HUBUNGAN KARAKTERISTIK, PENGETAHUAN, DAN SIKAP KEPALA KELUARGA DENGAN KEPEMILIKAN RUMAH SEHAT DI
KELURAHAN PEKAN SELESEI KECAMATAN SELESEI KABUPATEN LANGKAT
TAHUN 2010
Oleh:
ROY ANTONIUS TARIGAN NIM. 061000113
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
HUBUNGAN KARAKTERISTIK, PENGETAHUAN, DAN SIKAP KEPALA KELUARGA DENGAN KEPEMILIKAN RUMAH SEHAT DI
KELURAHAN PEKAN SELESEI KECAMATAN SELESEI KABUPATEN LANGKAT
TAHUN 2010
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat
Oleh:
ROY ANTONIUS TARIGAN NIM. 061000113
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi Dengan Judul
HUBUNGAN KARAKTERISTIK, PENGETAHUAN, DAN SIKAP KEPALA KELUARGA DENGAN KEPEMILIKAN RUMAH SEHAT DI KELURAHAN
PEKAN SELESEI KECAMATAN SELESEI KABUPATEN LANGKAT
TAHUN 2010
Yang dipersiapkan dan dipertahankan oleh :
ROY ANTONIUS TARIGAN NIM. 061000113
Telah Diuji dan Dipertahankan Dihadapan Tim Penguji Skripsi Pada Tanggal 25 Maret 2010 dan
Dinyatakan Telah Memenuhi Syarat Untuk Diterima
Tim Penguji
Ketua Penguji Penguji I
dr. Devi Nuraini Santi, M.Kes Ir. Evi Naria, M.Kes
NIP. 197002191998022001 NIP. 196803201993032001
Penguji II Penguji III
Ir. Indra Cahaya, M.Si dr. Taufik Ashar, MKM
NIP. 196811011993032005 NIP. 197803312003121001
Medan, 23 Maret 2010 Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara, Dekan,
ABSTRAK
Rumah merupakan kebutuhan dasar manusia dan juga merupakan determinan kesehatan masyarakat. Persentase rumah sehat di Kabupaten Langkat telah mencapai angka 75,33% tetapi penyebarannya di 23 kecamatan masih belum merata. Hal ini terlihat dari masih adanya kecamatan dengan persentase rumah sehat yang masih rendah, salah satunya adalah Kecamatan Selesei yaitu 32,5%.
Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan menggunakan desain
cross-sectional, yang bertujuan untuk mengetahui hubungan karakteristik, pengetahuan, dan sikap kepala keluarga dengan kepemilikan rumah sehat di Kelurahan Pekan Selesei Kecamatan Selesei Kabupaten Langkat pada tahun 2010. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kepala keluarga di Kelurahan Pekan Selesai Kecamatan Selesei Kabupaten Langkat Tahun 2010. Dari populasi diambil sampel sebanyak 97 kepala keluarga. Pengumpulan data meliputi data primer melalui wawancara dan data sekunder dari Kelurahan Pekan Selesei. Data dianalisis dengan menggunakan uji chi square pada taraf kepercayaan 95%. Persentase responden yang mempunyai pengetahuan baik adalah sebesar 60,8%, dan kurang baik adalah sebesar 39,2%. Persentase responden yang mempunyai sikap yang baik adalah sebesar 79,4%, dan kurang baik sebesar 20,6%. Persentase responden yang memiliki rumah sehat adalah sebesar 15,5%, dan rumah tidak sehat sebesar 84,5%
Hasil uji bivariat menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara variabel status pekerjaan (p = 0,002) dengan kepemilikan rumah sehat, adanya hubungan yang signifikan antara variabel pendapatan (p = 0,000) dengan kepemilikan rumah sehat, adanya hubungan yang signifikan antara variabel pendidikan (p = 0,003) dengan kepemilikan rumah sehat, adanya hubungan yang signifikan antara variabel pengetahuan (p = 0,001) dengan kepemilikan rumah sehat, dan adanya hubungan yang signifikan antara variabel sikap (p = 0,036) dengan kepemilikan rumah sehat.
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui faktor-faktor lain seperti letak geografis, suku, beban tanggungan yang mungkin berhubungan dan paling berpengaruh dalam kepemilikan rumah sehat.
ABSTRACT
House is a basic human need and also a public health determinants. The percentage of healthy house in Langkat already achieved 75.33% but the spread in
it’s 23 districts still not equitable. This can be seen from the persistence of districts with a percentage of healthy house that are still low, one of which is Selesei District and its percentage is 32.5%.
This research was an analytical study using cross-sectional design, which aims to determine the relationship of the householder’s characteristics, knowledges, and attitudes with the ownership of healthy house in Pekan Selesei Village, Selesei Sub-District, Langkat district in 2010. Populations of this research are all of the householder in Pekan Selesei, Selesei Sub-District, Langkat district in 2010. Samples were taken from the population as much as 97 peoples. Data in this research includes primary data collected by interviews and secondary data from Pekan Selesei Village. Data were analyzed using chi-square test at 95% confidence level.
Percentage of respondents who had a good knowledge was 60.8%, and less well was 39.2%. Percentage of respondents who had a good attitude was 79.4%, and less good was 20.6%. Percentage of respondents who have a healthy house was 15.5%, and unhealthy house was 84.5%
Bivariate test results indicate a significant relationship between the employment status variables (p = 0.002) with a healthy house ownership, there is a significant relationship between the income variables (p = 0.000) with a healthy house ownership, there is a significant relationship between the education variables (p = 0.003 ) with a healthy house ownership, there is a significant relationship between the knowledge variables (p = 0.001) with a healthy house ownership, and there is also a significant relationship between attitude variables (p= 0.036) with a healthy house ownership.
Necessary further research to determine other factors such as geography, ethnicity, weight dependents that may be related and most influential in healthy house ownership.
DAFTAR ISI
1.4.Manfaat Penelitian... . 5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rumah... 6
2.1.1. Definisi Rumah Sehat... 6
2.1.2. Kriteria Rumah Sehat... 6
2.1.3. Parameter dan Indikator Penilaian Rumah Sehat... 10
2.1.4. Sarana Sanitasi Rumah... 17
2.2. Pengertian Perilaku... 22
2.2.1. Bentuk Perilaku... 23
2.2.2. Pengetahuan... 25
2.2.3. Sikap... 27
2.3. Kerangka Konsep... 29
2.4. Hipotesis Penelitian... 29
BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian... 31
3.2. Lokasi dan Waktu 3.2.1. Lokasi Penelitian... 31
3.2.2. Waktu Penelitian... 31
3.3. Populasi dan Sampel
3.5. Definisi Operasional... 34
3.6. Aspek Pengukuran 3.6.1. Variabel Independen... 35
3.7. Teknik Pengolahan Data... 39
3.8. Analisa Data... 40
3.8.1. Analisa Univariat... 40
3.8.2. Analisa Bivariat... 40
BAB 4 HASIL PENELITIAN 4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian... 41
4.2. Analisis Univariat... 42
4.2.1. Variabel Independent... 42
4.2.2. Variabel Dependent... 50
4.3. Analisis Bivariat... 54
BAB 5 PEMBAHASAN 5.1. Hubungan Karakteristik Kepala Keluarga Dengan Kepemilikan Rumah Sehat... 56
5.1.1 Hubungan Status Pekerjaan Dengan Kepemilikan Rumah Sehat... 56
5.1.2 Hubungan Pendapatan Dengan Kepemilikan Rumah Sehat... 57
5.1.3 Hubungan Tingkat Pendidikan Dengan Kepemilikan Rumah Sehat... 59
5.2. Hubungan Pengetahuan Kepala Keluarga Dengan Kepemilikan Rumah Sehat... 61
5.3 Hubungan Sikap Kepala Keluarga Dengan Kepemilikan Rumah Sehat... 63
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan... 66
6.2. Saran... 67
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Distribusi Sampel Tiap Lingkungan Kelurahan Pekan Selesei
Kecamatan Selesei Kabupaten Langkat... 33
Tabel 4.1 Distribusi Karakteristik Responden Kelurahan Pekan Selesei Kecamatan Selesei Kabupaten Langkat Tahun 2010... 43
Tabel 4.2 Distribusi Responden Berdasarkan Indikator Pengetahuan... 45
Tabel 4.3 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pengetahuan... 48
Tabel 4.4 Distribusi Responden Berdasarkan Indikator Sikap... 49
Tabel 4.5 Distribusi Responden Berdasarkan Sikap... 51
Tabel 4.6 Distribusi Responden Berdasarkan Indikator Rumah Sehat... 52
Tabel 4.7 Distribusi Responden Berdasarkan Kepemilikan Rumah Sehat... 54
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Kuesioner Penelitian Hubungan Karakteristik, Pengetahuan, Sikap Kepala Keluarga dengan Kepemilikan Rumah Sehat di Kelurahan Pekan Selesei Kecamatan Selesei Kabupaten Langkat Tahun 2010.
