TIPETHINK-PAIR-SHARE(TPS) DAN TANPA
MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TAHUN PELAJARAN 2011/2012
Skripsi
Untuk Memenuhi Persyaratan
dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata-1 Pendidikan Matematika
Oleh : Arifin Riadi NIM A1C108047
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN IPA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT BANJARMASIN
ii
HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA KELAS VII SMP NEGERI 17 BANJARMASIN DENGAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF
TIPETHINK-PAIR-SHARE(TPS) DAN TANPA
MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TAHUN PELAJARAN 2011/2012
Oleh Arifin Riadi NIM A1C108047
Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji pada tanggal 8 Februari 2012 dan dinyatakan lulus.
Susunan Dewan Penguji Anggota Dewan Penguji
Pembimbing I 1. Dra. Hj. Nurdiana
2. Dra. Agni Danaryanti, M.Pd 3. Elli Kusumawati, S.Pd, M.Pd Dra. Hj. Aisjah Juliani Noor, MS.
NIP 19520309 198003 2 002 Pembimbing II
Drs. H. Sumartono, M.Pd NIP 19570514 198703 1 002
Banjarmasin, Februari 2012
Ketua Program Studi Ketua Jurusan Pendidikan MIPA
Pendidikan Matematika FKIP Unlam
Dra. Hj. Aisjah Juliani Noor, MS. Drs. Chairil Faif Pasani, M.Si
iii
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam Daftar Pustaka.
Banjarmasin, Februari 2012
iv
KOOPERATIF TAHUN PELAJARAN 2011/2012 (Oleh: Arifin Riadi; Pembimbing: Aisjah Juliani Noor, Sumartono; 2012; 56 halaman)
ABSTRAK
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran sehingga peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan masyarakat, bangsa, dan Negara. Secara garis besar lembaga pendidikan di Indonesia dibagi menjadi tiga bagian, yaitu lembaga pendidikan jalur formal, jalur nonformal, dan jalur informal pada keluarga dan masyarakat. Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang diajarkan di setiap jenjang pendidikan. Pembelajaran matematika hingga saat ini masih memperlihatkan dominasi guru dan tidak memberikan akses bagi siswa untuk mengembangkan gagasan dan ide-idenya. Think-Pair-Share (TPS) adalah salah satu model pembelajaran kooperatif yang dirancang untuk memotivasi siswa berpikir pada topik yang diberikan, sehingga memungkinkan mereka untuk memformulasikan gagasan-gagasan individu dan membagikan gagasan-gagasan tersebut dengan siswa lain. Pembelajaran matematika di kelas VII SMP Negeri 17 Banjarmasin hanya menggunakan metode pembelajaran konvensional. Nilai rata-rata hasil belajar matematika siswa kelas VII tersebut berada di bawah kriteria ketuntasan minimum. Berdasarkan hal itu dilakukan penelitian dengan tujuan untuk mengetahui perbedaan hasil belajar matematika siswa yang diberi pengajaran menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TPS dengan siswa yang diberi pengajaran tanpa menggunakan model pembelajaran kooperatif.
Penelitian ini menggunakan metode eksperimen dengan populasi seluruh siswa kelas VII SMP Negeri 17 Banjarmasin. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purpossive sampling, yaitu memilih kelas VII E dan VII F sebagai sampel penelitian dengan pertimbangan tertentu yang selanjutnya dipilih kelas VII E sebagai kelas eksperimen dan kelas VII F sebagai kelas kontrol secara random. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah tes dan dokumentasi. Tes yang digunakan diuji validitasnya menggunakan rumus korelasi product moment dan reliabilitasnya menggunakan rumus KR-20. Teknik analisis data menggunakan uncorellated data/independent sample t-test. Sebagai persyaratan analisis dilakukan uji normalitas dengan metode Kolmogorov-Smirnov dan uji homogenitas dengan metode Levene.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan hasil belajar matematika antara siswa yang diberi pengajaran menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TPS dengan siswa yang diberi pengajaran tanpa menggunakan model pembelajaran kooperatif.
v
Alhamdulillah puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi yang berjudul Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas VII SMP Negeri 17 Banjarmasin dengan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think-Pair-Share (TPS) dan Tanpa Model Pembelajaran Kooperatif Tahun Pelajaran 2011/2012 ini dapat diselesaikan.
Penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:
(1) Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UNLAM Banjarmasin. (2) Ketua Jurusan Pendidikan Matematika dan IPA FKIP UNLAM Banjarmasin. (3) Ketua Program Studi Pendidikan Matematika FKIP UNLAM Banjarmasin. (4) Ibu Dra. Hj. Aisjah Juliani Noor, MS selaku Dosen Pembimbing I.
(5) Bapak Drs. H. Sumartono, M.Pd selaku Dosen Pembimbing II.
(6) Kepala Sekolah, Dewan Guru, Staf Tata Usaha, dan siswa-siswa SMP Negeri 17 Banjarmasin.
(7) Semua pihak yang turut membantu dengan pikiran, tenaga, dan juga do a selama penyusunan skripsi ini.
Penulisan skripsi ini mungkin masih terdapat banyak kekurangan, oleh karena itu diharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak.
Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan semoga Allah SWT melimpahkan pahala yang berlipat ganda atas semua bantuan yang telah diberikan. Amin ya Rabbal Alamin.
Banjarmasin, Februari 2012
vi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 4
1.3 Batasan Masalah... 4
1.4 Tujuan Penelitian ... 4
1.5 Manfaat Penelitian ... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6
2.1 Belajar, Mengajar, dan Hasil Belajar ... 6
2.2 Pembelajaran Matematika di SMP... 9
2.3 Model Pembelajaran ... 13
2.4 Model Pembelajaran Kooperatif ... 16
2.5 Model Pembelajaran Kooperatif TipeThink-Pair-Share(TPS) ... 18
2.6 Metode Pembelajaran Konvensional ... 20
2.7 Aritmetika Sosial... 23
2.8 Evaluasi Hasil Belajar ... 28
2.9 Hipotesis Tindakan... 30
BAB III METODE PENELITIAN ... 31
3.1 Populasi dan Sampel Penelitian ... 31
3.2 Teknik Pengumpulan Data ... 33
3.3 Uji Prasyarat Analisis... 36
3.4 Teknik Analisis Data ... 38
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 40
4.1 Deskripsi Tempat Penelitian ... 40
4.2 Deskripsi Pelaksanaan Pembelajaran ... 42
4.3 Uji Prasyarat Analisis... 49
vii
viii
Tabel Halaman
1. Distribusi siswa kelas VII SMP Negeri 17 Banjarmasin ... 32
2. Keadaan kelas dan siswa SMP Negeri 17 Banjarmasin... 41
3. Distribusi guru matematika berdasarkan pembagian tugas mengajar... 41
4. Hasil uji keseimbangan ... 43
5. Hasil uji normalitas Kolmogorov-Smirnov... 49
ix
Gambar Halaman
1. Guru memberikan permasalahan (Think)... 45
2. Siswa berpasangan menyelesaikan LKK (Pair) ... 46
3. Guru memberikan arahan kepada siswa... 46
4. Siswa menuliskan hasil jawaban di papan tulis (Share) ... 47
5. Siswa mengerjakan LEI ... 47
x
Lampiran Halaman
1. RPP penelitian pertemuan 1 ... 57
2. Kisi-kisi soal tes hasil belajar... 67
3. Soal tes hasil belajar ... 68
4. Lembar jawaban ... 73
5. Kunci jawaban... 74
6. Pembahasan soal ... 75
7. Daftar nilai ulangan tengah semester I ... 84
8. Daftar nilai hasil belajar ... 86
9. Uji keseimbangan ... 88
10. Uji validitas dan reliabilitas soal ... 89
11. Uji normalitas ... 95
12. Uji homogenitas ... 96
13. Uji hipotesis ... 97
14. Surat keterangan izin penelitian dari Dekan FKIP Unlam... 98
15. Surat keterangan izin penelitian dari Dinas Pendidikan.. ... 100
16. Surat keterangan telah melakukan penelitian dari Kepala SMP Negeri 17 Banjarmasin... 101
17. Susunan kelompok TPS kelas eksperimen... 102
18. Lembar persetujuan perbaikan skripsi ... 103
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dewantara menyatakan bahwa pendidikan adalah menuntun segala
kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka sebagai manusia dan
sebagai anggota masyarakat mendapat keselamatan dan kebahagiaan
setinggi-tingginya (TIM MKDK, dalam Pidarta, 2007). Sementara itu Undang-Undang RI
Nomor 20 Tahun 2003 mendefinisikan pendidikan sebagai usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran sehingga
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan masyarakat, bangsa, dan negara.
