• Tidak ada hasil yang ditemukan

Respon Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum Terhadap Program Pelayanan Sosial Oleh Pusat Kajian Dan Perlindungan Anak (PKPA)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Respon Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum Terhadap Program Pelayanan Sosial Oleh Pusat Kajian Dan Perlindungan Anak (PKPA)"

Copied!
111
0
0

Teks penuh

(1)

RESPON ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM TERHADAP PROGRAM PELAYANAN SOSIAL

OLEH PUSAT KAJIAN DAN PERLINDUNGAN ANAK (PKPA)

Skripsi

Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sosial

Universitas Sumatera Utara

Disusun Oleh:

RANITA IRENE LUMBANTOBING 060902051

DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL Nama : Ranita Irene Lumbantobing

Nim : 060902051

ABSTRAK

RESPON ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM TERHADAP PROGRAM PELAYANAN SOSIAL OLEH PUSAT KAJIAN DAN PERLINDUNGAN ANAK (PKPA).

Skripsi ini terdiri dari 6 BAB, 90 halaman, 33 tabel, 2 lampiran serta 24 kepustakaan dan sumber lain yang berasal dari internet.

Anak yang berkonflik dengan hukum merupakan anak yang disangka, didakwa maupun dipidana dalam masalah hukum. Anak yang berkonflik dengan hukum ini dikategorikan kedalam anak yang membutuhkan perlindungan khusus karena tidak seorang anak pun dapat dirampas kebebasanya secara melanggar hukum atau sewenang-wenang. Penangkapan, penahanan atau pemenjaraan seorang anak harus sesuai dengan Undang-Undang, dan hanya digunakan sebagai upaya terakhir dan untuk jangka waktu terpendek dan tepat. Oleh sebab itu kenyamanan anak ketika mengalami masalah dengan hukum itu dapat di lindungi dengan adanya program pelayanan sosial. Program pelayanan sosial adalah suatu bentuk perlindungan dan pendorong melewati sumber-sumber yang disediakan yaitu membantu orang-orang memperbaiki kompetensi sosialnya, mempengaruhi dan mengubah tingkah laku serta memcahkan masalah penyesuaian diri.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana respon Anak yang berkonflik denga hukum terhadap program pelayanan sosial oleh PKPA.Respon diartikan bahwa suatu tingkah laku atau sikap yang berwujud baik itu pra pemahaman yang mendetail, penilaian, pengaruh atau penolakan, suka atau tidak serta pemanfaatan pada suatu fenomena tertentu. Dalam hal ini respon anak ditujukan terhadap program Layanan Hukum, Konseling, Penjemputan Penyelematan Korban, Pemeriksaan Kondisi Kesehatan dan Monitoring.

(3)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL Name : Ranita Irene Lumbantobing

Nim : 060902051

ABSTRACT

RESPONSE OF CHILDREN IN CONFLICT WITH THE LAW OF SOCIAL PROGRAM SERVICES BY PKPA.

This Thesis consist of 6 chapters, 90 pages, 33 tables, 2 attachment, 24 bibliographical entries and other sources from the internet.

The child who is a legal conflict with the alleged son, indicted or convicted in a legal matter. Children in conflict with the law which can be categorized into children who need special protection because not a single child can be deprived of their freedom in violation of law or arbitrary. The arrest, detention or imprisonment of a child must be in accordance with the Act, and is used only as a last resort and for the shortest duration and precise. Therefore comfort the child as having problems with the law can be protected by the social service programs. Social service programs is a form of protection and driving through the resources provided that help people improve their social competence, influence and change behavior and solve the problems of adjustment.

This study aims to determine how children respond to conflicting legal premises of social service programs by PKPA. Response mean that a behavior or attitude either pre tangible detailed understanding, assessment, or impact resistance, like it or not and the use of a phenomenon certain. In this case the child response directed against the Legal Services program, counseling, Victim Rescue Pickup, Inspection and Monitoring Health Conditions.

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas Rahmat dan karunia Tuhan Yang Maha Kuasa Penulis ucapkan dalam penyelesaian penyusunan skripsi ini dengan baik, yang berjudul: Respon Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum Terhadap Program Pelayanan Sosial Oleh Pusat Kajian Dan Perlindungan Anak. Skripsi ini disusun untuk diajukan sebagai salah satu syarat dalam menempuh Ujian Komprehensif untuk mencapai gelar Sarjana Sosial pada Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Medan.

Selama penyusunan skripsi ini, Penulis menyadari akan sejumlah kekurangan dan kelemahan, untuk itu membuka diri untuk saran dan kritik yang dapat membangun guna perbaikan di masa akan datang.

Pada kesempatan ini, Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang membantu dalam penyelesaian skripsi ini, dan secara khusus Penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA., selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Medan.

2. Bapak Drs. Matias Siagian, M.Si., selaku Ketua Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

(5)

4. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen dan Pegawai Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara untuk segala ilmu pengetahuan selama perkuliahan dan dengan segala jasa-jasanya.

5. Bapak Ahmad Sofian selaku Pimpinan PKPA Medan yang telah mengizinkan saya melaksanakan PKL I, PKL II hingga melakukan Penelitian untuk menyelesaikan Skripsi ini di PKPA divisi PUSPA. Terimakasih juga atas kesempatan yang diberikan kepada saya selama 3 bulan diangkat sebagai Volunteer di PUSPA dan ECPAT. Pengalaman yang sangat luar biasa.

6. Orangtua tercinta, Daddy Pdt. T. Lumbantobing, S.Th dan Mommy B. br. Sihombing, Amd, yang telah mendidik dan memberikan motivasi saya dalam segala hal terutama selama masa-masa perkuliahan. Dank dir für eure Gebet und möge Gott euch immer beschützen. Buat abangku Heri si Mr. Talllong, makasih ya atas dukunganmu dan pengertianmu ketika ku merasa sangat terpuruk, cepat selesaikan Extention mu, biar lanjut lagi kita ke S2, hehehe…. Buat alm. Adekku Nina si kritingbebek yang jauh disana, kakak hanya bisa bilang “I miss you”. Buat Opung terimakasih atas uji mentalnya dan semoga opung panjang umur.

(6)

8. Teman-teman PNB Gereja HKI Medan Petisah, bang Anto 3J, kak Maria, kak Moniq, Elen karo, Miss Juli, Marty, Lang Winson, Lang Ichan dan yang lainnya, terimakasih atas doa-doanya.

9. Adekku Vierty, Vernandito dan Veronika, hanya kalian yang bisa membuat suasana dirumah jadi rame, betah dan menyenangkan. Belajar lebih giat lagi yaah… sayang kali kakak ma kalian.

10.Buat orang-orang yang tidak tersebutkan namanya yang sudah mendukung dan membantu dalam menyelesaikan skripsi ini, saya ucapin terima kasih dan sukses buat kalian semua.

Dengan segala kerendahan hati penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam skripsi ini. Untuk itu sangat diharapkan saran dan kritik guna menyempurnakannya. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Maret 2010 Penulis

(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN

ABSTRAK………...i

KATA PENGANTAR………..iii

DAFTAR ISI……….……….vi

DAFTAR TABEL……….ix

DAFTAR GAMBAR……….xi

DAFTAR LAMPIRAN………xii

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ………...1

1.2. Perumusan Masalah....………..11

1.3. Tujuan Penelitian………..11

1.4. Manfaat Penelitian…….………...11

1.5. Sistematika Penulisan………...13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Teori Respon……….14

2.2. Anak berkonflik dengan Hukum...………16

2.3. Pelayanan Sosial………...18

2.4. Peranan LSM melalui Program sebagai Pendamping terhadap Anak yang berkonflik dengan Hukum………...22

(8)

2.5.1. Defenisi Kesejahteraan Sosial……….24

2.5.2. Usaha Kesejahteraan Sosial………....28

2.6. Kerangka Pemikiran………..30

2.7. Defenisi Konsep dan Defenisi Operasional...33

2.7.1. Defenisi Konsep...33

2.7.2. Defnisi Operasional...34

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tipe Penelitian………..35

3.2. Lokasi Penelitian….………..35

3.3. Populasi dan Sampel……….36

3.4. Teknik Pengumpulan Data………36

3.5. Teknik Analisis Data……….37

BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN 4.1. Latar Belakang berdirinya LSM PKPA………39

4.2. Latar Belakang PKPA-PUSPA……….40

4.3. Letak dan Kedudukan Lembaga ... 42

4.4. Struktur Organisasi Lembaga dan Staff Pendukung ... 43

4.5. Visi dan Misi ... 46

4.6. Program ... 46

4.7. Strategi ... 47

4.8. Job Description ... 47

(9)

4.8.2. Layanan Hukum Tim Pengacara ... 49

4.8.3. Layanan Non Hukum ... 50

4.9. Pendanaan Lembaga ... 51

BAB V ANALISIS DATA 5.1. Data Identitas Responden ... 53

5.2. Data Pengetahuan Anak terhadap Program Pelayanan Sosial ... 60

5.2.1. Layanan Hukum ... 60

5.2.2. Konseling ... 68

5.2.3. Penjemputan Penyelamatan Korban ... 74

5.2.4. Pemeriksaan Kondisi Kesehat ... 79

5.2.5. Monitoring ... 83

BAB VI PENUTUP 6.1. Kesimpulan ... 92

6.2. Saran ... 94

(10)

