• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Gangguan Pendengaran Pekerja Unit Utilities PT.Pertamina (Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu Tahun 2014.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Gangguan Pendengaran Pekerja Unit Utilities PT.Pertamina (Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu Tahun 2014."

Copied!
121
0
0

Teks penuh

(1)

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN GANGGUAN PENDENGARAN PEKERJA UNIT UTILITIES PT.PERTAMINA (PERSERO)

REFINERY UNIT VI BALONGAN, INDRAMAYU TAHUN 2014

OLEH :

RIKI AKBAR

NIM : 107101002322

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(2)
(3)

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

PEMINATAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA Skripsi, Juli 2014

Riki Akbar, NIM : 107101002322

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Gangguan Pendengaran Pekerja Unit Utilities PT.Pertamina (Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu Tahun 2014.

xvii + 87 halaman, 14 tabel, 2 bagan, 1 gambar, 4 lampiran. ABSTRAK

Gangguan pendengaran akibat bising ialah disebabkan akibat terpapar oleh bising yang cukup keras dalam jangka waktu yang cukup lama dan biasanya diakibatkan oleh bising lingkungan kerja. Berdasarkan hasil pemeriksaan audiometri tahun 2013 di PT. Pertamina (Persero) Refinery Unit VI Balongan terdapat 16 dari 56 pekerja di Unit Utilities yang mengalami gangguan pendengaran.

Jenis penelitian ini adalah kuantitatif dengan desain cross sectional. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan pendengaran pekerja Unit Utilities PT.Pertamina (Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu tahun 2014. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai bulan Juni tahun 2014. Populasi dan sampel penelitian ini adalah seluruh pekerja Unit Utilities PT.Pertamina (Persero) Refinery Unit VI Balongan yang masih aktif bekerja sampai tahun 2014 dan sampel yang digunakan sebanyak 55 pekerja.

Diketahui dari hasil penelitian terdapat pekerja menderita gangguan pendengaran sebanyak 16 (29,1%) pekerja dan berdasarkan analisis statistik bivariat menggunakan uji Chi Square bahwa faktor yang berhubungan dengan gangguan pendengaran ialah dosis kebisingan dengan pvalue 0.000.

Untuk mengurangi terjadinya gangguan fungsi pendengaran ialah perlu dilakukannya rotasi kerja, pemberian barrier atau penghalang pada mesin yang mengeluarkan intensitas kebisingan diatas NAB, pemakaian APT dengan NRR yang sesuai, pelatihan pemakain APT yang baik, pemberian reward dan punishment terhadap penggunaan APT.

(4)

FACULTY MEDICINE AND HEALTH SCIENCES DEPARTMENT OF PUBLIC HEALTH

MAJOR OF OCCUPTIONAL SAFETY AND HEALTH Underground Thesis, Juli 2014

Riki Akbar, NIM : 107101002322

Factors That Are Associated With Hearing Loss Worker The Utilities Unit PT.Pertamina (Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu by 2014.

xvii + 87 pages + 14 tables + 2 chart + 1 picture + 4 appendix. ABSTRAK

Hearing loss due to noise is caused due to noisy exposed by a fairly hard in quite a long period of time and is usually caused by a noisy work environment. Based on the results of the examination of the audiometry by 2013 in PT. Pertamina (Persero) Balongan Refinery Unit VI there are 16 of 56 workers in Utilities Unit experiencing hearing loss.

Type of this research is quantitative with the design of cross sectional. This research aims to know the factors that are associated with hearing impairment Utilities Unit workers PT.Pertamina (Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu by 2014. This research was carried out in April until June 2014. Population and sample the study was the entire Unit PT Utilities workersPertamina (Persero) Refinery Unit VI Balongan active work until 2014 and samples that used as many as 55 workers.

Known from the results of the research there were workers suffering from hearing loss as much as 16 (29.1%) of workers and based on the analysis of statistical test Chi Square bivariat use that factors associated with hearing loss is the noise dose with a pvalue 0000.

To reduce the occurrence of disturbance of auditory function was he had to do a work rotation, giving the barrier on the machines that dispense the intensity of noise above NAB, use APT with appropriate training, the use of APT was good NRR, delivery of reward and punishment against the use of APT.

(5)
(6)
(7)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

DATA PRIBADI

Nama : Riki Akbar

Tempat Tanggal Lahir : Jakarta, 08 Agustus 1989

Agama : Islam

Golongan Darah : A

Status Kewarganegaraan : WNI

Alamat : Jl. Rempoa raya No.2 RT 01/05, Kelurahan Bintaro,

Kecamatan Pesanggrahan, Provinsi DKI Jakarta-Selatan 12330.

No. Telp : (021)-93463799 / (021)-7352486

E-Mail : riki_889@yahoo.com

PENDIDIKAN FORMAL

1995 – 2001 SDN B intaro 014 PG

2001 – 2004 SLTP Muhammadiyah 17 Ciputat Tangerang Selatan

2004 – 2007 SMA Dua Mei Ciputat Tangerang Selatan

(8)

KATA PENGANTAR

ميحرلانمحرلا للامسب

هتاكرب للاةمحر مكيلعماسا

Dengan menyebut nama ALLAH yang maha pengasih lagi maha penyayang, Segala puji kehadirat Allah SWT zat tunggal yang maha agung, yang telah meninggikan langit tanpa tiang dan yang telah mengokohkan bumi tanpa pondasi. Syukur senantiasa selalu terucapkan atas segala nikmat dan rahmat-Nya hingga skripsi yang berjudul “Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Gangguan Pendengaran Pekerja Unit

Utilities PT.Pertamina (Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu Tahun 2014” ini dapat selesai dan tersusun dengan baik. Salawat dan salam selalu tercurah kepada junjungan kita Habibana wa Habibana Nabi besar Muhammad SAW, yang telah membimbing umatnya dari zaman jahilyah sampai zaman yang berilmu pengetahuan seperti sekarang ini.

Penyusunan Skripsi ini semata-mata bukanlah hasil usaha penulis, melainkan banyak pihak yang telah memberikan supor, bantuan, bimbingan, motivasi, dan semangat. Untuk itu penulis merasa pantas berterima kasih yang tak terhingga kepada :

(9)

2. Bapak Prof. Dr. (hc). dr. M.K. Tadjudin, Sp.And, selaku dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Ibu Febrianti,SP,M.Si selaku dosen pembimbing I dan selaku ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat (PSKM) Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Ibu Catur Rosidati,MKM, sebagai sekretaris Program Studi Kesehatan Masyarakat, Penanggung Jawab Skripsi dan Sebagai Penguji Skripsi.

5. Ibu Iting Shofwati, ST, MKKK Selaku Penanggung Jawab Peminatan Kesehatan & Keselamatan Kerja (K3).

6. Bapak dr.Yuli Prapanca Satar, MARS, selaku dosen pembimbing II yang tak pernah lelah dalam membimbing dan yang selalu memberikan kemudahan kepada mahasiswa & mahasiswinya. Semoga ALLAH SWT selalu memberikan kemudahan dalam setiap derap langkah bapak & keluarga, Aaaaamien…

7. Seluruh dosen dan staf Program Studi Kesehatan Masyarakat (PSKM) Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

(10)

9. Bapak-bapak pekerja Unit Utilities yang telah meluangkan waktunya untuk membantu peneliti selama berada di field.

10.Teman-teman dari UNHAS 2007, Dhea, Lily dan Ivone yang telah banyak memberikan asupan makanan (Snack dll) selama di meja Perpus HSE hahhahhah...oh ya makasi juga atas pinjamian Camdig (Kamera digitalnya ye)

11.Teman baik ku pipit, yang seneng ngebanyol dan super humoris.

12.Nur Najmi Laila (Profesor/suhu Ami hehehe…,,) yang selalu membantu & memberikan semangat kepada teman-teman seperjuangan. Ente dah kaya pembimbing III w mi, thank’s berat ye mi, w hutang budi sama lw. Dan w rasa yg

lebih berhutang budi sama lw adalah Nurli Faiz (Faiz) hahahah… dan lw w ksh predikat sebagai ibunya Faiz hihihih….

13.Teman-teman Kesehatan Masyarakat angkatan 2007 (Opus), Khususnya anak-anak K3 FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Tetap Semangat Untuk Meraih Masa Depan yang Gemilang.

Akhir kata dengan penuh rasa hormat dan kerendahan hati, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis maupun pembaca lain.