Secara garis besar lembaga pendidikan di Indonesia dibagi menjadi tiga
bagian, yaitu lembaga pendidikan jalur formal, jalur nonformal, dan jalur informal
pada keluarga dan masyarakat. Dalam lembaga pendidikan jalur formal terdapat
lembaga pendidikan prasekolah, pendidikan dasar, pendidikan menengah/SMA
dan SMK, serta pendidikan tinggi. Lembaga pendidikan dasar dapat dibagi
menjadi dua, yaitu SD dan SMP.
Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (PPRI) Nomor 19
Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 26 Ayat 1 disebutkan
pendidikan dasar bertujuan untuk meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan,
kepribadian, akhlak mulia, keterampilan untuk hidup mandiri, dan mengikuti
pendidikan lebih lanjut. Dari sini tampak bahwa pendidikan dasar sudah
diorientasikan kepada upaya yang mendasari hidupnya. Hal ini dapat dilihat dari
butir keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut,
disamping bekal-bekal hidup yang lain. Untuk itu diperlukan tenaga profesional
dalam mendidik.
Dalam Pidarta (2007) disebutkan bahwa mendidik adalah membuatkan
kesempatan dan menciptakan situasi yang kondusif agar anak-anak sebagai subjek
berkembang sendiri. Mendidik adalah suatu upaya membuat anak-anak mau dan
dapat belajar atas dorongan diri sendiri untuk mengembangkan bakat, pribadi, dan
potensi-potensi lainnya secara optimal. Berarti mendidik memusatkan diri pada
upaya pengembangan afeksi anak-anak, sesudah itu barulah pada pengembangan
kognisi dan keterampilannya. Berkembangnya afeksi yang positif terhadap belajar
merupakan kunci keberhasilan belajar berikutnya, termasuk keberhasilan dalam
meraih prestasi kognisi dan keterampilan.
Selanjutnya Dzamarah & Zain (2006) menyebutkan bahwa dalam
kegiatan belajar mengajar, siswa adalah sebagai subjek dan sebagai objek dari
kegiatan pengajaran. Sehingga inti dari proses pengajaran tidak lain adalah
kegiatan belajar siswa dalam mencapai suatu tujuan pengajaran. Tujuan
pengajaran akan tercapai jika siswa berusaha secara aktif untuk mencapainya.
Keaktifan siswa tidak hanya dituntut dari segi fisik tetapi juga dari segi kejiwaan.
Bila hanya fisik siswa yang aktif tetapi pikiran dan mentalnya kurang aktif, maka
Berdasarkan dokumentasi data serta wawancara dengan Ibu Hj. Sa adiah,
S.Pd dan Ibu Hj. Siti Rahmah, S.Pd menunjukkan bahwa nilai rata-rata Ulangan
Tengah Semester 1 bidang studi matematika tahun pelajaran 2011/2012 adalah
58,05 dan masih di bawah standar ketuntasan minimum yaitu 60. Proses belajar
mengajar yang masih konvensional dan didominasi guru menyebabkan siswa
terpengaruh dalam pelajaran yang kurang menstimulasi aktivitas belajar yang
optimal. Siswa pasif menerima informasi dari guru, dimana guru tidak memberi
kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan gagasan dan ide-idenya. Siswa
hanya menghafal rumus dan mengerjakan soal-soal yang diberikan oleh guru.
Dari beberapa penelitian, diantaranya penelitian yang dilaksanakan
Afifah (2009) berkesimpulan bahwa penerapan pendekatan struktural TPS siswa
kelas VII E di SMP Negeri 1 Salatiga lebih efektif dalam meningkatkan aktivitas
belajar matematika siswa pada pokok bahasan persamaan linear satu variabel
dibandingkan dengan penerapan pembelajaran konvensional pada siswa kelasVII,
penelitian yang dilaksanakan oleh Handayani (2009) berkesimpulan bahwa
prestasi belajar siswa kelas VII B MTs Negeri Bekonang pada sub pokok bahasan
persegi panjang dan persegi dapat ditingkatkan melalui metode TPS. Dari
penelitian tersebut terlihat bahwa salah satu alternatif model pembelajaran yang
dapat mengurangi dominasi guru dalam pembelajaran matematika dan diharapkan
mampu meningkatkan hasil belajar siswa adalah model pembelajaran kooperatif
tipeThink Pair Share (selanjutnya disebut TPS), ini karena TPS adalah suatu tipe
model pembelajaran kooperatif yang terdiri dari dua siswa tiap kelompok dan
memungkinkan mereka untuk memformulasikan gagasan-gagasan individu dan
membagikan gagasan-gagasan tersebut dengan siswa lain. Berkaitan dengan hal
tersebut di atas, maka penulis merasa perlu untuk melakukan penelitian
eksperimen dengan judul Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas VII SMP Negeri 17 Banjarmasin dengan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe
ink-Pair-Share (TPS) dan Tanpa Model Pembelajaran Kooperatif Tahun
Pelajaran 2011/2012.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang maka rumusan masalah yang akan
dikaji dalam penelitian ini adalah apakah ada perbedaan hasil belajar matematika
siswa kelas VII SMP Negeri 17 Banjarmasin yang diajar menggunakan model
pembelajaran kooperatif tipe TPS dengan hasil belajar matematika siswa kelas VII
SMP Negeri 17 Banjarmasin yang diajar tanpa menggunakan model pembelajaran
kooperatif?
1.3 Batasan Masalah
Agar pembahasan dalam penelitian ini tidak meluas, maka materi dalam
penelitian ini dibatasi pada sub pokok bahasan Aritmetika Sosial yang meliputi
Nilai Keseluruhan, Nilai Per Unit, dan Nilai Sebagian, Harga Pembelian, Harga
Penjualan, Untung, Rugi, serta Persentase Untung dan Rugi.
1.4 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan, penelitian ini
SMP Negeri 17 Banjarmasin yang diajar menggunakan model pembelajaran
kooperatif tipe TPS dengan hasil belajar matematika siswa kelas VII
SMP Negeri 17 Banjarmasin yang diajar tanpa menggunakan model pembelajaran
kooperatif .
1.5 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan setelah penelitian ini dilaksanakan
adalah:
1.5.1 Bagi Guru dan Sekolah
(1) Sebagai bahan informasi bagi guru dalam mengembangkan tipe
pembelajaran.
(2) Sebagai masukan positif bagi guru-guru SMP khususnya SMP Negeri 17
Banjarmasin dalam menentukan alternatif model pembelajaran kooperatif
yang cocok dengan kelas VII.
(3) Sebagai bahan informasi bagi sekolah dalam rangka perbaikan pembelajaran
dan peningkatan kualitas pendidikan.
(4) Memberikan sumbangsih yang berguna dalam rangka perbaikan
pembelajaran matematika dan peningkatan prestasi belajar matematika
peserta didik
1.5.2 Bagi Siswa
(1) Meningkatkan minat, kemampuan dan motivasi belajar matematika siswa.
(2) Meningkatkan keaktifan siswa dalam proses pembelajaran.
(3) Dapat membantu siswa dalam memahami dan menguasai konsep-konsep
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Belajar, Mengajar, dan Hasil Belajar
Syah (2009) mengemukakan secara umum belajar dapat dipahami
sebagai tahapan perubahan seluruh tingkah laku individu yang relatif menetap
sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang melibatkan
proses kognitif.
Sardiman (2007) membagi pengertian belajar menjadi dua, yaitu dalam
arti luas dan sempit/khusus. Dalam pengertian luas, belajar dapat diartikan sebagai
kegiatan psiko-fisik menuju ke perkembangan pribadi seutuhnya. Kemudian
dalam arti sempit, belajar dimaksudkan sebagai usaha penguasaan materi ilmu
pengetahuan yang merupakan sebagian kegiatan menuju terbentuknya kepribadian
seutuhnya.
Slameto (2003) mengungkapkan bahwa belajar ialah suatu proses usaha
yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang
baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi
dengan lingkungannya, sebagaimana Gulo (2002) menganggap belajar adalah
suatu proses yang berlangsung di dalam diri seseorang yang mengubah tingkah
lakunya, baik tingkah laku dalam berpikir, bersikap, dan berbuat. Sedangkan
Abdurrahman (1999) berpendapat bahwa belajar merupakan suatu proses dari
seseorang yang berusaha untuk memperoleh suatu bentuk perubahan perilaku
yang relatif menetap.
Bagi Sanjaya (2006), belajar bukanlah sekadar mengumpulkan
pengetahuan. Belajar adalah proses mental yang terjadi dalam diri seseorang,
sehingga menyebabkan munculnya perubahan perilaku. Aktivitas mental itu
terjadi karena adanya interaksi individu dengan lingkungan yang disadari.
Dari beberapa pengertian diatas disimpulkan bahwa belajar merupakan
suatu proses yang dilakukan individu sehingga terjadi perubahan ke arah yang
lebih baik melalui interaksi lingkungan, pengalaman maupun semua aspek yang
terlibat di dalamnya.