DAFTAR TABEL

TABEL JUDUL HALAMAN

5.1. Karakteristik Responden Berdasarkan Usia ... 53

5.2. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 54

5.3. Karakteristik Responden berdasarkan Suku Etnis ... 56

5.4. Karakterstik Responden Berdasarkan Agama... 56

5.5. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 58

5.6. Karakteristik Responden Berdasarkan Status Tempat Tinggal ... 59

5.7. Informasi Tentang Program Layanan Hukum bagi Responden ... 60

5.8. Tingkat Pengertian Responden terhadap Program Layanan Hukum ... 61

5.9. Tingkat Kepuasan Responden terhadap Program Layanan Sosial... 62

5.10. Tingkat Manfaat Program Layanan Hukum bagi Responden ... 63

5.11. Tingkat Kebaikan Lembaga dalam Menanggapi Pengaduan ... 64

5.12. Tingkat Bantuan oleh PKPA dalam Menyelesaikan Masalah ... 65

5.13. Tingkat Kemudahan dalam Prosedur Layanan Hukum PKPA ... 65

5.14. Tingkat Kepuasan Responden Terhadap Penanganan Kasus ... 66

5.15. Penilaian Responden Berdasarkan Skala Program Layanan Hukum... 67

5.16. Tingkat Keaktifan menjalani Program Konseling selama 1 Bulan ... 68

5.17. Tingkat Kepuasan Responden terhadap Pelaksanaan Program Konseling ... 70

5.18. Tingkat Manfaat Program Konseling bagi Responden ... 71

5.19. Tingkat Penjiwaan Staff PKPA Terhadap Klien ... 72

5.20. Penilaian Responden Berdasarkan Skala Program Konseling ... 74

(11)

5.22. Tingkat Kepuasan Responden tentang

Program Penjemputan Penyelamatan Korban ... 76

5.23. Pengalaman Tidak Menyenangkan Responden ketika Proses Penjemputan Penyelamatan ... 76

5.24. Penilaian Responden Berdasarkan Skala Program Penjemputan Penyelamatan Korban ... 78

5.25. Jenis Pemeriksaan Kondisi Kesehatan ... 79

5.26. Tingkat Kepuasan Responden terhadap Program Pemeriksaan Kondisi Kesehatan ... 80

5.27. Tingkat Kesesuaian Program Pemeriksaan Kondisi Kesehatan terhadap Kebutuhan Klien ... 81

5.28. Penilaian Responden Berdasarkan Skala Program Pemeriksaan Kondisi Kesehatan ... 82

5.29. Tingkat Keikutsertaan Responden dalam Program Monitoring ... 83

5.30. Tingkat Kepuasan Responden tentang Program Monitoring ... 84

5.31. Tingkat Gangguan Program Monitoring bagi Responden ... 85

5.32. Harapan Responden terhadap Proses Pemantauan Kondisi Klien ... 86

(12)

DAFTAR GAMBAR

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

(14)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL Nama : Ranita Irene Lumbantobing

Nim : 060902051

ABSTRAK

RESPON ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM TERHADAP PROGRAM PELAYANAN SOSIAL OLEH PUSAT KAJIAN DAN PERLINDUNGAN ANAK (PKPA).

Skripsi ini terdiri dari 6 BAB, 90 halaman, 33 tabel, 2 lampiran serta 24 kepustakaan dan sumber lain yang berasal dari internet.

Anak yang berkonflik dengan hukum merupakan anak yang disangka, didakwa maupun dipidana dalam masalah hukum. Anak yang berkonflik dengan hukum ini dikategorikan kedalam anak yang membutuhkan perlindungan khusus karena tidak seorang anak pun dapat dirampas kebebasanya secara melanggar hukum atau sewenang-wenang. Penangkapan, penahanan atau pemenjaraan seorang anak harus sesuai dengan Undang-Undang, dan hanya digunakan sebagai upaya terakhir dan untuk jangka waktu terpendek dan tepat. Oleh sebab itu kenyamanan anak ketika mengalami masalah dengan hukum itu dapat di lindungi dengan adanya program pelayanan sosial. Program pelayanan sosial adalah suatu bentuk perlindungan dan pendorong melewati sumber-sumber yang disediakan yaitu membantu orang-orang memperbaiki kompetensi sosialnya, mempengaruhi dan mengubah tingkah laku serta memcahkan masalah penyesuaian diri.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana respon Anak yang berkonflik denga hukum terhadap program pelayanan sosial oleh PKPA.Respon diartikan bahwa suatu tingkah laku atau sikap yang berwujud baik itu pra pemahaman yang mendetail, penilaian, pengaruh atau penolakan, suka atau tidak serta pemanfaatan pada suatu fenomena tertentu. Dalam hal ini respon anak ditujukan terhadap program Layanan Hukum, Konseling, Penjemputan Penyelematan Korban, Pemeriksaan Kondisi Kesehatan dan Monitoring.

(15)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL Name : Ranita Irene Lumbantobing

Nim : 060902051

ABSTRACT

RESPONSE OF CHILDREN IN CONFLICT WITH THE LAW OF SOCIAL PROGRAM SERVICES BY PKPA.

This Thesis consist of 6 chapters, 90 pages, 33 tables, 2 attachment, 24 bibliographical entries and other sources from the internet.

The child who is a legal conflict with the alleged son, indicted or convicted in a legal matter. Children in conflict with the law which can be categorized into children who need special protection because not a single child can be deprived of their freedom in violation of law or arbitrary. The arrest, detention or imprisonment of a child must be in accordance with the Act, and is used only as a last resort and for the shortest duration and precise. Therefore comfort the child as having problems with the law can be protected by the social service programs. Social service programs is a form of protection and driving through the resources provided that help people improve their social competence, influence and change behavior and solve the problems of adjustment.

This study aims to determine how children respond to conflicting legal premises of social service programs by PKPA. Response mean that a behavior or attitude either pre tangible detailed understanding, assessment, or impact resistance, like it or not and the use of a phenomenon certain. In this case the child response directed against the Legal Services program, counseling, Victim Rescue Pickup, Inspection and Monitoring Health Conditions.

(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latarbelakang Masalah

Anak adalah mahluk sosial seperti juga orang dewasa. Anak membutuhkan orang lain untuk dapat membantu mengembangkan kemampuannya, karena anak lahir dengan segala kelemahan sehingga tanpa orang lain tidak mungkin dapat mencapai taraf kemanusiaan yang normal. Anak merupakan mahluk sosial, perkembangan sosial anak membutuhkan pemeliharaan kasih sayang dan tempat bagi perkembangannya. Anak juga mempunyai perasaan, pikiran, kehendak tersendiri yang semuanya itu merupakan totalitas psikis dan sifat-sifat serta struktur yang berlainan pada tiap-tiap fase perkembangan pada masa anak-anak

(http://duniapsikologi.dagdigdug.com/2008/11/19/pengertian-anak-tinjauan-secara-kronologis-dan-psikologis diakses 19 September 2009 pukul 18.00 WIB). Anak merupakan aset bangsa sebagai bagian dari generasi muda, anak berperan sangat strategis sebagai succesor suatu bangsa. Dalam konteks Indonesia anak adalah penerus cita-cita perjuangan bangsa. Peran strategis ini telah disadari oleh masyarakat Internasional untuk melahirkan sebuah konvensi yang intinya menekankan posisi anak sebagai makhluk manusia yang harus mendapatkan perlindungan atas hak-hak yang dimilikinya.

(17)

pekerja seks komersil berumur kurang dari 18 tahun. Sementara 40.000-70.000 anak lainnya telah menjadi korban eksploitasi seksual. Ditambah lagi sekitar 100.000 wanita dan anak-anak diperdagangkan setiap tahunnya. Belum lagi 5.000 anak yang ditahan atau dipenjara dimana 84 persen di antaranya ditempatkan di penjara dewasa. Masalah lain yang tak kalah memprihatinkan adalah pelecehan terhadap anak terutama anak-anak dan wanita yang tinggal di daerah konflik atau daerah bekas bencana, lebih dari 2.000 anak tidak mempunyai orang tua.

Seperti halnya anak-anak di belahan dunia lain, anak-anak di Indonesia pun mengalami kekerasan dalam rumah tangga, di jalanan, di sekolah dan di antara teman sebaya mereka. Hal tersebut mengakibatkan banyak anak yang secara tidak sadar berkonflik dengan hukum, tetapi ada juga anak yang berkonflik dengan hukum sebagai akibat tindak kriminal yang memang secara sadar dilakukan oleh anak.

(18)

Hasil studi dari berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat menunjukan anak yang berkonflik dengan hukum sering memperoleh perlakuan yang buruk, bahkan dalam beberapa hal telah diperlakukan lebih buruk bila dibandingkan dengan orang dewasa yang berada dalam situasi yang sama. Mayoritas dari anak yang berkonflik dengan hukum mengaku telah mengalami tindak kekerasan ketika berada di kantor polisi. Bentuk kekerasan yang umum terjadi yaitu kekerasan fisik berupa tamparan dan tendangan, namun ada juga kasus kekerasan yang sekaligus berupa pelecehan seksual seperti kekerasan yang ditujukan pada alat kelamin atau tersangka anak yang ditelanjangi. Dua hal seperti ini terjadi pada anak yang disangka melakukan tindak pidana yang berkaitan dengan kesusilaan

(http://pembaharuan-hukum.blogspot.com/2009/02/upaya-penyelesaian-masalah-anak_03.html diakses 20 September 2009 Pukul 19.05 WIB).

Selain kekerasan pada fisik dan kekerasan seksual yang dilakukan pada anak, bentuk kekerasan lain yang terjadi yaitu perampasan uang yang ada pada anak. Selain itu kekerasan juga terjadi dalam wujud penghukuman yaitu berupa tindakan memaksa anak untuk membersihkan kantor polisi seperti menyapu dan mengepel, dan membersihkan mobil milik polisi.

