• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara Dukungan Keluarga dan Kepatuhan Minum Obat pada Penderita Tuberkulosis di Wilayah Ciputat Tahun 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan antara Dukungan Keluarga dan Kepatuhan Minum Obat pada Penderita Tuberkulosis di Wilayah Ciputat Tahun 2014"

Copied!
121
0
0

Teks penuh

(1)

DI WILAYAH CIPUTAT TAHUN 2014

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan (S. Kep)

Oleh:

DESY FITRI MAULIDIA

1110104000030

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

(2)

Skripsi dengan judul

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN KELUARGA DAN

KEPATUHAN MINUM OBAT PADA PENDERITA

TUBERKULOSIS DI WILAYAH CIPUTAT TAHUN 2014

Telah disetujui dan diperiksa oleh pembimbing skripsi Program Studi Ilmu Keperawatan

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Disusun Oleh: Desy Fitri Maulidia NIM: 1110104000030

Pembimbing I Pembimbing II

Nia Damiati, S.Kp., MSN Karyadi, PhD

NIP: 19790114 200501 2 007 NIP: 19710903 200501 1 007

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

(3)

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN KELUARGA DAN

KEPATUHAN MINUM OBAT PADA PENDERITA

TUBERKULOSIS DI WILAYAH CIPUTAT TAHUN 2014

Telah disusun dan dipertahankan dihadapan tim penguji

Desy Fitri Maulidia NIM: 1110104000030

Pembimbing I Pembimbing II

Nia Damiati, S.Kp., MSN Karyadi, PhD

NIP: 19790114 200501 2 007 NIP: 19710903 200501 1 007

Penguji I Penguji II

Ernawati, S.Kp.,M.Kep.,Sp.KMB Karyadi, Ph.D

NIP:19731106 200501 2 003 NIP: 19710903 200501 1 007

Penguji III

(4)

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Mengetahui,

Ketua Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Ns. Waras Budi Utomo, SKp. MKM NIP: 19790520 200901 1 012

Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

(5)

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, Juli 2014

Desy Fitri Maulidia

(6)

Nama : Desy Fitri Maulidia

Tempat/Tanggal Lahir : Pontianak, 21 Agustus 1993 Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Status : Belum Menikah

Alamat :

Telepon : 085772475953

Email : nenglidya@gmail.com

nenglidya@rocketmail.com Riwayat Pendidikan :

1. 1998-2004 : MI Miftahul Huda 2. 2004-2007 : MTs Miftahul Huda

3. 2007-2010 : SMA Darul „Ulum 2 BPPT Jombang 4. 2010-2014 : S-1 Ilmu Keperawatan

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

(7)

Bagai sebuah gelas kosong, aku datang ke dunia baru ini, Bagai bayi yang baru lahir aku hadir ditengah-tengah orang hebat,

Kurang dari sedikit bekal aku bawa, sebagai bekal modal awal aku meminta ilmu yang lebih pada guruku.

Kini aku tau apa yang tak aku tau Aku mengerti apa yang tak ku mengerti Dan aku memahami apa yang aku tidak pahami

Karena tanpamu apa jadinya aku

Satu keyakinanku, guruku takkan membiarkanku sama seperti aku dulu.

Satu keyakinanku, ridho’ doa orang tuaku takkan putus kepadaku.

(8)

Undergraduated Thesis, July 2014

Desy Fitri Maulidia, NIM: 1110104000030

Relationship between Family Support and Medication Adherence in Tuberculosis Sufferers in Ciputat Area Year 2014

xvii + 80 pages + 9 Tables + 4 Charts + 1 image + 6 Attachments

ABSTRACT

Introduction: High number of tuberculosis (TB) cases and low number of medication achievement which one of cause is drop out makes the treatment longer. Besides, the number of Multi Drug Resistance (MDR) and complication of TB will high. Methods: This quantitative cross sectional study was taken from 69 respondent by total sampling at two health centers under the Department of Health South Tangerang in June 2014. The data was collected through two questionnaires, they are Morinsky Medication Adherence Scale (MMAS) and family support questionnaire. Analyze: Analyze was used univariate and Chi Square test for bivariate. Result: Persentage of respondents with good family support are 60.9%, respondents with bad family support are 39.1%. Persentage of respondents with good medication adherence are 73.9%, and bad medication adherence are 26.1%. The data result obtained p value = 0.00 which is less than 0.05. Discussion: there is significant relationship between the variables of family support to variable medication adherence. However, involving the family within the treatment is best recommend on medication treatment.

(9)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Skripsi, Juli 2014

Desy Fitri Maulidia, NIM: 1110104000030

Hubungan antara Dukungan Keluarga dan Kepatuhan Minum Obat pada Penderita Tuberkulosis di Wilayah Ciputat Tahun 2014

xii + 80 halaman + 9 Tabel + 4 bagan + 1 gambar + 6 lampiran

ABSTRAK

Latar Belakang: Tingginya kasus tuberkulosis (TB) dan rendahnya angka capaian pengobatan yang salah satunya diakibatkan putus obat menyebabkan pengobatan memakan waktu yang lebih lama. Selain itu, dapat menyebabkan tingginya kasus Multi Drug Resistance (MDR) dan komplikasi lebih lanjut. Metode: Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif cross sectional pada 69 responden dengan teknik total sampling di dua Puskesmas dibawah Dinas Kesehatan Tangerang Selatan pada bulan Juni 2014. Pengumpulan data menggunakan dua instrumen, yaitu kuesioner kepatuhan Morinsky Medication Adherence Scale (MMAS) dan kuesioner dukungan keluarga. Analisis: Analisis data menggunakan analisis univariat dan uji Chi Square pada analisis bivariat. Hasil: Persentase responden yang memiliki dukungan baik sebesar 60,9%, dukungan buruk sebesar 39,1%. Persentase responden yang patuh sebesar 73,9%, dan tidak patuh sebesar 26,1%. Hasil uji Chi Square didapatkan nilai p value = 0,00 yakni lebih kecil dari 0,05. Kesimpulan: hitungan statistik bermakna atau ada hubungan antara variabel dukungan keluarga terhadap variabel kepatuhan minum obat. Sehingga disarankan untuk melibatkan keluarga dalam pengobatan. Kata kunci: Dukungan Keluarga, Kepatuhan Minum Obat, Tuberkulosis

(10)

Alhamdulillahirobbil‟alamin, puji syukur Kehadirat Allah Azza wa Jalla

atas berkat, rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga penyusunan skripsi yang berjudul “Hubungan antara Dukungan Keluarga dan Kepatuhan Minum Obat pada Penderita Tuberkulosis di Wilayah Ciputat Tahun 2014” ini dapat diselesaikan

dengan baik.

Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan skripsi ini banyak mengalami kesulitan namun berkat pertolongan dari Allah SWT serta bantuan, bimbingan, dan kerjasama dari berbagai pihak sehingga kesulitan tersebut dapat diatasi. Untuk itu, tak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. (hc) dr. M. Kamil Tajudin, Sp.And selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Ns. Waras Budi Utomo, S. Kep., MKM selaku Ketua Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Ibu Nia Damiati, S.Kp., MSN selaku dosen pembimbing I dan Bapak Karyadi, PhD selaku dosen pembimbing II, yang telah bersedia membimbing penulis serta sabar, tekun, tulus, ikhlas meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam penyelesaian skripsi ini.

(11)

6. Abah (H. Abd. Qodir Albas) dan Umi (Sya‟diah Saiman), Yu Lail, Yu Ubai, Icha, dan Ari yang selalu memberi dukungan meski jarak memisahkan kami. 7. Masyayikh Pondok Pesantren Darul „Ulum yang mengajarkan penulis tentang

dunia dan setelahnya.

8. Kementrian Agama yang sudah memberi saya kesempatan untuk melanjutkan pendidikan di tingkat perguruan tinggi hingga akhir masa studi.

9. Teman CSS PTN UIN Syarif Hidayatullah Jakarta baik pengurus maupun anggota yang mendampingi penulis selama masa perkuliahan. Teman CSS Nasional baik pengurus maupun anggota yang menjadi keluarga besar penulis di CSS. Sahabat-sahabat PMII yang mengenalkan penulis tentang arti sebuah perjuangan.

10.Unconditional friendship My (Fidah, Fitri, Naila dan Nina) Rainbow” yang selalu menyemangati serta menemani penulis dalam suka dan duka. Neighbourhood kost Nok Adel dan Mamih Alif yang mendorong penulis

untuk selalu bangkit. Teman-teman PSIK angkatan 2010 yang selalu memberi semangat dengan jargon “compaq”nya.

11.Seluruh pihak yang telah mendukung kelancaran skripsi ini hingga selesai.

