DINAMIKA PERMUKIMAN
DAN ARAHAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN
PERMUKIMAN PADA KAWASAN RAWAN LONGSOR
DI KOTA PADANG SUMATERA BARAT
Dedi Hermon
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
i
SURAT PERNYATAAN DISERTASI
DAN SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam
disertasi saya yang berjudul:
DINAMIKA PERMUKIMAN
DAN ARAHAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN
PERMUKIMAN PADA KAWASAN RAWAN LONGSOR
DI KOTA PADANG SUMATERA BARAT
Merupakan hasil penelitian disertasi saya sendiri, dengan bimbingan para komisi
pembimbing kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini
belum pernah disajikan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di
perguruan tinggi lain.
Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat
diperiksa kebenarannya.
Bogor, Agustus 2009
Dedi Hermon, Dynamic of Settlement and Policy Direction of Settlement Development in Landslide Hazard Area in Padang City. Under Guidance of Santun R.P. Sitorus (as chairman), Manuwoto and Alinda F.M. Zain (as members).
The main objectives of this research are to evaluate and formulate landslide hazard level zone, to formulate the dynamic of settlement, to formulate factors in fluencing land cover change into settlement, and to formulate the direction of policy of land use and direction of settlement development in landslide hazard area. Evaluation and formulation of landslide hazard level in Padang city, conducted using Geographic Information System (GIS) technique and MAFF-Japan model for landslide, and technique based on Zuidam and Concelado (1979). Formulation of dynamic of settlement conducted spatially by interpretation of three Citra Landsat images, namely Landsat TM+5 in 1985, Landsat ETM+7 in 1994, and Landsat ETM+7 in 2006 images, respectively. Each images was overlay using spatial model of landslide hazard level for formulating of settlement dynamic. On the other hand, to formulate influence factors influencing land cover change to settlement, multiple regression analysis using regression stepwise forward method were performed. Formulation of policy direction of land use and direction settlement development in landslide hazard was conducted descriptively from the result of the research data beforehand and priority of policy direction was analysed using Analytical Hierarchy Process (AHP). The research result, show that there were four landslide hazard zone levels in Padang city, namely low (18,613 ha), medium (15,256 ha), high (27,614 ha), and extremely high (7,633 ha), respectively. The settlement dynamic in landslide hazard increased from 1985 to 2006. In 1985, settlement land was 6,556 ha and increased significantly to 12,085 ha and 16,608 ha in 1994 and 2006, respectively. Factors influencing land cover change to settlement were different from one land cover to the others because of differences in local people activities, the number of people, and policy. Policy direction to preventing the development of settlement area at high and highest landslide hazard zone must be prohibited, arranging high and the highest landslide hazard zones for developing early warning system at landslide area, conducting the local people participate including the land ownership in activities of agricultural land at high and the highest landslide hazard zone, arranging the zone of settlement area that based on landslide hazard level zone, and conducting relocation of the settlement at high and highest landslide hazard zone.
RINGKASAN
Dedi Hermon, Dinamika Permukiman dan Arahan Kebijakan Pengembangan Permukiman pada Kawasan Rawan Longsor di Kota Padang. Dibimbing oleh Santun R.P. Sitorus (ketua), Manuwoto dan Alinda F.M. Zain (anggota).
Kota Padang merupakan ibu kota propinsi Sumatera Barat dengan tipe relief datar-berbukit. Dinamika permukiman akibat perubahan penggunaan lahan terus terjadi, umumnya berkembang ke daerah pinggiran bagian timur dan selatan Kota Padang yang memiliki karakteristik fisik yang rentan terhadap bencana longsor. Bertolak dari hal tersebut, maka penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan masalah, yang mengkaji secara tuntas permasalahan untuk diselesaikan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui zona-zona kawasan tingkat bahaya longsor, mengetahui dinamika permukiman, mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan tutupan lahan menjadi lahan permukiman, dan merumuskan arahan kebijakan pengembangan permukiman pada kawasan rawan longsor di Kota Padang.
Metode untuk merumuskan zonasi tingkat bahaya longsor dilakukan melalui pendekatan keruangan dengan simulasi model MAFF-Japan (Ministry of Agriculture Forestry and Fishery-Japan). Selain itu, analisis distribusi tingkat bahaya longsor juga dilakukan berdasarkan teknik Zuidam dan Concelado (1979) yang dilakukan melalui survei lapang. Teknik analisis data untuk mengetahui dinamika permukiman pada tingkat bahaya longsor diperoleh dari perubahan tutupan lahan lokasi penelitian, dilakukan dengan interpretasi citra terhadap 3 peta tutupan lahan Landsat 5+TM tahun 1985, Landsat 7+ETM tahun 1994 dan tahun 2006 dengan ERDAS 8.6, kemudian di overlay dengan Peta Tingkat Bahaya Longsor dan Peta Administrasi Kota Padang dengan alat analisis Arc View 3.3. Analisis faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan tutupan lahan di lokasi penelitian digunakan teknik analisis multiple regression dengan metode forward stepwise regression. Spasial pengembangan permukiman pada kawasan rawan longsor dilakukan dengan analisis GIS Arc View 3.3 dengan teknik overlay peta tingkat bahaya longsor dengan peta kesesuaian lahan untuk permukiman, yang selanjutnya dianalisis dengan matrix ERDAS8.6 dan Arc View
3.3 untuk menentukan luasan permukiman pada masing-masing zona
pengembangan permukiman. Perumusan kebijakan pengembangan permukiman pada kawasan rawan longsor dilakukan secara deskriptif berdasarkan pada hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan. Prioritas kebijakan dilakukan dengan teknik analisis AHP. Strategi implementasi kebijakan disusun berdasarkan teknik focus group discussion (FGD).
ha), meliputi Kecamatan Koto Tangah bagian timur, Kuranji bagian utara, Pauh bagian timur, Padang Selatan bagian tengah, Lubuk Begalung bagian Barat.
Permukiman terus berkembang pada kawasan-kawasan rawan longsor, terutama pada kawasan dengan tingkat bahaya longsor rendah (18.613 ha), tingkat bahaya longsor sedang (15.256 ha), tingkat bahaya longsor tinggi (27.614 ha), dan tingkat bahaya longsor sangat tinggi (7.633 ha). Pada tahun 1985, luas lahan yang digunakan untuk permukiman pada kawasan tingkat bahaya longsor rendah adalah 4.720 ha, tahun 1994 meningkat menjadi 6.945 ha, dan tahun 2006 meningkat menjadi 9.062 ha. Lahan yang digunakan untuk pemukiman pada kawasan tingkat bahaya longsor sedang pada tahun 1985 adalah 874 ha, tahun 1994 meningkat menjadi 2.085 ha, dan tahun 2006 meningkat menjadi 2.894 ha. Pada tahun 1985, luas lahan yang digunakan untuk pemukiman pada kawasan tingkat bahaya longsor tinggi adalah 714 ha, tahun 1994 meningkat menjadi 2.125 ha, dan tahun 2006 meningkat menjadi 2.895 ha. Lahan yang digunakan untuk pemukiman pada kawasan tingkat bahaya longsor sangat tinggi pada tahun 1985 adalah 248 ha, tahun 1994 meningkat menjadi 930 ha, dan tahun 2006 meningkat menjadi 1.757 ha. Terjadinya peningkatan luas lahan pemukiman pada kawasan-kawasan dengan tingkat bahaya longsor tinggi dan sangat tinggi disebabkan oleh lemahnya kontrol pemerintah dalam pengendalian kebijakan tata ruang wilayah kota (RTRW Kota).
Dinamika pemukiman yang terjadi disebabkan adanya faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan tutupan lahan menjadi lahan pemukiman di Kota Padang. Rentang tahun 1985-1994, perubahan lahan hutan menjadi lahan permukiman di lokasi penelitian dipengaruhi secara oleh faktor rata-rata kedalaman air tanah (AIR), persentase penyewa sekaligus penggarap lahan (SEWA), dan persentase pemilik sekaligus penggarap lahan (GARAP). Perubahan pada lahan semak menjadi lahan permukiman dipengaruhi oleh faktor AIR, SEWA, kepadatan penduduk (DENSITY), jumlah penduduk (PDDK), bantuan pembangunan (PEMB), dan GARAP. Selain itu, faktor AIR, SEWA, GARAP, dan PDDK berpengaruh terhadap perubahan lahan kebun menjadi lahan permukiman. Faktor AIR, DENSITY, SEWA, PDDK, PEMB, dan GARAP berpengaruh terhadap perubahan lahan sawah menjadi lahan permukiman. Pada rentang waktu tahun 1995-2006, perubahan lahan hutan menjadi lahan permukiman di lokasi penelitian dipengaruhi oleh faktor jumlah kepala keluarga (KK), SEWA, dan GARAP. Perubahan pada lahan semak menjadi lahan permukiman juga dipengaruhi oleh faktor SEWA, PDDK, GARAP, dan AIR. Selain itu, faktor GARAP, AIR, PEMILIK, dan DENSITY berpengaruh terhadap perubahan lahan kebun menjadi permukiman. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan lahan sawah menjadi lahan permukiman di lokasi penelitian adalah PEMILIK, PEMB, dan GARAP. Faktor penting yang konsekuen mempengaruhi semua tutupan lahan menjadi permukiman adalah faktor GARAP (persentase pemilik sekaligus penggarap lahan) di Kota Padang. Periode 1985-1994 persentase GARAP sebesar 16,61% dan periode 1994-2006 meningkat menjadi 17,73% memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap perubahan semua tutupan lahan menjadi lahan permukiman di Kota Padang.
