ANALISIS
KINERJA
KEUANGAN
PEMERINTAH
DAERAH
KABUPATEN/KOTA
SEBELUM
DAN
SETELAH
OTONOMI
DAERAH
TESIS
Oleh
MHD KARYA SATYA AZHAR
077017005/Akt
SEKOLAH
PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
ANALISIS
KINERJA
KEUANGAN
PEMERINTAH
DAERAH
KABUPATEN/KOTA
SEBELUM
DAN
SETELAH
OTONOMI
DAERAH
T E S I S
Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains Dalam Program Studi Ilmu Akuntansi
Pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
MUHAMMAD KARYA SATYA AZHAR
077017005/Akt
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : ANALISIS KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN/KOTA SEBELUM DAN SETELAH OTONOMI DAERAH
Nama Mahasiswa : Muhammad Karya Satya Azhar Nomor Pokok : 0770177005
Program Studi : Akuntansi
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof.Dr. Ade Fatma Lubis, MAFIS, MBA, Ak.) (Erlina, SE, Msi, Phd, Ak.)
Ketua Anggota
Ketua Program Studi Direktur
(Prof.Dr.Ade Fatma Lubis,MAFIS,MBA,Ak) (Prof.Dr.Ir.T.Chairun Nisa B,M.Sc)
Telah Diuji pada
Tanggal: 27 Juni 2008
PANITIA PENGUJI TESIS :
Ketua : Prof.Dr. Ade Fatma Lubis, MAFIS, MBA, Ak.
Anggota : 1. Erlina, SE, Msi, Phd, Ak.
2. Dra. Sri Mulyani, MBA, Ak.
3. Drs. Rasdianto, MSi, Ak.
ABSTRAK
Implementasi otonomi daerah sebagai format kebijakan bidang pemerintahan diharapkan mampu memecahkan krisis keuangan pemerintah pusat. Sebelum era otonomi daerah diberlakukan, sumber daya keuangan pemerintahan lokal ataupun daerah tergantung pada kemampuan keuangan pusat yang dialokasikan dalam wujud tunjangan dan bantuan-bantuan keuangan untuk daerah guna membiayai pengembangan dan jabatan dalam pemerintahan daerah. Otonomi daerah bertanggung jawab dan luas diarahkan untuk memberi penyisihan dana untuk pemerintahan daerah guna mengembangkan dan mengatur daerah mereka sendiri. Dengan otonomi daerah, diharapkan pemerintahan daerah harus lebih bebas dalammengelola keuangan mereka sendiri dan lebih efisien lagi di dalam mengatur sumber daya keuangan mereka sendiri.
Studi empiris ini diarahkan untuk memperoleh bukti-bukti dari perbedaan yang significant dalam pencapaian kinerja keuangan pemerintahan daerah setelah otonomi diberlakukan/diterapkan. Menggunakan sample penelitian pada pemerintahan daerah di dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara, dan metode statistic untuk sample yang dipasangkan (Paired T-Test).
Hasil-hasil secara umum menunjukkan keberadaan perbedaan-perbedaan penting dalam pencapaian kinerja keuangan sebelum dan setelah otonomi. Kinerja keuangan yang diukur lewat desentralisasi fiskal, upaya fiskal, dan tingkat kemampuan pembiayaan memiliki perbedaan-perbedaan, namun untuk tingkat efisiensi penggunaan anggaran tidak memiliki perbedaan yang signifikan.
ABSTRACT
The implementation of the regional autonomy as a form of the governmental policy is expected to be able to solve the financial crisis of the central governments. Before the regional autonomy has been implemented, the financial resources of the regional or local governments depended on the ability of the central finance which was allocated in the form of subsidy and the financial aids for regional for financing the development and public services. The extensive and responsible regional autonomy is aimed to give the allowance to the regional governments to develop and manage their own region. By regional autonomy, the regional governments should be more independent on their own finance and more efficient in managing their own financial resources.
This study is empirical which is aimed to obtain the proof of significant diffence on the financial performance of the regional governments after autonomy compated to before autonomy. Using the sample of the research on the regional government in Nanggroe Aceh Darussalam and North Sumatera, and the different statistical method for the paired sample (Paired T-Test).
The results generally show the existences of the significant differences on the financial performance before and after autonomy. Financial performance which measured passing fiscal decentralization, fiscal effort, and level of ability of defrayal have differences, but for level of efficiencies of usage of budgets don't have difference which signifikan.
KATA PENGANTAR
Dengan penuh rasa syukur kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah serta bimbingan-Nya selama mengikuti perkuliahan dan
menyelesaikan tesis ini, yang berjudul ”Analisis Pengaruh Faktor-Faktor
Fundamental Terhadap Harga Saham Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar di
Bursa Efek Jakarta”. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan berbagai pihak tidak
mungkin tesis dapat terselesaikan. Untuk ini perkenankan penulis menyampaikan rasa
terima kasih yang tulus kepada :
1. Bapak Prof.Chairuddin P.Lubis, DTM&H, SpA(K), selaku Rektor Universitas
Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada kami untuk
mengikuti dan menyelesaikan pendidikan program magister.
2. Ibu Prof.Dr.Ir.T.Chairun Nisa B, M.Sc dan Prof.Dr.Ir. Rahim Matondang selaku
direktur dan pembantu direktur 1 sekolah pasca sarjana Universitas Sumatera
Utara, atas kesempatan kami menjadi mahasiswa program magister akuntansi
pada sekolah pasca sarjana Universitas Sumatera Utara.
3. Ibu Prof.Dr.Ade Fatma Lubis, MAFIS, MBA, Ak selaku ketua program studi
Magister Ekonomi Akuntansi Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Sumatera Utara
atas kesempatan kami untuk menyelesaikan pendidikan program magister
akuntansi.
4. Ibu Prof.Dr.Ade Fatma Lubis, MAFIS, MBA, Ak dan Ibu Erlina, SE, M.Si, Phd,
Ak selaku pembimbing yang telah memberikan perhatian dan dorongan melalui
bimbingan dan saran dalam penyelesaian tesis ini.
5. Ibu Dra. Sri Mulyani, MBA, Ak. ,Bapak Drs.Rasdianto, M.Si, Ak, dan Bapak
Drs. Zainal Bahri Torong, MSi, Ak. selaku dosen penguji. Terima kasih atas saran
dan masukannya atas kesempurnaan Tesis ini.
7. Sembah sujud penulis kepada Ibunda tercinta Siti Hasanah, yang selalu
memberikan semangat kepada penulis, dan Ayahanda tercinta Azhar Maksum,
yang terus mendukung untuk menyelesaikan studi. Doa dan kasih sayang penulis
selalu untuk ayah dan ibu.
8. Adik – adikku yang tercinta Kiki, Deni, Dedek dan Dara, terima kasih atas
bantuannya pada kakanda.
9. Adinda Raisa yang tersayang terima kasih atas dukungan, bantuan dan
pengertiannya selama ini kepada kakanda.
10.Terima kasih juga kepada staf administrasi Sekolah Pascasarjana : Bang Ari,
Kak Dori, Kak Yuli, Bang Dedi dan teman – teman seangkatan di Sekolah
Pascasarjana Ilmu Akuntansi Universitas Sumatera Utara.
11.Rekan – rekanku di Kantor Akuntan Publik Pak Pasti, Pak Zikri, Ivan, Jarot, Sri
dan teman – teman lainnya yang pada kesempatan ini tidak dapat penulis
cantumkan namanya satu persatu.
Penulis menyadari bahwa dengan keterbatasan pengetahuan penulis, maka hasil
penelitian ini masih perlu disempurnakan. Karena itu dengan segala kerendahan
hati penulis memohon segala kritik dan saran demi perbaikan hasil penelitian ini.
Terima kasih.
Medan, 27 Juni 2008
Penulis,
Mhd.Karya Satya Azhar
RIWAYAT HIDUP
1. NAMA : MUHAMMAD KARYA SATYA AZHAR
2. TEMPAT / TGL LAHIR : MEDAN/17 AGUSTUS 1983
3. PEKERJAAN : AUDITOR KANTOR AKUNTAN PUBLIK
4. AGAMA : ISLAM
5. ORANG TUA :
a. AYAH : PROF.DR.AZHAR MAKSUM, SE, MEc, Acc
b. IBU : SITI HASANAH
6. ALAMAT : JL. KARYA BAKTI NO.109-A LINGK.VII
KEL.PANGKALAN MASYHUR KEC.MEDAN
JOHOR MEDAN
7. PENDIDIKAN :
a. SD : SD AL-AZHAR MEDAN
b. SMP : MTs. AR-RAUDHATUL HASANAH
c. SMA : SMU KEMALA BHAYANGKARI I MEDAN
d. S1 : UNIVERSITAS GADJAH MADA
e. PROFESI : PENDIDIKAN PROFESI AKUNTAN USU
f. S2 : UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR TABEL
Nomor Judul
Halaman
2.1 Parameter Kinerja ... 25
2.2 Daftar Peneliti Terdahulu... 31
3.1 Variable Penelitian ... 36
4.1 Hasil Perhitungan Ratio Rata-rata / Periode ... 40
4.2 Deskriptif Statistik ... 41
4.3 Uji Normalitas Kolmogorov-Smirnov untuk Desentralisasi Fiskal ... 43
4.4 Uji Normalitas Kolmogorov-Smirnov untuk Upaya Fiskal ... 43
4.5 Uji Normalitas Kolmogorov-Smirnov untuk Kemandirian Pembiayaan. 44
4.6 Uji Normalitas Kolmogorov-Smirnov untuk Efisiensi Penggunaan Anggaran ... 44
4.7 Hasil Pengujian Dengan Paired T-Test ... 45
4.8 Kesimpulan atas Uji Hipotesis ... 46
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
2.1 Penyelesaian Persoalan Publik ... 12
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1. Sampel Penelitian ... 64
2. Rasio Desentralisasi Fiskal Dua Periode Penelitian ... 65
3. Rasio Upaya Fiskal Dua Periode Penelitian ... 66
4. Rasio Kemampuan Pembiayaan Dua Periode Penelitian ... 67
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada awal tahun 1996 dan mencapai
puncaknya pada tahun 1997 mendorong keinginan kuat dari pemerintah pusat untuk
melepaskan sebahagian wewenang pengelolaan keuangan kepada daerah dan
diharapkan daerah dapat membiayai kegiatan pembangunan dan pelayanan
masyarakat atas dasar kemampuan keuangan sendiri. Dengan kata lain, penurunan
penerimaan negara secara simultan telah mendorong timbulnya inisiatif pemberian
status otonomi kepada daerah otonom sebagaimana yang telah diatur dalam UU
Nomor 5 tahun 1974 sebagai sebutan bagi Pemerintahan Provinsi/Kabupaten Kota di
era sebelum otonomi daerah.
