PERBANDINGAN EFIKASI ANTIMALARIA
EKSTRAK HERBA SAMBILOTO
(
ANDROGRAPHIS PANICULATA
NEES)
TUNGGAL DAN KOMBINASI MASING-MASING DENGAN
ARTESUNAT DAN KLOROKUIN PADA PASIEN MALARIA
FALSIPARUM TANPA KOMPLIKASI
DISERTASI
UMAR ZEIN
028102014/KD
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PERBANDINGAN EFIKASI ANTIMALARIA EKSTRAK HERBA
SAMBILOTO (ANDROGRAPHIS PANICULATA NEES) TUNGGAL
DAN KOMBINASI MASING-MASING DENGAN ARTESUNAT DAN KLOROKUIN PADA PASIEN MALARIA FALSIPARUM TANPA
KOMPLIKASI
ABSTRAK
Latar Belakang: Meningkatnya resistensi Plasmodium falciparum terhadap obat antimalaria membutuhkan jenis obat lokal yang terdapat di Indonesia yang mempunyai potensi sebagai antimalaria yang dapat dikembangkan. Herba Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) adalah salah satu dari tanaman obat yang terdapat hampir di seluruh daerah Indonesia. Jenis herbal ini telah digunakan selama beberapa abad untuk berbagai penyakit infeksi di Asia.
Bahan dan Cara: Penelitian in vitro telah dilakukan dengan menggunakan kultur Plasmodium falciparum strain Papua di Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, Malang dengan obat uji klorokuin, artemisinin, ekstrak sambiloto, dan kombinasi ekstrak sambiloto masing-masing dengan klorokuin dan artemisinin. Penelitian klinis juga dilakukan di Kabupaten Mandailing Natal Provinsi Sumatera Utara dengan metode randomized, double-blind control dengan empat kelompok pengobatan terhadap pasien malaria falsiparum dewasa tanpa komplikasi. Kepada pasien diberikan pengobatan dengan ekstrak sambiloto tunggal 250 mg (n = 40) dan sambiloto 500 mg (n = 38) tiga kali sehari selama lima hari serta kombinasi sambiloto 250 mg masing-masing dengan klorokuin 1000 mg hari I dan II dan 500 mg hari III (n = 37) dan artesunat 200 mg perhari selama 3 hari (n = 40). Diamati penurunan parasitemia mulai hari pertama sampai ke tujuh, kemudian hari ke 14, 21, dan 28. Juga dimonitor efek samping obat, pemeriksaan darah rutin dan kimia darah sebelum dan sesudah pengobatan serta pemeriksaan kadar TNF- dan IFN- untuk menilai efek imunomudulasinya.
Hasil: Secara in-vitro efikasi klorokuin dengan efek membunuh parasitnya sudah terlihat pada sel kultur berupa ”crisis form”, yaitu pecahnya sitoplasma Plasmodium falciparum setelah 48 jam pada dosis 0,5 ug/ml, sementara pada kelompok sambiloto, efek membunuhnya baru terlihat pada dosis yang lebih besar (1 ug/ml). Kombinasi sambiloto dengan klorokuin maupun artemisinin, efek membunuhnya tetap terlihat pada dosis 0,5 ug/ml. Efikasi antimalaria sambiloto tunggal 250 mg, 500 mg, kombinasi sambiloto 250 mg masing-masing dengan klorokuin dan artesunat adalah 90,9%, 90,5%, 90,2% dan 95,2% (p>0,3). Kadar TNF- plasma meningkat pada hari ke 7 pengobatan dengan sambiloto 500 mg (p<0,05). Pemberian sambiloto selama lima hari tidak menimbulkan efek samping, fungsi hati dan ginjal serta komponen hematologi lain dalam batas normal pada hari ketujuh (p>0,3).
Kesimpulan: Penelitian in vitro dan in vivo membuktikan bahwa ekstrak sambiloto mempunyai efek antimalaria. Efikasi ekstrak sambiloto 250 mg dan 500 mg adalah sama. Kombinasi sambiloto dengan artesunat menunjukkan efikasi paling tinggi. Ekstrak sambiloto 500 mg mempunyai efek imunomodulasi.
COMPARISON OF ANTIMALARIAL EFFICACY OF HERBAL SAMBILOTO
EXTRACT (ANDROGRAPHIS PANICULATA NEES) AS A SINGLE AND IN
COMBINATION WITH ARTESUNATE AND CHLOROQUIN FOR UNCOMPLICATED FALCIPARUM MALARIA
ABSTRACT
Background: The increase of Plasmodium falciparum resistance to antimalarial drugs compelled us to look for alternative treatment that may be locally available in Indonesia and could posses an antimalarial action and eventually be developed later on. The sambiloto (Andrographis paniculata Nees) is one of the herbals that could be found in all parts of Indonesia. This herbal has been used for infectious diseases in Asia for centuries.
Materials and Methods: An in vitro study was conducted using the Plasmodium falciparum Papua strain culture at Biomedical Laboratory, Faculty of Medicine, Brawijaya University, Malang with trial drugs like chloroquin, artemisinin, sambiloto extract, and combination of sambiloto extract with either chloroquin or artemisinin. A clinical study was also conducted in Mandailing Natal District of North Sumatera Province in randomized, double-blind controlled manner with four groups of treatment regimens in adult falciparum malarial patients without complications. Patients were administered the extract of herbal sambiloto 250 mg (n = 40) or 500 mg (n = 38) monotherapy thrice daily for five days or in combination of sambiloto extract 250 mg with either chloroquin 1.000 mg on day 1 and day 2 and 500 mg on day 3 (n = 37) or artesunate 200 mg daily for three days (n = 40). We also monitored the adverse effects, hematology and blood chemistry and plasma levels of TNF- and IFN- to assess the immunomodulatory actions.
Results: In vitro study of chloroquin showed that the killing effect of parasite by its ”crisis form” in culture cells occurred after 48 hour in a dosage of 0.5 ug/ml. In the sambiloto group the killing effect was seen at a higher dosage (1 ug/ml). The combination of sambiloto and artemisinin has also the killing effect in a dosage of 0.5 ug/ml. The antimalarial efficacy of sambiloto 250 mg or 500 mg, respectively, and the combination of sambiloto 250 mg and chloroquin or artesunate were 90.9%, 90.5%, 90.2% and 95.2%, respectively (p>0.3). The plasma level of TNF- increased on day 7 with sambiloto 500 mg (p<0.05). Sambiloto extract for five days had no adverse effects on liver and kidney functions and on hematological post treatment effect as well (p>0.3).
Conclusions: Sambiloto extract has an antimalarial effect in in vitro and in vivo studies. The efficacy of sambiloto extract 250 mg and 500 mg was equivalent. The combination of sambiloto and artesunate showed the highest efficacy. Sambiloto extract 500 mg had an immunomodulatory action.
DAFTAR ISI
Halaman
UCAPAN TERIMA KASIH ... i
SUMMARY ... vii
RINGKASAN ... ABSTRACT ... ABSTRAK ... DAFTAR ISI ... DAFTAR GAMBAR ... DAFTAR SINGKATAN………. DAFTAR TABEL... DAFTAR LAMPIRAN... BAB 1 : PENDAHULUAN ... . 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 11
1.3. Hipotesis ... 11
1.4. Tujuan Penelitian ... 12
1.5. Manfaat Penelitian ... 12
1.6. Kerangka Konsep Penelitian... 13
BAB 2 : TINJAUAN PUSTAKA ... 16
2.1. Siklus Hidup Parasit Malaria ... 17
2.1.1.Siklus Aseksual ... 17
2.1.2.Siklus Seksual ………... 18
2.2. Prinsip Transmisi Malaria ... 20
2.3. Patobiologi Plasmodium falciparum ... 22
2.5. Tumor Necrozing Factor (TNF) dan Interferron (IFN) ... 24
2.6. Obat Antimalaria ………... ... 26
2.7. Resistensi Terhadap Obat Malaria ... 30
2.8. Mekanisme Terjadinya Resistensi ... 30
2.9. Peranan Tumbuhan Obat di Indonesia ... 34
2.10. Obat Tradisional dan Profesi Dokter ... 35
2.11. Sambiloto ... 38
2.12. Uraian Tumbuhan ……….... 39
2.13. Klasifikasi Tumbuhan ………. 40
2.14. Kandungan Kimia ……… 41
2.15. Penelitian Sambiloto ……… 42
2.16.Farmakokinetik Ekstrak Sambiloto ... 46
BAB 3 : BAHAN DAN CARA PENELITIAN ……… 48
3.1.Desain Penelitian ……… 48
3.2.Waktu dan Tempat Penelitian ……… 48
3.3.Populasi Terjangkau ……… 49
3.4.Kriteria Inklusi ………... 49
3.5.Kriteria Eksklusi ... 49
3.6.Perkiraan Besar Sampel. ... 50
3.7.Cara Kerja ……….. 51
3.8.Penyediaan Sedian Ekstrak Herba Sambiloto Standard………... 54
3.9.Perhitungan Dosis Ekstrak herba sambiloto... 54
3.10. Uji In-vitro ... 54
3.11. Definisi Operasional ... 55
3.12. Kelompok Perlakuan ... 56
3.13. Analisa Data ………. 57
3.13. Keluaran ……… 57
3.15. Persetujuan Komite Etik Penelitian Kesehatan ... 58
BAB 4 : HASIL PENELITIAN ... 59
4.1. Penyediaan Kapsul Sambiloto ... 59
4.1.1.Budidaya Tanaman Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) ... 59
4.1.2. Penyediaan dan Standardisasi Simplisia Sambiloto ... 61
4.1.3. Pembuatan Ekstrak Sambiloto ... 68
4.1.4. Standarisasi Ekstrak Sambiloto (Extractum Andrographidis) ... 70
4.1.5. Pembuatan Sediaan Kapsul Ekstrak Sambiloto ……… 73
4.1.6. Evaluasi Sediaan Kapsul Sambiloto ... 75
4.1.7.Pembuatan Kapsul Klorokuin, Artesunat, dan Plasebo ... 77
4.1.8. Dasar Perhitungan Dosis Kapsul Ekstrak Sambiloto ... 79
4.2. Uji In-vitro ... 79
4.2.1.Persiapan obat... 80
4.2.2.Kultur malaria ... 82
4.3. Hasil Penelitian Uji Klinis ... 90
4.3.1. Daerah Penelitian ……… ….. 90
4.3.2. Rekruitmen Pasien ………. 92
4.3.3. Hasil Pemeriksaan Laboratorium ... 97
4.4.Hasil Pemeriksaan TNF DAN IFN ... 102
4.4.1. Prosedur Pemeriksaan ... 102
4.4.2.Prosedur Kerja Pemeriksaan TNF HS (R&D Systems) ... 104
4.4.3.Prosedur Kerja Pemeriksaan IFN (R&D Systems) ... 106
BAB 5 : PEMBAHASAN ……… 113
5.2. Keamanan Sambiloto ... 113
5.3. Efek Antimalaria ... 117
5.4. Respon Immun Terhadap Malaria ... 120
5.5. Pengamatan Efek Samping ... 125
5.6. Pengamatan Laboratorium ... 126
BAB 6 : KESIMPULAN ... 127
BAB 7 : SARAN ... 128
KEPUSTAKAAN ... 129
DAFTAR GAMBAR
No. Keterangan Gambar Hal.
