DENDA DALAM KUHP TERHADAP PERKARA TINDAK PIDANA PENCURIAN
(Analisis Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan Dan Jumlah Denda Dalam KUHP)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh :
MUHAMMAD SOMA KARYA MADARI NIM : 1110048000050
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
(Analisis Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan Dan Jumlah Denda Dalam KUHP)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh :
MUHAMMAD SOMA KARYA MADARI NIM : 1110048000050
Pembimbing I Pembimbing II
Dedy Nursyamsi, SH, M.Hum. Ismail Hasani, SH, MH.
NIP. 196111011993031002 NIP. 197712172007101002
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (S1) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti hasil karya ini bukan hasil karya asli saya
atau hasil jiplakan dari hasil karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 10 Desember 2014
i
MUHAMMAD SOMA KARYA MADARI. NIM 1110048000050. Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan Dan Jumlah Denda Dalam KUHP Terhadap Perkara Tindak Pidana Pencurian (Analisis Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan Dan Jumlah Denda Dalam KUHP). Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H / 2014 M. V+ 80 halaman + 6 halaman daftar pustaka.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana penyesuaian batasan tindak pidana ringan dan jumlah denda dalam KUHP menurut Peraturan Mahkamah Agung No.02 Tahun 2012, Implikasi yang ditimbulkan dari berlakunya Peraturan Mahkamah Agung No.02 Tahun 2012 terhadap penanganan perkara tindak pidana pencurian.
Tipe penelitian adalah yuridis normatif, yaitu suatu penelitian yang mempergunakan studi kepustakaan terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait dengan permasalahan yang diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung No.2 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan Dan Jumlah Denda Dalam KUHP, KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana), KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana), serta Nota Kesepakatan Bersama antara Mahkamah Agung RI, Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung RI dan POLRI Tentang Pelaksanaan Penerapan Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda, Acara Pemeriksaan Cepat, serta Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice). Metode penelitian ini menggunakan bahan hukum atau literatur hukum, bahan hukum primer, dan bahan sekunder sebagai rujukan utama. Kemudian dalam analisisnya menggunakan metode deduktif yaitu menarik kesimpulan dari masalah yang diteliti. Penelitian ini menggunakan pendekatan
perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konsep (conceptual
approach). Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan menelaah perundang-undangan yang berkaitan dengan tindak pidana pencurian (KUHP), kemudian dikaitkan dengan PERMA No.02 Tahun 2012. Sedangkan pendekatan konseptual dilakukan untuk mengkaji dan memahami hubungan hukum antara tindak pidana pencurian dan perkara tindak pidana ringan. Hal ini dilakukan agar terjadi kesamaan pandangan dalam menafsirkan konsep-konsep tersebut.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa setelah berlakunya PERMA No.02 Tahun 2012 mengubah aturan yang mengatur tentang jumlah denda. Terhadap setiap jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHP kecuali Pasal 303 ayat 1 dan ayat 2, 303 bis ayat l dan ayat 2, dilipatgandakan menjadi 1.000 (seribu kali). Dan dalam hal penanganan perkara
tindak pidana pencurian yang bersifat ringan (pencurian dibawah
Rp.2.500.000.00,-) berlaku pemeriksaan acara cepat terhadap pelakunya.
Kata Kunci : Tindak Pidana Ringan, Pencurian, dan PERMA.
Pembimbing : Dedy Nursyamsi, SH, M.Hum
Ismail Hasani, SH, MH
ii Assalamualaikum Wr.Wb
Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam yang hanya dengan hidayah
dan nikmat dari-Nyalah skripsi berjudul “Penyesuaian Batasan Tindak Pidana
Ringan Dan Jumlah Denda Dalam KUHP Terhadap Perkara Tindak Pidana Pencurian (Analisis Yuridis Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan Dan Jumlah Denda Dalam KUHP)” dapat terselesaikan dengan baik. Penelitian ini merupakan salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Salawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat, dan para pengikutnya hingga akhir zaman.
Tidak mudah bagi penulis untuk membuat karya seperti ini dikarenakan berbagai keterbatasan dan kendala yang dimiliki, namun hal ini penulis jadikan sebagai motivasi rangkaian pengalaman hidup yang berharga. Selesainya penelitian ini tidak terlepas dari elaborasi keilmuan yang Penulis dapatkan dari kontribusi banyak pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini ingin penulis sampaikan setulus hati ucapan terima kasih kepada :
1. Dr. J.M. Muslimin, MA., Ph.D Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Djawahir Hejazziey, SH., MA., MH., Ketua Program Studi Ilmu
Hukum dan Drs. Abu Thamrin, SH., M.Hum., mantan Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang sudah memberikan arahan berupa saran dan masukan terhadap kelancaran proses penyusunan skripsi ini.
3. Dedy Nursyamsi, SH, M.Hum, selaku dosen Pembimbing I dan Ismail
iii
masukan serta bimbingan terhadap proses penyusunan skripsi ini.
4. Kedua Orang tua yang sangat dicintai Penulis, Bapak Agus Wedi, Ba.C
dan Hj. Tri Puji Suryani, yang selalu mendoakan, mencintai penulis, memberikan dukungan baik materil maupun moril, dan menjadi motivasi penulis sekaligus inspirasi dalam kehidupan penulis. Tak lupa pula kakanda & adinda tercinta M. Mahdi Paramarta, S,Kom dan Natasyalicha
Madari yang selalu men-support dan menjadi semangat bagi penulis untuk
cepat menyelesaikan masa studinya di fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Sahabat seperjuangan yang tak henti-hentinya mengingatkan dan
memotivasi dalam kebaikan. Terkhusus saudara/i-ku Ainul Arifatul Ulum, Satyawan Pari Kresno, Rizky Hariyo Wibowo, Andi Komara, Shapat R Lubistya, Zakaria, Eko Yulianto, Hilman Purnama, Zikri Muliansyah dan Hopsah yang telah mendukung, saling mendoakan, mengispirasi dalam menyusun skripsi ini serta memberikan semangat persahabatan dan persaudaraan yang menjadi kenangan tersendiri bagi penulis.
6. Keluarga besar Ilmu Hukum khususnya AMPUH (Angkatan Muda Peduli
Hukum). Terima kasih sebesar-besarnya kepada Bang Irfan Kamil Siregar, SH, Bang Achmad Farobi, SH, Bang Benu Pangestu, SH, Bang Rifky Gunawan, M. Rizky Firdaus, M. Hisyam Rafsanjani, Reza Haryo Wibowo, M. Azhar, Dwi Pujiantok, Nanda Narenda Putra, Rizky Ramandhika, Supandri, Lidia. Kawan-kawan KKN MERDIKA 2013, MCC (Moot Court Community) dan BLC (Bussines Law Community). 7. Kekasih tersayang “Nurhidayah” yang tidak henti-hentinya mendukung,
mendoakan, serta membantu penulis dalam kelancaran penyelesaian skripsi ini.
8. Semua pihak yang telah membantu penulis yang tidak dapat penulis
iv
Wassalamu’alaikum Wr Wb.