Perlakuan buruk juga kadang masih terjadi ketika anak sudah berada dalam tahanan maupun Lembaga Pemasyarakatan, perlakuan tersebut berupa pemalakan atau bentuk eksploitasi lainnya. Banyak terdapat kasus kekerasan semacam ini yang dilakukan oleh para tahanan atau napi anak dan dewasa sehingga anak sering ditempatkan dalam sel yang terpisah.

(19)

terlibat penyalahgunaan zat atau obat bejumlah 120.000. Jumlah ini belum termasuk jumlah pengguna obat-obatan Psikotropik, Ecstasy, obat penenang, dan sebagainya. Penanganan anak yang berkonflik dengan hukum ini antaralain diatur dalam UU Pengadilan Anak yang akhirnya telah disahkan oleh DPR (Irwanto, 99: 53).

Anak-anak yang berkonflik dengan hukum tentu membutuhkan perlindungan khusus, karena rentan dengan kekerasan, penyalahgunaan prosedural hukum dan rawan akan perampasan hak-hak untuk hidup, berkembang dan berpartisipasi. Oleh karena itu, anak-anak yang berkonflik dengan hukum, dalam terminologinya Konvensi Hak Anak (KHA) dikategorikan anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus (Children in need special protection), disamping anak-anak yang dieksploitasi, anak-anak dalam situasi darurat. Jika berbicara tentang advokasi bagi anak-anak yang berkonflik dengan hukum maka sebagian besar yang harus dilakukan adalah memberikan suatu intervensi hukum demi pembelaan hak-hak dari anak-anak tersebut. Dalam konteks ini agar mampu mengkritisi berbagai aspek yang nonhumanistis, yang jelas-jelas dihadapi anak-anak yang berkonflik dengan hukum (Prasadja, 98: 110).

(20)

proses penuntutan oleh kejaksaan, 90 persen responden tidak didampingi oleh penasihat hukum dan 68 persen tidak didampingi oleh orang tua atau wali. Mengenai surat pemberitahuan penahanan oleh kejaksaan, 41 persen orang tua atau wali maupun pengacara tahanan tidak mendapat surat tembusan. Tahap persidangan, 63 persen responden tidak didampingi penasihat hukum, dan 68 persen didampingi orang tua atau wali (Pengakuan Anak yang Berkonflik dengan Hukum diakses dari http://www.wikimu.com=12381 tanggal 19 September 2009 Pukul 18.25 WIB).

Anak berkonflik dengan hukum dikategorikan sebagai anak dalam situasi khusus. UNICEF menyebut anak dalam kelompok ini sebagai children in especially difficult circumstances karena kebutuhan-kebutuhannya tidak terpenuhi, rentan mengalami tindak kekerasan, berada di luar lingkungan keluarga atau berada pada lingkup otoritas institusi negara yang membutuhkan proteksi berupa regulasi khsusus, serta membutuhkan perlindungan dan keamanan diri (http://www.ypha.or.id/Praktekpraktek_sistem_peradilan_pidana_anak.pdf+anak+ yang+berkonflik+dengan+hukum diakses 19 September 2009 Pukul 17.50 WIB).

(21)

kebijakan terhadap anak. Sebagai korban, mereka harus dilindungi dan dijamin untuk mendapatkan hak-haknya.

Berdasarkan data yang diperoleh dari suatu Lembaga Swadaya Masyarakat anak di Sumatera Utara, Medan menempati peringkat tertinggi kasus anak yang berkonflik dengan hukum. Sejumlah kasus kekerasan terhadap anak di Sumatera Utara ditemukan sebanyak 25 kasus di Medan dan dari jumlah itu sebanyak 17 merupakan perkosaan tarhadap anak di bawah umur. Sedangkan kasus lain adalah penganiayaan, delapan perkosaan terhadap anak atau incest, dua sodomi, empat penculikan dan tiga korban pembunuhan.

Daerah yang menempati rating kedua kasus kekerasan terhadap anak adalah Langkat disusul Deli Serdang, Asahan dan Nias. Di Simalungun, sepanjang tahun 2008 terjadi tiga kali pemerkosaan terhadap anak di bawah umur. Selanjutnya orang tua yang dianggap sebagai pelindung anak ternyata menempati tempat pertama pelaku kekerasan terhadap anak. Sepanjang tahun 2008 sebanyak 35 orang tua di berbagai daerah di Sumatera Utara melakukan penganiayaan dan pemerkosaan terhadap anak.

(22)

incest (http://www.Antara.Co.Id/View/?I=1173788569&C=NAS&S diakses 11 Oktober 2009 Pukul 19.25 WIB).

Anak-anak yang berkonflik dengan hukum yang menjadi terdakwa dalam persidangan harus dilihat bahwa mereka adalah korban. Mereka merupakan korban konflik rumah tangga, masalah perekonomian, lingkungan sosial, dan lain-lain. Pada dasarnya anak-anak dilahirkan dalam keadaan suci dan tidak memiliki persoalan, tetapi karena persoalan lingkungan ataupun konflik orangtua menyebabkan mereka berkonflik dengan hukum. Misalnya, anak melakukan perbuatan kriminal sebagi dampak kurangnya orang tua memberikan perhatian ataupun pengaruh berbagai tontonan yang tidak mendidik.

(23)

Dalam segala tindakan yang menyangkut anak, kepentingan terbaik bagi anak harus jadi pertimbangan utama. Inilah poin penting yang tertulis dalam Konvensi Hak Anak (KHA). Indonesia yang sudah meratifikasi konvensi ini, sepertinya belum serius menjalankannya karena masih banyak kasus yang mencerminkan tidak adanya pertimbangan tersebut. Perlindungan harus dengan serius diberikan terhadap anak, pemerintah selaku lembaga yang berkewajiban untuk melindungi hak-hak anak belum cukup untuk memberikan perlindungan terhadap anak, tidak hanya pemerintah masyarakat juga berkewajiban untuk memberikan perlindungan terhadap anak. Disamping itu peran lembaga swadaya masyarakat juga sangat penting dalam memberikan pelayanan sosial dan perlindungan terhadap anak.

(24)

Salah satu kasus tindak kekerasan terhadap anak terjadi di Kabupaten Madiun, Jawa Timur. Bocah berusia 3,5 tahun, Endy Tegar Kurniadinata ditabrakkan ayah tirinya Puryanto ke keretaapi sehingga Tegar kehilangan salah satu kakinya. Belum lagi sejumlah kasus kekerasan yang terjadi di sekolah, baik yang dilakukan guru dalam bentuk pemberian sanksi maupun kekerasan yang dilakukan sesama anak, pada kasus tersebut secara tidak langsung anak sudah berkonflik dengan hukum tetapi tidak mendapatkan perlindungan hukum dan pelayanan sosial dari berbagai pihak, padahal anak mempunyai hak untuk mendapatkan bantuan dan pelayanan sosial dari pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat.

Perlindungan dan jaminan kepastian hukum juga belum mampu diberikan Undang-Undang Perlindungan yang dikeluarkan oleh pemerintah terhadap anak yang sedang berkonfik dengan hukum (children conflict with the law), khususnya anak sebagai pelaku tindak pidana. Fakta tersebut bisa dilihat dari kasus Raju pada tahun 2005. Dalam usia sembilan tahun pada waktu itu, dia diproses secara hukum di Pengadilan Negeri Stabat, Langkat, karena berkelahi. Proses hukum yang dijalani Raju adalah proses hukum sebagaimana layaknya orang dewasa.

(25)

Demikian juga di daerah Sumatera Utara, masih cenderung mengabaikan masalah anak-anak yang menjadi korban kekerasan di sekolah. Anak-anak korban kekerasan di sekolah, anak-anak korban kekerasan seksual, anak-anak korban traffiking dan anak-anak yang berkonflik dengan hukum merupakan kelompok yang paling menderita lemahnya perlindungan hukum ini.

Kasus-kasus kekerasan terhadap anak memang cukup tinggi, Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) beserta divisi sebagai penanggungjawab yaitu Pusat Informasi dan Pengaduan Anak (PUSPA) adalah salah satu lembaga swadaya masyakat yang aktif berperan dalam memberikan bantuan dan pelayanan sosial terhadap anak menyebutkan, terhitung Januari-November 2008 tercatat 373 kasus kekerasan terhadap anak, meningkat dari tahun sebelumnya 308 terhitung Januari-November 2007. PKPA menangani 130 kasus kekerasan pada anak tahun 2008 (http://www.pkpa.or.id/ind/?pilih=lihat&topik=7&id=121 diakses 4 Oktober 2009 Pukul 18.30 WIB).

(26)

bahwa hal ini mengalami tingkat penurunun, tetapi pada dasarnya jumlah kasus tersebut tentu relatif sangat kecil dibandingkan dengan fakta sebenarnya, karena banyak kasus yang tidak melapor ke PKPA atau selesai pada tingkat keluarga.