هتاكرب للاةمحر مكيلعماسلا

Jakarta, Juli 2014

(11)

DAFTAR ISI

1.5.3 Manfaat Bagi Institusi Pendidikan ... 9

1.6 Ruang Lingkup ... 10

BAB II Tinjauan Pustaka 2.1 Gangguan Pendengaran ………... 11

2.1.1 Gangguan Pendengaran Konduktif …………... 12

2.1.2 Gangguan Pendengaran Sensori-Neural... 12

2.1.3 Gangguan Pendengaran Campuran ……... 13

2.2 Anatomi dan Fisiologi Telinga ... 14

(12)

2.2.2 Fisiologi Telinga ... 14

2.2.2.1 Telinga Bagian Luar ... 15

2.2.2.2 Telinga Bagian Tengah ... 15

2.2.2.3 Telinga Bagian Dalam ... 15

2.3 Mekanisme Pendengaran ………..…………. 16

2.4Dampak Gangguan Pendengaran ………..………...…….. 19

2.4.1 Dampak Auditorial Akibat Bising ………... 19

2.4.2 Damak Non-Auditorial Akibat Bising ………. 22

2.5Pemeriksaan Gangguan Pendengaran atau Pemeriksaan Audiometri ……… 23

2.6 Pengendalian Kebisingan ... 24

2.6.4 Administrasi Control ... 28

2.6.5 Alat Pelindung Telinga ... 28

2.6.5.1 Ear Plug ... 29

2.6.5.2 Ear Muff ... 31

2.7 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Gangguan Pendengaran ... 33

2.9.1 Dosis Kebisingan ... 34

2.9.2 Masa Kerja ... 37

2.9.3 Usia Pekerja ... 38

2.9.4 Kebiasaan Merokok ... 39

2.9.5 Penggunaan Obat Ototoksik ... 40

2.9.6 Riwayat Penyakit Telinga ... 41

2.9.7 Penggunaan APT ... 42

2.8 Kerangka Teori ... 43

(13)

3.2 Definisi Operasional ... 45

3.3 Hipotesis ... 48

BAB IV Metodologi Penelitian 4.1 Jenis Penelitian ... 49

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 49

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian ... 49

4.4 Pengumpulan Data ... 51

4.5 Instrument Penelitian ... 52

4.6 Pengolahan Data ... 53

4.7 Analisis Data ... 55

4.7.1 Analisis Univariat ... 55

4.7.2 Analisis Bivariat ... 56

BAB V Hasil 5.1 Gambaran Umum PT.PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan ………... 57

5.2 Analisis Univariat ………. 58

5.3.1 Gambaran Dosis Kebisingan dengan Gangguan Pendengaran Pekerja Unit Utilities PT.PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu Tahun 2014 ……… 63

5.3.2 Gambaran Masa Kerja dengan Gangguan Pendengaran Pekerja Unit Utilities PT.PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu Tahun 2014 ……… 64

(14)

5.3.4 Gambaran Kebiasaan Merokok dengan Gangguan Pendengaran Pekerja Unit Utilities PT.PERTAMINA (Persero) Refinery

Unit VI Balongan, Indramayu Tahun 2014 ……… 66

5.3.5 Gambaran Pemakaian APT dengan Gangguan Pendengaran Pekerja Unit Utilities PT.PERTAMINA (Persero) Refinery

Unit VI Balongan, Indramayu Tahun 2014 ……… 67

BAB VI Pembahasan

6.1 Keterbatasan Penelitian ……….……. 69

6.2 Gangguan Pendengaran ……….. 70 6.3 Faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan pendengaran ………. 72 6.4 Hubungan Antara Dosis Kebisingan dengan Gangguan Pendengaran ………….. 72 6.5 Hubungan Antara Masa Kerja dengan Gangguan Pendengaran ……… 75 6.6 Hubungan Antara Usia Pekerja dengan Gangguan Pendengaran ……….…. 77 6.7 Hubungan Antara Kebiasaan Merokok dengan Gangguan Pendengaran ….….… 80 6.8 Hubungan Antara Pemakaian APT dengan Gangguan Pendengaran ……… 81

BAB VII Simpulan dan Saran

7.1 Simpulan ……… 84 7.2 Saran ……….. 85

(15)

DAFTAR TABEL

Utilities PT.Pertamina (Persero) Refinery Unit VI Balongan,

Indramayu Tahun 2014 ………. 59 5.2 Gambaran Distribusi Dosis Kebisingan Pekerja Unit Utilities

PT.Pertamina (Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu

Tahun 2014 ……… 60 5.3 Gambaran Distribusi Masa Kerja Pekerja Unit Utilities

PT.Pertamina (Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu

Tahun 2014………. 61 5.4 Gambaran Distribusi Usia Pekerja Unit Utilities PT.Pertamina

(Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu Tahun 2014……..… 61 5.5 Gambaran Distribusi Kebiasaan Merokok Pekerja Unit Utilities

PT.Pertamina (Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu

Tahun 2014……… 62 5.6 Gambaran Distribusi Pemakaian APT Pekerja Unit Utilities

PT.Pertamina (Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu

Tahun 2014 ………... 63 5.7 Gambaran Distribusi Hubungan Dosis Kebisingan dengan

Gangguan Pendengaran Pekerja Unit Utilities PT.Pertamina

(Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu Tahun 2014………. 64 5.8 Gambaran Distribusi Hubungan Masa Kerja dengan Gangguan

Pendengaran Pekerja Unit Utilities PT.Pertamina (Persero)

Refinery Unit VI Balongan, Indramayu Tahun 2014 ………... 65 5.9 Gambaran Distribusi Hubungan Usia Pekerja dengan Gangguan

Pendengaran Pekerja Unit Utilities PT.Pertamina (Persero)

Refinery Unit VI Balongan, Indramayu Tahun 2014……… 66 5.10 Gambaran Distribusi Hubungan Kebiasaan Merokok dengan

Gangguan Pendengaran Pekerja Unit Utilities PT.Pertamina

(16)

5.11 Gambaran Distribusi Hubungan Pemakaian APT dengan Gangguan Pendengaran Pekerja Unit Utilities PT.Pertamina

(17)

DAFTAR BAGAN

Nomor Bagan Halaman

2.1 Kerangka Teori ……… 43

(18)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Gambar Halaman

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Surat Izin Penelitian & Surat Konfirmasi Izin Penelitian Lampiran 2 Kwesioner

(20)

1

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Gangguan pendengaran masih menjadi salah satu masalah utama Kesehatan Masyarakat khususnya pada pekerja-pekerja yang bekerja di tempat yang terpapar bising, misalnya pekerja dikawasan industi antara lain pertambangan, perkapalan, penerbangan maupun mesin yang berada di pabrik-pabrik tekstil. Hal ini akan sangat merugikan para pekerja karena dapat menyebabkan ketulian menetap.

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa industri dan mekanisasi tumbuh dan berkembang dalam rangka mewujudkan masyarakat industri yang maju dan mandiri. Berbagai mesin dan peralatan canggih dipergunakan dan diproduksi oleh industri-industri dan perusahaan-perusahaan. Mesin-mesin dan peralatan tersebut di satu sisi sangat penting bagi pembangunan namun juga ternyata membawa dampak negatif bagi kesehatan manusia khususnya tenaga kerja (Depnaker, 1993).

(21)

Penggunaan teknologi yang tinggi di tempat kerja dalam hal sarana dan prasarana yang menghasilkan suara atau bunyi atau kegaduhan yang melebihi standar akan menimbulkan gangguan kesehatan khususnya pada pekerja, yaitu terjadinya penyakit akibat kerja. Bising yang sangat keras (di atas 85 dB untuk daerah pabrik, industri dan sejenisnya) dapat menyebabkan kemunduran yang serius pada kondisi kesehatan seseorang pada umumnya, dan bila berlangsung lama dapat menyebabkan gangguan pendengaran sementara, yang lambat laun dapat menyebabkan gangguan pendengaran permanen. Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya gangguan pendengaran antara lain adalah intensitas kebisingan, frekuensi kebisingan, dan lamanya orang tersebut berada di tempat atau di dekat sumber bunyi, baik dari hari ke hari atau seumur hidup (Azwar, 1990).

Kebisingan 75 dB untuk 8 jam per hari jika hanya terpapar satu hari saja pengaruhnya tidak signifikan terhadap kesehatan. Tetapi jika berlangsung setiap hari terus menerus minggu demi minggu, bulan demi bulan, tahun demi tahun maka suatu saat akan melewati batas dimana paparan kebisingan tersebut akan menyebabkan gangguan pendengaran (Sasongko, 2000).

(22)

sekitar 0,03% dari seluruh populasi. Dan sekitar 75 – 140 juta (50%) berada di Asia Tenggara. Indonesia cukup dominan, yaitu nomer 4 di Asia Tenggara sesudah Sri Lanka (8,8%), Myanmar (8,4%) dan India (6,3%) dan di Indonesia diperkirakan sedikitnya (4,6%) dan akan terus meningkat (Budiono, 2003). Sementara dari Survei Nasional pada tujuh propinsi di Indonesia, pada 1994-1996, angka gangguan pendengaran 16,8% atau 35,28 juta penduduk dan ketulian 0,4 % atau 840.000 penduduk (Komnas PGPKT, 2011).

Berdasarkan data yang didapat dari Balai Kesehatan Indera Masayarakat atau BKIM Kota Semarang pada November 2007 yang dilakukan pada anak-anak usia sekolah dasar, dari 467 siswa kelas satu yang diperiksa telinganya ditemukan sebanyak 29,55% siswa mengalami gangguan pendengaran yang diakibatkan serumen obsturan, Otitis media kronik Supuratif 1,28% dan Sensory Neural Hearing Loss 0,21%.

