• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penanganan Perkara Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) oleh Kejaksaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Penanganan Perkara Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) oleh Kejaksaan"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Penanganan Perkara Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) oleh Kejaksaan

Tesis

Marisi Sondang Irene

Universitas Sumatera Utara Sekolah Pascasarjana Magister Ilmu Hukum

2005

Abstrak

Hak Asasi Manusia yang selanjutnya disingkat dengan istilah HAM merupakan hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta tanpa pengecualian dan perbedaan (hak-hak yang bersifat kodrati, berciri inheren dan universal). Oleh karenanya tidak ada kekuasaan apapun di dunia yang dapat mencabutnya. Meskipun demikian bukan berarti dengan hak-haknya itu dapat berbuat semau-maunya.

Menjadi suatu kewajiban bagi Pemerintah memberikan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia, agar pihak manapun tidak dapat sewenang - wenang melakukan eksploitasi terhadap manusia. Sebagai Negara Hukum, Pemerintah Indonesia telah mengatur tentang Hak Asasi Manusia dalam Undang - Undang No. 39 Tahun 1999. Bagi pihak yang melakukan pelanggaran HAM dilakukan pengadilan khusus sebagaimana diatur dalam UU No. 26 Tahun 2000. Dalam penegakan hukumnya, Pemerintah Indonesia memberikan perlindungan terhadap Korban dan Saksi yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2002 dan pengaturan pemberian kompensasi, restitusi dan rehabilitasi bagi korban (korban langsung maupun tidak langsung/ahli waris) dalam Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2002.

Penanganan perkara pelanggaran HAM sebagaimana diatur dalam Perundang - undangan HAM Indonesia, dilakukan oleh Komnas HAM pada tahap Penyelidikan, selanjutnya diteruskan ke Kejaksaan untuk ditakukan Penyidikan, Penahanan, Penuntutan, apabila bukti cukup, diteruskan ke Pengadilan HAM, dan sebaliknya apabila bukti tidak cukup akan dikembalikan kepada Penyelidik (Komnas HAM) untuk direview. Perkara pelanggaran HAM yang ditangani oleh Kejaksaan sebagaimana diatur dalam UU No. 26 Tahun 2000 adalah pelanggaran HAM yang dikelompokkan kedalam Pelanggaran HAM yang berat, yang meliputi Kejahatan Genoside clan Kejahatan Kemanusiaan.

Metode Penelitian yang dipakai Yuridis Normatif ditambah dengan perbandingan hukum (law comparative) untuk mengetahui substansi yang diatur oleh hukum tnenyangkut perkara pelanggaran HAM yang ditangani oleh Kejaksaan, yang diatur dalam Statuta Roma clan jugs subtansi peranan Kejaksaan dalam menangani perkara HAM yang sudah maupun belum di atur

Marisi Sondang Irene : Penanganan Perkara Pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) oleh Kejaksaan, 2005

(3)

dalam Perundang-undangan HAM di Indonesia, dan selanjutnya dilakukan penelitian dan analisis yang bersifat deskriptif

Didalam menindaklanjuti berbagai pelanggaran - pelanggaran terhadap kejahatan kemanusiaan, secara universal bahwa asas non retroaktif (asas bahwa hukum tidak belaku surut) wajib menjadi asas yang fundamental bagi setiap Negara. Asas ini menjadi suatu problem yang cukup dilematis di Indonesia, di dalam menyikapi maraknya pelanggaran HAM di Indonesia, pra maupun pasca diterbitkannya UU HAM di Indonesia. (Kasus Penembakan Mahasiswa Tri Sakti, Timor - Timor, Aceh, Tanjung Priok, dan lain sebagainya). Dalam tatanan hukum Indonesia, Asas non retrokatif diatur Pasal 28i Ayat (1) UUD 1945 (amandemen kedua), asas ini bertolak belakang dengan Penjelasan Pasal 4 kalimat ketiga UU HAM No. 39 Tahun 1999, yang mengatur pengecualian asas hukum non retroaktif, yaitu Pelanggaran HAM yang Berat.

Disamping asas hukum penegakan HAM yang diatur dalam Perundangundangan HAM di Indonesia merupakan problem yang dilematis, Pengaturan HAM dalam Perundang - Undangan HAM di Indonesia juga merupakan problem yang dilematis, dimana masih terdapat kelemahan - kelemahan, seperti : belum adanya diatur Kejahatan Perang dan Kejahatan Agresi, sebagaimana telah diatur dalam Statuta Roma, ke dalam UU No. 39 Tahun 1999 maupun UU No. 26 Tahun 2000. Tidak adanya definisi yang jelas perkataan “Berat” pada Pelanggaran HAM yang berat sebagaimana diatur dalam UU No. 39 Tahun 1999 maupun UU No. 26 Tahun 2000. Perbedaan kriteria pelanggaran HAM yang berat sebagaimana diatur dalam UU No. 39 Tahun 1999, terdapat 6 kriteria pelanggaran HAM yang berat, sedangkan UU No. 26 Tahun 2000 hanya mengatur 2 kriteria pelanggaran HAM yang berat - tidak sinkron.