Lampiran 2. Formulir Penilaian Rumah Sehat.
Lampiran 3. Master Data Hubungan Karakteristik, Pengetahuan, Sikap Kepala Keluarga dengan Kepemilikan Rumah Sehat di Kelurahan Pekan Selesei Kecamatan Selesei Kabupaten Langkat Tahun 2010.
Lampiran 4. Hasil Pengolahan Data Penelitian Hubungan Karakteristik,Pengetahuan, SikapKepala Keluarga dengan Kepemilikan Rumah Sehat di Kelurahan Pekan Selesei Kecamatan Selesei Kabupaten Langkat Tahun 2010.
Lampiran 5. Surat Izin Penelitian.
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Lingkungan permukiman dan perumahan merupakan kebutuhan dasar
manusia dan juga merupakan determinan kesehatan masyarakat. Hal ini disebabkan
hampir separuh hidup manusia akan berada di rumah, sehingga kualitas rumah akan
sangat berdampak terhadap kondisi kesehatannya (Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, 1999). Rumah seharusnya menjadi tempat yang bebas dari gangguan, rasa
kebersamaan. Rumah yang sehat mampu melindungi dari panas dan dingin yang
ekstrim, hujan dan matahari, angin, hama, bencana seperti banjir dan gempa bumi,
serta polusi dan penyakit (Wicaksono, 2009). Rumah sehat menurut Departemen
Kesehatan Republik Indonesia (2005), merupakan bangunan tempat tinggal yang
memenuhi syarat kesehatan yaitu rumah yang memiliki jamban yang sehat, sarana air
bersih, tempat pembuangan sampah, sarana pembuangan air limbah, ventilasi yang
baik, kepadatan hunian rumah yang sesuai dan lantai rumah yang tidak terbuat dari
tanah.
Berdasarkan penelitian sebelumnya, didapatkan bahwa kondisi perumahan
yang tidak sehat berhubungan dengan kejadian penyakit. Keman (2005) menyatakan
bahwa berdasar Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995, penyakit
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) dan tuberkulosis erat kaitannya dengan
kondisi sanitasi perumahan yang tidak sehat. Penyediaan air bersih dan dan sanitasi
(penyebab kematian urutan nomor empat) dan penyakit kecacingan yang
menyebabkan produktivitas kerja menurun.
Adnani dan Mahastuti (2006), menyatakan bahwa ada hubungan kondisi
rumah dengan penyakit tuberkulosis paru di wilayah kerja Puskesmas Karangmojo II
Kabupaten Gunung Kidul Tahun 2003-2006. Dari hasil penelitian tersebut didapatkan
bahwa risiko untuk menderita tuberkulosis paru 6 -7 kali lebih tinggi pada penduduk
yang tinggal pada rumah yang kondisinya tidak sehat. Yusup dan Sulistyorini (2005)
juga menyatakan bahwa terdapat hubungan antara sanitasi fisik rumah dengan
kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada balita di Kelurahan
Penjaringan Sari Kecamatan Rungkut Surabaya. Sanitasi rumah secara fisik yang
memiliki hubungan dengan kejadian ISPA pada balita meliputi kepadatan penghuni,
ventilasi, dan penerangan alami.
Persentase keluarga yang menghuni rumah sehat merupakan salah satu
indikator Indonesia Sehat 2010 dan target Millenium Development Goals (MDGs)
tahun 2015. Target rumah sehat yang akan dicapai dalam Indonesia Sehat 2010 telah
ditentukan sebesar 80% (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2003).
Berdasarkan profil kesehatan Indonesia tahun 2007, persentase rumah sehat Indonesia
pada tahun 2007 adalah 50,79%. Jumlah ini masih dibawah target yang ditetapkan
untuk dicapai pada tahun 2007 yaitu 75% (Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, 2008). Kondisi ini juga terjadi di Sumatera Utara. Dinas Kesehatan
Provinsi Sumatera Utara (2008) menyatakan bahwa peningkatan persentase rumah
stagnasi peningkatan ini terus berlanjut, diprediksikan presentase rumah sehat di
Provinsi Sumatera Utara tidak akan mampu mencapai target 80% pada tahun 2010.
Berdasarkan Profil Kesehatan Kabupaten Langkat Tahun 2008 persentase
rumah sehat telah mencapai angka 75,33% (Dinas Kesehatan Kabupaten Langkat,
2009). Meskipun persentase tersebut hampir mencapai target Indonesia Sehat 2010,
penyebaran rumah sehat di 23 kecamatan yang terdapat di Kabupaten Langkat masih
belum merata. Hal ini terlihat dari masih adanya kecamatan dengan persentase rumah
sehat yang masih rendah. Salah satunya adalah Kecamatan Selesei dengan persentase
rumah sehat sebesar 32,05%. Kecamatan Selesei menduduki peringkat ketiga
kecamatan dengan jumlah rumah terbanyak di Kabupaten Langkat, yaitu sebanyak
11.277 rumah, setelah Kecamatan Tanjung Pura (15.897 rumah) dan Batang Serangan
(12.761 rumah). Di Kecamatan Selesei, jumlah rumah terbanyak terdapat di
Kelurahan Pekan Selesei.
Menurut Sastra (2005), salah satu kendala dalam pembangunan perumahan
dan permukiman yang terjadi di Indonesia antara lain berupa, kondisi sosial ekonomi
masyarakat, terutama yang berpenghasilan rendah. Kondisi ini diperparah lagi dengan
kurang pahamnya masyarakat akan pentingnya pemeliharaan lingkungan yang bersih
bagi kesehatan mereka. Penelitian Riana (2008) juga menunjukkan ada beberapa
faktor yang mempengaruhi kepemilikan rumah sehat di Kecamatan Peureulak Timur
Kabupaten Aceh Timur Tahun 2008, yaitu pendidikan, pekerjaan, pendapatan,
pengetahuan, sikap, dan peran petugas kesehatan. Dari beberapa faktor di atas, faktor
pengetahuan merupakan variabel yang paling dominan mempengarui kepemilikan
Berdasarkan latar belakang yang tersebut di atas, maka peneliti tertarik untuk
meneliti Hubungan Karakteristik, Pengetahuan, dan Sikap Kepala Keluarga dengan
Kepemilikan Rumah Sehat di Kelurahan Pekan Selesei Kecamatan Selesei Kabupaten
Langkat Tahun 2010.
1.2 Perumusan Masalah
Persentase keluarga yang memiliki rumah sehat di Kecamatan Selesei masih
rendah yaitu 32,05%, Angka ini masih jauh dari target yang ingin dicapai dalam
Indonesia sehat 2010 sebesar 80%. Perumusan masalah yang dapat diajukan yaitu
belum diketahuinya hubungan karakteristik, pengetahuan, dan sikap kepala keluarga
dengan kepemilikan rumah sehat di Kelurahan Pekan Selesei Kecamatan Selesei
Kabupaten Langkat.
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan umum
Untuk mengetahui hubungan karakteristik, pengetahuan, dan sikap kepala keluarga
dengan kepemilikan rumah sehat di Kelurahan Pekan Selesei Kecamatan Selesei
Kabupaten Langkat pada tahun 2010.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui karakteristik kepala keluarga (status pekerjaan, pendapatan,
pendidikan) dengan kepemilikan rumah sehat di Kelurahan Pekan Selesei.
2. Untuk mengetahui pengetahuan kepala keluarga mengenai kepemilikan rumah
3. Untuk mengetahui sikap kepala keluarga mengenai kepemilikan rumah sehat di
Kelurahan Pekan Selesei.
4. Untuk mengetahui persentase rumah sehat di Kelurahan Pekan Selesei.
5. Untuk mengetahui hubungan karakteristik kepala keluarga (status pekerjaan,
pendapatan, pendidikan) dengan kepemilikan rumah sehat di Kelurahan Pekan
Selesei.
6. Untuk mengetahui hubungan pengetahuan kepala keluarga dengan kepemilikan
rumah sehat di Kelurahan Pekan Selesei.
7. Untuk mengetahui hubungan sikap kepala keluarga dengan kepemilikan rumah
sehat di Kelurahan Pekan Selesei.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan masukan bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Langkat dan
dinas-dinas serta lembaga yang terkait dalam meningkatkan keberadaan rumah sehat.
2. Sebagai bahan masukan bagi dinas terkait untuk membuat kebijakan penyehatan
rumah.
3. Sebagai bahan masukan dan informasi bagi masyarakat Kecamatan Selesei untuk
meningkatkan pengetahuan tentang rumah sehat.