Jakarta, 10 Desember 2014
v
ABSTRAK ... ...i
KATA PENGANTAR ... ...ii
DAFTAR ISI...v
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………...1
B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah...7
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian………...7
D. Tinjauan (Review) KajianTerdahulu...9
E. Metode Penelitian………....11
F. Sistematika Penulisan...14
BAB II TINJAUAN UMUM TINDAK PIDANA RINGAN DAN PENCURIAN A. Tindak Pidana Ringan 1. Tindak pidana………..………...16
2. Sanksi pidana……….19
3. Tujuan pemidanaan………20
4. Klasifikasi tindak pidana………23
vi
unsur tindak pidana pencurian menurut KUHP…..29
3. Tindak pidana pencurian ringan……….32
BAB III KEDUDUKAN MAHKAMAH AGUNG DALAM PERADILAN
PIDANA
A. Proses Peradilan Pidana Dalam Tahap Penyidikan, Penuntutan,
Dan Persidangan
1. Penyelidikan dan penyidikan……….33
2. Penuntutan………..35
3. Pemeriksaan persidangan………...38
B. Tahap-Tahap Upaya Hukum Dalam Sistem Peradilan Pidana
1. Pengertian upaya hukum………...39
2. Tahap upaya hukum biasa: Banding dan Kasasi…………42
3. Tahap upaya hukum luar biasa: Peninjauan Kembali
(PK)...51
C. Lembaga Mahkamah Agung
1. Profil………...53
2. Struktur peradilan dibawah Mahkamah Agung………….54
vii
NO.2 TAHUN 2012 TENTANG PENYESUAIAN BATASAN
TINDAK PIDANA RINGAN DAN JUMLAH DENDA DALAM
KUHP
A. Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan Dan Jumlah Denda
Dalam KUHP Menurut PERMA No.2 Tahun 2012 .………...60
B. Implikasi Peraturan Mahkamah Agung No.2 Tahun 2012
Terhadap Penanganan Perkara Tindak Pidana Pencurian...67
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan……..………78
B. Saran..………...………80
DAFTAR PUSTAKA
1 A. Latar Belakang Masalah
Pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Negara
hukum dimaksud adalah negara yang menegakan supremasi hukum untuk
menegakan kebenaran dan keadilan dan tidak ada kekuasaan yang tidak
dipertanggungjawabkan.1
Menurut Aristoteles yang memerintah dalam negara bukanlah
manusia sebenarnya, melainkan fikiran yang adil, sedangkan penguasa
sebenarnya hanya pemegang hukum dan keseimbangan saja. Kesusilaan
yang akan menentukan baik tidaknya suatu peraturan undang-undang dan
membuat uandang-undang adalah sebagian dari kecakapan menjalankan
pemerintahan negara. Oleh karena itu menurut Aristoteles, bahwa yang
penting adalah mendidik manusia menjadi warga negara yang baik, karena
dari sikapnya yang adil akan terjamin kebahagiaan hidup warga
negaranya.2
Kaidah yang terkandung dalam ajaran Aristoteles tersebut adalah
menempatkan hukum sebagai supremasi tertinggi dalam kekuasaan
1
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (Sesuai dengan Urutan Bab, Pasal dan ayat), Sekertaris Jendral MPR RI, Jakarta, 2010, h.46.
2
negara. Secara yuridis Indonesia memang benar menerapkan hukum
sebagai supremasi negara sebagaimana termaktub dalam UUD Pasal 1
ayat (3) tadi. Hal ini berimplikasi pada setiap perbuatan warga negara
Indonesia harus mengikuti ketentuan hukum yang berlaku, termasuk
didalamnya adalah mengenai tindak pidana ringan.
Kasus tindak pidana ringan (Tipiring) adalah kasus yang tidak
asing lagi bagi sebagian besar masyarakat Indonesia baik dari kalangan
menengah kebawah maupun dari kalangan menengah keatas. Maraknya
kasus hukum tersebut dilatar belakangi oleh berbagai faktor, salah satunya
adalah tekanan ekonomi dan kemiskinan.
Dewasa ini masalah hukum pidana banyak dibicarakan dan
menjadi sorotan, baik dalam teori maupun dalam praktek dan bahkan ada
usaha untuk menyusun Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional.
Usaha tersebut adalah bertujuan untuk mengatasi pelbagai kelemahan dan
kekurangan yang ada dalam KUHP yang berlaku sekarang, yang
merupakan peninggalan zaman penjajahan yang dalam kenyataannya
masih dipakai pada masa orde baru di zaman kemerdekaan ini, yang
ternyata banyak pengaturan di dalamnya yang sudah tidak sesuai lagi
dengan jiwa dan semangat pancasila dan UUD 1945 maupun dengan
situasi dan kondisi masyarakat saat ini.3
Harus diakui bahwa selama ini KUHP yang dipakai sebagai
pedoman dan parameter untuk menentukan kriteria pencurian ringan sudah
3
berusia lebih dari 60 tahun. Ketika itu, batas tindak pidana pencurian
ringan ialah 26 gulden. Setelah itu pada 1960, sistem hukum Indonesia
mengadaptasi batas pencurian ringan menjadi RP.250,- (dua ratus lima
puluh rupiah), dengan perbandingan pada waktu itu harga minyak US$1,8
per barel dan harga emas dunia US$35 per ons. Jika dibandingkan dengan
situasi saat ini, harga minyak dunia bekisar US$100 per barel dan harga
emas menembus hingga US$1.700 per ons.4
Tidak disesuaikannya nilai mata uang dalam KUHP menyebabkan
kasus-kasus seperti yang terjadi pada nenek Minah, yang diperlakukan
seperti pencurian biasa (Pasal 362 KUHP) yang diancam dengan ancaman
hukuman 5 Tahun penjara. Selain itu hanya karena kasus pencurian 2 buah
kakao, pencurian sendal jepit, pencurian 6 buah piring, atau kasus
pencurian 2 buah semangka, yang nilainya tentu sudah tidak lagi dibawah
Rp 250,- para tersangka dan/atau terdakwanya dapat dikenakan penahanan
oleh penyidik maupun penuntut umum.
Bahwa banyaknya perkara-perkara pencurian dengan nilai barang
yang kecil yang kini diadili di pengadilan cukup mendapatkan sorotan
masyarakat. Masyarakat umumnya menilai bahwa sangatlah tidak adil jika
perkara-perkara tersebut diancam dengan ancaman hukuman 5 (lima)
4
Jamal Wiwoho, Penegakan Hukum atas Pencurian Ringan.
tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 362 KUHP oleh karena tidak
sebanding dengan nilai barang yang dicurinya.5
Jika kita bandingkan dengan para pelaku tindak pidana berat
misalnya koruptor, tentu hal ini menimbulkan reaksi yang membuat geram
masyarakat.
Dalam praktik, hakim dalam mengadili suatu perkara sering
dihadapkan pada suatu ketentuan bahwa kasus tersebut belum diatur dalam
suatu peraturan, yang menyebabkan terhambatnya upaya mewujudkan
penegakan hukum. Hal ini karena peraturan terdahulu tidak lengkap dan
sudah ketinggalan dengan dinamika perubahan zaman. Mau tidak mau
Hakim harus mampu mengatasi problem tersebut dengan kewajiban
mencari, menggali fakta, serta menemukan hukum sesuai nilai-nilai dan
rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.6
Banyaknya kasus kecil sampai ke pengadilan karena Pasal dalam
KUHP yang menyebut pencurian ringan maksimal kerugian Rp 250,-.
Dengan kondisi sosial ekonomi sekarang, maka tidak ada lagi pencurian
yang dikategorikan ringan. Nilai kerugian maksimal inilah yang diubah
oleh Mahkamah Agung dengan dikeluarkannya Peraturan Mahkamah
Agung No.02 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana
Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP.
5
Penjelasan Umum Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP, h.4.
6
Lahirnya produk hukum ini diharapkan mampu memberikan
kemudahan kepada tersangka atau terdakwa yang terlibat dalam perkara
Tipiring agar tidak perlu menunggu persidangan berlarut-larut sampai ke
tahap kasasi seperti yang terjadi pada kasus pencurian enam buah piring
oleh nenek Rasminah pada tahun 2011. PERMA ini juga diharapkan dapat
menjadi jembatan bagi para hakim sehingga mampu lebih cepat
memberikan rasa keadilan bagi masyarakat terutama bagi penyelesaian
Tipiring sesuai dengan bobot tindak pidananya.
Hakim mempunyai kewenangan untuk menyimpangi
ketentuan-ketentuan hukum tertulis yang telah ketinggalan zaman sehingga tidak lagi
mampu memenuhi rasa keadilan masyarakat, dengan mencakupkan
pertimbangan hukumnya secara jelas dan tajam dengan
mempertimbangkan berbagai aspek kehidupan hukum.7
Lahirnya PERMA ini juga menuai kontra dari berbagai pihak
khususnya para praktisi hukum. Dapat ditafsirkan bahwa dalam ketentuan
PERMA ini pencurian di bawah Rp.2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu
rupiah) tidak perlu ditahan apabila terhadap terdakwa telah dikenakan
penahanan sebelumnya oleh pihak kepolosian, ketua pengadilan tidak
menetapkan penahanan ataupun perpanjangan penahanan.