Berkaitan dengan belajar, kegiatan yang tak kalah pentingnya dalam
dunia pendidikan adalah mengajar. Mengajar dan belajar adalah dua peristiwa
yang berkaitan dan berinteraksi satu sama lain. Sama halnya dengan belajar,
menurut Nana Sudjana (Djamarah & Zain, 2006) mengajar pada hakikatnya
adalah suatu proses, yaitu proses mengatur, mengorganisasikan lingkungan siswa
agar dapat menumbuhkan dan mendorong siswa melakukan proses belajar. Pada
tahap berikutnya mengajar adalah proses memberikan bimbingan/bantuan kepada
anak didik dalam melakukan proses belajar.
Menurut Mursell & Nasution (1995) mengajar dapat dipandang sebagai
menciptakan situasi dimana diharapkan anak-anak akan belajar dengan efektif.
Gulo (2002) menambahkan bahwa mengajar adalah usaha untuk menciptakan
sistem lingkungan yang memungkinkan terjadinya proses belajar secara optimal.
Sistem lingkungan ini terdiri atas beberapa komponen, termasuk guru, yang saling
Sejalan dengan itu, Sardiman (2009) mengemukakan bahwa mengajar
pada dasarnya merupakan suatu usaha untuk menciptakan kondisi atau sistem
lingkungan yang mendukung dan memungkinkan untuk berlangsungnya proses
belajar. Kondisi atau sistem lingkungan tersebut diciptakan sedemikian rupa untuk
membantu perkembangan siswa secara optimal.
Howard (Slameto, 2003) memberikan definisi mengajar yang lebih
lengkap, yaitu suatu aktivitas untuk mencoba menolong, membimbing seseorang
untuk mendapatkan, mengubah atau mengembangkan skill , attitude , ideals
(cita-cita),appreciations (penghargaan) danknowledge .
Proses belajar dan mengajar sebagai kesatuan akan menghasilkan sesuatu
yang disebut dengan hasil belajar. Abdurrahman (1999) mengungkapkan
bahwa hasil belajar adalah kemampuan yang diperoleh siswa setelah melalui
kegiatan belajar mengajar.
Suprijono (2010) mengemukakan bahwa hasil belajar adalah pola-pola
perbuatan, nilai-nilai, pengertian-pengertian, sikap-sikap apresiasi dan
keterampilan.
Banyak faktor yang mempengaruhi hasil belajar diantaranya
Abdurrahman (1999) menyebutkan hasil belajar dipengaruhi dua faktor, yaitu
internal dan eksternal. Faktor internal yaitu kemungkinan adanya disfungsi
neurologis, faktor eksternal yaitu antara lain berupa strategi pembelajaran yang
keliru, pengelolaan kegiatan belajar yang tidak membangkitkan motivasi belajar
anak, dan pemberian ulangan penguatan yang tidak tepat. Sedangkan menurut
merupakan faktor yang sangat menentukan pencapaian hasil belajar yang optimal.
Bagaimanapun baiknya bahan pelajaran yang diberikan, bagaimanapun
sempurnanya metode yang digunakan, namun jika hubungan guru dan siswa
merupakan hubungan yang tidak harmonis, maka hasil belajar pun tidak akan
tercapai secara optimal.
Jadi, dapat disimpulkan hasil belajar adalah suatu puncak belajar, yaitu
kemampuan maupun perubahan perilaku meliputi ranah kognitif, afektif dan
psikomotor yang diperoleh siswa dengan segala faktor yang mempengaruhinya
setelah proses belajar mengajar.
2.2 Pembelajaran Matematika di SMP
Menurut Sanjaya (2005) pembelajaran adalah proses pengaturan
lingkungan yang diarahkan untukn mengubah perilaku siswa ke arah yang positif
dan lebih baik sesuai potensi dan perbedaan yang dimiliki siswa.
Hamalik (2008) mengatakan pembelajaran adalah suatu kombinasi yang
tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan
prosedur yang saling mempengaruhi untuk mencapai tujuan.
Djamarah & Zain (2006) menyatakan pembelajaran adalah suatu kondisi
yang sengaja diciptakan. Guru yang menciptakannya guna membelajarkan siswa.
Guru yang mengajar dan siswa yang belajar. Melalui perpaduan dari kedua unsur
manusiawi tersebut maka lahirlah interaksi edukatif. Interaksi antara guru dan
siswa berlangsung dalam situasi belajar dan mengajar dalam proses pembelajaran.
Dalam situasi tersebut terdapat faktor-faktor yang saling berhubungan, yaitu
metode mengajar, alat bantu mengajar, prosedur penilaian, dan situasi pengajaran.
Dalam proses pengajaran tersebut, semua faktor bergerak secara dinamis dalam
suatu rangkaian untuk mencapai tujuan.
Sardiman (2007) menyatakan pembelajaran merupakan proses yang
berfungsi membimbing para siswa di dalam kehidupan, yakni membimbing
mengembangkan diri sesuai dengan tugas perkembangan yang harus dijalankan
oleh para siswa. Tugas perkembangan itu akan mencakup kebutuhan hidup baik
individu maupun sebagai masyarakat dan juga sebagai makhluk ciptaan Tuhan.
Sehubungan dengan tugas perkembangan, Syah (2009) menguraikan
proses perkembangan siswa yang meliputi:
(1) Perkembangan motorik, yakni proses perkembangan yang progresif dan
berhubungan dengan perolehan aneka ragam keterampilan fisik siswa.
(2) Perkembangan kognitif, yakni perkembangan fungsi intelektual atau
kecerdasan.
(3) Perkembangan sosial dan moral, yakni proses perkembangan mental yang
berhubungan dengan perubahan-perubahan cara siswa dalam berkomunikasi
dengan objek atau orang lain, baik sebagai individu maupun sebagai
kelompok.
Siswa yang berada pada jenjang SMP menurut tahap perkembangan
kognitif berada dalam tahap formal operasional yakni berkisar pada usia 11
sampai dengan 15 tahun. Pada tahap ini siswa memiliki kemampuan
mengkoordinasikan dua ragam kemampuan kognitif secara serentak maupun
prisnsip-prinsip abstrak. Dengan kemampuan tersebut, maka siswa akan mampu
mempelajari materi-materi pelajaran yang abstrak seperti ilmu matematika.
Menurut Tinggih (Tim MKPBM, 2001) secara etimologis matematika
berarti ilmu pengetahuan yang diperoleh dengan bernalar. Matematika lebih
menekankan aktivitas dalam dunia rasio (penalaran). Matematika terbentuk
sebagai hasil pemikiran manusia yang berhubungan dengan ide, proses dan
penalaran di dalam struktur kognitif sehingga sampai pada suatu kesimpulan
berupa konsep-konsep matematika.
Abdurrahman (1999) mengutip pendapat beberapa ahli, diantaranya
menurut Johnson dan Myklebust, matematika adalah bahasa simbolis yang fungsi
praktisnya untuk mengekspresikan hubungan-hubungan kuantitatif dan keruangan
sedangkan fungsi teoretisnya adalah untuk memudahkan berpikir. Lerner
mengemukakan bahwa matematika di samping bahasa simbolis juga merupakan
bahasa universal yang memungkinkan manusia memikirkan, mencatat, dan
mengkomunikasikan ide mengenai elemen dan kuantitas. Kline juga
mengemukakan bahwa matematika merupakan bahasa simbolis dan ciri utamanya
adalah penggunaan cara bernalar deduktif, tetapi juga tidak melupakan cara
bernalar induktif.
Tim MKPBM (2001) menyebutkan tujuan umum diberikannya
matematika pada jenjang pendidikan dasar dan menengah yang telah dirumuskan
dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), yaitu:
(1) Mempersiapkan siswa agar sanggup menghadapi perubahan di dalam
dasar pemikiran secara logis, rasional, kritis, cermat, jujur, efektif dan
efisien.
(2) Mempersiapkan siswa agar dapat menggunakan matematika dan pola pikir
matematika dalam kehidupan sehari-hari dan dalam mempelajari berbagai
ilmu pengetahuan.
Tujuan pembelajaran matematika di SMP (Tim MKPBM, 2001) agar:
(1) Siswa memiliki kemampuan yang dapat dialih gunakan melalui kegiatan
matematika.
(2) Siswa memiliki pengetahuan matematika sebagai bekal untuk melanjutkan
ke pendidikan menengah.
(3) Siswa memiliki keterampilan matematika sebagai peningkatan dan
perluasan dari matematika sekolah dasar untuk dapat digunakan dalam
kehidupan sehari-hari.
(4) Siswa memiliki pandangan yang cukup luas dan memiliki sikap logis, kritis,
cermat dan disiplin serta menghargai kegunaan matematika.