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka penulis tertarik untuk mengetahui bagaimana respon anak yang berkonflik dengan hukum terhadap program pelayanan sosial. Dengan melihat respon dapat diketahui bagaimana sebenarnya tanggapan dan sikap anak tersebut terhadap program pelayanan sosial. Karena perbedaan respon dapat memunculkan perbedaan yang tajam pada pemanfaatan suatu program. Penelitian ini dirangkum dalam skripsi dengan judul : “Respon Anak yang Berkonflik dengan Hukum terhadap Program Pelayanan Sosial oleh PKPA”.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latarbelakang masalah, maka yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

“Bagaimana respon anak yang berkonflik dengan hukum terhadap Program Pelayanan Sosial oleh PKPA”

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1. Tujuan Penelitian

(27)

1.3.2. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian merupakan gambaran harapan-harapan peneliti akan hasil akhir dari penelitian tersebut, dimana apabila terdapat kesesuaian atau kecocokan antara hasil dan harapan berarti bahwa penelitian ini sukses. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut :

1. Sebagai bahan masukan bagi LSM PKPA-PUSPA sebagai unit Pelayanan Teknis agar lebih peka lagi dalam menangani dan memberikan Pelayanan-pelayanan yang terbaik melalui Program-Program Pelayanan Sosial

2. Lembaga khususnya PKPA-PUSPA untuk mengetahui sejauhmana respon anak penerima tersebut terhadap program-program pelayanan sosial yang mereka tetapkan

3. Hasil penelitian dapat menambah wawasan pengetahuan dan meningkatkan kemampuan berfikir penulis melalui karya ilmiah.

(28)

1.4. Sistematika Penulisan

Penulisan ini disajikan dalam 6 (enam) BAB dengan sistematika sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan latarbelakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika penulisan.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menguraikan tentang uraian dan teori-teori yang berkaitan dengan objek yang akan diteliti, kerangka pemikiran, definisi konsep dan definisi operasional.

BAB III : METODE PENELITIAN

Bab ini menguraikan tipe penelitian, populasi dan sampel, teknik pengumpulan data dan teknis analisis data.

BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Bab ini menguraikan tentang lokasi penelitian, sejarah dan latarbelakang berdirinya lembaga.

BAB V : ANALISIS DATA

Bab ini menguraikan bagaimana menganalisis data, berisikan penganalisaan data-data yang diperoleh dalam penelitian

BAB VI : PENUTUP

(29)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Teori Respon

Respons dikatakan Darly Beum sebagai tingkah laku balas atau sikap yang menjadi tingkah laku adekuat. Sementara itu Scheerer menyebutkan respons merupakan proses pengorganisasian rangsang dimana rangsang-rangsang prosikmal di organisasikan. Sedemikian rupa sehingga sering terjadi representasi fenomenal dari rangsang prosikmal (Sarwono, 1998: 84).

Respon pada prosesnya didahului sikap seseorang, karena sikap merupakan kecenderungan atau kesediaan seseorang untuk bertingkah laku kalau ia menghadapi suatu rangsangan tertentu. Jadi berbicara mengenai respon atau tidak respon tidak terlepas dari pembahasan sikap. Respon juga diartikan suatu tingkah laku atau sikap yang berwujud baik sebelum pemahaman yang mendetail, penilaian, pengaruh atau penolakan, suka atau tidak serta pemanfaatan pada suatu fenomena tertentu.

Melihat sikap seseorang atau sekelompok orang tehadap sesuatu maka akan diketahui bagaimana respon mereka terhadap kondisi tersebut. Menurut Louis Thursone, respon merupakan jumlah kecenderungan dan perasaan, kecurigaan, dan prasangaka, pra pemahaman yang mendetail, ide-ide, rasa takut, ancaman dan keyakinan tentang suatu hal yang khusus. Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa cara pengungkapan sikap dapat melalui:

(30)

3. Suka atau tidak suka

4. Kepositifan atau kenegatifan suatu objek psikologi

Perubahan sikap dapat menggambarkan bagaimana respon seseorang atau sekelompok orang terhadap objek-objek tertentu seperti perubahan lingkungan atau situasi lain. Sikap yang muncul dapat positif yakni cenderung menyenangi, mendekati dan mengharapkan suatu objek, seseorang disebut mempunyai respon positif dilihat dari tahap kognisi, afeksi, dan psikomotorik. Sebaliknya seseorang mempunyai respon negatif apabila informasi yang didengarkan atau perubahan suatu objek tidak mempengaruhi tindakan atau malah menghindar dan membenci objek tertentu. Terdapat dua jenis variable yang mempengaruhi respon :

1. Variable struktural yakni faktor-faktor yang terkandung dalam rangsangan fisik

2. Variable fungsional yakni faktor-faktor yang terdapat dalam diri si pengamat, misalanya kebutuhan suasana hati, penglaman masa lalu (Cruthefield, dalam Sarwono, 1998: 47)

Menurut Hunt (1962) orang dewasa mempunyai sejumlah unit untuk memproses informasi-informasi. Unit-unit ini dibuat khusus untuk menangani representasi fenomenal dari keadaaan diluar individu. Lingkungan internal ini dapat digunakan untuk memperkirakan peristiwa-peristiwa yang terjadi diluar. Proses yang berlangsung secara rutin inilah yang disebut Hunt sebagai suatu respon (Adi, 1994: 129).

(31)

seseorang untuk bertingkah laku tertentu kalau ia mengalami rangsang tertentu. Sikap ini terjadi biasanya terhadap benda, orang, kelompok, nilai-nilai dan semua hal yang terdapat di sekitar manusia.

2.2. Anak berkonflik dengan Hukum

Anak yang berkonflik dengan hukum merupakan istilah internasional yang digunakan terhadap anak yang disangka, didakwa maupun dipidana dalam masalah hukum. Dalam KHA, anak yang berkonflik dengan hukum ini dikategorikan ke dalam anak yang membutuhkan perlindungan khusus. Salah satunya dinyatakan dalam pasal 37 KHA: "Tidak seorang anak pun dapat dirampas kebebasannya secara melanggar hukum atau dengan sewenang-wenang. Penangkapan, penahanan atau pemenjaraan seorang anak harus sesuai dengan undang-undang, dan hanya digunakan sebagai upaya terakhir dan untuk jangka waktu terpendek dan tepat."

Dalam berbagai regulasi nasional, ada beberapa penyebutan untuk anak yang berkonflik dengan hukum. Dalam UU Pengadilan Anak disebut anak nakal, sementara dalam UU Perlindungan Anak terdapat dua penyebutan, yakni anak yang berhadapan dengan hukum dan anak yang berkonflik dengan hukum. Apapun sebutannya, yang terpenting adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan anak harus dilakukan dengan mempertimbangan kepentingan terbaik bagi anak, baik sebagai korban maupun sebagai pelaku.

(32)

orangtua atau menempatkan mereka di pusat-pusat pembinaan. Jadi anak yang tertangkap tangan melakukan kejahatan tidak langsung ditangkap, ditahan dan diajukan ke pengadilan, tetapi harus menjalani proses-proses tertentu seperti pendampingan dan konseling untuk mengetahui apa yang menjadi kepentingan terbaik bagi mereka. Untuk mencegah masalah-masalah sejenis di masa mendatang, ada beberapa hal yang harus diperhatikan penegak hukum dalam rangka mempertimbangan kepentingan terbaik bagi anak yang berkonflik dengan hukum:

1. Pertama usia pertanggungjawaban pidana. Hal ini bermanfaat agar tidak sembarang anak dapat dibawa ke proses hukum, tetapi berdasarkan usia yang sudah ditetapkan. Indonesia menetapkan seorang anak dapat dibawa ke proses peradilan mulai dari usia delapan tahun. Usia ini sebenarnya sangat rendah. Di banyak negara usia pertanggungjawaban pidana antara 12-17 tahun. Seringkali usia ini menjadi masalah karena banyak anak tidak memiliki akta kelahiran sehingga sulit untuk mengasumsikan usia anak yang tidak diketahui usianya. Kondisi ini menyebabkan anak diberlakukan seperti orang dewasa saat berhadapan dengan hukum. Padahal berdasarkan Asian Guidelines for Child Trafficking dinyatakan bahwa apabila usia anak sulit ditebak, maka dia harus diasumsikan sebagai anak.

(33)

anak harus mendapatkan pendampingan, baik pendampingan untuk proses konseling oleh psikolog, maupun pendamping hukum dengan biaya yang ditanggung negara.

3. Ketiga mengenai kesehatan. Perawatan kesehatan fisik dan psikis anak sering tidak menjadi perhatian negara selama anak menjalani proses penahanan dan pemidanaan. Bahkan dalam banyak kasus anak mengalami kekerasan fisik baik yang dilakukan oleh aparat negara, maupun sesama tahanan atau narapidana lainnya.

4. Keempat pendidikan. Anak yang melakukan tindak pidana umumnya dikeluarkan dari sekolah, padahal belum ada keputusan tetap yang mengikat, apakah anak tersebut bersalah atau tidak, sehingga menyalahi prinsip praduga tak bersalah dan tentunya menghilangkan hak anak atas pendidikan. Harus diingat, pemenjaran hanya menghilangkan hak bergerak seseorang, sementara hak-hak lainnya tetap wajib didapatkan. Jika seorang anak dipidana penjara, maka seluruh hak-haknya yang lain wajib diberikan, misalnya hak atas pendidikan, hak untuk terbebas dari tindak kekerasan (http://www.kksp.or.id/ind/?pilih=lihat&topik=9&id=286 diakses 4 Oktober 2009 Pukul 17.55 WIB).

2.3. Pelayanan Sosial

(34)

dan pelayanan-pelayanan yang dirangkai untuk menyediakan sumber-sumber pribadi dan sosial yang esensial guna pelaksanaan peranan-peranan sosial yang efektif (Sekarningsih, 1983: 77).

Pelayanan sosial bukan hanya sebagai usaha memulihkan, memelihara, meningkatkan kemampuan berfungsi sosial individu dan keluarga, melainkan juga sebagai usaha untuk menjamin berfungsinya kolektifitas seperti kelompok-kelompok sosial, organisasi serta masyarakat (Fadhil, 1990: 30).

Pelayanan-pelayanan sosial membentuk dan menyediakan sumber-sumber yang disediakan untuk membantu orang-orang memperbaiki kompetensi sosialnya, mempengaruhi dan mengubah tingkah laku dan memecahkan masalah penyesuaian diri.