4. Sebagai bahan referensi bagi penelitian selanjutnya, khususnya mengenai
ABSTRAK
Rumah merupakan kebutuhan dasar manusia dan juga merupakan determinan kesehatan masyarakat. Persentase rumah sehat di Kabupaten Langkat telah mencapai angka 75,33% tetapi penyebarannya di 23 kecamatan masih belum merata. Hal ini terlihat dari masih adanya kecamatan dengan persentase rumah sehat yang masih rendah, salah satunya adalah Kecamatan Selesei yaitu 32,5%.
Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan menggunakan desain
cross-sectional, yang bertujuan untuk mengetahui hubungan karakteristik, pengetahuan, dan sikap kepala keluarga dengan kepemilikan rumah sehat di Kelurahan Pekan Selesei Kecamatan Selesei Kabupaten Langkat pada tahun 2010. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kepala keluarga di Kelurahan Pekan Selesai Kecamatan Selesei Kabupaten Langkat Tahun 2010. Dari populasi diambil sampel sebanyak 97 kepala keluarga. Pengumpulan data meliputi data primer melalui wawancara dan data sekunder dari Kelurahan Pekan Selesei. Data dianalisis dengan menggunakan uji chi square pada taraf kepercayaan 95%. Persentase responden yang mempunyai pengetahuan baik adalah sebesar 60,8%, dan kurang baik adalah sebesar 39,2%. Persentase responden yang mempunyai sikap yang baik adalah sebesar 79,4%, dan kurang baik sebesar 20,6%. Persentase responden yang memiliki rumah sehat adalah sebesar 15,5%, dan rumah tidak sehat sebesar 84,5%
Hasil uji bivariat menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara variabel status pekerjaan (p = 0,002) dengan kepemilikan rumah sehat, adanya hubungan yang signifikan antara variabel pendapatan (p = 0,000) dengan kepemilikan rumah sehat, adanya hubungan yang signifikan antara variabel pendidikan (p = 0,003) dengan kepemilikan rumah sehat, adanya hubungan yang signifikan antara variabel pengetahuan (p = 0,001) dengan kepemilikan rumah sehat, dan adanya hubungan yang signifikan antara variabel sikap (p = 0,036) dengan kepemilikan rumah sehat.
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui faktor-faktor lain seperti letak geografis, suku, beban tanggungan yang mungkin berhubungan dan paling berpengaruh dalam kepemilikan rumah sehat.
ABSTRACT
House is a basic human need and also a public health determinants. The percentage of healthy house in Langkat already achieved 75.33% but the spread in
it’s 23 districts still not equitable. This can be seen from the persistence of districts with a percentage of healthy house that are still low, one of which is Selesei District and its percentage is 32.5%.
This research was an analytical study using cross-sectional design, which aims to determine the relationship of the householder’s characteristics, knowledges, and attitudes with the ownership of healthy house in Pekan Selesei Village, Selesei Sub-District, Langkat district in 2010. Populations of this research are all of the householder in Pekan Selesei, Selesei Sub-District, Langkat district in 2010. Samples were taken from the population as much as 97 peoples. Data in this research includes primary data collected by interviews and secondary data from Pekan Selesei Village. Data were analyzed using chi-square test at 95% confidence level.
Percentage of respondents who had a good knowledge was 60.8%, and less well was 39.2%. Percentage of respondents who had a good attitude was 79.4%, and less good was 20.6%. Percentage of respondents who have a healthy house was 15.5%, and unhealthy house was 84.5%
Bivariate test results indicate a significant relationship between the employment status variables (p = 0.002) with a healthy house ownership, there is a significant relationship between the income variables (p = 0.000) with a healthy house ownership, there is a significant relationship between the education variables (p = 0.003 ) with a healthy house ownership, there is a significant relationship between the knowledge variables (p = 0.001) with a healthy house ownership, and there is also a significant relationship between attitude variables (p= 0.036) with a healthy house ownership.
Necessary further research to determine other factors such as geography, ethnicity, weight dependents that may be related and most influential in healthy house ownership.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Rumah
2.1.1 Definisi Rumah Sehat
Dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan
Permukiman, perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan
tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana
lingkungan. Menurut Wicaksono, rumah adalah sebuah tempat tujuan akhir dari
manusia. Rumah menjadi tempat berlindung dari cuaca dan kondisi lingkungan
sekitar, menyatukan sebuah keluarga, meningkatkan tumbuh kembang kehidupan
setiap manusia, dan menjadi bagian dari gaya hidup manusia.
Rumah harus dapat mewadahi kegiatan penghuninya dan cukup luas bagi
seluruh pemakainya, sehingga kebutuhan ruang dan aktivitas setiap penghuninya
dapat berjalan dengan baik. Lingkungan rumah juga sebaiknya terhindar dari
faktor-faktor yang dapat merugikan kesehatan (Hindarto, 2007). Rumah sehat dapat
diartikan sebagai tempat berlindung, bernaung, dan tempat untuk beristirahat,
sehingga menumbuhkan kehidupan yang sempurna baik fisik, rohani, maupun sosial
(Sanropie dkk., 1989).
2.1.2 Kriteria Rumah Sehat
Kriteria rumah sehat yang diajukan oleh dalam Entjang (2000) dan
1. Harus dapat memenuhi kebutuhan fisiologis
2. Harus dapat memenuhi kebutuhan psikologis
3. Harus dapat menghindarkan terjadinya kecelakaan
4. Harus dapat menghindarkan terjadinya penularan penyakit
Hal ini sejalan dengan kriteria rumah sehat menurut American Public Health
Asociation (APHA), yaitu:
1. Memenuhi kebutuhan dasar fisik
Sebuah rumah harus dapat memenuhi kebutuhan dasar fisik, seperti:
a. Rumah tersebut harus dibangun sedemikian rupa sehingga dapat dipelihara atau
dipertahankan temperatur lingkungan yang penting untuk mencegah
bertambahnya panas atau kehilangan panas secara berlebihan. Sebaiknya
temperatur udara dalam ruangan harus lebih rendah paling sedikit 4°C dari
temperatur udara luar untuk daerah tropis. Umumnya temperatur kamar 22°C -
30°C sudah cukup segar.
b. Rumah tersebut harus terjamin pencahayaannya yang dibedakan atas cahaya
matahari (penerangan alamiah) serta penerangan dari nyala api lainnya
(penerangan buatan). Semua penerangan ini harus diatur sedemikian rupa
sehingga tidak terlalu gelap atau tidak menimbulkan rasa silau.
c. Rumah tersebut harus mempunyai ventilasi yang sempurna sehingga aliran udara
segar dapat terpelihara. Luas lubang ventilasi tetap, minimum 5% dari luas lantai
ruangan, sedangkan luas lubang ventilasi insidentil (dapat dibuka dan ditutup)
ruangan. Ini diatur sedemikian rupa agar udara yang masuk tidak terlalu deras
dan tidak terlalu sedikit.
d. Rumah tersebut harus dapat melindungi penghuni dari gangguan bising yang
berlebihan karena dapat menyebabkan gangguan kesehatan baik langsung
maupun dalam jangka waktu yang relatif lama. Gangguan yang dapat muncul
antara lain gangguan fisik seperti kerusakan alat pendengaran dan gangguan
mental seperti mudah marah dan apatis.
e. Rumah tersebut harus memiliki luas yang cukup untuk aktivitas dan untuk
anak-anak dapat bermain. Hal ini penting agar anak-anak mempunyai kesempatan bergerak,
bermain dengan leluasa di rumah agar pertumbuhan badannya akan lebih baik,
juga agar anak tidak bermain di rumah tetangganya, di jalan atau tempat lain
yang membahayakan.
2. Memenuhi kebutuhan dasar psikologis
Rumah harus dibangun sedemikian rupa sehingga dapat terpenuhi kebutuhan dasar
psikologis penghuninya, seperti:
a. Cukup aman dan nyaman bagi masing-masing penghuni
Adanya ruangan khusus untuk istirahat bagi masing-masing penghuni, seperti
kamar tidur untuk ayah dan ibu. Anak-anak berumur di bawah 2 tahun masih
diperbolehkan satu kamar tidur dengan ayah dan ibu. Anak-anak di atas 10 tahun
laki-laki dan perempuan tidak boleh dalam satu kamar tidur. Anak-anak di atas
17 tahun mempunyai kamar tidur sendiri.
b. Ruang duduk dapat dipakai sekaligus sebagai ruang makan keluarga, dimana
c. Dalam memilih letak tempat tinggal, sebaiknya di sekitar tetangga yang memiliki
tingkat ekonomi yang relatif sama, sebab bila bertetangga dengan orang yang
lebih kaya atau lebih miskin akan menimbulkan tekanan batin.
d. Dalam meletakkan kursi dan meja di ruangan jangan sampai menghalangi lalu
lintas dalam ruangan
e. W.C. (Water Closet) dan kamar mandi harus ada dalam suatu rumah dan
terpelihara kebersihannya. Biasanya orang tidak senang atau gelisah bila terasa
ingin buang air besar tapi tidak mempunyai W.C. sendiri karena harus antri di
W.C. orang lain atau harus buang air besar di tempat terbuka seperti sungai atau
kebun.
f. Untuk memperindah pemandangan, perlu ditanami tanaman hias, tanaman bunga
yang kesemuanya diatur, ditata, dan dipelihara secara rapi dan bersih, sehingga
menyenangkan bila dipandang.