1. Gambar 1 Keseimbangan Antara Diagnosis Dini dari Malaria, Pengobatan yang Tepat dan Segera, serta Upaya
Mengurangi Kejadian Resistensi Parasit Terhadap Obat
Antimalaria ... 5
2. Gambar 2 Kerangka Konsep Penelitian ... 15
3. Gambar 3 Skema Siklus Hidup Plasmodium ... ... 19
4. Gambar 4 Tanaman Obat Sambiloto ... 39
5. Gambar 5 Rumus Kimia Andrografolid dan Neoandrografolid .... 42
6. Gambar 6 Struktur Kimia dari Beberapa Komponen yang dapat Diisiolasi dari akar Andrographis paniculata ... 45
7. Gambar 7 Empat Fraksi Andrografolid yang mempunyai efek Skizontosida ... 45
8. Gambar 8 Daun Herba Sambiloto ... 62
9. Gambar 9 Serbuk Herba Sambiloto ... 62
10. Gambar 10 Mikroskopik Serbuk Herba Sambiloto ... 62
11. Gambar 11 Bagan Pembuatan Ekstrak Serbuk Simplisia Herba Sambiloto secara Perkolasi :... 69
12. Gambar 12 HasilKromatografi Lapis Tipis Crude Ekstrak ………. 72
13. Gambar 13 : Granul Kapsul Andrographidis ... 73
14. Gambar 14 : Kapsul Sambiloto … ... 77
15. Gambar 15 : Skema Pembuatan Larutan Obat Uji In-vitro ... 80
16. Gambar 16 : Alur Penelitian In-vitro ... 87
18. Gambar 18 : Skema Pembagian Obat Uji Klinik Tersamar Ganda ... 94
19. Gambar 19 : Penurunan Jumlah Parasit P.falciparum pada 4
Kelompok Uji Pengobatan ...` 100
20. Gambar 20 : Alur Pengambilan Darah Pasien untuk Pemeriksaan
TNF- dan IFN- ... 103
21. Gambar 21 : Proses menyiapkan larutan standard untuk pemeriksaan
TNF- ... 104
22. Gambar 22 : Proses menyiapkan larutan standard untuk pemeriksaan
DAFTAR TABEL
No. Judul Halaman
1. Jenis Obat Antimalaria, Mekanisme Kerja dan Cara Pemakaian ... 27
2. Keluaran Penelitian ………. 55
3. Daftar Urut Kegiatan ………..……… 55
4. Data Standarisasi Serbuk Simplisia ... 65
5. Data Penyimpangan Bobot Kapsul ... 73
6. Data Uji Waktu Hancur ... 73
7. Preparasi Working Solution ... 77
8. Kultur Malaria ... 80
9. Penurunan Kepadatan Parasit P.falciparum dengan Peningkatan Dosis Obat Uji ... 83
10. Frekwensi Jenis Penyakit Infeksi di Kabupaten Madina ... 87
11. Jenis Kelamin dan Umur pada Kelompok Penelitian ... 91
12. Keluhan Utama Pasien ... 91
13. Berat Badan rata-rata pada masing-masing Kelompok Uji ... 92
14. Parameter Laboratorium pada Hari ke 0 dan Hari ke 7 Pengobatan ... 93
15. Rata-rata Penurunan Kepadatan Parasit dari H0 – H28 pada Masing-masing Kelompok Uji Pengobatan ………..….. 95
16. Efikasi Masing-masing Kelompok Uji Pengobatan ... 96
17. Perbandingan Efikasi antara Kelompok ES 250 dengan ES 500 …….. 96
18. Perbandingan Efikasi antara Kelompok ES+K dengan ES+A ………… 96
20. Perbandingan mean kadar TNF- sebelum pengobatan dan pada hari ke 7
pengobatan pada masing-masing kelompok uji Pengobatan ... ... 105
21.Kadar IFN- pada Kelompok Uji Pengobatan ………. 106
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Untuk pertahanan menghadapi serbuan Inggeris, Daendels membangun benteng
untuk mengawasi perairan Selat Sunda. Tetapi pembangunan benteng tersebut gagal
total. Baik para pekerja paksa pribumi, serdadu infanteri maupun kesatuan-kesatuan
artileri disapu habis oleh malaria (Ananta Toer, 2005).
Malaria merupakan penyakit infeksi menular yang masih menjadi masalah
kesehatan masyarakat di Indonesia dan di negara tropis dan subtropis di dunia sampai
saat ini. Di wilayah Indonesia yang tergolong tropis, malaria merupakan penyakit yang
cukup banyak penderitanya. Penyakit menular ini disebabkan oleh protozoa yang
bernama Plasmodium, yang ditularkan melalui gigitan nyamuk jenis tertentu. Jenis
nyamuk yang sering menularkannya adalah nyamuk Anopheles. Bila penyebabnya
Plasmodium vivax, penyakitnya disebut malaria tertiana. Malaria ini ditandai dengan
munculnya demam hingga tiga hari sekali. Plasmodium. malariae menyebabkan malaria
kuartana yang ditandai dengan demam muncul tiap empat hari. Sedangkan,
Plasmodium. falciparum mengakibatkan malaria falsiparum. Jenis malaria terakhir ini
paling serius, bahkan bisa berakhir dengan kematian. Disamping itu, gejala yang
ditimbulkannya dapat menurunkan produktivitas penderitanya. Penyakit ini ditandai
dengan gejala-gejala dingin/menggigil, demam, berkeringat (“trias malaria”), sakit
mencapai 40oC. Jenis keadaan yang berat dikenal dengan nama malaria tropika, yaitu
malaria falsiparum dengan komplikasi.
Malaria import saat ini menjadi problem baru di seluruh dunia karena
meningkatnya mobilitas international travelers dan menjadi ancaman bagi traveler
yang mengunjungi daerah endemik malaria. (Zein, dkk., 2002).
Beberapa daerah endemik malaria di Indonesia, seperti di Kabupaten Mandailing
Natal (Madina) Provinsi Sumatera Utara, angka morbiditas dan mortalitas malaria,
terutama malaria falsiparum masih cukup tinggi. Akibat dari perpindahan penduduk dan
arus transportasi yang cepat, penderita malaria bisa ditemukan di daerah yang tidak ada
penularan malaria, tidak jarang ditemukan penderita malaria sampai meninggal dunia
karena tidak pasti diagnosisnya, terlambat didiagnosis atau salah pengobatan (Zein dkk.,
2003). Di Kota Medan, selama kurun waktu tahun 2000 – 2001 ditemukan 155 kasus
malaria di 5 Rumah Sakit dengan jenis parasit Plasmodium falciparum dan Plasmodim
vivax (Zein, dkk., 2001). Sementara itu obat-obat anti malaria konvensional seperti
klorokuin, pirimetamin-sulfadoksin, dan kina yang masih banyak digunakan masyarakat
menunjukkan efektivitasnya sudah mulai menurun. Sedangkan penemuan obat-obat
baru antimalaria alternatif di Indonesia sampai saat ini masih sangat terbatas. Penelitian
efek antimalaria dari bahan tanaman obat masih terbatas pada uji in-vitro di
laboratorium atau uji in-vivo pada hewan coba.
Diagnosis dini dan pengobatan segera merupakan salah satu dari prinsip strategi
global dalam mengendalikan malaria. Hasil guna dari intervensi ini sangat tergantung
pada obat antimalaria yang digunakan, tidak hanya aman dan efektif, tetapi juga mudah
yang berisiko menderita penyakitnya (acceptable). Penggunaan yang rasional dan
efektif dari obat antimalaria tidak hanya mengurangi risiko penyakit menjadi berat dan
kematian, tetapi juga memperpendek masa sakit, dan menghambat perkembangan
resistensi parasit malaria terhadap obat antimalaria yang digunakan. Cepatnya
penyebaran resistensi terhadap obat antimalaria yang konvensional merupakan
tantangan yang serius dalam strategi mengendalikan penyakit malaria (WHO, 2001).