Seandainya kita menarik penafsiran itu diantaranya dapat memicu
orang-orang untuk melakukan pencurian ringan beramai-ramai mengambil
milik orang lain yang nilainya di bawah Rp.2.500.000,- (dua juta lima
7
ratus ribu rupiah). Bagi remaja yang rentan berperilaku menyimpang akan
dengan mudah melakukan Tipiring. PERMA ini dikhawatirkan dijadikan
alat untuk berlindung bagi oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab,
serta menjadi alat tawar-menawar penegakan hukum dengan mengatur
batas nominal nilai yang dicuri sehingga terbebas dari jeratan hukum.
PERMA ini menimbulkan kesan terburu-buru, seharusnya
dilakukan pembahasan dengan pakar-pakar dan praktisi hukum sehingga
ditemukan cara penanggulangan yang tepat dan efektif untuk menangani
kasus-kasus Tipiring seperti pencurian. Berdasarkan latar belakang
pemikiran di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan
judul : “PENYESUAIAN BATASAN TINDAK PIDANA RINGAN
DAN JUMLAH DENDA DALAM KUHP TERHADAP PERKARA TINDAK PIDANA PENCURIAN (Analisis Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan Dan Jumlah Denda Dalam KUHP)”
B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan masalah
Agar pembahasan tidak terlalu meluas dan fokus, Penulis
membatasi permasalahan yang akan dibahas hanya pada implikasi
diterapkannya Peraturan Mahkamah Agung No.02 Tahun 2012 dalam
2. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Bagaimana penyesuaian batasan tindak pidana ringan dan jumlah
denda dalam KUHP menurut PERMA No.02 Tahun 2012?
b. Bagaimana Implikasi Peraturan Mahkamah Agung No.02 Tahun
2012 terhadap penanganan perkara tindak pidana pencurian?
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan penelitian
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui tentang
penegakan hukum tindak pidana pencurian setelah Peraturan
Mahkamah Agung No.02 Tahun 2012 diterapkan. Karena hal ini
sangat berkaitan dengan maraknya tindak pidana dengan objek perkara
yang relatif sederhana namun diancam dengan pidana cukup berat,
sehingga dinilai tidak proporsional dan melukai rasa keadilan
masyarakat. Sedangkan secara khusus penelitian ini bertujuan :
a. Untuk mengetahui penyesuaian batasan tindak pidana ringan dan
jumlah denda dalam KUHP menurut Peraturan Mahkamah Agung
No.02 Tahun 2012.
b. Untuk mengetahui Implikasi dari Peraturan Mahkamah Agung
No.02 Tahun 2012 terhadap penanganan perkara tindak pidana
2. Manfaat penelitian a. Manfaat teoritis
Manfaat penelitian ini secara teoritis diharapkan dapat
memberikan kontribusi pemikiran dalam bidang Ilmu Hukum
khususnya Ilmu Hukum Tata Negara yang berkaitan dengan
Hukum Pidana.
b. Manfaat praktis
Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat
sebagai bahan rujukan bagi mahasiswa mengenai aturan main
dalam penyesuaian batasan tindak pidana ringan dan jumlah denda
dalam KUHP berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung No.02
Tahun 2012, mengingat skripsi tentang Peraturan Mahkamah
Agung belum banyak dilakukan. Penelitian ini juga diharapkan
dapat memberikan gagasan kepada pemerintah mengenai
bagaimana implikasi terhadap produk hukum yang dibentuknya.
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Sub bab tinjauan atau review kajian terdahulu berfungsi untuk
mengetahui hal-hal apa yang telah diteliti dan yang belum diteliti sehingga
tidak terjadi duplikasi dalam penelitian (Berdasarkan pedoman penulisan
skripsi, FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012). Penulis
dengan penelitian ini di beberapa perpustakaan yang Penulis temukan,
penelitian tersebut yaitu :
1. Skripsi Fakultas Hukum Universitas Indonesia 2012, yang disusun
oleh Femi Angraini, dengan judul skripsi “Perkara Tindak Pidana
Ringan Menurut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012
Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan Dan Jumlah
Denda Dalam KUHP Serta Perbandingannya Dengan Perancis”.
Skripsi ini menelaah tentang bagaimana perbandingan prosedur
penyelesaian perkara tindak pidana ringan di perancis serta prosedur
peyelesaian perkara tindak pidana ringan menurut PERMA No.02
Tahun 2012 di indonesia. Sedangkan pada skripsi ini membahas
mengenai implikasi Peraturan Mahkamah Agung No.02 Tahun 2012
terhadap penanganan tindak pidana pencurian di Indonesia. Jadi
menelaah lebih jauh bagaimana penyelesaian perkara tindak pidana
pencurian setelah berlakunya PERMA.
2. Skripsi Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya 2013,
yang disusun oleh Benny Nugroho, dengan judul skripsi “Sanksi
Pidana Bagi Pelaku Pencurian Ringan Menurut Peraturan Mahkamah
Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012”. Penulis dalam
skripsinya secara garis besar membahas tentang parameter tindak
pidana pencurian ringan. Sedangkan pada skripsi ini membahas
mengenai bagaimana penyesuaian batasan tindak pidana ringan dan
No.02 tahun 2012. Menelaah bagaimana aturan main penerapan
PERMA tersebut terhadap penyesuaian jumlah denda dalam tindak
pidana ringan.
3. Buku ilmiah karangan Suparni Niniek yang berjudul “Eksistensi
Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan”, diterbitkan oleh
Sinar Grafika di Jakarta pada tahun 2007. Penulis dalam bukunya
membahas tentang prospek penerapan pidana denda dalam KUHP,
RUU KUHP, dan peraturan-peraturan lain yang memuat tentang
pidana denda di luar KUHP. Sedangkan pada skripsi ini akan
membahas tentang implikasi pidana denda setelah berlakunya PERMA
N0.02 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak pidana ringan
dan jumlah denda dalam KUHP.
E. Metode Penelitian 1. Tipe penelitian
Jenis penelitian yang dipergunakan dalam skripsi ini adalah metode
penelitian yuridis normatif, yaitu metode penelitian dengan
menggunakan bahan-bahan yang bersumber dari peraturan
perundang-undangan, norma-norma hukum yang berkaitan dan berkenaan dengan
judul skripsi ini, serta dengan menggunakan literatur-literatur,
buku-buku, referensi yang sifatnya ilmiah dan saling terkait serta
Penelitian jenis ini hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis
dalam peraturan perundang-undangan atau hukum yang dikonsepkan
sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku
manusia yang dianggap pantas.8
2. Pendekatan masalah
Dalam penelitian hukum normatif terdapat beberapa pendekatan.
Dengan pendekatan ini, penulis akan mendapatkan informasi dari
berbagai aspek mengenai isu yang akan dibahas. Pendekatan yang
digunakan dalam penelitian hukum normatif yaitu :9 pendekatan
perundang-undangan, pendekatan kasus, pendekatan historis,
pendekatan komparatif, dan pendekatan konseptual. Dalam penelitian
ini pendekatan yang penulis gunakan adalah pendekatan
perundang-undangan dan pendekatan konseptual.
Suatu penelitian normatif tentu harus menggunakan pendekatan
perundang-undangan, karena yang akan diteliti adalah aturan hukum
yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian.10
Pendekatan perundang-undangan (statue approach) dilakukan dengan
menelaah perundang-undangan yang berkaitan dengan tindak pidana
pencurian (KUHP) lalu dikaitkan dengan Peraturan Mahkamah Agung
No.02 Tahun 2012 yang menjadi pokok permasalahan dalam
8
Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, Cet.1.), h.118.
9
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2010, Cet.4.), h.93.
10
penelitian ini. Selanjutnya yaitu pendekatan konseptual (conseptual approach). Pendekatan ini dilakukan untuk menelaah berbagai konsep yang ada mengenai pencurian dan perkara tindak pidana ringan.
Pendekatan ini dilakukan agar terjadi kesamaan pandangan dalam
menafsirkan konsep-konsep tersebut.
3. Bahan Hukum
a. Bahan hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum bersifat
otoritatif .11 Artinya sumber-sumber hukum yang dibentuk oleh
pihak yang berwenang. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan
undangan, catatan resmi dalam pembuatan
perundang-undangan dan putusan pengadilan. Bahan hukum primer yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, PERMA No.02 Tahun
2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan
Jumlah Denda dalam KUHP, Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP) dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP).