3. Melindungi dari penyakit
Rumah tersebut harus dibangun sedemikian rupa sehingga dapat melindungi
penghuninya dari kemungkinan penularan penyakit atau zat-zat yang membahayakan
kesehatan. Dari segi ini, maka rumah yang sehat adalah rumah yang di dalamnya
tersedia air bersih yang cukup dengan sistem perpipaan seperti sambungan atau pipa
dijaga jangan sampai sampai bocor sehingga tidak tercemar oleh air dari tempat lain.
Rumah juga harus terbebas dari kehidupan serangga dan tikus, memiliki tempat
pembuangan sampah, pembuangan air limbah serta pembuangan tinja yang
4. Melindungi dari kemungkinan kecelakaan
Rumah harus dibangun sedemikian rupa sehingga dapat melindungi penghuni
dari kemungkinan terjadinya bahaya atau kecelakaan. Termasuk dalam persyaratan
ini antara lain bangunan yang kokoh, tangga yang tidak terlalu curam dan licin,
terhindar dari bahaya kebakaran, alat-alat listrik yang terlindung, tidak menyebabkan
keracunan gas bagi penghuni, terlindung dari kecelakaan lalu lintas, dan lain
sebagainya (Azwar, 1990; CDC, 2006; Sanropie, 1989).
2.1.3. Parameter dan Indikator Penilaian Rumah Sehat
Berdasarkan Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2002), lingkup
penilaian rumah sehat dilakukan terhadap kelompok komponen rumah, sarana
sanitasi dan perilaku penghuni.
1. Kelompok komponen rumah, meliputi langit-langit, dinding, lantai, jendela kamar
tidur, jendela ruang keluarga dan ruang tamu, ventilasi, sarana pembuangan asap
dapur dan pencahayaan.
2. Kelompok sarana sanitasi, meliputi sarana air bersih, sarana pembuangan kotoran,
saluran pembuangan air limbah, sarana tempat pembuangan sampah.
3. Kelompok perilaku penghuni, meliputi membuka jendela kamar tidur, membuka
jendela ruang keluarga, membersihkan rumah dan halaman, membuang tinja bayi
dan balita ke jamban, membuang sampah pada tempat sampah.
Parameter yang dipergunakan untuk menentukan rumah sehat adalah
sebagaimana yang tercantum dalam Kepmenkes Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999
1. Bahan bangunan
Syarat bahan bangunan yang diperbolehkan antara lain:
a. Tidak terbuat dari bahan yang dapat melepas zat-zat yang dapat membahayakan
kesehatan, seperti debu total tidak lebih dari 150 µg/m3, asbes bebas tidak
melebihi 0,5 fiber/m3/4 jam, dan timah hitam tidak melebihi 300 mg/kg.
b. Tidak terbuat dari bahan yang dapat memungkinkan tumbuh dan berkembangnya
mikroorganisme patogen.
2. Komponen dan penataan ruang rumah
Komponen rumah harus memenuhi persyaratan fisik dan biologis seperti berikut:
a. Lantai yang kedap air dan mudah dibersihkan. Menurut Sanropie (1989), lantai
dari tanah lebih baik tidak digunakan lagi, sebab bila musim hujan akan lembab
sehingga dapat menimbulkan gangguan/penyakit terhadap penghuninya. Oleh
karena itu perlu dilapisi dengan lapisan yang kedap air seperti disemen, dipasang
tegel, keramik, teraso dan lain-lain. Untuk mencegah masuknya air ke dalam
rumah, sebaiknya lantai dinaikkan kira-kira 20 cm dari permukaan tanah.
b. Dinding, dengan pembagian: (i) Untuk di ruang tidur dan ruang keluarga
dilengkapi dengan sarana ventilasi untuk pengaturan sirkulasi udara; (ii) Untuk di
kamar mandi dan tempat cuci harus kedap air dan mudah dibersihkan.
Berdasarkan Sanropie (1989), fungsi dinding selain sebagai pendukung atau
penyangga atap, dinding juga berfungsi untuk melindungi ruangan rumah dari
angin dari luar. Bahan dinding yang paling baik adalah bahan yang tahan api,
yaitu dinding dari batu.
c. Langit-langit
Langit-langit harus mudah dibersihkan dan tidak rawan kecelakaan.
d. Bubungan rumah yang memiliki tinggi 10 m atau lebih harus dilengkapi dengan
penangkal petir
e. Ruang di dalam rumah harus ditata agar berfungsi sebagai ruang tamu, ruang
keluarga, ruang makan, ruang tidur, ruang dapur, ruang mandi, dan ruang
bermain anak.
Menurut Sanropie (1989), banyaknya ruangan di dalam rumah biasanya
tergantung kepada jumlah penghuni. Banyaknya penghuni dalam suatu rumah akan
menuntut jumlah ruangan yang banyak terutama ruang tidur. Tetapi pada umumnya
jumlah ruangan dalam suatu rumah disesuaikan dengan fungsi ruangan tersebut,
seperti:
a. Ruang untuk istirahat/tidur (ruang tidur)
Rumah yang sehat harus mempunyai ruang khusus untuk tidur. Ruang tidur
ini biasanya digunakan sekaligus untuk ruang ganti pakaian, dan ditempatkan di
tempat yang cukup tenang, tidak gaduh, jauh dari tempat bermain anak-anak.
Diusahakan agar ruang tidur mendapat cukup sinar matahari.
Agar terhindar dari penyakit saluran pernafasan, maka luas ruang tidur
minimal 9 m2 untuk setiap orang yang berumur diatas 5 tahun atau untuk orang
minimal 3 ½ m2 untuk setiap orang, dengan tinggi langit-langit tidak kurang dari
2 ¾ m.
b. Ruang tamu
Ruang tamu yaitu suatu ruangan khusus untuk menerima tamu, biasanya
diletakkan di bagian depan rumah. Ruang tamu sebaiknya terpisah dengan ruang
duduk yang dapat dibuka/ditutup atau dengan gorden, sehingga tamu tidak dapat
melihat kegiatan orang-orang yang ada di ruang duduk.
c. Ruang duduk (ruang keluarga)
Ruang duduk harus dilengkapi jendela yang cukup, ventilasi yang memenuhi
syarat, dan cukup mendapat sinar matahari pagi. Ruang duduk ini sebaiknya
lebih luas dari ruang-ruang lainnya seperti ruang tidur atau ruang tamu karena
ruang duduk sering digunakan pula untuk berbagai kegiatan seperti tempat
berbincang-bincang anggota keluarga, tempat menonoton TV, kadang-kadang
digunakan untuk tempat membaca/belajar dan bermain anak-anak. Selain itu
ruangan ini juga sering digunakan sekaligus sebagai ruang makan keluarga.
d. Ruang makan
Ruang makan sebaiknya mempunyai ruangan yang khusus, ruangan tersendiri,
sehingga bila ada anggota keluarga sedang makan tidak akan terganggu oleh
kegiatan anggota keluarga lainnya. Tetapi untuk suatu rumah yang kecil/sempit,
ruang makan ini boleh jadi satu dengan ruang duduk.
e. Ruang dapur
Dapur harus mempunyai ruangan tersendiri, karena asap dari hasil
harus memiliki ventilasi yang baik agar udara/asap dari dapur dapat teralirkan
keluar (ke udara bebas). Luas dapur minimal 4 m2 dan lebar minimal 1,5 m.
Di dapur harus tersedia alat-alat pengolahan makanan, alat-alat memasak,
tempat cuci peralatan serta tempat penyimpanannya. Tersedia air bersih yang
memenuhi syarat kesehatan dan mempunyai sisitem pembuangan air kotor yang
baik, serta mempunyai tempat pembuangan sampah sementara yang
baik/tertutup. Selain itu dapur harus tersedia tempat penyimpanan bahan
makanan atau makanan yang siap disajikan. Tempat ini harus terhindar dari
gangguan serangga (lalat) dan tikus. Oleh karena itu ruangan harus bebas
serangga dan tikus.
f. Kamar mandi/W.C
Lantai kamar mandi dan jamban harus kedap air dan selalu terpelihara
kebersihannya agar tidak licin. Dinding minimal setinggi 1 ½ m dari lantai.