Bising yang intensitasnya 85 desibel (dB) atau lebih dapat menyebabkan kerusakan reseptor pendengaran Corti pada telinga dalam. Sifat ketuliannya adalah tuli saraf koklea dan biasanya terjadi pada kedua telinga. Banyak hal yang mempermudah seseorang menjadi tuli akibat terpapar bising antara lain intensitas bising yang tinggi, berfrekuensi tinggi, lebih lama terpapar bising dan faktor lain yang dapat menimbulkan ketulian (Irwandi, 2007).

(23)

sudah ditetapkan menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. Kep-51/MEN/1999 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika Di Tempat Kerja adalah 85 dBA untuk 8 jam kerja per harinya atau 40 jam kerja per minggunya. Kebisingan selain dapat menimbulkan gangguan pendengaran juga akan berdampak negatif lain seperti gangguan komunikasi, efek pada pekerjaan, stress, kelelahan, dan sebagainya.

PT. PERTAMINA (Persero) Refiery Unit VI Balongan adalah perusahaan BUMN yang bergerak dalam bidang pengolahan minyak bumi dalam hal ini Crude Oil atau Minyak Mentah menjadi BBM (Bahan Bakar Minyak) siap pakai. PT. PERTAMINA (Persero) Refiery Unit VI Balongan memiliki banyak unit bisnis dalam pekerjaannya, salah satunya adalah unit utilities. Di unit utilities terdapat 64 (enam puluh empat) mesin. Mesin-mesin yang menjadi sumber-sumber kebisingan di area utilities adalah Pompa, Kompresor, Boiler, Generator Plant dan Nitrogen Plant.

(24)

1.2 Rumusan Masalah

Terjadi gangguan pendengaran pada pekerja, berdasarkan hasil Tes Audiometri yang dilakukan pada pekerja Unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) RU VI Balongan Tahun 2013 ditemukan adanya pekerja yang mengalami gangguan pendengaran sebanyak 16 orang (29 %) dari 56 orang yang memeriksakan diri. Hal ini didukung oleh hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan pada bulan Januari 2013 didapatkan hasil pengukuran intensitas kebisingan di Unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) RU VI Balongan sebesar 81 dB - 104 dB.

Hal inilah yang melandasi penulis untuk melakukan penelitian

mengenai “Faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan pendengaran

pekerja di unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu Jawa Barat tahun 2014”.

1.3 Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana gambaran gangguan pendengaran yang dialami pekerja di UnitUtilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan Tahun 2014?

2. Bagaimana gambaran dosis kebisingan yang diterima pekerja di Unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan Tahun 2014?

(25)

4. Bagaimana gambaran masa kerja di Unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan Tahun 2014?

5. Bagaimana gambaran pemakaian APT di Unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan Tahun 2014?

6. Bagaimana gambaran kebiasaan merokok di Unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan Tahun 2014?

7. Apakah ada hubungan antara dosis kebisingan dengan gangguan pendengaran pada pekerja di Unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan Tahun 2014?

8. Apakah ada hubungan antara usia pekerja dengan gangguan pendengaran pada pekerja di Unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan Tahun 2014?

9. Apakah ada hubungan antara masa kerja dengan gangguan pendengaran pada pekerja di Unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan Tahun 2014?

10.Apakah ada hubungan antara pemakaian APT dengan gangguan pendengaran pada pekerja di Unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan Tahun 2014?

(26)

1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum

Diketahuinya hubungan antara usia pekerja, dosis kebisingan, masa kerja, pemakaian APT dan kebiasaan merokok dengan gangguan fungsi pendengaran pada pekerja di Unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu Jawa Barat tahun 2014”.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Diketahuinya gambaran gangguan pendengaran yang dialami pekerja di Unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu Jawa Barat tahun 2014”.

2. Diketahuinya gambaran dosis kebisingan pekerja di Unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu Jawa Barat tahun 2014”.

3. Diketahuinya gambaran usia di Unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu Jawa Barat tahun 2014”.

4. Diketahuinya gambaran masa kerja di Unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu Jawa Barat tahun 2014”. 5. Diketahuinya gambaran pemakaian APT di Unit Utilities PT. PERTAMINA

(Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu Jawa Barat tahun 2014”. 6. Diketahuinya gambaran kebiasaan merokok di Unit Utilities PT.

(27)

7. Diketahuinya hubungan antara dosis kebisingan dengan gangguan

pendengaran di Unit Utilities PT. PERTAMINA(Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu Jawa Barat tahun 2014”.

8. Diketahuinya hubungan antara usia pekerja dengan gangguan pendengarandi Unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu Jawa Barat tahun 2014”.

9. Diketahuinya hubungan antara masa kerja dengan gangguan pendengarandi Unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu Jawa Barat tahun 2014”.

10. Diketahuinya hubungan antara pemakaian APT dengan gangguan pendengaran di Unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu Jawa Barat tahun 2014”.

(28)

1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Bagi Peneliti

Dapat meningkatkan pengetahuan dan mendapatkan kesempatan untuk mengaplikasikan teori yang telah didapat selama dibangku perkuliahan, serta sebagai bahan referensi yang dapat dijadikan bahan bacaan oleh peneliti selanjutnya.

1.5.2 Bagi Perusahaan

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang berarti tentang dampak kebisingan yang diterima pekerja akibat terpapar intensitas kebisingan yang tinggi.

2. Sebagai masukan dan informasi bagi pekerja sehingga pekerja lebih memahami tentang dampak kebisingan terhadap keselamatan dan kesehatan kerja bagi dirinya sehingga tumbuh kesadaran untuk mematuhi peraturan menggunakan alat pelindung telinga.

1.5.3 Bagi Institusi Pendidikan

(29)

1.6 Ruang Lingkup Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan desain cross sectional. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara antara

(30)

11

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gangguan Pendengaran

Gangguan pendengaran adalah menurunnya atau memburuknya fungsi pendengaran. Tuli adalah memburuknya fungsi pendengaran yang lebih parah. Gangguan pendengaran dapat disebabkan oleh masalah mekanis didalam liang telinga atau telinga tengah yang menghalangi konduksi suara atau karena rusaknya telinga dalam. (Billy, 2003). Sedangkan menurut Jenny Basharudin, dkk (2007) gangguan pendengaran dapat diakibatkan dari gangguan atau kerusakan pada salah satu telinga, gangguan pendengaran telinga saat bayi dan anak-anak, gangguan pendengaran akibat bising dan gangguan pendengaran akibat obat ototoksik.

Suara dapat mencapai telinga bagian dalam melalui hantaran udara ( Air Conduction) dan hantaran tulang (Bone Conduction). Suara yang masuk dari

(31)

2.1.1 Gangguan Pendengaran Konduktif (Widana, I Dewa Ketut Kerta, 2006). Gangguan pendengaran hantaran udara (conductive hearing loss), dimana hasil test menunjukkan gangguan pada hantaran udara tetapi pada hantaran tulang normal. Hal ini memberi ganbaran bahwa tidak terdapat kerusakan pada struktur telinga bagian dalam. Gangguan pendengaran konduktif disebabkan oleh adanya kelainan yang terdapat pada telinga bagian luar atau bagian tengah. Kelainan ditelinga luar yang menyebabkan gangguan pendengaran konduktif adalah atresia liang telinga, sumbatan oleh serumen, otitis eksterna sirkumskripta dan osteoma liang telinga. Kelainan ditelinga tengah yang menyebabkan gangguan pendengaran konduktif adalah sumbatan tuba eustakhius, otitis media, timpanosklerosis dan dislokasi tulang pendengaran

2.1.2 Gangguan Pendengaran Sensori-neural

(32)

2.1.3 Gangguan Pendengaran Campuran

Gangguan pendengaran campuran yaitu suatu kondisi dimana antara gangguan pendengaran konduktif dan gangguan pendengaran sensorineural yang terjadi secara bersamaan. Gangguan pendengaran campuran disebabkan karena kombinasi gangguan pendengaran konduktif dan gangguan pendengaran saraf, berupa penyakit radang telinga tengah dengan kompilasi ketelinga dalam atau merupakan gangguan pendengaran saraf dengan radang telinga tengah.

Menurut International Standard Organization (ISO), dalam Istantyo (2011) derajat gangguan pendengaran karena kebisingan adalah sebagai berikut :

a. Pendengaran Normal

Jika peningkatan ambang dengar antara 0 - < 25 dB b. Tuli Ringan

Jika peningkatan ambang dengar antara 26 - 40 dB. c. Tuli Sedang

Jika peningkatan ambang dengar antara 41-60 dB. d. Tuli Berat

Jika peningkatan ambang dengar antara 61 - 90 dB. e. Tuli Sangat Berat

(33)

2.2 Anatomi & Fisiologi Telinga 2.2.1 Anatomi Telinga

Gambar 2.1

Anatomi Telinga Manusia

2.2.2 Fisiologi Telinga

(34)

2.2.2.1 Telinga Bagian Luar (Lauralee sherwood, 2001).

Telinga luar terdiri dari daun telinga (ear flap), liang telinga (ear canal) yang panjangnya kurang lebih dua sentimeter sampai dengan membran timpani (membrane tympanic).