Untuk merealisasikan keinginan desentralisasi guna mengurangi ketergantungan
daerah kepada pemerintahan pusat, maka melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999 tentang otonomi daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sampai
dengan UU No.24 Tahun 2005, Pemerintahan Republik Indonesia secara resmi
memberlakukan status otonomi daerah kepada daerah otonom dan mencabut UU
Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Kebijakan
desentralisasi yang tertuang dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan
pemerintahan daerah yang demokratis yang pada gilirannya akan meningkatkan
kesejahteraan rakyat secara keseluruhan.
Secara sempit, otonomi daerah berarti terjadinya pengelolaan keuangan daerah
yang lebih baik dengan pemenuhan azas akuntabilitas dan transparansi. Penggunaan
dana publik sangat menuntut adanya pengelolaan dana daerah yang
bertanggungjawab. Optimalisasi pengelolaan dana publik diartikan bahwa daerah
dituntut menggali sumber-sumber pendapatan daerah dan mengunakan sumber daerah
tersebut dengan memenuhi aspek efisiensi dan efektifitas.
Adapun yang menjadi tujuan dari pengembangan otonomi daerah adalah
pemberdayaan masyarakat, mandiri dalam pembiayaan pembangunan dan
meningkatkan peran serta masyarakat serta peningkatan pelayanan terhadap
masyarakat. Selain itu bahwa otonomi daerah hadir tidak terlepas dari adanya
beberapa kelemahan sistem sentralisasi kewenangan yang diatur dalam UU Nomor 5
Tahun 1974. Kelemahan yang signifikan tersebut antara lain tidak tercapainya sistem
pembiayaan yang adil dan merata kepada daerah-daerah, terdapat perbedaan yang
tinggi dalam kondisi dan kemampuan keuangan antar daerah dan mengurangi inisiatif
daerah dalam pengembangan potensi sumber daya alamnya.
Mengkaji masalah desentralisasi tidak bisa terlepas dari masalah sentralisasi
dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik. Menurut
Miewald dan Pamudji “Sentralisasi dan desentralisasi di dalam proses
penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik, pada dasarnya
unit-unit bawahan memiliki wewenang dan tanggung jawab di dalam proses pengambilan
keputusan” (Widodo, 2001). Menurut Pide “Desentralisasi pada dasarnya adalah
pelimpahan atau penyerahan kekuasaan atau wewenang di bidang tertentu secara
vertikal dari sebuah institusi/lembaga/fungsionaris sehingga yang
diserahi/dilimpahkan kekuasaan atau wewenang tersebut itu berhak bertindak atas
nama sendiri dan atas urusan tertentu tersebut” (Widodo, 2000).
Otonomi daerah sebagai suatu kebijakan publik dari pemerintahan pusat dalam
bentuk regulasi bukanlah suatu cara yang menjamin adanya peningkatan kemampuan
pembiayaan daerah dan tingkat desentralisasi fiscal serta menjamin adanya
kehematan dalam pengelolaan belanja bila regulasi yang dikeluarkan tidak secara
tegas dan transparan mampu mengatur seluruh aspek pengelolaan keuangan.
Otonomi diartikan pula sebagai suatu sistem di mana bagian-bagian tugas negara
diserahkan penyelenggaraannya kepada organ mandiri. Organ mandiri ini wajib atau
berwewenang melakukan tugasnya atas inisiatif dan kebijakan sendiri. Ciri yang
penting bagi organ yang di desentralisasi ialah, mempunyai sumber-sumber keuangan
sendiri untuk membiayai pelaksanaan tugasnya. Menurut The Liang Gie “Otonomi
Daerah adalah pelimpahan wewenang dari pemerintahan pusat kepada satuan-satuan
organisasi pemerintahan untuk menyelenggarakan segenap kepentingan setempat dari
sekelompok penduduk yang mendiami suatu wilayah” (Widodo, 2001). Satuan
organisasi berikut wilayahnya disebut “daerah otonom”, wewenang untuk
menyelenggarakan segenap kepentingan setempat tersebut berikut kewajiban, tugas
diartikan pula sebagai pemerintahan sendiri, atau hak atau pula kekuasaan untuk
memerintah sendiri.
Bergulirnya otonomi daerah yang dimulai dengan lahirnya UU Nomor 22 Tahun
1999 tentunya membawa konsekuensi terhadap pembiayaan daerah. Dengan
diberlakukannya otonomi daerah maka terdapat dua aspek kinerja keuangan yang
dituntut agar lebih baik dibanding dengan era sebelum otonomi daerah. Aspek
pertama adalah bahwa daerah diberi kewenangan mengurus pembiayaan daerah
dengan kekuatan utama pada kemampuan pendapatan asli daerah (desentralisasi
fiscal). Aspek kedua yaitu di sisi manajemen pengeluaran daerah, bahwa pengelolaan
keuangan daerah harus lebih akuntabel dan transparan tentunya menuntut daerah agar
lebih efisien dan efektif dalam pengeluaran daerah. Kedua aspek tersebut dapat juga
disebut sebagai financing reform.
Financing Reform merupakan bagian integral dari reformasi pengelolaan
keuangan daerah. Reformasi ini dilaksanakan melalui regulasi/ketentuan/instrumen
keuangan daerah. Instrumen yang mengatur penerimaan daerah adalah UU Nomor 34
Tahun 2000 tentang Pajak dan Retribusi Daerah yang diikuti dengan peraturan
pelaksana berupa Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 65 dan PP Nomor 66 Tahun
2001. Dibidang pengeluaran daerah, telah dikeluarkan PP Nomor 105, PP Nomor
106, PP Nomor 107, PP Nomor 108 dan PP Nomor 109 serta Keputusan Menteri
Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002.
Reformasi pengelolaan keuangan daerah sendiri diawali dengan adanya tuntutan
pemerintahan yang baik, diperlukan reformasi kelembagaan dan reformasi
manajemen sektor publik. “Reformasi manajemen sektor publik harus dan sangat
ditentukan oleh reformasi di bidang pengelolaan keuangan daerah” (Mardiasmo,
2002). Reformasi pengelolaan keuangan daerah meliputi :
a)Financing Reform
b)Budget Reform
c)Accounting Reform
d)Audit Reform
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk meneliti dan mengambil
judul “Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Sebelum
Dan Setelah Otonomi Daerah” dengan maksud untuk melanjutkan penelitian
sebelumnya melalui pengembangan parameter/tolok ukur kinerja keuangan tidak
hanya di bidang penerimaan/pendapatan daerah tetapi juga dibidang pengeluaran.
Penelitian ini merupakan replika dari tulisan yang pernah dibuat oleh saudara Eriadi,
namun penulis mencoba mengembangkannya dengan memperluas sampel dan
menambah alat ukur kinerja keuangannya.
2. Batasan Penelitian
1. Batasan Waktu
Penelitian ini mengambil batasan periode waktu Tahun Anggaran 1998/1999
s/d Tahun Anggaran 2005 kecuali tahun anggaran 2000 karena dianggap pada
dimulai pada tahun anggaran 1998/1999 karena dianggap bahwa periode tersebut
merupakan titik awal perubahan periode sebelum dilaksanakannya otonomi
daerah. Penetapan batasan akhir waktu penelitian pada tahun anggaran 2005
karena dianggap bahwa periode tersebut merupakan periode setelah
diberlakukannya otonomi daerah dan dilaksanakan diberbagai instrumen
pengelolaan keuangan daerah di bidang pendapatan maupun pengeluaran
menggantikan ketentuan sebelumnya sesuai azas otonomi daerah. Tahun
Anggaran 2000 tidak dijadikan sampel mengingat pada periode anggaran tersebut
dianggap sebagai masa peralihan dari non otonomi ke arah otonomi daerah.