(11.004 ha), dan zona C (5.462 ha). Total luas lahan yang sudah digunakan untuk permukiman pada Zona A adalah seluas 9.062 ha. Lahan yang bisa dikembangkan untuk permukiman pada zona A adalah 9.551 ha. Selain itu, total luas lahan yang digunakan untuk permukiman pada zona B adalah seluas 2.080,58 ha. Lahan yang bisa dikembangkan untuk permukiman pada zona B adalah 8.923,42 ha. Sedangkan zona C yang telah digunakan sebagai lahan permukiman seluas 5.465, 42 ha. Karakteristik zona C tidak sesuai untuk permukiman dan berpotensi cukup besar terjadinya longsor, maka permukiman pada zona C perlu direlokasi secara bertahap ke zona A atau zona B.
Prioritas kebijakan yang telah dirumuskan dalam penggunaan lahan untuk pemukiman di Kota Padang adalah: (1) mencegah pengembangan permukiman pada kawasan-kawasan yang tidak diperuntukkan untuk permukiman terutama pada zona tingkat bahaya longsor tinggi dan zona tingkat bahaya longsor sangat tinggi, (2) menyusun zona-zona tingkat bahaya longsor tinggi dan zona tingkat bahaya longsor sangat tinggi untuk mengembangkan sistem peringatan dini bencana longsor, (3) melakukan pemberdayaan pada masyarakat pemilik lahan sekaligus penggarap lahan (GARAP) yang melakukan aktivitas pertanian pada zona tingkat bahaya longsor tinggi dan zona tingkat bahaya longsor sangat tinggi, (4) menyusun zona-zona peruntukkan lahan untuk permukiman yang berbasis tingkat bahaya longsor, dan (5) melakukan relokasi secara bertahap dan berkesinambungan pada masyarakat yang bermukim di kawasan dengan tingkat bahaya longsor tinggi dan sangat tinggi ke kawasan-kawasan yang diperuntukkan untuk permukiman.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya;
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh
DINAMIKA PERMUKIMAN
DAN ARAHAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN
PERMUKIMAN PADA KAWASAN RAWAN LONGSOR
DI KOTA PADANG SUMATERA BARAT
Dedi Hermon
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul : Dinamika Permukiman dan Arahan Kebijakan Pengembangan Permukiman pada Kawasan Rawan Longsor di Kota Padang Sumatera Barat
Nama : Dedi Hermon
NRP : P061060041
Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL)
Disetujui,
1. Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus Ketua
Dr. Ir. Manuwoto, M.Sc Dr. Ir. Alinda F.M. Zain, M.Si Anggota Anggota
Diketahui,
2. Ketua Program Studi PSL, IPB 3. Dekan Sekolah Pascasarjana, IPB
Prof. Dr. Ir. Surjono H.Sutjahjo,M.S. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S. NIP. 19600204 198503 1 003 NIP. 19560404 198011 1 002
PRAKATA
Dengan mengucapkan Puji dan Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha
Pengasih dan Penyayang, atas kehendakNya, disertasi yang berjudul Dinamika
Permukiman dan Arahan Kebijakan Pengembangan Permukiman pada
Kawasan Rawan Longsor di Kota Padang Sumatera Barat dapat diselesaikan.
Disertasi ini adalah untuk memberi masukan dan informasi berupa arahan
kebijakan pengembangan permukiman pada kawasan rawan longsor. Disertasi ini
merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar doktor (S3) pada Program
Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor.
Bagian dari disertasi ini telah ditulis dalam bentuk naskah dua artikel yang
diajukan ke jurnal ilmiah. Artikel pertama berjudul Model Perubahan Tutupan
Lahan untuk Perumahan direncanakan terbit pada jurnal SAINSTEK bulan
September 2009 dan artikel kedua berjudul Dinamika Pemukiman pada Wilayah
Rawan Longsor di Kota Padang direncanakan terbit pada jurnal SKALA pada
bulan September 2009.
Dalam kesempatan ini saya menyampaikan rasa terima kasih yang tulus
kepada semua pihak yang telah memberikan berbagai masukan dalam
penyelesaian Disertasi ini, khususnya kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Santun R.P
Sitorus., sebagai ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Manuwoto, M.Sc.,
serta Ibu Dr. Ir. Alinda F.M Zain, M.Si., sebagai anggota komisi pembimbing.
Kemudian Bapak Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS selaku Ketua Program
Studi PSL IPB.
Akhir kata, tidak ada gading yang tak retak, segala kekurangan serta kritik
dan saran yang membangun akan kami terima dengan lapang dada,
mudah-mudahan penelitian ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Terima
Kasih.
Bogor, Agustus 2009
Penulis dilahirkan di Padang Panjang pada tanggal 24 September 1974
sebagai anak sulung dari pasangan Muslim dan Syamsimurni. Pendidikan sarjana
ditempuh di Jurusan Pendidikan Geografi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Sosial
Universitas Negeri Padang (IKIP Padang), lulus pada tahun 1998. Pada tahun
1999, penulis diterima pada Program Studi Ilmu Tanah pada Program
Pascasarjana Universitas Andalas dan menamatkan pada tahun 2001 dengan
bantuan beasiswa BPPS. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada
program studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Linkungan pada Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, diperoleh pada tahun 2006. Beasiswa
pendidikan pascasarjana juga diperoleh dari BPPS.
Penulis bekerja sebagai staf pengajar (dosen) di Jurusan Geografi
Universitas Negeri Padang sejak tahun 2001 dan aktif sebagai pemerhati
lingkungan hidup yang bergabung ke dalam Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM-LEKEPEMA Kota Padang) sebagai Kepala Bagian Penelitian Lingkungan
Hidup. Selain itu, penulis juga aktif sebagai anggota dari Ikatan Geografi
Indonesia (IGI).
Penulis menikah tahun 2006 dengan Dewi Yulia Putri dan dikaruniai 1 anak
yaitu Qaisar Habibie Syaied Tsabieq (Eqsa Habibie). Diharapkan dengan
selesainya menempuh pendidikan S3 ini penulis bisa meningkatkan kapasitas
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL...xiii
DAFTAR GAMBAR ...xvi
DAFTAR LAMPIRAN... xvii
I. PENDAHULUAN... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 4
1.3. Tujuan Penelitian ... 6
1.4. Manfaat Penelitian ... 6
1.5. Kebaruan Penelitian ... 7
1.6. Kerangka Pikir Penelitian ... 7
II. TINJAUAN PUSTAKA... 10
2.1. Zonasi Kawasan Tingkat Bahaya Longsor dan Faktor Penyebab Terjadinya Tanah Longsor ... 10
2.2. Dinamika Permukiman dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya 14 2.3. Arahan Kebijakan Pengembangan Permukiman... 16
2.4. Sistem Informasi Geografi (SIG) untuk Analisis Spasial Dinamika Permukiman ... 18
2.6. Hasil-Hasil Penelitian Terdahulu ... 20
III. METODE PENELITIAN... 27
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 27
3.2. Bahan dan Alat Penelitian... 27
3.3. Rancangan Penelitian ... 28
3.3.1. Jenis dan Sumber Data ... 30
3.3.2. Teknik Pengumpulan Data... 31
3.3.3. Teknik Analisis Data... 38
IV. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN ... 49
4.1. Posisi Astronomis Lokasi Penelitian... 49
4.2. Kondisi Fisik Lokasi Penelitian ... 49
4.2.1. Karakteristik Iklim Lokasi Penelitian ... 49
4.2.2. Karakteristik Geologi Lokasi Penelitian ... 50
4.2.3. Karakteristik Geomorfologi Lokasi Penelitian ... 52
4.2.4. Sebaran Jenis Tanah Lokasi Penelitian ... 52
4.2.5. Kondisi Hidrologi Lokasi Penelitian... 53
4.2.6. Penggunaan Lahan Lokasi Penelitian ... 53
4.3. Kondisi Sosial Masyarakat Lokasi Penelitian... 54
V. HASIL DAN PEMBAHASAN... 57
5.1. Zona Tingkat Bahaya Longsor di Lokasi Penelitian... 57
Penelitian ... 65
5.1.2. Dinamika Permukiman pada setiap Tingkat Bahaya Longsor di Lokasi Penelitian ... 70
5.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Tutupan Lahan menjadi Lahan Permukiman di Lokasi Penelitian ... 75
5.3.1. Periode Tahun 1985 sampai Tahun 1994... 75
5.3.2. Periode Tahun 1994 sampai Tahun 2006... 80
5.4. Arahan Kebijakan Pengembangan Permukiman pada Kawasan Rawan Longsor... 87
5.5. Pembahasan Umum... 102
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 117
6.1. Kesimpulan ... 117
6.2. Saran... 120
DAFTAR PUSTAKA ... 121
DAFTAR TABEL
Tabel Judul Halaman
1. Bencana Tanah Longsor di Kota Padang Tahun 1985-2006 ... 12
2. Bahan dan Alat Penelitian... 27