Demikian juga halnya di Indonesia, resistensi plasmodium terhadap obat antimalaria
merupakan masalah serius dan kendala dalam pemberantasan penyakit malaria, dimana
klorokuin salah satu obat antimalaria yang utama dilaporkan telah mengalami resistensi
(Tjitra, 1996). Parasit malaria yang resisten terhadap obat antimalaria di Indonesia,
terutama klorokuin penyebarannya tidak merata, namun semua propinsi telah
melaporkan kasus yang tergolong resisten terhadap obat tersebut. Salah satu daerah di
Indonesia yang dinyatakan sebagai daerah resisten klorokuin yang bersifat sporadis
pada tahun 1994 adalah Kecamatan Siabu Kabupaten Mandailing Natal, Provinsi
Sumatera Utara (Depkes RI, 1995). Penelitian yang dilakukan pada tahun 2001,
mencatat resistensi in-vivo terhadap klorokuin sebesar 47,5% dan terhadap
pirimetamin–sulfadoksin 50% di Kecamatan Siabu Kabupaten Mandailing Natal
(Ginting dkk., 2001).
Resistensi terhadap obat antimalaria telah menyebar secara intensif selama 15 –
20 tahun (Bloland et al, 1993, 1998; Marsh, 1998). Sementara perkembangan obat-obat
antimalaria baru, sangat terbatas dan tidak merata. Problem obat-obat baru berhubungan
dengan distribusi dan penggunaannya yang berkaitan dengan situasi daerah atau negara
antimalaria untuk pengobatan maupun pencegahan. Obat sering diperoleh dari sumber
yang tidak dapat dipertanggung jawabkan dengan kualitas yang bervariasi dan dosis
yang tidak ditetapkan secara tepat (Bloland, 2001).
Untuk mengatasi kasus resistensi terhadap obat klorokuin pemerintah telah
menyediakan obat alternatif yang sudah tersedia di Indonesia seperti
pirimetamin-sulfadoksin dan kina, namun kedua obat tersebut telah mengalami penurunan
sensitivitas terhadap parasit Plasmodium falciparum (Sungkar, Pribadi, 1992).
Gambar 1. Keseimbangan antara Diagnosis Dini dari Malaria, Pengobatan yang Tepat dan Segera, serta Upaya Mengurangi Kejadian Resistensi Parasit Terhadap Obat Antimalaria (WHO, 2001).
Kebijakan nasional dalam pengobatan malaria mengupayakan populasi yang
menimbulkan efek samping, mudah penggunaannya, dan dapat diterima secara luas,
sehingga dapat dicapai keadaan sebagai berikut :
1) Penyembuhan klinis yang cepat dan bertahan lama.
2) Mencegah malaria tanpa komplikasi menjadi berat dan kemungkinan terjadinya
kematian.
3) Memperpendek episode malaria dan mengurangi kejadian anemia yang
berhubungan dengan tingginya tingkat transmisi malaria.
4) Mengurangi kemungkinan terjadinya malaria plasental yang berhubungan dengan
pencegahan infeksi pada ibu hamil.
5) Memperlambat perkembangan dan penyebaran resistensi terhadap obat antimalaria.
Secara diagramatik, kebijakan strategi penanggulangan malaria dapat dicermati
pada Gambar 1 (WHO, 2001).
Berbagai penelitian terus dilakukan dalam rangka mengatasi resistensi parasit
malaria terhadap obat antimalaria. Salah satu usaha yang dilakukan adalah dengan
menggunakan pengobatan kombinasi beberapa obat antimalaria (Radlofi et al, 1990,
WHO, 2000). Beberapa terapi kombinasi telah dilaporkan dalam usaha mengatasi
malaria dengan resistensi obat, tetapi sampai saat ini belum ada yang efektiv dan aman.
Dalam menanggulangi malaria yang resisten terhadap klorokuin di daerah
endemis, WHO pada tahun 2001 menganjurkan kombinasi antimalaria dengan basis
artemisinin (Bloland, 2001). Artemisinin telah direkomendasikan oleh Departemen
Kesehatan R.I. dan telah beredar dalam jumlah terbatas, berupa kombinasi artesunat
atau derivatnya dengan meflokuin atau amodiakuin. Uji klinik kedua obat kombinasi ini
Keuntungan dari kombinasi obat antimalaria dengan artemisinin atau derivatnya
adalah:
1. Diharapkan efektivitas penanggulangan malaria dapat lebih meningkat,
mengingat pengobatan dengan lini pertama obat antimalaria telah menunjukkan
penurunan efektivitasnya.
2. Efikasi yang tinggi dari artemisinin atau derivatnya untuk membersihkan parasit
dari dalam darah serta menghilangkan simptom malaria.
3. Belum ada laporan resistensi terhadap artemisinin dan derivatnya hingga saat
ini.
4. Memperlambat perkembangan dan penyebaran resistensi jika dilakukan
pengobatan kombinasi.
5. Efek artemisin terhadap gametosit dapat menghambat penularan malaria
didaerah dengan tingkat transmisi rendah dan sedang (WHO, 2001).
Program Roll Back Malaria yang merupakan gagasan WHO mengupayakan
untuk menurunkan kasus malaria sebanyak 50% pada tahun 2010. Indonesia juga harus
dapat menerima program tersebut termasuk penggunaan obat antimalaria jenis baru.
Permasalahan dari obat antimalaria ini terdapat pada penyediaan bahan baku yang
belum dapat mengikuti kebutuhan dunia. Untuk melancarkan secara operasional
kebutuhan ini, maka dibentuk Malaria Medicine and Supply Service.
Diluar usaha ini, semakin luas daerah yang memerlukan pengamanan penduduk
terhadap gigitan nyamuk penular malaria, maka jumlah kebutuhan kelambu yang telah
seluruh obat-obatan yang akan dibutuhkan beserta tes-tes diagnostik yang memadai
(Nelwan, 2005).
Oleh karena hal-hal tersebut di atas dan ancaman terhadap makin meningkatnya
resistensi Plasmodium falciparum terhadap obat-obat antimalaria di seluruh dunia, maka
perlu dicari jenis obat lain yang mungkin terdapat di Indonesia dan mempunyai potensi
sebagai antimalaria yang dapat dikembangkan di kemudian hari. Pemikiran global dan
aksi lokal sangat diperlukan dalam penanganan masalah malaria secara nasional
maupun internasional.
Menurut UU No.23 tahun 1992 tentang Kesehatan, obat tradisional adalah bahan
atau ramuan bahan berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan
sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah
digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Sediaan obat tradisional yang
digunakan masyarakat yang berasal dari bahan tumbuhan obat saat ini sangat perlu
diteliti dan dikembangkan agar dapat disebut sebagai Herbal Medicine atau Fitofarmaka
yang selanjutnya dapat dipakai di sarana pelayanan kesehatan dasar dan menambah
jenis obat-obatan yang akan dipilih. Menurut Keputusan Menkes R.I. No.761 Tahun
1992, fitofarmaka adalah sediaan obat yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya,
bahan bakunya terdiri dari simplisia atau sediaan galenik yang memenuhi persyaratan
yang berlaku. Pemilihan ini didasarkan atas kemudahan memperoleh bahan bakunya,
dapat disesuaikan pada pola penyakit di Indonesia dan diperkirakan bermanfaat cukup
besar terhadap penyakit tertentu, memiliki rasio resiko dan kegunaan yang
menguntungkan penderita dan merupakan salah satu alternatif pengobatan (Depkes RI,
mempunyai arti, sehingga harus dipikirkan agar penggunaan tanaman obat dapat
menunjang kebutuhan akan obat-obatan yang semakin mendesak dan untuk
mendapatkan obat pengganti jika resistensi parasit terhadap obat terjadi secara meluas
dan tidak tersedia jenis obat baru lainnya. Penelitian akan tanaman obat ini telah
berkembang luas di beberapa negara, seperti Cina, India, Thailand, Korea, dan Jepang
(Andrographis in Depth Review, 2005).
Herba sambiloto/sambilata (Andrographis paniculata Nees) adalah satu dari
tanaman obat yang terdapat hampir di seluruh daerah Indonesia (Kloppenburg,1988).
Andrographis paniculata (AP) yang juga dikenal sebagai “King of Bitters” adalah
sejenis tumbuhan famili Acanthaceae telah digunakan selama beberapa abad di Asia
untuk mengobati beberapa penyakit termasuk malaria. Penelitian di Surabaya
menemukan bahwa ekstrak dari herba sambiloto dapat menghambat pertumbuhan
Plasmodium falciparum secara in-vitro dan mempunyai efektifitas yang sama dengan
klorokuin difosfat (Widyawaruyanti dkk., 2000). Penelitian di Kuala Lumpur, Malaysia,
yang membandingkan efek antimalaria dari AP dengan dua jenis herbal lainnya, yaitu
daun sirih (Piper sarmentosum) dan brotowali (Tinospora crispa), didapatkan efek
antimalaria dari AP lebih besar secara in-vivo pada hewan (Nik Najib et al, 1999).
Pada penelitian di Mandailing Natal membandingkan efek antimalaria klorokuin
tunggal dan klorokuin dengan ekstrak sambiloto 250 mg tiga kali sehari selama lima
hari dengan jumlah sampel masing-masing 50 dan 56 pasien, ditemukan parasite
clearance time pada kombinasai ekstak herba sambiloto dengan klorokuin lebih cepat
dibanding dengan klorokuin tunggal pada penderita malaria falsiparum dewasa tanpa
kelompok kombinasi klorokuin dan herba sambiloto sebesar 87,5%. Pemantauan
parasitemia dilakukan sampai hari ke 14 pengobatan. Plasmodium falciparum yang
resisten terhadap klorokuin di Kabupaten Madina adalah 48% dan resisten terhadap
kombinasi klorokuin dan herba sambiloto sebesar 12,5% (Umar Zein dkk., 2004). Pada
penelitian ini juga diberikan sambiloto tunggal 250 mg ekstrak tiga kali sehari selama
lima hari terhadap 11 penderita malaria falsiparum dewasa tanpa komplikasi, diperoleh
hasil tujuh penderita membaik demamnya dan parasite clearance tercatat pada hari ke
tujuh (Zein, 2004).