Matematika di SMP merupakan salah satu mata pelajaran yang wajib
diikuti oleh siswa. Berdasarkan KTSP, mata pelajaran matematika di SMP
diberikan sebanyak 6 40 menit (6 jam pelajaran) dalam satu minggu. Mata
pelajaran Matematika pada satuan pendidikan SMP yang diajarkan antara lain (1)
bilangan, (2) aljabar, (3) geometri dan pengukuran, serta (4) statistika dan
peluang.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran
siswa dalam bidang studi matematika meliputi pola, bentuk, lambang, simbol,
bahasa, operasi dan hubungan-hubungan yang tersusun sesuai dengan tahap
perkembangan intelektual siswa SMP pada suatu lingkungan belajar yang telah
diatur dan direncanakan.
2.3 Model Pembelajaran
Suprijono (2010) mengungkapkan model merupakan interpretasi
terhadap hasil observasi dan pengukuran yang diperoleh dari beberapa sistem, dan
model pembelajaran ialah pola yang digunakan sebagai pedoman dalam
merencanakan pembelajaran di kelas maupun tutorial .
Lebih lanjut, Suprijono (2010) mengutip pendapat dari beberapa ahli
sebagai berikut: Mills berpendapat bahwa model adalah bentuk representasi
akurat sebagai proses aktual yang memungkinkan seseorang atau sekelompok
orang mencoba bertindak berdasarkan model itu . Menurut Arends, model
pembelajaran mengacu pada pendekatan yang akan digunakan, termasuk di
dalamnya tujuan-tujuan pembelajaran, tahap-tahap dalam kegiatan pembelajaran,
lingkungan pembelajaran, dan pengelolaan kelas .
Disamping itu Isjoni (2010) mengutip pengertian model pembelajaran
menurut Joice & Weil, yaitu suatu pola atau rencana yang sudah direncanakan
sedemikian rupa dan digunakan untuk menyusun kurikulum, mengatur materi
pelajaran, dan memberi petunjuk kepada pengajar di kelasnya .
Tim MKPBM (2001) menyatakan model pembelajaran dimaksudkan
strategi, pendekatan, metode dan teknik. Istilah model pengajaran mempunyai
makna yang lebih luas dari pada strategi, metode atau prosedur.
Menurut Rusman (2011) model pembelajaran mempunyai ciri-ciri
sebagai berikut:
(1) Berdasarkan teori pendidikan dan teori belajar dari para ahli tertentu.
(2) Mempunyai misi atau tujuan pendidikan tertentu.
(3) Dapat dijadikan pedoman untuk perbaikan kegiatan belajar mengajar di
kelas.
(4) Memiliki bagian-bagian model yang dinamakan urutan langkah langkah
pembelajaran, adanya prinsip-prinsip reaksi, sistem sosial, dan sistem
pendukung.
(5) Memiliki dampak sebagai akibat terapan model pembelajaran yang meliputi
dampak pembelajaran, yaitu hasil belajar yang dapat diukur, dan dampak
pengiring, yaitu hasil belajar jangka panjang.
(6) Membuaat persiapan mengajar dengann pedoman model pembelajaran yang
dipilihnya.
Menurut Nieveen (Trianto, 2010), suatu model pengajaran dikatakan baik
jika memenuhi kriteria sebagai berikut:
(1) Valid. Aspek validitas dikaitkan dengan apakah model yang dikembangkan
didasarkan pada rasional teoritik yang kuat dan terdapat konsistensi internal.
(2) Praktis. Aspek kepraktisan hanya dapat dipenuhi jika para ahli dan praktisi
(3) Efektif. Parameter aspek efektifitas ini adalah apabila para ahli dan praktisi
berdasar pengalamannya menyatakan bahwa model tersebut efektif dan
secara operasional model tersebut memberikan hasil sesuai dengan yang
diharapkan.
Menurut Arends (Trianto, 2010) tidak ada satu model pembelajaran yang
paling baik diantara yang lainnya, karena masing-masing model pembelajaran
dapat dirasakan baik, apabila telah diujicobakan untuk mengajarkan materi
pelajaran tertentu. Dalam mengajarkan suatu pokok bahasan (materi) tertentu
harus dipilih model pembelajaran yang paling sesuai dengan tujuan yang ingin
dicapai.
Menurut Trianto (2010) model pembelajaran dapat dibagi menjadi tiga:
(1) Model pembelajaran langsung
Model pembelajaran langsung adalah salah satu model pembelajaran yang
diklasifikasikan berdasarkan tujuan pengajarannya, sintaks dan sifat
lingkungan belajarnya. Model ini dirancang khusus untuk membantu siswa
mempelajari keterampilan dasar yang berkaitan dengan pengetahuan
deklaratif.
(2) Model pembelajaran kooperatif
Model pembelajaran kooperatif muncul dari konsep bahwa siswa akan lebih
mudah menemukan dan memahami konsep yang sulit jika mereka saling
berdiskusi dengan temannya. Siswa secara rutin bekerjasama dalam
(3) Model pembelajaran berdasarkan masalah
Model pembelajaran berdasarkan masalah dimulai dengan menyajikan
permasalahan nyata yang penyelesaiannya membutuhkan kerjasama
diantara siswa-siswa. Guru memandu siswa menguraikan rencana
pemecahan masalah.
Jadi dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran adalah kerangka
konseptual yang melukiskan prosedur sistematis dalam mengorganisasikan
pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar.
2.4 Model Pembelajaran Kooperatif
Isjoni (2010) mengutip pendapat dari Slavin yang mengatakan, in
cooperative learning methods, students work together in four member teams to
master material initially presented by the teacher . Dari uraian tersebut dapat
dikemukakan bahwa cooperative learning adalah suatu model pembelajaran
dimana siswa belajar dan bekerja dalam kelompok kecil yang berjumlah 4-6 orang
secara kolaboratif sehingga dapat merangsang siswa lebih bergairah dalam
belajar.
Roger dkk (Huda, 2011) menyatakan pembelajaran kooperatif
merupakan aktivitas pembelajaran kelompok yang diorganisir oleh satu prinsip
bahwa pembelajaran harus didasarkan pada perubahan informasi secara sosial
diantara kelompok-kelompok pembelajar yang di dalamnya setiap pembelajar
bertanggung jawab atas pembelajarannya sendiri dan didorong untuk
Menurut Nurulhayati (Rusman, 2011) pembelajaran kooperatif adalah
strategi pembelajaran yang melibatkan partisipasi siswa dalam satu kelompok
kecil untuk saling berinteraksi. Dalam sistem belajar yang kooperatif, siswa
belajar bekerja sama dengan anggota lainnya. Dalam model ini siswa memiliki
dua tanggung jawab, yaitu mereka belajar untuk dirinya sendiri dan membantu
sesama anggota kelompok untuk belajar. Siswa belajar bersama dalam sebuah
kelompok kecil dan mereka dapat melakukannya seorang diri.
Siahaan (Rusman, 2011) mengutarakan lima unsur esensial yang
ditekankan dalam pembelajaran kooperatif, yaitu saling ketergantungan positif,
interaksi berhadapan, tanggung jawab individu, keterampilan sosial, dan terjadi
proses dalam kelompok.
Menurut Rusman (2011) model pembelajaran kooperatif merupakan
model pembelajaran yang digunakan dan menjadi perhatian serta dianjurkan oleh
para ahli pendidikan. Hal ini dikarenakan berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Slavin yang menyatakan bahwa penggunaan model pembelajaran
kooperatif dapat meningkatkan hasil belajar siswa dan sekaligus dapat
meningkatkan hubungan sosial, menumbuhkan sikap toleransi dan menghargai
pendapat orang lain, pembelajaran kooperatif dapat memenuhi kebutuhan siswa
dalam berpikir kritis, memecahkan masalah, dan mengintegrasi pengetahuan
dengan pemahaman.
Ada dua komponen pembelajaran kooperatif (Rusman, 2011), yakni
tugas kerja sama dan struktur intensif kerja sama. Tugas kerja sama berkenaan
menyelesaikan tugas yang diberikan. Sedangkan struktur intensif kerja sama
merupakan sesuatu hal yang membangkitkan motivasi siswa untuk melakukan
kerja sama dalam rangka mencapai tujuan kelompok tersebut. Dalam
pembelajaran kooperatif adanya upaya peningkatan hasil belajar siswa merupakan
dampak penyerta dari sikap toleransi dan menghargai pendapat orang lain.
Menurut Sanjaya (dalam Rusman, 2011) pembelajaran kooperatif akan
efektif digunakan apabila guru menekankan pentingnya usaha bersama di samping
usaha secara individual, guru menghendaki pemerataan perolehan hasil dalam
belajar, guru ingin menanamkan tutur sebaya atau belajar melalui teman sendiri,
guru menghendaki adanya pemerataan partisipasi aktif siswa, dan guru
menghendaki kemampuan siswa dalam memecahkan berbagai permasalahan.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa model
pembelajaran kooperatif (cooperative leraning) adalah model pembelajaran yang
menggunakan kelompok-kelompok kecil dimana siswa dalam satu kelompok
saling bekerja sama memecahkan masalah untuk mencapai tujuan pembelajaran.