3. Data dan Sumber Data Primer Penelitian... 30
4. Data dan Sumber Data Sekunder Penelitian ... 31
5. Data untuk Menganalisis Tingkat Bahaya Longsor berdasarkan Zuidam dan Concelado (1979)... 34
6. Teknik Penarikan Sampel untuk Menganalisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Tutupan Lahan menjadi Lahan Permukiman.. 36
7. Harkat Kriteria Tingkat Bahaya Longsor MAFF-Japan ... 39
8. Hasil Perhitungan Interval Tingkat Bahaya Longsor (MAFF-Japan)... 41
9. Kriteria Tingkat Bahaya Longsor Zuidam dan Concelado (1979)... 41
10. Hasil Pehitungan Interval Tingkat Bahaya Longsor (Zuidam dan Concelado, 1979)... 43
11. Kriteria Penilaian dalam AHP... 48
12. Rata-Rata Curah Hujan (mm) Kota Padang Periode 1980-2005 ... 49
13. Nama Sungai, Panjang/Lebar dan Daerah yang Dilalui di Wilayah Kota Padang ... 53
14. Tipe Penggunaan Lahan Lokasi Penelitian Tahun 2006... 54
15. Struktur Mata Pencaharian Penduduk Kota Padang ... 55
16. Persentase Masyarakat dan Hubungannya dengan Pemanfaatan Lahan... 55
17. Distribusi Zonasi Tingkat Bahaya Longsor di Lokasi Penelitian ... 57
19. Karakteristik Sifat-Sifat Tanah Penyebab Longsor di
Lokasi Penelitian ... 60
20. Hasil Analisis Uji Tingkat Bahaya Longsor Model MAFF-Japan Dengan Teknik Zuidam dan Concelado (1979) ... 61
21. Karakteristik Lahan dengan Tingkat Bahaya Longsor Rendah di Lokasi Penelitian (Zuidam-Concelado, 1979) ... 62
22. Karakteristik Lahan dengan Tingkat Bahaya Longsor Sedang di Lokasi Penelitian (Zuidam-Concelado, 1979) ... 63
23. Karakteristik Lahan dengan Tingkat Bahaya Longsor Tinggi di Lokasi Penelitian (Zuidam-Concelado, 1979)... 64
24. Karakteristik Lahan dengan Tingkat Bahaya Longsor Sangat Tinggi di Lokasi Penelitian (Zuidam-Concelado, 1979)... 65
25. Luas Lahan Pemukiman (ha) per Kecamatan di Kota Padang ... 66
26. Jumlah Penduduk Kota Padang Tahun 1985-1994 ... 67
27. Jumlah Penduduk Kota Padang Tahun 1995-2006 ... 68
28. Total Luas Lahan Permukiman pada Tingkat Bahaya Longsor... 70
29. Luas Perubahan Tutupan Lahan (ha) menjadi Permukiman di Kota Padang Periode Tahun 1985 sampai Tahun 1994 ... 75
30. Hasil Analisis Regresi Berganda untuk Perubahan Lahan Hutan menjadi Lahan Permukiman Periode 1985-1994... 76
31. Hasil Analisis Regresi Berganda untuk Perubahan Lahan Semak menjadi Lahan Permukiman Periode 1985-1994... 77
32. Hasil Analisis Regresi Berganda untuk Perubahan Lahan Kebun menjadi Lahan Permukiman Periode 1985-1994... 78
33. Hasil Analisis Regresi Berganda untuk Perubahan Lahan Sawah menjadi Lahan Permukiman Periode 1985-1994... 79
34. Luas Perubahan Tutupan Lahan (ha) menjadi Permukiman di Kota Padang Periode Tahun 1994 sampai Tahun 2006 ... 81
Tabel Judul Halaman
36. Hasil Analisis Regresi Berganda untuk Perubahan Lahan Semak
menjadi Lahan Permukiman Periode 1994-2006... 82
37. Hasil Analisis Regresi Berganda untuk Perubahan Lahan Kebun
menjadi Lahan Permukiman Periode 1994-2006... 83
38. Hasil Analisis Regresi Berganda untuk Perubahan Lahan Sawah
menjadi Lahan Permukiman Periode 1994-2006... 84
39. Distribusi Kawasan untuk Pengembangan Permukiman pada
Kawasan Rawan Longsor di Kota Padang ... 86
40. Karakteristik Lahan Penentu Kesesuaian Lahan untuk Permukiman Dengan Kriteria Sesuai di Lokasi Penelitian ... 87
41. Karakteristik Lahan Penentu Kesesuaian Lahan untuk Permukiman Dengan Kriteria Tidak Sesuai di Lokasi Penelitian ... 88
42. Luas Lahan Permukiman pada setiap Zona per Kecamatan ... 89
43. Arahan Penataan dan Pengembangan Permukiman pada Kawasan
Rawan Longsor di Kota Padang... 90
44. Tipe Dinamika Permukiman per Kecamatan di Kota Padang ... 104
45. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Tutupan Lahan
Menjadi Lahan Permukiman Tahun 1985-1994 di Lokasi Penelitian .... 106
46. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Tutupan Lahan
Menjadi Lahan Permukiman Tahun 1994-2006 di Lokasi Penelitian .... 107
Gambar Judul Halaman
1. Kerangka Pikir Penelitan... 9
2. Tahapan Penelitian dan Alat Analisis ... 29
3. Rata-Rata Curah Hujan Kota Padang (1985-2005)... 50
4. Zona Tingkat Bahaya Longsor... 58
5. Perubahan Luas Lahan Permukiman pada setiap Kecamatan di Kota Padang ... 66
6. Perkembangan Pendudukan Per Kecamatan pada Kawasan Rawan Longsor di Kota Padang tahun 1985, 1994, dan 2006 ... 69
7. Luas dan Persentase Tingkat Bahaya Longsor... 70
8. Luas dan Persentase Lahan Permukiman Tahun 1985 pada Masing-Masing Tingkat Bahaya Longsor di Kota Padang ... 71
9. Luas dan Persentase Lahan Permukiman Tahun 1994 pada Masing-Masing Tingkat Bahaya Longsor di Kota Padang ... 72
10. Luas dan Persentase Lahan Permukiman Tahun 2006 pada Masing-Masing Tingkat Bahaya Longsor di Kota Padang ... 73
11. Perubahan Lahan Pemukiman Tahun 1985-2006 pada Setiap Tingkat Bahaya Longsor di Kota Padang ... 74
12. Rincian Alternatif Kebijakan Pengembangan Permukiman Pada Kawasan Rawan Longsor ... 91
13. Prioritas Kebijakan Pengembangan Pemukiman pada Kawasan Rawan Longsor ... 93
14. Hierarki Kebijakan Pengembangan Permukiman pada Kawasan Rawan Longsor ... 94
15. Perbandingan Pertumbuhan Penduduk dengan Perubahan Luas Lahan untuk Pemukiman Tahun 1985, 1994, dan 2006 di Kota Padang ... 103
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Judul Halaman
1. Peta Sampel Penelitian Tingkat Bahaya Longsor ... 133
2. Teknik Pengumpulan Data Analisis Kesesuaian Lahan untuk Permukiman menurut USDA 1971 ... 134
3. Teknik Analisis Tingkat Kesesuaian Lahan untuk Permukiman .... 135
4. Kerangka Hierarki Kebijakan ... 137
5. Peta Administratif Lokasi Penelitian ... 138
6. Peta Distribusi Curah Hujan Lokasi Penelitian... 139
7. Peta Geologi Lokasi Penelitian ... 140
8. Data Karakteristik Geologi Lokasi Penelitian... 141
9. Peta Kemiringan Lereng Lokasi Penelitian... 142
10. Data Karakteristik Geomorfologi Lokasi Penelitian... 143
11. Peta Bentuklahan Lokasi Penelitian... 144
12. Peta Jenis Tanah Lokasi Penelitian ... 145
13. Data Karakteristik Tanah Lokasi Penelitian ... 146
14. Data Karakteristik Hidrologi Lokasi Penelitian... 147
15. Peta Penggunaan Lahan Lokasi Penelitian Tahun 2006 ... 148
16. Peta Permukiman pada Kawasan Rawan Longsor Tahun 1985... 149
17. Peta Permukiman pada Kawasan Rawan Longsor Tahun 1994... 150
18. Peta Permukiman pada Kawasan Rawan Longsor Tahun 2006... 151
19. Peta Tutupan Lahan Lokasi Penelitian Tahun 1985 ... 152
20. Peta Tutupan Lahan Lokasi Penelitian Tahun 1994 ... 153
21. Peta Tutupan Lahan Lokasi Penelitian Tahun 2006 ... 154
22. Peta Arahan Pengembangan Permukiman pada Kawasan Rawan Longsor ... 155
23. Data Analisis Tingkat Kesesuaian Lahan untuk Permukiman Lokasi Penelitian ... 156
24. Peta Permukiman pada setiap Zona Pengembangan pada Kawasan Rawan Longsor ... 158
25. Kuesioner AHP ... 159
27. Peta Kesesuaian Lahan untuk Permukiman ... 165
28. Peta Penyimpangan Arah Pengembangan Fisik Kota Padang
1
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pembangunan yang pesat telah menyebabkan perubahan pola penggunaan
lahan, dimana ruang terbangun semakin mendominasi dan mendesak ruang-ruang
alami untuk berubah fungsi. Fenomena tersebut umumnya terjadi pada wilayah
perkotaan, dimana perubahan penggunaan lahan berlangsung dengan sangat
dinamis (Pribadi et al., 2006). Selain itu, Harun (1992) dan Kustiawan (1997) menjelaskan bahwa perubahan pola penggunaan lahan mengakibatkan terjadinya
fluktuasi daya dukung sumberdaya lahan, sehingga menimbulkan terjadinya
degradasi lahan, lahan kritis, erosi, dan longsor (landslide). Buol et al. (1980) dan Darmawijaya (1990) menjelaskan bahwa longsor pada hakekatnya disebabkan
oleh ketidakmampuan tanah menahan beban diatasnya karena tanah sudah
mengalami degradasi sifat-sifat tanah
Longsor merupakan suatu fenomena alam yang selalu berhubungan dengan
datangnya musim hujan, terjadi secara tiba-tiba dalam waktu yang relatif singkat
pada suatu tempat tertentu dengan tingkat kerusakan yang sangat berat, bahkan
kehilangan nyawa penduduk yang bermukim di sekitarnya (Sitorus, 2006a).