Penelitian lainnya, terhadap penderita malaria falsiparum dewasa tanpa
komplikasi dengan parasit malaria yang resisten terhadap klorokuin, diberikan
kombinasi sambiloto dengan sulfadoksin-pirimetamin dengan jumlah sampel 60 pasien
pada masing-masing kelompok. Didapat hasil efikasi 92,6% (parasitemia negatip) pada
hari ke tujuh pada kelompok sambiloto - sulfadoksin-pirimetamin, dan 47,3% pada
kelompok tunggal sulfadoksin-pirimetamin, dan pada hari ke 14, didapati 100% efikasi
pada kelompok kombinasi sambiloto+sulfadoksin-pirimetamin, dan 54,5% pada
kelompok sulfadoksin-pirimetamin saja (Fauzy M, 2004).
Dosis ekstrak sambiloto yang diberikan kepada pasien pada penelitan yang telah
dilakukan adalah 250 mg per kapsul. Oleh karena itu, dirasa perlu untuk dilakukan
penelitian sambiloto tunggal dengan dosis ganda (250 mg dan 500 mg) dan kombinasi
dengan artesunat sebagai derivat dari artemisinin yang telah dianjurkan oleh WHO
sebagai basis terapi kombinasi terhadap malaria falsiparum. Tujuan pemberian seperti
ini adalah untuk mengetahui sejauh mana efikasi antimalaria dari sambiloto dengan
mengetahui apakah kombinasi sambiloto dengan obat antimalaria standar mempunyai
efikasi yang tidak berbeda dengan kombinasi bersama artesunat, yang pada masa yang
akan datang dapat mengatasi masalah resistensi di daerah multidrug resistance malaria.
1.2. Perumusan Masalah
1.2.1. Apakah efek antimalaria dari ekstrak sambiloto 500 mg lebih baik dari segi
efikasi dan aman dari segi efek samping, dibandingkan dengan ekstrak
sambiloto 250 mg, pada pasien malaria falsiparum dewasa tanpa komplikasi?
1.2.2. Apakah kombinasi ekstrak sambiloto dengan artesunat mempunyai efikasi yang
lebih baik dibanding dengan kombinasi ekstrak sambiloto dengan klorokuin?
1.2.3. Apakah eksrak sambiloto mempunyai efek imunomodulasi?
1.3. Hipotesis
1.3.1. Efek antimalaria ekstrak sambiloto 500 mg lebih baik (lebih cepat) dalam
menurunkan kepadatan parasit Plasmodium falciparum dibandingkan dengan
ekstrak sambiloto 250 mg pada penderita malaria dewasa.
1.3.2. Kombinasi ekstrak sambiloto dengan artesunat mempunyai efikasi yang kebih
baik dalam menurunkan kepadatan parasit Plasmodium falciparum dibanding
dengan kombinasi ekstrak sambiloto dengan klorokuin pada penderita malaria
dewasa.1.3.3. Efek imunomodulasi ekstrak sambiloto lebih besar dari efek
1.4. Tujuan Penelitian
1.4.1. Untuk menetapkan apakah ekstrak sambiloto tunggal mempunyai efek
antimalaria dan aman digunakan dengan memperbesar dosis ekstrak sambiloto
tanpa meningkatkan efek sampingnya.
1.4.2. Untuk menetapkan apakah kombinasi ekstrak sambiloto dengan obat malaria
standar dan artesunat masing-masing dapat digunakan terhadap Plasmodium
falciparum yang telah resisten terhadap obat standar di daerah endemis.
1.4.3. Untuk menetapkan apakah ekstrak sambiloto mempunyai efek imunomodulasi
terhadap Plasmodium falciparum.
1.5. Manfaat penelitian
1.5.1. Dengan diketahuinya efektivitas dan keamanan ekstrak sambiloto sebagai obat
tradisional terhadap penderita malaria falsiparum/tropika tanpa komplikasi,
maka ekstrak sambiloto dapat digunakan sebagai terapi alternatif terhadap
penderita malaria yang resisten terhadap obat standar di daerah endemis.
1.5.2. Dengan diketahuinya efikasi kombinasi ekstrak sambiloto dengan obat
antimalaria standar dan artesunat terhadap pasien malaria falsiparum tanpa
komplikasi, maka obat kombinasi tersebut dapat dijadikan sebagai obat alternatif
terhadap malaria tropika.
1.5.3. Tumbuhan berkhasiat yang terdapat di Indonesia dapat dikembangkan menjadi
fitofarmaka untuk menunjang program penanggulangan malaria yang masih
1.5.4. Dengan diketahuinya ekstrak sambiloto mempunyai efek imunomodulasi
terhadap Plasmodium falciparum, maka ekstrak sambiloto dapat digunakan
sebagai obat suplemen terhadap penderita yang diduga malaria di daerah
endemis.
1.6. Kerangka Konsep Penelitian
Penyakit malaria, terutama malaria falsiparum sebagai salah satu penyakit
infeksi menular di Indonesia masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
sampai saat ini belum dapat ditanggulangi secara efektif dan dikontrol secara baik,
bahkan diberbagai daerah di Indonesia, sering menimbulkan wabah atau kejadian luar
biasa. Salah satu masalah penanggulangannya adalah terjadinya resistensi parasit
Plasmodium falciparum terhadap obat-obat antimalaria standar yang digunakan di
Indonesia, seperti klorokuin dan sulfadoksin-pirimetamin. Ekstrak herba sambiloto
bersumber dari tanaman obat tradisonal yang telah digunakan bertahun-tahun terbukti
aman dan efektiv, diketahui mempunyai efek antimalaria secara in-vitro dan in-vivo
pada hewan coba, dirasa perlu untuk diteliti secara uji klinik untuk membuktikan
efikasinya sebagai antimalaria dan kemungkinan juga sebagai imunomodulator. Ekstrak
herba sambiloto ini dapat digunakan secara tunggal atau dikombinasi dengan
antimalaria standar atau antimalaria baru lainnya, seperti artesunat.
Persediaan obat antimalaria yang terbatas, untuk jangka lama, terutama di
Indonesia, memperluas daerah resistensi parasit malaria. Sambiloto sebagai tumbuhan
obat yang mempunyai efek antimalaria dari kandungan Andrographis paniculata yang
sudah teruji aman dan efektif, mempunyai potensi untuk dikembangkan menjadi
Malaria falsiparum di I d i
Problem kesehatan masyarakat
Pengembangan obat antimalaria terbatas Resistensi parasit terhadap obat standar Perlu alternatif antimalaria baru
Ekstrak Herba Sambiloto Tunggal dan
Gambar 2. Kerangka Konsep Penelitian
Bahan tumbuhan obat Indonesia Mempunyai efek antimalaria Keamanan terpantau pada penggunaan sebagai obat tradisional
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Malaria merupakan infeksi protozoa genus plasmodium yang dapat menjadi
serius dan selalu menjadi salah satu masalah besar kesehatan dunia (Winstanley, 2001;
Greenwood, 2002) . Setiap tahun hampir 10 persen dari seluruh populasi dunia
menderita malaria. Dari jumlah itu sebanyak 500 juta penderita dengan gejala klinis dan
diantaranya menimbulkan 1-3 juta kematian yang tersebar di lebih dari 90 negara
(Sachs, 2002). Penyakit ini ditandai dengan adanya dingin/menggigil, demam,
berkeringat (”trias malaria”), sakit kepala dan dapat menimbulkan komplikasi serebral,
anemia berat, gastroenteritis, hipoglikemia, edema paru, ruptur limpa, gagal ginjal dan
kematian. Malaria juga ancaman bagi traveler yang mengunjungi daerah endemik
malaria (Mandell, 2000; Zein dkk,, 2002).
Di Indonesia sendiri angka kejadian malaria meningkat semenjak terjadinya
krisis moneter di tahun 1997. Di pulau Jawa misalnya, angka kejadian parasit tahunan
(annual parasite incidence rate - API) meningkat dari 0.1 ke 0.8 infeksi per 1000 tahun
orang antara tahun 1996 dan 2000. Pada tahun 2002, angka ini meningkat lagi hampir
70% (Barcus, 2002).
Disamping melalui gigitan nyamuk Anopheles, malaria juga dapat ditularkan
melalui transfusi darah dari donor yang terinfeksi malaria. Pada tahun 2001, ditemukan
5 kasus malaria falsiparum pada penderita hemodialisis reguler di Rumah Sakit Dr.
Pirngadi Medan yang pernah mendapat transfusi darah, dan dua kasus meninggal akibat
2.1. Siklus Hidup Parasit Malaria
Dalam siklus hidupnya plasmodium mempunyai dua hospes yaitu manusia dan
nyamuk. Siklus aseksual yang berlangsung pada manusia disebut skizogoni dan siklus
seksual yang membentuk sporozoit di dalam nyamuk disebut sporogoni (Nugroho,
2000).
2.1.1.Siklus aseksual
Sporozoit infeksius dari kelenjar ludah nyamuk Anopheles betina masuk dalam
darah manusia melalui tusukan nyamuk tersebut. Dalam waktu tiga puluh menit jasad
tersebut memasuki sel-sel parenkim hati dan dimulainya stadium eksoeritrositik daur
hidupnya. Di dalam sel hati, parasit tumbuh menjadi skizon dan berkembang menjadi
merozoit. Sel hati yang mengandung parasit pecah dan merozoit keluar dengan bebas,
sebagian mengalami fagositosis. Oleh karena prosesnya terjadi sebelum memasuki
eritrosit maka disebut stadium pre-eritrositik atau ekso-eritrositik. Siklus eritrositik
dimulai saat merozoit menerobos masuk sel-sel darah merah. Parasit tampak sebagai
kromatin kecil, dikelilingi oleh sitoplasma yang membesar, bentuk tidak teratur dan
mulai membentuk tropozoit. Tropozoit berubah menjadi skizon muda, kemudian
berkembang menjadi skizon matang dan membelah diri menjadi beberapa merozoit.