2.5 Model Pembelajaran Kooperatif TipeThink-Pair-Share(TPS)
Seperti namanya Thinking , pembelajaran ini diawali dengan guru
mengajukan pertanyaan atau isu terkait dengan pelajaran untuk dipikirkan oleh
peserta didik. Guru memberi kesempatan kepada mereka memikirkan
jawabannya. Selanjutnya, Pairing , pada tahap ini guru meminta peserta didik
berpasang-pasangan. Beri kesempatan kepada pasangan-pasangan itu untuk
berdiskusi. Diharapkan diskusi ini dapat memperdalam makna dari jawaban yang
intersubjektif di tiap-tiap pasangan dibicarakan dengan pasangan seluruh kelas.
Tahap ini dikenal dengan Sharing . Dalam kegiatan ini diharapkan terjadi tanya
jawab yang mendorong pada pengonstruksian pengetahuan secara integratif.
Peserta didik dapat menemukan struktur dari pengetahuan yang dipelajarinya
(Suprijono, 2010).
Model kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) merupakan jenis
pembelajaran kooperatif yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi
siswa. Model pembelajaran kooperatif tipe TPS ini berkembang dari penelitian
belajar koperatif dan waktu tunggu. Pertama kali dikembangkan oleh Frank
Lyman dkk tahun 1985 dari Universitas Maryland dan menyatakan bahwa TPS
merupakan suatu cara efektif untuk membuat variasi suasana pola diskusi siswa.
Dengan asumsi bahwa semua resitasi atau diskusi membutuhkan pengaturan
untuk mengendalikan kelas secara keseluruhan, dan prosedur yang digunakan
dalam TPS dapat memberi siswa lebih banyak waktu berfikir, untuk merespon
dan saling membantu (Trianto, 2010).
Adapun langkah-langkah model pembelajaran kooperatif tipe
Think-Pair-Share(Trianto, 2010) adalah sebagai berikut.
(1) Langkah 1: berpikir (thinking)
Guru mengajukan pertanyaan atau masalah yang dikaitkan dengan
pelajaran, dan meminta siswa menggunakan waktu beberapa menit untuk
berpikir sendiri jawaban atau masalah. Siswa membutuhkan penjelasan
(2) Langkah 2: berpasangan(pairing)
Selanjutnya guru meminta siswa untuk berpasangan dan mendiskusikan apa
yang telah mereka peroleh. Interaksi selama waktu yang disediakan dapat
menyatukan jawaban jika suatu pertanyaan yang diajukan atau menyatukan
gagasan apabila suatu masalah khusus yang diidentifikasi. Secara normal
guru memberi waktu tidak lebih dari 4 atau 5 menit untuk berpasangan.
(3) Langkah 3: berbagi(sharing)
Pada langkah akhir, guru meminta pasangan-pasangan siswa untuk berbagi
dengan keseluruhan kelas yang telah mereka bicarakan. Hal ini efektif untuk
berkeliling ruangan dari pasangan ke pasangan dan melanjutkan sampai
sekitar sebagian pasangan mendapat kesempatan untuk melaporkan.
Menurut Huda (2011), TPS memiliki kelebihan, diantaranya adalah.
(1) Memungkinkan siswa untuk bekerja sendiri dan bekerja sama dengan orang
lain.
(2) Mengoptimalkan partisipasi siswa.
(3) Memberi kesempatan sedikitnya delapan kali lebih banyak kepada siswa
untuk menunjukkan partisipasi mereka kepada orang lain.
(4) Bisa diterapkan untuk semua mata pelajaran dan tingkatan kelas.
2.6 Metode Pembelajaran Konvensional
Pengajaran tanpa model pembelajaran kooperatif dalam penelitian ini
merupakan pengajaran dengan metode pembelajaran konvensional. Metode
pembelajaran konvensional merupakan pembelajaran yang biasa dilakukan oleh
konvensional, kegiatan proses belajar mengajar lebih sering diarahkan pada aliran
informasi dari guru ke siswa. Dalam metode pembelajaran konvensional, guru di
sekolah umumnya memfokuskan diri pada upaya penuangan pengetahuan kepada
para siswa tanpa memperhatikan prakonsepsi(prior knowledge)siswa atau
gagasan-gagasan yang telah ada dalam diri siswa sebelum mereka belajar secara
formal di sekolah. (Sanjaya, 2011).
Warpala (2009) mengutip pernyataan dari beberapa ahli, diantaranya
Burrowes (2003) menyampaikan bahwa pembelajaran konvensional menekankan
pada resitasi konten, tanpa memberikan waktu yang cukup kepada siswa untuk
merefleksi materi-materi yang dipresentasikan, menghubungkannya dengan
pengetahuan sebelumnya, atau mengaplikasikannya kepada situasi kehidupan
nyata. Lebih lanjut dinyatakan bahwa pembelajaran konvensional memiliki
ciri-ciri, yaitu: (1) pembelajaran berpusat pada guru, (2) terjadi passive learning, (3)
interaksi di antara siswa kurang, (4) tidak ada kelompok-kelompok kooperatif,
dan (5) penilaian bersifat sporadis. Menurut Brooks & Brooks (1993),
penyelenggaraan pembelajaran konvensional lebih menekankan kepada tujuan
pembelajaran berupa penambahan pengetahuan, sehingga belajar dilihat sebagai
proses meniru dan siswa dituntut untuk dapat mengungkapkan kembali
pengetahuan yang sudah dipelajari melalui kuis atau tes terstandar.
Kegiatan mengajar dalam pembelajaran konvensional cenderung
diarahkan pada aliran informasi dari guru ke siswa, serta penggunaan metode
ceramah terlihat sangat dominan. Pola mengajar kelihatan baku, yakni
itu siswa memperhatikan penjelasan guru sambil mencatat di buku tulis. Siswa
dipandang sebagai individu pasif yang tugasnya hanya mendengarkan, mencatat,
dan menghafal. Pembelajaran yang terjadi pada metode konvensional berpusat
pada guru, dan tidak terjadi interaksi yang baik antara siswa dengan siswa.
Sehingga pembelajaran konvensional lebih cenderung pada pelajaran yang
bersifat hapalan yang mentolerir respon-respon yang bersifat konvergen,
menekankan informasi konsep, latihan soal, serta penilaiannya masih bersifat
tradisional dengan paper and pencil testyang hanya menuntut pada satu jawaban
yang benar. Hal tersebut berimplikasi langsung pada proses pembelajaran di kelas
yaitu pada situasi kelas akan menjadi pasif karena interaksi hanya berlangsung
satu arah serta guru kurang memperhatikan dan memanfaatkan dan
potensi-potensi siswa serta gagasan mereka sebagai daya nalar (Widiana, dalam Sanjaya,
2011).
Anonim (2008) menyatakan bahwa pembelajaran konvensional memiliki
sifat-sifat diantaranya (1) Guru sering membiarkan adanya siswa yang
mendominasi kelompok atau menggantungkan diri pada kelompok, (2)
Akuntabilitas individual sering diabaikan sehingga tugas-tugas sering diborong
oleh salah seorang anggota kelompok sedangkan anggota kelompok lainnya hanya
mendompleng keberhasilan pemborong , (3) Kelompok belajar biasanya
homogen, (4) Pemimpin kelompok sering ditentukan oleh guru atau kelompok
dibiarkan untuk memilih pemimpinnya dengan cara masing-masing, (5)
Keterampilan sosial sering tidak secara langsung diajarkan, (6) Pemantauan
kelompok sedang berlangsung, (7) Guru sering tidak memperhatikan proses
kelompok yang terjadi dalam kelompok-kelompok belajar, dan (8) Penekanan
sering hanya pada penyelesaian tugas.
2.7 Aritmetika Sosial
Materi aritmetika sosial merupakan materi penggunaan aljabar dalam
kehidupan sehari-hari. Berikut Nuharini & Wahyuni (2008) menguraikan materi
aritmetika sosial yang meliputi:
2.7.1 Nilai Keseluruhan, Nilai per Unit, dan Nilai Sebagian
Nilai keseluruhan adalah nilai/harga dari suatu barang dalam satu
kesatuan. Nilai per unit adalah nilai satuan dari barang tersebut. Sedangkan nilai
sebagian adalah nilai barang dalam suatu bagian tertentu.
Nilai keseluruhan dapat dihitung jika nilai per unit diketahui. Sebaliknya
nilai per unit dapat dihitung jika nilai keseluruhan diketahui.
Hubungan nilai keseluruhan, nilai per unit, dan banyak unit adalah
sebagai berikut (Tim Penyusun, 2008):
Nilai Keseluruhan = Banyak Unit X Nilai per Unit
Contoh soal:
(1) Ibu membeli 3 kg rambutan di pasar. Bila harga per kg adalah Rp
2.500,00, berapa uang yang harus dibayarkan ibu?