2. Batasan Daerah
Daerah penelitian mencakup Pemerintahan Kabupaten/Kota di wilayah
Sumatera Bagian Utara yang meliputi Pemerintahan Kabupaten/Kota di Nangroe
Aceh Darussalam dan Sumatera Utara.
3. Batasan Aspek
Bidang kajian dalam penelitian ini seluruhnya terkait dengan manajemen
keuangan khususnya keuangan sektor publik dengan penekanan pada analisis
perbandingan kinerja keuangan pemerintah daerah setelah diberlakukannya
otonomi daerah dan hasilnya dibandingkan dengan kinerja keuangan pemerintah
daerah sebelum otonomi dengan mempertimbangakan aspek perubahan regulasi
keuangan daerah. Kinerja keuangan pemerintah daerah dalam penelitian ini
memuat indikator /rasio keuangan sektor publik. Rasio keuangan tersebut akan
kemampuan pengelolaan pengeluaran (Belanja Daerah) yang ditetapkan
berdasarkan ketentuan/perundangan yang berlaku dan hasil penelitian
sebelumnya. Rasio keuangan dimaksud diambil dari unsur laporan keuangan dan
pertanggungjawaban keuangan yaitu berupa Laporan Realisasi Anggaran
(Perhitungan APBD).
4. Batasan Lain
Merupakan batasan yang bersifat teknis yakni menyangkut waktu, biaya dan
tenaga. Penelitian ini hanya menggunakan data sekunder yang bersifat kuantitatif
dalam melakukan analisis.
3. Perumusan Masalah
Dari penelitian ini akan diformulasikan beberapa masalah antara lain sebagai
berikut :
1) Apakah terdapat perbedaan antara kinerja keuangan pemerintahan daerah
dalam bentuk desentralisasi fiscal sebelum otonomi daerah dibandingkan
setelah otonomi daerah?
2) Apakah terdapat perbedaan antara kinerja keuangan pemerintahan daerah
dalam bentuk upaya fiskal antara periode sebelum otonomi daerah
dibandingkan setelah otonomi daerah?
3) Apakah terdapat perbedaan antara kinerja keuangan pemerintahan daerah
dalam bentuk kemampuan pembiayaan antara periode sebelum otonomi
4) Apakah terdapat perbedaan antara kinerja keuangan pemerintahan daerah
dalam bentuk kinerja pengeluaran (efisiensi penggunaan anggaran) antara
periode sebelum otonomi daerah dibandingkan setelah otonomi daerah?
4. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh :
1) Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan antara kinerja keuangan
pemerintahan daerah dalam bentuk desentralisasi fiscal sebelum otonomi
daerah dibandingkan setelah otonomi daerah.
2) Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan antara kinerja keuangan
pemerintahan daerah dalam bentuk upaya fiskal antara periode sebelum
otonomi daerah dibandingkan setelah otonomi daerah.
3) Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan antara kinerja keuangan
pemerintahan daerah dalam bentuk kemampuan pembiayaan antara periode
sebelum otonomi daerah dibandingkan setelah otonomi daerah.
4) Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan antara kinerja keuangan
pemerintahan daerah dalam bentuk kinerja pengeluaran (efisiensi
penggunaan anggaran) antara periode sebelum otonomi daerah dibandingkan
5. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan untuk diperoleh dari hasil penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1. Memberikan informasi data empiris mengenai ada tidaknya perbedaan antara
kinerja keuangan pemerintahan daerah sebelum dan setelah otonomi daerah.
2. Memberikan informasi kepada publik sebagai wujud akuntabilitas
penggelolaan dana publik oleh pemerintahan daerah di era otonomi daerah.
3. Memberikan sumbangan wawasan terhadap penelitian akuntansi yang
berhubungan dengan kinerja keuangan sektor publik.
4. Bagi penulis, penelitian ini merupakan pelatihan intelektual yang diharapkan
mampu meningkatkan pemahaman terkait dengan akuntansi sektor publik
dewasa ini.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
1. Tinjauan Pustaka
1.1 Teori Otonomi Daerah
Otonomi daerah secara umum diartikan sebagai pemberian kewenangan
oleh pemerintahan pusat kepada pemerintahan daerah untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Dalam UU No 22 Tahun 1999 sebagai titik awal pelaksanaan otonomi
daerah maka Pemerintahan Pusat menyerahkan sebagian kewenangan kepada
Pemerintahan Provinsi dan Kabupaten Kota untuk mengambil tanggung jawab
yang lebih besar dalam pelayanan umum kepada masyarakat setempat. Untuk
menjamin proses desentralisasi berlangsung dan berkesinambungan, pada
prinsipnya acuan dasar dari otonomi daerah telah diwujudkan melalui
diberlakukannya UU No 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 25 Tahun 1999 serta
regulasi pelaksanaan berupa Peraturan Pemerintah No 104 sampai dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 110 Tahun 2000 yang berlaku efektif 1 Januari
2001.
Hal yang mendasar dalam UU ini adalah adanya kebijakan publik yang
kuat untuk mendorong pemberdayaan masyarakat, pengembangan prakarsa,
dan kreativitas, peningkatan peran serta masyarakat dan peningkatan
undang-undang ini sudah sangat baik. Tetapi apakah ia dapat mewujudkan
pemerintahan daerah otonom yang efesien, efektif, transparan dan akuntabel.
Hasil yang diinginkan terkait dengan ketaatan penerapan dan kesesuaian isi
pokok-pokok aturan dengan kondisi daerah otonom lain yaitu:
1. Di Bidang Pendapatan, UU No 34 Tahun 2000 tentang Pajak dan
Retribusi Daerah sebagai pengganti UU No 18 Tahun 1997 (sebelum
otonomi) sekaligus dengan PP No 65 dan 66 Tahun 2000 sebagai
peraturan pelaksana apakah mampu mendorong daerah mengoptimalkan
semua potensi dan memberi kewenangan lebih luas bagi daerah untuk
meningkatkan Pendapatan Asli Daerah;
2. Di Bidang Belanja, Peraturan Pemerintahan No 104 s.d 110 merupakan
regulasi pengelolaan belanja daerah. Apakah regulasi ini sebagai peraturan
pelaksana mampu meningkatkan kinerja keuangan daerah dalam bentuk
pencapaian efisiensi dan efektifitas belanja daerah.
Chandler dan Pleno berpendapat bahwa “Kebijakan publik adalah
pemanfaatan yang strategis terhadap sumber daya yang ada untuk memecahkan
masalah-masalah publik atau pemerintahan” (Tangkilisan, 2003).
Anderson menyatakan bahwa :
“Kebijakan publik sebagai kebijakan yang dibangun oleh badan dan pejabat pemerintahan dimana implikasi dari kebijakan tersebut adalah:
1. Kebijakan publik selalu memiliki tujuan tertentu atau mempunyai tindakan yang berorientasi pada tujuan;
2. Kebijakan publik berisi tindakan-tindakan pemerintah;
4. Kebijakan publik yang diambil dapat bersifat positif dalam arti merupakan tindakan pemerintah mengenai segala sesuatu masalah tertentu atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pemerintahan untuk tidak melakukan sesuatu;
5. Kebijakan pemerintah setidak-tidaknya dalam arti yang positif didasarkan pada peraturan perundangan yang bersifat mengikat dan memaksa” (Tangkilisan, 2003).
Dunn mengemukakan bahwa terdapat lima tahapan penyelesaian
persoalan publik yang dapat digambarkan sebagai berikut (Tangkilisan, 2003):
Policy Setting
Policy Formulation
Policy Adoption
Policy Implementation
Policy Assesment
Gambar 2.1. penyelesaian Persoalan Publik
Reformasi pembiayaan melalui perubahan regulasi merupakan salah
satu bentuk kebijakan publik dalam upaya mengganti pendekatan manajemen
pendapatan dan belanja melalui pengaturan kembali ketentuan yang ada dalam
pengelolaan biaya. Berdasarkan definisi Anderson “Penerapan reformasi
pengelolaan sumberdaya melalui penetapan peraturan (regulasi) dengan tujuan
agar pengelolaan pendapatan dan belanja daerah oleh pemerintahan daerah
lebih baik dari sebelumnya”( Tangkilisan, 2003).
Menurut Patton dan Sawicki bahwa “Tahap implementasi berkaitan dengan berbagai kegiatan yang diarahkan untuk merealisasikan program, dimana pada posisi ini ekskutif (pemerintahan daerah) mengatur cara-cara untuk menerapkan kebijakan (dalam bentuk regulasi) sehingga mampu mengatur secara efektif dan efisien sumber daya, unit-unit teknis dan prosedur yang dapat mendukung pelaksanaan program”( Tangkilisan, 2003).
Jadi tahap implementasi merupakan peristiwa yang berhubungan
dengan apa yang terjadi setelah perundangan ditetapkan dengan memberikan
otoritas pada suatu kebijakan dengan membentuk output yang jelas dan dapat
diukur.
Perubahan paradigma pembiayaan APBD oleh Pemerintahan melalui
regulasi sesungguhnya memiliki keterkaitan dengan beberapa teori dan
penelitian tentang pengelolaan biaya yang hampir relevan dengan apa yang
dimaksud reformasi pembiayaan adalah apa yang dikemukakan oleh Ronald W.