Pelayanan sosial telah dan mungkin akan diklasifikasikan dalam berbagai cara, tergantung dari tujuan klasifikasi. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengemukakan fungsi pelayanan sosial sebagai berikut:

1. Peningkatan kondisi kehidupan masyarakat 2. Pengembangan sumber-sumber manusiawi

3. Organisasi masyarakat terhadap perubahan-perubahan sosial dan penyesuaian sosial

4. Mobilisasi dan pencipta sumber-sumber masyarakat. Untuk tujuan pembangunan

(35)

Alfred J. Khan menyatakan bahwa fungsi utama pelayanan sosial adalah: 1. Pelayanan Sosial untuk Sosialisasi dan pengembangan

2. Pelayanan Sosial untuk penyembuhan, perlindungan dan rehabilitasi 3. Pelayanan akses.

Pelayanan sosial untuk sosialisasi dan pengembangan dimaksudkan untuk mengadakan perubahan-perubahan dalam diri anak dan pemuda melalui program-program pemeliharaan, pendidikan (non formal) dan pengembangan. Tujuannya yaitu untuk menanamkan nilai-nilai masyarakat dalam usaha pengembangan kepribadian anak. (Soetarso, 1979: 40)

Bentuk-bentuk pelayanan sosial tersebut antara lain: 1. Program Penitipan Anak

2. Program-program kegiatan remaja atau pemuda

3. Program-program pengisian waktu terulang bagi anak dan remaja dalam keluarga.

Pelayanan Sosial untuk penyembuhan, perlindungan dan rehabilitasi mempunyai tujuan untuk melaksanakan pertolongan kepada seseorang, baik secara individual maupun di dalam kelompok atau keluarga dan masyarakat agar mampu mengatasi masalah-masalahnya.

Bentuk-bentuk pelayanan sosial tersebut antara lain : 1. Bimbingan sosial bagi keluarga

2. Program asuhan keluarga dan adopsi anak

3. Program bimbingan bagi anak nakal dan bebas hukuman 4. Program-program rehabilitasi bagi penderita cacat

(36)

6. Program-program penyembuhan bagi penderita gangguan mental

7. Program-program bimbingan bagi anak-anak yang mengalami masalah dalam bidang pendidikan

8. Program-program bimbingan bagi para pasien di rumah-rumah sakit Kebutuhan akan program pelayanan sosial akses disebabkan oleh karena: 1. Adanya birokrasi modern

2. Perbedaan tingkat pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap hal-hal dan kewajiban/tanggung jawabnya.

3. Diskriminasi dan

4. Jarak geografi antara lembaga-lembaga pelayanan dari orang-orang yang memerlukan pelayanan sosial.

Dengan adanya berbagai kesenjangan tersebut, maka pelayanan sosial disini mempunyai fungsi sebagai “akses” untuk menciptakan hubungan bimbingan yang sehat antara berbagai program, sehingga program-program tersebut dapat berfungsi dan dimanfaatkan oleh masyarakat yang membutuhkannya. Pelayanan akses bukanlah semata-mata memberikan informasi, tetapi juga termasuk menghubungkan seseorang dengan sumber-sumber yang diperlukan dengan melaksanakan program-program referral.

(37)

Partisipasi mungkin merupakan konsekuensi dari bagaimana program itu diorganisir, dilaksanakan dan disusun. Partisi kadang-kadang merupakan alat, kadang-kadang merupakan alat, kadang-kadang merupakan tujuan. Ada yang memandang bahwa partisipasi dan pelayanan merupakan dua fungsi yang selalu konflik, karenanya harus dipilih salah satu. Karenanya harus dipilih partisipasi sebagai tanggungjawab masyarakat dan pelayanan sebagai tanggungjawab program. Pada umumnya sesuatu program sulit untuk meningkatkan kedua-duanya sekaligus. Pendapat demikian selalu benar. Pelayanan sosial membutuhkan pada tingkat tertentu partisipasi masyarakat (Muhidin, 1992: 41)

2.4. Peranan LSM melalui Program sebagai Pendamping terhadap anak yang berkonflik dengan hukum

Pendampingan dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam bidang advokasi sangatlah penting dalam proses hukum yang dialami anak. Anak adalah warga negara yang belum dewasa, tidak memiliki kemampuan hukum (consent) untuk melakukan perbuatan hukum. Untuk itu, anak yang berkonflik dengan hukum harus melibatkan orangtua atau wali maupun pendamping, khususnya pendamping LSM sebagai orang yang memiliki consent untuk menuntut hak asasi mereka dalam proses hukum tersebut. Proses pemeriksaan juga harus dilakukan dengan tatacara ramah anak, seperti dilakukan orang yang ahli dalam bidang anak berdasarkan persetujuan anak, dalam bahasa yang dimengerti anak dan bila bahasa itu tidak dimengerti harus diberikan penerjemah.

(38)

Selanjutnya dalam proses peradilan, hakim dan jaksa tidak boleh mengenakan toga karena akan menimbulkan ketakutan dan dampak psikologis lainnya bagi anak.

Adapun Program yang dilakukan oleh PKPA-PUSPA secara tertulis:

1. Layanan Hukum yaitu pendampingan yang diberikan baik secara litigasi dan non litigasi terhadap korban tidak hanya pada saat pelaporan/ pengaduan dan pengambilan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) di kepolisian tetapi tidak sampai pada proses penuntutan di kejaksaan dan pemeriksaan di pengadilan.

2. Konseling yaitu serangkaian kegiatan yang dilakukan kepada korban untuk mengetahui kondisi psikologi termasuk mempertanyakan keinginan korban terhadap kasus yang sedang dialaminya, apakah korban setuju kasusnya diproses secara hukum atau tidak. Prinsip yang akan digunakan tetap berpegang kepada prinsip terbaik bagi anak.

3. Penjemputan atau penyelamatan korban merupakan tindakan yang dilakukan untuk mencegah terjadinya sesuatu hal yang mengancam keselamatan korban. Apabila pelaku atau korban telah kembali maka upaya ini dianggap tidak perlu dilakukan

(39)

5. Drop In Center (DIC) merupakan rumah aman sementara bagi korban yang tujuannya semata-mata untuk melindungi korban dari intimidasi ataupun ancaman yang datang dari pelaku/ keluarga pelaku, keluarga korban atau pihak ketiga yang sengaja ingin mengambil keuntungan atau mengeksploitasi korban kembali. Korban akan kembali ke keluarga apabila kondisi sudah memungkinkan untuk itu.

6. Monitoring dan evaluasi merupakan pemantauan yang dilakukan secara reguler terhadap korban guna mengetahui kegiatan positif yang telah dilakukan oleh korban setelah kembali kepada keluarga.

2.5. Kesejahteraan Sosial

2.5.1. Definisi Kesejahteraan Sosial

Istilah kesejahteraan sosial banyak diulas sebagai suatu padanan kata yang benar-benar padu. Istilah ini sudah menjadi konsep sehari-hari, termasuk dalam hal ketatabahasannya. Istilah kesejahteraan sosial sering diidentikkan dengan “kesejahteraan masyarakat atau kesejahteraan umum”.

(40)

Dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, Pasal 1dinyatakan:

1. Kesejahteraan Sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.

2. Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial adalah upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial guna memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara, yang meliputi rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial.

3. Tenaga Kesejahteraan Sosial adalah seseorang yang dididik dan dilatih secara profesional untuk melaksanakan tugas-tugas pelayanan dan penanganan masalah sosial dan/atau seseorang yang bekerja, baik di lembaga pemerintah maupun swasta yang ruang lingkup kegiatannya di bidang kesejahteraan sosial.

4. Pekerja Sosial Profesional adalah seseorang yang bekerja, baik di lembaga pemerintah maupun swasta yang memiliki kompetensi dan profesi pekerjaan sosial, dan kepedulian dalam pekerjaan sosial yang diperoleh melalui pendidikan, pelatihan, dan/atau pengalaman praktek pekerjaan sosial untuk melaksanakan tugas-tugas pelayanan dan penanganan masalah sosial.

(41)

sosial bukan di instansi sosial pemerintah atas kehendak sendiri dengan atau tanpa imbalan.

6. Pelaku Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial adalah individu, kelompok, lembaga kesejahteraan sosial, dan masyarakat yang terlibat dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial.

7. Lembaga Kesejahteraan Sosial adalah organisasi sosial atau perkumpulan sosial yang melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang dibentuk oleh masyarakat, baik yang berbadan hokum maupun yang tidak berbadan hukum.

8. Rehabilitasi Sosial adalah proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk memungkinkan seseorang mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan masyarakat.

9. Perlindungan Sosial adalah semua upaya yang diarahkan untuk mencegah dan menangani risiko dari guncangan dan kerentanan sosial.

10. Pemberdayaan Sosial adalah semua upaya yang diarahkan untuk menjadikan warga negara yang mengalami masalah sosial mempunyai daya, sehingga mampu memenuhi kebutuhan dasarnya.

11. Jaminan Sosial adalah skema yang melembaga untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak.

12. Warga Negara adalah warga negara Republik Indonesia yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

(42)

Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

14. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsure penyelenggara pemerintahan daerah.

15. Menteri adalah menteri yang membidangi urusan

(http://www.depsos.go.id/modules.php?name=Downloads&d_op=getit&lid= 105 diakses tanggal 27 Februari 2010 pukul 20.00 WIB)

Oleh Walter A. Friedlander, mengutarakan bahwa konsep dan istilah kesejahteraan sosial dalam pengertian program yang ilmiah baru saja dikembangkan sehubungan dengan masalah sosial dari pada masyarakat kita yang industrial. Kemiskinan, kesehatan yang buruk, penderitaan dan disorganisasi sosial telah ada dalam sejarah kehidupan umat manusia, namun masyarakat yang industrial dari abad ke 19 dan 20 ini menghadapi begitu banyak masalah sosial sehingga lembaga-lembaga insani yang sama seperti keluarga, ketetanggaan, gereja, dan masyarakat setempat tidak mampu lagi mengatasinya secara memadai.