Penyelesaian:
Diketahui : nilai pe unit = Rp 2.500,00
Ditanyakan : nilai keseluruhan
Jawab :
Nilai keseluruhan = banyak unit X nilai per unit
= 3 X Rp 2.500,00
= Rp 7.500,00
Jadi, uang yang harus dibayarkan ibu adalah Rp 7.500,00
(2) Didi membeli 2 buah permen di warung dengan harga Rp 500,00. Jika
Didi membeli sebuah permen, berapa jumlah uang yang harus Didi
bayar?
Penyelesaian:
Diketahui : nilai keseluruhan = Rp 500,00
banyak unit = 2
Ditanyakan : nilai per unit
Jawab:
Nilai keseluruhan = banyak unit X nilai per unit
Rp 500,00 = 2 X nilai per unit
Nilai per unit = , = Rp 250,00
Jadi, uang yang harus dibayarkan Didi untuk membeli sebuah permen
adalah Rp 250,00.
2.7.2 Harga Pembelian, Harga Penjualan, Untung, dan Rugi
Harga beli adalah harga barang dari pabrik, grosir, atau tempat lainnya.
Harga beli sering disebut modal. Dalam situasi tertentu, modal adalah harga beli
ditetapkan oleh pedagang kepada pembeli. Untung atau laba adalah selisih antara
harga penjualan dengan harga pembelian jika harga penjualan lebih dari harga
pembelian. Rugi adalah selisih antara harga pembelian dengan harga penjualan
jika harga penjualan kurang dari harga pembelian.
Hubungan antara harga jual, harga beli, untung, dan rugi adalah sebagai
berikut (Tim Penyusun, 2008):
Laba = harga jual harga beli Rugi = harga beli harga jual Contoh soal:
(1) Kakak membeli 6 kg apel dengann harga Rp 30.000,00. Apel tersebut
kemudian dijual dengan harga Rp 5.500 tiap kg. Untung atau rugikah
kakak dari penjualan apel tersebut? Berapa untung atau ruginya?
Penyelesaian:
Diketahui : harga beli = Rp 30.000,00
Harga jual = 6 X Rp 5.500,00 = Rp 33.000,00
Ditanyakan : untung atau rugi dan besar keuntungan atau kerugian
Jawab :
Harga jual > harga beli, sehingga kakak mendapatkan untung/laba
Laba = harga jual harga beli
= Rp 33.000,00 Rp 30.000,00 = Rp 3.000,00
(2) Adik membeli mobil mainan dengan harga Rp 30.000,00. Karena
sudah bosan, mobil mainan itu dijual kepada teman akrabnya dengan
harga Rp 25.000,00. Untung atau rugikah adik? Berapa besar
keuntungan atau kerugiannya?
Penyelesaian:
Diketahui : harga beli = Rp 30.000,00
Harga jual = Rp 25.000,00
Ditanyakan : untung atau rugi dan besar keuntungan dan kerugiannya
Jawab :
Harga jual < harga beli, sehingga adik mendapatkan rugi
Rugi = harga beli harga jual
= Rp 30.000,00 Rp 25.000,00 = Rp 5.000,00
Jadi, adik mendapatkan rugi sebesar Rp 5.000,00
2.7.3 Persentase Keuntungan atau Kerugian
Persen artinya perseratus, yang ditulis dalam bentuk p% dengan p
bilangan real. Dalam perdagangan, besar untung atau rugi terhadap harga
pembelian biasanya dinyatakan dalam bentuk persen. Persentase untung terhadap
harga beli dan persentase rugi terhadap harga beli dapat dinyatakan sebagai
berikut (Tim Penyusun, 2008):
Persentase Untung = × %
Contoh soal:
Sita mempunyai uang sebesar Rp 14.000,00. Uang tersebut digunakan untuk
membeli 14 buah nanas. Kemudian nanas itu ia jual dengan harga Rp
1.250,00 per buah. Untung atau rugi? Berapa persentase keuntungan atau
kerugiannya?
Penyelesaian:
Diketahui : harga beli 14 buah nanas = Rp 14.000,00
Harga jual 1 buah nanas = Rp 1.250,00
Ditanyakan : persentase untung atau rugi
Jawab:
Harga jual 14 buah nanas = 14 X Rp 1.250,00 = Rp 17.500,00
Harga jual > harga beli, berarti Sita untung
Laba = harga jual harga beli
= Rp 17.500,00 Rp 14.000,00 = Rp 3.500,00
Persentase keuntungan = X 100%
= . ,
. , X 100% = 25%
Jadi, persentase keuntungannya adalah 25%.
Harga beli atau harga jual dapat dicari berdasarkan persentase laba atau
rugi. Harga beli atau harga jual dapat ditentukan dengan rumus di bawah ini (Tim
=
=
2.8 Evaluasi Hasil Belajar
Menurut Syah (2009) evaluasi artinya penilaian terhadap tingkat
keberhasilan siswa mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam sebuah program.
Padanan kata evaluasi adalah assesment yang menurut Tardif et al berarti proses
penilaian untuk menggambarkan hasil yang dicapai seorang siswa sesuai kriteria
yang telah ditetapkan.
Menurut Dimyati & Mudjiono (2006) evaluasi secara umum dapat
diartikan sebagai proses sistematis untuk menentukan nilai sesuatu (tujuan,
kegiatan, keputusan, unjuk kerja, proses, orang, objek dan yang lain) berdasarkan
kriteria tertentu melalui penilaian.
Roestiyah (Djamarah & Zain, 2006) mengatakan bahwa evaluasi adalah
kegiatan mengumpulkan data seluas-luasnya, sedalam-dalamnya, yang
bersangkutan dengan kemampuan siswa guna mengetahui sebab akibat dan hasil
belajar siswa yang dapat mendorong dan mengembangkan kemampuan belajar.
Jadi, dapat dipahami bahwa evaluasi adalah suatu proses untuk
memberikan penilaian terhadap sesuatu, melalui pengumpulan, pengamatan,
pengukuran dari data-data yang diperoleh, berdasarkan acuan atau kriteria yang
Dimyati & Mudjiono (2006) mengungkapkan evaluasi hasil belajar
sebagai proses untuk menentukan nilai belajar siswa melalui kegiatan penilaian
dan atau pengukuran hasil belajar.
Menurut Hamalik (2008) evaluasi hasil belajar adalah keseluruhan
kegiatan pengukuran baik berupa pengumpulan data dan informasi, pengolahan,
penafsiran dan pertimbangan untuk membuat keputusan tentang tingkat hasil
belajar yang dicapai oleh siswa setelah melakukan kegiatan belajar dalam upaya
mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Tujuan evaluasi hasil belajar menurut Syah (2009) antara lain:
(1) Untuk mengetahui tingkat kemajuan yang telah dicapai oleh siswa dalam
suatu kurun waktu proses belajar tertentu.
(2) Untuk mengetahui posisi atau kedudukan siswa dalam kelompok kelasnya.
(3) Untuk mengetahui tingkat usaha yang dilakukan siswa dalam belajar.
(4) Untuk mengetahui hingga sejauh mana siswa telah mendayagunakan
kapasitas kognitifnya (kemampuan kecerdasan yang dimilikinya) untuk
keperluan belajar.
(5) Untuk mengetahui tingkat daya guna dan hasil guna metode mengajar yang
telah digunakan guru dalam proses pengajaran.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa evaluasi hasil belajar adalah
proses untuk menentukan nilai belajar siswa melalui kegiatan penilaian dan atau
pengukuran hasil belajar. Tujuan utama evaluasi hasil belajar adalah untuk
mengetahui tingkat keberhasilan yang dicapai oleh siswa setelah mengikuti suatu
2.9 Hipotesis Tindakan
Berangkat dari latar belakang dan tinjauan pustaka, maka hipotesis dari
penelitian ini adalah ada perbedaan antara hasil belajar siswa yang diajar
menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TPS dengan hasil belajar siswa
BAB III
METODE PENELITIAN
Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimen, yaitu
menurut Solso dan MacLin adalah penyelidikan dengan minimal salah satu
variabel dimanipulasi untuk mempelajari hubungan sebab akibat (Seniati, 2008).
Variabel yang dimanipulasi dalam penelitian ini adalah penggunaan model
pembelajaran kooperatif, untuk dilihat hubungan dan sebab akibatnya terhadap
hasil belajar.
Pelaksanaan eksperimen dalam penelitian ini menggunakan dua kelas
yaitu kelas eksperimen dan kelas kontrol. Pada kelas eksperimen akan dikenai
perlakuan penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe TPS sedangkan pada
kelas kontrol dikenai perlakuan tanpa penggunaan model pembelajaran kooperatif.