2.2.2.2Telinga Bagian Tengah

Teliga tengah (middle ear) terdapat tiga buah tulang yang saling berhubungan (ossicular system) yaitu malleus, incus dan stapes. Prosesus longus maleus melekat pada membran timpani, maleus melekat pada inkus, dan inkus melekat pada stapes. Stapes terletak pada tingkap lonjong yang berhubungan dengan koklea.

2.2.2.3Telinga Bagian Dalam

(35)

Daun telinga berfungsi menangkap gelombang tekanan suara dan meneruskan gelombang tersebut ke gendang telinga. Ketika gelombang tekanan suara mencapai gendang telinga, maka gendang telinga akan bergetar. Getaran suara itu akan diteruskan sampai ke telinga tengah. Getaran suara yang sampai pada tulang-tulang tersebut akan diteruskan sampai ke telinga bagian dalam. Suara yang sampai ke telinga bagian dalam akan diterima oleh membran oval window. Membran ini meneruskan gelombang suara ke dalam koklea, dimana di dalamnya terdapat cairan dan 25.000 sel-sel saraf. Selanjutnya gerakan fluida ini akan menggetarkan ribuan sel berbentuk rambut halus (hair cells) yang akan mengonversi getaran yang diterimanya menjadi implus bagi saraf pendengaran. Oleh saraf pendengaran (audiory nerve), implus tersebut akan dikirim ke otak untuk diterjemahkan menjadi suara yang kita dengar (Bridger R.S, 1995).

2.3 Mekanisme Pendengaran (Pearce, 2002).

(36)

disalurkan melalui fenestra vestibuler menuju perilimfe. Getaran perilimfe dialihkan melalui membran menuju endolimfe dalam saluran kokhlea dan rangsangan mencapai ujung-ujung akhir saraf dalam organ corti, untuk kemudian diantarkan menuju otak oleh nervus auditorius.

Perasaan pendengaran ditafsirkan otak sebagai suara yang enak atau tidak enak, hingar bingar atau musikal. Istilah-istilah ini digunakan dalam artinya yang seluas-luasnya. Gelombang suara yang tidak teratur menghasilkan keributan atau kehingarbingaran, sementara gelombang suara berirama teratur menghasilkan bunyi musikal enak. Suara merambat dengan kecepatan 343 m/detik dalam udara tenang pada suhu 15, 50 C.

Menurut Budiono (2003) apabila telinga memperoleh rangsang suara, maka sesuai dengan besarnya rangsangan akan terjadi proses:

a. Adaptasi, yang berlangsung 0-3 menit, yakni berupa kenaikan ambang dengar sesaat. Jika rangsangan berhenti, ambang dengar akan kembali seperti semula. b. Pergeseran ambang dengar sementara (temporary threshold shift), sebagai

(37)

c. Pergeseran ambang dengar yang persisten (persistent treshold shift), yang masih ada setelah 40 jam rangsang suara berhenti.

d. Pergeseran ambang suara yang menetap (permanent threshold shift), meskipun rangsang suara sudah tidak ada. Pada keadaan ini sudah terjadi kelainan patologis yang permanen pada koklea, umumnya pada kasus trauma akustik dan akibat kebisingan di tempat kerja.

Proses pendengaran sangatlah menakjubkan. Getaran sumber bunyi dihantarkan melalui media udara menggetarkan gendang dan tulang-tulang kecil yang terletak dalam rongga telinga bagian tengah, yang kemudian menghantarkan getaran ke dalam suatu sistem cairan yang terletak dalam putaran rongga bangunan menyerupai rumah siput atau lebih dikenal sebagai koklea, yang terletak bersebelahan dengan alat keseimbangan di dalam tulang temporalis. Di dalam telinga bagian tengah juga terdapat sebuah otot terkecil dalam tubuh manusia, yaitu tensor timpani, yang bertugas membuat tegang rangkaian tulang pendengaran pada saat bunyi yang mencapai sistem pendengaran kita berkekuatan lebih dari 70 dB, untuk meredam getaran yang mencapai sel-sel rambut reseptor pendengaran manusia. Namun, otot ini yang bekerja terus menerus juga tak mampu bertahan pada keadaan bising yang terlalu kuat dan kontinu, dan terjadilah stimulasi berlebih yang merusak fungsi sel-sel rambut.

(38)

Ketulian akan terjadi pada kedua telinga secara simetris dengan mengenai nada tinggi terlebih dahulu, terutama dalam frekuensi 3000 sampai 6000 Hz. Sering kali juga terjadi penurunan tajam (dip) hanya pada frekuensi 4000 Hz, yang sangat khas untuk gangguan pendengaran akibat bising. Karena yang terkena adalah nada yang lebih tinggi dari nada percakapan manusia, sering kali pada awalnya sama sekali tidak dirasakan oleh penderitanya karena belum begitu jelas gangguan pada saat berkomunikasi dengan sesama (Djelantik, 2004).

2.4 Dampak Gangguan Pendengaran

Dampak gangguan pendengaran pada manusia secara umum dapat dibedakan menjadi dua golongan yaitu dampak auditorial atau Auditory Effects dan dampak non-auditorial atau Non Auditory Effects (National Safety Council, 1975).

2.4.1 Dampak Auditorial Akibat Bising

Dampak auditori akibat bising adalah terjadinya gangguan pendengaran. Gangguan pendengaran akibat bising (Noise Induced Hearing Lose) adalah gangguan pendengaran yang berkembang secara perlahan dalam jangka waktu yang cukup lama yang diakibatkan karena terpajan kebisingan yang keras secara terus menerus atau terputus-putus (ACOEM, 2002).

(39)

a. Kerusakan bersifat sensori-neural, mempengaruhi sel-sel rambut telinga bagian dalam.

b. Gangguan pendengaran terjadi secara bilateral.

c. Pajanan kebisingan tunggal tidak menyebabkan gangguan pendengaran yang lebih besar dari pada 75 dB pada frekuensi tinggi dan 40 dB pada frekuensi rendah.

d. Pada umumnya, pajanan kebisingan yang terus menerus selama beberapa tahun lebih merusak dari pada pajanan kebisingan terputus-putus. Akan tetapi, pajanan kebisingan pada tingkat tinggi walau sesaat dapat mengakibatkan gangguan pendengaran yang bermakna.

Dampak Auditorial akibat bising, kemungkinan dapat berupa : a. Trauma Akustik

Trauma akustik merupakan luka pada elemen sensori-neural ditelinga bagian dalam. Akibat terpajan bising tinggi atau kuat yang tiba-tiba seperti ledakan bom atau terjadi trauma langsung pada kepala atau telinga menyebabkan robeknya membran timpani atau terjadi dislokasi serta kerusakan tulang-tulang pendengaran disebut denga trauma akustik (National Safety Council, 1975).

b. Perubahan Ambang Pendengaran Sementara atau Temporary Threshold Shift (TTS)

(40)

suara bising yang tinggi tidak lagi dirasakan, artinya bahwa pekerja tersebut telah mengalami gangguan pendengaran. Setelah pekerja tersebut keluar dari tempat kerja yang bising, maka pendengarannya sedikit demi sedikit akan pulih seperti semula. Hal tersebut berarti gangguan pendengaran yang dialami bersifat sementara. Waktu yang dibutuhkan untuk pemulihan sangat tergantung pada tingkat kebisingan, lama pajanan, jenis bising, serta kerentanan atau kepekaan seseorang. Biasanya dibutuhkan waktu beberapa menit sampa paling lama 10 (sepuluh ) hari. Bila penurunan ambang pendengaran kurang dari 30 dB, maka pemulihan biasanya terjadi setelah 16 (enam belas) jam bebas dari bising (Bashiruddin, 2001). c. Perubahan Ambang Pendengaran Menetap atau Permanent Threshold

Shift (PTS).

(41)

2.4.2 Dampak Non-Auditorial Akibat Bising

Akibat pajanan kebsingan, pada seluruh menit pertama tubuh manusia akan melakukan penyesuaian fungsi biologi dengan cara meningkatkan denyut jantung, yang akan mengakibatkan terjadinya nyeri atau sakit kepala, peningkatan tekanan darah dan frekuensi pernapasan. Selain itu hormon adrenalin dan cortisol juga meningkat sehingga meningkatkan kadar gula dalam dan lemak dalam darah. Dapat terjadinya berbagai macam stres seperti mudah marah, penurunan tingkat konsentrasi, kelelahan, depresi dan gangguan tidur. Juga terjadi peningkatan peristaltik sistem gastrointestinal. Beberapa hasil penelitian telah membuktikan bahwa kebisingan diatas 55 dB selain terasa mengganggu juga mengakibatkan penurunan kinerja (Berglund, 1996).