11
b. Bahan hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer.12 Terdiri dari
buku-buku ilmiah, jurnal hukum, kamus hukum, hasil penelitian yang
berkaitan dengan pencurian dan berita kasus pencurian dari sumber
yang dapat dipercaya kebenarannya.
4. Pengolahan Dan Analisis Bahan Hukum
Dari bahan hukum yang sudah terkumpul baik bahan hukum
primer maupun bahan hukum sekunder diklasifikasikan sesuai isu
hukum yang akan dibahas. Kemudian bahan hukum tersebut diuraikan
untuk mendapatkan penjelasan yang sistematis. Pengolahan bahan
hukum bersifat deduktif yaitu menarik kesimpulan yang
menggambarkan permasalahan secara umum ke permasalahan yang
khusus atau lebih konkret.
Setelah bahan hukum itu diolah dan diuraikan kemudian Penulis
menganalisisnya (melakukan penalaran ilmiah) untuk menjawab isu
hukum yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah.
12
F. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan pemahaman dan jelas diketahui alur logis dan
struktur berpikir dalam penelitian ini akan diberikan gambaran umum
secara sistematis dari keseluruhan skripsi. Skripsi ini terdiri dari lima bab
dengan sistematika sebagai berikut :
Bab I : Terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah yang
diangkat dalam penelitian hukum ini. Selain itu, terdiri pula
dari tujuan serta manfaat diadakannya penelitian, tinjauan
(review) kajian terdahulu, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II : Pada bab ini akan diuraikan konsep mengenai tindak pidana
ringan dan tindak pidana pencurian lalu dilanjutkan dengan
definisi serta unsur-unsur tindak pidana pencurian dalam
KUHP.
Bab III : Dalam bab ini diuraikan secara jelas mengenai kedudukan
Mahkamah Agung dalam peradilan pidana. Lalu materi
ditekankan kepada proses peradilan dan upaya hukum yang
dapat dilakukan mulai dari tingkat banding sampai dengan
peninjauan kembali. Setelah itu materi lebih mengerucut lagi
membahas tentang lembaga Mahkamah Agung dalam
Bab IV : Bab ini menjelaskan tentang bagaimana penyesuaian batasan
tindak pidanan ringan dan jumlah denda dalam KUHP
menurut PERMA No.02 Tahun 2012. Lalu dilanjutkan
dengan bagaimana implikasi atas diterapkanya PERMA
terhadap penanganan perkara tindak pidana pencurian.
BAB V : Merupakan penutup yang akan menguraikan tentang
kesimpulan dan saran. Bab ini merupakan bab terakhir dari
penulisan skripsi ini, untuk itu penulis menarik beberapa
kesimpulan dari hasil penelitian, disamping itu penulis
16
TINJAUAN UMUM TINDAK PIDANA RINGAN DAN PENCURIAN
A. Tindak Pidana Ringan 1. Tindak pidana
Perkembangan hukum pidana mulai dari masyarakat sederhana
sampai pada masyarakat modern sekarang ini tidaklah mengubah hakikat
hukum pidana, melainkan hanya makin menegaskan sifat dan luas bidang
hukum pidana. Oleh karenanya, baik untuk masyarakat dahulu kala
maupun masyarakat sekarang, hukum pidana dapat didefinisikan sebagai
keseluruhan peraturan hukum yang menentukan perbuatan-perbuatan yang
pelaku-pelakunya seharusnya dipidana dan pidana-pidana yang seharusnya
dikenakan. Definisi ini mencakup empat pokok yang terkait erat satu
dengan yang lain, yaitu peraturan, perbuatan, pelaku, dan pidana.1
Tindak pidana ialah perbuatan yang melanggar larangan yang
diatur oleh aturan hukum yang diancam dengan sanksi pidana. Dalam
rumusan tersebut bahwa yang tidak boleh dilakukan adalah perbuatan
yang menimbulkan akibat yang dilarang dan yang diancam sanksi pidana
bagi orang yang melakukan perbuatan tersebut.2
Istilah ini (tindak pidana), tumbuhnya dari pihak Kementerian
Kehakiman, sering dipakai dalam perundang-undangan. Meskipun kata
1
Maramis Frans, Hukum Pidana Umum dan Tertulis Di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h.1.
2
“tindak” lebih pendek daripada “perbuatan” tapi “tindak” tidak menunjuk
kepada hal yang abstrak seperti perbuatan, tapi hanya menyatakan keadaan
konkrit, sebagaimana halnya dengan peristiwa dengan perbedaan bahwa
tindak adalah kelakuan, tingkah-laku, gerak-gerik atau sikap jasmani
seseorang, hal mana lebih dikenal dalam tindak-tanduk, tindakan dan bertindak dan belakangan juga sering dipakai “ditindak”. Oleh karena
tindak sebagai kata tidak begitu dikenal, maka dalam perundang-undangan
yang menggunakan istilah tindak pidana baik dalam pasal-pasalnya sendiri,
maupun dalam penjelasannya hampir selalu dipakai pula kata perbuatan.3
Bahwa Moeljatno, tidak menggunakan istilah tindak pidana
rumusan di atas, tetapi menggunakan kata “perbuatan pidana”. Kata
perbuatan dalam perbuatan pidana mempunyai arti yang abstrak yaitu
suatu pengertian yang menunjuk pada 2 kejadian yang konkret yaitu :4
a. Adanya kejadian yang tertentu yang menimbulkan akibat yang
dilarang.
b. Adanya orang yang berbuat yang menimbulkan kejadian itu.
Rumusan tindak pidana tersebut dalam bahasa Inggris
dikenal dengan istilah “Criminal act”. Dalam hal ini meskipun
orang telah melakukan suatu perbuatan yang dilarang di situ belum
berarti bahwa ia mesti dipidana, ia harus
mempertanggungjawabkan atas perbuatannya yang telah ia lakukan
3
Moeljanto, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002), h.55.
4
untuk menentukan kesalahannya, yang dikenal dengan istilah “Criminal responsibility”.
Bahwa orang dapat dipidana selain telah melakukan tindak
pidana masih diperlukan kesalahan. Akan dirasakan sebagai hal
yang bertentangan dengan rasa keadilan, jika orang yang tidak
bersalah dijatuhi pidana.
Dalam hal ini dapat kita tarik kesimpulan bahwa antara
kesalahan dan tindak pidana ada hubungan erat, di mana kesalahan
tidak dapat dimengerti tanpa adanya perbuatan yang bersifat
melawan hukum. Dengan kata lain: orang dapat melakukan tindak
pidana tanpa mempunyai kesalahan, tetapi sebaliknya orang tidak
mungkin mempunyai kesalahan jika tidak melakukan perbuatan
yang bersifat melawan hukum.
Oleh karena itu, setelah melihat berbagai definisi di atas, maka
dapat diambil kesimpulan bahwa yang disebut dengan tindak pidana
adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan
pidana, di mana pengertian perbuatan di sini selain perbuatan yang bersifat
aktif (melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang oleh hukum) juga
perbuatan yang bersifat pasif (tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya
diharuskan oleh hukum).5
5
2. Sanksi pidana
Sanksi (Sanctie) adalah akibat hukum bagi pelanggar ketentuan
undang-undang. Ada sanksi adsministratif, ada sanksi perdata dan ada
sanksi pidana. Sanksi pidana (Strafsanctie) merupakan akibat hukum
terhadap pelanggaran ketentuan pidana yang berupa pidana dan/atau
tindakan.6
Pengertian sanksi dapat penulis artikan sama dengan pidana atau
hukuman yang pengertiannya adalah suatu reaksi atas delik yang berwujud
suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat
delik.7 Jadi dalam sistem hukum kita yang menganut asas praduga tak
bersalah (Presumption of innocent), pidana sebagai reaksi atas delik yang
dijatuhkan harus berdasarkan pada vonis hakim melalui sidang peradilan
atas terbuktinya perbuatan pidana yang dilakukan.8
Dalam Pasal 10 KUHP termaktub jenis-jenis sanksi pidana itu
sendiri yaitu beruapa pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok
meliputi :9
a. pidana mati;
b. pidana penjara;
c. pidana kurungan; dan
d. pidana denda.