Hilton. Pengelolaan Biaya (cost management) mencakup dua aspek, pertama
adalah bahwa secara filosofi pengelolaan biaya adalah suatu pengembangan
organisasi karena secara terus menerus memberikan dan menawarkan ide bagi
organisasi untuk menemukan cara pengambilan keputusan yang benar untuk
meningkatkan pelanggan dan mengurangi biaya. Aspek kedua yaitu bahwa
secara sikap atau kebijakan, pengelolaan biaya harus seluruhnya dihasilkan dari
khususnya di daerah, maka pengelolaan biaya yang paling relevan adalah
menghasilkan aturan/kebijakan tertulis melalui suatu regulasi di bidang
penerimaan atau regulasi di bidang pengeluaran. Melalui otonomi daerah
diharapkan daerah akan lebih mandiri dalam menentukan seluruh kegiatan.
Pemerintahan daerah diharapkan mampu memainkan peranan dalam membuka
peluang memajukan daerah dengan menumbuh kembangkan seluruh potensi
sumber pendapatan daerah dan mampu menetapkan belanja daerah secara
wajar, efisien dan efektif termasuk kemampuan perangkat daerah
meningkatkan kinerja.
Secara umum ada lima aspek yang dipersiapkan dalam pengaturan
perubahan otonomi daerah yaitu:
1. Pengaturan Kewenangan;
2. Pengaturan Kelembagaan;
3. Pengaturan Personil;
4. Pengaturan Asset dan Dokumen;
5. Pengaturan Keuangan.
Dalam penulisan ini, aspek pengaturan kewenangan terutama terhadap
pengelolaan belanja daerah dan pendapatan daerah serta pengaturan keuangan
terutama pengaturan pajak dan retribusi daerah serta pengaturan dana
perimbangan sebagai kekuatan utama otonomi daerah adalah lingkup kajian
1.2Gambaran Pengelolaan Keuangan Era sebelum Otonomi Daerah
Sejak Repelita I Tahun 1967 sampai dengan pertengahan Repelita IV
Tahun 1999, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah di Indonesia disusun
menurut tahun anggaran yang dimulai pada tanggal 1 April dan berakhir 31
Maret tahun berikutnya. Bentuk dan susunan APBD yang ada sama dengan
bentuk dan susunan APBN hanya saja sebutan untuk pos-pos pendapatan dan
belanja berbeda.
Menurut UU Nomor 5 Tahun 1974, sumber pembiayaan daerah sangat
didominasi oleh bantuan keuangan dari pemerintahan pusat. Bantuan keuangan
dimaksud dapat dibagi dalam dua kategori yaitu pendapatan yang diserahkan
kepada pemerintahan daerah dan subsidi kepada pemerintahan daerah. Dalam
pasal 55 Undang-Undang tersebut disebutkan tentang sumber pendapatan
daerah otonom yaitu:
1. Pendapatan Asli Daerah Sendiri (PADS) yang terdiri dari beberapa pos
pendapatan yaitu pajak daerah, retribusi daerah, bagian laba usaha daerah
dan lain-lain pendapatan yang sah;
2. Pendapatan yang berasal dari pemberian pemerintahan pusat yang terdiri
dari sumbangan pemerintahan pusat serta subsidi rutin dan pembangunan.
Istilah subsidi daerah otonom sebagai bagian dari bantuan pemerintahan
pusat terus mengalami perubahan istilah disesuaikan dengan sasaran
pemberian bantuan. Terakhir sebelum otonomi daerah digunakan istilah
3. Lain-lain penerimaan yang sah;
4. Penerimaan pembangunan sebagai komponen penerimaan yang bersumber
dari pinjaman yang dilakukan pemerintahan daerah;
5. Dana sektoral, jenis dana ini tidak termuat dalam APBD namun masih
merupakan jenis penerimaan daerah dalam bentuk bantuan dari
pemerintahan pusat untuk membantu pembangunan sarana dan prasarana
yang pelaksanaannya dilakukan oleh dinas provinsi.
Dari uraian diatas, diketahui bahwa sebelum adanya Undang-Undang
Otonomi Daerah yang ditandai dengan hadirnya UU Nomor 22 dan 25 Tahun
1999, ternyata sistem penatausahaan pembiayaan daerah sudah menerapkan
konsep perimbangan keuangan antara pemerintahan pusat dan daerah tetapi
belum didasarkan pada konstribusi setiap daerah dalam hal pendapatan yang
diperoleh dari sumber daya alam yang dieksploitasi.
Di sisi pengeluaran daerah, pengaturan belanja diatur melalui Peraturan
Pemerintahan Nomor 5 Tahun 1975 dan Nomor 6 Tahun 1975 dan Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1994 Jo. Tahun 1996 yang mengatur
tentang tata cara penyusunan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah. Beberapa karakteristik pengelolaan belanja
daerah di era sebelum otonomi daerah dengan alat pengatur berupa regulasi
tersebut diatas, dapat dikemukakan sebagai berikut:
a. Pengeluaran rutin terdiri dari belanja pegawai, belanja barang dan jasa,
sumbangan dan bantuan, pengeluaran tidak termasuk bagian lain serta
pengeluaran tidak tersangka;
b. Belanja pembangunan merupakan belanja yang dialokasikan untuk
membiayai pekerjaan baik fisik maupun non fisik;
c. Dalam jenis belanja rutin berupa belanja barang/jasa, belanja
pemeliharaan dan perjalanan dinas terdiri dari sub jenis pengeluaran yang
tertera dengan sistem digit. Namun dalam pelaksanaannya, setiap jenis
belanja tersebut memiliki digit penutup dengan sebutan pengeluaran
lain-lain yang tidak jelas pemanfaatan dan pertanggungjawabannya seperti
belanja barang lain, pemeliharaan lain dan perjalanan dinas
lain-lain;
d. Masih dalam komposisi belanja rutin, terdapat belanja dengan sebutan
pengeluaran tidak termasuk bagian lain dan pengeluaran tidak tersangka
yang tidak jelas tujuan penggunaan dan pertanggungjawabannya. Prosedur
pencairan pengeluaran ini ditentukan oleh kebijakan Kepala Daerah
masing-masing;
e. Pembiayaan belanja rutin didanai dari kemampuan PAD, dan belanja
pembangunan didanai dari subsidi pemerintahan pusat;
f. Belanja pembangunan terdiri dari pekerjaan fisik dan non fisik. Dan
terhadap pekerjaan non fisik, sangat sulit diukur tingkat manfaat dan
pencapaian sasaran serta pertanggungjawabannya seringkali tidak
1.3. Gambaran Pengelolaan Keuangan Era setelah Otonomi Daerah
A. Reformasi Pengelolaan Keuangan Daerah
Salah satu aspek dari pemerintahan daerah yang harus diatur adalah
masalah pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Dalam upaya
pemberdayaan pemerintahan daerah, maka perspektif perubahan yang
diinginkan dalam pengelolaan keuangan daerah di masa otonomi daerah dan
anggaran daerah adalah:
a. Pengelolaan keuangan daerah harus bertumpu pada kepentingan publik,
hal ini tidak saja terlihat dari besarnya porsi penganggaran untuk
kepentingan publik, tetapi pada besarnya partisipasi masyarakat dalam
perencanaan pelaksanaan dan pengawasan keuangan daerah;
b. Kejelasan tentang misi pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah
pada khususnya;
c. Desentralisasi pengelolaan keuangan dan kejelasan peran serta partisipasi
yang terkait dengan pengelolaan anggaran seperti DPRD, Kepala Daerah,
Sekretariat Daerah dan Perangkat Daerah Lainnya;
d. Kerangka hukum dan administrasi bagi pembiayaan, investasi dan
pengelolaan uang daerah berdasarkan kaidah mekanisme pasar;
e. Kejelasan aturan tentang pengeluaran operasional lain-lain yang tidak
jelas akuntabilitas;
f. Prinsip anggaran dan kejelasan larangan pengaturan alokasi anggaran
B. Public Financing Reform
Hadirnya otonomi daerah yang dimulai dengan hadirnya UU Nomor
22 Tahun 1999 tentunya membawa konsekuensi terhadap pembiayaan daerah.
Sebelum era otonomi daerah, hampir sebagian besar pemerintahan provinsi,
Kabupaten dan Kota se-Indonesia memperoleh sumber-sumber pendapatan
yang berasal dari bagi hasil Pemerintahan Pusat. Dengan otonomi terdapat dua
aspek kinerja keuangan yang dituntut agar lebih baik dibanding dengan era
sebelum otonomi daerah. Aspek pertama adalah bahwa daerah diberi
kewenangan mengurus pembiayaan daerah dengan kekuatan utama pada
kemampuan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Kehadiran UU Nomor 34 Tahun
2000 tentang Pendapatan Pajak dan Retribusi Daerah serta peraturan
pelaksanaannya adalah momentum dimulainya pengelolaan sumber-sumber
pendapatan daerah secara penuh (desentralisasi fiskal). Aspek kedua yaitu
disisi manajemen pengeluaran daerah, sesuai azas otonomi daerah bahwa
pengelolaan keuangan daerah harus lebih akuntabel dan transparan tentunya
menuntut daerah agar lebih efisien dan efektif dalam pengeluaran daerah.