Setiap kamar mandi dan jamban yang letaknya di dalam rumah, diusahakan salah
satu dindingnya yang berlubang ventilasi harus berhubungan langsung dengan
bagian luar rumah. Bila tidak, ruang/kamar mandi dan jamban ini harus
dilengkapi dengan alat penyedot udara untuk mengeluarkan udara dari kamar
mandi dan jamban tersebut keluar, sehingga tidak mencemari ruangan lain (bau
dari kamar mandi dan W.C.) Jumlah kamar mandi harus cukup sesuai dengan
jumlah penghuni rumah. Selain itu kebersihannya harus selalu terjaga. Jamban
harus berleher angsa dan 1 jamban tidak boleh dipergunakan untuk lebih dari 7
g. Gudang
Gudang berfungsi sebagai tempat penyimpanan alat-alat atau bahan-bahan
lainnya yang tidak dapat ditampung di ruangan lain, seperti alat-alat untuk
memperbaiki rumah (tangga, dan lain–lain).
f. Ruang dapur harus dilengkapi sarana pembuangan asap.
3. Pencahayaan
Pencahayaan dalam ruangan dapat berupa pencahayaan alami dan atau buatan,
yang secara langsung ataupun tidak langsung dapat menerangi seluruh ruangan.
Intensitas minimal pencahayaan dalam ruangan adalah 60 lux dan tidak menyilaukan.
4. Kualitas udara
Kualitas udara dalam ruangan tidak boleh melebihi ketentuan sebagai berikut:
a. Suhu udara nyaman berkisar 18° sampai 30° C
b. Kelembapan udara berkisar antara 40% sampai 70%
c. Konsentrasi gas SO2 tidak melebihi 0,10 ppm/24 jam
d. Pertukaran udara (air exchange rate) = 5 kaki kubik per menit per penghuni
e. Konsentrasi gas CO tidak melebihi 100 ppm/8 jam
f. Konsentrasi gas formaldehid tidak melebihi 120 mg/m3
5. Ventilasi
Luas penghawaan atau ventilasi alamiah yang permanen minimal 10% dari
luas lantai.
Menurut Sanropie (1989), ventilasi sangat penting untuk suatu rumah tinggal.
Hal ini karena ventilasi mempunyai fungsi ganda. Fungsi pertama sebagai lubang
kotor dari dalam keluar (cross ventilation). Dengan adanya ventilasi silang (cross
ventilation) akan terjamin adanya gerak udara yang lancar dalam ruangan.
Fungsi kedua dari ventilasi adalah sebagai lubang masuknya cahaya dari luar
seperti cahaya matahari, sehingga didalam rumah tidak gelap pada waktu pagi, siang
hari maupun sore hari. Oleh karena itu untuk suatu rumah yang memenuhi syarat
kesehatan, ventilasi mutlak harus ada.
Suatu ruangan yang tidak memiliki sistem ventilasi yang baik akan
menimbulkan keadaan yang merugikan kesehatan, antara lain:
a. Kadar oksigen akan berkurang, padahal manusia tidak mungkin dapat hidup tanpa
oksigen dalam udara.
b. Kadar karbon dioksida yang bersifat racun bagi manusia, akan meningkat.
c. Ruangan akan berbau, disebabkan oleh bau tubuh, pakaian, pernafasan, dan mulut.
d. Kelembapan udara dalam ruangan akan meningkat disebabkan oleh penguapan
cairan oleh kulit dan pernafasan (Azwar,1990).
Berdasarkan Azwar (1990), ada dua cara yang dapat dilakukan agar ruangan
mempunyai sistem aliran udara yang baik, yaitu (i) Ventilasi alamiah, yaitu ventilasi
yang terjadi secara alamiah dimana udara masuk melalui jendela, pintu, ataupun
lubang angin yang sengaja dibuat untuk itu. Proses terjadinya aliran udara ialah
karena terdapatnya perbedaan suhu, udara yang panas lebih ringan dari pada udara
yang dingin. (ii) Ventilasi buatan, ialah ventilasi berupa alat khusus untuk
mengalirkan udara, misalnya penghisap udara (exhaust ventilation) dan air condition.
6. Binatang penular penyakit
7. Air
a. Tersedia sarana air bersih dengan kapasitas minimal 60 liter/hari/orang.
b. Kualitas air harus memenuhi persyaratan kesehatan air bersih dan atau air
minum sesuai perundang-undangan yang berlaku.
8. Tersedianya sarana penyimpanan makanan yang aman.
9. Limbah
a. Limbah cair yang berasal dari rumah tidak mencemari sumber air, tidak
menimbulkan bau, dan tidak mencemari permukaan tanah.
b. Limbah padat harus dikelola agar tidak menimbulkan bau, pencemaran
terhadap permukaan tanah, serta air tanah.
10. Kepadatan hunian ruang tidur
Luas ruang tidur minimal 9 meter, dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari
dua orang tidur dalam satu ruang tidur, kecuali anak di bawah umur 5 tahun.
11. Atap
Fungsi atap adalah untuk melindungi isi ruangan rumah dari gangguan angin,
panas dan hujan, juga melindungi isi rumah dari pencemaran udara seperti: debu,
asap, dan lain-lain. Atap yang paling baik adalah atap dari genteng karena bersifat
isolator, sejuk dimusim panas dan hangat di musim hujan (Sanropie, 1989).
2.1.4. Sarana Sanitasi Rumah
Dilihat dari aspek sanitasi, maka beberapa sarana lingkungan yang berkaitan
1. Sarana air bersih dan air minum
Air bersih adalah air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari yang
kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat diminum apabila telah dimasak
sesuai Peraturan Menteri Kesehatan No.416/MENKES/PER/IX/1990 (Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, 1990). Air minum adalah air yang memenuhi syarat
kesehatan dan dapat langsung diminum dan berasal dari penyediaan air minum sesuai
Keputusan Menteri Kesehatan No. 907/MENKES/SK/VII/2002 (Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, 2002).
Sarana air bersih adalah semua sarana yang dipakai sebagai sumber air bagi
penghuni rumah yang digunakan untuk kehidupan sehari-hari. Hal yang perlu
diperhatikan dalam pembuatan sarana air bersih antara lain (a) jarak antara sumber air
dengan sumber pengotoran (seperti septik tank, tempat pembuangan sampah, air
limbah) minimal 10 meter, (b) pada sumur gali sedalam 10 meter dari permukaan
tanah dibuat kedap air dengan pembuatan cincin dan bibir sumur, (c) penampungan
air hujan pelindung air, sumur artesis atau terminal air atau perpipaan/kran atau
sumur gali terjaga kebersihannya dan dipelihara rutin.
Ada 3 syarat utama yang harus dipenuhi agar air layak dikonsumsi sebagai air
minum, antara lain:
a. Syarat fisik
Syarat fisik air minum yaitu air yang tidak berwarna, tidak berbau, jernih dengan
b. Syarat kimia
Air minum yang baik adalah air yang tidak tercemar secara berlebihan oleh zat-zat
kimia ataupun mineral, terutama yang berbahaya bagi kesehatan.
c. Syarat bakteriologis
Air tidak boleh mengandung suatu mikroorganisme. Sebagai petunjuk bahwa air
telah dicemari oleh faeces manusia adalah adanya E.coli karena bakteri ini selalu
terdapat dalam faeces manusia baik yang sakit, maupun orang sehat serta relatif
lebih sukar dimatikan dengan pemanasan air (Entjang, 1997).
2. Saluran Pembuangan Air Limbah
Air limbah atau air kotor atau air bekas ialah air yang tidak bersih dan mengandung
pelbagai zat yang bersifat membahayakan kehidupan manusia, hewan dan lazimnya
muncul karena hasil perbuatan manusia.
Pada dasarnya pengolahan air limbah bertujuan untuk:
a. Melindungi kesehatan anggota masyarakat dari ancaman berbagai penyakit. Ini
disebabkan karena limbah sering dipakai sebagai tempat berkembang-biaknya
berbagai macam bibit penyakit.
b. Melindungi timbulnya kerusakan tanaman, terutama jika air limbah tersebut
mengandung zat organik yang membahayakan kelangsungan hidup.
c. Menyediakan air bersih yang dapat dipakai untuk keperluan hidup sehari-hari,
terutama jika sulit ditemukan air bersih.
Kakus atau jamban adalah tempat yang dipakai manusia untuk melepaskan hajatnya.
Adapun syarat-syarat dalam mendirikan kakus atau jamban menurut Azwar (1990)
ialah:
a. Harus tertutup, dalam arti bangunan tersebut terlindung dari pandangan orang lain,
terlindung dari panas atau hujan, serta terjamin privacy-nya. Dalam kehidupan
sehari-hari, syarat ini dipenuhi dalam bentuk mengadakan ruangan sendiri untuk
kakus di rumah ataupun mendirikan rumah kakus di pekarangan.
b. Bangunan kakus ditempatkan pada lokasi yang tidak sampai mengganggu
pandangan, tidak menimbulkan bau, serta tidak menjadi tempat hidupnya perbagai
binatang.
c. Bangunan kakus memiliki lantai yang kuat, mempunyai tempat berpijak yang kuat,
syarat ini yang terutama harus dipenuhi jika mendirikan kakus model cemplung.
d. Mempunyai lobang kloset yang kemudian melalui saluran tertentu dialirkan pada
sumur penampungan atau sumur rembesan.
e. Menyediakan alat pembersih seperti air atau kertas yang cukup, sehingga dapat
segera dipakai setelah membuang kotoran.