Dampak lain akibat pajanan bising adalah meningkatnya abseinteisme, penurunan tingkat produktifitas karena kelelahan dan penurunan konsentrasi, peningkatan biaya produksi, penurunan kualitas kerja, produksi dan gangguan komunikasi (Jeyaratman, 1996). Kebisingan juga dapat berdampak terjadinya gangguan kenyamanan (annoyance) bagi orang yang terpajan. Berbagai reaksi psikologis akan timbul pada orang yang mengalami gangguan bising, biasanya reaksi yang timbul bergantung pada status fisik, perilaku dan motifasi pribadi seseorang (National Safety Council, 1975).

(42)

seorang mungkin dapat menikmati bising sedangkan orang lainnya tidak menghendaki. Umumnya, suara terputus-putus (intermuttent), intensitas dan frekuensi bising yang tinggi sangat mengganggu.

2.5 Pemeriksaan Gangguan Pendengaran atau Pemeriksaan Audiometri

Berkurangnya pendengaran akibat bising terjadi secara perlahan-lahan, bertahap dan tanpa terasa sehingga upaya pemeriksaan ketajaman pendengaran perlu dilakukan secara berkala. Pemeriksaan Audiometri merupakan suatu pemeriksaan untuk menilai kemampuan pendengaran seseorang (PT.Pertamina Persero RU VI Balongan, 2009). Audiometri berfungsi untuk mengukur nilai ambang pendengaran yaitu suara yang paling lemah yang masih dapat didengar telinga. Alat untuk melakukan pemeriksaan audiometri digunakan Audiometer.

Tujuan dari pemeriksaan pendengaran ditempat kerja adalah untuk mendapatkan status fungsi pendengaran karyawan, mengidentifikasi adanya gangguan fungsi pendengaran, alat bantu untuk mendiagnosa, sebagai panduan penatalaksanaan terhadap pasien dengan gangguan pendengaran, untuk memonitor progresivitas penurunan fungsi pendengaran karyawan selama bekerja di perusahaan dan untuk menerapkan program konservasi pendengaran (National Safety Council, 1975).

Pemeriksaan audiometri sebaiknya dilakukan pada : (National Safety Council, 1975).

(43)

Hasil audiometri ini berguna untuk mengevaluasi tingkat pendengaran karyawan sebelum bekerja, sebagai data dasar (Baseline Audiometry), untuk menilai adanya penurunan fungsi pendengaran atau menentukan ketulian akibat kerja

b. Pemeriksaan Berkala (Periodic Examination)

Dilakukan setiap tahun atau dua tahun untuk memonitor penurunan fungsi pendengaran pada karyawan yang bekerja di area bising.

c. Pemeriksaaan khusus pada waktu tertentu

Pemeriksaan ini dilakukan bila ditemukan indikasi ganguan pendengaran pada pemeriksaan kesehatan berkala

d. Pemeriksaan Pada Akhir Masa Kerja

Pemeriksaan yang dilakukan pada akhir masa kerja karyawan, untuk menilai tingkat penurunan atau hilang fungsi pendengaran yang mungkin timbul selama bekerja. Hal ini berhubungan dengan masalah kompensasi.

2.6 Pengendalian Kebisingaan 2.6.1 Eliminasi

Eliminasi merupakan upaya pengendalian dengan cara menghilangkan bahaya yang ada di lingkungan kerja.

2.6.2 Substitusi

(44)

a. Substitusi Mesin

Yaitu dengan cara mengganti mesin lain yang lebih tidak menimbulkan bising. Dalam menerapkan metode substitusi mesin ini harus dipertimbangkan pengeluaran dana yang harus dikeluarkan perusahaan dan apakah mesin yang baru tidak menimbulkan bahaya lain yang berbahaya.

b. Substitusi Proses

Yaitu dengan cara mengganti proses lain yang lebih baik tidak menimbulkan bising. Substitusi proses ini harus mempertimbangkan apakah proses yang baru dapat teruji dengan bunyi bising yang lebih rendah dibandingkan dengan proses yang lama dan apakah dengan proses yang baru ini tidak merubah kualitas dari hasil akhir produksi. (Chandra, 2006)

2.6.3 Pengendalian Teknik (Engineering Control)

(45)

2.6.3.1Pengendalian pada sumber bunyi (Noise Source)

Menurut Heru Subaris dan Haryono (2007), pengendalian kebisingan pada sumber bunyi dapat dilakukan dengan cara berikut ini :

a. Meredam bising atau getaran yang ada. b. Mengurangi luas permukaan yang bergetar. c. Mengatur kembali tempat sumber

d. Mengatur waktu operasi mesin. e. Pengecilan atau pengurangan volume. f. Pembatasan lalu lintas dan lainnya.

Sedangkan menurut Chandra (2006), pengendalian pada sumber kebisingan dapat juga dilakukan dengan cara :

a. Melakukan modifikasi mesin atau bangunan.

b. Mengganti mesin dan menyusun perencanaan bangunan baru. c. Bagian-bagian bergerak dari seluruh mesin, perlengkapan

dan peralatan senantiasa diberikan minyak pelumas.

2.6.3.2Pengendalian pada jalanya transmisi (Sound Path)

(46)

a. Memperbesar jarak sumber bising dengan pekerjaan atau pemukiman.

b. Memasang peredam suara pada dinding dan langit-langit. c. Membuat ruang kontrol agar dapat dipergunakan mengontrol

pekerjaan dari ruang terpisah.

d. Bila sumber bising adalah lalu lintas, bisa dialkukan pembatasan jalan dengan rumah atau gedung atau rumah sakit dan lain-lain. Dengan penanaman pohon, pembuatan gundukan tanah, pembuatan tembok atau pagar, pembuatan jalur hijau, daerah penyangga dan lainnya.

2.6.3.3Pengendalian Pada Penerima Suara (Receiver)

Pengendalian kebisingan pada penerima suara (Receiver) menurut Heru Subaris dan Haryono (2007) dapat dilakukan dengan cara :

a. Memberi alat pelindung diri seperti ear plug, ear muff dan helmet.

b. Memberikan latihan dan pendidikan kesehatan dan keselamatan kerja, khususnya tentang kebisingan dan pengaruhnya.

(47)

2.6.4 Pengendalian Administratif (Administratif Control)

Pengendalian administratif merupakan suatu pengendalian bahaya dengan cara melakukan modifikasi pada interaksi pekerja dengan lingkungan kerja. Penerapan pengendalian administrstif merupakan upaya yang berdasarkan prilaku manusia, yakni upaya mengurangi pemaparan bahaya yang didukung perilaku untuk bekerja selamat dan sehat.

Pengendalian dengan cara ini dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain :

a. Pengaturan waktu kerja yaitu dengan di buat sistem shift. b. Pengurangan waktu bekerja di tempat bising.

c. Pemeriksaan kesehatan pekerja. d. Monitoring area pekerja atau pekerja.

e. Memberikan latihan dan pendidikan kesehatan dan keselamatan kerja, khususnya tentang kebisingan dan pengaruhnya.

f. Memasang tanda-tanda atau peringatan keselamatan (Safety Sign). g. Tindakan pengamanan juga dapat dilakukan dengan cara

memindahkan tenaga kerja yang terkena bising.

2.6.5 Alat Pelindung Telinga (APT)

(48)

Setiap alat pelindung telinga memiliki kemampuan tingkat meredam kebisingan yang berbeda, tergantung dari jenis dan kebutuhan. Dengan adanya perbedaan kemampuan meredam kebisingan tersebut ada perhitungan yang dilakukan untuk mengetahui kemampuan tingkat meredam kebisingan suatu alat pelindung telinga dapat digunakan perhitungan sebagai berikut :

dB (A)’ = dB (A) - (NRR-7)

Keterangan :

dB (A)’ : standar kebisingan

dB (A) : tingkat kebisingan di area kerja

NRR : kemampuan mereduksi kebisingan dari suatu ear protector

2.6.5.1Sumbat Telinga (ear plug) Menurut Beranek, LL, 1992

Ukuran, bentuk dan posisi saluran telinga untuk tiap-tiap individu berbeda, bahkan antara kedua telinga dari individu yang sama berlainan pula. Oleh karena itu, sumbat telinga harus dipilih sesuai bentuk, ukuran dan posisi saluran teling pemakainya.

(49)

Saluran manusia umumnya tidak lurus, walaupun sebagian kecil dapat diketemukan berbentuk lurus. Penyebaran ukuran saluran telinga laki-laki dalam hubungannya dengan ukuran-ukuran alat sumbat telinga (ear plug) kurang lebih sebagai berikut : 5 % sangat kecil, 15 % kecil, 30 % sedang, 30 % besar, 15 % sangat besar dari sumbat telinga yang disuplai oleh pabrik-pabrik pembuatnya.

Sumbat telinga dapat dibuat dari kapas, malam (wax), plastik karet alami dan sintetik. Menurut cara pemakaiannya, dibedakan jenis sumbat telinga yang hanya menyumbat lubang masuk telinga luar (semi insert type) dan yang menutupi seluruh telinga luar (insert type).