Kedua aspek tersebut dapat disebut sebagai Reformasi Pembiayaan
(Mardiasmo, 2002)
Reformasi manajemen sektor publik terkait dengan perlunya digunakan
model manajemen pemerintahan yang baru yang sesuai dengan tuntutan
perkembangan jaman, karena perubahan ini tidak hanya perubahan paradigma,
misalnya adalah New Public Management yang mulai dikenal tahun 1980-an
dan populer tahun 1990-an yang mengalami beberapa bentuk konsep
“manageralism”, “market based public administrator”, dan lain sebagainya.
Manajemen sektor publik berorientasi kinerja, bukan berorientasi pada
kebijakan yang membawa konsekuensi pada perubahan pendekatan anggaran
yang selama ini dikenal dengan pendekatan anggaran tradisional (traditional
budget) menjadi penganggaran berbasis kinerja (performance budget), tuntutan
melakukan efisiensi, optimalisasi pendapatan, pemangkasan biaya (cost
cutting) dan kompetisi tender (compulsory competitive tendering contract)
C. Struktur Keuangan Daerah
Dimulai sejak Tahun Anggaran 2001 sampai saat ini, Pendapatan dan
Belanja Daerah di Indonesia disusun menurut tahun anggaran yang dimulai
pada tanggal 1 Januari dan berakhir 31 Desember. Bentuk dan susunan APBD
yang ada berbeda dengan susunan APBD dalam era sebelum otonomi daerah.
Akan tetapi perubahan komposisi dan struktur APBD tidak merubah maksud
dari unsur APBD itu sama sekali.
Di bidang Penerimaan Daerah, menurut UU Nomor 25 Tahun 1999 dan
UU Nomor 34 Tahun 2000, sumber penerimaan daerah yaitu:
a. Pendapatan Asli Daerah yang terdiri dari beberapa pos pendapatan
yaitu pajak daerah, retribusi daerah, bagian laba usaha daerah dan
b. Dana perimbangan antara Pemerintahan Pusat dan Daerah yang
mencakup Pendapatan Bagi Hasil Pajak Bukan Pajak, Dana Alokasi
Umum dan Dana Alokasi Khusus;
c. Pinjaman Daerah dan Bagian Sisa Perhitungan APBD Tahun Lalu
yang dahulu merupakan bagian komponen Penerimaan Daerah maka
dalam regulasi di era otonom hal tersebut bukan merupakan bagian
Penerimaan Daerah melainkan bagian dari Pembiayaan Daerah;
d. Lain-lain penerimaan yang sah;
e. Besarnya Dana Perimbangan sangat ditentukan dari potensi sumber
daya alam hasil pertambangan dan hasil hutan lainnya;
f. Pendapatan Asli Daerah berupa pajak pemanfaatan air permukaan
dan air bawah tanah yang semula merupakan penerimaan daerah
tingkat II maka setelah otonomi daerah, pajak ini diserahkan kembali
kepada tingkat I.
Disisi pengeluaran daerah, pengaturan belanja diatur melalui Peraturan
Pemerintahan Nomor 105 s.d PP Nomor 110 Tahun 2000 yang mengatur
tentang tata cara penyusunan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah termasuk kedudukan keuangan Kepala Daerah
dan DPRD. Beberapa karakteristik pengelolaan belanja daerah di era setelah
otonomi daerah dengan alat pengatur berupa regulasi tersebut di atas, dapat
1. Pengeluaran rutin terdiri dari belanja administrasi umum, dan belanja
operasi pemeliharaan.
2. Belanja pembangunan merupakan belanja yang dialokasikan untuk
membiayai pekerjaan fisik dan disebut sebagai bahan modal;
3. Selain belanja dimaksud terdapat belanja bagi hasil dan bantuan
keuangan yang terbentuk dari pengeluaran tidak termasuk bagian lain
dan bantuan keuangan (sebelum otonomi daerah) serta pengeluaran tidak
tersangka dengan istilah dan maksud yang sama seperti sebelum otonomi
daerah.
4. Pembiayaan belanja rutin didanai dari kemampuan PAD, dan belanja
pembangunan didanai dari Dana Perimbangan/Bagi hasil pajak dan
bukan pajak.
1.4. Regulasi Keuangan Daerah dan Kaitan terhadap Kinerja Penerimaan
Daerah
Dalam pembahasan ini, lingkup dari regulasi pengelolaan penerimaan
daerah mencakup UU Nomor 34 Tahun 2000 sebagai pengganti UU No 18
Tahun 1997 dan Peraturan Pelaksana berupa PP No 65 dan 66 Tahun 2001
serta UU No 25 Tahun 1999.
Secara umum, maksud regulasi tersebut disusun/ditetapkan dan
dilaksanakan adalah:
1. Agar terjadi peningkatan penerimaan daerah yang bersumber dari
pembagian Sumber Daya Alam yang lebih adil sesuai potensi daerah dan
mengurangi upaya monopoli pusat terhadap pembagian sumber daya alam
daerah menyebabkan lahirnya UU 22 Tahun 1999 yang diikuti dengan UU
No 25 Tahun 1999;
2. Jumlah pendapatan yang dianggarkan dalam APBD merupakan perkiraan
yang terukur secara rasional yang dapat dicapai untuk setiap sumber
pendapatan. Penerimaan daerah adalah semua komponen pendapatan
menurut struktur APBD yang terdiri dari pendapatan asli daerah, dana
perimbangan dan lain-lain penerimaan daerah yang sah. Bahwa besarnya
target yang akan dicapai merupakan hasil analisa dan kajian yang
mendalam dari setiap potensi pajak dan retribusi dengan memperhatikan
tingkat kemampuan pembiayaan dalam pengelolaan pendapatan dimaksud
serta kesiapan perangkat daerah yang mengelola pendapatan (upaya
fiskal);
3. Desentralisasi fiskal sebagai wujud dari hadirnya regulasi tadi nantinya
diharapkan akan lebih menumbuhkembangkan penerimaan daerah;
4. UU Nomor 34 Tahun 2000 sebagai pengganti UU No 18 Tahun 1997
tentang pajak dan retribusi daerah, menghendaki pelaksanaan otonomi
daerah yang seluas-luasnya dan dijabarkan dalam konteks kemampuan
untuk menggali, mengelola dan mengalokasikan serta
mempertanggungjawabkan secara sungguh-sungguh semua sumber daya
5. Penyerahan kembali beberapa jenis pajak yang pernah menjadi komponen
pendapatan kabupaten/kota saat UU No 18 Tahun 1997 berlaku dan belum
diganti dengan UU No 34 Tahun 2000, akan mendorong Pemerintahan
Kabupaten/Kota untuk menggali Potensi Pendapatan Asli Daerah
menutupi penyerahan beberapa pajak daerah yang diserahkan ke Provinsi.
Di samping itu, hadirnya regulasi tadi akan berimplikasi terutama
terhadap kinerja di bidang keuangan daerah. Berikut diuraikan beberapa
pengaturan dalam otonomi daerah yang terkait dengan peningkatan kinerja
keuangan dan dapat dilihat pada tabel 1. Parameter Kinerja:
1.5. Kinerja Keuangan Pemerintahan Daerah
Kinerja (Performance) dapat diartikan sebagai aktivitas terukur dari
suatu entitas selama periode tertentu sebagai bagian dari ukuran keberhasilan
pekerjaan.
Performance Measurement atau pengukuran kinerja menurut kamus
yang sama diartikan sebagai suatu indikator keuangan atau non keuangan dari
suatu pekerjaan yang dilaksanakan atau hasil yang dicapai dari suatu aktivitas,
Tabel 2.1. Parameter Kinerja
No Parameter kinerja
Pokok-pokok aturan keuangan daerah setelah otonomi daerah
1 Desentrali sasi fiscal
a.Pengaturan adanya tambahan penerimaan daerah dari PPh orang pribadi kepada Daerah lebih memperbesar peluang bertambahnya penerimaan daerah;
b.Adanya kenaikan persentase dan penetapan batasan terendah atas Penerimaan Bagi Hasil Pajak yang merupakan hak Kabupaten/Kota yang dikelola Provinsi;
c.Besarnya Dana Alokasi Umum sebagai bagian dari Dana Perimbangan yang diterima daerah ditentukan dengan memperhatikan potensi daerah seperti PAD, PBB, dan BPHTB.
2 Upaya Fiskal
Ketegasan cakupan wilayah objek pajak yang dapat membantu pemda dalam menentukan potensi riil penerimaan pajak dan menghindari sengketa objek pajak dengan pemda lainnya.
3 Kemampu an
Pembiaya an
a.Undang-undang 34 Tahun 2000 mendukung eksitensi Pendapatan Asli Daerah sebagai sumber pendapatan daerah yang bersumber dari wilayah daerah sendiri dan dipungut di daerah sendiri;
b.Pengertian wajib pajak badan dalam UU ini lebih luas dari sekedar yang diatur sebelumnya termasuk organisasi massa dan organisasi sosial politik akan memperbesar penggalian potensi penerimaan pajak bagi pemerintahan daerah;
c.Peralihan sebagian jenis parkir dari retribusi menjadi pajak sehingga penetapan lebih jelas;
d.Jasa dalam retribusi daerah merupakan kewenangan Daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi;
e.Retribusi dapat dipungut secara efektif dan efisien, serta merupakan salah satu sumber pendapatan Daerah yang potensial;
f. Perizinan dalam retribusi termasuk kewenangan yang diserahkan kepada Daerah dalam rangka asas desentralisasi. 4 Efisiensi
Pengguna an
Anggaran
a. Jumlah belanja daerah yang dianggarkan dalam APBD merupakan batas tertinggi untuk setiap jenis belanja.
b.Daerah dapat membentuk dana cadangan dari penerimaan daerah, kecuali dana alokasi khusus dan pinjaman daerah. c. Pemda dapat menempatkan dana dalam bentuk deposito
Dalam penelitian ini, istilah yang penulis maksudkan tentang Kinerja
Keuangan Pemerintahan Daerah adalah tingkat pencapaian dari suatu hasil
kerja di bidang keuangan daerah yang meliputi penerimaan dan belanja daerah
dengan menggunakan indikator keuangan yang ditetapkan melalui suatu
kebijakan atau ketentuan perundang-undangan selama satu periode anggaran.