Berdasarkan Azwar (1990) jenis-jenis kakus atau jamban dilihat dari
bangunan jamban yang didirikan, tempat penampungan, pemusnahan kotoran dan
penyaluran air kotor, seperti:
a. Kakus cubluk (pit privy), ialah kakus yang tempat penampungan tinjanya
dibangun dekat dibawah tempat injakan atau dibawah bangunan kakus.
Menurut Entjang (1997), kakus ini dibuat dengan menggali lubang ke dalam
antara 5-15 tahun. Pada kakus ini harus diperhatikan (i) jangan diberi
desinfektan karena mengganggu proses pembusukan sehingga cubluk cepat
penuh, (ii) untuk mencegah bertelurnya nyamuk, tiap minggu diberi minyak
tanah, (iii) agar tidak terlalu bau diberi kapur barus.
b. Kakus empang (overhung latrine), ialah kakus yang dibangun di atas empang,
sungai atau rawa. Kakus model ini kotorannya tersebar begitu saja, yang
biasanya kotoran tersebut langsung dimakan ikan, atau ada yang dikumpul
memakai saluran khusus yang kemudian diberi pembatas seperti bambu, kayu
dan lain sebagainya yang ditanam melingkar ditengah empang, sungai atau
rawa.
c. Kakus kimia (chemical toilet), kakus model ini biasanya dibangun pada tempat-
tempat rekreasi, pada alat transportasi dan lain sebagainya. Di tempat ini, tinja
didisenfeksi dengan zat-zat kimia seperti caustic soda, dan sebagai
pembersihnya dipakai kertas (toilet paper). Kakus kimia sifatnya sementara,
oleh karena itu kotoran yang telah terkumpul perlu dibuang lagi. Ada dua
macam kakus kimia, yaitu (i) tipe lemari (commode type) dan (ii) tipe tanki
(tank type).
d. Kakus dengan “angsa trine” ialah, kakus dimana leher lubang kloset berbentuk
lengkungan, dengan demikian akan selalu terisi air yang penting untuk
mencegah bau serta masuknya binatang-binatang kecil. Kakus model ini
biasanya dilengkapi dengan lubang atau sumur penampung/sumur resapan yang
disebut septi tank. Kakus model ini adalah yang terbaik dan dianjurkan dalam
4. Tempat Sampah
Usaha yang diperlukan agar sampah tidak membahayakan kesehatan manusia
adalah perlunya dilakukan pengelolaan terhadap sampah, seperti penyimpanan
(storage), pengumpulan (collection), dan pembuangan (disposal). Tempat sampah
tiap-tiap rumah, isinya cukup 1 meter kubik. Tempat sampah sebaiknya tidak
ditempatkan di dalam rumah atau di pojok dapur, karena akan menjadi gudang
makanan bagi tikus-tikus dan rumah menjadi banyak tikusnya.
Tempat sampah yang baik harus memenuhi kriteria, antara lain (a) terbuat dari
bahan yang mudah dibersihkan dan tidak mudah rusak, (b) harus mempunyai tutup
sehingga tidak menarik serangga atau binatang-binatang lainnya, dan sangat
dianjurkan agar tutup sampah ini dapat dibuka atau ditutup tanpa mengotori tangan,
(c) ditempatkan di luar rumah. Bila pengumpulannya dilakukan oleh pemerintah,
tempat sampah harus ditempatkan sedemikian rupa sehingga karyawan pengumpul
sampah mudah mencapainya (Entjang, 1997).
2.2. Pengertian Perilaku
Menurut Notoatmodjo (2003), perilaku dipandang dari segi biologis adalah
suatu kegiatan atau aktivitas organisme yang bersangkutan. Jadi, perilaku manusia
pada hakekatnya adalah suatu aktivitas dari pada manusia itu sendiri. Perilaku dan
gejala yang tampak pada organisme tersebut dipengaruhi baik okeh faktor genetik
(keturunan) dan lingkungan. Secara umum dapat dikatakan faktor genetik dan
lingkungan merupakan penentu dari perilaku mahluk hidup termasuk dari manusia.
perkembangan perilaku mahluk hidup itu untuk selanjutnya. Sedangkan faktor
lingkungan adalah merupakan kondisi atau merupakan lahan untuk perkembangan
perilaku tersebut.
Perilaku manusia merupakan hasil dari segala macam pengalaman serta
interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan,
sikap dan tindakan. Perilaku merupakan respon atau reaksi individu terhadap stimulus
yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya. Respon ini bersifat pasif (tanpa
tindakan) maupun aktif (disertai tindakan) (Sarwono, 2004).
2.2.1. Bentuk Perilaku
Secara lebih operasional perilaku dapat diartikan suatu respon organisme atau
seseorang terhadap rangsangan (stimulus) dari luar subjek. Respon ini dibedakan
menjadi 2 (dua):
1. Perilaku tertutup (covert bahavior)
Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup
(covert). Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian,
persepsi, pengetahuan/kesadaran dan sikap yang terjadi pada orang yang memerima
stimulus tersebut dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain.
2. Perilaku terbuka (overt behavior)
Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau
terbuka. Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam tindakan atau praktek,
overt behavior, tindakan nyata atau praktek (practice) misal, seorang ibu memeriksa
kehamilannya atau membawa anaknya ke puskesmas untuk diimunisasi.
Berdasarkan batasan perilaku dari Skiner tersebut, maka perilaku kesehatan
adalah suatu respon seseorang terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan
sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, minuman, serta
lingkungan. Dari batasan ini, perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi 3
kelompok.
1. Perilaku pemeliharaan kesehatan (health maintanance)
Adalah perilaku atau usaha-usaha seseorang untuk memelihara atau menjaga
kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan bilamana sakit. Oleh sebab
itu perilaku pemeliharaan kesehatan ini terdiri dari 3 aspek.
a. Perilaku pencegahan penyakit, dan penyembuhan penyakit bila sakit, serta
pemulihan kesehatan bilamana telah sembuh dari penyakit.
b. Perilaku peningkatan kesehatan, apabila seseorang dalam keadaan sehat. Perlu
dijelaskan disini, bahwa kesehatan itu sangat dinamis dan relatif, maka dari itu
orang yang sehat pun perlu diupayakan supaya mencapai tingkat kesehatan yang
seoptimal mungkin.
c. Perilaku gizi (makanan dan minuman). Makanan dan minuman dapat memelihara
dan meningkatkan kesehatan seseorang, tetapi sebaliknya makanan dan minuman
dapat menjadi penyebab menurunnya kesehatan seseorang bahkan dapat
mendatangkan penyakit. Hal ini sangat tergantung pada perilaku orang terhadap
2. Perilaku pencarian dan penggunaan sistem atau fasilitas pelayanan kesehatan
atau disebut perilaku pencarian pengobatan (health seeking behavior).
3. Perilaku kesehatan lingkungan.
Adalah bagaimana seseorang merespons lingkungan, baik lingkungan fisik
maupun sosial budaya, dan sebagainya, sehingga lingkungan tersebut tidak
mempengaruhi kesehatannya. Misalnya: bagaimana mengelola pembuangan tinja, air
minum, tempat sampah, pembuangan limbah, dan sebagainya.
2.2.2. Pengetahuan (Knowledge)
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu yang terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek. Penginderaan terjadi melalui pancaindera
manusia, yakni penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar
pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif
merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang.
Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang
tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2003).
Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan mempunyai enam tingkatan,
antara lain:
1.Tahu (know)
Tahu berarti mengingat materi yang telah dipelajari atau rangsangan yang
telah diterima. Tingkatan ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah.
Yang termasuk pada pengetahuan tingkat ini adalah menyebutkan, menguraikan,
mendefenisikan, dan sebagainya. Misalnya seseorang yang telah mendapatkan
2.Memahami (comprehension)
Memahami berarti mampu menjelaskan dan menginterpretasikan dengan
benar apa yang diketahui. Orang yang telah paham harus dapat menjelaskan,
memberikan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya. Misalnya dapat
menjelaskan pentingnya kepemilikan jamban.
3.Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan menggunakan materi yang telah dipelajari
dalam situasi dan kondisi yang sebenarnya. Misalnya dapat menggunakan rumus
statistik dalam penghitungan hasil penelitian.