Menurut cara penggunaanya, dibedakan menjadi

“disposible ear plug” yaitu sumbat telinga yang digunakan sekali

pakai saja kemudian dibuang, misalnya sumbat telinga dari kapas

dan malam. Dan “non-disposible ear plug” yaitu sumbat telinga

yang di gunakan untuk waktu yang lama yang dibuat dari karet atau plastik yang dicetak.

Keuntungan dan kerugian sumbat telinga (ear plug) adalah sebagai berikut :

1. Keuntungan

(50)

b. Relatif lebih nyaman dipakai ditempat kerja yang panas. c. Tidak mebatasi gerakan kepala

d. Harga relatif murah dari pada tutup telinga (ear muff).

e. Dapat dipakai dengan efektif tanpa dipengaruhi oleh pemakaian kacamata, tutup kepala, anting-anting dan rambut.

2. Kerugian

a. Memerlukan waktu yang lebih lama dari tutup telinga untuk pemasangan yang tepat.

b. Tingkat proteksinya lebih kecil dari tutup telinga.

c. Sulit untuk memonitor tenaga kerja apakah ia memakai atau tidak. Oleh karena pemakaiannya sulit dilihat oleh pengawas. d. Hanya dapat dipakai oleh saluran telinga yang sehat.

e. Bila tangan yang digunakan untuk memasang sumbat telinga kotor, maka saluran telinga akan mudah terkena infeksi karena iritasi.

2.6.5.2Tutup Telinga (ear muff) Menurut Beranek, LL, 1992

(51)

bantalan dengan minyak kulit dan keringat. Reaksi ini juga dapat terjadi pada sumbat telinga, sehingga pada pemilihan sumbat telinga disarankan agar memilih jenis yang berukuran agak besar.

Keuntungan dan kerugian tutup telinga (ear muff) adalah sebagai berikut:

1. Keuntungan

a. Atenuasi suara oleh ear muff umumnya lebih besar dari ear plug.

b. Satu ukuran ear muff dapat digunakan oleh beberapa orang dengan ukuran telinga yang berbeda.

c. Mudah dimonitor pemakainnya oleh pengawas.

d. Dapat dipakai pada telinga yang terkena infeksi ringan. e. Tidak mudah hilang (terselip).

2. Kerugian

a. Tidak nyaman dipakai di tempat kerja yang panas

b. Efektifitas dan kenyaman pemakanya dipengaruhi pemakaian kacamata, tutup kepala, anting-anting dan rambut yang menutupi telinga.

c. Relatif tidak mudah dibawa atau disimpan.

d. Dapat membatasi gerakan kepala pada ruang kerja yang agak sempit.

(52)

f. Pada penggunaanya yang terlalu sering atau bila pita penghubungnya yang berpegas sering ditekuk pemakainya, daya atenuasinya akan berkurang.

Seorang yang pendengarannya normal bila berada ditempat kerja yang bising (intensitas kebisingan 85 dB – 105 dB, kebisingan kontinu) dikatakan baginya untuk mengerti pembicaraan orang lain bila ia memakai Alat Pelindung Telinga. Tetapi bila orang tersebut telah kehilangan pendengarannya pada suara frekuensi tinggi, atau bila tingkat kebisingan tempat kerja kurang dari 80 dB, maka pemakaian Alat Pelindung Telinga ditempat kerja dengan kebisingan yang terputus-putus yang intensitasnya 85 dB – 105 dB komunikasi dikatakan lebih mudah pada saat suara mengeras dan komunikasi menjadi terganggu pada saat suara melemah (A. Siswanto, 1983).

2.7 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Gangguan Pendengaran

Menurut Rangga Adi Leksono (2009) dalam poernomo (1996), banyak hal yang mempermudah seseorang menjadi tuli akibat terpajan bising, antara lain : Intensitas kebisingan, frekuensi kebisingan, jenis kebisingan, lamanya pajanan perhari, masa kerja, usia pekerja dan kerentanan individu (individual susceptibility). Kemudian Buchari (2007) mengemukakan bahwa faktor-faktor

(53)

lain intensitas kebisingan, penyakit telinga sebelum bekerja, frekuensi kebisingan, usia pekerja, masa kerja, jarak dari sumber suara dan gaya hidup diluar pekerjaan.

Kemudian Basharudin dan Soetirto (2007) menambahkan bahwa banyak hal yang mempengaruhi gangguan pendengaran akibat bising antara lain intenitas kebisingan, frekuensi kebisingan, lama paparan dan penggunaan obat ototoksik.

2.7.1 Dosis Kebisingan

Semakin besar dosis bising yang diterima oleh seorang pekerja, maka semakin besar pula potensi terjadinya gangguan pendengaran. Nilai ambang batas adalah standar faktor tempat kerja yang dapat diterima tenaga kerja tanpa mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan dalam pekerjaan sehari-hari untuk waktu tidak melebihi 8 jam sehari atau 40 jam seminggu (KEPMENAKER No.Kep-51 MEN/1999).

NAB kebisingan di tempat kerja adalah intensitas suara tertinggi yang merupakan nilai rata-rata, yang masih dapat diterima tenaga kerja tanpa mengakibatkan hilangnya daya dengar yang menetap untuk waktu kerja terus menerus tidak lebih dari 8 jam sehari dan 40 jam seminggu (A.M. Sugeng Budiono, dkk, 2003).

(54)

Tabel 2.1

Nilai Ambang Batas Kebisingan

Catatan : Tidak boleh terpajan lebih dari 140 dB walaupun hanya sesaat Sumber : Kepmenaker No. 51/MEN/1999

Berikut Keptusan Menteri Lingkungan Hidup No. 48/1996 tentang Nilai Baku Tingkat Kebisingan di indonesia.

Tabel 2.2

Nilai Ambang Batas Kebisingan

Waktu Pemajanan Per Hari Intensitas Kebisingan dalam dB 8,00 jam

(55)

Sumber : Kepmen LH No. 48/1996

Adapun waktu paparan yang diizinkan akibat intensitas kebisingan dapat dihitung dengan rumus berikut :

Keterangan :

T = Lama paparan kebisingan (Jam) L = Tingkat kebisingan

85 dBA = Konstanta (NAB kebisingan per 8 jam) 2 = exchange rate

Dosis kebisingan dapat dilihat dari hasil pengukuran tingkat kebisingan dengan waktu paparan kebisingan. Perhitungan dosis kebisingan dapat dihitung dengan rumus dibawah ini:

B

1. Rumah sakit atau sejenisnya 2. Sekolah atau sejenisnya 3. Rumah ibadah atau sejenisnya

(56)

Keterangan :

D = Jumlah dosis kebisingan (%) T = Lama paparan kebisingan (Jam) C = Konsentrasi kebisingan (Jam)

Dari hasil penelitian yang dilakukan Srisantyorini (2002) diketahui bahwa terdapat hubungan antara tingkat kebisingan dengan terjadinya penurunan pendengaran setelah bekerja dan lingkungan kerja yang sangat bising berpeluang memberikan risiko terhadap terjadinya penurunan pendengaran 5 kali dibandingkan dengan lingkungan kerja yang tidak bising. Kemudian pada studi tentang hubungan antara kebisingan dengan ganggguan pendengaran pekerja di Petrochina pada hasil analisis hubungan antara intensitas kebisingan dengan status pendengaran diperoleh ada 2 orang dari 5 orang (28,6%) pekerja dengan intensitas kebisingan lebih dari 85 dBA mempunyai status pendengaran tidak normal. Pekerja dengan intensitas

kebisingan ≤ 85 dBA ada sebanyak 18 orang dari 30 orang (37,5%) yang

mempunyai status pendengaran tidak normal (Herman, 2000).

2.7.2 Masa Kerja

(57)

tahun setelah pekerja bekerja di tempat bising. Menick, 1998, menambahkan semakin lama pajanan kebisingan setiap tahunnya maka semakin besar kerusakan yang terjadi pada pendengaran. Sedangkan menurut Encyclopedia of Occupational Health and Safety, adanya gangguan pendengaran karena kebisingan akan terlihat pada seseorang sesudah ia bekerja dilingkungan kerja yang bising selama kurang lebih 3

– 4 tahun (Stellman, 1998).

Kemudian dari hasil penelitian diketahui bahwa masa kerja mempunyai pengaruh yang bermakna dengan gangguan pendengaran. Gangguan pendengaran lebih banyak terjadi pada pekerja yang mempunyai masa kerja lebih dari 10 tahun. Pekerja dengan masa kerja lebih dari 10 tahun mempunyai risiko 5 kali lebih besar dibandingkan pekerja yang mempunyai masa kerja kurang dari 10 tahun (Abdul Baktiansyah, 2004).

2.7.3 Usia Pekerja

(58)

pendengaran seseorang akan berkurang dengan bertambahnya umur (Gloria dan Nixon, 1962 dalam WHO, 1980).

Kemudian Achmadi (1994) berpendapat bahwa orang yang berusia 40 tahun akan lebih mudah mengalami gangguan pendengaran akibat bising. Sedangkan menurut Iskandar (1996) pengaruh usia terhadap terjadinya gangguan pendengaran terlihat pada usia 30 tahun.