Ciputat, Juli 2014

(12)

LEMBAR PERSETUJUAN ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

LEMBAR PERNYATAAN ... v

RIWAYAT HIDUP ... vi

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vii

ABSTRACT ... viii

1. Pengertian Tuberkulosis ... 13

2. Faktor-Faktor Terjadinya Tuberkulosis ... 15

3. Patofisiologi Tuberkulosis... 17

4. Pengobatan Tuberkulosis ... 20

B. Keluarga ... 27

1. Pengertian Keluarga... 27

2. Fungsi Keluarga ... 30

3. Dukungan Keluarga... 31

C. Kepatuhan ... 34

1. Pengertian Patuh ... 34

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan.... 36

D. Kerangka Teori... 41

E. Penelitian Terkait ... 43

BAB III : KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS, DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 45

A. Kerangka Konsep ... 45

B. Hipotesis ... 45

C. Definisi Operasional ... 46

BAB IV : METODE PENELITIAN ... 49

(13)

2. Sampel ... 50

D. Pengumpulan Data ... 51

E. Alat Pengumpulan Data ... 51

F. Uji Validitas dan Realibilitas Instrumen Penelitian ... 52

G. Pengolahan Data ... 54

H. Analisis Data Statistik ... 55

I. Etika Penelitian ... 56

BAB V : HASIL PENELITIAN ... 58

A.Gambaran Umum Populasi ... 58

B.Analisis Univariat ... 59

1. Data Demografi ... 59

2. Tabulasi Silang Variabel Demografi dengan Kepatuhan ... 61

3. Variabel Dependen dan Independen ... 62

C.Analisis Bivariat ... 63

1. Tabulasi Silang Variabel Dukungan Keluarga terhadap Kepatuhan ... 63

BAB VI : PEMBAHASAN ... 65

A.Analisis Data Demografi ... 65

1. Gambaran Jenis Kelamin terhadap Kepatuhan ... 65

2. Gambaran Usia terhadap Kepatuhan ... 66

3. Gambaran Pekerjaan terhadap Kepatuhan ... 67

4. Gambaran Pendidikan Terakhir terhadap Kepatuhan ... 68

B.Analisis Variabel Dependen dan Independen ... 68

1. Gambaran Dukungan Keluarga Penderita Tuberkulosis ... 68

2. Gambaran Kepatuhan Minum Obat Penderita Tuberkulosis ... 70

C.Analisis Hubungan antara Dukungan Keluarga dengan Kepatuhan Minum Obat ... 71

D.Keterbatasan Penelitian ... 72

BAB VII : KESIMPULAN DAN SARAN ... 73

A.Kesimpulan ... 73

B.Saran ... 74

(14)

Tabel 2.2 Farmakoterapi yang umum digunakan pada pasien TB .... 22 Tabel 2.3 Panduan 2 OAT Kategori 1 ... 23 Tabel 2.4 Panduan 2 OAT Kategori 1 ... 23 Tabel 3.1 Definisi Operasional ... 47 Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Responden Menurut Data Demografi

di Wilayah Ciputat Juni 2014 ... 59 Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Responden Menurut Demografi

dengan Kepatuhan Minum Obat di Wilayah Ciputat

Juni 2014 ... 61 Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Sampel Menurut Dukungan dan

Kepatuhan Minum Obat di Wilayah Ciputat Juni

2014 ... 63 Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Responden Menurut Dukungan

Keluarga terhadap Kepatuhan Minum Obat di Wilayah

(15)
(16)
(17)

Lampiran 2: Informed Consent

Lampiran 3: Kuesioner Dukungan Keluarga Lampiran 4: Kuesioner Kepatuhan

(18)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. TB juga terbagi atas dua macam yakni TB paru

dan TB ekstra paru (Ormerod dalam Gough, 2011). Peningkatan insiden TB diketahui sebanyak 2 milyar orang (1/3 populasi di dunia) dan kejadian kasus baru TB didunia sebanyak 8,6 juta (Lewis dkk, 2007). Pada tahun 1999, World Health Organization (WHO) memperkirakan setiap tahun terjadi 583.000

kasus baru TB dengan kematian karena TB sekitar 140.000. Di Amerika, ras Asia memiliki angka TB paling tinggi dibanding ras lainnya yakni 29,3% (Centers for Disease Control in US dalam Lewis dkk, 2007). Selain itu, penyakit TB juga menyerang sebagian besar kelompok usia kerja produktif, kelompok ekonomi lemah, dan berpendidikan rendah. Semenjak tahun 2000, TB dinyatakan oleh WHO sebagai reemergencing disease, karena angka kejadian TB yang telah dinyatakan menurun pada tahun 1990-an kembali meningkat.

Sebagaimana telah dilaporkan dalam laporan Penanggulangan TBC Global yang dikeluarkan oleh WHO pada tahun 2004, bahwa angka insidensi TB pada tahun 2002 mencapai 555.000 kasus (256 kasus/100.000 penduduk), dan 46% diantaranya diperkirakan merupakan kasus baru. Sedangkan angka capaian kasus yang ditetapkan dalam Millenium Development Goal‟s (MDG‟s) ialah sebesar 222 kasus /100.000 penduduk. Demikian pula dengan

(19)

angka dibawah standar MDG‟s yakni sebesar 289 kasus /100.000 penduduk,

sebagaimana dalam laporan internasional menyatakan pula bahwa Indonesia merupakan penyumbang kasus TB terbesar ketiga setelah Cina dan India (Muttaqin, 2007). Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1992, penyakit TB paru di Indonesia merupakan penyebab kematian nomor dua terbesar setelah penyakit jantung. Sebagian besar penderita TB paru berasal dari kelompok masyarakat usia produktif dan berpenghasilan rendah (Muttaqin, 2007). Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 menunjukkan bahwa penyakit TB adalah penyebab kematian nomor satu dari golongan penyakit infeksi pada semua kelompok usia. Prevalensi penduduk Indonesia yang didiagnosis TB paru menurut Riskesdas (2013) oleh tenaga kesehatan adalah 0,4%, tidak berbeda dengan 2007 Lima provinsi dengan TB paru tertinggi adalah Jawa Barat (0,7%), Papua (0,6%), DKI Jakarta (0,6%), Gorontalo (0,5%), Banten (0,4%) dan Papua Barat (0,4%). Meskipun begitu harapan untuk hidup bisa diperkirakan sebanyak 22 juta sejak tahun 1995 hingga 2012 (WHO, 2013). Ini terjadi dikarenakan manajemen pengobatan yang baik.

(20)

pengobatan TB dari WHO menyatakan bahwa untuk pengobatan efektif dan terapuetik dibutuhkan waktu selama 6 bulan (dengan syarat tertentu) dimana tidak diperbolehkan ada kelalaian saat menjalani pengobatan tersebut (WHO, 2013).

Berdasarkan data dari Berkala Ilmiah Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Indonesia (BIMKMI) tahun 2009, angka capaian Indonesia dalam pemberian obat ialah sebesar 91%, namun angka temuan kasus baru sekitar 71%, maka pada tahun 2012 angka capaian pengobatan menurun menjadi 87% dengan temuan kasus baru 40,47% (Departemen Kesehatan, 2013). Ini menandakan bahwa Indonesia bisa melakukan pengobatan namun masih kurang terhadap controlling. Salah satu tantangan dalam pengobatan ini ialah kurang patuhnya

penderita dalam minum obat itu sendiri akibatnya angka Multi Drug Resistance akan semakin tinggi (BIMKMI, 2012).

Angka capaian pengobatan yang lengkap dan sembuh di Indonesia masih rendah yaitu sebesar 6,6%, sedangkan di Banten yang merupakan provinsi yang membawahi cakupan populasi peneliti sebesar 6,1% (Kemenkes RI, 2012). Dalam suatu penelitian menunjukkan bahwa hampir setengahnya dari responden patuh (37,3%) menjalani pengobatan TB baik fase intensif maupun fase lanjutan, sedangkan sebagian besar responden (62,7%) tidak patuh menjalani pengobatan TB (Nursiswati, 2013). Sejalan dengan Drug resistant survey (DRS) TB yang dilakukan di Propinsi Jawa Tengah tahun 2006

(21)

Hasil sementara DRS yang sedang berjalan di Provinsi Jawa Timur juga menunjukkan hasil yang mendekati.

Pengobatan yang tidak teratur atau kelalaian dalam mengkonsumsi obat, pemakaian OAT yang tidak atau kurang tepat, maupun pengobatan yang terputus dapat mengakibatkan resistensi bakteri terhadap obat. Pengobatan yang tidak teratur dan kombinasi obat yang tidak lengkap dimasa lalu pun, juga diduga telah menimbulkan kekebalan ganda kuman TB terhadap obat anti tuberkulosis (OAT) atau Multi Drug Resistance (MDR). Hal ini yang harus dicegah dan ditanggulangi di Indonesia.

Besarnya masalah resistensi terhadap obat TB dan permasalahan multidrug-resistant tuberculosis tuberculosis (MDR-TB) hingga saat ini masih

tercatat pada level tertinggi. Fakta tersebut mengacu pada laporan terbaru dari World Health Organization (WHO) yang menampilkan temuan tersebut

berdasarkan survey mengenai resistensi terhadap obat TB. Demikian seperti dikuti dari situs resmi badan kesehatan dunia tersebut.