4.Analisis (analysis)
Analisis merupakan kemampuan untuk menjabarkan materi menjadi
komponen-komponen yang masih berkaitan satu sama lain. Misalnya membuat bagan,
membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya.
5.Sintesis (synthesis)
Sintesis diartikan sebagai kemampuan untuk membentuk formulasi baru dari
formulasi yang telah ada.
6.Evaluasi (evaluation)
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan penilaian-penilaian terhadap
sesuatu, baik dengan menggunakan kriteria sendiri, maupun kriteria yang telah ada.
Pengetahuan dapat diukur dengan wawancara langsung ataupun memberikan
angket berisi pertanyaan mengenai materi yang ingin diukur dari responden
2.2.3. Sikap (Attitude)
Secara umum sikap dapat dirumuskan sebagai kecendrungan untuk berespon
(secara positif atau negatif) terhadap orang, obyek atau situasi tertentu. Sikap
mengandung suatu penelitian emosional/afektif (senang, benci, sedih, dsb),
disamping itu komponen kognitif (pengetahuan tentang obyek itu) serta aspek konatif
(kecenderungan bertindak). Dalam hal ini pengertian sikap adalah merupakan reaksi
atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau obyek
(Notoatmodjo, 2003).
Menurut Allport (1954) yang dikutip Notoatmodjo (2003), sikap mempunyai tiga
komponen pokok, yaitu:
1. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek.
2. Kehidupan emosional unutk evaluasi terhdap suatu objek.
3. Kecenderungan untuk bertindak (trend to behave).
Ketiga komponen ini secara bersama-sama akan membentuk sikap yang utuh.
Dalam pembentukan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi
memegang peranan penting (Notoatmodjo, 2003). Misalnya, seorang ibu telah
mendapat informasi mengenai komplikasi diare dan cara mencegahnya. Pengetahuan
ini akan membuatnya berpikir dan berusaha supaya anaknya tidak sampai mengalami
dehidrasi ketika terkena diare. Ketika berpikir, komponen emosi dan keyakinan ibu
tersebut turut berperan sehingga ibu tersebut berniat memberikan terapi cairan apabila
anaknya mengalami diare.
1. Menerima (receiving), yang berarti subjek mau dan memperhatikan stimulus yang
diberikan (Notoatmodjo, 2003). Misalnya sikap orang terhadap pemberian terapi
cairan sebagai penanganan diare dapat dilihat dari kesediaan dan perhatian orang
tersebut terhadap penyuluhan tentang diare.
2. Merespon (responding), yang dapat dilihat dari kemauan subjek untuk menjawab
pertanyaan ketika ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan.
Hal-hal tersebut merupakan indikasi dari sikap bahwa subjek menerima ide
tersebut (Notoatmodjo, 2003).
3. Menghargai (valuing), mengajak orang lain untuk mengerjakan atau
mendiskusikan suatu masalah adalah indikasi sikap tingkat tiga. Misalnya, seorang
ibu yang mengajak tetangganya untuk menimbang anaknya ke posyandu
(Notoatmodjo, 2003).
4. Bertanggung jawab (responsible), yang merupakan tingkatan sikap paling tinggi.
Pada tingkatan ini, subjek mampu mempertanggungjawabkan segala sesuatu yang
telah dipilihnya. Misalnya, ibu yang mau menjadi akseptor KB meskipun ditentang
mertuanya (Notoatmodjo, 2003).
Menurut Notoatmodjo. pengukuran sikap dapat dilakukan dengan
menanyakan pendapat responden. Misalnya, bagaimana pendapat Anda tentang
pelayanan di Puskesmas Medan Denai? Atau pertanyaan dapat pula berupa
menyatakan hipotesis-hipotesis, kemudian menanyakan pendapat responden.
Misalnya, anak yang mengalami diare harus diberikan cairan untuk mencegah
2.3 Kerangka Konsep
Berdasarkan landasan teori di atas, maka peneliti dalam hal ini merumuskan
yang menjadi kerangka konsep penelitian sebagai berikut:
2.4 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dirumuskan hipotesa penelitian
sebagai berikut:
Ha : Ada hubungan antara karakteristik (status pekerjaan, pendapatan, pendidikan)
kepala keluarga dengan kepemilikan rumah sehat di Kelurahan Pekan Selesei
Kecamatan Selesei Kabupaten Langkat.
Ho : Tidak ada hubungan antara karakteristik (status pekerjaan, pendapatan,
pendidikan) kepala keluarga dengan kepemilikan rumah sehat di Kelurahan
Pekan Selesei Kecamatan Selesei Kabupaten Langkat.
Ha : Ada hubungan antara pengetahuan kepala keluarga dengan kepemilikan rumah
sehat di Kelurahan Pekan Selesei Kecamatan Selesei Kabupaten Langkat. Karakteristik Kepala Keluarga:
Status Pekerjaan
Pendapatan
Tingkat Pendidikan
1. Pengetahuan 2. Sikap
Kepemilikan rumah:
Sehat
Tidak Sehat
Ho : Tidak ada hubungan antara pengetahuan kepala keluarga dengan kepemilikan
rumah sehat di Kelurahan Pekan Selesei Kecamatan Selesei Kabupaten
Langkat.
Ha : Ada hubungan antara sikap kepala keluarga dengan kepemilikan rumah sehat di
Kelurahan Pekan Selesei Kecamatan Selesei Kabupaten Langkat.
Ho : Tidak ada hubungan antara sikap kepala keluarga dengan kepemilikan rumah
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik dengan menggunakan desain
cross-sectional, yaitu untuk mengetahui hubungan karakteristik, pengetahuan, dan
sikap kepala keluarga dengan kepemilikan rumah sehat di Kelurahan Pekan Selesai
Kecamatan Selesei Kabupaten Langkat tahun 2010.
3.2 Lokasi dan Waktu 3.2.1 Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Kelurahan Pekan Selesei Kecamatan Selesei
Kabupaten Langkat. Kecamatan Selesei dipilih dengan pertimbangan berdasarkan
data Dinas Kesehatan Kabupaten Langkat, masih rendahnya persentase kepemilikan
rumah sehat di Kecamatan Selesai. Di kecamatan ini, wilayah yang memiliki jumlah
kepala keluarga paling banyak adalah Kelurahan Pekan Selesei sehingga diharapkan
lebih representatif dibandingkan desa- desa lainnya.
3.2.2 Waktu Penelitian
3.3 Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh kepala keluarga yang ada di
Kelurahan Pekan Selesai Kecamatan Selesei Kabupaten Langkat Tahun 2010
berjumlah 3107 kepala keluarga.
3.3.2 Sampel
Besar sampel dalam penelitian ini diambil dengan menggunakan rumus
penentuan sampel untuk penelitian survei (Taro Yamane yang dikutip oleh
Notoatmodjo, 2005).
n =
n =
n =
n = 97,06
n = 97 kepala keluarga
Keterangan :
N = Besar Populasi
n = Besar Sampel
d = Tingkat kepercayaan/ketepatan yang diinginkan
Berdasarkan perhitungan di atas, maka didapatkan jumlah sampel adalah
Sampel dalam penelitian ini diambil dengan cara stratified random sampling
yaitu mengambil sampel dengan metode acak untuk tiap strata kemudian hasilnya
digabungkan menjadi sampel yang terbebas dari variasi untuk tiap strata
(Sastroasmoro, 2008). Dalam penelitian ini, yang menjadi strata adalah lingkungan di
Kelurahan Pekan Selesei. Kelurahan Pekan Selesei terdiri dari 12 lingkungan yang
belum tentu memiliki karakteristik yang sama, sehingga untuk mengurangi bias, dari
tiap lingkungan sebagai strata, akan diambil sampel dengan perhitungan sebagai
berikut:
Maka, sampel dari 12 lingkungan yang terdapat di Kelurahan Pekan Selesei
Kecamatan Selesei Kabupaten Langkat dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 3.1 Distribusi Sampel Tiap Lingkungan Kelurahan Pekan Selesei Kecamatan Selesei Kabupaten Langkat
No Lingkungan Jumlah Kepala Keluarga Perhitungan Jumlah sampel
1. Sei Sekala 430 430/3107 x 97 14
2. Ara Tunggal 263 263/3107 x 97 8
3. Pekan Selesei 383 383/3107 x 97 12
4. Muka Stasiun 286 286/3107 x 97 9
5. Pasar Rodi 202 202/3107 x 97 6
6. Pamah 291 291/3107 x 97 9
7. Ladang Kapas 139 139/3107 x 97 4
8. Pasar II 267 267/3107 x 97 8
9. Pasar III 302 302/3107 x 97 10
10. Paya Jambu 173 173/3107 x 97 5
11. Rambung Putih 304 304/3107 x 97 10
12. Pasar Padi 67 67/3107 x 97 2
Total 3107 97
Sumber: Kantor Kelurahan Pekan Selesai Tahun 2008.