Dengan selesainya pembelahan tersebut sel darah merah pecah dan merozoit, pigmen
dan sisa sel keluar dan bebas berada dalam plasma darah. Merozoit dapat masuk sel
darah merah lainnya lagi untuk mengulangi siklus skizogoni. Selain dapat memasuki
eritrosit kembali dan membentuk skizon, merozoit dapat juga membentuk gametosit
2.1.2. Siklus seksual
Siklus seksual terjadi dalam tubuh nyamuk. Gametosit yang ada di darah tidak
dicerna oleh sel-sel tubuh lain. Pada gamet jantan, kromatin membagi menjadi 6-8 inti
yang bergerak ke pinggir parasit. Di pinggir ini beberapa filamen dibentuk seperti
cambuk dan bergerak aktif disebut mikrogamet. Pembuahan terjadi karena masuknya
mikrogamet ke dalam makrogamet untuk membentuk zigot. Zigot berubah bentuk
seperti cacing pendek disebut ookinet yang dapat menembus lapisan epitel dan
membran basal dinding lambung nyamuk. Ditempat ini ookinet membesar dan disebut
ookista. Di dalam ookista dibentuk ribuan sporozoit dan beberapa sporozoit menembus
kelenjar ludah nyamuk dan bila nyamuk menggigit/ menusuk manusia memungkinkan
sporozoit masuk ke dalam darah dan mulailah siklus pre eritrositik (Nugroho, 2000 ;
Gambar 3. Skema Siklus Hidup Plasmodium (Farmedia CD-ROM)
The malaria parasite life cycle involves two hosts. During a blood meal, a malaria-infected female Anopheles mosquito inoculates sporozoites into the human host . Sporozoites infect liver cells and mature into schizonts , which rupture and release merozoites . (Of note, in P. vivax and P. ovale a dormant stage [hypnozoites] can persist in the liver and cause relapses by invading the bloodstream weeks, or even years later.) After this initial replication in the liver (exo-erythrocytic schizogony ), the parasites undergo asexual multiplication in the erythrocytes (erythrocytic schizogony ). Merozoites infect red blood cells . The ring stage trophozoites mature into schizonts, which rupture releasing merozoites . Some parasites differentiate into sexual erythrocytic stages (gametocytes) . Blood stage parasites are responsible for the clinical manifestations of the disease.
mosquito's stomach, the microgametes penetrate the macrogametes generating zygotes . The zygotes in turn become motile and elongated (ookinetes) which invade the midgut wall of the mosquito where they develop into oocysts . The oocysts grow, rupture, and release sporozoites , which make their way to the mosquito's salivary glands. Inoculation of the sporozoites into a new human host in the malaria life cycle .
2.2.Prinsip transmisi malaria
Malaria menyebar dari seorang ke orang lain melalui gigitan nyamuk Anopheles
betina. Nyamuk ini mengalami infeksi dengan bentuk seksual parasit yaitu gametosit,
ketika menghisap darah manusia yang terinfeksi malaria. Gametosit berkembang dalam
tubuh nyamuk selama 6 – 12 hari, setelah itu nyamuk ini akan dapat menginfeksi
manusia sehat bila ia menghisap darahnya. Intensitas transmisi malaria di suatu daerah
adalah kecepatan inokulasi parasit malaria oleh gigitan nyamuk di daerah tersebut.
Keadaan ini menunjukkan angka annual entomological inoculation rate (EIR), yaitu jumlah rata-rata infeksi akibat gigitan nyamuk yang terinfeksi pada penduduk di area
tersebut selama periode satu tahun. Angka EIR ini menentukan seberapa besar perluasan
dan epidemiologi malaria serta pola klinis penyakit secara lokal. Pada daerah dengan
transmisi tinggi angka EIR bisa mencapai 500 – 1000, seperti beberapa daerah di
Afrika, dan daerah transmisi rendah dengan angka EIR ≤ 0,01, yang terdapat di daerah
temperate zone seperti Caucasus dan Central Asia dimana transmisi malaria sedikit dan terbatas. Diantara kedua daerah ekstrim ini, ada daerah dengan musim yang tidak stabil
seperti daerah Asia dan Amerika Latin dengan EIR ≤ 10, dan selalu berkisar antara 1–2,
dan situasi dengan musim yang stabil di daerah Afrika Barat dengan EIR antara 10–100.
Proporsi nyamuk yang terinfeksi secara lokal berhubungan dengan jumlah manusia
yang terinfeksi di suatu daerah, akan menurunkan tingkat transmisi malaria di daerah
tersebut, dan juga menurunkan angka prevalensi dan insidensi secara lokal. Hubungan
antara EIR dan prevalensi malaria dipengaruhi oleh imunitas alami dan ada tidaknya
pengobatan yang efektif. Obat antimalaria dapat menurunkan transmisi karena efeknya
kepada infektivitas parasit. Efek ini dapat secara langsung pada gametosit, sebagai
bentuk infektiv yang ditemukan pada manusia (gametocytocidal effect) atau ketika obat memasuki tubuh nyamuk sewaktu menghisap darah penderita, akan mempunyai efek
terhadap perkembangan parasit di dalam tubuh nyamuk (sporonticidal effect). Klorokuin dapat membunuh gametosit muda, tetapi tidak mempunyai efek menekan
bentuk infektiv yang immature. Malah klorokuin menunjukkan kemampuan
memperbesar infektivitas gametosit terhadap nyamuk. Sebaliknya,
sulfadoksin-pirimetamin meningkatkan jumlah gametosit, tetapi infektivitasnya berkurang terhadap
nyamuk. Artemisinin mempunyai efek gametositosidal yang paling poten di antara
antimalaria saat ini. Obat ini dapat merusak gametosit immatur sehingga mencegah
masuknya gametosit yang infektif kedalam sirkulasi. Tetapi efeknya terhadap gametosit
yang matang kurang dan tidak mempengaruhi infektivitasnya yang tetap ada dalam
sirkulasi selama pengobatan (WHO, 2006).
2.3. Patobiologi Plasmodium falciparum
Semua gejala klinis yang khas ditemukan pada pasien malaria, baik tanpa
komplikasi maupun dengan komplikasi, dasar patologinya adalah perubahan-perubahan
akibat eritrosit yang terinfeksi oleh plasmodium aseksual atau blood stage parasite.
Ketika plasmodium berkembang di dalam eritrosit, maka sejumlah substansi yang telah
seperti pigment hemozoin dan bahan-bahan toksik lainnya terakumulasi di dalam sel
eritrosit yang terinfeksi. Ketika eritrosit ini mengalami lisis untuk melepaskan merozoit,
maka bahan-bahan toksik ini akan hanyut ke dalam aliran darah. Hemozoin dan bahan
toksik lainnya seperti GPI (Glucose Phosphate Isomerase) akan merangsang makrofag
dan sel lain untuk memproduksi sitokin dan mediator lainnya yang memicu terjadinya
demam, menggigil serta mekanisme lainnya yang menimbulkan patofisiologi yang
berkaitan dengan malaria berat (CDC, 2004).
Plasmodium falciparum, seperti organisme lainnya, memperoleh nutrisi dari
lingkungan dan mengubah nutrisi tersebut menjadi bentuk molekul lain atau berupa
energi. Molekul-molekul dan bentuk energi ini kemudian digunakan untuk mengatur
homeostasis parasit, proses pertumbuhan serta proses reproduksi. Asam amino yang
digunakan untuk sintesis protein diperoleh melalui sintesis de novo yaitu dengan cara :
1. Fiksasi CO2, dengan sedikit penggabungan ke dalam protein.
2. Plasma hospes dengan pengambilan (uptake) semua asam amino yang dibutuhkan
untuk pertumbuhan seperti metionin, sistein dan glutamat.
3. Penghancuran dan pencernaan Hb penjamu (Wiser, 2002).
Proses degradasi Hb hospes pada plasmodium terjadi dalam vakuol makanan
yang bersifat asam, disamping proses katabolisme Hb yang melibatkan beberapa
protease, antara lain plasmapepsin I, plasmapepsin II. Hb dipecah menjadi bentuk
globin dan heme oleh protease yang berada dalam vakuol makanan. Plasmapepsin akan
memecah Hb menjadi globin. Sistein, falsipain (protease karakteristik Plasmodium
serin, peptida kecil ini dipecah lagi menjadi asam amino yang akan di transportasi dari
vakuol makanan ke sitoplasma plasmodium (Schineder, 2003).
2.4.Mekanisme Pembunuhan Parasit
2.4.1.Sistim imun
Mekanisme kerja tubuh terhadap parasit malaria sangat kompleks, karena
melibatkan hampir semua komponen imun, baik imunitas yang timbul secara alami
maupun didapat, karena adanya infeksi yang spesifik maupun non spesifik, humoral
maupun seluler. Adanya toksin malaria yang dominan berupa GPI (Glucose Phosphate
Isomerase), yang merupakan komponen dari protein membran plasmodium dan dapat
mengaktifkan makrofag dan endotelium vaskuler, merangsang TNF, IL-1, NO dan
ekspresi ICAM yang mengakibatkan timbulnya berbagai mekanisme patogenesis
malaria (Enger, 2001). Kadar TNF- mempunyai implikasi terhadap patogenesis
malaria dengan komplikasi. Korelasi yang positip ditemukan antara kadar TNF-
dengan beratnya malaria. Interleukin 10 (IL-10) bersifat imunosupresor yang kuat pada
malaria dan bekerja mengurangi respon imunoproliferatif dan inflamasi (Nyangoto,
2005).