Laporan Anti-Tuberculosis Drug Resistance in the World, didasarkan pada informasi yang dikumpulkan antara tahun 2002-2006 pada 90.000 penderita TB di 81 negara. Laporan tersebut juga menemukan bahwa extensively drug-resistant tuberculosis (XDR-TB), salah satu yang hampir tidak dapat diobati

dari penyakit saluran pernapasan, telah tercatat di 45 negara.

(22)

kedua yang penggunaannya diawasi oleh WHO dengan ketat selama 18-24 bulan. Estimasi jumlah penderita TB MDR kasus baru dan pengobatan ulang adalah 6100 (WHO, 2013). Indonesia menempati urutan ke 16 diantara 22 negara yang mempunyai beban tinggi untuk MDR TB, sedikitnya sudah ada ditemukan 8 kasus TB XDR di Indonesia (WHO, 2013).

Komplikasi tuberkulosis yang serius dan meluas saat ini adalah berkembanganya basil tuberkulosis yang resisten terhadap berbagai kombinasi obat yang dapat menyebabkan keparahan bahkan tuberkulosis ekstra paru seperti efusi pleura, TB perikarditis, pneumotorax, TB meningitis, TB spodilitis, TB pencernaan, dan TB saluran kemih (Mbata, 2013). Sehingga siapapun yang terpajan dengan galur basil ini, juga dapat menderita TB resisten multi-obat, yang dalam beberapa tahun dapat mengakibatkan morbiditas bahkan kematian. Jika sudah demikian, akan memerlukan terapi yang lebih banyak dan mahal dengan kecenderungan mengalami kegagalan (Corwin, 2008).

(23)

Penelitian oleh Ahsan dkk., tahun 2012 menyatakan bahwa salah satu faktor yang dapat meningkatkan kepatuhan pengobatan pada penderita dengan penyakit kronik ialah adanya dukungan keluarga yang baik. Dukungan keluarga sangat diperlukan terutama pada penderita TB yang juga merupakan penyakit kronik dan mengharuskan ia mengkonsumsi obat dengan jangka waktu yang lama, karena keluarga merupakan lini pertama bagi penderita apabila mendapatkan masalah kesehatan atau meningkat kesehatan itu sendiri. Merupakan salah satu fungsi keluarga untuk mendukung anggota keluarga yang sakit dengan berbagai cara, seperti memberi dukungan dalam mengkonsumsi obat (Plos Medicine, 2007).

Begitu pula penelitian oleh Warsito (2009) yang mengatakan bahwa dukungan keluarga berpengaruh pada kepatuhan minum obat pada pasien TB dalam fase intensif. Berbeda dengan penelitian kali ini dimana kedua fase, baik intensif maupun lanjutan akan dilihat bagaimana tingkat kepatuhannya. Kecenderungan penderita untuk bosan dan putus obat saat pengobatan karena sudah memakan waktu lama merupakan salah satu faktor ketidakpatuhan itu sendiri.

(24)

Secara fungsional dukungan sosial mencakup dukungan emosional dengan mendorong adanya ungkapan perasaan, memberi nasihat atau informasi, dan pemberi bantuan material (Ritter dalam Smet dalam Nursalam, 2007). Dukungan sosial juga terdiri atas pemberian informasi baik dengan memberi nasihat verbal dan atau nonverbal, bantuan nyata atau tindakan yang diberikan oleh keakraban sosial atau didapat karena kehadiran mereka dan mempunyai manfaat emosional atau efek perilaku bagi pihak penerima (Gottlieb dalam Smet dalam Nursalam, 2007)

Hasil dari studi pendahuluan yang dilakukan dengan menggunakan pengambilan data primer dengan cara deep interview di Puskesmas Ciputat Timur didapatkan bahwa dari 4 orang yang sedang menjalani pengobatan kategori 1, 1 diantaranya sadar akan pentingnya patuh, dan 3 lainnya cenderung untuk tidak patuh. Kemudian 2 dari 3 yang memiliki kecendrungan tidak patuh, memiliki dukungan keluarga yang kurang baik, 1 lainnya memiliki dukungan keluiarga yang baik. Salah satu alasan penderita untuk tidak patuh ialah bahwa penderita yang meski tinggal dengan suami sebagai keluarga terdekatnya, kurang memberikan dukungan dalam hal pengobatan sehingga kekonsistenan penderita dalam mengkonsumsi obat dalam sehari tidak terkontrol. Ini menandakan bahwa masih banyak penderita yang tidak patuh terhadap pengobatan TB, meskipun sudah dicanangkan secara nasional dan cuma-cuma.

(25)

keluarga menjadi sangat diperlukan bagi penderita yang dengan pengobatan jangka lama. Namun yang menjadi konsen peneliti ialah apakah keluarga benar-benar mendukung proses pengobatan penderita baik yang sedang dalam fase intensif maupun fase lanjutan, kategori 1 maupun kategori 2 sehingga tidak hanya keberadaan keluarga yang dilihat, namun dukungan serta kepedulian keluarga akan menjadi salah satu pertimbangan saat penderita akan memulai rencana pengobatan.

Beradasarkan latar belakang permasalahan di atas, penulis ingin meneliti pengaruh dukungan keluarga terhadap kepatuhan minum OAT pada penderita TB dengan judul “Hubungan antara Dukungan Keluarga dan Kepatuhan Minum Obat pada Penderita Tuberkulosis di Wilayah Ciputat Tahun 2014”.

B. Rumusan Masalah

(26)

Pengobatan yang tidak teratur dan kombinasi obat yang tidak lengkap dimasa lalu pun, juga diduga telah menimbulkan kekebalan ganda kuman TB terhadap obat anti tuberkulosis (OAT) atau Multi Drug Resistance (MDR). Hal ini yang harus dicegah dan ditanggulangi di Indonesia. Dengan terjadinya MDR, basil tuberkulosis yang resisten terhadap berbagai kombinasi obat yang dapat menyebabkan keparahan bahkan tuberkulosis ekstra paru seperti efusi pleura, tuberkulsis perikarditis, pneumotorax, TB meningitis, TB spodilitis, TB pencernaan, dan TB saluran kemih (Mbata, 2013).

Hasil dari studi pendahuluan menyimpulkan bahwa dari 3 penderita dengan kecendrungan tidak patuh, 1 memiliki dukungan keluarga yang baik dan 2 lainnya memiliki dukungan yang kurang baik. Hal ini mencerminkan bahwa dukungan dapat mempengaruhi kepatuhan penderita dalam menjalani pengobatan jangka panjang.

Dari paparan tersebut didapatkan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana gambaran demografi jenis kelamin, usia, pekerjaan dan pendidikan terakhir penderita TB di wilayah Ciputat?

2. Berapa perbandingan penderita yang patuh dan tidak patuh dalam menjalani pengobatan?

3. Bagaimana gambaran dukungan keluarga terhadap penderita TB di wilayah Ciputat?

(27)

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan antara dukungan keluarga terhadap tingkat kepatuhan minum obat anti TB pada penderita TB.

2. Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasi demografi jenis kelamin, usia, pekerjaan dan pendidikan terakhir penderita TB di wilayah Ciputat.

b. Mengidentifikasi perbandingan penderita yang patuh dan tidak patuh dalam menjalani program pengobatan.

c. Mengidentifikasi gambaran dukungan keluarga terhadap penderita TB di wilayah Ciputat.

d. Mengidentifikasi hubungan antara dukungan keluarga terhadap tingkat kepatuhan pengobatan penderita TB

D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Perawat

(28)

2. Bagi Puskesmas

Sebagai masukan dalam penyusunan program khususnya penderita kambuh terkait dengan pengoptimalan peran keluarga dalam merawat keluarga yang sakit dalam upaya penanggulangan TB.

3. Bagi Penderita dan Keluarga

Sebagai saran dan gambaran kepada penderita tentang pentingnya kepatuhan dalam program pengobatan jangka panjang. Serta memberitahukan keluarga, bahwa dukungan yang positif dapat meningkatkan kepatuhan penderita sehingga tujuan pengobatan dapat tercapai.

4. Bagi Penelitian Selanjutnya

(29)

TINJAUAN PUSTAKA

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh agen infektif spesifik (organisme dan mikro-organisme) serta manifestasi kliniknya merupakan karakteristik penyakit tertentu. Penyakit ini dapat menular baik langsung maupun tidak langsung dari satu orang ke orang lain atau dari hewan ke orang (Van Den Berg dan M. J. Viljoen, 2007). Selain merupakan penyakit menular, TB juga digolongkan sebagai penyakit kronik karena jangka waktu yang diperlukan untuk sembuh dengan pengobatan secara farmako membutuhkan waktu minimal 6 bulan (WHO, 2013).