1. Kriteria inklusi,terdiri dari:
a. Satu rumah ditempati oleh satu kepala keluarga;
b. Rumah milik sendiri (bukan rumah sewaan);
c. Rumah tidak digunakan sebagai tempat usaha.
2. Kriteria eksklusi yaitu apabila kepala keluarga tidak bersedia diwawancarai.
3.4 Teknik Pengambilan Data 3.4.1 Data Primer
Data primer diperoleh dengan cara wawancara langsung kepada responden
berpedoman pada kuesioner dan checklist untuk observasi terhadap kondisi rumah
responden.
3.4.2 Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dari catatan dan dokumen kepala kelurahan, camat
dan Puskesmas Selesei.
3.5 Definisi Operasional
Sesuai dengan kerangka penelitian, maka definisi operasional sebagai berikut:
1. Kepala keluarga, yaitu orang yang bertanggung jawab terhadap suatu keluarga.
2. Rumah adalah bangunan untuk tempat tinggal.
3. Status pekerjaan yaitu kegiatan sehari-hari yang dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan keluarga.
a. Pekerjaan tetap, yaitu pekerjaan yang memungkinkan diperolehnya gaji tetap
b. Pekerjaan tidak tetap, yaitu pekerjaan yang tidak memungkinkan diperolehnya
gaji yang tetap setiap bulannya.
4. Pendapatan, yaitu penghasilan kepala keluarga setiap bulan dari hasil pekerjaan
utama maupun tambahan (dalam rupiah) untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari
yang dikategorikan sesuai dengan Upah Minimum Kabupaten (UMK) Langkat
Tahun 2009.
5. Tingkat pendidikan, yaitu jenjang pendidikan formal terakhir yang ditempuh
responden.
6. Pengetahuan responden, yaitu tingkat pemahaman kepala keluarga terhadap
konsep rumah sehat, pentingnya rumah sehat, dan efek kesehatan bila tidak
memanfaatkan rumah sehat.
7. Sikap responden, yaitu respon yang melibatkan faktor pendapat kepala keluarga
terhadap pernyataan tentang rumah sehat.
8. Rumah sehat, yaitu suatu tempat tinggal dimana masing-masing dari komponen
rumah, sarana sanitasi dan perilaku penghuni memenuhi syarat kesehatan yang
telah direkomendasikan Depkes RI, yaitu memperoleh skor 1068-1200.
3.6 Aspek Pengukuran 3.6.1. Variabel Independen
1. Status Pekerjaan
Untuk mengetahui pekerjaan responden dilakukan dengan cara wawancara
1) Pekerjaan tetap, seperti TNI/POLRI, pegawai negeri sipil/BUMN, pegawai
swasta tetap, pensiunan pegawai negeri sipil/BUMN.
2) Pekerjaan tidak tetap, seperti wiraswasta, petani, pensiunan pegawai swasta,
2. Pendapatan
Untuk mengetahui pendapatan penghasilan dilakukan wawancara
menggunakan kuesioner, hasil ukur dapat dikelompokkan dalam kategori :
1) Rendah : < Rp. 975.000,- per bulan (< UMK Langkat 2009)
2) Tinggi : > Rp. 975.000,- per bulan ( > UMK Langkat 2009)
3. Tingkat Pendidikan
Untuk mengetahui pendidikan responden dilakukan dengan cara wawancara
menggunakan kuesioner, hasil ukur dapat dikelompokkan dalam kategori :
1) rendah, jika tidak sekolah/tidak tamat SD/tamat SD/tamat SMP;
2) sedang, jika tamat SLTA;
3) tinggi, jika tamat Akademi/Perguruan Tinggi.
4. Pengetahuan
Pengukuran pengetahuan dilakukan dengan mengajukan pertanyaan tertutup
pada responden dengan jumlah pertanyaan sebanyak 15 buah.
Adapun sistem pemberian skor pengetahuan untuk pertanyaan nomor 1 adalah
sebagai berikut:
(i) Skor 0 : jika responden memilih jawaban tidak
(ii)Skor 2 : jika menjawab ya
Sistem pemberian skor pengetahuan untuk pertanyaan nomor 2, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11,
(i) Skor 0 : jika responden memilih jawaban yang tidak tepat atau memilih
menjawab tidak tahu
(ii) Skor 1 : jika responden memilih jawaban yang kurang tepat
(iii)Skor 2 : jika responden memilih jawaban yang tepat
Sistem pemberian skor pengetahuan untuk pertanyaan nomor 3 dan 4 adalah sebagai
berikut:
(i) Skor 0 : jika responden memilih jawaban tidak tahu
(ii) Skor 1 : jika responden memilih 1 atau 2 dari pilihan jawaban
(iii)Skor 2 : jika responden memilih 3 atau 4 dari pilihan jawaban
Berdasarkan total nilai yang diperoleh dari 15 pertanyaan, maka total nilai
maksimal adalah 30. Berdasarkan skala Likert (Notoatmodjo,2003) pengetahuan
responden dikategorikan sebagai berikut:
Kategori baik : apabila total nilai yang diperoleh responden > 65%
dengan rentang (20-30).
Kategori kurang baik : apabila total nilai yang diperoleh responden < 65%
dengan rentang (1-19).
5. Sikap
Pengukuran sikap dilakukan dengan mengajukan pertanyaan tertutup pada
responden dengan jumlah pertanyaan sebanyak 10 buah, dengan alternatif jawaban
sebanyak 3 pilihan (setuju, kurang setuju, atau tidak setuju). Adapun sistem
pemberian skor sikap untuk ke limabelas pernyataan adalah sebagai berikut:
(ii) Skor 1 : jika responden memilih jawaban kurang setuju.
(iii)Skor 2 : jika responden memilih jawaban setuju.
Berdasarkan total nilai yang diperoleh dari 15 pertanyaan, maka total nilai
maksimal adalah 30. Berdasarkan skala Likert (Notoatmodjo,2003) sikap responden
dikategorikan sebagai berikut:
Kategori baik : apabila total nilai yang diperoleh responden > 65%
dengan rentang (20-30).
Kategori kurang baik : apabila total nilai yang diperoleh responden < 65%
dengan rentang (1-19).
3.6.2. Variabel Dependen
1. Rumah sehat
Untuk menentukan suatu rumah sehat atau tidak dilakukan dengan cara
penilaian terhadap komponen rumah, sarana sanitasi dan perilaku penghuni dengan
menggunakan alat ukur kuesioner. Dalam hal ini, penilaian terhadap sarana sanitasi
air bersih dilakukan dengan cara menilai kriteria fisik air tersebut.
Hasil ukur dikategorikan dengan cara :
a. Apabila jumlah nilai kali bobot kumulatif : komponen rumah, sarana sanitasi dan
perilaku penghuni < 1.068 dikategorikan sebagai rumah tidak sehat.
b. Apabila jumlah nilai kali bobot kumulatif : komponen rumah, sarana sanitasi dan
perilaku penghuni > 1.068 dikategorikan sebagai rumah sehat.
Dalam hal ini penilaian rumah sehat dapat dijelaskan dengan pemberian bobot
i. Bobot komponen rumah : ( = 31%
ii. Bobot sarana sanitasi : ( = 25 %
iii. Bobot perilaku penghuni : ( = 44 %
Cara menghitung hasil penilaian: Nilai observasi rumah Bobot (Depkes, 2002).
3.7. Teknik Pengolahan Data
Data yang telah dikumpulkan selanjutnya diolah dengan tahapan sebagai
berikut: (i) Editing (pemeriksaan data) bertujuan untuk memeriksa ketepatan dan
kelengkapan jawaban atas pertanyaan. Apabila terdapat jawaban yang belum lengkap
atau terdapat kesalahan maka data harus dilengkapi dengan wawancara kembali
terhadap responden. (ii) Coding (pemberian kode) yaitu data yang telah terkumpul
dan dikoreksi ketepatan dan kelengkapannya kemudian diberi kode oleh peneliti
secara manual. (iii) Tabulating yaitu memindahkan data dari daftar pertanyaan
kedalam tabel-tabel yang telah dipersiapkan.
3.8. Analisa Data 3.8.1 Analisa Univariat
Variabel pendapatan, tingkat pendidikan, pengetahuan, dan sikap berupa data
numerik (skor hasil pengisian kuesioner) akan diubah menjadi data kategorik (baik,
dan kurang baik). Data yang telah dianalisis akan disajikan dalam bentuk narasi dan
tabel distribusi frekuensi. Pengolahan data akan dilakukan dengan bantuan program
3.8.2 Analisa Bivariat
Variabel pendapatan, tingkat pendidikan, pengetahuan, dan sikap berupa data
kualitatif akan dianalisa dengan analisis bivariat menggunakan uji chi-square pada