6
Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h.138.
7
Roelan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, (Yogyakarta: Gajah Mada, 1974), h.30.
8
Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h.9.
9
Sedangkan pidana tambahan meliputi Pencabutan beberapa
hak-hak tertentu, Perampasan barang-barang tertentu, dan Pengumuman
putusan hakim. Namun menurut naskah rancangan KUHP baru (Tim
Pengkajian Bidang Hukum Pidana Tahun 1982/1983) dirumuskan
pembagian jenis pidana yaitu pidana pokok, pidana tambahan, dan pidana
mati. Pidana pokok terdiri atas pidana penjara, pidana tertutup, pidana
pengawasan, pidana denda, pidana kerja sosial. Pidana tambahan terdiri
atas pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu
dan/atau tagihan, pengumuman putusan hakim, pembayaran ganti kerugian,
dan pemenuhan kewajiban adat. Sedangkan pidana mati merupakan pidana
yang bersifat khusus.
3. Tujuan pemidanaan
Menurut Bismar Siregar, maksud tujuan pemidanaan ialah :10
a. Untuk mencegah dilakukannya tindak pidana demi pengayoman
negara, masyarakat dan penduduk;
b. Untuk membimbing agar terpidana insyaf dan menjadi anggota
masyarakat yang berbudi baik dan berguna;
c. Untuk menghilangkan noda-noda yang diakibatkan oleh tindak
pidana.
10
Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak
diperkenankan merendahkan martabat manusia. Dalam konsep rancangan
Buku I KUHP Tahun 1982/1983, tujuan pemberian pidana dirumuskan
sebagai berikut :11
1). Pemidanaan bertujuan untuk
Ke-1 Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan normahukum demi pengayoman masyarakat;
Ke-2 mengadakan koreksi terhadap terpidana dan dengan demikianmenjadikannya orang yang baik dan berguna, serta mampu untuk hidup bermasyarakat;
Ke-3 menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;
Ke-4 membebasakan rasa bersalah pada terpidana.
2). Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia.
Untuk mencapai tujuan pemidanaan dikenal tiga teori, yaitu :12
1. Teori pembalasan, diadakannya pidana adalah untuk pembalasan.
Teori ini dikenal pada akhir abad ke-18 dengan pengikut Immanuel
Kant, Hegel, Herbert, dan Stahl.
Kant memandang pidana sebagai “Kategorische Imperatief”
yakni: seseorang harus dipidana oleh hakim karena ia telah
melakukan kejahatan. Pidana merupakan suatu alat untuk mencapai
11
Muladi dan Nawawi Arief, Barda, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, (Bandung: PT. Alumni, 2005, Cet.3.), h.24.
12
suatu tujuan, melainkan mencerminkan keadilan (Uitdrukking van de gerechtigheid).13
Salah seorang tokoh lain dari penganut teori absolut yang
terkenal ialah Hegel yang berpendapat bahwa pidana merupakan
keharusan logis sebagai konsekuensi dari adanya kejahatan. Karena
kejahatan adalah pengingkaran terhadap ketertiban hukum negara
yang merupakan perwujudan dari cita-susila, maka pidana merupakan “Negation der Negation” (peniadaan atau pengingkaran
terhadap pengingkaran).14
2. Teori tujuan atau relatif, jika teori absolut melihat kepada
kesalahan yang sudah dilakukan, sebaliknya teori-teori relatif
ataupun tujuan berusaha untuk mencegah kesalahan pada masa
mendatang, dengan perkataan lain pidana merupakan sarana untuk
mencegah kejahatan, oleh karena itu juga sering disebut teori
previsi, yang dapat kita tinjau dari dua segi, yaitu previsi umum
dan previsi khusus. Dengan dijatuhkannya sanksi pidana
diharapkan penjahat potensial mengurungkan niatnya, karena
adanya perasaan takut akan akibat yang dilihatnya, jadi ditujukan
kepada masyarakat pada umumnya. Sedangkan previsi khusus
ditujukan kepada pelaku agar ia tidak mengulangi perbuatan
jahatnya.
13
Muladi dan Nawawi Arief, Barda, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, (Bandung: PT. Alumni, 2005, Cet.3.), h.11.
14
3. Teori gabungan, gabungan dari dua teori di atas. Pidana merupakan
keharusan logis sebagai konsekuensi dari adanya kejahatan serta
berusaha untuk mencegah kesalahan pada masa mendatang, dengan
perkataan lain pidana merupakan sarana untuk mencegah kejahatan.
Dengan ini pidana memiliki dua maksud yang saling
berkesinambungan yaitu mencapai tujuan keadilan.
4. Klasifikasi tindak pidana
Tindak pidana dapat dibedakan atas dasar-dasar tertentu, yaitu :15
a. Menurut sistem KUHP, dibedakan antara kejahatan (Misdriven)
dimuat dalam buku II dan pelanggaran (Overtredingen) dimuat
dalam buku III.
Dicoba membedakan bahwa kejahatan merupakan
Rechtsdelict atau delik hukum dan pelanggaran merupakan Wetsledict atau delik undang-undang. Delik hukum adalah pelanggaran hukum yang dirasakan melanggar rasa keadilan,
misalnya perbuatan seperti pembunuhan, melukai orang lain,
mencuri, dan sebagainya. Sedangkan delik undang-undang
melanggar apa yang telah ditentukan oleh undang-undang,
misalnya saja keharusan untuk mempunyai SIM bagi yang
mengendarai kendaraan bermotor di jalan umum, atau mengenakan
helm ketika mengendarai sepeda motor.16
15
Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2002, Cet.1.), h.117-119.
16
b. Menurut cara merumuskannya, dibedakan antara tindak pidana
formil (Formeel delicten) dan tindak pidana materiil (Materiel
delicten).
c. Berdasarkan bentuk kesalahan, dibedakan antara tindak pidana
sengaja (Doleus delicten) dan tindak pidana tidak dengan sengaja
(Culpose delicten).
d. Berdasarkan macam perbuatannya, dapat dibedakan antara tindak
pidana aktif/positif dapat juga disebut tindak pidana komisi
(Delicta commissionis) dan tindak pidana pasif/negative, disebut
juga tindak pidana omisi (Delicta ommisionis).
e. Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya, maka dapat
dibedakan antara tindak pidana terjadi seketika dan tindak pidana
terjadi dalam waktu lama atau berlangsung lama/berlangsung terus.
f. Berdasarkan sumbernya, dapat dibedakan antara tindak pidana
umum dan tindak pidana khusus.
g. Dilihat dari sudut subjek hukumnya, dapat dibedakan antara tindak
pidana Communia (Delicta communia, yang dapat dilakukan oleh
siapa saja), dan tindak pidana Propria (dapat dilakukan hanya oleh
orang memiliki kualitas pribadi tertentu.
h. Berdasarkan perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan,
maka dibedakan antara tindak pidana biasa (Gewone delicten) dan
i. Berdasarkan berat ringannya pidana yang diancamkan, maka dapat
dibedakan antara tindak pidana bentuk pokok (Eenvoudige
delicten), tindak pidana yang diperberat (Gequalificeerde delcten)
dan tindak pidana yang diperingan (Gepriviligeerde delicten).
j. Berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi, maka tidak
pidana tidak terbatas macamnya bergantung dari kepentingan
hukum yang dilindungi, seperti tindak pidana terhadap nyawa dan
tubuh, terhadap harta benda, tindak pidana pemalsuan, tindak
pidana terhadap nama baik, terhadap kesusilaan dan lain
sebagainya.
k. Dari sudut berapa kali perbuatan untuk menjadi suatu larangan,
dibedakan antara tindak pidana tunggal (Enkelvoudige delicten)
dan tindak pidana berangkai (Samengestelde delicten).
5. Tindak pidana ringan
Tindak Pidana Ringan (Tipiring) adalah tindak pidana yang
bersifat ringan atau tidak berbahaya. tindak pidana ringan ini tidak hanya
berupa pelanggaran tapi juga mencakup kejahatan-kejahatan ringan yang
tertulis dalam Buku II KUHP yang terdiri dari, penganiayaan hewan
ringan, penghinaan ringan, penganiayaan ringan, pencurian ringan,
penggelapan ringan, penipuan ringan, perusakan ringan, dan penadahan
ringan.