Bentuk dari pengukuran kinerja tersebut berupa rasio keuangan yang terbentuk
dari unsur laporan pertanggungjawaban Kepala Daerah berupa perhitungan
APBD.
Pengukuran kinerja yang digunakan secara umum oleh perusahaan yang
berorientasi pada pencapaian laba antara lain melalui penetapan rasio
keuangan. Rasio yang dimaksud dalam laporan keuangan adalah suatu angka
yang menunjukkan hubungan antara suatu unsur dengan unsur lainnya. Suatu
rasio tersebut diperbandingkan dengan rasio perusahaan lainnya yang sejenis,
sehingga adanya perbandingan ini maka perusahaan tersebut dapat
mengevaluasi situasi perusahaan dan kinerjanya.
Helfert (1991) memahami rasio keuangan sebagai instrumen analisis
prestasi perusahaan yang menjelaskan berbagai hubungan dan indikator
keuangan yang ditujukan untuk menunjukkan perubahan dalam kondisi
keuangan atau prestasi operasi di masa lalu dan membantu menggambarkan
trend pola perubahan tersebut untuk menunjukkan risiko dan peluang yang
analisis rasio keuangan meskipun didasarkan pada data dan kondisi masa lalu
tetapi dimaksudkan untuk menilai risiko dan peluang dimasa yang akan datang.
Rasio keuangan digunakan analis kredit untuk menilai kemampuan
perusahaan perusahaan dalam melunasi utang-utangnya, sedangkan analis
manajemen menggunakannya untuk mengukur tingkat profitabilitasnya.
Laporan keuangan merupakan pertanggungjawaban manajemen atas
sumber daya yang dipercayakan kepadanya kepada para pemilik perusahaan
atas kinerja yang telah dicapainya serta merupakan laporan akuntansi utama
yang mengkomunikasikan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan
dalam membuat analisa ekonomi dan peramalan untuk masa yang akan datang.
Pihak yang memerlukan informasi keuangan perusahaan bukan hanya
manajer keuangan saja. Disamping manajer keuangan (pihak intern
perusahaan), beberapa perusahaan juga perlu mengetahui kondisi keuangan
perusahaan. Pihak-pihak tersebut diantaranya adalah para (calon) pemodal, dan
kreditur. Kepentingan mereka mungkin berbeda-beda, mereka mengharapkan
untuk memperoleh informasi dari laporan keuangan perusahaan.
Menurut Henderson, Dale. A and W Chase, Bruce Performance
Measure for NPOs (Not for Profit Organizations) dalam Journal of Accounting
Januari, 2002 mengemukakan terdapat indikator pengukuran kinerja organisasi
non profit antara lain:
a. Customer focused
c. Timely
d. Cost Effective
e. Compatible and Comparable
Indikator kinerja juga dikemukakan oleh Mardiasmo, 2002, bahwa
sekurang-kurangnya ada empat tolok ukur penilaian kinerja keuangan
pemerintahan daerah yaitu:
a. Penyimpangan antara realisasi anggaran dengan target yang ditetapkan
dalam APBD.
b. Efisiensi biaya
c. Efektivitas program
d. Pemerataan dan keadilan.
Selain menggunakan parameter rasio keuangan pemerintahan daerah
dari hasil penelitian terdahulu, analisis Kinerja keuangan pemerintahan daerah
dalam penelitian ini juga memakai analisa kinerja keuangan yang telah
dikembangkan dan dibangun oleh Musgrave, Richard A dan B. Musgrave,
Peggy dalam bukunya “Public Finance in Theory and Practise”. (Hadiprojo,
Ekonomi Publik hal. 155) Namun dalam penerapannya, parameter disesuaikan
dengan komponen dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yaitu:
1. Derajat desentralisasi fiskal antara pemerintahan pusat dan daerah yang
diukur dengan menggunakan dua rasio keuangan sebagai berikut:
Total Pendapatan Asli Daerah PAD
Pendapatan Asli Daerah merupakan penerimaan yang berasal dari
hasil pajak daerah, retribusi daerah, perusahaan milik daerah dan
pengelolaan kekayaan milik daerah serta lain-lain pendapatan yang sah.
Total Penerimaan Daerah merupakan jumlah dari seluruh
penerimaan dalam satu tahun anggaran adalah:
Bagi Hasil Pajak/Bukan Pajak BPHPB
Total Penerimaan Daerah TPD
Bagi Hasil Pajak merupakan pajak yang dialokasikan oleh
Pemerintahan Pusat untuk kemudian didistribusikan antara pusat dan
daerah otonomi.
2. Upaya fiskal antara lain adalah:
Total Anggaran Pendapatan Asli Daerah merupakan target besarnya
pajak daerah yang ingin dicapai dalam satu tahun anggaran dan ditetapkan
berdasarkan kemampuan rasional yang dapat dicapai.
3. Kemandirian/kemampuan pembiayaan antara lain adalah:
Total Pendapatan Asli Daerah (PAD) PAD
Total Belanja Rutin Non Belanja Pegawai BRNP
Belanja Rutin Non Belanja Pegawai merupakan pengeluaran daerah
dalam rangka pelaksnaan tugas pokok pelayanan masyarakat yang terdiri
dari belanja barang, pemeliharaan, perjalanan dinas, pengeluaran tidak
termasuk bagian lain dan pengeluaran tidak tersangka serta belanja
Total Pajak Derah (TPjD) TPjD
Total Pendapatan Asli Daerah PAD
Pajak daerah merupakan iuran wajib yang dilakukan orang pribadi,
atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang yang
dapat dilaksanakan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku dan
digunakan untuk pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan daerah.
4. Efisiensi penggunaan anggaran (kinerja pengeluaran) adalah:
Total Sisa Anggaran TSA
Total Belanja Daerah TBD
Sisa anggaran (Sisa Perhitugan Anggaran) merupakan selisih lebih
antara penerimaan daerah atas belanja yang dikeluarkan dalam satu tahun
anggarn ditambah selisih lebih transaksi pembiayaan penerimaan dan
pengeluaran, yaitu:
Total Pengeluaran Lainnya TPL
Total Belanja Daerah TBD
Pengeluaran lainnya merupakan pengeluaran yang berasal dari
pengeluaran tidak termasuk bagian lain ditambah dengan pengeluaran tidak
tersangka yang direalisasikan dalam satu tahun anggaran.
Total belanja daerah merupakan jumlah keseluruhan pengeluaran
2. Tinjauan Peneliti Terdahulu
Terkait dengan bidang penelitian yang akan dilakukan, penulis bertitik tolak dari
beberapa penelitian terdahulu khususnya penelitian yang berkenaan dengan kinerja
keuangan pemerintahan daerah di Indonesia, diantaranya:
Tabel 2.2. Daftar Peneliti Terdahulu
No Judul Penelitian dan Nama Peneliti
Variabel yang digunakan Hasil Penelitian
1 Analisis deskriptif pengaruh pajak bahwa kemampuan penggalian pajak daerah benar-benar mempengaruhi APBD daerah tersebut. Ini dapat dibuktikan dari adanya beberapa pergeseran (kenaikan atau penurunan) dari komponen penerimaan dan pengeluaran APBD. Sebagai dampak dari ketidakpastian anggaran pendapatan karena fiscal
stress (tekanan keuangan) maka
tingkat kesiapan pemerintahan 2 Pengaruh tingkat
3 analisis pengaruh fiscal stress
fiscal stress dengan kinerja
3. Kerangka Konseptual
Sebelum Otonomi Setelah Otonomi
Beda
Hipotesis dalam penelitian kuantitatif dikembangkan dari telaahan teoritis
sebagai jawaban sementara dari masalah atau pertanyaan yang memerlukan pengujian
secara empiris. Hipotesis yang dikembangkan dalam penelitian ini, adalah:
1) Terdapat perbedaan antara kinerja keuangan pemerintahan daerah dalam
bentuk desentralisasi fiskal sebelum dan setelah otonomi daerah.
2) Terdapat perbedaan antara kinerja keuangan pemerintahan daerah dalam
bentuk upaya fiskal sebelum dan setelah otonomi daerah.