Tahap akhir dari penelitian ini adalah masing-masing kelas diberi tes
untuk mengukur hasil belajar masing-masing kelas.
3.1 Polulasi dan Sampel Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa kelas VII SMP Negeri
17 Banjarmasin tahun pelajaran 2011/2012 yang berjumlah 202 siswa.
Tabel 1 Distribusi siswa kelas VII SMP Negeri 17 Banjarmasin
No. Kelas Jumlah Siswa
1 VII A 34
2 VII B 35
3 VII C 35
4 VII D 34
5 VII E 32
6 VII F 32
Sampel dalam penelitian ini yaitu siswa sebanyak dua kelas. Kelas VII E
sebagai kelas eksperimen dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif
tipe TPS dan kelas VII F sebagai kelas kontrol tanpa menggunakan model
pembelajaran kooperatif yang dipilih secara random. Pengambilan sampel di
dalam penelitian ini dilakukan dengan purposive sampling dengan pertimbangan
awal kedua kelas memiliki nilai rata-rata UTS yang relatif sama.
Sebelum diberi perlakuan, dilakukan uji matching (uji keseimbangan)
terlebih dahulu untuk mengetahui apakah kelas eksperimen dan kelas kontrol
dalam keadaan seimbang. Keseimbangan yang dimaksud adalah kesamaan dalam
hal nilai rata-rata hasil belajar dan variansi kedua kelas. Uji matching ini
didasarkan pada nilai ulangan tengah semester ganjil matematika.
Perhitungan yang digunakan adalah menggunakan SPSS 18 dengan
prosedur (Seniati dkk., 2008):
(1) Memasukkan data pada kotak berikut dalam SPSS sesuai kelasnya (Kelas
Kode Nilai
KE
KE
KK
KK
(2) Menganalisis melaluicompare meanindependent sample t-test.
(3) Taraf signifikansi yang diambil adalah = 0,05
(4) Dari output SPSS tersebut, kolom-kolom yang diperhatikan adalah nilai
signifikansi Levene serta nilai signifikansi-t. Levene s Test adalah teknik
statistik untuk menguji kesamaan dua variansi di antara kedua kelas. Jika
nilai signifikansi Levene s Test kurang dari 0,05 berarti nilai Levene s Test
signifikan. Dengan kata lain, variansi kedua kelas berbeda. Nilai
signifikansi-t yang terlihat adalah untuk uji-t dalam hal kesamaan rata-rata,
sehingga jika nilai signifikansi-t kurang dari 0,05 berarti nilai-t signifikan.
Dengan kata lain, kedua kelas memiliki nilai rata-rata yang berbeda.
3.2 Teknik Pengumpulan Data
Di dalam penelitian ini menggunakan teknik tes dan dokumentasi.
3.2.1 Tes
Pada penelitian ini metode tes digunakan untuk mengumpulkan data
mengenai hasil belajar matematika siswa dengan cara memberikan soal tes yang
sama pada kedua kelas sampel setelah diberi perlakuan. Instrumen yang
sosial yang berupa pilihan ganda. Sebelum soal tes digunakan, terlebih dahulu
soal tes diujicobakan untuk mengetahui apakah soal yang akan digunakan tersebut
valid dan reliabel atau tidak. Ujicoba dilaksanakan di kelas VII A dan kelas VII D
pada tanggal 21 November 2011.
Adapun rancangan pelaksanaanya adalah :
(1) Membuat batasan soal, yaitu soal-soal pada sub pokok bahasan aritmetika
sosial
(2) Menentukan tujuan tes, yaitu mengetahui hasil belajar siswa pada sub pokok
bahasan aritmetika sosial
(3) Membuat kisi-kisi soal tes berdasarkan batasan soal yang telah dirumuskan
(4) Menyusun soal-soal tes
(5) Uji coba soal tes
1. Uji validitas
Uji validitas ini bertujuan untuk menguji kevalidan soal yang akan
digunakan. Validitas suatu soal dinyatakan dengan koefisien korelasi (r). Untuk
menguji validitas digunakan rumus korelasi product moment, yaitu (Arikunto,
1998):
r = N XY ( X) ( Y)
{N X ( X) }{N Y ( Y) }
Keterangan:
rxy= koefisien korelasi antara variabel X dan Y X = skor item
Kriteria pengujian :
(a) Jika rxy rtabelmaka butir soal valid (b) Jika rxy< rtabelmaka butir soal tidak valid
2. Uji Reliabilitas
Uji reliabilitas digunakan untuk mengetahui apakah soal tes yang
digunakan reliabel atau tidak. Soal tes dikatakan reliabel apabila pengukuran
dilakukan pada orang yang sama di waktu yang berbeda dan hasil pengukuran
dengan soal tersebut sama atau hampir sama.
Untuk mengukur reliabilitas instrumen digunakan rumus KR-20
(Arikunto, 1998):
=
1
Keterangan:
r11= reliabilitas secara keseluruhaan
p = proporsi subjek yang menjawab item dengan benar
q = proporsi subjek yang menjawab item dengan salah (q = 1 p) n = banyaknya item yang valid
S2= variansi
Kriteria pengujian :
(a) Jika r11 rtabelmaka soal reliabel (b) Jika r11< rtabelmaka soal tidak reliabel
3.2.2 Dokumentasi
Pada penelitian ini metode dokumentasi digunakan untuk mengumpulkan
3.3 Uji Prasyarat Analisis
Uji prasyarat analisis yang dipakai dalam penelitian ini adalah uji
normalitas dan uji homogenitas.
3.3.1 Uji Normalitas
Uji normalitas ini bertujuan untuk menguji apakah data dalam penelitian
ini berdistribusi normal atau tidak. Metode yang digunakan adalah
Kolmogorov-Smirnov. Prosedur penggunaannya adalah sebagai berikut (Irianto, 2009):
(1) Hipotesis
H0= data berdistribui normal H1= data tidak berdistribui normal
(2) Statistik uji
a1= maks
dengan a2=
dimana:
f = frekuensi skor subjek
F = frekuensi komulatif dari frekuensi skor subjek n = jumlah sampel
P Z = probabilitas di bawah nilai Z (dicari pada tabel Z)
(3) Taraf signifikansi ( ) = 0,05
(4) Daerah kritik = D( )(n)dilihat dari tabel Kolmogorov-Smirnov
(5) Keputusan uji:
3.3.2 Uji Homogenitas
Uji homogenitas ini bertujuan untuk menguji apakah populasi
mempunyai variansi yang sama. Metode yang digunakan adalah Levene dengan
SPSS 18. Prosedur pemakaiannya yaitu (Seniati dkk, 2008):
(1) Hipotesis
H0= kedua kelompok sampel homogen H1= kedua kelompok sampel tidak homogen
(2) Taraf signifikansi : = 0,05
(3) Prosedur uji
Instrumen penelitian yang berupa hasil belajar dianalisis menggunakan
program SPSS 18. Perhitungan T-Test dalam program SPSS 18 melalui
independent sample t-test, dengan cara memasukkan data nilai hasil belajar siswa
sesuai kelasnya (eksperimen dan kontrol) seperti berikut:
Kode Nilai
KE
KE
KK
KK
Dari output SPSS tersebut, kolom-kolom yang diperhatikan adalah: nilai
Levene s Testdan signifikansinya. Jika nilai signifikansi Levene s Testlebih
kecil dari 0,05 (p<0,05) berarti nilai Levene s Test signifikan. Dengan kata
lain, varians kedua kelompok berbeda. Sebaliknya, jika nilai signifikansinya
(4) Keputusan uji:
H0ditolak jika nilaiLevene s Testsignifikan (p<0,05).
3.4 Teknik Analisis Data
Setelah dilakukan uji prasyarat analisis, baru dilakukan analisis data.
Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan menggunakan program
SPSS 18 (Seniati dkk, 2008).
(1) Hipotesis
H0: 1= 2
Tidak ada perbedaan signifikan antara rata-rata hasil belajar kelas yang
diajar menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Share
(TPS) dengan rata-rata hasil belajar kelas yang diajar tanpa menggunakan
model pembelajaran kooperatif.
H1: 1 2
Ada perbedaan signifikan antara rata-rata hasil belajar kelas yang diajar
menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Share (TPS)
dengan rata-rata hasil belajar kelas yang diajar tanpa menggunakan model
pembelajaran kooperatif.
(2) Taraf signifikansi : = 0,05
(3) Prosedur uji
PerhitunganT-Test dalam program SPSS 18 melaluiindependent sample
t-test, dengan cara memasukkan data nilai hasil belajar siswa sesuai kelasnya
Kode Nilai
KE
KE
KK
KK
Darioutput SPSS tersebut, kolom-kolom yang diperhatikan adalah: nilai
Levene s Test dan signifikansinya serta nilai-t dan signifikansinya. NilaiLevene s
Test ini mengarahkan dalam melihat nilai-t. jika nilai Levene s Test signifikan
maka dilihat nilai-t pada baris equal variance not assumed, sedangkan jika nilai
Levene s Test tidak signifikan maka dilihat nilai-t pada baris equal variance
assumed.