Menurut Utoyo et al. (2001) dan Canuti et al. (2003), bencana longsor selain diakibatkan oleh karakteristik wilayah, juga disebabkan oleh aktivitas manusia
dalam hal pemenuhan kebutuhannya tanpa memperhatikan keberlanjutan dari
sumberdaya alam. Dewasa ini, bencana longsor sering terjadi dan menghancurkan
permukiman serta sarana dan prasarana lainnya. Hal ini menimbulkan kerugian
harta dan jiwa penduduk yang bermukim pada daerah tersebut, sehingga perlu
penataan kembali permukiman penduduk ke kawasan yang bebas longsor
(Virdin, 2001; Syahrin, 2003; Suryani dan Marisa, 2005; dan Martono et al., 2005).
UU No. 1 Tahun 1964 tentang Peraturan Pemerintah Penganti UU No. 6
Tahun 1962 tentang Pokok-Pokok Perumahan memberikan wewenang dalam
pembangunan dan mengendalikan kualitas permukiman pada Departemen
Pekerjaan Umum (Dept. PU) untuk mengembangkan dan mengendalikan
mempertimbangkan kualitas permukiman, sehingga untuk menyelaraskan
perumahan dan permukiman, maka pemerintah menerbitkan UU No. 4 tahun
1992 tentang Perumahan dan Permukiman, dengan substansi dalam mengadakan
perumahan juga meningkatkan kualitas permukiman, pembangunan permukiman
skala besar harus mengacu pada Kawasan Siap Bangun (KASIBA) dan
Lingkungan Siap Bangun (LISIBA), dan pembangunan permukiman harus
mengacu pada Rencana Tata Ruang (RTR) (UNDP, 1997 dan Kuswartojo et al., 2005). Berdasarkan hal tersebut, Nugroho (2001) dan Widyastuti (2003)
merumuskan tipe-tipe permukiman, yaitu tipe terencana dan tidak terencana. Tipe
permukiman terencana merupakan permukiman yang dikembangkan
berdasarkan UU Penataan Ruang, PP Penataan Ruang, PP KASIBA, dan PP
LISIBA, serta kebijakan-kebijakan dalam penataan ruang lainnya, sehingga
bencana yang disebabkan oleh fenomena alam, terutama longsor dapat
diminimalkan dalam merusak tatanan fisik dan sosial budaya suatu kawasan.
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (2005), secara umum
menjelaskan bahwa Indonesia tergolong pada daerah rawan longsor dengan 918
titik lokasi rawan longsor yang setiap tahunnya mengakibatkan kerugian akibat
bencana tanah longsor sekitar Rp. 800 milyar, sedangkan jiwa yang terancam
sekitar 1 juta jiwa. Propinsi yang tergolong rawan longsor adalah: Jawa Tengah
(327 lokasi), Jawa Barat (276 lokasi), Sumatera Barat (100 lokasi), Sumatera
Utara (53 lokasi), Yogyakarta (30 lokasi), Kalimantan Barat (23 lokasi), dan
sisanya tersebar di NTT, Riau, Kalimantan Timur, Bali, Jawa Timur, Sulawesi
Utara, dan Papua. Selama tahun 2003-2005, longsor yang terjadi mencapai 103
kali dan menghancurkan permukiman penduduk. Korban jiwa yang meninggal
dunia 411 orang, korban luka-luka 149 orang, rumah hancur 256 unit, rumah
rusak 1.854 unit, rumah terancam longsor 2.498 unit, lahan petani rusak 751 ha,
dan jalan terputus 920 m.
Propinsi Sumatra Barat sebagai salah satu propinsi yang rawan longsor
memiliki luas + 42.297 km2. Pada tahun 1971 jumlah penduduk 2.792.221 jiwa,
diantaranya 86% tinggal di desa. Kepadatan penduduk rata-rata 66 jiwa/km2 dan
3 2006, jumlah penduduk Sumatera Barat + 4.746.776 jiwa dengan kepadatan
penduduk rata-rata 112 jiwa/km2. Konsentrasi permukiman sebagian besar
terdapat di Kota Padang, Kota Bukitinggi, Kabupaten Padang Pariaman, Agam,
Limapuluh Kota, Solok, dan Kabupaten Tanah Datar (Pemprov Sumbar, 2007).
Kota Padang merupakan ibu kota propinsi Sumatera Barat dengan tipe relief
datar-berbukit. Dinamika permukiman akibat perubahan penggunaan lahan terus
terjadi, umumnya berkembang ke daerah pinggiran bagian timur, utara, dan
selatan kota dengan karakteristik fisik yang rentan terhadap bencana longsor. Kota
Padang awalnya merupakan suatu permukiman kecil, secara spasial mempunyai
lokasi yang strategis bagi kegiatan perdagangan. Seiring dengan perjalanan waktu,
Kota Padang mengalami perkembangan sebagai akibat pertambahan penduduk,
perubahan sosio-ekonomi dan budayanya, serta interaksinya dengan kota-kota lain
dan daerah sekitarnya (Sandy, 1978).
Luas lahan yang digunakan untuk permukiman di Kota Padang sampai
tahun 1980 adalah 3.044,20 ha, kemudian pada tahun 1995 luas lahan yang
digunakan untuk permukiman adalah 8.288,28 ha. Kemudian pada tahun 2005
berkembang menjadi 12.444,21 ha dari luas lahan Kota Padang seluas 69.496,00
ha (BPS Kota Padang tahun 1981, 1995, dan 2006). Pertumbuhan dan
perkembangan permukiman tersebut umumnya terjadi pada Kecamatan Lubuk
Kilangan, Kecamatan Bungus Teluk Kabung, dan Kecamatan Padang Selatan,
yang tergolong pada wilayah rawan longsor (BKSPBB, 2007). Dengan terjadinya
dinamika permukiman akibat perubahan penggunaan lahan, masalah yang timbul
di Kota Padang adalah banyaknya daerah-daerah yang tidak sesuai untuk
permukiman dimanfaatkan oleh penduduk untuk mendirikan perumahan.
Pembangunan permukiman tersebut mengakibatkan berkurangnya kawasan
konservasi, sehingga akan menambah berat massa tanah akibat terbebani oleh
bangunan.
BKSPBB Kota Padang (2007) menjelaskan bahwa dalam rentang tahun
1980-2007 sudah terjadi + 30 kali longsor melanda Kota Padang yang banyak
menimbulkan kerugian harta, benda, dan jiwa penduduk. Lokasi kejadian longsor
terdapat di kawasan Gunung Padang, yaitu di Bukit Lantiak, Bukit Gado-Gado,
Gaung, Lubuk Minturun, Sitinjau Laut, Indarung, dan Bungus Teluk Kabung.
Bencana tanah longsor yang terjadi di Bukit Lantiak pada tahun 1999
mengakibatkan 67 orang meninggal dunia dan puluhan rumah hancur. Tahun 2000
dan 2001 longsor kembali terjadi di Bukit Lantiak yang menewaskan puluhan
jiwa. Bencana tersebut tergolong pada bencana tanah longsor yang cukup parah,
sehingga dianggap sebagai bencana daerah Sumatera Barat dan Nasional. Sejalan
dengan otonomi daerah, dimana Kota Padang diberi wewenang dalam mengatasi
permasalahan penataan ruang, terutama penataan ruang untuk permukiman,
pemerintah daerah berkewajiban mengeluarkan suatu kebijakan penggunaan lahan
untuk permukiman, terutama pengembangan permukiman pada kawasan rawan
longsor, agar tercipta rasa aman bagi masyarakat.
1.2. Perumusan Masalah
Longsor merupakan bagian dari gerakan tanah yang tergolong pada gerakan
massa(mass movement) yang sangat erat kaitannya dengan proses-proses alamiah pada suatu bentang alam. Secara umum longsor disebabkan oleh: (1) adanya
lereng yang cukup curam sehingga massa tanah dapat bergerak atau meluncur ke
bawah, (2) adanya lapisan dibawah permukaan tanah yang kedap air dan lunak
sebagai bidang luncur, dan (3) adanya cukup air di dalam tanah sehingga lapisan
massa tanah yang tepat di atas lapisan kedap air tersebut menjadi jenuh. Longsor
dikatakan sebagai bencana alam apabila terjadi dan menimpa permukiman
masyarakat (Karnawati, 2005a). Pada setiap kondisi fisik lahan yang berbeda akan
menimbulkan tingkat bahaya longsor yang berbeda pula. Menurut Zuidam dan
Concelado (1979), Utomo (1989), dan Hardiyatmo (2006), karakteristik fisik
lahan yang berpengaruh terhadap longsor adalah kembang kerut tanah,
permeabilitas, tekstur tanah, kedalaman solum tanah, kemiringan lereng, bentuk
lereng, panjang lereng, sebaran mata air tanah, kedalaman muka air tanah, saluran
drainase, curah hujan, tipe penggunaan lahan, dan tingkat pelapukan batuan.
Bencana longsor tidak hanya dipengaruhi oleh karakteristik lahan tetapi
juga dipengaruhi oleh penambahan beban pada lereng akibat dibangunnya rumah
5 Propinsi Sumatera Barat, sudah banyak menimbulkan kerusakan bangunan,
kehilangan jiwa, dan kerugian ekonomi. Upaya meminimalkan bahaya longsor
tersebut belum dioptimalkan oleh pemerintah Kota Padang dan akan terus menjadi
bahaya bagi keselamatan masyarakat yang bermukim pada kawasan rawan
longsor. Saat ini kondisi penataan ruang dan pengelolaan permukiman kurang
terlaksana dan terkoordinasi dengan baik karena:
1. Semakin tidak jelasnya tata batas dan zonasi/pembagian blok kawasan tingkat
bahaya longsor, sehingga masyarakat terus mengembangkan hunian mereka ke
kawasan yang rentan terhadap bencana longsor. Demikian juga dengan
informasi yang bersifat prediktif terhadap sebaran tingkat bahaya longsor belum dirumuskan oleh pemerintah Kota Padang, sehingga pemerintah Kota
Padang belum mampu untuk memprediksikan lokasi atau kawasan dan waktu
terjadinya longsor. Hal ini mengakibatkan Sistem Peringatan Dini (Early Warning System) belum bisa diterapkan di Kota Padang.