2.7.4 Kebiasaan Merokok

Merokok dapat menyebabkan menurunnya fungsi pendengaran melalui efek dari nikotin dan CO atau karbonmonoksida yang mengganggu peredaran darah manusia. Nikotin merupakan zat yang yang bersifat ototoksik secara langsung merusak sel saraf manusia pada organ dalam telinga yang bernama koklea, sedangkan karbonmonoksida menyebabkan iskemia melalui produksi karboksi-hemoglobin (ikatan antara CO dan haemoglobin), dimana akibat terbentuknya ikatan tersebut, hemoglobin menjadi tidak efisien mengikat oksigen. Akibatnya ialah terjadinya gangguan suplai oksigen ke organ korti di koklea, dan menimbulkan efek iskemia. Selain itu, efek lainnya adalah spasme pembuluh darah, kekentalan darah, atau juga melalui terjadinya arteriosklerosis (Ditalia, 2011)

(59)

penelitian pada tahun 2006 yang melibatkan lebih dari 1.500 remaja Amerika Serikat yang berusia 12 – 19 tahun menunjukkan bahwa merokok pasif berdampak langsung merusak telinga anak-anak muda. Semakin besar paparan, semakin besar kerusakan yang ditimbulkan. Pada beberapa kasus, keruakan tersebut cukup mengganggu kemampuan seorang remaja untuk memahami pembicaraan (Mc Geaw-Hill, 2008).

2.7.5 Penggunaan Obat Ototoksik

Penggunaan obat-obatan lebih dari 14 hari baik diminum maupun melalui suntikan menyebabkan terjadinya gangguan pendengaran. Obat-obatan yang mempengaruhi organ pendengaran pada umumnya adalah jenis antibiotik aminoglikosid yang mempunyai efek ototoksik. Obat-obatan tersebut adalah neomisin, kanamisin, amikasin dan dihidrostreptomisin yang berpengaruh pada komponen akustik (Gan, 1999).

(60)

Gangguan akustik akibat streptomisin bila terapi lebih dari satu minggu, gentamisin, tobramisin dan amikasin tergantung dosis dan faktor lain. Neomisin paling mudah menyebabkan tuli saraf, dan amikasin menyebabkan gangguan pendengaran terutama bila pengobatan lebih dari 14 hari (Gan, 1999).

2.7.6 Riwayat Penyakit Telinga 1) Otitis Media

Yaitu suatu peradangan telinga tengah yang terjadi akibat infeksi bakteri Streptococcus pneumoniae, Haemopilus influenzae, atau Staphylococcus aureus. Otitis media juga dapat timbul akibat infeksi virus (otitis media infeksiosa) yang biasanya diobati dengan antibiotik, atau terjadi akibat alergi (otitis media serosa) yang dapat diobati dengan antihistamin dengan atau tanpa

antibiotik (Corwin, 2000).

(61)

menyebabkan pembentukan jaringan parut di gendang telinga dan hilangnya pendengaran secara permanen (Corwin, 2000).

2) Tinnitus

Tinnitus adalah suara berdenging di satu atau kedua telinga. Tinnitus dapat timbul pada penimbunan kotoran telinga atau presbiakusis, kelebihan aspirin dan infeksi telinga (Corwin, 2000).

2.7.7 Pemakaian Alat Pelindung Telinga

Pengendalian kebisingan terutama ditujukan bagi mereka yang dalam kesehariannya menerima kebisingan. Karena daerah utama kerusakan akibat kebisingan pada manusia adalah pendengaran (telinga bagian dalam), maka metode pengendaliannya dengan memanfaatkan alat bantu yang bisa mereduksi tingkat kebisingan yang masuk ke telinga bagian luar dan bagian tengah sebelum masuk ke telinga bagian dalam (Sasongko, 2000).

(62)

2.8 Kerangka Teori

Sumber : Modifikasi Buchari (2007) ; Rangga Adi Leksono (2009) ; Basharudin dan Soetirto (2007).

Bagan 2.1 Kerangka Teori Dosis Kebisingan

Masa Kerja

Usia Pekerja

Kebiasaan Merokok

Penggunaan Obat Ototoksik

Riwayat Penyakit Telinga

Pemakaian Alat

Pelindung Telinga

(63)

44 BAB III

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep

Penelitian ini untuk meneliti faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan pendengaran pekerja di Unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu Tahun 2014. Variabel independen yang di teliti adalah dosis kebisingan, masa kerja, usia pekerja, kebiasaan merokok dan pemakaian APT. Untuk variabel penggunaan obat ototoksik dan riwayat penyakit telinga tidak diteliti dikarenakan harus melewati serangkaian fase uji klinis yang kompleks, seperti pemeriksaan penunjang (pemeriksaan darah, radiologi atau ct scan), dan dikhawatirkan terjadi bias data jika dilakukan recall atau wawancara tanpa didukung data medical check up yang valid.

Bagan 3.1 Kerangka Konsep Dosis Kebisingan

Masa Kerja

Usia Pekerja

Kebiasaan Merokok

Gangguan Pendengaran

(64)

3.2 Definisi Operasional

Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur

Gangguan Pendengaran

adalah berkurangnya atau hilangnya pendengaran seseorang yang terdapat pada kedua telinga atau dapat juga ditemukan pada salah satu sisi telinga saja.

Tes Audiometri

 Pemeriksaan

ambang dengar pada frekuensi 250 Hz, 500 Hz, 1000 Hz, 2000 Hz, 4000 Hz dan 8000 Hz.

Audiometer (Jibelmed

AS5-AOM)

1. Menderita gangguan pendengaran (> 25 dB)

2. Tidak Menderita gangguan

pendengaran (≤ 25 dB)

(ISO, dalam Istantyo 2011).

(65)

Dosis Kebisingan

Total jumlah pajanan bising yang dihasilkan oleh sumber bunyi dari kegiatan pengoperasian.

(Nilai TWA yang melebihi NAB) 2. ≤ 100 %

(Nilai TWA yang tidak melebihi NAB)

(KEPMENAKER,

No.Kep-51 MEN/1999).

Ordinal

Masa Kerja Lamanya pekerja bekerja diarea bising, dihitung dari waktu pertama diterima diperusahaan sampai dengan saat pengambilaan data penelitian dilakukan.

Wawancara Kuesioner 1. > 10 Tahun 2. ≤ 10 Tahun (Baktiansyah, 2004).

(66)

Usia Pekerja Jumlah tahun lahir para pekerja, yang dihitung sejak tanggal lahir sampai dengan saat pengambilaan data penelitian dilakukan.

Wawancara Kuesioner 1. > 40 Tahun 2. ≤ 40 Tahun

Wawancara Kuesioner 1. Merokok 2. Tidak Merokok

Ordinal

Pemakaian APT

Dipakainya Alat Pelindung Telinga (APT) pada saat bekerja dengan baik dan benar.

Wawancara dan Observasi

Kuesioner 1. Tidak Pernah 2. Kadang-kadang 3. Selalu

(67)

3.3 Hipotesis

1. Adanya hubungan antara dosis kebisingan dengan gangguan pendengaran pekerja Unit Utilities PT.PERTAMINA (persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu Tahun 2014. 2. Adanya hubungan antara masa kerja dengan gangguan pendengaran pekerja Unit Utilities

PT.PERTAMINA (persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu Tahun 2014.

(68)

49

METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan menggunakan desain study cross sectional dimana penelitian terhadap variabel independen dan variabel dependen dilakukan pada waktu yang bersamaan.

4.2 Lokasi dan waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan selama bulan Maret sampai bulan Juli tahun 2014 di unit Utilities PT.PERTAMINA (persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu.

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian

(69)

Dalam pengambilan sampel digunakan rumus uji hipotesis beda dua proporsi, yaitu :

n = Besar sampel

Z1-α = derajat kepercayaan yaitu 95 %, jadi Z = 1,96 Z1-β = 0,84 pada kekuatan uji 80 %

P1 = 0,369 (proporsi pekerja yang mengalami gangguan pendengaran dengan masa kerja >10 tahun di PT. SMART Tbk Padang oleh Siti Ftimah Dalimunthe tahun 2010)

P2 = 0,053 (proporsi pekerja yang mengalami gangguan pendengaran dengan masa kerja ≤10 tahun di PT. SMART Tbk Padang oleh Siti Ftimah Dalimunthe tahun 2010)

P = Proporsi rata-rata (0,369+0,053) = 0,211 2

n = {1,96√2x0,211 (1-0,211)+0,84√0,369 (1-0,369)+0,053 (1-0,053)}2 (0,369-0,053)2

(70)

Untuk menghindari missing jawaban dari responden dan untuk kebutuhan analisis data maka jumlah sampel tersebut perlu di tambahkan menjadi 55 pekerja.