(4) Keputusan uji
H0ditolak jika nilai t hitung < taraf signifikansi
Untuk mengetahui bagaimana pengaruh model pembelajaran kooperatif
tipe TPS terhadap hasil belajar siswa dilakukan dengan membandingkan mean
dari kedua kelas (KE dan KK). Jika mean KE lebih besar dari KK (KE > KK)
maka hasil belajar siswa yang diajar menggunakan model pembelajaran kooperatif
tipe TPS lebih baik dibandingkan siswa yang diajar tanpa menggunakan model
pembelajaran kooperatif. Sebaliknya jika mean KK lebih besar dari KE (KK >
KE) maka hasil belajar siswa kelas kontrol lebih baik dibandingkan kelas
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Deskripsi Tempat Penelitian
SMP Negeri 17 Banjarmasin terletak di Jl. Sungai Jingah Rt.6 No.311
Kelurahan Sungai Jingah Kecamatan Banjarmasin Utara Kota Banjarmasin.
Sekolah ini berdiri pada tahun 1984 berdasarkan SK Mendikbud dengan nomor
statistik sekolah yakni 201156004017. Letak geografis SMP Negeri 17
Banjarmasin antara lain sebelah utara berbatasan dengan perumahan dan
pemakaman, sebelah selatan berbatasan dengan perumahan, sebelah barat
berbatasan dengan perumahan dan pasar, dan sebelah timur berbatasan dengan
perumahan dan sungai.
SMP Negeri 17 Banjarmasin dibangun di atas tanah seluas 10.057 m2.
SMP Negeri 17 Banjarmasin dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang cukup
menunjang proses belajar mengajar di sekolah. SMP Negeri 17 Banjarmasin
memiliki ruang kelas sebanyak 18 buah, ruang kepala sekolah, ruang guru, ruang
tata usaha, ruang perpustakaan, ruang laboratorium IPA, ruang komputer, ruang
keterampilan, ruang BP/BK, ruang UKS, ruang OSIS, koperasi, musholla,
lapangan basket, lapangan futsal, lapangan bulu tangkis, lapangan parkir, kamar
mandi/WC guru, kamar mandi/WC murid, dapur, gudang dan kantin.
SMP Negeri 17 Banjarmasin memiliki 18 ruang kelas sebagai tempat
berlangsungnya proses belajar mengajar. Ukuran setiap ruang kelas rata-rata
adalah seluas 60 m2 sesuai dengan daya tampung siswanya setiap kelas. Secara
umum kondisi ruang kelas berada pada kondisi yang baik. Pembagian kelas dan
siswa disajikan pada tabel 2 berikut.
Tabel 2 Keadaan kelas dan siswa SMP Negeri 17 Banjarmasin
Kelas Jumlah Ruangan Jumlah Siswa VII
Jumlah guru yang menunjang keberlangsungan proses belajar mengajar
adalah sebanyak 39 orang dimana 4 di antaranya ialah guru matematika. Guru
matematika tersebut mempunyai latar belakang pendidikan matematika dengan
jenjang S1. Secara rinci dapat dilihat dalam tabel 3 berikut.
Tabel 3 Distribusi guru matematika berdasarkan pembagian tugas mengajar
No. Nama Guru Mengajar di
Kelas
Kegiatan belajar mengajar di SMP Negeri 17 Banjarmasin mengacu pada
Kurukulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), berlangsung setiap hari Senin
sampai Sabtu dengan alokasi waktu untuk satu jam pelajaran adalah 40 menit.
Waktu penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar dirincikan sebagai berikut:
Senin kamis : pukul 07.30 13.30 WITA
Jum at : pukul 07.30 10.50 WITA
Secara umum keadaan lingkungan di kelas VII E sebagai kelas
eksperimen dan kelas VII F sebagai kelas kontrol relatif sama. Jendela, ventilasi
udara, dinding dan lantai berada dalam kondisi yang cukup terawat karena setiap
siswa bertanggung jawab terhadap kebersihan kelas terlihat dengan adanya jadwal
kebersihan kelas yang disusun oleh siswa. Kelengkapan kelas yang menunjang
proses belajar mengajar antara lain meja dan kursi guru, meja dan kursi siswa,
papan tulis white board, spidol dan penghapus, papan absen siswa, kotak obat,
jam dinding, dan pajangan. Di depan kelas terdapat tempat sampah untuk tetap
menjaga kebersihan kelas.
Kelas VII E terdiri dari 32 siswa yang terbagi atas 14 siswa perempuan
dan 18 siswa laki-laki. Wali kelas VII E adalah Wahidah, S.Pd, sedangkan ketua
kelas VII E adalah Bayu Tri Wardana. Kelas VII F terdiri dari 32 siswa yang
terbagi atas 18 siswa perempuan dan 14 siswa laki-laki, sedangkan ketua kelas
VII F adalah Fitria Cardona. Suasana di kedua kelas cukup mendukung untuk
kegiatan pembelajaran karena lingkungan belajar yang tertata rapi. Tempat duduk
disusun berderet kebelakang yang terdiri dari 4 baris dan 8 kolom, siswa duduk
secara berpasangan menurut jenis kelamin.
4.2 Deskripsi Pelaksanaan Pembelajaran
Sebelum dilakukan pengajaran yang berbeda peneliti menghitung uji
keseimbangan antara kelas kontrol dan kelas eksperimen dengan menggunakan
nilai Ulangan Tengah Semester I bidang studi matematika. Hasil analisis dan uji
keseimbangan dengan menggunakan SPSS dapat dilihat dalam rangkuman tabel 4
Tabel 4 Hasil Uji Keseimbangan
Kelas N Mean Signifikansi t S2
Signifikansi
Levene
Ket.
Kontrol 32 59,69
0,942
303,13
0,701 0,05 Seimbang
Eksperimen 32 59,38 257,20
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa signifikansi t = 0,942 dan
signifikansi Levene = 0,701, untuk = 0,05 kedua nilai tersebut tidak signifikan.
Dengan kata lain, kedua kelas tidak berbeda secara signifikan dalam hal nilai
rata-rata dan variansi. Maka dapat disimpulkan kedua kelas seimbang. (Selengkapnya
dapat dilihat pada lampiran 9).
Penyusunan soal tes hasil belajar matematika sub pokok bahasan
aritmetika sosial. Langkah-langkah penyusunan soal tes hasil belajar dalam
penelitian ini adalah:
(a) Menentukan kisi-kisi soal
(b) Menentukan jumlah soal dan bentuk soal
(c) Menyusun soal
(1) Uji coba intrumen tes
Sebelum instrumen diberikan terlebih dahulu diujicobakan. Jumlah butir
soal yang diujicobakan sebanyak 20 soal. Untuk jawaban benar mendapat skor 1
dan jawaban salah mendapat skor 0. Data yang diperoleh digunakan untuk
Hasil uji validitas dari 20 butir soal didapat 16 butir soal yang valid. Soal
dikatakan valid apabila rhitung > rtabel, dan tidak valid apabila rhitung < rtabel. Soal
yang tidak valid adalah soal nomor 5, 9, 17 dan 19.
Adapun hasil dari uji validitas item menggunakan rumus korelasi product
momentdapat dilihat dalam lampiran 10.
Hasil perhitungan reliabilitas tes hasil belajar dengan menggunakan
rumus KR-20 adalah sebesar 0,714. Karena r11 > rtabel maka instrumen dikatakan
reliabel. (Perhitungan reliabilitas tes hasil belajar dapat dilihat pada lampiran 10).
Dari uji validitas dan reliabilitas instrumen maka instrumen yang dapat
digunakan 16 soal. Semua soal yang sudah valid dan reliabel tersebut yang akan
diujikan kepada kelas kontrol dan eksperimen.
Dalam penelitian ini kegiatan belajar mengajar pada kedua kelas
dilakukan sebanyak 3 kali pertemuan dengan alokasi waktu untuk setiap
pertemuan adalah 2 40 menit. Kegiatan evaluasi dilakukan sebanyak 1 kali di
hari terakhir kegiatan pembelajaran dengan pemberian tes evaluasi hasil belajar.
Materi yang diajarkan adalah sub pokok bahasan aritmetika sosial yang meliputi
Nilai Keseluruhan, Nilai per Unit, dan Nilai Sebagian untuk pertemuan pertama,
Harga Pembelian, Harga Penjualan, Untung, dan Rugi untuk pertemuan kedua,
dan Persentase Keuntungan dan Persentase Kerugian untuk pertemuan terakhir.
Lebih lengkapnya dirincikan sebagai berikut:
(1) Kelas Eksperimen
Kegiatan belajar mengajar di kelas eksperimen dilakukan pada tanggal 24