Berikut ini beberapa defenisi yang menjelaskan arti kesejahteraan sosial. W.A Fridlander mendefenisikan :

(43)

Defenisi menurut W.A Fridlander menjelaskan :

1. Konsep kesejahteraan sosial sebagai suatu sistem atau “organized system” yang berintikan lembaga-lembaga dan pelayanan sosial. 2. Tujuan sistem tersebut adalah untuk mencapai tingkat kehidupan yang

sejahtera dalam arti tingkat kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, papan, kesehatan dan juga relasi-relasi sosial dengan lingkungannya. 3. Tujuan tersebut dapat dicapai dengan cara, meningkatkan

“kemampuan individu” baik dalam memecahkan masalahnya maupun dalam memenuhi kebutuhannya.

Dalam Kamus Ilmu Kesejahteraan Sosial disebutkan pula :

“Kesejahteraan Sosial merupakan keadaan sejahtera yang meliputi keadaan jasmaniah, rohaniah dan sosial tertentu saja. Bonnum Commune atau kesejahteraan sosial adalah kesejahteraan yang menyangkut keseluruhan syarat, sosial yang memungkinkan dan mempermudah manusia dalam memperkembangkan kepribadianya secara sempurna” (Suparlan, 1989: 53).

Sementara itu Skidmore, sebagaimana dikutip oleh Drs. Budie Wibawa, menuturkan : “Kesejahteraan Sosial dalam arti luas meliputi keadaan yang baik untuk kepentingan orang banyak yang mencukupi kebutuhan fisik, mental, emosional, dan ekonominya” (Wibawa, 1982: 13).

2.5.2. Usaha Kesejahteraan Sosial

(44)

membina, memelihara, memulihkan, dan mengembangkan kesejahteraan sosial (Nurdin, 1989: 79).

Dalam pernyataan tersebut terkandung pengertian bahwa usaha-usaha kesejahteraan sosial merupakan upaya ditujukan kepada manusia baik individu, kelompok maupun masyarakat.

Dalam undang-undang No. 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak, pasal 2 dinyatakan :

1. Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarga maupun dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang secara wajar.

2. Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa untuk menjadi warga negara yang baik dan berguna.

3. Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan,baik semasa dalam kandungan maupun setelah dilahirkan.

4. Anak berhak atas perlindungan terhadap yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar (Nurdin, 1989: 123).

(45)

2.6. Kerangka Pemikiran

Perlakukan terhadap anak perlu dibedakan karena pada saat itu darah, tubuh dan jiwa si anak sedang mengalami perkembangan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa si anak sedang dalam keadaan labil. Jadi ada sesuatu yang berbeda ketika kita berbicara tentang anak. Anak itu bukan orang dewasa dalam ukuran mini, karena itu kita harus memberikan treatment yang berbeda. Kemudian dia juga dalam masa pertumbuhan dan situasi ini masuk kelompok rawan yang harus diproteksi sejak awal. Hal itu menyebabkan adanya pembedaan perlakuan terhadap anak terkhusus bagi anak-anak yang mengalami konflik dengan hukum.

Dalam hal ini Lembaga Swadaya Masyarakat PKPA-PUSPA sebagai salah satu unit pelaksana teknis untuk memberikan layanan dan dampingan anak-anak yang berkonflik dengan hukum bagi anak sebagai pelaku maupun anak sebagai korban. Melalui program-programnya dapat membantu anak-anak yang mengalami masalah dan yang dapat mengganggu kejiwaan maupun kehidupan sosialnya. Adapun program pelayanan sosial bagi anak yang berkonflik dengan hukum adalah:

1. Layanan Hukum 2. Konseling

3. Penjemputan/penyelamatan korban 4. Pemeriksaan kondisi kesehatan korban 5. Monitoring dan evaluasi

(46)

si anak nyaman dengan layanan program yang telah diberikan atau tidak untuk mengatasi masalah yang dihadapi anak tersebut.

Respon yang akan muncul dapat terbagi menjadi dua respon yang berbeda dan yang menimbulkan perbedaan tingkahlaku anak secara langsung maupun tidak lansung yaitu:

(47)
[image:47.595.149.477.65.742.2]

Gambar 2.1. Bagan Alur Pemikiran

PROGRAM PELAYANAN

SOSIAL 1. Layanan Hukum 2. Konseling

3. Penjemputan penyelamatan korban 4. Pemeriksaan kondisi kesehatan korban 5. Monitoring dan evaluasi

LSM PKPA

Respon Positif (+) : 1. Setuju dengan program

pelayanan sosial.

2. Mengharapkan hasil yang memuaskan dari program pelayanan sosial

Respon Negatif (-) : 1. Tidak setuju dengan

program pelayanan sosial.

2. Bersikap apatis terhadap program pelayanan sosial

3. Tidak mengharapkan apa apa dari program

(48)

2.7. Definisi Konsep dan Definisi Operasional 2.7.1. Definisi Konsep

Konsep adalah unsur penelitian yang terpenting dan merupakan defenisi yang dipakai oleh para peneliti yang memnggambar abstrak suatu fenomena sosial ataupun fenomena alami (Singarimbun, 1989 : 17)

Penelitian ini dimaksud untuk mengetahui respon anak yang berkonflik dengan hukum terhadap program pelayanan sosial oleh Pusat Kajian dan Perlindungan Anak, oleh karena itu yang menghindari kesalahpahaman dalam penelitian ini maka dirumuskan dan didefenisikan istilah yang digunakan secara mendasar agar tercipta suatu persamaan persepsi dan tidak muncul salah pengertian pemakaian istilah yang dapat mengatur tujuan penelitian.

Yang menjadi konsep penelitian ini adalah:

1. Respon adalah tingkah laku atau sikap yang berwujud baik sebelum pemahaman yang mendetail, penilaian, pengaruh atau penolakan, suka atau tidak serta pemanfaatan pada suatu fenomena tertentu.

2. Anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang disangka, didakwa, maupun yang dipidana serta anak yang sangat membutuhkan perlindungan hukum.

3. Pelayanan Sosial adalah suatu aktivitas yang terorganisir yang bertujuan untuk menolong orang-orang agar mendapat suatu penyesuaian timbal balik antara individu dan lingkungan sosialnya.

(49)

maupun di dalam kelompok atau keluarga dan masyarakat dalam upaya mencapai saling penyesuaian.

5. PKPA-PUSPA adalah sebuah lembaga sosial yang memfokuskan pada kajian dan perlindungan anak serta menangani anak bermasalah dan yang berkonflik dengan hukum.

2.7.2. Definisi Operasional

Defenisi operasional adalah informasi ilmiah yang membantu peneliti dengan menggunakan suatu variabel atau dengan kata lain defenisi operasional adalah semacam petunjuk pelaksanaan bagaimana mengukur suatu variabel (Singarimbun, 1989 : 46).

Untuk memberikan kemudahan dalam memahami variabel dalam penelitian ini, maka diukur melalui indikator-indikator sebagai berikut:

1. Respon Positif

1. Setuju dengan program Pelayanan Sosial oleh PKPA

2. Mengharapkan hasil yang memuaskan dari program Pelayanan Sosial oleh PKPA

2. Respon Negatif

Respon negatif terjadi apabila informasi atau program yang didengar atau perubahan sesuatu objek tidak mempengaruhi tindakannya atau malah menghindari dan membenci objek tertentu.

(50)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Tipe Penelitian

Tipe penelitian ini termasuk penelitian deskriptif. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran melukiskan kenyataan yang ada tentang masyarakat atau sekelompok orang tertentu di lapangan secara analisis yang prosesnya meliputi penguraian hasil observasi dari suatu gejala yang diteliti atau lebih (Irawan, 2004:35). Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan respon atau tanggapan anak yang berkonflik dengan hukum terhadap program Pelayanan Sosial oleh Lembaga PKPA.

3.2. Lokasi Penelitian

(51)

3.3. Populasi dan Sampel

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian yang terdiri dari manusia, benda-benda, hewan, tumbuh-tumbuhan, gejala-gejala, nilai test, atau peristiwa-peristiwa sebagai sumber data yang memiliki karakteristik tertentu didalam suatu penelitian (Nawawi, 2001 : 141).

Berdasarkan uraian tersebut maka, populasi dalam penelitian ini yaitu seluruh anak yang berkonflik dengan hukum yang telah melewati maupun sedang mengalami konflik hukum pada Tahun 2009 yang berjumlah 20 orang. Karena jumlah populasi kurang dari 100, maka dalam penelitian ini adalah seluruh anak yang berkonflik dengan hukum yang telah melewati maupun sedang mengalami konflik hukum yang berjumlah 20 orang.

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan data-data melalui:

1. Studi Kepustakaan, yaitu pengumpulan data melalui data atau informasi yang menyangkut masalah yang akan diteliti dengan mempelajari dan menalaah buku, serta tulisan lainnya yang ada releansinya dengan masalah yang diteliti.

2. Studi Lapangan, yaitu pengumpulan data yang diperoleh melalui kegiatan penelitian langsung turun ke lokasi penelitian untuk mencari fakta-fakta yang berkaitan dengan masalah yang diteliti, melalui:

(52)

b. Angket, yaitu kegiatan mengumpul data dilakukan dengan cara menyebar suatu daftar pertanyaan tertutup dan terbuka untuk tanya jawab oleh responden.