(30)

A. Tuberkulosis

1. Pengertian Tuberkulosis

Tuberkulosis (TB) merupakan airborne infection yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis, pada umumnya menyerang bagian paru dengan cara penularannya secara inhalasi/droplet (yaitu pada saat orang yang terinfeksi batuk, bersin, berbicara, bernyanyi atau bernafas) serta ditandai oleh beberapa gejala saat fase aktif (Centers of Disease Control’s Noon Conference, Javis dalam McLafferty, 2013;

Gough, 2011; Gordon dan Mwandumba dalam Mc Lafferty, 2013; WHO, 2013). Gejala yang timbul pada penderita TB pada saat bakteri tersebut aktif, dimana pada orang yang sehat (memiliki sistem imun yang baik) infeksi Mycobacterium tuberculosis tidak menimbulkan gelaja apapun, namun pada orang yang positif terinfeksi TB paru biasanya ditandai dengan batuk (disertai sputum atau darah), haemoptosis, susah nafas, letargi, malaise, nyeri dada, kelemahan, hilang berat badan, demam dan berkeringat di malam hari (WHO, 2013; Health Protection Agency dalam Gough, 2011). Apabila terdapat gejala tersebut pada satu penderita yang mengindikasikan TB, maka dapat dilakukan pemeriksaan X-Ray dan kultur sputum (Jarvis dalam McLafferty, 2013).

(31)

pada anak dapat terjadi di usia berapa pun, namun, usia paling umum adalah antara 1-4 tahun. Angka kejadian (prevalensi) TB paru-paru pada usia 5-12 tahun cukup rendah, kemudian meningkat setelah usia remaja dimana TB paru-paru menyerupai kasus pada penderita dewasa (sering disertai kavitas pada paru-paru) (Somantri, 2007).

Terdapat 2 jenis penderita dengan TB: 1) Penderita dengan infeksi TB namun tidak ada tanda dan gejala yang muncul, dikarenakan bakteri belum aktif (dorman) biasa disebut masa laten. 2) Penderita yang terinfeksi dan sakit, ditandai dengan adanya tanda dan gejala yang muncul dikarenakan bakteri sudah aktif menyerang (CDC, 2012; Gough, 2011). Secara terperinci klasifikasi TB ditampilkan pada tabel 2.1 berikut.

Tabel 2.1: Sistem Klasifikasi TB (CDC, 2000 dalam Price dan Lorraine, 2005)

Kelas Tipe Keterangan

0 Tidak ada pajanan TB Tidak ada riwayat terpajan

Tidak terinfeksi Reaksi terhadap tes kulit tuberkulin negatif

1 Terpajan TB Riwayat terpajan

Tidak ada bukti infeksi Reaksi tes kulit tuberkulin negatif 2 Ada infeksi TB Reaksi tes kulit tuberkulin positif

Tidak timbul penyakit Pemeriksaan bakteri negatif (bila dilakukan).

Tidak ada bukti klinis, bakteriologik, atau radiografik TB aktif

3 TB, aktif secara klinis Biakan M. Tuberculosis (bila dilakukan)

Sekarang terdapat bukti klinis bakteriologik, atau radiografik penyakit

4 TB, tidak aktif secara klinis Riwayat episode TB, atau

Ditemukan radiografi yang abnormal atau tidak berubah; reaksi tes kulit tuberkulin positif; dan

(32)

Kelas Tipe Keterangan

5 Tersangka TB Diagnosa ditunda; pasien seharusnya tidak boleh berada di kelas ini lebih dari 3 bulan

2. Faktor-Faktor Terjadinya Tuberkulosis

Hiswani dalam Sahat (2010) mengatakan pada penelitiannya bahwa keterpaparan penyakit TB pada seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti: status sosial ekonomi, status gizi, umur, jenis kelamin dan faktor sosial lainnya.

a. Faktor Sosial Ekonomi

Faktor ini sangat erat kaitannya dengan keadaan rumah, kepadatan hunian, lingkungan perumahan, lingkungan dan sanitasi tempat kerja yang buruk dapat memudahkan penularan TBC. Pendapatan keluarga sangat erat juga dengan penularan TBC, karena pendapatan yang kecil membuat orang tidak dapat layak dengan memenuhi syarat-syarat kesehatan.

b. Status Gizi

Keadaan malnutrisi atau kekurangan kalori, protein, vitamin, zat besi dan lain-lain, akan mempengaruhi daya tahan tubuh seseorang sehingga rentan terhadap penyakit termasuk TB paru. Keadaan ini merupakan faktor penting yang berpengaruh di negara miskin, baik pada orang dewasa maupun anak-anak.

c. Umur

(33)

menyebabkan usia harapan hidup lansia menjadi lebih tinggi. Usia lanjut lebih dari 55 tahun sistem imunologis seseorang menurun, sehingga sangat rentan terhadap berbagai penyakit, termasuk penyakit TB. Penyebab penyakit pada lanjut usia (lansia) pada umumnya berasal dari dalam tubuh (endogen), sedangkan pada orang dewasa berasal dari luar tubuh (eksogen). Hal ini disebabkan karena pada lansia telah terjadi penurunan fungsi dari berbagai organ-organ tubuh akibat kerusakan sel-sel karena proses menua, sehingaa prodeksi hormon, enzim, dan zat-zat yang diperlukan untuk kekebalan tubuh menjadi berkurang. Dengan demikian, lansia akan lebih mudah terkena infeksi. Sering pula, penyakit dari satu jenis (multipalogi), dimana satu sama lain dapat berdiri sendiri maupun saling berkaitan dan memperberat (Maryam, R.S dkk., 2008).

d. Jenis Kelamin

Penderita TB cenderung lebih, tinggi pada laki-laki dibandingkan perempuan. Pada jenis kelamin laki-laki penyakit ini lebih tinggi karena merokok tembakau dan minum alkohol sehingga dapat menurunkan sistem pertahanan tubuh, sehingga lebih mudah terpapar dengan agent penyebab TB paru.

Public Health Agency of Canada (2010) menyatakan bahwa selain

faktor diatas, gaya hidup merokok juga dapat memperparah penyakit TB dikarenakan asap rokok dapat menyerang paru-paru dalam 3 cara:

(34)

2) Asap rokok merusak sistem imun tubuh, yang berarti perokok kurang mampu melawan infeksi TB.

3) Asap rokok mengurangi efektifitas pengobatan TB yang dapat memperlama periode infeksi atau memperparah infeksi.

Curry (2007), menyebutkan bahwa dalam mengendalikan infeksi TB diperlukan pula pengendalian lingkungan, dengan beberapa anjuran yaitu: (a) Menggunakan ventilasi untuk mengurangi risiko penyebaran TB. (b) Ventilasi alami dan kipas angin. (c) Menggunakan aliran udara mengarah keluar untuk mengurangi risiko penyebaran TB. (d) Sistem ventilasi pusat. (e) Menggunakan tekanan negatif untuk mengurangi risiko penyebaran TB. (f) Menggunakan Ultraviolet Germicidal Irradiation (UVGI) untuk mengurangi risiko penyebaran TB; dan (g) Upper Air UVGI And High-effi ciency Particulate Air (HEPA) Filter Units.

3. Patofisiologi Tuberkulosis

Tuberkulosis (TB) disebabkan oleh sekelompok bakteri yang disebut Mycobacterium. Mikobakteria yang menyebabkan TB pada manusia adalah Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium bovis dan Mycobacterium africanum. TB dapat menyerang bagian tubuh manapun.

(35)

penularannya karena transmisi infeksi (Gordon and Mwandumba dalam Gough, 2011).

Mycobacterium tuberculosis merupakan mikobakteria kecil tidak

berspora, bentuk batang (agak cembung) yang disebut basil, organisme gram positif asam, yang memiliki dinding sel kaya lipid (Grange dalam Gough, 2011). Merupakan organisme aerob, sehingga lebih suka menyerang paru-paru (Pratt 2003 dalam Gough, 2011). Selain mikobakteria di atas, ada mikobakteria yang tidak dapat menyebabkan TB. Mikobakteria ini terdapat di tanah, air, debu, dan binatang. Namun dapat menyebabkan keparahan jika ada kerusakan paru sebelumnya karena mengalami immunocompremise seperti HIV (Banks and Campbell dalam Gough, 2011).

(36)

mekanisme pertahanan alami dari tubuh yang bertujuan untuk mengisolasi infeksi. Sehingga lingkungan seperti ini diharapkan akan menghambat replikasi basilus dan menghentikan infeksi (Lucas dalam Gough, 2011).