Efek peningkatan TNF- pada malaria mencakup juga pelepasan radikal bebas
dan NO serta meningkatkan fagositosis oleh makrofag dan netrofil. Tumor Necrozing
Factor (TNF- ) dapat merangsang netrofil untuk menghasilkan radikal bebas dalam
jumlah besar sebagai respon terhadap parasit. Radikal oksigen bebas berupa super
oksida (O2-), peroksida (O22-) dan radikal hidroksi (HO-) yang dapat meningkatkan
dapat melakukan oksidasi fagosit yang dalam fagosom asidik menghasilkan radikal
peroksinitrit yang sangat reaktif dan dapat membunuh parasit (Abbas et al, 2000).
2.5. Tumor Necrozing Factor (TNF) dan Interferon (IFN)
Tumor Necrozing Factor (TNF) merupakan mediator utama pada radang akut
sebagai respon terjadinya infeksi. TNF disebut juga TNF-α untuk suatu alasan sejarah
dan membedakannya dari TNF-β atau limfotoksin. Fungsi utama TNF adalah untuk
menstimulasi penerimaan neutrofil dan monosit serta mengaktivkan sel-sel tersebut
untuk menghancurkan mikroba (Abbas et al, 2000).
Aktivitas TNF- sebenarnya terjadi pada konsentrasi rendah. Pada konsentrasi
rendah TNF- meningkatkan perlekatan endotel terhadap leukosit neutrofil. Rendahnya
konsentrasi TNF- juga memicu produksi IL-1, IL-6 dan IL-8 yang berperan dalam
proses inflamasi, menghambat pertumbuhan stadium darah plasmodium dengan
mengaktivkan sistim imunitas seluler, juga dapat membunuh parasit secara langsung
namun aktivitasnya hanya lemah. Peninggian konsentrasi TNF- menyebabkan TNF-
dapat masuk ke sirkulasi sistemik. Munculnya demam merupakan reaksi TNF- pada
hipotalamus akibat peningkatan sintesis prostaglandin oleh sel-sel hipotalamus yang
distimulasi sitokin (Abbas et al, 2000; Kasper et al, 2001). Level TNF- sampai 8 pg/ml
digolongkan pada level yang rendah, yang secara klinis sangat menguntungkan dalam
meningkatkan respon imun seluler pada infeksi Plasmodium falciparum, karena dengan
kadar yang rendah ini, TNF- dapat meningkatkan ekspresi molekul MHC kelas I,
sehingga mengoptimalkan kerja limfosit T-sitotoksik (CD8) dalam melisis hepatosit
monosit/makrofag serta natural killer (NK) sel sehingga mengoptimalkan kerja sel-sel
tersebut dalam proses ADCC (antibody-dependent cell-mediated cytotoxicity) terhadap
skizon dalam eritrosit (Grau et al, 1989; Torre et al, 2002).
Jika TNF- berada dalam konsentrasi sangat tinggi, misalnya pada konsentrasi
serum 100 – 500 ugm/l atau lebih, akan menghambat kontraktilitas otot jantung dan otot
polos vaskular sehingga terjadi penurunan tekanan darah atau shock (Abbas et al, 2000).
Respon imun akibat infeksi malaria sangat kompleks dan spesifik. Seperti pada
stadium hepatik, yang berperan penting adalah CD8+. Efek protektif CD8+ mungkin
diperantarai oleh lisisnya sporozoit atau sekresi IFN- dan aktivasi hepatosit
memeroduksi nitrik oksida dan zat-zat lain yang dapat membunuh parasit. Kebanyakan
manifestasi patologi infeksi malaria disebabkan aktivasi sel T, makrofag dan produksi
TNF (Fried et al, 1998; Abbas et al, 2000). Penelitian di India menunjukkan bahwa
kadar IL-1 yang tinggi berasosiasi dengan kejadian malaria serebral, sedangkan kadar
IL-12 dan IFN- yang tinggi berasosiasi dengan malaria berat yang non serebral
(Prakash et al, 2006).
2.6. Obat antimalaria
Sejak tahun 1638 malaria telah diatasi dengan getah dari batang pohon cinchona,
yang lebih dikenal dengan nama kina, yang sebenarnya beracun tetapi dapat menekan
pertumbuhan protozoa dalam jaringan darah. Pada tahun 1930, ahli obat-obatan Jerman
berhasil menemukan atabrin (quinacrine hydrocloride) yang pada saat itu lebih efektiv
dianggap lebih mampu menangkal dan menyembuhkan demam rimba secara total, juga
lebih efektiv dalam menekan jenis-jenis malaria dibandingkan dengan atabrin atau
kinin. Obat tersebut juga mengandung kadar racun paling rendah dibandingkan
obat-obat lain yang terdahulu dan terbukti efektiv tanpa perlu digunakan secara terus
menerus. Namun baru-baru ini strain Plasmodium falciparum, yang menyebabkan
malaria tropika memperlihatkan adanya daya tahan terhadap klorokuin serta obat anti
malaria sintetik lain. Strain jenis ini ditemukan terutama di Indonesia, Vietnam,
Thailand dan juga di semenanjung Malaysia, Afrika dan Amerika Selatan. Kina juga
semakin kurang efektif terhadap strain Plasmodium falciparum. Seiring dengan
munculnya strain parasit yang kebal terhadap obat-obatan tersebut, serta fakta bahwa
jenis nyamuk pembawa (anopheles) telah memiliki daya tahan terhadap insektisida
seperti DDT telah mengakibatkan peningkatan jumlah kasus penyakit malaria di
berbagai negara tropis. Sebagai akibatnya, kasus penyakit malaria mengalami
peningkatan pada para turis Amerika dan Eropa Barat yang berkunjung ke Asia, Afrika
dan Amerika Tengah dan juga di antara para pengungsi dari daerah itu sendiri
(www.infeksi.com).
Sampai tahun 2003, obat antimalaria yang tersedia di Indonesia terbatas pada
klorokuin, pirimetamin- sulfadoksin, kina dan primaquin (Tjitra, 2000). Antibiotika
yang bersifat antimalaria adalah tetrasiklin, doksisiklin, klindamisin, kloramfenikol,
sulfametoksazol-trimetropim dan kuinolon. Obat-obat ini pada umumnya bersifat
skizontosida darah untuk Plasmodium falciparum, kerjanya sangat lambat dan kurang
efektiv. Oleh sebab itu, obat ini digunakan bersama obat antimalaria lain yang kerjanya
Beberapa obat antimalaria yang ada dan kombinasinya terlihat pada Tabel
[image:37.595.80.500.185.759.2]berikut.
Tabel 1. Jenis Obat Antimalaria, Mekanisme Kerja dan Cara Pemakaian
No Nama Obat Mekanisme Kerja Efek antimalaria Dosis
1 2 3 4 Klorokuin Pirimetamin- Kina Primakuin Mengikat feriprotoporfirin IX yaitu suatu cincin hematin yang merupakan hasil metabolisme
hemoglobin didalam parasit. Ikatan feriprotoporfirin IX-klorokuin ini bersifat melisiskan membran parasit sehingga parasit mati (Taylor, 2000)
Inhibitor enzim tetrahidrofolat, akibatnya parasit tidak mampu melanjutkan siklus hidupnya dan akhirnya difagosit, sedangkan sulfadoksin bekerja berkompetisi dengan PABA (para amino benzoic acid) dalam memperebutkan enzim dihidrofolat sintetase sehingga pembentukan asam dihidropteroat terganggu dan asam folat yang diperlukan parasit tidak terbentuk (Tjitra, 2000 ; Taylor, 2000).
Membentuk ikatan
dengan DNA yang akan menghambat sintesa
sehingga pembelahan
dan perubahan menjadi
Skizontosid darah
Skizontosida jaringan, darah dan sporontosidal (Tjitra, 2000)
Skizontosida darah untuk semua jenis plasmodium manusia dan gametosida P. vivax dan P. Malariae Skizontosida jaringan, gametosida dan sporontosida untuk plasmodium pada manusia.
25 mg basa/ kg BB diberi dalam 3 hari yaitu hari I dan II masing-masing 10 mg basa /kg BB dan pada hari III 5 mg basa/kg BB
Sulfadoksin 25mg/ kg BB dan pirimetamin 1,25 mg/kg BB
Membentuk ikatan hidrogen dengan DNA yang akan menghambat sintesa protein sehingga pembelahan DNA dan perubahan menjadi RNA tidak terjadi
5 6 7 8 9 10 Meflokuin Artemisinin Artesunat Lumefantrin Atovakon Proguanil Menghambat proses respirasi mitochondrial didalam parasit malaria melalui metabolitnya bersifat sebagai Belum jelas Menghambat calcium adenosine Pase 6 Idem
Sama dengan kina
Menghambat ritrosit pada hati dan
t dalam tubuh nyamuk
Menghambat
dihydrofolate reductase plasmodium.
Skizontosida jaringan dan darah
Skizontosid darah Idem Skizontosid darah Skizontosid darah dan jaringan Skizontosid darah
malariae dan ovale adalah 0,25 mg / kg BB, dosis tunggal selama 5 – 14 hari atau 0,75 mg /kg BB, dosis tunggal tiap mgg selama 8 – 12 mgg
25 mg basa /Kg BB/hari dibagi dalam 2 dosis selama 3 hari
200 mg sehari selama 3 hari dikombinasi dengan antimalaria lain
Idem
Tablet berisi 20 mg artemeter dan a 120 mg lumefantrin.
Untuk pencegahan 250 mg/hari dikombinasikan dengan proguanil 100 mg/hari.
mg/hari, sekali sehari selama 3 hari. Tablet pediatrik berisi 62,5 mg Atovakon dan 25 mg Proguanil.