2. Belum adanya informasi secara spasial terhadap perubahan penyebaran dan
perkembangan permukiman (dinamika permukiman), sehingga secara langsung mempengaruhi pola penggunaan lahan yang diterapkan oleh
masyarakat yang berakibat semakin tingginya intensitas longsor yang terjadi
dan menghancurkan permukiman penduduk di Kota Padang.
3. Belum diketahuinya rumusan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan
tutupan lahan menjadi lahan permukiman, terutama faktor sosial masyarakat
yang berperan langsung secara aktif mempengaruhi perubahan tutupan lahan
menjadi lahan permukiman di Kota Padang.
4. Belum adanya arahan penataan penggunaan lahan kawasan rawan longsor
yang berbasis bencana, sehingga diperlukan suatu arahan kebijakan
pengembangan permukiman pada kawasan rawan longsor yang bertujuan
untuk mengembangkan kebijakan penataan ruang untuk permukiman yang
berbasis bencana di Kota Padang.
Berdasarkan pada rumusan masalah tersebut, maka disusun pertanyaan
1. Bagaimanakah rumusan zona-zona tingkat kawasan bahaya longsor agar
masyarakat mengetahui kawasan yang berbahaya bagi permukiman?
2. Bagaimanakah rumusan perkembangan perubahan penggunaan lahan untuk
permukiman secara spasial agar diketahui arah penyebaran permukiman penduduk?
3. Apa faktor-faktor sosial yang berperan dalam proses perubahan tutupan lahan
menjadi lahan permukiman?
4. Arahan kebijakan pengembangan permukiman yang bagaimanakah yang
harus dikembangkan pada kawasan rawan longsor?
Bertolak dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka perlu didapatkan data
dan informasi yang lengkap mengenai: (1) zonasi kawasan tingkat bahaya longsor
di Kota Padang, (2) dinamika permukiman, (3) faktor-faktor yang mempengaruhi
perubahan tutupan lahan menjadi lahan permukiman, dan informasi-informasi
tersebut digunakan untuk merumuskan arahan kebijakan pengembangan
permukiman pada kawasan rawan longsor di Kota Padang.
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk:
1. Mengetahui zona-zona kawasan tingkat bahaya longsor.
2. Mengetahui dinamika permukiman pada kawasan rawan longsor
3. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan tutupan lahan
menjadi lahan permukiman
4. Merumuskan arahan kebijakan pengembangan permukiman pada kawasan
rawan longsor
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini terdiri dari manfaat bagi pengembangan ilmu
pengetahuan, manfaat bagi peneliti, dan manfaat bagi pemegang kebijakan.
1. Manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan adalah dapat dirumuskan teori,
proses kegiatan penelitian (metodologi, analisis, dan kesimpulan) yang
mencirikan berkembangnya ilmu dan pengetahuan di bidang penataan
7 2. Manfaat bagi peneliti adalah dapat berkembangnya kemampuan penalaran
dalam rangka membentuk kemandirian peneliti dalam melakukan penelitian
yang original.
3. Manfaat bagi pemegang kebijakan adalah sebagai dasar untuk
mengembangkan kebijakan penataan ruang kawasan rawan longsor untuk
permukiman di Kota Padang Propinsi Sumatera Barat dan di daerah-daerah
lain yang memiliki kesamaan permasalahannya.
1.5. Kebaruan Penelitian
Novelty atau kebaruan penelitian ini adalah:
1. Penzonasian tingkat bahaya longsor disusun secara komprehensif melalui
pendekatan keruangan, pendekatan geomorfologi, dan pendekatan tanah.
2. Dihasilkan arahan kebijakan pengembangan permukiman pada kawasan
tingkat bahaya longsor.
3. Penelitian dinamika permukiman dan arahan kebijakan pengembangan
permukiman pada kawasan rawan longsor belum pernah dilakukan, terutama
di Kota Padang.
1.6. Kerangka Pemikiran
Dinamika permukiman pada wilayah perkotaan merupakan suatu proses
perubahan permukiman dari suatu keadaan ke keadaan yang lain dalam waktu
yang berbeda. Analisis perubahan keadaan permukiman tersebut didasarkan pada
waktu yang berbeda untuk analisis ruang yang sama (Riyadi, 2001). Dinamika
permukiman umumnya disebabkan oleh faktor fisik, politik, ekonomi, sosial, dan
budaya yang bersifat dinamis di Kota Padang, sehingga sejak awal tahun 1980-an
terjadi perkembangan permukiman ke kawasan yang secara geologi, karakteristik
tanah, topografi, hidrologi, dan iklim tergolong pada kawasan rawan longsor.
Berkembangnya permukiman ke kawasan rawan longsor menimbulkan
perubahan penggunaan lahan. Hal ini disebabkan dalam suatu kawasan
permukiman, selain dibangunnya tempat hunian (rumah) dengan prasarana dan
sarana yang menunjang, juga merupakan tempat beraktivitas penduduk dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya. Akibat yang pasti muncul adalah faktor-faktor
yang menyebabkan kerawanan terjadinya longsor berubah menjadi faktor-faktor
Bencana tanah longsor yang terjadi di Kota Padang mempunyai intensitas
yang cukup tinggi dan selalu terjadi setiap tahunnya (BKSPBB Kota Padang,
2007). Tingginya intensitas kejadian longsor yang menimpa permukiman diduga
sebagai akibat terjadinya perubahan penggunaan lahan untuk permukiman dan
aktivitas mayarakat yang tidak mengacu pada RTRW Kota Padang, sehingga
proses pengembangan permukiman juga tidak mengacu pada rencana
penggunaan lahan yang telah ditetapkan.
Dinamika permukiman dianalisis berdasarkan perubahan pola
penggunaan lahan untuk permukiman pada rentang waktu yang berbeda.
Sedangkan penelitian tingkat bahaya longsor dilakukan untuk mengetahui
distribusi dari sebaran tingkat bahaya longsor di lokasi penelitian yang digunakan
sebagai panduan untuk melakukan analisis perubahan luas lahan untuk
permukiman pada masing-masing tingkat bahaya longsor. Perumusan
faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan tutupan lahan menjadi lahan permukiman
dilakukan berdasarkan perbandingan data perubahan luas lahan dengan data-data
sekunder sosial masyarakat pada setiap kecamatan di Kota Padang. Faktor-faktor
yang mempengaruhi perubahan tutupan lahan menjadi lahan permukiman di
Kota Padang di analisis pada dua periode, yaitu periode tahun 1985-1994 dan
periode tahun 1994-2006. Hal ini dilakukan untuk menganalisis pengaruh dari
masing-masing faktor tersebut dalam periode tahun yang berbeda. Hasil penelitian
zonasi tingkat bahaya longsor, dinamika permukiman, dan faktor-faktor yang
mempengaruhi perubahan tutupan lahan menjadi lahan permukiman digunakan
untuk merumuskan arahan kebijakan pengembangan permukiman pada kawasan
rawan longsor di Kota Padang.
Arahan kebijakan penggunaan lahan untuk pengembangan permukiman
pada kawasan rawan longsor di Kota Padang bersifat anjuran yang dapat di
gunakan untuk menyusun produk kebijakan permukiman pada kawasan rawan
longsor di Kota Padang. Arahan kebijakan ini disusun berdasarkan pada hasil
penelitian zonasi kawasan tingkat bahaya longsor, dinamika permukiman, dan
faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan tutupan lahan menjadi lahan
permukiman di Kota Padang. Selain itu, arahan kebijakan ini juga menggunakan
data-data sekunder yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga terkait atau hasil dari
kebijakan-kebijakan yang telah disederhanakan. Zona peruntukan kawasan untuk
permukiman yang disusun berdasarkan peta tingkat bahaya longsor dengan peta
tingkat kesesuaian lahan merupakan upaya untuk mengklasifikasikan
kawasan-kawasan yang dapat digunakan dan dikembangkan untuk permukiman. Kerangka
9
`
Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian
PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN (LAND
COVER)UNTUK PEMUKIMAN
Faktor Fisik
DINAMIKA PERMUKIMAN DAN ARAHAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERMUKIMAN PADA KAWASAN RAWAN LONGSOR DI KOTA PADANG
PERKEMBANGAN PERMUKIMAN DAN URBAN BIOFISIK LAHAN KAWASAN
RAWAN LONGSOR
Model Perubahan Tutupan Lahan Menjadi Lahan Permukiman
DINAMIKA PERMUKIMAN
Dinamika Permukiman Kota
Dinamika Permukiman Kawasan Tingkat Bahaya Longsor
Tingkat Kesesuaian Lahan untuk Permukiman
Spasial Arahan Kebijakan Pengembangan Permukiman Pada Kawasan Rawan Longsor
Kebijakan Penataan Ruang dan Permukiman Kota
ARAHAN PENATAAN LAHAN PADA SETIAP ZONA PERUNTUKAN PENGEMBANGAN PERMUKIMAN
10
2.1. Zonasi Kawasan Tingkat Bahaya Longsor dan Faktor Penyebab Terjadinya Longsor
Zonasi merupakan pengalokasian kawasan untuk peruntukan tertentu.
