• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebebasan berpendapat dalam hukum Indonesia dan Malaysia (analysis hukum positif dan hukum Islam)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kebebasan berpendapat dalam hukum Indonesia dan Malaysia (analysis hukum positif dan hukum Islam)"

Copied!
117
0
0

Teks penuh

(1)

KEBEBASAN BERPENDAPAT DALAM HUKUM

INDONESIA DAN MALAYSIA

(Analisis Hukum Positif Dan Hukum Islam)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

OLEH :

MOHD SABRI BIN MAMAT NIM: 109045200014

K O N S E N T R A S I S I Y A S A H S Y A R ’I Y Y A H PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A

(2)
(3)
(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperloleh gelar Strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta: 20 Juni 2011 M 18 Rejab 1432 H

(5)

PEDOMAN TRANSLITERASI

a. Padanan Aksara

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

ا tidak dilambangkan

b be

t te

ث ts te dan es

ج j je

ح h ha dengan garis di bawah

خ kh ka dan ha

d de

ذ dz de dan zet

ر r er

z zet

س s es

sy es dan ye

s es dengan garis di bawah

ض d de dengan garis di bawah

ط t te dengan garis di bawah

ظ z zet dengan garis di bawah

ع „ koma terbalik diatas hadap kanan

(6)

ف f ef

ق q ki

k ka

ل l el

م m em

n en

و w we

ـه h ha

ء ` apostrof

ي y ye

b. Vokal

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

a fathah

i kasra

u dammah

Adapun Vokal Rangkap

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ي

ai a dan i

و

au a dan u

c. Vokal Panjang

(7)

ــ

â a dengan topi di atas

يــــــ î i dengan topi di atas

وـــــــ û u dengan topi di atas

d. Kata Sandang

Kata sandang yang dalam Bahasa Arab dilambangkan dengan huruf

)

لا

(

, dialih-aksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh

ي

لا

= al-syamsiyyah,

ي لا

= al-qamariyyah.

e. Tasydîd

Dalam alih-aksara, tasydîd dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda tasydîd itu. Tetapi hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tasydîd itu terletak setelah kata sandang yang diikuti huruf-huruf samsiyyah.

f. Ta Marbûtah

Jika ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/. begitu juga jika ta marbûtah tersebut diikuti kata sifat (na„t). Namun jika ta marbûtah diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/.

g. Huruf Kapital

Huruf kapital digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Jika nama didahulukan oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya .

(8)

KATA PENGANTAR

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, puji syukur penulis

panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala nikmat dan karunia-Nya, dan semua yang telah

dianugerahkan-Nya kepada penulis. Shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada

pembawa risalah Allah SWT, Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan orang-orang yang

telah memberikan dorongan serta motivasi kepada penulis. Sehingga penulis dapat

menyelesaikan dan merampungkan skripsi dalam rangka menyelesaikan studi di Fakultas

Syari‟ah dan Hukum Jurusan Siyasah Syar‟iyyah (Ketatanegaraan Islam) Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini, masih banyak

kekurangan dan kelemahan yang dimiliki penulis. Namun berkat bantuan dan dorongan

dari semua pihak, akhirnya penulisan skripsi ini dapat diselesaikan. Untuk itu penulis

mengucapkan terima kasih secara khusus yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Pihak Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan

kesempatan kami untuk menimba ilmu.

2. Kepada Negara Indonesia yang telah memberikan kami izin tinggal untuk mencari dan

mendapatkan ilmu yang sangat bermanfaat untuk kami.

3. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

4. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. Selaku Dekan Fakultas Syari‟ah dan

(9)

5. Afwan Faizin M.Ag Dosen Pembimbing skripsi penulis, yang dengan sabar telah

memberikan banyak masukan dan saran, sehingga skripsi ini dapat selesai dengan baik.

Semoga apa yang telah Bapak ajarkan mendapat balasan dari Allah SWT.

6. Asmawi, M.Ag Selaku Ketua Jurusan Jinayah Siyasah Syar‟iyyah.

7. Kepada seluruh dosen-dosen Fakultas Syari‟ah dan Hukum.

8. Ayahanda Mamat bin Said dan Ibunda Seripah Binti Mokhtar, dengan kasih sayang

dan dorongan serta semangat yang diberikan telah mengantar penulis bergelumang dengan

dunia akademik. Dengan tanpa lelah telah membesarkan penulis. Penulis berjanji tidak

akan berhenti setakat ijazah UIN, dan akan memberikan khidmat kepada agama dan

bangsa. Adik-adikku Mohd Taufik, Fakhrul Radzi, Hamidah, Tarmizi, abang-abangku

Salman Al-Farisi, Abdul Hadi, dan kakak Supandawati. Tidak dilupakan kepada tok dan

tokki, Poksam, Pokjin, abg Long, Mok Yam, Anak- anak saudara, Jaja, Angah, Along,

Amirul, Abdul Aziz, dan Maira.

9. Khusus buat keluarga angkatku, Mok Teh, Ayah Teh, Kak Nailah, Kak Jihah, Hajar,

Arwah Naim, Muaz, pirah dan piyah serta teristimewa, Nadiah.

10. Khusus buat Asma binti Wahab yang telah membantu penulis dalam penyediaan

bahan-bahan penulisan. Dengan berkat bantuannya telah melengkapkan penulisan Skripsi

penulis.

11. Warga Kudqi yang telah memberikan tempat belajar terutama Dato Tuan Guru Haji Harun

Taib, Rektor Ust. Mahmood Sulaiman, Ust Soud Said, Ust. Nik Mohd Nor, YB. Ust.

Mohd Nor Hamzah, Ust. Rizki Ilyas, Ustadzah Zaitun, Ustadzah Asma bin Harun, Ustad

Khalil Abdul Hadi, Ust. Kamaruzaman, Ust. Syahari Zulkirnain, Ust. Asmadi, Ust. Wan

Zul, dan seluruh Ustad dan Ustadzah juga pelajar Kudqi yang tidak dapat penulis sebutkan

di sini.

12. Teman-teman Indonesia yang telah banyak membantu dalam menyelesaikan skripsi ini

(10)

teman dari HTI iaitu Adnan, teman dari Jemaah Tabligh, Dany, Sultan serta

temannya dari partai Boenga, Bagus serta temanya dari BEM jurusan SS,

teman-teman dari Taekwando UIN, iaitu Bem Arman, Mada, Putri, Indah, Stefani, April, Ridha,

dan juga beberapa teman-teman yang lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu

persatu.

13. Para tetangga kosan, Ibu Halimah, Ibu Dafa‟, Ibu Niswah, Ibu Aminah, Ibu Lima Juta,

Bapak Iskandar, Bapak Eko, Bapak Wahab, Serta bocah imut yang tak terlupakan, Dafa,

Abrar, Mada, Puteri, Niswah, Radix, Wildan, dan beberapa tetangga lainnya yang tidak

dapat penulis sebutkan satu persatu.

14. Teman-teman satu perjuangan dari Malaysia, yang sama-sama dalam perjuangan (Zalani,

Qashah, Muaz, Riduan, Hadi, Saipudin, Munir, Syukri, Tarmizi, Pijol, Syamil, Najmi,

Khalil, Ramadhan, Ustaz Azhari, Riduan Hamid, Nasrullah, Farid, Hanzalah, Razman,

Amir, Hajar, Rozilawati, Faezah, Alfiah, Rabialtul „adawiyah, Khatijah, Hidayah,

Najihah, Saidah, Azidah ) serta teman Malaysia yang berada di Aspa dan Aspi ( Hapis,

Hilmi, Fuad, Sumayyah, Jannah, Halijah, Zuriah, Sahara, Balqis, dll).

15. Khusus buat teman-teman seperjuangan dari Persatuan Kebangsaan Pelajar Malaysia

Jakarta (PKPMI-J) saudara Farid Asyraf, Selaku Presiden Persatuan dan seluruh

kabinetnya,

16. Khusus buat teman-teman dari Trisakti, Sopi, Koji, Syapik, Karim, Farisan, Fahmi dll,

teman-teman dari Ukrida, Alif, Asydad, dll. Teman-teman dari Maestopo, Mimi, We,

Mastura, dll. Teman- teman dari UI, Ana dll.

Penulis sangat mengharapkan sekali masukan baik itu sifatnya saran maupun kritik selama

dapat membangun dan terus memotivasi penulis agar memperbaiki sehingga penyajian yang

lebih sempurna.

Akhirnya penulis berharap semoga Allah SWT memberikan balasan yang lebih baik dari

(11)

lakukan untuk penulis khususnya kepada semua pihak pada umumnya. Penulis

menyampaikan harapan yang begitu besar agar skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi

penulis sendiri dan pembaca sekalian. Semoga Allah menjadikan penulisan skripsi ini sebagai

suatu amalan yang baik di sisi-Nya.

