya, pondok pesantren digolongkan ke dalam

subkultur tersedia dalam masyarakat Indonesia.7

Sejarah perkembangan pesantren di Indonesia, yaitu tradisi tarekat8

dan diilhami olehlembaga pendidikan “kuttab”.9 Para pengikut tarekat

selain diajarkan amalan-amalan tarekat meraka juga diajarkan kitab-kitab

agama dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan Islam. Aktifitas mereka

kemudian dinamakan pengajian atau halaqoh, dalam perkembangan

selanjutnya lembaga pengajiannya ini tumbuh dan berkembang menjadi

lembaga pesantren.10

B. Kyai

Istilah kyai memiliki pengertian yang plural. Kata kyai bisa berarti

1) sebutan bagi alim ulama (cerdik pandai dalam agama Islam); 2) alim

ulama; 3) Sebutan bagi guru ilmu ghaib (dukun dan sebagainya); 4) kepala

distrik (di Kalimantan Selatan); 5) sebutan yang mengawali nama benda

7

Abdurrahman Wahid, Pesantren Masa Depan, wacana pemberdayaan dan transformasi pesantren, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), h.13.

8

Istilah “tarekat” diambildaribahasa Arab ThariqdanThariqah.Yang berartijalan; jalankontempelatif Islam.Kata inibiasanyadikontraskandengansyariat yang

lebihmengarahkepadakehidupantindakan.Lihat, Muahaimin AG, Islam dalamBingkaiBudayaLokal Cirebon, (Jakarta: Logos 2001) cet. I, h. 337.

9

Istilah “kuttab” adalahlembagapendidikandasar yang

telahmunculsejakzamanNabi.LihatMuhaimin, PemikiranPendidikan Islam (Bandung: Tri GendaKarya, 1993) cet. I h. 298-299.

10

(50)

yang dianggap bertuah (senjata, gamelan dan sebagainya); dan 6) Sebutan

samaran untuk harimau (jika orang melewati hutan).11

Menurut Zamaksary Dhofir, perkataan kyai dipakai untuk tiga jenis

gelar yang saling berbeda:

1. Sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap

kramat; umpamanya, “Kyai Garuda Kencana” dipakai untuk

sebutan Kereta Emas yang ada di Keraton Yogyakarta.

2. Gelar kehormatan untuk orang-orang tua pada umumnya.

3. Gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada para ahli agama

Islam yang dimiliki atau menjadi pemimpin pesantren dan

mengajarkan kitab-kitab Islam Klasik keapda para santrinya.

Selain gelar kyai, ia juga sering disebut seorang alim (orang

yang dalam pengetahuan Islamnya).

Pemakaian istilah kyai tampaknya merujuk kepada kebiasaan

daerah. Pemipin pesantren di Jawa Timur dan Jawa Tengah disebut kyai,

sedang di Jawa Barat disebut ajengan. Secara nasional, term kyai kyai

lebih terkenal daripada ajengan. paralel dengan kyai adalah ulama, yang

merupakan istilah yang ditransfer dari dua sumber skriptual Al-Qur’an dan

al-Sunnah serta digunakan secara rasional. Kyai dan ulama berbeda asala

11

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen

(51)

42

usul bahasanya, tetapi memiliki esensi yang berkualitas tinggi dalam hal

iman, takwa, dan ilmu sebagai ciri khas.12

Kyai adalah pemimpin non formal skaligus pemimpin spiritual, dan

posisinya sangat dekat dengan kelompok-kelompok masyarakat lapisan

bawah di desa-desa. Seabagai pemimpin masayarakat, kyai memiliki

jamaah komunitasa dan masa yang diikat oleh hubungan keguyuban yang

erat dan ikatan budaya paternalistik. Petuah-petuahnya selalu didengar,

diikuti dan dilaksanakan oleh jamaah, komunitas dan massa yang

dipimpinnya.13

Kepercayaan masyarakat masyarakat yang begitu tinggi kepada

kyai dan didukung potensinya memecahkan berbagai problem

sosio-psikis-kultural-politik-religius menyebabkan kyai menempati posisi

kelompok elit dalam struktur sosial dan politik di masyarakat. Kyai sangat

dihormati masyarakat melebihi penghormatan mereka terhadap pejabat

setempat. Petuah-petuahnya memiliki daya pikat yang luar biasa,

sehinggga memudahkan baginya untuk menggalang masa baik secara

kebetulan maupun terorganisasi. Ia memiliki pengikut yang banyak

12

Mujamil Qomar, Pesantren dari Tansformasi Metodologi Menuju Demokrasi Institusi,

(Jakarta: Erlangga,), h.28

13

(52)

jumlahnya dari kalangan santri dalam semua lapisan mulai dari anak-anak

sampai kelompok lanjut usia.14

Para kyai yang memimpin pesantren telah berhasil pengaruhi

mereka diseluruh wilayah negara, dan sebagai hasilnya mereka diterima

menjadi bagian elit nasional. Sejak Indonesia merdeka banyak di antara

yang diangakat menjadi menteri, anggota parlemen, duta besar, dan

pejabat-pejabat tinggi pemer

Gambar

gambaran tersebut dapat dilihat melalui sistematika skripsi berikut ini:
GAMBARAN UMUM PONDOK PESANTREN

Referensi

Dokumen terkait

Regional teams of the Anti Malaria Campaign already carry out control activities for dengue, another mosquito-borne disease, which is now a leading public health problem in

Pendidikan Islam yang selanjutnya akan dikaji ini adalah konsep pendidikan berdasarkan pada pemikiran Hasyim Asy’ari, penulis merasa penting untuk mengkaji pemikiran

Para Dosen yang telah memberikan banyak bekal ilmu pengetahuan dan suri tauladan kepada penulis selama menjadi mahasiswa di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Perbanas

Dalam hal adanya fiksi hukum, yang menyatakan semua keputusan pejabat tata usaha negara adalah berdasarkan undang-undang, maka untuk persyaratan pembayaran pendahuluan tersebut

Pada kegiatan pengeluaran dan pemakaian barang, sebelum menggunakan sistem informasi ii prosedurnya dari seluruh kota pelayanan masih dilakukan dengan bantuan

In the interwar period special role in the process of clergy’s education in the Orthodox Church played College of Orthodox Theology at the University of Warsaw. The ba- sis for

Penjelasan di atas mendukung hasil dari penelitian ini, bahwa terdapat keterkaitan antara pengalaman dengan kebutuhan pembelajaran kitab Risalatul Mahid pada siswi kelas

Bidang PBB & BPHTB Bidang Pajak Daerah & Pendapatan Lain- lain Subbag Umum & Kepegawaian Bidang Anggaran UPT Bidang Akuntansi & Perbendaharaan Seksi