3.5. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data pada penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif, sehingga nantinya penulis dapat mendeskripsikan informasi dan data yang diperoleh dalam penelitian, dimana pengolahan data dilakukan dengan manual, data dikumpulkan dari hasil kuesioner (angket) dan wawancara. Kemudian ditabulasikan dalam bentuk distribusi frekuensi dan kemudian dianalisa. Dan untuk mengukur variabel-variabel yang ditentukan yaitu dengan menggunakan Skala Likert, dimana setiap jawaban atau tanggapan dijumlahkan sehingga mendapat nilai total dan pertanyaan-pertanyaan yang disajikan dibuat bervariasi (Irawan, 2004 :77)

Untuk mengetahui apakah hasil dari respon tersebut maka digunakan Interval sebagai skala pengukuran.

ί = Nilai atas – Nilai bawah

Variabel = 1-(-)1

(53)

Dan untuk mengetahui hasil respon anak dari setiap program, maka dapat dilihat dari ketentuan Interval berikut:

(54)

BAB IV

DESKRIPSI LOKASI PRAKTIKUM

4.1. Latar Belakang Berdirinya LSM PKPA

Realita bahwa masih banyak anak yang dilanggar dan terbaikan haknya, dan menjadi korban dari berbagai bentuk tindak kekerasan, eksploitasi, perlakuan salah, diskriminasi, bahkan tindakan yang tidak manusiawi terhadap anak menunjukkan kurang memadainya perlindungan terhadap anak. Padahal, anak belum cukup mampu melindungi dirinya sendiri. Anak membutuhkan perlindungan yang memadai dari keluarganya, masyarakat dan pemerintah.

Begitu pula halnya dengan kondisi kaum perempuan (girl). Banyak praktek kehidupan sosial menempatkan perempuan dalam kondisi terjepit, subordinatif, terdiskriminasi, termarjinalkan, dilecekan bahkan menjadi objek tindak kekerasan. Praktek-praktek semacam ini terus berlangsung dalam masyarakat dan dialami oleh perempuan hamper disetiap belahan bumi baik itu praktek norma-norma budaya tertentu, religius atau karena factor sosial-politik.

(55)

Penegakan hak-hak anak dan perempuan sebagaimana dimaksud Konvensi Hak Anak (KHA) & Konvensi Penghapusan Tindak Kekerasan & Diskriminasi terhadap Perempuan (KTP) merupakan upaya terpenting melandasi PKPA menyelamatkan masa depan bangsa Indonesia.

4.2. Latar Belakang PKPA-PUSPA

Pada tahun 2001 PKPA mendirikan unit layanan pengaduan anak yang di berinama Pusat Layanan Informasi dan Pengaduan Anak (PUSPA-PKPA). PUSPA merupakan unit layanan untuk memberikan perlindungan dan penanganan masalah anak diantaranya adalah korban kekerasan seksual seperti pelacuran paksa dikalangan anak-anak, traffiking untuk tujuan seksual, kekerasan fisik/seksual anak di dalam rumah tangga, incest (perkosaan dalam keluarga), anak yang berkonflik dengan hukum dan bentuk kekerasan lainnya.

PUSPA sebagai sebuah pusat layanan informasi dan pengaduan juga membangun kerjasama antar institusi pemerintah dan non pemerintah di Sumatera Utara dalam mengatasi masalah-masalah terkait dengan anak juga mempengaruhi kebijakan pemerintah untuk memberikan perlindungan terbaik terhadap anak di Sumatera Utara. Layanan yang ada di unit PUSPA dapat di akses semua lapisan masyarakat luas terutama bagi keluarga ekonomi tidak mampu yang membutuhkan bantuan pendampingan baik secara litigasi dan non litigasi.

(56)

Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) diharapkan akan mampu berperan dalam membantu memberikan perlindungan terbaik bagi anak-anak khususnya di Sumatera Utara.

Dalam menjalankan programnya khususnya dalam memberikan perlindungan terhadap korban, PUSPA PKPA memiliki 2 orang staff litigasi dan dibantu oleh para relawan. Relawan yang direkrut dan dilibatkan dalam kegiatan di unit PUSPA adalah mahasiswa/i yang memiliki latar belakang pendidikan hukum, sosial dan psikologi yang masih duduk diperkuliahan yang mau meluangkan waktunya untuk membantu kegiatan di unit PUSPA.

Untuk menjadi relawan di PUSPA ada persyaratan yang harus dipenuhi yaitu harus mengikuti pelatihan bantuan hukum dalam penanganan anak yang berhadapan dengan hukum (PEBAKUM) di kantor PKPA selama 3 hari penuh. Dengan adanya pelatihan PEBAKUM ini Sangat membantu bagi mereka yang ingin bergabung menjadi relawan di PUSPA dimana mereka telah memiliki pengetahuan dasar tentang bagaimana menghadapi korban dan juga proses perlindungan terhadap korban baik secara litigasi dan non litigasi. Selain itu mereka juga memiliki wawasan tentang hak-hak anak dan aturan-aturan hukum dan psikologi yang mengatur tentang anak.

(57)

dibutuhkan adanya relawan tetap. Namun mengingat keuangan PUSPA saat ini belum dapat merekrut staff konselor diharapkan diantara relawan biasa dapat menjadi relawan tetap untuk membantu kegiatan-kegiatan konseling terhadap korban yang didalamnya diatur hak dan kewajibannya sesuai dengan aturan yang ada di PKPA.

Selain hal tersebut diatas sebagai sebuah lembaga perlindungan anak yang profesional dan sudah diakui kredebilitasnya di Sumatera Utara dianggap perlu memiliki sebuah landasan untuk mengatur tingkah laku pendamping baik itu staff maupun relawan dalam memberikan perlindungan terhadap korban. Hal ini perlu dilakukan dalam upaya menghindari hal-hal negatif yang akan terjadi antara korban dan pendamping, hal ini harus dimuat dalam kode etik yang menjadi acuan bagi staff maupun relawan di unit PUSPA dalam melaksanakan program perlindungan anak.

4.3. Letak dan Kedudukan Lembaga Kantor Induk

PKPA Medan : Jl. Abdul Hakim No.5 A Pasar 1 Setia Budi Medan Telp. (061) 8200170, 8201113 Hotline. (061) 8211117 Fax. (061) 8213009 Email. pkpamdn@indosat.net.id Kantor Unit

PUSPA – PKPA : Jl. Abdul Hakim No.1 Pasar 1 Setia Budi Medan Telp. (061) 8210385

(58)
[image:58.595.79.537.172.770.2]

4.4. Struktur Organisasi Lembaga dan Staff Pendukung Gambar 4.1.

(59)

Pendiri PKPA

1. Aminah Azis (Almh) 2. Ahmad Sofian 3. Emil W. Aulia 4. Fadli Nurzal Pembina

1. Fadli Nurzal, S.Ag (Ketua) 2. Erlina, SH (Sekretaris) 3. Emil W. Aulia, SH (Bendahara) Pengawas

1. Iswan Kaputra 2. Irsan Rangkuti Pengurus

1. Ahmad Sofian (Ketua) 2. Misran Lubis (Sekretaris) 3. Sony Sucihati (Bendahara) 4. Rosmalinda

5. Sulaiman Zuhdi Manik 6. Supriadi

7. Azmiati Zuliah 8. Irwan Hadi Pelaksana Harian

(60)

3. Misran Lubis (Manajer Nias)

4. Sulaiman Zuhdi Manik (Manajer Aceh) 5. Sony Sucihati (Manajer Keuangan) 6. Fitriana Harahap (Office Manager) 7. Azmiati Zuliah (Koordinator PUSPA) 8. Catur M Sarjono (Koordinator SKA) 9. Irwan Hadi (Koordinator SKA) 10.Andy Ardian (Kordinator PIKIR) 11.Ramlan (Staff Penterjemah) 12.Eliza Fitriani (Staff Administrasi) 13.Novriza Noerza (Kepala Keuangan) 14.Emma (Staff Kasir)

15.Ummi Salamah (Staff Kasir) 16.Ikhsan (Kepala Akuntansi) 17.Vita Amalia Personalia 18.Jufri (Staff Media Officer) 19.Susi (Perpus)

20.Wina Mariana (Staff Pendidikan SKA) 21.Poppy Dian Ariani ( Staff Litigasi PUSPA) 22.Suryani Guntari (Staff Litigasi PUSPA) 23.Sumadi (Project Manager ECPAT)

(61)
[image:61.595.130.503.283.462.2]

Gambar 4.2.

Struktur Organisasi PUSPA.

Struktur PUSPA terdiri dari koordinator program, adminsitrasi databased dan hotline servise, layanan Hukum, layanan non hukum dan Drop In Center (DIC). Masing-masing komponen ini memiliki tugas yang berbeda-beda sesuai dengan kapasitasnya masing. Berikut ini adalah penjabaran tugas masing-masing komponen:

4.5. Visi dan Misi

Visi : Terwujudnya kepentingan terbaik anak Misi : Menegakkan hak-hak anak

4.6. Program

1. Penelitian dan Pengkajian masalah anak 2. Pendidikan dan pelatihan anak

3. Advokasi litigasi dan non litigasi anak 4. Publikasi dan sosialisasi hak-hak anak

KOORDINATOR PUSPA

ADMINISTRASI, DATABASED HOTLINE SERVICE

LAYANAN HUKUM

LAYANAN NON HUKUM

(62)

5. Pembangunan dan penguatan jaringan bagi anak 6. Program perlindungan anak pada situasi emergency

4.7. Strategi

Strategi PKPA dalam menjabarkan program-programnya adalah dengan memberdayakan potensi internal dan menggandeng potensi eksternal. Adapun langkah-langkah yang dilakukan adalah :

1. Menciptakan kondisi lembaga yang penuh semangat kekeluargaan, profesional dan mandiri melalui penyadaran dan budaya kritis.