Jakarta: 20 Juni 2011 M

18 Rejab 1432 H

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………. vii

(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah……….... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah……….... 9

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………. 9

D. Tinjauan Perpustakaan... 10

E. Metodologi Penelitian dan Teknik Penulisan... 10

F. Sistematika Penulisan………... 12

BAB II JAMINAN KEBEBASAN MENYATAKAN PENDAPAT DI DALAM DEKLARASI UNIVERSAL HAK ASASI MANUSIA (DUHAM) 1948 DAN DEKLARASI KAIRO (1990) A. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) 1948... 16

B. Kebebasan menyatakan pendapat dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM)... 23

C. Kebebasan menyatakan pendapat menurut Deklarasi Kairo... 25

BAB III UNDANG-UNDANG YANG MENGATUR HAK KEBEBASAN BERPENDAPAT DI INDONESIA DAN MALAYSIA A. Pengaturan hukum hak kebebasan berpendapat di Indonesia... 29

(13)

C. Implementasi hak kebebasan berpendapat di Indonesia dan Malaysia. 58

BAB IV PERBEDAAN HUKUM DI INDONESIA DAN HUKUM MALAYSIA MENGENAI HAK KEBEBASAN BERBENDAPAT

A. Perbedaan dan persamaan hukum di Indonesia dan Malaysia... 70

B. Perbandingan implementasi kebebasan berpendapat di Indonesia dan

Malaysia... 78

C. Tinjauan hukum Islam terhadap pengaturan hak kebebasan

berpendapat... 81

BAB VI PENUTUP

A. Kesimpulan... 93

B. Saran... 95

DAFTAR PUSTAKA

(14)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada masa sekarang ini, hak-hak asasi manusia memiliki nilai pokok yang dihormati oleh banyak negara, berusaha dengan kesungguhan untuk menjaganya, dan meninggalkan dari semua bentuk usaha yang dapat mengabaikan kebebasan. Kebebasan menjadi begitu penting kerana tidak ada artinya hak rakyat dan kuasa mereka apabila tidak ada kebebasan.1 Dengan adanya rasa menghormati kebebasan, berarti suatu umat dikatakan berperadaban dan bernilai tinggi.2

Kebebasan merupakan sebuah ide yang senantiasa aktual dalam panorama perkembangan peradaban manusia. Dikatakan demikian karena kebebasan merupakan problem esensial dan eksistensial yang secara terus-menerus diperjuangkan oleh manusia. Sehinggakan diskusi internasional di PBB mengenai hak asasi manusia telah menghasilkan beberapa piagam penting yang antara lain Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948).3

Antara kebebasan yang banyak dibahas ialah kebebasan berpendapat. Dalam Islam, mengungkapkan pendapat merupakan salah satu hak manusia yang terpenting, bahkan sebagai sesuatu yang wajib bagi setiap muslim dalam satu setiap urusan yang

1

Abdul Hadi Awang, Islam dan Demokrasi, (Selangor: PTS Publication & Distribution Sdn. Bhd, 2007) Cet 1, hlm. 64.

2

Wahbah Az-Zuhaili, Kebebasan Dalam Islam, (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kausar, 2005) Cet 1, hlm. 5.

3

(15)

berkaitan dengan akhlak, kepentingan dan peraturan umum serta dalam setiap hal yang dianggap oleh syariat sebagai suatu kemungkaran.4 Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Imran ayat 104: (berdakwah) kepada kebajikan (mengembangkan Islam), dan menyuruh berbuat Segala perkara Yang baik, serta melarang daripada Segala Yang salah (buruk dan keji). dan mereka Yang bersifat demikian ialah orang-orang Yang berjaya.

Kebebasan berpendapat merupakan prasyarat penting untuk sebuah negara demokrasi. Demokrasi bermakna rakyat diberi kebebasan untuk memilih dan menilai yang sekaligus mengharuskan wujudnya kebebasan berpendapat, berhimpun dan berpesatuan.5 Suatu pemerintahan dikatakan demokratis bila dalam mekanisme pemerintahan mewujudkan prinsip-prinsip demokrasi. Menurut Masykuri Abdillah (1999) prinsip-prinsip demokrasi terdiri atas prinsip: persamaan, kebebasan, dan pluralisme.6 Dalam hal ini, menurut Dr. Harjono ditemukan dalam karya Aristoteles,7

4

Wahbah Az-Zuhaili, Kebebasan Dalam Islam, (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kausar, 2005) Cet 1, hlm. 110.

5

Abdul Aziz Bari, Politik Perlembagaan, Suatu Perbincangan Tentang Isu-isu Semasa Dari Sudut Perlembagaan Dan Undang-undang, (Kuala Lumpur: Institiut Kajian Dasar (IKD), 2005) Cet 1, hlm.

(16)

politics yang ditulis antara 335 dan 323 SM menyatakan asas dasar dari Konstitusi demokrasi adalah kebebasan. Setiap demokrasi mempunyai tujuan kebebasan.8 Manakala menurut Miriam Budiardjo menyatakan bahwa antara syarat dasar untuk terselenggaranya pemerintah yang demokratis ialah kebebasan untuk menyatakan pendapat.9

Negara Indonesia dan Negara Malaysia adalah dua negara serumpun yang memiliki ras, budaya dan agama yang saling terkait. Ras Melayu, Jawa, dan lain-lain telah tersebar luas di kedua negara ini, maka sudah pasti ciri budaya memiliki banyak persamaan. Lintas sejarah juga telah membuktikan kedua negara ini menerima agama Islam dari jalur yang sama, iaitu jalur perdagangan,10 melalui pedagang-pedagang Arab yang sering berdagang di wilayah Asia Tenggara.11 Bahkan tenggang waktu kedua negara ini menerima agama Islam tidak jauh berbeda. Sehubungan dengan itu, kedua negara ini memiliki penduduk mayoritas muslim. Oleh kerana itu, unsur budaya dan agama ini telah memberi pengaruh yang tidak berbeda jauh dalam kehidupan sosial di masing-masing negara. Meskipun demikian, dalam hal tipe pemerintahan dan perundang-undangan tetap memiliki persamaan dan perbedaannya tersendiri.

Indonesia adalah negara hukum yang melindungi setiap warga negara dalam melakukan setiap bentuk kebebasan berpendapat, menyampaikan gagasan baik secara lisan maupun tulisan, hal ini dilindungi melalui peraturan perundang-undangan di

8

Harjono, TransformasiDemokrasi, (Jakarta: Sekreteriat Jenderal Dan Kepaniteraan, Mahkamah Konstitusi, 2009 ) Cet 1, hlm. 24.

9

Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia, 2008) Cet 3, hlm 116 10

Ajid Thohir, Studi Kawasan Dunia Islam, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2009) Cet 1, hlm. 394.

11

(17)

Indonesia baik didalam batang tubuh UUD 1945 pasal 28, maupun diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 mengenai jaminan hak-hak sipil dan politik, dimana poin-poin hak yang harus dilindungi oleh negara mengenai hak berpendapat, hak berserikat, hak memilih dan dipilih, hak sama dihadapan hukum dan pemerintahan, hak mendapatkan keadilan, dan lain-lain.12 Seterusnya terdapat banyak undang-undang yang menjabar kepada pasal 28 UUD 45 tersebut. Antaranya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyatakan Pendapat di Muka Umum, UU ini mengatur mengenai hak dan kewajiban yang harus dipenuhi bagi setiap masyarakat yang ingin menyampaikan pendapatnya dan bagi pemerintah agar dapat memberikan perlindungan hukum kepada setiap masyarakat, agar terjaminnya hak menyampaikan pendapat. Pasal 5 UU No. 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum dinyatakan bahwa, “setiap warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum berhak untuk: (a) mengeluarkan pikiran

secara bebas; b) memperoleh perlindungan hukum”.13

Kebebasan berpendapat di Indonesia diwarnai dengan perkembangan hak-hak asasi yang telah mengalami pasang surut sejak mencapai kemerdekaan. Diawali dengan Demokrasi Parlementer, hak asasi yang tercamtum dalam Undang-Undang Dasar 1956 tidak termuat dalam suatu piagam terpisah, tetapi tersebar dalam beberapa pasal, terutama Pasal 27-31, dan mencakup baik bidang politik serta ekonomi, sosial dan

12

http: //id. shvoong. com/law-and-politics/1853630-hak-kebebasan-berpendapat-bagi-setiap/, artikel diakses pada tanggal 14 Disember 2010, Jam 11: 39 WIB

13

(18)

budaya. Dalam jumlah terbatas dan dirumuskan secara singkat. Hal ini tidak mengherankan mengingat bahwa naskhah ini disusun pada akhir masa pendudukan Jepang dalam suasana mendesak.14 Diakui bahwa proses perumusan UUD 1945 sangat tergesa-gesa.15 Adapun pengaturan mengenai hak politik seperti kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan dan sebagainya, ditetapkan dengan undang (Pasal 28). Jadi hak asasi tersebut dibatasi oleh undang-undang.16