Pengaturan peran Kejaksaan di dalam menangani Perkara pelanggaran HAM yang berat sudah cukup jelas diatur dalam UU No. 26 Tahun 2000, mulai dari tahap Penyidikan, Penangkapan, Penahanan dan bertindak sebagai Jaksa Penuntut Umum Ad Hoc di Pengadilan HAM Ad Hoc. Peran ini merupakan peran khusus, dimana peran kejaksaan disini sedikit berbeda dengan peran kejaksaan di peradilan umum maupun peradilan koneksitas. Kendala kejaksaan didalam menegakan hukum atas Pelanggaran HAM berat adalah didasarkan pada kelemahan Perundang - udangan HAM di Indonesia sebagaimana telah diuraikan di atas.

Kata Kunci : Kejaksaan

Hak Asasi Manusia (HAM) yang berat Asas Hukum Retroaktif dan Non Retroaktif

*) Mahasiswi Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

(4)

Prosecuting Human Rights Violations Cases by the State Prosecutor

Human Rigths are the rights given by the Almighty without discrimination (they are principle, inherent and universal). Therefore, there is no power may abrogate the rights . Nevertheless, the rights have limitation in their practices.

It is the obligation of the State to promote and protect human rights, in order to avoid exploitation to human beings. As a Rule of Law Country, Indonesia has regulated human rights in Law Nr.39/1999. Those who commit gross violation of human rights shall be brought before the Human Rigths ad hoc Court, as stipulated in Law Nr.26/2000. In the law enforcement, the State provides protection for victims and witnesses that is stipulated in Government Regulation Nr.2/2002 and Government Nr.3/2002 on giving compensation, restitution and rehabilitat on for victims.

Investigations of gross violations of human rights, as stipulated in Law Nr.26/2000, are carried out by the National Commission of human rights and followed by inquiries, detention, prosecution by the State Prosecutor. If the National Commission of Human Rights and the State Prosecutors consider there is sufficient preliminary allegation, the violation case shall be brought before the ad hoc Court. If there is not sufficient preliminary allegation, the State Prosecutor shall return the investigations to the National Commission of Human Rights to review (article 20).

In dealing with crimes against humanity, the principle of non-retroactivity is fundamental for every country. This principles becomes a dilemma to Indonesia, with regard to violation of human rights which occurred before or after human rights legislation (e.g. Tri Sakti, Aceh, Tanjung Priok Cases and others). In Indonesian law system, nonretroactivity is stipulated in Article 28(1) 1945 Constitution (2 nd amendment), this principle is not compatible with the explanation for article 4 third paragraph, Law Nr.39/1999, that exempts non-retroactivity with regard to crimes against humanity.

In addition, Indonesia has not yet introduced War Crimes and Aggression Crimes, as stipulated in Rome Statute into Law Nr.39/1999 as well as Law Nr.26/2000 . the definition of “berat” in gross of human rights is not clearly elaborated. The criteria of gross violation of human rights as stipulated in Law Nr.29/1999 which has 6 (six) criteria and in Law Nr. 26/2000 which has two criteria are not synchronic.

The role of Kejaksaan in dealing with gross violation of human rights is clearly stipulated in Law Nr.26/2000, beginning from inquires, arrerst, and detention. Kejaksaan acts as the Prosecutor in the Human Rights ad hoc. The role of Kejaksaan is distinctive, as its role slightly different from its role in Public Court and Koneksitas Court. The barrier

Marisi Sondang Irene : Penanganan Perkara Pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) oleh Kejaksaan, 2005

(5)

of the Kejaksaan or Prosecutor role in dealing with gross human right violation lies on the insufficient laws in Indonesia as already explain above.

The method of research in writing in this thesis is yuridis normative and law comparison to discourse the substance of the laws related to gross human rights violation which is dealt by Kejaksaan as stipulated in Rome Statute as well as the role of Kejaksaan in dealing with gross violation of Human Rights cases in Indonesian law system. This thesis also uses descriptive analysis in formulating its ideas.

Keywords: Kejaksaan Human Rights

Retoactivity and non-retroactivity principles.

*)Posgraduate student of the Universitas Sumatera Utara

Referensi

Dokumen terkait

Pada intinya medan magnet ditimbulkan karena muatan listrik yang bergerak (pernyataan 1 benar, pernyataan 4 salah).pada sebuah konduktor yang dialiri arus listrik maka

Dari contoh tersebut dapat disimpulkan bahwa tujuan pengendalian sosial tersebut adalah ...A. meningkatkan rating stasiun

Ranah psikomotor yang dinilai terdiri dari tiga aspek yaitu, aspek menirukan (menyesuaikan hasil LDS dengan media), aspek memanipulasi (membuat jawaban pada LDS dengan tepat dan

Penilitian penggunaan APK pada distilasi air energi surya absorber kain memperoleh hasil sebesar 0,47 liter/m2.jam dengan debit aliran air absorber kain 0,6 liter/jam dan debit

At the same time, Bank Indonesia shared that it may maintain the benchmark rate at 7.5%, this would trigger more selling activity as market will start to

Selain itu, putusan hakim yang menjatuhkan putusan bagi terdakwa dengan pidana penjara selama 5 (lima) bulan dan menetapkan pidana tersebut tidak usah dijalani kecuali jika

Perbedaan pengelolaan dan pengembangan antar sektoral di masing-masing provinsi menjadi salah satu alasan yang menimbulkan perbedaan tingkat PDRB per kapita yang

[r]