4.4 Pengumpulan Data

Metodologi pengumpulan data yang dilakukan adalah :

1. Gangguan pendengaran

Cara mengetahui derajat gangguan pendengaran yang terjadi pada para pekerja adalah dengan melihat data skunder (data audiometri) para pekerja yang wajib mengikuti pemeriksaan kesehatan setahun sekali, yang terdapat di Rumah Sakit PT.Pertamina (Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu. sebelum melakukan pemeriksaan audiometri ini pekerja diliburkan satu hari dengan maksud agar para pekerja terbebas dari kebisingan.

2. Dosisi kebisingan

(71)

pekerja untuk bergerak dan memberikan kenyamanan selama 8 jam kerja mulai pukul 08.00 pagi sampai pukul 16.00 sore.

Setelah pekerja selesai dengan pekerjaanya barulah di lihat hasil record yang terdapat di display Personal Noise Dosimeter (PND), dari data tersebut kita dapat melihat Time Wight Average (TWA) atau nilai rata-rata tingkat keterpaparan itensitas kebisingan selama 8 jam. dan dari nilai TWA tersebut itulah yang dijadikan patokan apakah dosis kebisingan yang diterima pekerja melebihi 100% atau tidak.

3. Faktor Risiko lainnya

Pengukuran faktor resiko lainnya seperti masa kerja, usia pekerja, kebiasaan merokok dan pemakaian APT dilakukan dengan metode kuesioner yang diisi oleh subjek yang telah ditetapkan sebagai sampel penelitian. Disamping pengisian kuesioner untuk menghindari bias karena informasi, dilakukan juga wawancara dan observasi langsung terhadap subyek penelitian.

4.5 Instrumen Penelitian

(72)

pengumpulan data tentang faktor resiko lainnya menggunakan instrumen berupa kuesioner, yaitu daftar pertanyaan yang diberikan kepada subyek penelitian dengan maksud agar mendapatkan data primer langsung dari subyek yang diteliti dengan cara mewawancarai pekerja.

4.6 Pengolahan Data

Dalam pengolahan data yang dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu sebagai berikut :

1. Editing Data

Editing data merupakan kegiatan untuk melakukan pengecekan pada setiap pertanyaan yang ada pada kuesioner. Sebelum data diolah, data terlebih dahulu perlu diedit dengan tujuan untuk mengoreksi data yang meliputi kelengkapan pengisian jawaban kuesioner, konsistensi atas jawaban dan kesalahan jawaban pada kuesioner. Sehingga dapat diperbaiki jika dirasakan ada kesalahan data.

2. Coding Data

(73)

Tabel 4.1

(74)

4. Cleaning Data

Pembersihan data (Cleaning data) merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang sudah dimasukkan, apakah ada atau tidak kesalahan data. Kesalahan tersebut kemungkinan terjadi pada saat memasukkan data ke komputer. Tahapan cleaning data terdiri dari mengetahui missing data, mengetahui variasi data dan mengetahui konsistensi data.

4.7 Analisis Data

Setelah melakukan pengolahan data mentah, maka langkah selanjutnya adalah melakukan analisis data. Analisis data tidak secara langsung dapat memberikan jawaban penelitian, sehingga perlu diinterpretasikan terlebih dahulu, yang bertujuan untuk menjelaskan hasil analisis data guna memperoleh makna atau arti yang bermanfaat bagi pemecahan masalah penelitian. Proses analisis data yang dilakukan pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

4.7.1 Univariat

(75)

4.7.2 Bivariat

Analisis ini dilakukan untuk menguji hipotesis, pengolahan data dilakukan dengan menggunakan perangkat komputer dengan derajat kemaknaan

yang digunakan p value ≤ 0,05 maka dapat berarti data sampel mendukung

adanya hubungan antara variabel independent dan dependent, sebaliknya apabila p value > 0,05 artinya tidak ada hubungan antara vriabel independent dan variabel dependent.

Uji yang digunakan untuk data kategorik yaitu uji Chi-square dengan derajat kemaknaan 5 %. Pada uji Chi-square dilakukan pada variabel dosis kebisingan, masa kerja, usia pekerja, kebiasaan merokok dan pemakaian APT untuk mengetahui hubungan dengan gangguan pendengaran.

Metode ini digunakan untuk mendapatkan probabilitas kejadianya. Jika P value > 0,05 berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara kedua variabel tersebut. Sebaliknya jika P value ≤ 0,05 berarti terdapat hubungan yang signifikan antara kedua variabel tersebut.

(76)

57

HASIL PENELITIAN

5.1 Gambaran Umum PT.PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan.

PT. PERTAMINA (persero) Refinery Unit VI Balongan merupakan salah satu unit pengolahan dari tujuh unit pengolahan yang dimiliki Pertamina. PT. PERTAMINA (persero) Refinery Unit VI dibangun tahun 1990 dibalongan diatas lahan seluas 250 Ha dengan nama EXOR I (Export Oriented Refinery I), namun seiring dengan perkembangannya setelah operasi, nama tersebut diganti dengan Pertamina Refinery Unit VI Balongan. PT.Pertamina RU VI ini mulai beroperasi pada tahun 1995 dengan tujuan mengolah minyak mentah (Crude Oil) dari Duri dan Minas dengan kapasitas 125.000 BPSD (Barrel Per Stream Day) menjadi produk siap pakai seperti (Pertamax, Premium, Kerosene, Diesel Oil, LPG, Propylene, Sulfur).

Guna memberi paduan dalam menjalankan usahanya maka manajemen PT. PERTAMINA (persero) Refinery Unit VI Balongan menetapkan visi, misi dan tujuan perusahaan, yaitu :

1) Visi

(77)

2) Misi

a) Mengolah minyak bumi untuk memproduksi BBM, non BBM secara tepat, jumlah mutu, waktu dan berorientasi laba serta berdaya saing tinggi untuk memenuhi kebutuhan pasar.

b) Mengoperasikan kilang yang berteknologi maju dan terpadu secara : aman, andal, efisien serta berwawasan lingkungan.

c) Mengelola aset RU VI secara professional yang didukung sistem manajemen yang tangguh berdasarkan ; semangat kebersamaan, keterbukaan, kepercayaan dan prinsip bisnis saling menguntungkan.

3) Tujuan :

a) Menyelesaikan permasalahan pemasaran minyak mentah (Crude Oil) Duri. b) Mengantisipasi kebutuhan produk BBM nasional (terutama daerah DKI

Jakarta, Jawa Barat dan sekitarnya), regional dan international. c) Menghasilkan produk dengan nilai taambah tinggi

d) Pengembangan daerah.

5.2 Analisis Univariat

(78)

5.2.1 Gambaran Gangguan Pendengaran pekerja

Pemeriksaan yang dilakukan untuk mengetahui gangguan pendengaran pada penelitian ini adalah dengan melakukan pemeriksaan tes Audiometri. Pada pemeriksaan tes audiometri pekerja akan dilakukan pemeriksaan kedua telinga mulai dari frekuensi 250 Hz sampai dengan 8000 Hz. Sehingga dari hasil pemeriksaan responden dapat dikategorikan menjadi 2 (dua) yaitu menderita dan tidak menderita. Gambaran gangguan pendengaran dapat dilihat pada table 5.1

Berdasarkan tabel 5.1, dapat diketahui bahwa dari 55 pekerja terdapat 16 (29,1%) pekerja yang mengalami gangguan pendengaran.

Tabel 5.1

Gambaran Distribusi Gangguan Pendengaran Pekerja Unit Utilities PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit VI Balongan Tahun

2014

Gangguan Pendengaran Jumlah %

Menderita gangguan

pendengaran 16 29,1 Tidak menderita gangguan

pendengaran 39 70,9

Referensi

Dokumen terkait

Program kesetaraan paket C adalah program pendidikan pada jalur Pendidikan NonFormal yang ditunjukan bagi warga masyarakat karena keterbatasan sosial ,

Pada penelitian ini kedua bakteri antagonis tersebut dicampurkan dalam satu media bahan pembawa organik (ekstrak kascing dan molase), dengan harapan dapat

Sud- denly he stopped and, as the Doctor and Briggs looked on in mute anticipation, raised his hand at them in a vaguely threatening gesture.. Briggs felt the Doc- tor’s grip on his

Perlu ditekankan akan peningkatan sumber daya tenaga teknis yang profesional dalam hal ini adalah Bidan di desa dengan cara pemberian informasi atau pengadaan

Berinteraksinya anggota masyarakat yang majemuk memungkinkan adanya akulturasi dan asimilasi.Akulturasi atau acculturation atau culture contact adalah proses sosial yang

Aplikasi penugasan yang baru ini merupakan aplikasi yang lebih inovatif daripada aplikasi komersial yang sudah ada dalam pemberian solusi penugasan yang optimal, terutama

166 Modul guru pembelajar paket keahlian analis kesehatan sekolah menengah kejuruan (SMK) Pemeriksaan laboratorium yang berhubungan dengan kerusakan organ ginjal

untuk mengerosi tulang. peningkatan level TNF- α pada pasien dengan destruksi tulang. Peningkatan ekspresi TNF- α pada otitis media kronik dan adanya hubungan positif yang