Setelah memasuki era Demokrasi Terpimpin, di bawah Presiden Soekarno beberapa hak asasi, seperti mengeluarkan pendapat, secara beransur-ansur mula dibatasi. Beberapa surat kabar dibredel, seperti Pedoman, Indonesia Raya dan beberapa partai dibubarkan, seperti Masyumi dan PSI serta pemimpinnya, Moh. Natsir dan Syahir ditahan. Sementara itu, pemenuhan hak asasi ekonomi sama sekali diabaikan; tidak ada garis jelas mengenai kebijakan ekonomi. Perekonomian Indonesia mencapai titik terendah. Akhirnya pada tahun 1966 Demokrasi Terpimpin diganti dengan Demokrasi Pancasila atau Orde Baru.17

Pada awal Orde Baru ada harapan besar bahwa akan dimulai satu proses demokratis. Banyak kaum cediakawan menggelar berbagai seminar untuk mendiskusikan masa depan hak Indonesia dan hak asasi. Akan tetapi euphoria

demokrasi tidak berlansung lama, kerana sesudah beberapa tahun golongan militer

14

Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia, 2008 ) Cet 3, hlm. 248. 15

Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia dari UUD 1945 sampai dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002, (Jakarta: Kencana, 2007) Cet 2, hlm 61

16

Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia, 2008 ) Cet 3,, hlm. 249 17

(19)

beransur-ansur mengambil alih.18 Dalam usaha mewujudkan stabilitas politik untuk menunjang ekonomi, pemenuhan berbagai hak politik, antara lain mengutarakan pendapat, banyak diabaikan dan dilanggar. Pengekangan terhadap pers mulai lagi, antara lain dengan ditentukannya bahwa setiap penerbitan harus mempunyai Surat Ijin Terbit (SIT) dan surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Terjadi pembredelan terhadap

Sinar Harapan (1984) dan Majalah Tempo, Detik, dan Editor (1994). Konflik di Aceh dihadapkan dengan kekerasan militer melalui Daerah Operasi Militer (DOM). Banyak kasus kekerasan terjadi, antara lain peristiwa Tanjung Priuk (1984) dan Peristiwa Trisakti. Akhirnya Presiden Soeharto dijatuhkan oleh para mahasiswa pada bulan Mei tahun 1998, dan masa Reformasi dimulai.19

Masa Reformasi, telah berlaku reformasi dalam bidang hukum menghasilkan diantaranya adalah ditetapkannya Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1988 mengenai Hak Asasi Manusia. Apa yang dilakukan oleh MPR dengan ketetapan ini merupakan suatu perubahan yang cukup besar, sehingga dapatlah dikatakan sebagai sebuah momentum yang sangat penting.20 Ketika ini, hak mengutarakan pendapat sangat terpenuhi. Berbagai kalangan masyarakat mengadakan seminar-seminar di mana pemerintah dengan bebas dikritik, begitu juga media massa dalam talk-show-nya dan berbagai LSM. Demontrasi melanda masyarakat, diantaranya ada yang bekahir dengan kekerasan. Lewat berbagai demontrasi, baik Presiden Habibie maupun Presiden Abdurrahman

18

Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia, 2008 ) Cet 3, hlm 250. 19

Ibid, hlm. 251. 20

(20)

Wahid terpaksa meletakkan jabatan masing-masing pada tahun 1999 dan tahun 2001. Dan Presiden Megawati pun tidak luput dari arus demontrasi ini.21

Manakala pula, Malaysia sebagai sebuah negara yang mengamalkan sistem pemerintahan parlementer, turut melindungi setiap warga negara dalam menyatakan pendapat, menyampaikan gagasan baik secara lisan maupun tulisan. Hak Kebebasan menyatakan pendapat dicatatkan dalam Perlembagaan Persekutuan22 pasal 10. Dari pasal 10 ini dijabarkan ke berbagai Undang-undang yang terkait dengan kebebasan menyatakan pendapat. Antaranya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1948 tentang Hasutan, Undang-undang No. 30 Tahun 1971 Tentang Kolej Universiti Dan Kolej Universiti, UU No. 82 Tahun 1960 Tentang Keselamatan Dalam Negeri, dan UU No. 344 Tahun 1967 Tentang Polisi.

Berbeda dengan perkembangan hak asasi manusia di Indonesia, perkembangan hak asasi manusia di Malaysia tidak banyak perubahan besar berlaku. Bahkan boleh dikatakan perkembangan pengaturan terhadap hak asasi di Malaysia cenderung statis. Ini kerana Perdana Menteri selaku ketua pemerintahan hanya meneruskan kebijakan yang telah ditinggalkan oleh Perdana Menteri sebelumnya. Undang-undang yang terkait dengan hak asasi manusia tidak banyak berlaku amandemen yang signifikan sejak ia diundang-undangkan. Contoh Undang-Undang No. 82 tahun 1960 Tentang Keselamatan Dalam Negeri diundang-undangkan demi untuk menanggulangi kelompok Komunis atau

21

Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia, 2008) Cet 3, hlm. 255. 22

(21)

lebih tepatnya Partai Komunis Malaya (PKM)23 di Malaysia. Sungguhpun demikian, ancaman komunis tersebut yang menjadi asas penting kepada undang-undang ini sudah tidak ada lagi.24 Antara lain, seperti UU No. 15 Tahun 1948 Tentang Hasutan yang diundang-undangkan sebelum kemerdekaan,25 iaitu ketika pemerintahan Inggris, demi untuk mengurangi kritikan dan penentangan terhadap kerajaan dan penjajah itu sendiri.26 Sekalipun sudah berlaku lebih 20 kali amandemen27 terhadap UU ini, pasal-pasal yang jelas menghalangi hak-hak yang telah dijamin oleh perlembagaan28 masih berlaku.

Berhubungan dengan perkara yang dijelaskan ini, penulis akan menyoroti bagaimana pengaturan perundang-undang di masing-masing negara dan melihat di mana perbedaan dan persamaan antara kedua negara. Selain itu, meneliti bagaimana implementasi hak kebebasan berpendapat dalam masyarakat. Maka penulis berikan judul kepada penelitian ini, “Kebebasan Berpendapat Dalam Hukum Indonesia Dan

Malaysia”.

Abdul Aziz Bari, Perlembagaan Malaysia, Asas-asas dan Masalah, (Selangor: PerCetakan Dewan Bahasa Dan Pustaka, 2001) Cet 1, hlm. 187.

25

Pemerintah Inggris bersetuju memberi kemerdekaan kepada Malaysia pada 31 Ogos 1957 26

Abdul Aziz Bari, Politik Perlembagaan, Suatu Perbincangan Tentang Isu-isu Semasa Dari Sudut Perlembagaan Dan Undang-undang, (Kuala Lumpur: Institiut Kajian Dasar (IKD) , 2005) Cet 1, hlm. 230.

27

http: //ms. wikipedia. org/wiki/Akta_Keselamatan_Dalam_Negeri_(Malaysia) , Diakses pada 10 Januari 2011, Jam 12: 45 WIB

28

(22)

Berdasarkan dari pokok-pokok pemikiran yang menjadi latar belakang masalah di atas, maka penulis dalam kesempatan ini coba untuk membatasi permasalahan dari perspektif hukum, baik hukum positif maupun hukum Islam yang mengatur mengenai kebebasan berpendapat. Seterusnya melihat bagaimana impelementasi kebebasan berpendapat di Indonesia dan Malaysia.

Perumusan Masalah

Supaya tidak menjadi pembahasan yang panjang penulis merumuskan pemasalahan dalam bentuk rincian soalan yang berikut:

1. Bagaimana kebebasan berpendapat diatur dalam undang-undang Negara Indonesia dan Negara Malaysia?

2. Dimanakah perbedaan dan persamaan peraturan perundang-undangan antara dua negara tersebut?

3. Bagaimana implementasi kebebasan berpendapat di Indonesia dan Malaysia? 4. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap pengaturan hak kebebasan berpendapat

di Indonesia dan Malaysia? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Ada beberapa alasan dan tujuan yang mendasari penulis memilih judul skripsi ini. Berikut adalah :

(23)

2. Untuk mengetahui apakah undang-undang yang mengatur mengenai kebebasan berpendapat dan berkumpul di Malaysia dan Indonesia sejalan dengan tuntutan universal.

3. Untuk mengetahui perbedaan yang terkandung di dalam undang-undang antara dua negara yang mengatur mengenai kebebasan berpendapat dan berkumpul. Ada pun manfaat dalam penelitian ini, diantaranya ialah:

1. Sebagai sumbangan pemikiran dan pengembangan khazanah keilmuan dibidang hukum dalam konteks ketatanegaraan di Indonesia dan Malaysia .

2. Memberi pemahaman kepada masyarakat luas tentang bagaimana kebebasan berpendapat dari perspektif Hukum Indonesia dan Hukum Malaysia.

3. Memberi pemahaman kepada masyarakat luas tentang bagaimana kebebasan berpendapat di Indonesia dan Malaysia dari perspektif Hukum Islam.