Infeksi primer pada penderita dewasa imunokompeten yaitu penderita dengan imunitas host yang tinggi, mikobakteria terbunuh atau tidak dapat bereplikasi (Gordon and Mwandumba dalam Gough, 2011). Sehingga mayoritas orang yang terserang TB tidak akan mengalami tanda dan gejala, 70% orang yang imunokompeten dapat membasmi basil keseluruhan. Sedangkan sisa bakteri yang masih ada disebut sebagai infeksi TB laten dimana bakteri tidak terbunuh, tetapi mengalami dormansi. Namun, 5-10% penderita dengan TB laten dapat menjadi aktif kembali (Health Protection Agency dalam Gough, 2011). Individu dengan infeksi TB laten tidak terlihat sakit dan terinfeksi. Namun jika bakteri mulai mengganda selama beberapa bulan atau tahun kemudian, maka dapat menjadi aktif dan gejala sakit serta infeksi mulai terlihat (National Institute for Health and Clinical Excellence dalam Gough, 2011). Jika

(37)

Bagan 2.1: Patoflow patofisiologi Tuberkulosis (kombinasi Sylvia, 2005 dan Gough, 2011)

4. Pengobatan Tuberkulosis

Pengobatan TB berupa pemberian obat antimikroba dalam jangka waktu lama. Obat-obat ini juga dapat digunakan untuk mencegah timbulnya penyakit klinis pada seseorang yang sudah terjangkit infeksi. Menurut ATS (Price, 2005), tiga prinsip dalam pengobatan TB yang berdasarkan pada: (a) Regimen harus termasuk obat-obat multipel yang sensitif terhadap mikroorganisme. (b) Obat-obatan harus diminum secara teratur; dan (c) Terapi obat harus dilakukan terus menerus dalam waktu

Mycobacterium tuberculosis

(38)

yang cukup untuk menghasilkan terapi yang paling efektif dan paling aman dalam waktu yang paling singkat. Dan faktor penting untuk keberhasilan pengobatan adalah ketaatan penderita dalam meminum regimen obat.

Menurut Connolly et al. (2007), penggunaan obat dengan jangka waktu yang lama ini didasarkan pada sifat bakteri, dimana Mycobacterium Tuberculosis memiliki: antibiotic indifference, biofilms, dormancy,

latency, persisters, dan phenotypic antibiotic resistance. Masing-masing sifat ini dijelaskan dibawah ini:

a. Antibiotic indifference adalah sub tipe resistensi bersifat fenotip terhadap antibiotik, yang dikarenakan terjadi penurunan atau tidak adanya pertumbuhan bakteri pada koloni bakteri. Umumnya merupakan respon terhadap kondisi lingkungan yang merugikan, seperti adanya reaksi pertahanan host terhadap antibiotik.

b. Biofilms adalah pembungkus bakteri yang berbentuk multiseluler yang bertujuan untuk mencegah antibiotik merusak gen bakteri.

c. Dormancy adalah kata lain dari saat tidak bereplikasi (nonreplicating). Tujuannya untuk bisa menetap di dalam host, sehingga tidak dapat dikenali baik oleh sistem imun maupun antibiotik. Karena pada saat tidak bereplikasi antibiotik tidak akan bereaksi, dengan kata lain antibiotik dapat berfungsi ketika ada replikasi atau pergerakan dari bakteri.

(39)

e. Persisters adalah kejadian dimana bakteri dapat meningkat dalam jumlah banyak dan menurun atau bahkan tidak berkembang.

f. Phenotypic antibiotic resistance merupakan istilah umum untuk fenomena dimana bakteri memiliki gen yang homogen dengan antibiotik sehingga antibiotik tidak sensitif terhadap bakteri.

Pada dasarnya standar yang digunakan untuk pengobatan TB aktif membutuhkan waktu selama 6 atau 9 bulan (CDC, 2012; Gough, 2011; WHO, 2013) dengan beberapa macam farmakoterapi. Berikut 4 obat yang umum digunakan untuk pengobatan TB beserta dosisnya, sebagaimana tabel 2.2 berikut.

Tabel 2.2: Farmakoterapi yang umum digunakan pada pasien TB

Obat Kategori Dosis

Rifampicin Bakterisid < 50 kg = 450 mg/hari > 50 kg 600 mg/hari

Isoniazid Bakterisid 300 mg/hari

Pyrazinamid Bakterisid < 50 kg = 1,5 g/hari > 50 kg = 2 g/hari Etambutol Bakteriostatik 15 g/kgBB

(40)

Tabel 2.3: Panduan 1 OAT Kategori 1

Berat Badan Terapi Intensif Terapi Lanjutan

30-37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT

38-54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT

55-70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT

≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

*keterangan:

RHZE = Rifamphicin, Isoniazid, Pirazinamid, dan Etambutol RH = Rifamphicin, Isoniazid

KDT = Kombinasi Dosis Tetap

Penggunaan dosis obat selain berdasarkan pada berat badan, juga didasarkan pada lama pengobatan yang terbagi menjadi 2 tahap, sebagaimana tabel 2.4 berikut.

Tabel 2.4: Panduan 2 OAT Kategori 1

Pengobatan Dosis per hari/kali

Jumlah

a. Tahapan Pengobatan Tuberkulosis (Depkes RI, 2006) 1. Tahap Awal (Intensif)

Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.

2. Tahap Lanjutan

(41)

lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan

b. Panduan OAT yang digunakan di Indonesia (Depkes RI, 2006)

1. Panduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia:

a. Kategori 1 = 2(HRZE)/4(HR)3.

b. Kategori 2 = 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.

c. Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE)

d. Kategori Anak: 2HRZ/4HR

2. Panduan OAT kategori -1 dan kategori -2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT) atau fix dose combination (FDC). Penderita hanya mengkonsumsi satu tablet

obat anti TB dalam satu hari ditambah dengan pemberian vitamin B6 10 mg. Baik tahap intensif maupun lanjutan tetap memiliki jangka waktu sama masing-masing 2 bulan, yakni 24 kali pengobatan dan 4 bulan, yakni 44 kali pengobatan (Depkes RI, 2007).

Gambar 2.1: Paket OAT KDT/FDC

(42)

3. Paket Kombipak: Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan penderita yang mengalami efek samping OAT KDT.

c. Panduan OAT dan Peruntukannya (Depkes RI, 2006) 1. Kategori -1 (2HRZE/ 4H3R3)

Paduan OAT ini diberikan untuk penderita baru: a. Penderita baru TB paru BTA positif

b. Penderita TB paru BTA negatif foto toraks positif c. Penderita TB ekstra paru

2. Kategori -2 (2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3)

Panduan OAT ini diberikan untuk penderita BTA positif yang telah diobati sebelumnya:

 Penderita kambuh

 Penderita gagal

 Penderita dengan pengobatan setelah putus berobat (default)

3. OAT Sisipan (HRZE)

(43)

indikasi yang jelas karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada OAT lapis pertama. Disamping itu, dapat juga meningkatkan terjadinya risiko resistensi pada OAT lapis kedua.

d. Pemantauan dan Hasil Pengobatan TB (Depkes RI, 2006) 1. Pemantauan Kemajuan Pengobatan TB

Pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan dahak secara mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis dalam memantau kemajuan pengobatan. Laju Endap Darah (LED) tidak digunakan untuk memantau kemajuan pengobatan karena tidak spesifik untuk TB. LED hanya melihat tingkat inflamasi dan sebagai screening test adanya inflamasi dalam tubuh, sehingga tidak bisa menentukan jenis infeksi. LED biasanya meningkat pada infeksi TB (Ukpe, I S. dan L. Southern, 2006). Untuk menentukan diagnosa dan memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan spesimen sebanyak dua kali (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke 2 spesimen tersebut negatif. Bila salah satu spesimen positif atau keduanya positif, hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif.

2. Hasil Pengobatan Penderita TB

(44)

negatif pada AP dan pada satu pemeriksaan follow-up sebelumnya

b. Pengobatan Lengkap: Adalah penderita yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tetapi tidak memenuhi persyaratan sembuh atau gagal.

c. Meninggal: Adalah penderita yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab apapun.

d. Pindah: Adalah penderita yang pindah berobat ke unit dengan register TB 03 yang lain dan hasil pengobatannya tidak diketahui.

e. Default (Putus Berobat): Adalah penderita yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.

f. Gagal: Penderita yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

B. Keluarga

1. Pengertian Keluarga

(45)

Sanak saudara beserta kerabat. Dalam Suprajitno (2004), beberapa pengertian keluarga yang dikemukakan oleh para ahli sebagai berikut: a. Friedman (1998)

Menurut Friedman (1998) keluarga adalah kumpulan dua orang atau lebih yang hidup bersama dengan keterikatan aturan dan emosional dan individu mempunyai peran masing-masing yang merupakan bagian dari keluarga.

b. Sayekti (1994)

Pakar konseling keluarga di Yogyakarta, Sayekti (1994) mendefinisikan keluarga adalah suatu ikatan/persekutuan hidup atas dasar perkawinan antara orang dewasa yang berlainan jenis yang hidup bersama atau seorang laki-laki atau seorang perempuan yang sudah sendirian dengan atau tanpa anak baik anaknya sendiri atau adopsi dan tinggal dalam sebuah rumah tangga.

c. UU No. 10 tahun 1992

UU No. 10 tahun 1992 tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga sejahtera menyatakan pengertian keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari suami-isteri, atau suami-isteri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya.