2. Meningkatkan sumber daya insani (staf) lembaga dan kualitas program dalam rangka peningkatan pelayanan dan pengabdian kepada masyarakat. 3. Memberdayakan lembaga, meningkatkan sumber daya lembaga dan

memperhatikan kesejahteraan staf

4. Membangun budaya displin, pastisipasi dan kepekaan social dalam rangka menggali informasi dan isu terbaru

5. Membangun dan mengembangkan jaringan kerja (network) dengan berbagai pihak yang berkepentingan dalam rangka pengembangan program

4.8. Job Description Kordinator PUSPA

(63)

2. Mengkordinir investigasi dan pendampingan hukum kepada korban trafficking dan luar trafficking baik di Indonesia maupun luar negeri

3. Melakukan kerjasama dengan instansi pemerintah yang terkait dalam penanganan kasus yang ditangani di unit PUSPA baik dalam maupun luar negeri.

4. Melakukan dan mengembangkan jejaring ke lembaga lain dan lintas sektoral yang terkait untuk mengembangkan unit PUSPA.

5. Melakukan dan mengembangkan unit PUSPA

6. Melakukan pertemuan rutin dengan staf PUSPA untuk mengetahui perkembangan program setiap bulan.

7. Bertanggung jawab terhadap aktifitas di unit layanan PUSPA

8. Menyiapkan laporan bulanan dan tahunan kegiatan PUSPA kepada Direktur Eksekutif.

9. Membuat release atas kegitan kegiatan PUSPA berkordinasi dengan Media Officer.

10.Berkordinasi dengan keuangan PKPA terkait dengan pendanaan yang masuk dari klien PUSPA.

11.Terlibat dalam kegiatan proyek yang terkait setelah berkordinasi dengan Manager proyek atau Direktur Eksekutif.

12.Membuat laporan berkala tentang situasi anak di Sumut

13.Melakukan koordinasi dengan lintas sektoral yang terkait baik pemerintah maupun non pemerintah dalam program perlindungan anak.

(64)

15.Melakukan dan mengembangkan jejaring ke lembaga lain untuk mengembangkan unit PUSPA

Layanan Hukum Tim Pengacara

1. Memberikan konsultasi penanganan kasus yang ditangani oleh tim PUSPA-PKPA

2. Memberikan bimbingan dan arahan serta masukan yang berkaitan dengan penanganan kasus di unit PUSPA-PKPA.

3. Dalam kasus tertentu yang dirasa strategis & penting akan terlibat secara langsung dalam penangan hukumnya

4. Menindaklanjuti pengaduan yang diterima PUSPA berkordinasi dengan staf litigasi lainnya dan Tim Pengacara pada setiap tingkatan hingga putusan hakim berkekuatan hukum tetap.

5. Melakukan investigasi setelah memperoleh informasi adanya kasus anak melalui koran maupun informasi yang langsung diperoleh dari keluarga.

6. Melakukan penjemputan terhadap klien di lokasi prostitusi, barak penampungan maupun tempat lain yang menjadi tempat sementara klien sebelum kasusnya ditangani oleh PUSPA.

7. Membuat laporan perkembangan penanganan kasus dan kegiatan lainnya kepada kordinator PUSPA setiap bulannya.

8. Berkordinasi dengan staf Bidang Layanan Non Hukum untuk membantu anak (klien) saat proses hukum.

(65)

10.Membuat laporan bulanan tentang kegiatan yang dilakukan kepada kordinator PUSPA

11.Terlibat dalam kegiatan proyek yang terkait setelah berkordinasi dengan Kordinator PUSPA

Layanan Non Hukum

1. Mengkordinir manajemen Drop in Center (DIC) PUSPA termasuk

a. Menata sistem pengarsipan di DIC misalnya dengan memberikan nomer registrasi Konseling atas kasus yang masuk ke PUSPA.

b. Membuat daftar kebutuhan obat-obatan di DIC dan berkonsultasi dengan LKAP-PKPA.

c. Melakukan pencatatan dan pengarsipan formulir yang diisi oleh korban yang akan memperoleh layanan di DIC.

2. Melakukan konseling terhadap anak dan Perempuan (Klien) berkordinasi dengan staf layanan Bidang Hukum.

3. Membuat Analisa kondisi Klien PUSPA dan rekomendasi dalam bentuk resume untuk menjadi pegangan staf layanan hukum dalam penanganan kasus. 4. Melakukan layanan rujukan kesehatan bagi korban ke LKAP-PKPA atau

layanan kesehatan lainnya seperti rumah sakit yang ditunjuk oleh kepolisian misalnya untuk visum berkordinasi dengan staf Layanan Hukum.

5. Melakukan reintegrasi korban kepada lingkungan keluarga dan sosial. 6. Melakukan kunjungan ke dampingan, eks dampingan dan keluarganya untuk

(66)

7. Melakukan pemantauan perkembangan usaha modal yang diberikan PKPA bersama-sama dengan manager keuangan PKPA.

8. Membuat laporan bulanan tentang kegiatan dan pekerjaan yang telah dilakukan kepada koordinator PUSPA-PKPA.

9. Terlibat dalam kegiatan proyek yang terkait setelah berkordinasi dengan Kordinator PUSPA

4.9. Pendanaan Lembaga

Sejak berdiri pada 21 Oktober 1996, Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) telah menjalin kerjasama dan mendapat dukungan dari sejumlah lembaga lembaga dan negara donor.

Berikut ini lembaga-lembaga pendukung dan program PKPA yang mendapat dukungan kerjasama khusus program PKPA sejak memasuki tahun 2005:

* KNH German (Emergency di Nias)

* BFDW Jerman (Program regular - Perlindungan anak, Emergency di Nias-NAD)

* The Japan Fondation (Program Insidentil - perlindungan anak) * UNOCD Swiss (Perdagangan anak untuk tujuan seksual) * UNICEF (Program Insidentil untuk Penerbitan hak-hak anak)

* The Save the Children (Program regular – Pedagangan anak untuk tujuan seksual).

* TIFA Fondation (Penanggulangan perdagangan anak)

(67)

* Christian Aid – Inggris (Emergency di Nias-NAD) * DEA Jerman (Emergency di Nias-NAD)

* ECPAT Internasional (Emergency di Nias-NAD)

* 3 LSM Italia yaitu ECPAT Italia , GVC dan CIFA (Emergency di Nias-NAD) * IRD Indonesia (Emergency di Nias-NAD)

* TDH Jerman (Emergency di Nias-NAD) * IOM (Emergency di Nias-NAD)

(68)

BAB V ANALISA DATA

Untuk melihat Respon Anak yang Berkonflik dengan Hukum terhadap Program Pelayanan Sosial oleh Pusat Kajian dan Perlindungan Anak, maka 20 angket yang akan digunakan sebagai acuan perolehan data dengan sistem kuesioner kepada responden, dan wawancara mendalam kepada beberapa responden, dibawah ini akan dibahas atau dianalisis dengan menggunakan analisis tabel tunggal.

5.1. Data Identitas Responden

[image:68.595.111.513.525.641.2]

Untuk mengetahui data identitas responden yang dijadikan sampel dalam penelitian ini, maka dapat dilihat dari uraian tabel-tabel dibawah ini :

Tabel 5.1.

Karakteristik Responden Berdasarkan Usia

No. Kategori Umur (tahun) Frekuensi (F) Persentase (%) 1

2

10 – 15 tahun 16 – 18 tahun

14 6

70% 30%

Total 20 100

Sumber : Data Primer

(69)

30% dari jumlah responden. Selain itu tidak terdapat responden yang berusia <10 tahun.

[image:69.595.111.513.360.480.2]

Besarnya jumlah responden pada usia 10-15 tahun disebabkan karena rata-rata pada usia tersebut responden kurang mendapatkan perhatian dan bimbingan dari orang tuanya, anak dengan usia tersebut kurang mengetahui pemahaman tentang hukum. Dengan usia yang tergolong masih sangat muda maka anak tersebut gampang terpengaruh untuk melakukan tindakan yang melanggar hukum.

Tabel 5.2.

Karakteristik Responden Berdas

Gambar

Gambar 2.1.
Gambar 4.1.
Gambar 4.2.
Tabel 5.1.
+7

Referensi

Dokumen terkait

perusahaan yang terdaftar di pasar modal wajib mempublikasikan laporan keuangan secara berkala kepada Bapepam dan mengumumkan laporan kepada masyarakat. Berdasarkan

The non-isothermal process in which the sample is heated inside the reactor produced more BO product than the isothermal process, and the oil was of higher quality.. The oil produced

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara kuantitatif dan kualitatif yang diperoleh dari hasil penelitian bahwa pembelajaran dengan strategi kerja kelompok kecil

mengemukakan pendapat di depan umum secara sistematis dan menghargai pendapat yang lain. Memerlukan waktu yang lama. 6 Menanamkan rasa persatuan dan solidaritas tinggi

Keluarga pada dasarnya salah satu unsur penting dalam kehidupan kita karena keluarga merupakan pokok dari kehidupan kita dimana seorang keluarga mampu membuat diri

Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa aktivitas antioksidan pada sampel minuman probiotik whey keju dengan 5% sari tomat pada saat setelah fermentasi selesai

Penyusunan skripsi yang berjudul Sosialisasi Program Kantor Bebas Asap Rokok di PT Kaltim Prima Coal (Analisis Sosialisasi Program Berdasarkan Teori Dramaturgi),

Kegiatan produksi penangkapan tersebut sekitar tahun 1980 mulai menunjukkan penurunan hingga jumlah SBT yang tertangkap tidak lebih dari 10.000 ton/tahun seperti pada Gambar