Peraturan tentang zonasi tercantum dalam Pasal 35 dan Pasal 36 UU nomor 26
tahun 2007 tentang Penataan Ruang, bahwa pengendalian pemanfaatan ruang
dilakukan melalui penetapan peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif, dan
disinsentif, serta pengenaan sanksi. Peraturan zonasi disusun sebagai pedoman
pengendalian pemanfaatan ruang berdasarkan rencana rinci tata ruang untuk setiap
zona pemanfaatan ruang. Perumusan zonasi tingkat bahaya longsor pada kawasan
rawan longsor bertujuan untuk mengendalikan pemanfaatan dan peruntukan
kawasan agar dapat dimanfaatkan sesuai dengan peruntukannya, sehingga
pencegahan bencana longsor dapat dioptimalkan.
Menurut Sitorus (2006b), penyebab terjadinya bencana longsor secara
umum dapat dibedakan atas 3, yakni: (1) kondisi alam yang bersifat statis, seperti
kondisi geografi, topografi, dan karakteristik sungai, (2) peristiwa alam yang
bersifat dinamis, seperti perubahan iklim global, pasang-surut, land subsidence, sedimentasi, dan sebagainya, serta (3) aktivitas sosial-ekonomi manusia yang
sangat dinamis, seperti deforestasi (penggundulan hutan), konversi lahan pada
kawasan lindung, pemanfaatan sempadan sungai/saluran untuk perumahan,
pemanfaatan wilayah retensi banjir, perilaku masyarakat, keterbatasan prasarana
dan sarana pengendali banjir dan sebagainya. Bencana longsor dan banjir yang
terjadi belakangan ini banyak menimbulkan korban jiwa dan kerugian harta benda
yang besar. Selain itu, menyisakan pula berbagai permasalahan, seperti: (1)
menurunnya tingkat kesehatan masyarakat akibat penyebaran wabah penyakit
menular (waterborne diseases), (2) munculnya berbagai kerawanan sosial, dan (3) menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat.
Bencana longsor sangat sering terjadi di Indonesia. Hal ini disebabkan
karena Indonesia merupakan daerah subduksi, sehingga mempunyai topografi yang bergunung-gunung yang menjadikan lahan mempunyai lereng yang landai
sampai curam, dengan curah hujan yang relatif tinggi setiap tahunnya. Kombinasi
antara curah hujan yang tinggi dan kondisi geomorfologi yang cukup komplek di
11
sudah biasa terjadi (Karnawati, 2005b; Andreas et al., 2007; Sariri et al., 2007). Zuidam dan Concelado (1979) mendefinisikan longsor sebagai gerakan material
tanah atau batuan menuruni lereng yang disebabkan oleh adanya interaksi
faktor-faktor pemicu (air hujan dan jenis tutupan lahan) yang bersifat aktif
mempengaruhi material penyusun tanah dalam kondisi lereng dan geologi tertentu
yang terjadi secara cepat.
Lopez dan Zinck (1991), Marsaid (2002), Degraff dan Rogers (2003), dan
Atzeni et al. (2003), mengatakan bahwa penyebab terjadinya longsor adalah: (1) curah hujan, (2) sifat fisik tanah, (3) kemiringan lereng, (4) sedimen yang tidak
kompak (unconsolidated), (5) batuan penyusun tanah, (6) kedalaman solum tanah (kedalaman pelapukan batuan), (7) aktivitas gempa, (8) kegiatan kegunungapian,
(9) degradasi lingkungan. Pada hakekatnya bencana longsor diakibatkan oleh
faktor alamiah dan faktor non alamiah. Faktor alamiah penyebab terjadinya
longsor adalah: (1) kondisi geologi, yaitu adanya jalur-jalur patahan dan rekahan
batuan yang mengakibatkan kondisi lereng yang mempunyai kemiringan > 30%
dan tumpukan tanah liat pasiran di atas batuan kedap air berupa andesit dan breksi
andesit, (2) kondisi curah hujan yang cukup tinggi setiap tahunnya, dan (3) sistem
hidrologi (tata air) pada daerah lereng. Faktor non alamiah adalah: (1) pembukaan
hutan secara sembarangan, (2) penanaman jenis tanaman yang terlalu berat
dengan jarak tanam yang terlalu rapat, (3) pemotongan tebing/lereng untuk jalan
dan permukiman secara tidak teratur.
Menurut Suryono (2000), Chigira dan Inokuchi (2003), serta Choirudin et al. (2007), pola penggunaan lahan sangat berpengaruh terhadap longsor. Hampir semua longsor terjadi akibat pengaruh aktivitas manusia dalam mengelola lahan,
terutama dalam mengelola penggunaan lahan pada daerah-daerah berlereng. Pola
pengolahan lahan yang tidak memperhatikan teknik-teknik konservasi tanah akan
menimbulkan kerusakan pada lahan, sehingga keseimbangan lahan akan
terganggu dan rentan terhadap longsor. Selain itu, Moore dan Singer (1990),
Carrara et al. (1992), Wang et al. (2003), dan Prayogo (2007), menambahkan bahwa longsor paling sering terjadi di lereng-lereng yang mempunyai lapisan
batuan yang kedap air, sehingga menjadi bidang gelincir, yang mengakibatkan
lapisan tanah yang terletak diatasnya akan meluncur dan jatuh pada lahan yang
lebih rendah.
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (2007), menjelaskan
mengakibatkan korban meninggal dunia 63 orang, korban luka-luka 25 orang,
rumah hancur 16 unit, rumah rusak 14 unit, lahan pertanian rusak 540 ha, dan
jalan putus 60 m. Longsor yang terjadi di Kecamatan Limo Koto Padang
Pariaman Sumbar, yang terjadi pada tanggal 8 Januari 2006 dengan volume tanah
yang menimbun permukiman rakyat 10000 m3, sehingga mengakibatkan 13 orang
meninggal, 4 rumah, dan 1 mushola hancur, serta terjadi kerusakan lahan
pertanian dan jalan yang cukup parah. Penyebab longsor ini adalah curah hujan
yang tinggi selama 3 hari sebelum kejadian, kemiringan lereng yang cukup terjal,
sifat tanah dan batuan yang lunak dan mudah lepas, dan tidak adanya vegetasi
penutup yang berakar kuat dan dalam. Longsor yang terjadi di kawasan
permukiman rakyat Kabupaten Pesisir Selatan pada tahun 2000, menyebabkan 24
orang meninggal, 6 orang tertimbun, dan sisanya hanyut di bawa arus Batang
Bayang. Di Malalo Kabupaten Tanah Datar, longsor yang terjadi menimbulkan 31
orang tertimbun longsor dan meninggal, sementara itu di Talu Kabupaten
Pasaman, longsor mengakibatkan 21 orang meninggal dan 4 orang tertimbun.
Bencana longsor terbesar yang melanda Sumatera Barat terjadi pada tahun 1987 di
Kota Padang Panjang dengan menelan korban jiwa sebanyak 130 orang dan
puluhan rumah hancur (bencana tanah longsor di Kota Padang tahun 1980-2006:
Tabel 1).
Tabel 1. Bencana Tanah Longsor di Kota Padang Tahun 1985-2006
Tahun Kejadian Lokasi
1985-1995 Bukit Gado-Gado (1985)*, Bukit Lantiak (1986*, 1991*), Bukit
Lampu (1987*, 1995**), Lubuk Minturun (1988**, 1994*), Bukit Gaung (1987**, 1991**, 1992*), Sungaiberemas (1992*), Bukit Mata Air (1993*,1997**), Pabayan (1994*), Sitinjau Laut (1995**)
1995-2006 Bukit Lantiak (2000*, 2005*), Bukit Gado-Gado (1996*, 1999*,
2001*), Mato Aie Barat (2001**, 2005*), Bukit Gaung (2005**), Bukit Lampu (2002**, 2004**), Sitinjau Laut (2003**)
Sumber: BKSPBB Kota Padang (2007)
Ket: * longsor menghancurkan lahan permukiman
** longsor menghancurkan lahan pertanian, jalan, dan sarana lainnya
Degraff dan Rogers (2003), Chigira dan Inokuchi (2003), Han (2003), dan
USGS (2004) menjelaskan bahwa longsor merupakan perpindahan material
pembentuk lereng berupa batuan, bahan rombakan, tanah, atau material campuran
13
tersebut menembus sampai tanah kedap air yang berperan sebagai bidang gelincir,
maka tanah menjadi licin dan tanah pelapukan di atasnya akan bergerak mengikuti
lereng atau keluar lereng.
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (2007) menjelaskan 6
jenis tanah longsor, yaitu: (1) longsor translasi adalah bergeraknya massa tanah
dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau mengelombang landai, (2)
longsor rotasi yaitu bergeraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir
berbentuk cekung, (3) pergerakan blok, yaitu perpindahan batuan yang bergerak
pada gelincir berbentuk rata. Longsor ini juga disebut sebagai longsor translasi
blok batuan, (4) runtuhan batu, terjadi ketika sejumlah besar batuan atau material
lain begerak ke bawah dengan cara jatuh bebas, umumnya terjadi pada lereng
yang terjal hingga menggantung terutama di daerah pantai, (5) rayapan tanah,
merupakan jenis tanah longsor yang bergerak lambat. Jenis tanahnya berupa
butiran kasar dan halus. Jenis tanah longsor ini hampir tidak dapat dikenali, tetapi
setelah waktu yang cukup lama longsor jenis rayapan ini bisa menyebabkan
tiang-tiang telepon, pohon, atau rumah miring ke bawah, dan (6) aliran bahan
rombakan. Jenis tanah longsor ini terjadi ketika massa tanah bergerak didorong
oleh air. Kecepatan aliran tergantung pada kemiringan lereng, volume dan tekanan
air, serta jenis materialnya.