(46)

a. Duval (1972): Sekumpulan orang yang dihubungkan oleh ikatan perkawinan, adaptasi, dan kelahiran yang bertujuan menciptakan dan mempertahankan budaya yang umum, meningkatkan perkembangan fisik, mental, dan emosional serta sosial individu yang ada didalamnya, dilihat dari interaksi yang reguler dan ditandai dengan adanya ketergantungan dan hubungan untuk mencapai tujuan umum.

b. Departemen Kesehatan RI (1988): Unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul serta tinggal di suatu tempat dibawah satu atap dalam keadaan saling bergantung.

c. Bailon dan Maglaya (1989): Dua atau lebih individu yang bergabung karena hubungan darah, perkawinan, dan adopsi dalam satu rumah tangga, yang berinteraksi satu dengan lainnya dalam peran dan menciptakan serta mempertahankan suatu budaya.

(47)

Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa keluarga merupakan satu kesatuan akibat adanya ikatan baik perkawinan, darah, ataupun adopsi yang saling tergantung dan saling mempengaruhi baik dari segi emosional, fisik, dan finansial.

Ciri-ciri keluarga menurut Robert Maclver dan Charles Morton Page (Ali, 2009):

a) Keluarga merupakan hubungan perkawinan.

b) Keluarga berbentuk suatu kelembagaan yang berkaitan dengan hubungan perkawinan yang sengaja dibentuk atau dipelihara.

c) Keluarga mempunyai suatu sistem tata nama (nomenclatur), termasuk penghitungan garis keturunan.

d) Keluarga mempunyai fungsi ekonomi yang dibentuk oleh anggota-anggotanya berkaitan dengan kemampuan untuk mempunyai keturunan dan membesarkan anak.

e) Keluarga mempunyai tempat tinggal bersama, rumah, atau rumah tangga.

2. Fungsi Keluarga

Menurut Hanson dalam Stanhope dan Jeanette (2004), terdapat 6 fungsi pokok keluarga yaitu:

a. Keluarga bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan finansial. b. Keluarga berungsi dalam sistem reproduksi, yakni memiliki keturunan

(48)

d. Keluarga mengajarkan kebudayaan, termasuk keyakinan beragama, adalah fungsi penting untuk keluarga.

e. Keluarga menagajarkan dan mensosialisasikan anak-anaknya terhadap lingkungan.

f. Keluarga memberikan status dalam masyarakat.

Menurut Friedman (Suprajitni, 2004), fungsi keluarga sebagai berikut:

a) Fungsi afektif: Fungsi internal keluarga sebagai dasar kekuatan keluarga. Didalamnya terkait dengan saling mengasihi, saling mendukung dan saling menghargai antar anggota keluarga.

b) Fungsi sosialisasi: Fungsi yang mengembangkan proses interaksi dalam keluarga. Sosialisasi dimulai sejak lahir dan keluarga merupakan tempat individu untuk belajar bersosialisasi.

c) Fungsi reproduksi: Fungsi keluarga untuk meneruskan kelangsungan keturunan dan menambah sumber daya manusia.

d) Fungsi ekonomi: Fungsi keluarga untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarganya meliputi sandang, pangan, dan papan.

e) Fungsi perawatan kesehatan: Fungsi keluarga untuk mencegah terjadinya masalah kesehatan dan merawat anggota keluarga yang mengalami masalah kesehatan.

3. Dukungan Keluarga

(49)

merupakan sumber positif dalam kesehatan klien, mereka paling sering menjadi bagian penting dalam penyembuhan (Kumfo dalam Videbeck, 2008). Studi terdahulu mengemukakan bahwa jenis dari tiap dukungan sosial memiliki peran yang berbeda-beda. Contohnya, dukungan keluarga sangat berguna pada perawatan jangka lama keluarga dengan penyakit kronik. Sedangkan, kelompok manusia dapat berguna saat berhadapan dengan masalah-masalah sosial dan tetangga dapat berguna pada saat membutuhkan pertolongan segera ke dokter.

Beberapa penelitian mengemukakan bahwa dukungan keluarga sangat berhubungan dengan manajemen penyakit kronik, kepatuhan dalam medikasi dan beradaptasi dalam gaya hidup (Oakes dalam Fitzpatrick, 2005). Umumnya, penderita yang berisiko tinggi membutuhkan dampingan dari pemberi asuhan keluarga terhadap regimen pengobatan mereka, termasuk mencari dan bertukar informasi, mengatur jadwal, keamanan dan risiko polifarmasi. Pemberi asuhan keluarga biasanya butuh mendesain prosedur pemberian obat-obatan, mengembangkan jadwal pengobatan, memonitor resep yang diberikan akan terjadinya efek samping (Kao dan Travis, 2005).

(50)

responden yang peneliti ambil terbatas pada responden yang memiliki keluarga. Kedua fungsi dukungan sosial utama ini (baik fungsional maupun struktural) memiliki beberapa contoh/komponen sebagai berikut (Scheurer, 2012):

a. Practical/Instrumen:

 Membayar obat

 Mengambil resep

 Membaca dosis

 Mengisi kotak pil

 Transportasi

 Pendampingan fisik

b. Emotional

 Dorongan

 Mendengar

 Kasih sayang/cinta

 Pemenuhan nutrisi

 Memberi penghargaan

 Mencontohkan

 Dukungan informasi (manfaat kepatuhan dan risiko ketidakpatuhan)

 Dukungan spiritual

(51)

2010), karena mereka dapat memberikan pengaruh dalam perawatan diri penderita terutama dalam pengobatan (Yi dan R.Sok., 2012). Dukungan keluarga juga merupakan dukungan yang kontinu karena dapat mengontrol lebih inten, disamping itu keluarga juga merupakan komponen paling dekat dengan penderita sehingga hubungan saling percaya akan terjadi dan sikap terhadap pengobatan dapat dirubah atau dipengaruhi.

C. Kepatuhan

1. Pengertian Patuh

Menurut WHO dalam konferensi bulan Juni, 2001 menyebutkan bahwa patuh atau kepatuhan merupakan kecendrungan penderita melakukan instruksi medikasi yang dianjurkan (National Institute for Health and Clinical Excellence dalam Gough, 2011). Kepatuhan diartikan

(52)

Tidak patuh, tidak hanya diartikan sebagai tidak minum obat, namun bisa memuntahkan obat atau mengkonsumsi obat dengan dosis yang salah sehingga menimbulkan Multi Drug Resistance (MDR). Perbedaan secara siginifikan antara patuh dan tidak patuh belum ada, sehingga banyak peneliti yang mendefinisikan patuh sebagai berhasil tidaknya suatu pengobatan dengan melihat hasil, serta melihat proses dari pengobatan itu sendiri. Hal-hal yang dapat meningkatkan faktor ketidakpatuhan bisa karena sebab yang disengaja dan yang tidak disengaja (Clifford, Barber, & Horne dalam Chambers, 2010). Ketidakpatuhan yang tidak disengaja terlihat pada penderita yang gagal mengingat, atau dalam beberapa kasus yang membutuhkan pengaturan fisik, untuk meminum obat yang sudah diresepkan. Ketidakpatuhan yang disengaja berhubungan dengan keyakinan tentang pengobatan, antara manfaat dan efek samping yang dihasilkan.

(53)

Gaugh, 2011) dimana bakteri basil tidak akan sensitif terhadap antibiotik tertentu. Jika hal ini terjadi pada beberapa obat maka terjadi Multi-Drug Resistance yang bila terjadi pada seorang penderita membuat pengobatan akan lebih sulit dan kemungkinan besar dalam prognosis penyakit.

Kepatuhan dalam pengobatan akan meningkat ketika penderita mendapatkan bantuan dari keluarga (Ramirez dalam Glick et al., 2011). Disamping itu, penderita yang tidak memiliki keluarga atau memiliki nonsupportive/ nonavailable/ conflicted family akan mempengaruhi terminasi pengobatan lebih awal dan hasil yang tidak memuaskan (Glick et al., 2011).

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan

(54)

Permatasari dalam Sahat (2010) mengemukakan selain faktor medis, faktor sosial ekonomi dan budaya, sikap dan perilaku yang sangat mempengaruhi keberhasilan pengobatan sebagaimana diuraikan di bawah ini:

a. Faktor Sarana: (1) Tersedianya obat yang cukup dan kontinu. (2) Dedikasi petugas kesehatan yang baik. (3) Pemberian regiment OAT yang adekuat.

b. Faktor Penderita: (1) Pengetahuan penderita yang cukup mengenai penyakit TB paru. Cara pengobatan dan bahaya akibat berobat tidak adekuat. (2) Cara menjaga kondisi tubuh yang baik dengan makanan bergizi. Cukup istirahat, hidup teratur dan tidak minum alkohol atau merokok. (3) Cara menjaga kebersihan diri dan lingkungan dengan tidak membuang dahak sembarangan, bila batuk menutup mulut dengan saputangan, jendela rumah cukup besar untuk mendapat lebih banyak sinar matahari. (4) Sikap tidak perlu merasa rendah diri atau hina karena TB paru adalah penyakit infeksi biasa dan dapat disembuhkan bila berobat dengan benar. (5) Kesadaran dan keinginan penderita untuk sembuh.