4. Sebagai sumbangan ilmiah untuk menambahkan bahan bacaan dalam kepustakaan dan sebagai pedoman hidup untuk para pembaca.

5. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan sebagai referensi untuk peneliti- peneliti yang akan datang.

D. Tinjauan Perpustakaan

(24)

Buku yang berjudul“Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia”karya Mohd Salleh Abas.29 Buku ini menjelaskan tentang prinsip dan tatacara pemerintahan di Malaysia. Dan di dalamnya banyak menguraikan tentang Konstitusi Malaysia yang mana turut menjelaskan hak-hak asasi manusia yang diatur dalam konstitusi.

Selain itu, terdapat juga skripsi yang menjadi rukujan penulis. antaranya Skripsi tulisan Saifullah Bin Ramli yang berjudul Hak Asasi Manusia Dalam Perlembagaan Persekutuan,30 tahun 2009, membahaskan mengenai hak asasi manusia di Malaysia secara umum. Dan hanya sebatas perbincangan mengenai pasal-pasal yang diatur dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia. Jaminan hak asasi manusia terhadap warga diatur dengan cukup jelas di dalam Perlembagaan Persekutuan. Seterusnya penulis memberi penilaian dari perspektif hukum Islam terhadap hak-hak yang diatur di dalam Perlembagaan Persekutuan.

Seterusnya Skripsi tulisan Harun bin Isa yang berjudul Hak-hak politik mahasiswa dalam Akta Universiti dan Kolej Universiti menurut perspektif Hukum Islam,

tahun 2009.31 Skripsi ini membahas tentang hak-hak berpolitik Mahasiswa serta bagaimana mahasiswa dihalang dan disekat kebebasannya dalam berpolitik. Kajiannya tertumpu kepada butiran peangaturan yang terkandung di dalam Undang-undang ini, dan

29

Mohd Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan & Pemerintahan di Malaysia (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2006) Cet 3.

30

Saifullah Bin Ramli, ”Hak Asasi Manusia Dalam Perlembagaan Persekutuan”, Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009)

31

(25)

tidak melebar kepada Undang-undang yang lain. Penulis juga melakukan analisis terhadap hak-hak yang terkandung di dalam Undang-undang ini.

Penelitian yang ditulis oleh Ahmad Baihakki Bin Arifin yang berjudul “Hak-hak

Politik Warga Negara Dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia”, tahun 2008.32

Penelitian ini membahas tentang hak-hak politik warga negara Malaysia yang diatur di dalam Konstitusi Malaysia.

Seterusnya, penelitian yang penulis lakukan sekarang adalah mengenai hak kebebasan berpendapat yang terkandung di dalam konstitusi dan jabarannya ke dalam perundang-undangan di antara Indonesia dan Malaysia. Dengan kata lain, melihat perbedaan dan persamaan pengaturan hukum di kedua negara. Penulis juga melakukan penelitian bagaimana implementasi hak kebebasan berpendapat, seterusnya bagaimana hukum Islam merespon mengenai hak kebebasan berpendapat.

E. Metodologi Penelitian dan Teknik Penulisan 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hokum normatif atau penelitian yuridis normatif,33 maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (Statute Approach) dan pendekatan perbandingan (Comparative approach).34 Pendekatan perundang-undangan dilakukan untuk melihat pengaturan terhadap kebebasan berpendapat yang ditetapkan dalam

32

Ahmad Baihakki Bin Arifin, “Hak-hak Politik Warga Negara Dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia”, (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008)

33

Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009) Cet 1, hlm. 175. 34

(26)

undangan kedua negara. Manakala pendekatan perbandingan perundang-undangan dilakukan untuk melihat di mana perbedaan dan persamaan pengaturan terhadap kebebasan berpendapat di Indonesia dan Malaysia.

2. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskritif analitis,35 merupakan metode yang dipakai untuk menggambar suatu kondisi atau keadaan yang sedang terjadi agar dapat memeberikan data seteliti mungkin mengenai objek penelitian, kemudian dianalisis berdasarkan teori hukum atau perundang-undangan yang berlaku. Dalam penulisan ini hal tersebut dilakukan dengan menguraikan hal-hal tentang status hukum dan implementasi kebebasan berpendapat di kedua negara.

3. Sumber Data (a) Data Sekunder

1) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat yang terdiri dari peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penelitian ini (Undang-undang Dasar 1945, Perlembagaan Persekutuan, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyatakan Pendapat di Muka Umum, Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Sipil Dan Politik, Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, Undang-Undang-undang Nomor 39 Tahun 2008 Tentang Hak Asasi Manusia, Undang-undang Nomor 15 Tahun 1948 Tentang Hasutan, Undang-undang Nomor 30 Tahun 1971 Tentang Kolej Universiti Dan Kolej Universiti, undang Nomor 301 Tahun 1984 Tentang Mesin Cetak Dan Penerbitan,

35

(27)

undang Nomor 344 Tahun 1967 Tentang Polisi, Undang-undang Nomor 82 Tahun 1960 Tentang Keselamatan dalam negeri.

2) Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah buku-buku, tulisan-tulisan ilmiah hukum yang terkait dengan objek penelitian.

3) Bahan Hukum Tertier

Bahan hukum tertier adalah petunjuk atau penjelasan mengenai bahan hukum primer atau bahan hukum sekunder yang berasal dari kamus, ensiklopedia, majalah, surat kabar dan sebagainya.36

4. Metode pengumpulan data

Metode pengumpulan bahan dilkukan dengan penelitian kepustakaan (library research), studi ini dilakukan dengan jalan meneliti dokumen-dokumen yang ada, yaitu dengan mengumpulkan data dan informasi baik yang berupa buku, karangan ilmiah, peraturan perundang-undangan dan bahan tetulis lainnya seperti kitab fikih yang berkaitan dengan penelitian ini, yaitu dengan jalan mencari, mempelajari, dan mencatat. 5. Analisis Data

Berdasarkan sifat penelitian yang menggunakan metode penelitian bersifat analisa isi (content analysis) yaitu suatu kegiatan yang dilakukan penulis untuk menentukan kronologi, isi atau makna bagaian-bagian yang diatur oleh peraturan yang terkait.37 6. Teknik Penulisan Skripsi

36

Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009) Cet 1, hlm. 176. 37

(28)

Penulisan skripsi ini berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi

Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007” yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

F. Sistematika Penulisan

Skripsi ini disusun dalam lima bab dan masing-masing bab terdiri dari sub-sub bab, adapun secara sistematis bab-bab tersebut adalah sebagai berikut:

Bab I Merupakan bab pendahuluan yang berisi tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian dan teknik penulisan, dan sistematika penulisan.

Seterusnya pembahasan dalam Bab II menyentuh mengenai jaminan terhadap hak kebebasan menyatakan berpendapat dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan Deklarasi Cairo.

Manakala dalam Bab III menjelaskan tentang undang-undang yang mengatur mengenai hak kebebasan berpendapat di Indonesia dan Malaysia, serta dijelaskan bagaimana implementasi kebebasan menyatakan pendapat di kedua negara.

Selanjutnya dalam Bab IV penulis melakukan penelitian terhadap perbedaan dan persamaan hukum Indonesia dan Malaysia mengenai hak kebebasan menyatakan pendapat. Serta melakukan penelitian melalui sudut pandang tinjauan hukum Islam.

(29)

BAB II

JAMINAN KEBEBASAN MENYATAKAN PENDAPAT DI DALAM

DEKLARASI UNIVERSAL HAK ASASI MANUSIA (DUHAM) 1948 DAN DEKLARASI KAIRO (1990)

A. Deklarasi Universal Hak Asasi manusia 1. Pengertian HAM

Menurut Teaching Human Right yang diterbitkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), hak asasi masnusia (HAM) adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia. Hak hidup misalnya, adalah klaim untuk memperoleh dan melakukan segala sesuatu yang dapat membuat seseorang tetap hidup.38 Klaim ini berhubungan dengan standar kehidupan, yang setiap manusia mempunyai hak untuk mendapatkan pengakuan dari masyarakat sebagai manusia.39 Dengan demikian, wewenang atau tuntutan merupakan bagian integral dari hak itu sendiri. Artinya, ketika hak-hak kemanusiaan diinjak-injak, dikesampingkan, disepelekan, dilecehkan, dan dilanggar sampai dihapus atau dibuang, secara Otomatis

38

Tim ICCE UIN Jakarta, Pendidikan Kewarganegaraan, Demokrsasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010) Cet 5, hlm. 110.