Hal inilah yang menjadi keistimewaan KUHP Indonesia yang
Hindia-Belanda didasari oleh KUHP Hindia-Belanda namun pembagian bentuk kejahatan
biasa dan ringan berasal dari Hindia-Belanda sendiri yang kemudian
diadopsi ke dalam KUHP Indonesia.
Kejahatan dan pelanggaran sendiri memiliki beberapa perbedaan.
Pengaturan mengenai kejahatan dan pelanggaran diletakkan di tempat
yang berbeda dalam KUHP. Pada dasarnya, KUHP terdiri atas 569 pasal
yang dibagi dalam tiga buku. Tiga buku itu :17
“Buku I : Ketentuan-ketentuan umum (juga disebut Bagian
Umum,Algemeen deel) – pasal-pasal 1-103.
Buku II : Kejahatan – pasal-pasal 104-448
Buku III : Pelanggaran – pasal-pasal 449-569.”
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, KUHP Hindia-Belanda
yang diadopsi ke dalam KUHP Indonesia mengenal tindak pidana ringan
sedangkan Belanda sendiri tidak mengenal lembaga tersebut. Akan tetapi,
seiring perkembangan zaman lembaga tindak pidana ringan semakin
dipertanyakan keberadaannya. Utrecht dalam bukunya “Hukum Pidana 1”
menggunakan istilah kejahatan enteng sebagai padanan kata Lichte
misdrijven dalam bahasa Belanda atau kejahatan ringan atau yang dalam tulisan ini menggunakan istilah Tindak Pidana Ringan.
Definisi mengenai tindak pidana ringan akan sulit ditemukan
dalam KUHP, definisi tindak pidana ringan yang cukup dapat dipahami
justru dapat ditemukan dalam KUHAP sebagai ketentuan hukum pidana
17
formal dari KUHP. Pasal 205 ayat (1) KUHAP yang mengatur mengenai
ketentuan pemeriksaan acara cepat menyatakan bahwa :
“Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan Tindak Pidana Ringan
ialah perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan kecuali yang
ditentukan dalam Paragraf 2 Bagian ini”.18
Dari bunyi pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan mengenai
definisi tindak pidana ringan, yaitu sebuah perkara yang ancaman
hukuman penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda
paling banyak tujuh ribu lima ratus rupiah.
Apabila ditelusuri lebih jauh bunyi pasal-pasal yang terdapat
dalam KUHP maka setidaknya terdapat sembilan pasal yang tergolong
bentuk tindak pidana ringan, yaitu Pasal 302 ayat (1) mengenai
penganiayaan ringan terhadap hewan, Pasal 352 ayat (1) mengenai
penganiayaan ringan, Pasal 364 mengenai pencurian ringan, Pasal 373
mengenai penggelapan ringan, Pasal 379 mengenai penipuan ringan, Pasal
384 mengenai penipuan dalam penjualan, Pasal 407 ayat (1) mengenai
perusakan barang, Pasal 482 mengenai penadahan ringan, dan Pasal 315
mengenai penghinaan ringan.
18
B.Tindak Pidana Pencurian 1. Definisi pencurian
Menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), arti dari kata “curi” adalah mengambil milik orang lain tanpa izin atau dengan tidak sah,
biasanya dengan sembunyi-sembunyi. Sedangkan arti “pencurian” adalah
proses, cara, perbuatan.
Dalam pasal 362 KUHP disebutkan, “barang siapa mengambil
barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain,
dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena
pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Sembilan ratus rupiah”.19
Dalam hukum kriminal, pencurian adalah pengambilan properti
milik orang lain secara tidak sah tanpa seizin pemilik. Kata ini juga
digunakan sebagai sebutan informal untuk sejumlah kejahatan terhadap
properti orang lain, seperti perampokan rumah, penggelapan, penjarahan,
perampokan, pencurian toko, penipuan dan kadang pertukaran kriminal.
Seseorang yang melakukan tindakan atau berkarir dalam pencurian disebut
pencuri, dan tindakannya disebut mencuri.20
Untuk lebih jelasnya, apabila dirinci rumusan itu terdiri dari
unsur-unsur objektif (perbuatan mengambil, objeknya suatu benda, dan unsur-unsur
keadaan yang melekat pada benda untuk dimiliki secara sebagian ataupun
19
Andi Hamzah, KUHP & KUHAP, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007, Cet.15.), h.140.
20
Wikipedia Ensiklopedia bebas, Pencurian Adalah,
seluruhnya milik orang lain) dan unsur-unsur subjektif (adanya maksud,
yang ditujukan untuk memiliki, dan dengan melawan hukum).21
2. Unsur-unsur tindak pidana pencurian menurut KUHP
Pasal 362 KUHP tentang pencurian menyebutkan: Barang siapa
mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan
orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, di
ancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun
atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah.22
Jika diteliti rumusan tindak pidana pencurian tersebut, perbuatan
itu terdiri dari unsur-unsur :23
1. Barang siapa;
2. Mengambil barang sesuatu;
3. Barang kepunyaan orang lain;
4. Dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum.
Untuk diketahui bahwa Pasal 362 KUHP itu terdiri 4 unsur seperti
tersebut di atas tanpa menitikberatkan satu unsur. Tiap-tiap unsur
mengandung arti yuridis untuk dipakai menentukan atas suatu perbuatan. Barang siapa; yang dimaksud dengan barang siapa ialah “orang”, subjek
hukum yang melakukan perbuatan.
21
Blog Tajmiati-Bloger, Tindak Pidana Pencurian,
http://tajmiati-bloger.blogspot.com/2012/04/tindak-pidana-pencurian.html, diakses tanggal 10 September 2014 pukul 10.12 WIB.
22
Andi Hamzah, KUHP & KUHAP, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007, Cet.15.), h.140.
23
Pencurian mempunyai beberapa unsur yaitu :24
1. Unsur objektif, terdiri dari:
a. Perbuatan mengambil
b. Objeknya suatu benda
c. Unsur keadaan yang menyertai/melekat pada benda, yaitu benda
tersebut sebagian atau seluruhnya milik orang lain
2. Unsur-unsur subjektif, terdiri dari:
a. Adanya maksud
b. Yang ditujukan untuk memiliki
c. Dengan melawan hukum
Suatu perbuatan atau peristiwa, baru dapat dikualifisir sebagai
pencurian apabila terdapat semua unsur tersebut diatas.
Dari adanya unsur perbuatan yang dilarang mengambil ini
menunjukkan bahwa pencurian adalah berupa tindak pidana formil.
Mengambil adalah suatu tingkah laku positif/perbuatan materiil, yang
dilakukan dengan gerakan-gerakan otot yang disengaja yang pada
umumnya dengan menggunakan jari-jari dan tangan yang kemudian
diarahakan pada suatu benda, menyentuhnya, memegangnya, dan
mengangkatnya lalu membawa dan memindahkannya ketempat lain atau
kedalam kekuasaannya.25
24
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Harta Benda, (Malang: Bayu Media, 2003), h.5.
25
Blog Law For Justice, Pengertian Tindak Pidana Pencurian,
Kekuasaan benda apabila belum nyata dan mutlak beralih ke
tangan si petindak, pencurian belum terjadi, yang terjadi barulah
percobaan mencuri. Dari perbuatan mengambil berakibat pada beralihnya
kekuasaan atas bendanya saja, dan tidak berarti juga beralihnya hak milik
atas benda itu ke tangan petindak. Oleh karena untuk mengalihkan hak
milik atas suatu benda tidak dapat terjadi dengan perbuatan yang
melanggar hukum, melainkan harus melalui perbuatan-perbuatan hukum,
misalnya dengan jalan jual beli, hibah dan lain sebagainya.26
Jadi benda yang dapat menjadi obyek pencurian ini haruslah
benda-benda yang ada pemiliknya. Benda-benda yang tidak ada
pemiliknya tidak dapat menjadi objek pencurian. Sebagai unsur subjektif,
memiliki adalah untuk memiliki bagi diri sendiri atau untuk dijadikan
sebagai barang miliknya. Apabila dihubungakan dengan unsur maksud,
berarti sebelum melakukan perbuatan mengambil, dalam diri petindak
sudah terkandung suatu kehendak (sikap batin) terhadap barang itu untuk
dijadikan sebagai miliknya.