(55)

Kepatuhan dipengaruhi oleh 5 dimensi sebagaimana yang dijelaskan dalam buku panduan WHO tahun 2003 mengenai pengobatan jangka lama yang tergambar pada bagan 2.2:

Bagan 2.2: 5 dimensi interaksi ketidakpatuhan

Meskipun oleh sebagian orang mengatakan bahwa kepatuhan ialah tentang bagaimana individu yang bersangkutan mengatur dirinya agar selalu patuh, namun tidak bisa dihilangkan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kepatuhan individu tersebut. Berikut dijelaskan faktor yang dianggap sebagai 5 dimensi dimaksud ialah:

a. Faktor Sosial dan Ekonomi (Social and Economic Factors)

Meskipun status ekonomi sosial tidak konsisten menjadi prediktor tunggal kepatuhan, namun di negara-negara berkembang status ekonomi sosial yang rendah membuat penderita untuk menentukan hal yang lebih prioritas daripada untuk pengobatan. Beberapa faktor yang secara signifikan dapat mempengaruhi kepatuhan ialah: status ekonomi sosial, kemiskinan, kebutahurufan, pendidikan yang rendah, pengangguran, kurangnya dukungan sosial, kondisi kehidupan yang

(56)

tidak stabil, jarak ke tempat pengobatan, transportasi dan pengobatan yang mahal, situasi lingkungan yang berubah, budaya dan kepercayaan terhadap sakit dan pengobatan, serta disfungsi keluarga.

b. Faktor Penderita (Patient-Related Factors)

Persepsi terhadap kebutuhan pengobatan seseorang dipengaruhi oleh gejala penyakit, harapan dan pengalaman. Mereka meyakini bahwa dari pengobatan akan memberikan sejumlah efek samping yang dirasa mengganggu, selain itu kekhawatiran tentang efek jangka panjang dan ketergantungan juga mereka pikirkan.

Pengetahuan dan kepercayaan penderita tentang penyakit mereka, motivasi untuk mengatur pengobatan, dan harapan terhadap kesembuhan penderita dapat mempengaruhi perilaku kepatuhan penderita. Sedangkan faktor penderita yang mempengaruhi kepatuhan itu sendiri ialah: lupa, stres psikososial, kecemasan akan keadaan yang lebih parah, motivasi yang rendah, kurangnya pengetahuan dan ketidakmampuan untuk me-manage gejala penyakit dan pengobatan, kesalahpahaman dan ketidakterimaan terhadap penyakit, ketidakpercayaan terhadap diagnosis, kesalahpahaman terhadap instruksi pengobatan, rendahnya harapan terhadap pengobatan, kurangnya kontrol pengobatan, tidak ada harapan dan perasaan negatif, frustasi dengan petugas kesehatan, cemas terhadap komplektisitas regimen pengobatan, dan merasa terstigma oleh penyakit.

(57)

kepercayaan terhadap pelayanan). Sehingga, untuk meningkatkan tingkat kepatuhan penderita, maka petugas kesehatan perlu meningkatkan kemampuan manajerial, kepercayaan diri, serta sikap yang meyakinkan kepada penderita.

c. Faktor Terapi (Therapy-Related Factors)

Ada banyak faktor terapi yang mempengaruhi kepatuhan, diantaranya komplektisitas regimen obat, durasi pengobatan, kegagalan pengobatan sebelumnya, perubahan dalam pengobatan, kesiapan terhadap adanya efek samping, serta ketersediaannya dukungan tenaga kesehatan terhadap penderita.

d. Faktor Kondisi (Conditions-Related Factors)

Faktor kondisi merepresentasikan keadaan sakit yang dihadapi oleh penderita. Beberapa yang dapat mempengaruhi kepatuhan ialah: keparahan gejala, tingkat kecacatan, progres penyakit, adanya pengobatan yang efektif. Pengaruh dari faktor-faktor tersebut tergantung bagaimana persepsi penderita, namun hal yang paling penting ialah penderita tetap mengikuti pengobatan dan menjadikan yang prioritas.

(58)

kesehatan yang dibiayai oleh asuransi, kurangnya sistem distribusi obat, kurangnya pengetahuan dan pelatihan kepada tenaga kesehatan tentang me-manage penyakit kronik, jam kerja yang berlebih, imbalan biaya yang tidak sepadan terhadap tenaga kesehatan, konsultasi yang sebentar, ketidakmampuan membangun dukungan komunitas dan manajemen diri penderita, kurangnya pengetahuan tentang kepatuhan dan intervensi yang efektif untuk meningkatkannya.

D. Kerangka Teori

(59)

Keterangan

: Variabel yang diteliti

Bagan 2.3: Kerangka Teori

(60)

E. Penelitian Terkait

1. Teuku Fakhruddin (2012) dalam Thesis: Hubungan Dukungan Sosial dengan Kepatuhan Minum Obat Penderita Skizofrenia di Kabupaten Aceh Barat Daya. Dukungan sosial sebagai variabel independen dan kepatuhan minum obat sebagai variavel dependen menggunakan desain cross-sectional kuantitatif dengan instrumen Social Support Questionnaire

(SSQ) dan Medication Adherence Rating Scale (MARS). Sampel pada penelitian ini ialah penderita skizofrenia yang sedang menjalani pengobatan. Hasilnya kepuasan dukungan sosial merupakan variabel yang paling berpengaruh terhadap kepatuhan minum obat penderita skizofrenia di Kabupaten Aceh Barat Daya.

2. Warsito (2009) dalam penelitian “Hubungan dukungan sosial keluarga dengan kepatuhan minum obat pada fase intensif pada penderita TB di puskesmas Pracimantoro Wonogiri Jawa Tengah”. Dukungan sosial

keluarga sebagai variabel dependen dan kepatuhan minum obat sebagai variabel independen. Menggunakan desain cross sectional dan instrumen kuesioner dukungan sosial yang berjumlah 17 pertanyaan dan kuesioner kepatuhan minum obat berjumlah 10 pertanyaan. Jumlah sampel 40 orang yang dalam pengobatan fase intensif. Hasilnya ada hubungan yang positif dan bermakna antara dukungan sosial keluarga dengan kepatuhan minum obat.

(61)

obat penderita hipertensi sebagai variabel dependen dan dukungan keluarga sebagai variabel independen. Menggunakan desain cross-sectional, kuesioner Morinsky Medication Adherence Scale (MMAS)

(62)

BAB III

KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS, DAN DEFINISI OPERASIONAL

A. KERANGKA KONSEP

Konsep adalah abstraksi dari suatu realitas agar dapat dikomunikasikan dan membentuk suatu teori yang menjelaskan keterkaitan antar variabel (Nursalam, 2008). Sedangkan menurut kerangka konsep adalah model pendahuluan dari sebuah masalah penelitian, dan merupakan refleksi dari hubungan variabel-variabel yang diteliti (Swarjana, 2012). Menurut Danim (2003) Variabel terbagi menjadi variabel independen dan variabel dependen, dimana variabel independen merupakan dukungan keluarga dan variabel dependen berupa kepatuhan. Variabel-variabel ini yang nantinya akan dihubungkan.

Bagan 3.1: Kerangka konsep

B. HIPOTESIS

Hipotesis adalah suatu perumusan sementara mengenai suatu hal yang dibuat untuk menjelaskan hal itu dan juga dapat menuntun/mengarahkan penelitian selanjutnya (Umar, 2005). Dari penelitian ini, peneliti merumuskan hipotesis sebagai berikut:

H0 :

Kepatuhan Dukungan Keluarga

(63)

H1 :

C. DEFINISI OPERASIONAL

Definisi operasional adalah batasan pengertian yang dijadikan pedoman untuk melakukan suatu kegiatan atau pekerjaan, misalnya penelitian. Pada penelitian ini terdapat beberapa variabel yang memiliki definisi operasional terkait peneletian sebagaimana yang tercantum pada tabel 3.1 yaitu:

“Ada hubungan antara dukungan keluarga terhadap kepatuhan minum obat

(64)

No. Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur 1. Jenis

kelamin

Perbedaan individu yang didasarkan pada seks atau gender.

Mengajukan pertanyaan melalui kuesioner

Kuesioner 1. Laki-laki

(65)

No. Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur Pendidikan

Terakhir

Pendidikan formal yang ditempuh dan dinyatakan lulus

Persepsi pasien terhadap dukungan keluarga yang diukur berdasarkan aspek emosional dan fungsional.