39

(30)

akan timbul tuntutan untuk memperbaikinya. 40

Senada dengan pengertian di atas adalah pernyataan awal hak asasi manusia (HAM) yang dikemukakan oleh John Lokce.41 Menurut Lokce, HAM adalah hak-hak yang diberikan lansung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai sesuatu yang bersifat kodrati. Kerana sifatnya yang demikian, maka tidak ada kekuasaan apapun di dunia yang dapat mencabut hak asasi setiap manusia. HAM adalah hak dasar setiap manusia yang dibawa sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, yang merupakan bukan pemberian dari manusia atau lembaga negara.42 Menyadari bahwa setiap orang memiliki hak asasi sejak lahir, terutama di dalam pemerintahan, serta di samping setiap pribadi warga masyarakat dituntut suatu dari alam untuk saling menghormati, mempertahan, dan mengobarkan terus penghormatan hak asasi antar sesamanya. Sikap tersebut seharusnya menjadi pilar dan pegangan umat manusia untuk saling menghormati hak asasi manusia.43

2. Sejarah perkembangan HAM

HAM sebagai suatu sistem yang dibentuk secara normatif dan formal, banyak yang menyatakan bahwa kelahiran HAM dimulai dari Magna Charta (1215), Bill of Right (1689) The American Declaration (1776), The French Declaration (1789),

40

A. Masyhur Effendi dan Taufani Sukmana Evandri, HAM Dalam Dimensi/Dinamika Yuridis, Sosial, Politik, dan Proses Penyusunan/Aplikasi Ha-Kham (Hukum Hak Asasi) Dalam Masyarakat,

(Bogor Selatan: Ghalia Indonesia, 2007) Cet 1, hlm. 10. 41

Seorang filsuf Zaman Pencerahan, (1632-1704) . 42

Tim ICCE UIN Jakarta, Pendidikan Kewarganegaraan, Demokrsasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, (Jakar ta: Kencana Prenada Media Group, 2010) Cet 5, hlm. 110.

43

A. Masyhur Effendi dan Taufani Sukmana Evandri, HAM Dalam Dimensi/Dinamika Yuridis, Sosial, Politik, dan Proses Penyusunan/Aplikasi Ha-Kham (Hukum Hak Asasi) Dalam Masyarakat,

(31)

kemudian The Four Freedom (1941), dan barulah Universal Declaration of Human Right (1948).44

Kemudian langkah-langkah tersebut diikuti oleh berbagai Negara dengan mencantumkan klausul HAM ke dalam Konstitusi. Akan tetapi sesungguhnya perkembangan HAM dalam dunia internasional dapat dibagi dalam lima fase.45 Fase pertama: pada fase ini, norma-norma HAM masih terbagi beberapa aspek dan masih bersifat lokal, dalam arti hanya pada wilayah Negara tertentu saja. Termasuk dalam fase ini adalah:

a. Magna Charta (Piagam Agung 1215), wacana awal HAM di Eropah dimulai dengan lahirnya Magna Charta yang membatasi kekuasaan absolut para penguasa atau raja-raja,46 sehingga hak-hak dasar rakyat tetap terjamin.47 Pada tahun 1215 ditandatangani satu perjanjian, Magna Charta, antara Raja John dari Inggris dan sejumlah bangsawan. Raja John dipaksa mengakui beberapa hak dari para bangsawan sebagai imbalan untuk mereka membiayai penyelenggaraan pemerintah dan kegiatan perang. Hak yang dijamin mencakup hak politik dan sipil yang mendasar, seperti hak untuk diperiksa di muka hakim. Sekalipun pada awalnya hanya berlaku untuk sebagian bangsawan, hak-hak itu kemudian menjadi

44

Febry Menende, Kebebasan Berpendapat Dan Berekspresi Di Republik Iran Periode 1997-2005,

“Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007. hlm. 16

45

Ibid. hlm. 16. 46

Tim ICCE UIN Jakarta, Pendidikan Kewarganegaraan, Demokrsasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, (Jakar ta: Kencana Prenada Media Group, 2010) Cet 5, hlm. 110.

47

(32)

bagian dari sistem Konstitusional Inggris yang berlaku bagi semua warga persamaan maka hak kebebasan mustahil dapat terwujud.51

c. The American Declaration Independence (1769), disusun dan hanya berlaku di Amerika. Melalui deklarasi ini mulai mempertegas bahwa manusia merdeka sejak dalam perut ibunya. Sehingga tidak logis, sesudah lahir harus dibelenggu.52

d. The French Declaration (1789), Sebuah deklarasi yang menjamin persamaan hak dan penghormatan terhadap harakat dan martabat kemanusiaan.53 Deklarasi ini memuat aturan-aturan hukum yang menjamin hak asasi manusia dalam proses

48

Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta:PT Gramedia, 2008) Cet 3, hlm. 213. 49

Tim ICCE UIN Jakarta, Pendidikan Kewarganegaraan, Demokrsasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, (Jakar ta: Kencana Prenada Media Group, 2010) Cet 5,, hlm 111.

50

Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta:PT Gramedia, 2008) Cet 3, hlm. 215. 51

Tim ICCE UIN Jakarta, Pendidikan Kewarganegaraan, Demokrsasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, (Jakar ta: Kencana Prenada Media Group, 2010) Cet 5, hlm 111.

52

Febry Menende, Kebebasan Berpendapat Dan Berekspresi Di Republik Iran Periode 1997-2005,

“Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007. hlm. 17.

53

(33)

hukum, seperti larangan penangkapan dan penahanan seseorang secara sewenang-wenang tanpa alasan yang sah atau penahanan tanpa surat perintah yang dikeluarkan oleh lembaga hukum yang berwenang.54 Deklarasi ini dirumuskan pada awal Revolusi Prancis.55

e. The four freedoms (1941) perkembangan HAM di fase pertama diakhiri dengan munculnya wacana empat hak kebebasan manusia di Amerika Serikat pada 6 Januari 1941, yang diproklamirkan oleh Presiden Theodore Roosevelt.56 Keempat hak tersebut ialah; kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat (freedom of speech), kebebasan beragama (freedom of religion), kebebasan dari ketakutan (freedom from fear), dan kebebasan dari kemiskinan (freedom from want). 57

Fase kedua: adalah fase kelahiran HAM yang bersifat universal58 dan dinyatakan berlaku secara internasional,59 dengan merumuskan HAM yang diakui seluruh dunia sebagai standar universal bagi perilaku manusia.60 Fase ini ditandai dengan lahirnya

Universal Decalration Of Human Rights (DUHAM) setelah PD II.61 Menurut DUHAM, terdapat lima (5) jenis hak asasi yang dimiliki oleh setiap individu: hak personal (hak

54

Tim ICCE UIN Jakarta, Pendidikan Kewarganegaraan, Demokrsasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, (Jakar ta: Kencana Prenada Media Group, 2010) Cet, 5hlm. 112.

55

Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta:PT Gramedia, 2008) Cet 3, hlm. 215. 56

Tim ICCE UIN Jakarta, Pendidikan Kewarganegaraan, Demokrsasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, (Jakar ta: Kencana Prenada Media Group, 2010) Cet 5, 112.

57

Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta:PT Gramedia, 2008) Cet 3, hlm. 215 58

Diterima oleh 48 negara. 59

Febry Menende, Kebebasan Berpendapat Dan Berekspresi Di Republik Iran Periode 1997-2005,

“Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007. hlm. 17.

60

Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta:PT Gramedia, 2008) Cet 3, hlm. 218 61

Febry Menende, Kebebasan Berpendapat Dan Berekspresi Di Republik Iran Periode 1997-2005,

(34)

jaminan kebutuhan pribadi); hak legal (hak jaminan perlindungan hukum); hak sipil dan hak politik; hak subsistensi (hak jaminan adanya sumber daya untuk menunjang kehidupan); dan hak ekonomi, sosial, dan budaya.62

Fase ketiga: adalah fase perkembangan HAM yang hendak memperluas cakupan HAM dari sekadar hukum dan politik.63 pada tahun 1966 upaya rekonseptualisasi hak-hak asasi manusia itu mencapai puncaknya ketika sidang umum PBB mengesahkan Kovenan International Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic, Social and Cultural Right), dan Kovenan Hak Sipil dan Politik (Covenant on Civil and Political Right). Dua kovenan inilah yang menjadi dokumen dasar “generasi II”konsepsi dasar hak asasi manusia sebagai babak baru dalam perkembangan hak-hak asasi manusia.64

3. Substansi Deklarasi Universal HAM

Seperti telah diuraikan sebelumnya, seusai Perang Dunia II timbullah keinginan untuk merumuskan hak asasi yang diakui seluruh dunia sebgai standar universal bagi perilaku manusia. Usaha pertama ke arah standar setting ini dimulai oleh Komisi Hak Asasi Manusia.

Dalam sidang Komisi Hak Asasi Manusia, kedua jenis hak asasi manusia dimasukkan sebagai hasil kompromi antara negara-negara Barat dan negara-negara lain,

62

Tim ICCE UIN Jakarta, Pendidikan Kewarganegaraan, Demokrsasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, (Jakar ta: Kencana Prenada Media Group, 2010) Cet 5, hlm 112.