3) Terdapat perbedaan antara kinerja keuangan pemerintahan daerah dalam
4) Terdapat perbedaan antara kinerja keuangan pemerintahan daerah dalam
bentuk efisiensi penggunaan anggaran sebelum dan setelah otonomi
BAB III
METODE PENELITIAN
1. Rancangan Penelitian
Penelitian akan dilakukan dengan cara melakukan uji banding atas laporan
keuangan kabupaten/kota yang didapat dari laporan realisasi anggaran. Laporan yang
diperbandingkan adalah laporan sejak tahun anggaran 1998/1999 sampai dengan
tahun anggaran 2005. dari laporan keuangan kabupaten/kota ini diambil beberapa
ratio yang dianggap cukup memadai dalam menilai kinerja keuangan kabupaten/kota
tersebut. Ratio inilah yang dijadikan sebagai alat ukur kinerja keuangan dan
diperbandingkan guna mendapatkan hasil apakah terdapat perbedaan kinerja sebelum
dan sesudah otonomi. Ratio tersebut antaranya :
1. Ratio Desentralisasi Fiskal
2. Ratio Upaya Fiskal
3. Ratio Tingkat Kemandirian Pembiayaan
4. Rasio Efisiensi Penggunaan Anggaran
Setelah mendapatkan hasil dari uji banding ratio ini, maka dilakukan
perbandingan dengan beberapa faktor pendukung maupun tidak pendukung terjadinya
otonomi daerah, seperti faktor ekonomi, politik dan lain sebagainya. Hal ini
dilakukan guna menguatkan hasil uji banding atas ratio tersebut, atau dengan kata lain
2. Populasi dan Sampel
Populasi penelitian ini adalah pemerintah kabupaten/kota di wilayah Nangroe
Aceh Darussalam dan Sumatera Utara dengan menggunakan metode pengumpulan
data secara Purposive Sampling, yaitu untuk memperoleh sampel yang memenuhi
kriteria tertentu dibutuhkan karakteristik sampling dimana diperlukan suatu karakter
tertentu yakni kabupaten/kota yang sudah ada sejak otonomi belum diberlakukan.
Sekian banyak jumlah populasi Pemerintah Kabupaten/Kota yakni terdapat 43
kabupaten/kota baik di Nangroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara, hanya
terdapat 27 daerah yang memenuhi persyaratan untuk dilakukan uji beda.
Data tentang Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
pemerintah kabupaten/kota sebagai dasar perhitungan kinerja keuangan untuk periode
sebelum dan sesudah otonomi daerah berasal dari Laporan Pertanggungjawaban
(LPJ) Kepala Daerah setiap tahun yang ditetapkan melalui Peraturan Daerah dan data
tersebut diperoleh dari Laporan Keuangan Daerah yang dikeluarkan oleh Direktorat
Jenderal Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah (DJPKPD).
Periode Realisasi APBD yang menjadi pengamatan penelitian ini adalah periode
sebelum otonomi (Tahun 1998/1999 dan Tahun 1999/2000) dan setelah otonomi
daerah (Tahun 2001 s/d Tahun 2005).
3. Variabel Penelitian
Bertitik tolak pada jenis penelitian untuk menganalisis perbandingan kinerja dua
maka variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah kinerja keuangan
pemerintah daerah yang mencakup beberapa parameter berupa rasio menurut
Musgrave dan Abdul Halim yaitu:
Tabel 3.1. Variabel Penelitian
No Variabel Penelitian Definisi Operasional Pengukuran
A Desentralisasi Fiskal Ukuran yang menunjukkan tingkat kewenangan dan tanggung jawab yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam menggali dan mengelola pendapatan
B Upaya Fiskal Ukuran yang menunjukkan tingkat kemampuan daerah dalam mencapai target pendapatan asli daerah seberapa jauh penerimaan yang berasal dari daerah dalam memenuhi kebutuhan daerahnya
D Rasio Efisiensi Penggunaan Anggaran
Ukuran yang menunjukkan tingkat efisiensi dari setiap penggunaan uang daerah dalam membangun daerahnya
b. TPD : Total Penerimaan Daerah c. BHPBP : Bagi Hasil Pajak/Bukan Pajak d. SUM : Sumbangan Dari Pemerintahan Pusat e. TAPAD : Total Anggaran Pendapatan Asli Daerah f. TKD : Total Pengeluaran Daerah
g. KR : Pengeluaran Rutin h. TSA : Total Sisa Anggaran
i. TBD : Total Belanja Daerah j. TPL : Total Pengeluaran Lainnya
4. Jenis Data dan Sumber Data
Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa Laporan Keuangan Daerah
atau dengan nama lain Perhitungan APBD. Data dan informasi keuangan tersebut
diperoleh dari Hasil Laporan Periodik Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Pusat dan Daerah (DJPKPD).
Struktur data dan informasi keuangan yang disajikan untuk periode sebelum dan
sesudah otonomi daerah oleh PJPKPD masih sama walaupun komponen pembentuk
struktur APBD setelah otonomi daerah telah berganti nama. Hal ini memungkinkan
dilakukan uji beda terhadap kinerja keuangan daerah.
5. Analisis Data
Data penelitian ini sebelum dilakukan uji statistik terhadap hipotesis terlebih
dahulu akan dilakukan analisis normalitas data yang bertujuan untuk menentukan
metode alat uji hasil penelitian. Analisis ini diperlukan untuk mengetahui apakah data
penelitian mempunyai distribusi normal atau tidak. Analisis normalitas ini diperlukan
mendeteksi normalitas data pada penelitian ini akan digunakan uji nonparametric
yaitu Kolmogorov-Smirnov. Beberapa kemungkinan pilihan alat uji statistik atas hasil
penelitian setelah dilakukan uji normalitas adalah :
a. Bila hasil pengujian normalitas data menghasilkan suatu penyebaran yang
normal dari rasio-rasio keuangan maka terhadap rasio tersebut digunakan uji
beda Paired Sample T Test.
b. Namun bila hasil pengujian normalitas data menghasilkan suatu penyebaran
yang tidak normal dari rasio-rasio keuangan maka terhadap rasio tersebut
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Hasil Penelitian
1.1. Perkembangan Populasi dan Sample Penelitian
Hasil pengumpulan data dari populasi, ditemukan ada kendala yakni ,
adanya beberapa kabupaten kota hasil pemekaran, sehingga dipandang tidak layak
dijadikan sampel, yang dijadikan sampel pada penelitian ini adalah
kabupaten/kota yang telah ada sebelum dan setelah otonomi diberlakukan.
Wilayah Nangroe Aceh Darussalam dan Sumut hanya terdapat 27 kabupaten/kota
yang dapat dijadikan sampel penelitian dari 43 kabupaten/kota, ini dapat dilihat
pada lampiran 1 sampel penelitian.
1.2. Deskripsi Hasil Penelitian
Setelah ditemukan sample penelitian yakni 27 pemerintahan kabupaten /
kota sewilayah Aceh dan Sumatera Utara, selanjutnya seluruh populasi
diklasifikasikan ke dalam periode sebelum dan periode setelah otonomi daerah.
Karena data penelitian sudah dipisahkan antara periode sebelum dan setelah
otonomi daerah, maka langkah selanjutnya hanya melakukan perhitungan
rasio-rasio tiap sample untuk tiap periode penelitian yang dijadikan cakupan penelitian.