Marsaid (2002), Alvarado et al. (2003), dan Sitorus (2006b), mengatakan bahwa gejala umum longsor adalah: (1) munculnya retakan-retakan di lereng yang
sejajar dengan arah lereng, biasanya muncul setelah terjadi hujan, (2) munculnya
mata air baru secara tiba-tiba, dan (3) tebing rapuh dan kerikil mulai berjatuhan.
Karnawati (2005a) menjelaskan bahwa pergerakan massa tanah pada lereng dapat
terjadi akibat interaksi pengaruh antara beberapa kondisi yang meliputi kondisi
morfologi, geologi, struktur geologi, hidrogeologi, dan tata guna lahan.
Kondisi-kondisi tersebut saling berpengaruh sehingga mewujudkan Kondisi-kondisi lereng yang
berpotensi untuk bergerak.
Menurut Isnaniawardhani et al. (2003), Baudry dan Thenail (2003), Kutiel
budidaya, atau dari kawasan budidaya dengan karakteristik menyerupai kawasan
lindung menjadi kawasan budidaya yang tidak menunjang fungsi konservasi
lingkungan hidup. Kerusakan kawasan hutan lindung menyisakan
kawasan-kawasan hutan yang secara fisik tidak lagi berwujud hutan, namun lebih sebagai
lahan terlantar.
2.2. Dinamika Permukiman dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya
Dinamika permukiman merupakan suatu proses perubahan keadaan
permukiman dari suatu keadaan ke keadaan yang lain. Perubahan keadaan tersebut
biasanya didasarkan pada waktu yang berbeda pada analisis ruang yang sama,
baik berlangsung secara alami maupun secara artifisial, dengan campur tangan
manusia yang mengatur arah perubahan keadaan tersebut (Riyadi, 2001 dan
Antrop, 2004). Menurut Utoyo et al. (2001) dan Chust et al. (2004), faktor-faktor fisik, sosial, ekonomi, politik, dan budaya yang sangat komplek dapat
mempengaruhi perubahan alami permukiman, sehingga mempunyai pengaruh
positif maupun pengaruh negatif terhadap kesejahteraan penduduk yang
bermukim.
Menurut Friedman (1985), Low dan Erve (1989), Kaur et al. (2004), dinamika perubahan penggunaan lahan untuk permukiman dipengaruhi oleh
pergerakan manusia dalam membangun permukiman serta pindahnya
fungsi-fungsi wilayah, seperti pendidikan, industri, perdagangan, dan lain sebagainya.
Yunus (1991) mengatakan bahwa terdapat faktor pendorong dan faktor penarik
yang menyebabkan penduduk dan fungsi-fungsi wilayah berkembang ke daerah
pinggir, yaitu faktor pendorong yang berhubungan dengan daerah asal dan faktor
penarik yang berkaitan dengan daerah tujuan. Pribadi et al. (2006), Zain et al. (2006a), dan Suwedi et al. (2006), menjelaskan bahwa dengan pesatnya pembangunan akan menyebabkan perubahan pola penggunaan lahan, dimana
ruang terbangun semakin mendominasi dan mendesak ruang-ruang alami untuk
berubah fungsi. Tingginya desakan terhadap ruang-ruang alami akan
menyebabkan menurunnya kemampuan alami lahan untuk menyerap dan
menampung air, terutama pada musim penghujan.
Hasil penelitian van Lier (1998), Nnkya (1999), dan Pribadi et al. (2006) menunjukkan bahwa perubahan alami di suatu wilayah lebih dominan di dorong
perkebunan-15
perkebunan besar yang selanjutnya akan menyebabkan terjadinya perluasan
permukiman ke wilayah pinggir (urban fringe). Pembukaan lahan hutan untuk aktivitas pertanian dan permukiman akan berdampak pada makin berkurangnya
fungsi ekosistem, sehingga arahan kebijakan adalah perlu menata kembali
aktivitas permukiman dan pertanian dalam konteks ruang agar tidak mengeser
kepentingan ekologis.
Wilayah permukiman merupakan salah satu bentuk lingkungan binaan,
yang dapat dikelompokan menjadi 2, yaitu: (1) permukiman yang tidak terencana,
tumbuh dan berkembang berdasarkan aktivitas mata pencaharian penduduk dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya dan (2) permukiman yang terencana yang sudah
mengacu pada UU penataan ruang serta kebijakan-kebijakan daerah yang tertuang
dalam rencana tata ruang daerah (Wu dan Webster, 1998; Herrmann dan Osinski,
1999; Widyastuti, 2003; dan Arif, 2003). Kemudian Suryani dan Marisa (2005)
juga menjelaskan bahwa permukiman selain merupakan kebutuhan dasar manusia
juga mempunyai fungsi yang strategis sebagai pusat pendidikan keluarga,
persemaian budaya, dan peningkatan kualitas generasi yang akan datang serta
merupakan pengaktualisasian diri. Terwujudnya kesejahteraan rakyat ditandai
dengan meningkatnya kualitas hidup yang layak dan rasa aman dari segala bahaya
yang mengancam keselamatan hidupnya.
UNDP (1997) menjelaskan bahwa ada dua permasalahan pokok dalam
bidang permukiman yang dalam jangka panjang masih akan dihadapi Indonesia,
yaitu: (1) pembangunan permukiman baru untuk mengakomodasi pertumbuhan
penduduk. Diperkirakan 1,75 juta unit rumah dan sekitar 30.000 ha tanah
permukiman tiap tahun harus dibangun untuk mengakomodasi pertumbuhan
penduduk sampai dengan tahun 2020 dan (2) pengelolaan permukiman yang telah
ada dalam meningkatkan kualitas sumberdaya manusia dan sumberdaya sosial
yang hidup di dalamnya. Selain itu, pertambahan penduduk dalam suatu wilayah,
selalu diikuti oleh peningkatan kebutuhan ruang. Kota sebagai perwujudan
geografis selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Dua faktor yang
sangat berperan adalah faktor penduduk (demografis) dan aspek-aspek
kependudukan. Dari segi demografis yang paling penting adalah segi kuantitas.
Kuantitas dan kualitas kegiatannya selalu meningkat sejalan dengan pertambahan
penduduk, sehingga ruang sebagai wadah kegiatan tersebut selalu mengalami
Gallent dan Kim (2001), Lenz dan Stary (1995), Amdan (2004), Bielders,
et al. (2004), dan Giyarsih (2005) menambahkan bahwa kecenderungan pergeseran fungsi-fungsi kekotaan ke daerah pinggiran (urban fringe), disebut dengan proses perembetan kenampakan fisik kekotaan ke arah luar (urban sprawl), sehingga daerah pinggiran kota akan mengalami proses transformasi spasial. Proses densifikasi permukiman yang terjadi di daerah pinggiran kota merupakan realisasi dari meningkatnya kebutuhan ruang di daerah perkotaan.
Pada kondisi topografi pinggiran kota yang berbukit, secara fisik lahan tidak bisa
dikembangkan untuk permukiman, tetapi dengan terjadinya proses densifikasi
akan menimbulkan konversi lahan menjadi daerah permukiman.
UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang secara tegas menyatakan
bahwa dalam penyusunan rencana tata ruang, terutama untuk kawasan
permukiman, harus memperhatikan dan menghindari kawasan rawan bencana.
Kenyataan yang ada pada saat ini, dengan meningkatnya pertambahan jumlah
penduduk maka permukiman, terutama permukiman yang tidak terencana telah
mengalami densifikasi ke kawasan rawan longsor.
Menurut Parson (1995), Carswell (1996), Bennis dan Mische (1996),
Niebuhr (2003), Michon et al. (2005), serta Munawir (2006), ruang merupakan suatu sumberdaya yang dapat dimanfaatkan secara umum oleh seluruh
stakeholder. Karena itu, jika tidak ada pengaturan tata ruang, maka akan terjadi apa yang disebut tragedy of the common. Ruang akan tereksploitasi habis-habisan melampaui daya dukung dan daya lentingnya sehingga tidak ada manfaat yang
dapat dinikmati bersama lagi, bahkan sebaliknya mendatangkan bencana yang
dahsyat terhadap komunitas dan lingkungannya. Kasus rumah-rumah yang
tertimbun longsor merupakan contoh tidak berfungsinya manajemen tata ruang
untuk permukiman. Mengingat Indonesia adalah negeri rawan bencana, maka
penataan ruang harus dilakukan atas dasar peta geo-spasial yang mengacu berbagai aspek ilmu kebumian. Dalam kaitan ini, misalnya, perlu dipikirkan
ruang-ruang yang merupakan public space untuk berbagai keperluan penduduk.
Public space bukan sekadar ruang hijau, tetapi juga ruang-ruang publik tertentu untuk penyelamatan dari bencana alam.
2.3. Arahan Kebijakan Pengembangan Permukiman
Hornby (1974), Parson (1995), dan Danim (2000) mendefinisikan arahan
17
kebijakan. Kebijakan merupakan rencana kegiatan, pernyataan suatu tujuan yang
ideal, dibuat oleh pemerintah, partai politik atau kegiatan usaha. Kebijakan
pemerintah merupakan hasil rumusan pola intervensi atau pengaturan pemerintah
dalam lingkup sistem politik tertentu, yang dapat diterapkan di semua wilayah
pemerintahan berdasarkan ketetapan legislatif, aturan main administrasi publik,
serta adanya dukungan publik yang berpengaruh bagi masyarakat luas. Berhubung
kebijakan menyangkut kepentingan publik, maka seringkali disebut kebijakan
publik.
Keberhasilan kebijakan sangat ditentukan oleh sumberdaya manusia
(SDM), institusi, dan organisasi yang memiliki kemampuan untuk melakukan
pengembangan kebijakan yang lebih bersifat konstruktif dan berkelanjutan.