63

Febry Menende, Kebebasan Berpendapat Dan Berekspresi Di Republik Iran Periode 1997-2005,

“Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007. hlm. 18

64

(35)

sekalipun hak politik masih lebih dominan. Pada 1948 hasil pekerjaan komisi ini,

Universal Decalaration of Human Right, diterima 48 negara dengan catatan bahwa delapan negara, antara lain Uni Soviet, Arab Saudi, dn Afrika Selatan tidak membeikan suaranya atau abstain.65

Hasil gemilang ini tercapai hanya dalam dua tahun, kerana dalam waktu yang menguntungkan. Negara-negara sekutu (termasuk Uni Soviet) baru saja memenangkan perang dan ingin menciptakan suatu tantangan hidup baru yang lebih aman. Sebab lain mengapa Deklarasi Universal agak cepat dapat dirumuskan adalah sifatnya yang “tidak

mengikat secara yuridis” sesuai usul beberapa negara, antara lain Uni Soviet.66

Di satu sisi, ini patut dinilai sebagai langkah menuju kemenangan hak asasi manusia dalam tataran gagasan. Tapi juga sebagai suatu kegagalan untuk menjadikan hak asasi manusia sebagai kenyataan. Bangsa-bangsa ini beberapa tahun kemudian secara konsisten akhirnya mengesahkan DUHAM dan ini terjadi setelah lebih dari seratus negara muncul sebagai negara merdeka pasca 1948. Ini merupakan prestasi tersendiri bagi DUHAM, kerana bagaimanapun tak ada satu negara pun yang boleh berbangga atas pelanggaran hak asasi yang telah dilakukannya.

Formulasi HAM yang dirumuskan dalam Deklarasi Universal PBB tersebut, terbagi dalam 30 pasal dan sangat sarat dengan ketentuan mengenai mengenai hak-hak asasi manusia. Secara teori, hak-hak yang terdapat dalam deklarasi tersebut dapat dikelompokkan dalam tiga bagian. Bagian pertama, menyangkut hak-hak politik dan

65

Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta:PT Gramedia, 2008) Cet 3, hlm. 218. 66

(36)

yuridik; bagian kedua, menyangkut hak-hak atas martabat dan integritas manusia; dan bagian ketiga, menyangkut hak-hak sosial, ekonomi, dan hak-hak budaya.67

B. Kebebasan menyatakan pendapat dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM)

Kalau kita kembali ke ide dasar HAM, di mana setiap manusia sejak lahir memiliki hak utama yang melekat dan suci, yaitu hak hidup dari Tuhan dan hak-hak lainya demi pemenuhan kebutuhan lahir batinnya, maka tidak ada kekuatan apa pun yang berhak dan mampu mencabutnya. Hanya dengan landasan hukum Konstitusional yang adil dan benar lewat proses legal, maka pencabutannya dibenarkan baik untuk sementara maupun seterusnya.

Karena akibat beragam perbedaan kepercayaan, keyakinan politik, etnik, golongan, dan agama dengan segala variasinya, maka perbedaan tersebut akan selalu hidup dan ada dalam komunitas nasional dan internasional. Untuk mempertahankan hak tersebut, perlu perjuangan dan gerakan bersama (politik moral) umat manusia melalui lembaga internasional, nasional, baik politik, sosial, ekonomi, keagamaan, budaya dan sejenisnya maupun perseorangan.

Negara hukum (rule of law)lekat” dengan sistem politik demokrasi. Agar terbina harmonisasi sistem hukum dan sistem politik dalam tataran bermasyarakat, maka hidup bermasyarakat berarti siap/mau mengikuti pola hubungan antara individu dalam kelompok yang telah ada sebelumnya. Adanya pola tingkah laku sama yang dipertahankan dan dikembangkan terus oleh warganya, menyebabkan

67

(37)

tercipta/terjalinnya interaksi sosial. Sistem politik dan sistem hukum yang ada sangat berpengaruh terhadap kehidupan bermasyarakat. 68

Dalam hubungan ini, kelompok warga menempati posisi dan pemegang peran yang penting dalam hidup nasional maupun internasional. Hal ini pasti akan melihatkan kepentingan warga untuk menyatakan pendapat dan inspirasinya. Lalu bagaimana kepentingan warga ini mendapat tempat atau perlindungan yang sewajarnya.

Sejak awal, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) telah memberikan perhatiaannya dalam hal kepentingan politik. Hak warga untuk menyatakan pendapatnya dinyatakan secara jelas di dalam DUHAM, pasal 19 yang berbunyi: ”Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk

kebebasan menganut pendapat tanpa mendapat gangguan, dan untuk mencari,

menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat dengan cara apa

pun dan dengan tidak memandang batas-batas”.

Seperti yang sudah dibahaskan sebelumnya, hak-hak yang terkandung di dalam DUHAM masih bersifat ”tidak mengikat secara yuridis”.69 Oleh kerana itu, Komisi Hak Asasi Manusia PBB telah menyusun ”sesuatu yang lebih mengikat daripada deklarasi

belaka”, dalam bentuk perjanjian (covenant). Ditentukan pula bahwa setiap hak akan

dijabarkan, dan prosedur serta aparatur pelaksnaan dan pengawasan dirumuskan secara

68

A. Masyhur Effendi dan Taufani Sukmana Evandri, HAM Dalam Dimensi/Dinamika Yuridis, Sosial, Politik, dan Proses Penyusunan/Aplikasi Ha-Kham (Hukum Hak Asasi) Dalam Masyarakat,

(Bogor Selatan: Ghalia Indonesia, 2007) Cet 1, hlm. 79.

69

(38)

rinci.70 Pada sidang umum PBB 1966, telah disepakati dua konvensi HAM Internasional di bidang ekonomi, sosial, dan budaya serta konvensi bidang sipil dan hak-hak politik sipil. Maka dengan persepakatan dua deklarasi tersebut, hak warga untuk menyatakan pendapat semakin mendapat tempat dan lebih bersifat mempunyai kekuatan mengikat. C. Hak kebebasan menyatakan pendapat menurut Deklarasi Kairo

Mempercayai bahwa hak asasi manusia dan kebebasan universal dalam Islam merupakan bagian tak terpisahkan dari agama Islam,71 maka pada tahun 1990 Organisasi Kenferensi Islam telah merumuskan Deklarasi Kairo yang terdiri dari 25 pasal sesudah perundingan selama tiga belas tahun.72

Hak yang dirumuskan dalam deklarasi ini kebanyakan bersifat hak ekonomi. Hak lain ialah bahwa semua individu adalah sama di muka hokum (pasal 19). Ditentukan pula bahwa keluarga merupakan dasar masyarakat; perempuan sama dengan laki-laki dalam martabat manusia (woman is equal to man in human dignity); hak atas hidup dijamin.

Hak kebebasan menyatakan pendapat dinyatakan dalam pasal 22 dengan bunyinya:

a) Setiap orang memiliki hak untuk mengungkapkan pendapatnya secara bebas sedemikian sehingga tidak bertentangan dengan aturarn-aturan Syariat.

70

Ibid, hlm. 219 71

Mashood A. Baderin, Hukum Internasional Hak Asasi Manusia&Hukum Islam, (Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2007) Cet 1, hlm. 245.

72

(39)

b) Setiap orang memiliki hak untuk membela apa yang dianggap benar, dan mendakwahkan apa yang dianggap baik, dan mengingatkan apa yang dianggap salah dan mungkar menurut norma-norma Syariat Islam.

c) Informasi merupakan kebutuhan vital masyarakat. Ia tidak boleh dieksploitasi atau disalah gunakan denga cara sedemikian sehingga bisa menodai kesucian dan kehormatan para nabi, merendahkan nilai-nilai moral dan etika, atau memecah, merusak dan merugikan masyarakat atau melemahkan Iman mereka. Hak ini dirumuskan berdasarkan kepada firman Allah dalm surat An-Nisa‟ ayat

Artinya: “Wahai orang-orang Yang beriman! hendaklah kamu menjadi orang-orang Yang sentiasa menegakkan keadilan, lagi menjadi saksi (yang menerangkan kebenaran) kerana Allah, sekalipun terhadap diri kamu sendiri, atau ibu bapa dan kaum kerabat kamu. kalaulah orang (yang didakwa) itu kaya atau miskin (maka janganlah kamu terhalang daripada menjadi saksi Yang memperkatakan kebenaran disebabkan kamu bertimbang rasa), kerana Allah lebih bertimbang rasa kepada keduanya. oleh itu, janganlah kamu turutkan hawa nafsu supaya kamu tidak menyeleweng dari keadilan. dan jika kamu memutar-balikkan keterangan ataupun enggan (daripada menjadi saksi), maka Sesungguhnya Allah

sentiasa mengetahui Dengan mendalam akan apa Yang kamu lakukan”.

(40)

kebebasan beragama; bahwa ia adalah perpanjangan dan konsenkuensi logis dari kebebasan berkedaran dan berkeyakinan yang telah dibenarkan dan dijunjung oleh Syariat.73 Ada begitu banyak Hadis dan praktik yang terakam semasa kehidupan Nabi dan para Khalifah setelah beliau yang mendukung bahwa kebebasan berbicara dan mengemukakan pendapat adalah hak yang telah diakui sejak lahirnya hukum Islam.