2.7. Resistensi Terhadap Obat Malaria
Pada saat ini telah terjadi peningkatan insiden malaria disebabkan oleh berbagai
macam faktor, salah satu di antaranya berupa kasus malaria yang resisten terhadap
obat-obat antimalaria. Resistensi parasit malaria terhadap klorokuin muncul pertama kali di
Thailand pada tahun 1961 dan di Amerika Serikat pada tahun 1962. Dari kedua fokus
ini, resistensi meluas keseluruh dunia. Di Indonesia resistensi Plasmodium falciparum
terhadap klorokuin ditemukan pertama kali di daerah Kalimantan Timur pada tahun
1974, kemudian resistensi ini terus meluas dan pada tahun 1996 kasus-kasus malaria
yang resisten klorokuin sudah ditemukan di seluruh propinsi di Indonesia (Depkes RI,
1995; Laihad dkk., 2000; Acang, 2002).Salah satu daerah di Indonesia yang dinyatakan
sebagai daerah resisten klorokuin yang bersifat sporadis pada tahun 1994 adalah
Kecamatan Siabu, Kabupaten Mandailing Natal, Propinsi Sumatera Utara (Depkes. RI,
1995).
Untuk mengatasi kasus resistensi parasit malaria terhadap obat klorokuin
pemerintah telah menyediakan obat alternatif yang sudah tersedia di Indonesia seperti
pirimetamin-sulfadoksin dan kina, namun terhadap kedua obat tersebut Plasmodium
falciparum juga telah menunjukkan resistensi. Beberapa penelitian yang telah
dilakukan, melaporkan pertama kali resistensi Plasmodium falciparum terhadap
1981 daerah itu telah dinyatakan resisten terhadap klorokuin (Sungkar & Pribadi, 1992).
Ginting dkk, pada tahun 2001 telah melakukan penelitian di Kecamatan Siabu
Kabupaten Mandailing Natal dan melaporkan resistensi terhadap klorokuin sebesar
47,5% dan terhadap pirimetamin-sulfadoksin 50% secara in-vivo.Kombinasi terapi kina
dan tetrasiklin sebagai obat alternatif terhadap malaria falsiparum, mempunyai efek
terapi yang baik, namun ditemukan efek samping dari kina yang serius berupa mual,
muntah, gangguan keseimbangan, telinga berdenging dan hilangnya nafsu makan
(Bunnag et al, 1996).
Daerah yang mengalami resistensi terhadap obat antimalaria semakin luas dan
pada tahun 2000 tercatat 77 kabupaten meliputi 158 kecamatan. Berdasarkan laporan
dari Subdit Malaria Depkes RI, masalah resistensi terhadap obat antimalaria telah
dilaporkan hampir diseluruh propinsi dengan derajat resistensi yang berbeda
(Konsensus PAPDI, 2003). Beberapa kabupaten yang dikenal sudah mengalami
resistensi antara lain Kab. Simeulue (NAD), Kab. Lampung Selatan (Lampung),
Banjarnegara dan Purworejo (Jateng), Kab. Kulonprogo (DIY), Kabupaten Pasir
(Kaltim), Kab. Minahasa (Sulut), Kab. Landak (Kalbar), masing-masing Kab.Alor, Kab.
Sumba Barat dan Sumba Timur (NTT), Kab.dan Kota Jaya Pura serta Timika (Papua),
Maluku, Kab. Halmahera (Maluku Utara) dan DKI Jakarta (Depkes, 2004).
Kecepatan penyebaran resistensi plasmodium terhadap obat malaria tidak sama
pada setiap daerah atau negara. Menurut White ada tiga faktor yang menimbulkan
resistensi, yaitu 1). faktor operasional, seperti dosis subterapeutik, kepatuhan penderita
yang kurang, 2). faktor farmakologik, dan 3). faktor transmisi malaria, termasuk
resistensi, maka terapi kombinasi antimalaria yang rasional sangat dianjurkan. Salah
satu cara untuk meningkatkan mutu pengobatan dan menekan penyebaran resistensi
obat yaitu dengan pemberian obat kombinasi (Radlofi et al, 1990). Di daerah endemis
malaria yang resisten terhadap klorokuin, WHO pada tahun 2001 menganjurkan
kombinasi antimalaria dengan basis artemisin (WHO, 2001). Mengingat permasalahan
tersebut di atas dan ancaman terhadap makin meningkatnya resistensi obat-obat
antimalaria terhadap Plasmodium falciparum, maka perlu dicari obat alternatif untuk
mengatasi infeksi malaria yang telah resisten terhadap obat. Di negara berkembang
pemakaian obat alternatif lainnya harus memperhitungkan segi biaya dimana harganya
perlu murah. Jadi dalam penanganan kasus resistensi plasmodium terhadap obat
antimalaria perlu dilakukan dengan obat kombinasi yang murah, mudah didapat, dan
tersedia di seluruh daerah endemis malaria (Bloland et al, 2000).
2.8.Mekanisme Terjadinya Resistensi
Secara umum resistensi terjadi sebagai akibat seleksi dan mutasi genetik pada
parasit malaria. Hal ini disebabkan oleh pemakaian obat malaria tertentu dalam waktu
yang lama. Resistensi terhadap obat malaria yang bekerja lemah dan lambat terhadap
fase skizogoni darah secara relatif timbul lebih cepat dibandingkan dengan resistensi
terhadap obat yang bekerja kuat dan cepat terhadap skizogoni tersebut (Sutisna, 2004).
Resistensi plasmodium terhadap suatu obat antimalaria adalah kemampuan
plasmodium tersebut untuk dapat hidup dan berkembang biak setelah diberi obat dalam
masih dalam batas toleransi penderita. Teori Clyde menyebutkan kemungkinan adanya
mekanisme defensif parasit. Pirimetamin bekerja sebagai inhibitor enzim dihidrofolat
reduktase yang menyebabkan parasit tidak mampu membentuk asam tetrahidrofolat,
yang menyebabkan parasit tidak mampu melanjutkan siklus hidupnya, tetapi
Plasmodium falciparum yang telah menjadi resisten terhadap pirimetamin ternyata
mampu membentuk enzim dihidrofolat reduktase yang abnormal dalam jumlah banyak.
Sulfadoksin bekerja sebagai kompetitor inhibisi PABA dengan menggunakan enzim
dihidropteroat sintetase sehingga pembentukan asam dihidropteroat terganggu dan
asam folat yang diperlukan parasit tidak terbentuk. Penyebab resistensi terhadap
sulfadoksin karena parasit mampu menggunakan jalan pintas sehingga terhindar dari
pengaruh sulfadoksin. Klorokuin bekerja dengan mengikat feriprotoporfirin IX yang
merupakan suatu hematin hasil metabolisme hemoglobin di dalam parasit. Laktan
feriprotoporfirin IX-klorokuin ini mampu melisiskan membran parasit. Resistensi
terhadap klorokuin terjadi karena tempat ikatan klorokuin dalam eritrosit berkurang
sehingga parasit dalam eritrosit tidak dapat dibunuh. Menurut Cowman pada umumnya
resistensi terjadi oleh mutasi gen karena pemakaian obat secara terus-menerus dalam
waktu lama dan bersifat massal. Mutasi ini menyebabkan parasit mengambil jalur
metabolisme lain sehingga terhindar dari pengaruh obat. Pada anti folat terjadi mutasi
pada gen tunggal dan pada klorokuin terjadi mutasi yang multigenik sehingga timbul
secara perlahan-lahan (Sungkar dkk, 1992).
Indonesia kaya akan sumber bahan obat alam dan obat tradisional yang telah
digunakan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia secara turun temurun. Keuntungan
obat tradisional yang dirasakan langsung oleh masyarakat adalah kemudahan untuk
memperolehnya dan bahan bakunya dapat ditanam di pekarangan sendiri, murah dan
dapat diramu sendiri setempat (Depkes, 1983). Hampir setiap orang Indonesia pernah
menggunakan tumbuhan obat untuk mengobati penyakit atau kelainan yang timbul pada
tubuh selama hidupnya, baik ketika masih bayi, kanak-kanak, maupun setelah dewasa.
Dan diakui serta dirasakan manfaat tumbuhan obat ini dalam menyembuhkan penyakit
yang diderita atau meredakan kelainan yang timbul pada tubuh.
Pada masa lalu tumbuhan obat ini berperan karena fasilitas kesehatan tidak
terjangkau, terutama di daerah-daerah pedesaan yang terpencil. Masih banyak anggota
masyarakat yang mencari pertolongan pengobatan kepada tenaga-tenaga penyembuh
tradisonal seperti tabib dan dukun, bahkan sebagian dari mereka juga mencoba
tumbuhan obat untuk menyembuhkan penyakit hanya berdasarkan informasi dari
keluarga atau tetangga saja. Jadi pada ketika itu peranan tumbuhan obat sangat terbatas
pada sekelompok penduduk daerah tertentu dan pada keadaan tertentu, serta
dipengaruhi pula oleh kepercayaan tertentu berkat mantera-mantera yang diyakini
mempunyai kekuatan penyembuh bila di kerjakan oleh orang-orang tertentu seperti
dukun.
2.10. Obat Tradisional dan Profesi Dokter
Memang diakui bahwa pandangan profesi dokter terhadap tumbuhan obat atau
pasien di praktek, baik itu di Puskesmas, rumah sakit, apalagi di tempat praktek pribadi.
Hal ini menurut penulis adalah wajar, karena dari kurikulum pendidikan dokter sendiri
belum ada topik tentang penggunaan tumbuhan obat ini.