(66)

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain cross sectional yakni penelitian dilakukan pada satu waktu dengan melihat bagaimana dukungan keluarga yang diberikan saat sedang menjalani pengobatan terhadap kepatuhan penderita.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi yang dipilih pada penelitian kali ini ialah di Ciputat, dengan mengambil wilayah kerja Puskesmas di area Ciputat. Sedangkan untuk waktu yang dibutuhkan kurang lebih 2 minggu pada bulan Juni 2014.

C. Populasi dan Sampel 1. Populasi

(67)

2. Sampel

Sampel atau contoh adalah subunit populasi survei atau populasi survei itu sendiri, yang oleh peneliti dipandang mewakili populasi target. Dengan kata lain, sampel adalah elemen-elemen populasi yang dipilih atas dasar kemampuan mewakilinya (Danim, 2003). Pada dasarnya ada dua syarat yang harus dipenuhi saat menetapkan sampel, yaitu representatif (mewakili) dan sampel harus cukup banyak (Nursalam, 2008). Dalam penentuan sampel ini, peneliti menggunakan kriteria sampel baik inklusi maupun eksklusi yang bertujuan untuk membantu mengurangi bias hasil penelitian, khususnya jika terhadap variabel-variabel kontrol ternyata mempunyai pengaruh terhadap variabel yang kita teliti (Nursalam, 2008).

Kriteria inklusi dari sampel pada penelitian ini sebagaimana berikut:  Penderita TB yang sedang dalam pengobatan kategori 1 dan 2.

 Tinggal bersama keluarga.

Kriteria eksklusi sebagaimana berikut:

 Penderita TB yang menolak untuk diminta menjadi responden.  Penderita TB yang tidak mengisi kuesioner secara lengkap.

Pada penelitian kali ini jumlah sampel diambil dengan teknik total sampling, dan seluruh populasi sesuai dengan kriteria inklusi maka

(68)

D. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan mengisi pernyataan dari kuesioner terkait dukungan keluarga yang sudah penderita terima dan kepatuhan dalam minum obat, sebelum itu peneliti melakukan prosedur di bawah ini:

1. Pembuatan surat izin yang ditujukan kepada Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan.

2. Permohonan izin mengambil data dan studi pendahuluan di Puskesmas terkait.

3. Melakukan uji validitas dan reliabilitas instrumen di Layanan Kesehatan Cuma-Cuma (LKC) dan Puskesmas Pisangan.

4. Pengolahan data uji validitas dan reliabilitas.

5. Melakukan briefing kepada asisten penelitian sebanyak dua orang. 6. Pengambilan data melalui kuesioner.

7. Pengolahan hasil penelitian.

E. Alat Pengumpulan Data

1. Instrumen pertama berupa pertanyaan mengenai data demografi penderita, yang terdiri dari usia, jenis kelamin, pekerjaan, dan pendidikan terakhir. 2. Instrumen kedua adalah dukungan keluarga, dengan memberikan

(69)

pertanyaan nomor 2, 3, 5, 7, 9, 11, 13, 15, 17, 18, 20, 23, dan 24. Penentuan jawaban kuesioner menggunakan Skala Likert; dimana jawaban responden memiliki gradasi dari sangat positif sampai sangat negatif dengan menggunakan rentang skala 1-3 yaitu jarang, kadang-kadang dan selalu. Skor tertinggi diberikan pada jawaban sangat positif. Dalam menentukan cut of point pada variabel dukungan keluarga dilakukan uji distribusi terlebih dahulu menggunakan kolmogrov-smirnov karena jumlah sampel yang besar yakni > 50 (Dahlan, 2010) dan didapat hasil uji distribusi tidak normal, sehingga penggunaan cut of point dengan menggunakan nilai median.

3. Instrumen ketiga adalah kepatuhan, dengan memberikan pernyataan dari kuesioner baku Morinsky Medication Adherence Scale (MMAS) yang terdiri dari 8 pernyataan yang sudah dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia. Penentuan jawaban kuesioner menggunakan skala Guttman; dimana yaitu jawaban responden hanya terbatas pada dua jawaban, ya atau tidak. Nilai tertinggi 8 dan terendah 0. Variabel kepatuhan mengadopsi dari interpretasi kuesioner asli oleh Morinsky yang dimodifikasi yakni dengan 2 kategori, dimana 2 sebagai cut of point. Semakin sedikit total nilai yang dijumlah menandakan kepatuhan yang baik.

F. Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian

(70)

dikatakan valid apabila mampu mengukur apa yang diinginkan (Arikunto, 2006). Uji validitas menggunakan korelasi pearson product moment dan dikatakan valid apabila tiap pernyataan mempunyai nilai positif dan nilai t hitung (Hidayat, 2007).

Reliabilitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan pada tingkat kepercayaan dan dapat diandalkan (Arikunto, 2006), yakni menggambarkan bahwa instrumen yang digunakan dapat digunakan berulang dengan karakteristik responden yang berbeda. Pengukuran realibilitas menggunakan software computer dengan rumus Alpha Cronbach pada variabel dukungan

keluarga dan suatu variabel dinyatakan reliabel jika memberikan nilai Alpha Cronbach > 0,60 (Hidayat, 2007). Namun pada variabel kepatuhan

menggunakan software computer dengan rumus K-R20 dengan nilai akhir >0,7 (Sulkind, 2010).

Pada penelitian ini, uji valid dan reliabilitas instrumen dilakukan pada dua tempat yakni Layanan Kesehatan Cuma-Cuma (LKC) dan Puskesmas Pisangan di Ciputat, dimana kriteria populasi memiliki kesamaan dengan kriteria responden yang akan diteliti. Hasil uji pada instrumen dukungan keluarga didapatkan Alpha Cronbach 0,906 dan setelah dilakukan uji validitas didapat 6 pertanyaan yang tidak valid yakni pertanyaan nomor 1, 4, 15, 18, 20, dan 23. Selanjutnya, dilakukan perubahan redaksi pada pertanyaan yang tidak valid dan dilakukan uji ulang kepada 20 responden dan didapatkan nilai Alpha Cronbach 0,928 dan terdapat pertanyaan yang tidak valid pada nomor 2, 10,

(71)

ulang pada penelitian sebenarnya dan didapatkan nilai Alpha Cronbach 0,934 dengan validitas seluruh pertanyaan valid.

Hasil uji pada instrumen kepatuhan didapatkan nilai K-R20 0,844 dengan validitas soal, terdapat 1 pertanyaan yang tidak valid pada nomor 5 dengan nilai negatif. Sehingga dilakukan perubahan redaksi menjadi kalimat positif dan dilakukan uji ulang pada 20 responden didapatkannilai K-R20 0,78 dengan 2 pertanyaan tidak valid. Kemudian untuk memperkuat hasil validasi dilakukan uji ulang pada penelitian sebenarnya dan didapatkan nilai K-R20 0,8 dengan validitas seluruh pertanyaan valid.

G. Pengolahan Data

Pengolahan data merupakan proses yang sangat penting dalam penelitian. Oleh karena itu, harus dilakukan dengan baik dan benar. Menurut Budiarto (2002) dalam pengolahan data mencakup beberapa hal berikut:

1. Editing

Editing adalah upaya untuk memeriksa kembali data yang telah

dikumpulkan baik berupa daftar pertanyaan, kartu atau buku register. Editing dapat dilakukan pada tahap pengumpulan data atau setelah data

terkumpul.

2. Coding

Gambar

Tabel 2.1  Sistem Klasifikasi TB .......................................................
Gambar 2.1 Paket OAT KDT/FDC ...................................................
Tabel 2.1: Sistem Klasifikasi TB (CDC, 2000 dalam Price dan Lorraine,
tabel 2.2 berikut.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan Focus Group Discussion (FGD) karena pada saat dilakukan survey dan pendekatan ditemukan

Selain itu kami juga memberikan pengetahuan sekaligus pelatihan kepada mayarakat mengenai pengoptimalan sumber daya yang ada di Desa ini yaitu penggunaan air nira dan batang pisang

Kelompok penulis yang artikel ilmiahnya dinilai baik dan layak dipublikasikan, akan memperoleh insentif dana tunai sebesar Rp 3.000.000,- (tiga juta rupiah). PKM-AI

yang sama dan ada juga mutu yang lebih baik.. Faditlah Advertising Palembang harus dapat menyaingi perusahaan lain untuk mencapai tujuan perusahaan, dengan menetapkan harga

Diharapkan dari penelitian ini menjadi bahan pertimbangan untuk pemerintah atau instansi kesehatan dalam mencanangkan program pemanfaatan starter tape, nasi basi

puluh lima bulan Juli tahun dua ribu sebelas, Panitia Pengadaan Barang/Jasa ATIM.. mengumumkan pemenang Penyedia Barang untuk Pengadaan Alat

Diharapkan penelitian ini menjadi sumber informasi dan pengetahuan bagi masyarakat luas bahwa program pemberdayaan ekonomi umat berbasis masjid yang dilakukan oleh

Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara terstruktur dengan tujuan memperoleh data tentang sejauh mana kinerja Komite Sekolah dalam