Maksud memiliki melawan hukum atau maksud memiliki itu
ditujukan pada melawan hukum, artinya ialah sebelum bertindak
melakukan perbuatan mengambil benda, ia sudah mengetahui, sudah sadar
memiliki benda orang lain (dengan cara yang demikian) itu adalah
bertentangan dengan hukum. Berhubung dengan alasan inilah, maka unsur
melawan hukum dalam pencurian digolongkan ke dalam unsur melawan
26
hukum subujektif. Pada dasarnya melawan hukum adalah sifat tercelanya
atau terlarangnya dari suatu perbuatan tertentu.27
3. Tindak pidana pencurian ringan
Berdasarkan pasal 364 KUHP Yang berbunyi “Perbuatan yang
diterangkan pada pasal 362 dan pasal 363 butir ke-5 apabila tidak
dilakukan didalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada
dirumahnya, jika harga barang yang dicuri tidak lebih dari dua puluh lima
rupiah, diancam dengan pencurian ringan dengan pidana paling lama tiga
bulan atau pidana denda dua ratus lima puluh rupiah”. Dari rumusan
ketentuan pidana di atas dapat diketahui, bahwa yang dimaksud pencurian
ringan itu dapat berupa :
a. Tindak pidana pencurian dalam bentuk pokok;
b. Tindak pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara
bersama-sama;
c. Tindak pidana pencurian, yang untuk mengusahakan jalan masuk
ke tempat kejahatan atau untuk mencapai benda yang hendak
diambilnya, orang yang bersalah tidak melakukan pembongkaran,
perusakan, pemanjatan atau memakai kunci-kunci palsu atau
serangan palsu.
27
33
A. Proses Peradilan Pidana Dalam Tahap Penyidikan, Penuntutan Dan Persidangan
1. Penyelidikan dan penyidikan
Proses penyelesaian perkara pidana di mulai dari penyelidikan dan
penyidikan yang dilakukan oleh penyidik. Apabila dilakukan penyelidikan
ternyata terdapat cukup bukti bahwa seseorang diduga kuat telah
melakukan tindak pidana, maka dilanjutkan dengan mengadakan
penyidikan. Kemudian setelah penyidikan selesai, berkas perkara dikirim
ke kejaksaan untuk dilakukan penelitian berkas perkara yang dilakukan
oleh Jaksa/atau Penuntut Umum.1
Terhadap suatu peristiwa yang telah dinyatakan sebagai suatu
tindak pidana oleh penyelidik, maka tahap selanjutnya adalah melakukan
penyidikan untuk mencari tahu siapa pelaku dari tindak pidana tersebut.
Berdasarkan Pasal 1 butir 1 KUHAP pejabat yang berwenang untuk
melakukan penyidikan adalah pejabat Polisi Negara atau Pegawai Negeri
Sipil yang berwenang melakukan penyidikan berdasarkan KUHAP.
Penyidik mempunyai wewenang sebagaimana yang ditentukan dalam
Pasal 7 KUHAP, di antaranya adalah :2
1
Alfitra, Gugur Atau Batalnya Hak Penuntutan Serta Menjalankan Pidana Menurut Hukum Positif Indonesia, (Jakarta: Sejahtera Printing, 2009, Cet.1.), h.1.
2
a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya
tindak pidana;
b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
c. Melakukan penyitaan dan pemeriksaan surat;
d. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
e. Mengadakan pemberhentian penyidikan.
Penyelidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan
tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak
pidana wajib segera melakukan tindak penyelidikan yang diperlukan.
Dalam hal tertangkap tangan tanpa menunggu perintah penyidik,
penyelidik wajib segera melakukan tindakan yang diperlukan dalam
rangka penyelidikan (Pasal 102 ayat (1) & (2) KUHAP).
Adapun yang dimaksud dengan tindakan penyelidikan adalah
serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu
peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau
tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini (Pasal 1 butir 5 KUHAP). Dalam hal untuk mencari dan
menemukan suatu peristiwa terjadinya suatu tindak pidana, telah
termaktub pada Pasal 102 KUHAP sumbernya berupa laporan, pengaduan,
tertangkap tangan, dan diketahui oleh petugas.
Peninjauan pada tahap penyidikan juga dapat dilakukan terhadap
ketidaklengkapan berkas perkara yang harus dipenuhi sebelum
tersebut dapat dilihat dari dua segi, yaitu baik secara formal maupun
materiel.3
Ketidaklengkapan persyaratan formal :
a. Tidak terdapat berita acara pemeriksaan tersangka;
b. Tidak ada surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP);
c. Tidak ada berita acara penangkapan.
Ketidaklengkapan syarat materiel :
a. Ketidak sesuaian tindak pidana yang disangkakan;
b. Tidak menguraikan unsur delik secara cermat, jelas dan lengkap.
Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik
wajib segera menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum. Pada
penyerahan berkas tahap pertama, penyidik secara fisik menyerahkan
berkas perkara dari penyidik diterima oleh urusan surat-surat, kemudian
diserahkan kepada pimpinan selanjutnya pimpinan atau pejabat yang
ditunjuk menugaskan seorang jaksa dengan surat perintah untuk
melakukan penelitian berkas perkara.4
2. Penuntutan
Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan
perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal menurut
cara yang diatur dalam UU ini dengan permintaan supaya diperiksa dan
diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Penuntutan merupakan Dominus
3
Alfitra, Gugur Atau Batalnya Hak Penuntutan Serta Menjalankan Pidana Menurut Hukum Positif Indonesia, (Jakarta: Sejahtera Printing, 2009, Cet.1.), h.2.
4
litis, atau kewenangan mutlak dari penuntut umum, yang artinya bahwa hanya penuntut umum yang berwenang untuk melakukan penuntutan
dalam perkara pidana (Pasal 1 butir 7 jo Pasal 13 KUHAP).5
Ruang lingkup penuntutan terdiri dari tugas seorang jaksa dalam
hal mempelajari dan meneliti berkas perkara yang diajukan oleh penyidik,
apakah telah cukup bukti bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana
dan menyusun surat dakwaan.
Berhasilnya penuntutan sangat tergantung kepada kemampuan
penuntut umum dalam mengajukan alat-alat bukti dan membuktikan
bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana dan memang benar
terdakwa dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatannya.6 Dalam hal
Penuntut Umum berpendapat bahwa berkas perkara telah memenuhi
persyaratan untuk dilimpahkan ke pengadilan, kemudian penuntut umum
melimpahkan perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan.7
Surat dakwaan adalah dasar bagi pemeriksaan perkara selanjutnya,
baik pemeriksaan di persidangan pengadilan negeri maupun pada
pemeriksaan tingkat banding dan pemeriksaan kasasi serta pemeriksaan
peninjauan kembali (PK), bahkan surat dakwaan merupakan pembatasan
tuntutan. Terdakwa tidak dapat dituntut atau dinyatakan bersalah dan
5
Ledeng Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010, Edisi ke-2), h.20.
6
Alfitra, Gugur Atau Batalnya Hak Penuntutan Serta Menjalankan Pidana Menurut Hukum Positif Indonesia, (Jakarta: Sejahtera Printing, 2009, Cet.1.), h.13.
7
dihukum untuk perbuatan-perbuatan yang tidak dicantum dalam surat
dakwaan.8
Terdapat dua syarat yang harus dipenuhi dalam pembuatan surat
dakwaan, yakni syarat formil dan syarat materiel.9 Syarat formil diatur
dalam Pasal 143 ayat (2) huruf a KUHAP yang meliputi :
a. Surat dakwaan harus dibubuhi tanggal dan tanda tangan penuntut
umum pembuat surat dakwaan;
b. Surat dakwaan harus memuat secara lengkap identitas terdakwa yang
terdiri dari nama lengkap, tempat lahir, umur/tanggal lahir, jenis
kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan. Sesuai
KEPJA No. KEP-120/J.A/12/1992, identitas terdakwa tersebut
dilengkapi dengan pendidikan.
Syarat materiel diatur dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP,
yang meliputi :
a. Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang
didakwakan;
b. Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai waktu dan tempat
tindak pidana dilakukan.