Pengetahuan dan pengalaman dokter Indonesia tentang obat-obatan umumnya
terhadap obat-obat generik maupun obat paten. Terutama obat-obatan dari luar negeri
yang sangat gencar membungkus strategi bisnis pemasaran obatnya dikalangan profesi
dokter dengan melakukan penelitian-penelitian multicenter, serta memublikasikannya di
Majalah Kedokteran internasional. Sementara kegiatan penelitian di bidang farmasi
sepertinya tidak begitu gairah untuk bekerja sama dengan profesi dokter, walaupun
mendapat dukungan dari berbagai sponsor. Hal ini sangat berbeda dengan
negara-negara seperti Cina, India, Thailand dan lainnya.
Di negara Cina misalnya, sudah sejak bertahun-tahun akademi-akademi medis
Cina mempelajari suatu seni yang sudah berusia berabad-abad mengenai
pengobatan-pengobatan herba, dan mengembangkan seni ini sejalan dengan kaidah-kaidah ilmiah.
Hal ini melibatkan penelitian yang komprehensif atas catatan-catatan kuno, dan
pengujian pengobatan tradisional. Formula tumbuhan yang bersifat rahasia,
digambarkan dalam terminologi tradisional, diterjemahkan ke dalam istilah-istilah
modern dan dikirim ke institut medis untuk dikaji ulang, dengan menggunakan
teknik-teknik pemeriksaan laboratorium modern.
Sebagai hasilnya, majalah medis Cina terus menerus melaporkan
penemuan-penemuan baru dalam seni pengobatan herba kuno, dan laporan-laporan ini telah
menarik perhatian dunia medis internasional. Kira-kira separuh dari populasi Cina
pengobatan herba yang paten, dan banyak dari herba serta formula ini di ekspor ke
negara-negara lain. Di Jepang, para konsumen membelanjakan lebih dari 2 milyar US
Dollar setahun untuk obat-obatan herba Cina yang sudah di patenkan (Lucas, 1998).
Sejarah telah menunjukkan bahwa banyak obat jadi berasal dari obat tradisional.
Obat yang berasal dari kulit kayu Chincona ledgeriana yang dipakai untuk mengobati
malaria, kemudian dimurnikan menjadi obat jadi yaitu kinin atau kina. Demikian pula
Papaverine somniferum. Juga serpentin dan reserpin yang berasal dari tanaman
Rauwolfia serpentina. Belum begitu lama telah dimurnikan artemisinin dari tanaman
Artemisia annua yang telah lama dipakai sebagai obat tradisional Cina dengan nama
Quing Hao Shu untuk mengobati malaria. Banyak kemungkinan obat tradisional
Indonesia di kemudian hari juga dapat dimurnikan menjadi obat baru. Namun demikian,
penemuan obat baru ini memerlukan dana, sarana, dan ahli yang memadai dan
memerlukan tenggang waktu lama.
Indonesia merupakan mega-senter keragaman hayati dunia, dan menduduki
urutan terkaya kedua di dunia setelah Brazil. Bila biota laut ikut diperhitungkan, maka
Indonesia menduduki urutan terkaya pertama di dunia. Di bumi kita ini diperkirakan
hidup sekitar 40.000 spesies tumbuhan, dimana 30.000 spesies hidup di kepulauan
Indonesia. Di antara 30.000 spesies tumbuhan yang hidup di kepulauan Indonesia,
diketahui sekurang-kurangnya 9.600 spesies tumbuhan berkhasiat sebagai obat dan
kurang lebih 300 spesies telah digunakan sebagai bahan obat tradisional oleh industri
obat tradisional. Indonesia juga merupakan negara agraris, mempunyai banyak area
pertanian dan perkebunan yang luas serta pekarangan yang dapat ditanami tumbuhan
Indonesia yang demikian luas menyimpan kekayaan yang demikian besar, di antaranya
berpeluang sebagai obat bahan alam. Ekspor obat tradisional dan simplisia Indonesia,
walaupun belum dalam jumlah nyang besar, namun menunjukkan tanda-tanda
peningkatan. Sebagaimana yang disampaikan oleh Asosiasi Pengusaha Eksportir
Tanaman Obat Indonesia (APETOI) dan Informasi Gabungan Pengusaha Jamu dan
Obat Tradisional (GP Jamu) serta Koperasi Jamu Indonesia, ekspor tumbuhan obat terus
meningkat dari tahun ke tahun. Permintaan dari beberapa negara cukup besar dan
kadang kala untuk beberapa jenis tanaman Indonesia tidak dapat memenuhinya
(Permenkes RI, 2007).
Penelitian mengenai obat tradisional, khususnya yang bahannya berupa tanaman
obat, terus berlangsung bahkan meningkat jumlahnya akhir-akhir ini. Dan beberapa
hasil penelitian obat tradisional ataupun tanaman obat telah dibuat dan diproduksi serta
digunakan pada fasilitas pelayanan kesehatan. Obat yang digunakan pada fasilitas
pelayanan kesehatan harus memenuhi persyaratan aman, bermanfaat dan sudah
terstandarisasi. Bukti persyaratan yang diperlukan harus berdasarkan data yang sahih
(Depkes, 2000).
2.11. Sambiloto
Herba sambiloto/sambilata (Andrographis paniculata Nees) adalah satu dari
tanaman obat yang terdapat hampir di seluruh daerah Indonesia (Kloppenburg, 1988)
Andrographis paniculata (AP) yang juga dikenal sebagai “King of Bitters” adalah
Asia untuk mengobati beberapa penyakit termasuk malaria (Andrographis in Depth
Review). Gambar 4 menunjukkan bentuk tumbuhan sambiloto
.
Gambar 4. Tanaman Obat Sambiloto
2.12.Uraian Tumbuhan
Andrographidis Herba terdiri atas bagian tanaman di atas tanah yang telah
dikeringkan dari tanaman Andrographis paniculata Nees, suku Acanthaceae. Baunya
khas dan rasanya sangat pahit. Batang tidak berambut, tebal 2-6 mm, jelas persegi
empat, batang bagian atas sering kali dengan sudut agak berusuk. Daun bersilang
berhadapan, umumnya terlepas dari batang, bentuk lanset sampai bentuk lidah tombak,
panjang 2-7 cm, lebar 1-3 cm, rapuh, tipis, tidak berambut, pangkal daun runcing, ujung
meruncing, tepi daun rata. Permukaan atas berwarna hijau tua atau hijau kecoklatan,
dari 5 helai daun kelopak, panjang 2 cm dan lebar 4 cm. Permukaan luar kulit buah
berwarna hijau tua sampai hijau kecoklatan, permukaan dalam berwarna putih atau
putih kelabu. Biji agak keras, panjang 1,5-3 mm, lebar lebih kurang 2 mm, permukaan
luar berwarna coklat muda bertonjol-tonjol.
Beberapa nama daerah dari sambiloto yang terdapat di literatur adalah : Akar
cerita, aluit, bidara, bhoonimba, bhuinimo,bhulimb, bhuninba, charayeta, charayetha,
charita, cheranta, cherota, chiraita,chiretta, chuan-hsin-lien, chua¯n-xý¯n-lián, công
công, faathalaaichon, fathalaai,fathalaichon, fathalaijone, halviva, hempedu bumi,
herba sambiloto, hinbinkohomba, I-chienhsi,kalafath, kalmegh, kan-jang, kariyat,
khee-pang-hee, king of bitters, Ki Oray, Ki Peurat, Ki Ular, kiriathu, kirta, kiryata, kiryato,
lanhelian, mahatikta, mahatita, naelavemu, naynahudandi, nelavemu, Pepaitan,
quasab-uz-zarirah, rice bitters, Sadilata, sambilata, sambiloto, senshinren, sinta,
Takila, xuyên tâm liên, yaa kannguu yijianxi(Fauziah Mukhlisah, 2002 ; Andrographis
in Depth Review, 2005).
2.13. Klasifikasi Tumbuhan
Klasifikasi herba sambiloto:
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Bangsa : Solanales
Suku : Acanthaceae
Marga : Andrographis
Daun
Andrographis paniculata Nees (Sambiloto)
mengandung : saponin, flavonoida, dan tanin. Kandungan
kimia daun dan cabang sambiloto: diterpene lakton yang
terdiri dari: deoxy andrographolide,
andrographolide (zat
pahit),
neoandrographolide,
14-deoxy-11,12didehydroandrographolide, dan homoandrographolide.
Flavonoid dari akar mengandung : polymethoxyflavone,
andrographin, panicolin, mono-o-methylwithin, apigenin-7,
4-dimethyl ether, alkane, ketone, aldehyde, kalium, kalsium,
natrium, asam kersik, dan damar. Kandungan lain yaitu :
andrographolida
< 1 %, kalmegin (zat amorf), dan hablur
kuning (yang memiliki rasa pahit). Disamping itu juga
mengandung turunan flavonoida yaitu andrografidin A, B, C,
D, E dan F, Juga mengandung seskuiterpena lakton yaitu
panikulida A, B, dan C (Tang W, Eisenbrand G, 1992) serta
Gambar 5. Rumus Kimia Andrograpolida dan Neoandrograpolida
Dua flavonoid glycoside yang baru ditemukan, yaitu 5-hydroxy-7,8-dimethoxy
(2R)-flavanone-5-O-beta-D-glucopyranoside dan
5-hydroxy-7,8,2',5'-tetramethoxy-flavone-5-O-beta-D-glucopyranoside dan dua diterpenoid yang baru, yaitu andrographic
acid dan andrographidine yang diisolasi dari Andrographis paniculata dan strukturnya
ditentukan berdasarkan analisis fisikokimia dan spektroskopik (Liet al, 2007).
2.15. Penelitian Sambiloto
Bila sambiloto (Andrographis paniculata Nees) dipilih sebagai obat alternatif
yang digunakan secara tradisionil, maka bagian yang sering digunakan adalah daunnya.