Kesimpulan yang dapat kita peroleh di sini ialah, kalau kita kembali ke ide dasar HAM, di mana setiap manusia sejak lahir memiliki hak utama yang melekat dan suci, yaitu hak hidup dari Tuhan dan hak-hak lainya demi pemenuhan kebutuhan lahir batinnya, maka tidak ada kekuatan apa pun yang berhak dan mampu mencabutnya. Hanya dengan landasan hukum Konstitusional yang adil dan benar lewat proses legal, maka pencabutannya dibenarkan baik untuk sementara maupun seterusnya.

Seterusnya, hak kebebasan menyatakan pendapat telah mendapat posisi penting dalam tamadun kehidupan manusia. Tidak ada banyak perbedaan jaminan yang terkandung antara kehendak semulajadi manusia dan aturan yang tekandung dalam seperti dalam DUHAM dan Deklarasi Kairo. Yang membedakan keduanya hanyalah dalam pengertian agama. Deklrasi melatarbelakangi hak-hak yang terkandung di dalamnya dengan cerminan agama, seterusnya DUHAM dalam pengertian secara universal. Akan hak-hak dasarnya tetap sama, iaitu mendukung hak-hak semulajadi manusia seluruhnya.

73

Mashood A. Baderin, Hukum Internasional Hak Asasi Manusia&Hukum Islam, (Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2007) Cet 1, hlm. 129.

(41)

BAB III

UNDANG-UNDANG YANG MENGATUR HAK KEBEBASAN BERPENDAPAT DI INDONESIA DAN MALAYSIA

A. Pengaturan Hukum Hak Kebebasan Menyatakan Pendapat di Indonesia

Melakukan penelitian terhadap pengaturan hak kebebasan menyatakan pendapat, sudah pasti selain melihat dari sudut sinkronisasi, kita juga harus melihatnya dari sudut historis. Ternyata pengaturan hak kebebasan menyatakan pendapat menjadi perbahasan penting bagi para pendiri negara.

1. Materi Muatan Hak Kebebasan Menyatakan Pendapat Dalam UUD 1945

UUD 194574 sebelum disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI )75 pada tanggal 18 Agustus 1945,76 dalam penyusunannya mengalami suatu proses yang melibatkan berbagai pemikiran yang didasarkan pada idiologi-idiologi

74UUD 1945 sering disebut dengan “UUD Proklamasi”. Dikatakan demikian kerana

kemunculannya bersamaan dengan lahirnya Negara Indonesia melalui proklamasi kemerdekaan RI,17 Agustus 1945. Lihat Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia,Dari UUD 1945 sampai dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002,(Jakarta: Kencana Prenada Media Group,2005) Cet 2, hlm. 60.

75

BPUPKI resmi tebentuk sejak 29 April 1945,beranggotakan 62 orang, berhasil melaksanakan sidang sebanyak 2 kali,yakni sidang pertama 29 Mei-1 Juni dan sidang kedua 10-17 Juli 1945. Lihat Lihat Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia,Dari UUD 1945 sampai dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,2005) Cet 2, hlm. 68

76

Sehari setelah Kemerdekaan Indonesia diroklamsikan,BPUPKI menetapkan UUD 1945 sebagai UUD Indonesia. Pada waktu itu dinyatakan bahwa penetapan tersebut bersifat sementara dengan ketentuan bahwa enam bulan setelah perang berakhir, Presiden akan melaksanakan UUD itu,dan enam bulan setelah MPR terbentuk,lembaga akan nulai menyusun UUD yang baru. Lihat Miriam Budiardjo,

(42)

tertentu. Perdebatan itu mencakup dasar negara, sistematika UUD, materi muatan, dan lain-lain. Salah satu masalah yang diperdebatkan adalah mengenai perlu tidaknya percantuman HAM dalam Rancangan UUD dengan membaca diskusi-diskusi yang terjadi dalam BPUPKI.77

Dari berbagai tulisan yang menyoroti perdebatan masalah HAM dalam sidang BPUPKI kemudian menyimpulkan bahawa pemuatan HAM dalam UUD 1945 merupakan hasil komproni antara pemikiran yang memandang tidak tepat memuat ketentuan mengenai HAM dalam UUD dan pemikiran yang berpendapat bahawa sudah sewajarnya UUD memuat ketentuan mengenai HAM. Pandangan pertama diwakili oleh Soekarno dan Supomo,78 sedangkan pandangan kedua79diwakili oleh Hatta dan Yamin.80

Sesungguhnya kesimpulan mengenai adanya dua pandangan yang saling berhadapan tersebut tidak sesuai dengan pembicaraan yang berlansung pada waktu itu. Hal itu tampak dari kenyataan bahawa pada sidang tanggal 13 Juli telah dibahas Naskhah UUD 1945 yang dihasilkan oleh Panitia Kecil yang diketuai oleh Supomo,

77

Bagir Manan,Perkembangan Pemikiran Dan Pengaturan Hak Asasi Manusia Di Indonesia,

(Jakarta: Penerbit P. T. Alumni, 2006) hlm. 22. 78

Menurut Supomo HAM sangat identik dengan idiologi liberal-induvidual, dengan demikian sangat tidak cocok dengan sifat masyarakat Indonesia. Supomo tidak pernah membayangkan kalau negara yang berasaskan kekeluargaan akan terjadi konflik atau penindasan negara kepada rakyatnya kerana negara atau pemerintah merupakan satu kesatuan,antara pemerintah dengan rakyat adalah tubuh yang sama. Lihat lanjut H. Muladi, Hak Asasi Manusia, Hakekat, Konsep dan Implikasi Dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, (Jakarta: PT Refika Aditama, 2005) Cet 1,hlm. 10.

79

Bagir Manan,Perkembangan Pemikiran Dan Pengaturan Hak Asasi Manusia Di Indonesia,

(Jakarta: Penerbit P. T. Alumni, 2006) hlm. 22. 80

(43)

yang telah memuat pasal-pasal tentang HAM. Materi HAM yang diatur antara lain persamaan kedudukan di muka hukum,81 hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak,82 hak untuk memeluk agama dan kepercayaan,83 dan lain-lain yang mencakup hak sipil dan politik.

Dari berbagai ketentuan yang diatur dalam naskhah tersebut hanya ada satu ketentuan yang tidak tercantum, yang kemudian tercantum dalam UUD 1945 yaitu ketentuan yang berkenaan hak berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, yang kemudian di hari akamodasi dalam Pasal 28 UUD 1945. Dalam hubungan ini Soekarno menyatakan:84

“Kita menghendaki keadilan sosial. Buat apa grondwet menuliskan, bahawa manusia bukan sahaja mempunyai hak kemerdekaan suara, kemerdekaan memberikan suara, mengadakan persidangan dan berapat, jikalau misalnya tidak ada sociela rechtvaardigheid yang demikian itu? Buat apa kita membikin grondwet, apa guna grondwet itu kalau ia tak dapat mengisi perut orang yang hendak mati kelaparan. Grondwet yang berisi “droit de l‟homme

et du citoyen”itu, tidak bisa menghilangkan kelaparannya orang yang miskin yang hendak mati kelaparan. Maka oleh kerana itu, jikalau kita betul-betul hendak mendasarkan negara kita kepada paham kekeluargaan, faham tolong-menolong, faham gotong-royong dan keadilan sosial, enyahkanlah tiap-tiap pikiran, tiap-tiap faham individualisme dan liberalisme85daripadanya. ”

Bagir Manan,Perkembangan Pemikiran Dan Pengaturan Hak Asasi Manusia Di Indonesia,

(Jakarta: Penerbit P. T. Alumni, 2006) hlm. 23. 85

(44)

Terhadap pandangan Soekarno, Hatta berpendapat bahwa:86

“. . . Memang kita harus menentang individualisme. . . . Kita mendirikan negara baru di atas dasar gotong-royong dan hasil usaha bersama. Tetapi satu hal yang saya kuatirkan, kalau tidak ada satu keyakinan atau satu pertanggungan kepada rakyat dalam Undang-undang Dasar mengenai hak untuk mengeluarkan suara, yaitu bahwa nanti di atas Undang-undang Dasar yang kita susun sekarang ini, mungkin terjadi suatu bentukan negara yang kita setujui. . . . Hendaklah kita memperhatikan syarat-syarat supaya negara yang kita bikin, jangan menjadi Negara Kekuasaan. Kita menghendaki negara pengurus, kita membangunkan masyarakat baru yang berdasarkan gotong-royong, usaha bersama; tujuan kita ialah membaharui masyarakat. Tetapi di sebelah itu janganlah kita memberikan kekuasaan yang tidak terbatas kepada negara untuk menjadikan di atas negara baru itu suatu negara kekuasaan. Sebab itu, ada baiknya dalam salah satu pasal, misalnya pasal yang mengenai warga negara, disebutkan juga . . . supaya tiap-tiap warga negara jangan takut untuk mengeluarkan suaranya. Yang perlu disebut di sini hak untuk berkumpul dan bersidang atau mesyuarat dan lain-lain. . . Jadi, bagaimanapun juga, kita menghargai tinggi keyakinan itu atas kemauan kita untuk menyusun negara baru, tetapi ada baiknya jaminan diberikan kepada rakyat, yaitu hak untuk merdeka berpikir. Memang ini agak sedikit berbau individualisme, tetapi saya katakan tadi bahwa ini bukan individualisme. Juga dalam collectivisme

ada sedikit hak bagi anggota-anggota collectivisme, anggota-anggota dari keluarga itu untuk mengeluarkan perasaannya. . . ”

Dari uraian di atas, Hatta jelas meminta dimasukkannnya hak untuk berkumpul, berdialog dan kemerdekaan menyatakan pikiran, dan bukan semua hak yang tercantum dalam droit de l‟homme et du citoyen87. Dalam hal ini Hatta menyatakan:88

demikian. Lihat lanjut H. Muladi, Hak Asasi Manusia, Hakekat, Konsep dan Implikasi Dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, (Jakarta: PT Refika Aditama, 2005) Cet 1, hlm. 87.