8
Ledeng Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010, Edisi ke-2), h.21.
9
3. Pemeriksaan persidangan
Perkara yang telah dilimpahkan oleh Penuntut Umum ke
Pengadilan Negeri didasarkan atas permintaan agar segera mengadili
perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan. Setelah Pengadilan Negeri
menerima surat pelimpahan perkara dari penuntut umum, ketua
mempelajari apakah perkara itu termasuk wewenang pengadilan yang
dipimpinnnya.
Berbicara kewenangan mengadili maka perlu diketahui
kewenangan dibagi menjadi dua jenis yaitu, kewenangan absolut dan
kewenangan relatif. Kewengan absolut, berkaitan dengan lingkungan
peradilan (lingkungan peradilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman
sebagaimana dalam Pasal 18 UU 48/2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman).
Sedangkan kewenangan relatif, berkaitan dengan pembagian wilayah
hukum setiap pengadilan dalam lingkup peradilan umum. Selanjutnya
setelah pelimpahan perkara oleh penuntut umum dilakukan penunjukkan
majelis hakim dan penetapan hari sidang. Kemudian dilakukannya
pemanggilan terdakwa ke persidangan. Pada permulaan ketua sidang/ketua
majelis memerintahkan supaya terdakwa dipanggil masuk (Pasal 154 ayat
(1) KUHAP) dan selanjutnya menanyakan identitas terdakwa (Pasal 155
ayat (1) KUHAP). Sesudah itu meminta penuntut umum membacakan
surat dakwaan. 10
10
Kesatuan acara pemeriksaan persidangan dimulai dari pemeriksaan
terdakwa, pembacaan surat dakwaan, pengajuan eksepsi atau keberatan,
putusan sela, pembuktian, pembacaan surat tuntutan dan pembelaan, replik
duplik, dan sampai pada putusan merupakan rangkaian dari hukum acara
peradilan yang diatur dalam KUHAP. Hingga pada putusan pengadilan
telah dikeluarkan selanjutnya tahap upaya hukum dapat diberikan. Putusan
pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang
pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan, bebas, atau lepas dari
segala tuntutan. Dalam hal putusan pengadilan berupa pemidanaan, jika
pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak
pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan
pidana (Pasal 193 ayat (1) KUHAP).
B. Tahap-Tahap Upaya Hukum Dalam Sistem Peradilan Pidana 1. Pengertian upaya hukum
Upaya hukum adalah bagian dari mata rantai proses perkara pidana.
Upaya hukum merupakan proses argumentasi melalui dokumentasi dari
pada perdebatan. Sebab pada dasarnya para pihak tidak hadir; dan dalam
praktiknya hampir tidak pernah ada perkara dimana dalam tingkat upaya
kasasi kehadiran itu dimungkinkan (Vide, Pasal 238 ayat (4) jo Pasal 253
ayat (3) KUHAP).11
Sedangkan menurut Dr. Eggi Sudjana, SH, M.Si yang dimaksud
dengan upaya hukum adalah upaya yang dapat dilakukan oleh pihak yang
berkepentingan terkait dengan adanya putusan pengadilan. Upaya hukum
tersebut dilakukan dengan tujuan mengoreksi dan menselaraskan
kesalahan yang terdapat dalam putusan yang telah dijatuhkan, baik
putusan tersebut telah memiliki kekuatan hukum tetap maupun belum
berkekuatan hukum tetap. Terdapat dua macam upaya hukum, yaitu upaya
hukum biasa dan upaya hukum luar biasa :12
a. Upaya Hukum Biasa
a) Perlawanan (verzet), upaya hukum yang dapat dilakukan terkait
dengan putusan sela;
b) Banding, adalah upaya yang dapat dilakukan agar putusan
peradilan tingkat pertama diperiksa kembali dalam tingkat banding;
c) Kasasi, adalah upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap
putusan pengadilan lain selain Mahkamah Agung.
b. Upaya Hukum Luar Biasa
Upaya hukum luar biasa adalah upaya hukum yang dapat diajukan terhadap putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Upaya hukum luar biasa terdiri dari :
11
Luhut M.P.Pangaribuan, Hukum Acara Pidana, (Jakarta: Djambatan, 2006, Cet.4.), h.84.
12
a) Kasasi demi kepentingan hukum, yaitu kasasi yang hanya dapat diajukan oleh jaksa agung dan tidak akan berpengaruh terhadap perkara yang sedang berlangsung;
b) Peninjauan Kembali, Upaya hukum yang diajukan terkait
adanya keadaan baru yang diduga berpengaruh apabila diajukan pada saat persidangan berlangsung.
Seperti yang telah dipaparkan di atas terdapat perbedaan terkait
upaya hukum yang diberikan oleh Undang-undang oleh masing-masing
lembaga. Dalam upaya hukum dibedakan kewenangan dari pengadilan
berikutnya yaitu Pengadilan Tinggi (PT) dan Mahkamah Agung (MA).
Kedua lembaga Yudikatif tersebut memiliki kewenangan yang berbeda,
dimana perbedaan tersebut bahwa Pengadilan Tinggi merupakan
pemerikasaan ulangan atas putusan Pengadilan Negeri terhadap semua
aspek perkara. Sedangkan Mahkamah Agung lebih kepada esensi dari
perkara tersebut. Oleh karena itu, Pengadilan Negeri dan Pengadilan
Tinggi disebut Judex factie.13
Sedangkan Mahkamah Agung disebut Judex jurist dikarenakan
MA yang hanya memeriksa interpretasi, konstruksi dan penerapan hukum
terhadap fakta yang sudah ditentukan oleh Judex factie. Dengan demikian,
tingkatan pemeriksaan perkara pidana hanya dua tahap ditambah bila ada
hal-hal luar biasa dengan upaya hukum peninjauan kembali (PK).14
13
Judex Factie menurut kamus hukum adalah Hakim yang berwenang memeriksa fakta dan bukti, dalam hal ini hakim-hakim pengadilan negeri dan pengadilan tinggi. Www. Pn kendari. go.id/index.php/deskinfo?download=8:kamus-hukum dikutip tanggal 1 September 2014 pukul 20.00 WIB.
14
2. Tahap upaya hukum biasa: Banding dan Kasasi
a. Upaya hukum Banding
Upaya hukum banding, diperiksa oleh Pengadilan Tinggi
sebagai Judex factie. Artinya pemeriksaan diulang untuk semua aspek
tapi tanpa kehadiran para pihak sekalipun kehadiran itu dimungkinkan.
Upaya hukum banding harus dilakukan dalam tenggang waktu 7
(tujuh) hari sesudah putusan dijatuhkan (Vide, Pasal 233 ayat (2)
KUHAP). Sebagai tindak lanjut, pernyataan banding diajukan satu
memori banding yang memuat alasan-alasan tidak diterimanya putusan,
namun memori banding itu tidak wajib.
Yang dijadikan bahan-bahan bagi pemeriksaan tingkat banding
adalah seluruh catatan-catatan yang telah dibuat oleh panitera selama
proses Peradilan Negeri tingkat pertama ditambah berkas perkara yang
bersangkutan dan memori-memori banding dari pihak-pihak yang
bersangkutan. Jika Pengadilan Tinggi memandang perlu dapat
memanggil langsung terdakwa atau saksi dan juga saksi ahli guna
didengar keterangannya secara langsung. Dalam hal terdakwa ditahan,
maka pengadilan tinggilah yang berwenang untuk menentukan
selanjutnya. Selama Pengadilan Tinggi belum memutusakan perkara
tersebut, selama itu pula masih diberikan kesempatan kepada
pihak-pihak yang bersangkutan untuk menyerahkan ataupun menambah
Tinggi.15 Dalam hal ini para pihak yang bersangkutan diberikan
kesempatan untuk mengumpulkan beberapa bukti-bukti yang
mendukung sebagai upaya pembuktian yang kuat dalam beracara di
Pengadilan.
Jika Pasal 233 ayat (1) KUHAP ditelaah dan dihubungkan
dengan Pasal 67 KUHAP, maka dapat disimpulkan bahwa semua
putusan pengadilan tingkat pertama (Pengadilan negeri) dapa