Hasil perhitungan rasio-rasio pada dua periode penelitian dapat dilihat pada tabel
Tabel 4.1. Hasil Perhitungan Rasio Rata-Rata / Periode
Jenis Kinerja No Rumus Ratio Sebelum Otonomi
Setelah Otonomi
Desentralisasi Fiskal 1 PAD/TPD 0.0690 0.0318
2 BHPBP/TPD 0.1214 0.5715
3 SUM/TPD 0.6223 0.0632
Upaya Fiskal 4 PAD/TAPAD 0.6410 0.3295
Kemandirian Pembiayaan 5 PAD/TKD 0.0808 0.0307
6 PAD/KR 0.1334 0.2088
7 (PAD+BHPBP)/ TKD
0.2116 0.6137
Efisiensi Penggunaan Anggaran
8 TSA/TBD 0.0820 0.2715
9 TPL/TBD 0.7296 6.8061
Menurut data yang diperoleh diatas untuk sementara secara rata-rata
dapat disimpulkan bahwasanya terdapat perbedaan kinerja, namun tidak dapat
diketahui apakah perbedaan tersebut significant atau tidak. Perbedaan kinerja
tersebut secara rata-rata dapat juga disimpulkan menjadi lebih buruk dari
periode sebelumnya. Ini dapat dilihat rata-rata (mean) daripada setiap ratio,
dimana dari kesembilan tersebut hanya empat ratio yang menunjukkan arah
peningkatan kinerja, selebihnya penurunan. Namun data tersebut belum dapat
menjadi acuan dalam pengambilan keputusan atas hipotesis yang dibuat oleh
peneliti. Berikut adalah tabel deskriptif yang telah diolah dengan
Tabel 4.2. Deskriptif Statistik
No Ratio
Sebelum Otonomi
Minimum Maximum Std. Deviation
1 PAD/TPD .0186 .2339 .0580186
2 BHPBP/TPD .0494 .2187 .0437978
3 SUM/TPD .5134 .7412 .0708946
4 PAD/TAPAD .3165 .9728 .1784389
5 PAD/TKD .0207 .3637 .0843778
6 PAD/KR .0431 .9093 .1682443
7 (PAD+BHPBP)/TKD .0981 .4710 .1009784
8 TSA/TBD .0043 .2972 .0767376
9 TPL/TBD .1579 1.7327 .3681408
Setelah Otonomi
10 PAD/TPD .0057 .1688 .0334638
11 BHPBP/TPD .3598 1.0215 .1547118
12 SUM/TPD .0021 .2232 .0556972
13 PAD/TAPAD .1000 1.3072 .2338899
14 PAD/TKD .0060 .1686 .0312761
15 PAD/KR -4.8409 .9438 1.3810296
16 (PAD+BHPBP)/TKD .3659 .7955 .1439174
17 TSA/TBD -.5513 2.7209 .5509454
18 TPL/TBD -2.4316 4.4934 1.9801584
Dari analisis secara deskriptif diatas dapat dilihat nilai tertinggi dan
standart deviasinya. Data ini mengambarkan kinerja keuangan secara rata-rata
baik dititik tertinggi atau (median) dan terendahnya (modus)
1.3. Hasil Pengujian Hipotesis
Pengujian hipotesis dilakukan dengan pengujian melalui Paired T-Test,
namun sebelum melakukan pengujian peneliti terlebih dahulu memberikan
pengkodean atas variable maupun rasio yang akan diuji. Adapun kode rasio
tersebut antara lain :
a. FDB1 = Rasio Pertama untuk Desentralisasi Fiskal sebelum Otonomi
b. FDB2 = Rasio Kedua untuk Desentralisasi Fiskal sebelum Otonomi
c. FDB3 = Rasio Ketiga untuk Desentralisasi Fiskal sebelum Otonomi
d. FDA1 = Rasio Pertama untuk Desentralisasi Fiskal setelah Otonomi
e. FDA2 = Rasio Kedua untuk Desentralisasi Fiskal setelah Otonomi
f. FDA3 = Rasio Ketiga untuk Desentralisasi Fiskal setelah Otonomi
g. UFB1 = Rasio untuk Upaya Fiskal Sebelum Otonomi
h. UFA1 = Rasio untuk Upaya Fiskal Setelah Otonomi
i. KBB1 = Rasio Pertama untuk Kemampuan Pembiayaan Sebelum Otonomi
j. KBB2 = Rasio Kedua untuk Kemampuan Pembiayaan Sebelum Otonomi
k. KBB3 = Rasio Ketiga untuk Kemampuan Pembiayaan Sebelum Otonomi
l. KBA1 = Rasio Pertama untuk Kemampuan Pembiayaan Setelah Otonomi
m. KBA2 = Rasio Kedua untuk Kemampuan Pembiayaan Setelah Otonomi
n. KBA3 = Rasio Ketiga untuk Kemampuan Pembiayaan Setelah Otonomi
p. EAB2 = Rasio Kedua untuk Efisiensi Anggaran Sebelum Otonomi
q. EAA1 = Rasio Pertama untuk Efisiensi Anggaran Setelah Otonomi
r. EAA2 = Rasio Kedua untuk Efisiensi Anggaran Setelah Otonomi
Setelah dilakukan pengkodean, maka data diatas diuji tingkat
normalitasnya dengan pendekatan Kolmogorov-Smirnov, dan hasilnya adalah
sebagai berikut :
Tabel 4.3. Uji Normalitas Kolmogorov-Smirnov untuk Desentralisasi Fiskal
FDB1 FDB2 FDB3 FDA1 FDA2 FDA3
.069004 .622352 .622352 .031793 .571467 .063148
Std.
Deviatio n
.058018 .070894 .070894 .033463 .15471 .055697
Most
Asymp. Sig. (2-tailed) .009 .972 .865 .109 .460 .025
Tabel 4.4. Uji Normalitas Kolmogorov-Smirnov untuk Upaya Fiskal
UPB1 UPA1
N 27 27
Normal Parameters(a,b) Mean .329507 .641007
Std. Deviation .2338899 .1784389
Kolmogorov-Smirnov Z .351 1.293
Tabel 4.5. Uji Normalitas Kolmogorov-Smirnov untuk Kemampuan Pembiayaan
.080833 .133389 .030670 -2.8101 .613648 .211563
Std.
Deviation .084377 .168244 .031276 1.3810 .143917 .100978
Most
Kolmogorov-Smirnov Z 1.734 1.591 1.246 1.144 .938 1.017
Asymp. Sig. (2-tailed) .005 .013 .090 .146 .342 .252
Tabel 4.6. Uji Normalitas Kolmogorov-Smirnov untuk Efisiensi Anggaran
EAB1 EAB2 EAA1 EAA2
N 27 27 27 27
Normal
Parameters(a,b)
Mean .082007 .271533 -.575001 .729581
Std. Deviation .0767376 .5509454 1.9801584 .3681408
Most Extreme Differences
Absolute .208 .292 .244 .108
Positive .208 .292 .244 .108
Negative -.156 -.207 -.174 -.100
Kolmogorov-Smirnov Z 1.081 .561 1.518 1.270
Asymp. Sig. (2-tailed) .193 .911 .020 .080
Dari uji normalitas ke empat variable yang akan diteliti didapatkan
bahwasanya nilai signifikannya diatas dari 0.005, ini dapat dilihat pada setiap
tabel uji normalitas dengan pendekatan Kolmogorov – Smirnov, dan ini berarti
data dianggap normal secara statistik. Setelah melakukan uji normalitas terhadap
diteliti/normal, maka data tersebut diolah oleh SPSS dengan menggunakan Paired
T-Test, adapun hasilnya adalah sebagai berikut :
Tabel 4.7. Hasil Pengujian Dengan Paired T-Test
Paired Differences
FDA1 .0372111 .0557035 .0151755 .0592467 3.471 26 .002 Pair 2 FDB2 -
FDA2 -.4500704 .1549792 -.5113781 -.3887627
-15.090 26 .000 Pair 3 FDB3 -
FDA3 .5592037 .0856744 .5253120 .5930954 33.916 26 .000 Pair 1 UPB1 -
UPA1 .3115000 .3061377 .1903960 .4326040 5.287 26 .000 Pair 1 KBB1 -
KBA1 .0501630 .0817806 .0178116 .0825143 3.187 26 .004 Pair 2 KBB2 -
KBA22 2.9434919 1.4276159 2.3787458 3.5082379 10.714 26 .000 Pair 3 KBB3 -
KBA3 -.4020852 .1630294 -.4665775 -.3375929
-12.815 26 .000 Pair 1 EAB1 -
EAA1 -.1895259 .5639856 -.4126312 .0335793 -1.746 26 .093 Pair 2 EAB2 -
EAA22 1.3045822 1.8487405 .5732449 2.0359196 -1.618 26 .118
Tabel 4.8. Kesimpulan Atas Uji Hipotesis
Uji t Kode
Rasio
Rumus Rasio Periode Penelitian
Mean Sign T Value
Keputusan Penelitian
FDB1 Sebelum .069004 FDA1
PAD/TPD
Setelah .031793 .002 3.471 Terima H1.1 FDB2 Sebelum .121396
FDA2
BHPBP/ TPD
Setelah .571467 .000 -15.090 Terima H1.2 FDB3 Sebelum .622352
FDA3
SUM/TPD
Setelah .063148 .000 33.916 Terima H1.3 UFB1 Sebelum .641007
UFA1
PAD /
TAPAD Setelah .329507 .000 5.287 Terima H2 KBB1 Sebelum .080833
KBA1
PAD/TKD
Setelah .030670 .004 3.187 Terima H3.1 KBB2 Sebelum .133389
KBA2
PAD/KR
Setelah -2.810103 .000 10.714 Terima H3.2 KBB3 Sebelum .211563
KBA3
(PAD+BHPB
P)/TKD Setelah .613648 .000 -12.815 Terima H3.3 EAB1 Sebelum .082007
EAA1
TSA/TBD
Setelah .271533 .093 -1.746 Tolak H4.1 EAB2 Sebelum .729581
EAA2
TPL/TBD
Setelah -.575001 .118 -1.618 Tolak H4.2
Dari hasil pengujian seluruh rasio kinerja keuangan Pemerintahan
Kabupaten dan Kota pada dua periode yakni sebelum dan setelah otonomi daerah
Tabel 4.9. Kesimpulan Hipotesis
Terdapat perbedaan atas kinerja keuangan Pemerintahan Daerah dalam desentralisasi fiskal yang bersumber dari penurunan rata-rata PAD terhadap penerimaan daerah sebelum dan setelah otonomi daerah.
Terdapat perbedaan atas kinerja keuangan Pemerintahan Daerah dalam desentralisasi fiskal yang bersumber dari kenaikan rata-rata penerimaan pajak dan bukan pajak terhadap penerimaan daerah sebelum dan setelah otonomi.
FDB3 - FDA3 SUM/TPD
.000 Terima H1.3
Terdapat perbedaan atas kinerja keuangan Pemerintahan Daerah dalam desentralisasi fiskal yang bersumber dari penurunan rata-rata sumbangan dari pusat terhadap penerimaan daerah sebelum dan setelah otonomi.
2 UFB1 - UFA1 PAD/TAPA
D
.000 Terima H2 Terdapat perbedaan atas kinerja keuangan Pemerintahan Daerah dalam upaya fiskal yang bersumber dari penurunan rata-rata pendapatan asli daerah terhadap total anggaran PAD sebelum dan setelah otonomi.
Terdapat perbedaan atas kinerja keuangan Pemerintahan Daerah dalam kemampuan pembiayaan yang bersumber dari penurunan rata-rata pendapatan asli daerah terhadap total pengeluaran daerah sebelum dan setelah otonomi.
KBB2 - KBA2
PAD/KR
.482 Terima H3.2