Parson (1995), Bennis dan Mische (1996), serta Munawir (2006) menyatakan
bahwa pengembangan kebijakan yang bersifat berkelanjutan merupakan pilihan
yang tepat jika mau meraih keberhasilan di masa yang akan datang melalui proses
yang mengubah budaya organisasi dan menciptakan proses, sistem, struktur, dan
cara baru untuk mengukur kinerja dan keberhasilan.
Kebijakan pengembangan permukiman pada kawasan rawan longsor harus
mengacu pada dua hal pokok, yaitu tingkat bahaya longsor dan tingkat kesesuaian
lahan untuk permukiman. Menurut Lenz et al. (1995), Matthews et al. (1999),
van Lier (1999),
Sitorus (2004), dan Rayes (2007), kesesuaian lahan untuk permukiman adalah kecocokan suatu lahan untuk permukiman ditinjau darisifat-sifat fisik lingkungan, yang terdiri atas iklim, tanah, topografi, hidrologi, dan
drainase. Klasifikasi kesesuaian lahan untuk permukiman menyangkut
perbandingan antara kualitas lahan dengan persyaratan lahan permukiman.
Struktur klasifikasi kesesuaian lahan secara umum menurut kerangka kerja FAO
(1976), terdiri atas 4 kategori, yaitu: (1) ordo, menunjukan keadaan kesesuaian
lahan secara umum, (2) kelas, menunjukan kesesuaian lahan dalam ordo, (3) sub
kelas, menunjukkan keadaan tingkatan dalam kelas yang didasarkan pada jenis
pembatas atau macam perbaikan yang diperlukan dalam kelas, dan (4) satuan,
menunjukan tingkatan dalam sub kelas didasarkan pada perbedaan-perbedaan
kecil yang berpengaruh dalam pengelolaannya. USDA (1971) dan Rayes (2007)
drainase, (2) air tanah musiman, (3) banjir, (4) karakteristik lereng, (5) potensi
kembang kerut tanah (6) besar butir, (7) sebaran batuan, dan (8) hamparan
singkapan batuan.
Kesesuaian lahan untuk permukiman dapat dibedakan atas 2, yaitu: (1)
kesesuaian lahan aktual atau kesesuaian lahan alami, yaitu kesesuaian lahan pada
saat dilakukan evaluasi lahan tanpa ada perbaikan yang berarti dan tingkat
pengelolaan yang dapat dilakukan untuk mengatasi kendala atau faktor pembatas
yang ada dalam suatu lahan dan (2) kesesuaian lahan potensial, yaitu kesesuaian
terhadap penggunaan lahan setelah diadakan usaha-usaha perbaikan tertentu yang
diperlukan terhadap faktor-faktor pembatasnya. Faktor-faktor pembatas dalam
evaluasi lahan dapat dibedakan atas faktor pembatas yang bersifat permanen dan
faktor pembatas yang bersifat non permanen. Faktor pembatas yang bersifat
permanen merupakan pembatas yang tidak memungkinkan untuk diperbaiki dan
kalaupun dapat diperbaiki, secara ekonomis sangat tidak menguntungkan. Faktor
pembatas yang dapat diperbaiki merupakan pembatas yang mudah diperbaiki dan
secara ekonomis masih dapat memberikan keuntungan dengan masukan teknologi
yang tepat (Sitorus, 2004 dan Rayes, 2007).
2.4. Sistem Informasi Geografi (SIG) untuk Analisis Spasial Dinamika Permukiman
Pengembangan GIS yang terkait dengan kawasan rawan bencana longsor
merupakan suatu rancangan dari penerapan sebuah sistem informasi dengan tiga
kegiatan utama, yaitu: (1) input data hidro-meteorologi, seperti musim hujan, musim kemarau, curah hujan bulanan dan tahunan, data geologi, data kemiringan
lereng, dan daerah-daerah yang potensial terhadap longsor, (2) pemrosesan data dengan melakukan perhitungan dan pengabungan data, dan (3) informasi data
sebagai out put yang berupa peta-peta yang berhubungan dengan sebaran kawasan yang rawan terhadap bencana longsor (Carver, 1991; Hall et al., 1997; dan Rusman et al., 2003).
Menurut Janssen dan Rietveld (1990), Carver (1991), Starr (1999), Baban
dan Yosof (2001), distribusi keruangan (spatial distribution) tentang kawasan rawan longsor secara teknis sektoral adalah ukuran untuk menentukan bahwa
19
akan memberi sinergi yang sangat besar terhadap pemerintah dalam
mengusahakan kenyamanan dan kesejahteraan masyarakat.
Hasil analisis keruangan dengan sistem informasi geografi yang berupa
peta-peta kawasan rawan longsor dapat digunakan sebagai dasar penyusunan
penggunaan lahan untuk permukiman yang tepat bagi masyarakat yang bermukim
di kawasan rawan bencana longsor, sehingga jumlah kerugian harta benda dan
jiwa dapat ditekan seminimal mungkin kalau terjadi longsor (Dake, 1991; Mather,
1997; Carver et al. 2000; serta Benson dan Twigg, 2004). Ada beberapa alasan penggunaan SIG di berbagai disiplin ilmu, yaitu: (1) SIG sangat efektif di dalam
membantu proses-proses pembentukan, pengembangan atau perbaikan peta mental yang telah dimiliki oleh setiap orang, (2) SIG menggunakan data spasial maupun atribut secara terintegrasi hingga sistemnya dapat menjawab pertanyaan
spasial, (3) SIG memiliki kemampuan-kemampuan untuk menguraikan
unsur-unsur yang terdapat dipermukaan bumi ke dalam bentuk layer atau coverage data spasial, (4) SIG memiliki kemampuan-kemampuan yang sangat baik dalam
memvisualkan data spasial berikut atribut-atributnya, dan (5) SIG sangat membantu pekerjaan-pekerjaan yang erat kaitannya dengan bidang-bidang spasial
dan geo-informasi (West et al., 2000; Chust et al., 2004; dan Prahasta, 2005). Menurut Herrmann dan Osinski (1999), Temesgen et al. (2001), Appleton dan Lovet (2003), serta Wang et al. (2004), penggunaan GIS untuk melakukan suatu pemodelan sangat diperlukan dalam memberikan arahan dalam penataan
suatu lahan. Selanjutnya Hamazaki dan Gesite (1993), Zain (2002), Kato dan
Yokohari (1995), serta Zain et al. (2006a), menjelaskan bahwa simulasi GIS cukup efektif dalam memprediksikan kemampuan suatu lahan terhadap kerusakan
dan konservasi air sehingga menghasilkan arahan yang sangat tepat dalam
penggelolaan lahan untuk masa yang akan datang.
Beberapa produk SIG yang sering digunakan untuk analisis spasial wilayah
adalah GIS Arc View, Arc GIS, R2V, Arc/info, ER Mapper, ERDAS, Spans GIS, dan sebagainya. Arc View merupakan salah satu perangkat lunak desktop SIG dan pemetaan yang telah dikembangan oleh ESRI, sehingga pengguna dapat memiliki
kemampuan-kemampuan untuk melakukan visualisasi, meng-explore, menjawab
kemampuan GIS Arc View adalah: (1) pertukaran data, membaca, dan menuliskan data dalam format perangkat lunak GIS lainnya, (2) melakukan analisis statistik
dengan operasi-operasi matematis, (3) menampilkan informasi (basis data) spasial maupun atribut, (4) menjawab query spasial maupun atribut, (5) melakukan fungsi-fungsi dasar GIS, (6) membuat peta tematik, (7) meng-costumize aplikasi dengan menggunakan bahasa skrip, (8) melakukan fungsi-fungsi GIS dengan menggunakan extension yang ditujukan untuk mendukung penggunaan perangkat lunak Arc View (West et al., 2000).
2.5. Hasil-Hasil Penelitian Terdahulu
Menurut Arif (2003), pengertian penataan ruang tidak terbatas pada dimensi
perencanaan tata ruang (proses penyusunan rencana tata ruang), tetapi termasuk
pula dimensi pemanfaatan ruang (wujud operasionalisasi rencana tata
ruang/pelaksanaan pembangunan) dan pengendalian pemanfaatan ruang (mekanisme perizinan dan penertiban terhadap pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai dengan rencana tata ruangnya). Selanjutnya dalam RTRW Kota Padang (2004-2013) dijelaskan bahwa pelaksanaan tata ruang di Kota Padang
menimbulkan beberapa masalah dalam proses pemanfaatan ruang. Issue dan tantangan dalam penataan ruang Kota Padang yang terkait dengan pembangunan
permukiman antara lain: (1) pemanfaatan lahan permukiman belum sepenuhnya
mengacu pada RTRW, dan masih berorientasi pada pengembangan yang bersifat
horizontal, sehingga cenderung menciptakan urban sprawling (pembangunan yang tidak terpola dengan baik) dan inefisiensi pelayanan prasarana dan sarana, (2) izin lokasi pemanfaatan lahan permukiman melebihi kebutuhan nyata sehingga
meningkatkan luas area lahan tidur (vacant land) dan lahan kritis, (3) pemanfaatan lahan permukiman belum memberikan rasa keadilan pada penduduk
berpenghasilan rendah sehingga selalu tersingkir ke pinggiran kota dan kawasan
rawan longsor, (4) pemanfaatan ruang untuk permukiman belum serasi dengan
pengembangan kawasan fungsional lainnya atau dengan program sektor/fasilitas
pendukung lainnya, (5) konflik penggunaan lahan, khususnya antara penggunaan
permukiman dengan penggunaan kawasan lindung, (7) kebutuhan lahan untuk
permukiman semakin meningkat seiring dengan terus meningkatnya jumlah