86

Bagir Manan, Perkembangan Pemikiran Dan Pengaturan Hak Asasi Manusia Di Indonesia, (Jakarta: Penerbit P. T. Alumni, 2006) hlm. 23.

87droit de l‟homme et du citoyen

(45)

“. . . Tentang memasukkan hukum yang disebut “droit de et du citoyen”memang tidak perlu dimasukkan di sini, sebab itu semata-mata adalah syarat-syarat untuk mempertahankan hak-hak orang seorang kezaliman raja-raja di masa dahulu”.

Satu-satunya perbedaan adalah usul Hatta agar hak berkumpul, berdialog dan mengeluarkan pikiran ditambahkan dalam ketentuan HAM disamping yang sudah ada dalam naskhahlm. Pada mulanya Supomo berkeberatan kerana hak-hak itu dipandang bersumber pada individualisme. Tampaknya ini dipengaruhi oleh paham integralistik yang dikembangkan oleh Supomo. Namun, Hatta menjelaskan bahwa hak-hak tersebut juga dikenal dalam paham kekeluargaan. Supomo secara tersirat mengakui bahwa hak berserikat juga diakui dalam paham kekeluargaan. Hal ini terlihat dari ucapan Supomo yang menyatakan bahwa:89

“Jikalau jaminan hak-hak dasar orang seseorang dalam Undang-Undang Dasar yang bersifat kekeluargaan itu tidak diadakan, itu sama sekali tidak boleh bersuara atau tidak boleh berkumpul, sama sekali tidak”.

Sebagai tanggapan atas pendapat Soekarno, Supomo dan Hatta, Yamin menyatakan bahwa:90

“Supaya aturan kemerdekaan warga negara dimasukkan ke dalam Undang liberalisme, melainkan semata-mata suatu keharusan perlindungan

kemerdekaan, yang harus diakui dalam Undag-Undang Dasar”.

kesamaan, dan kesetiakawanan. Lihat lanjut Miriam Budiardjo, Dasar-dasar ilmu politik, (Jakarta:PT Gramedia, 2008) Cet 3, hlm. 215.

88 Ibid 89

Bagir Manan, Perkembangan Pemikiran Dan Pengaturan Hak Asasi Manusia Di Indonesia, (Jakarta: Penerbit P. T. Alumni, 2006) hlm. 25.

(46)

Pandangan Yamin di atas tampaknya memang menghendaki segal aspek HAM dicantumkan dalam UUD. Jadi, sebenarnya ada perbedaan antara Yamin dan Hatta. Hatta tidak menghendaki seluruh hal yang termuat dalam droit de l‟homme et du citoyen dimuat dalam UUD, sedangkan Yamin berpendapat sebaliknya.

Akhirnya, perdebatan mengenai perlu tidaknya memasukkan ketentuan mengenai hak berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat dapat diselesaikan dengan diterima usulan Hatta tersebut yang didukung oleh beberapa anggota lainnya termasuk Supomo. Penerimaan Supomo ini tercermin dalam pernyataannya yang berbunyi:91

“. . . Oleh kerana itu, kami usulkan suatu aturan yang mengandung kompromis, akan tetapi tidak akan menentang sistematik rancangan anggaran dasar ini, ialah dengan menambah di dalam undang-undang dasar suatu pasal yang berbunyi: “Hukum yang menetapkan kemerdekaan penduduk untuk bersidang dan berkumpul, untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan atau tulisan dan lain-lain diatur dengan Undang-undang”. Dengan ini, pertama, kita tidak mengemukakan hak yang dinamai subjectief recht, seperti hak perorangan, oleh kerana itu adalah hasil aliran pikiran perseorangan, akan tetapi hal itu di sini disebut hukum; bagaimanapun juga diatur dalam Undang-undang, bahwa hukum yang menetapkan kemerdekaan penduduk untuk bersidang dan berkumpul, untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan ditetapkan dalam Undang-undang. Dengan demikian hal itu adalah kewajipan. Ketentuan itu mewajibkan Pemerintah untuk membikin Undang-undang tentang hal itu”.

Dari paparan yang diberikan dapat disimpulkan bahawa, kebebasan menyatakan pendapat telah mendapat posisi penting untuk dibahas bagi

91

Bagir Manan,Perkembangan Pemikiran Dan Pengaturan Hak Asasi Manusia Di Indonesia,

(47)

mengundangkannya di dalam UUD 1945. Sehingga sekarang rumusan tersebut diterima yakni sebagaimana tercantum dalam Pasal 2892 UUD 1945.

2. Materi Muatan Hak kebebasan menyatakan pendapat dalam Konstitusi RIS 1949

Mengingat kepada pengaturan hak kebebasan menyatakan pendapat merupakan salah satu hak warga sipil yang termasuk dalam jaminan terhadap HAM oleh Konstitusi RIS 1949.93 Menariknya, Konstitusi RIS memberikan penekanan yang signifikan tentang HAM. Hal tersebut diatur dalam bagian tersendiri (BAB I, Bagian 5 Hak-hak dan Kebebasan-kebebasan Dasar Manusia) yang terbentang dalam 27 pasal. Tak hanya itu, Konstitusi RIS juga mengatur kewajibam asasi negara dalam hubungannya dengan upaya penegakan HAM (BAB I, Bagian 6 Asas-asas Dasar) yang terbentang dalam 2 bagian (Bagian 5 dan 6 pada BAB I) dengan

92

Pasal 28E ayat 3, berbunyi,“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”.

93

Konstitusi RIS 1949, adalah hasil perundingan dengan Belanda membuat pihak Indonesia terpaksa menerima bentuk negara Republik Indonesia Serikat (RIS) . Dengan UUD Republik Indonesia Serikat (RIS) berarti Indonesia menerima bentuk federalisme dan terpaksa harus menerima kenyataan bahwa statusnya sebagai negara kekuasaan tadinya secar de facto berdasarkan Perjanjian Linggarjati menjadi sekadar satu negara bagian dari suatu federasi saja. Dengan demikian, Republik Indonesia yang jumlah penduduknya 31 juta jiwa disejajarkan dengan Biliton yang hanya berpenduduk 100 ribu jiwa dan Indonesia Timur yang 10 juta jiwa. Hanya saja di DPR federal, Republik Indonesia diberi kedudukan khusus dengan memperoleh jatah 50 kursi pendukung republik. Tetapi bentuk federalisme hanya berlansung singkat, sekitar 7 bulan. Tidak lama setelah bentuk federalisme diberlakukan,rakyat di banyak negara bagianmengadakan perlawanan. Akhirnya pada bulan April 1950,13 negara bagian menyatakan bergabung dengan republic Indonesia untuk membentuk negara kesatuan. Lihat lanjut Miriam Budiardjo,

Referensi

Dokumen terkait

Bahan Hukum Primer : yaitu bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari norma atau kaedah dasar, peraturan dasar, peraturan-peraturan perundang- undangan yang mengatur tentang

a) Bahan hukum primer: bahan hukum yang mengikat dan terdiri atas norma-norma dasar, misalnya: Mahkamah Konstitusi, Ketetapan Majelis Perwakilan Rakyat, peraturan

1) Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mengikat terdiri dari peraturan perundangan-undangan yaitu: Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata, Undang-UndangNomor

Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat diperoleh dengan mempelajari semua peraturan yang meliputi: peraturan perundang-undangan, konvensi, dan peraturan

Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari: peraturan perundangan nasional maupun terkait pelanggaran hukum atas wilayah udara dengan

Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mempunyai kekuatan secara yuridis dan mengikat yang terdiri dari kaidah dasar, peraturan dasar, perundang-undangan, bahan hukum

1) Bahan hukum primer, yaitubahan hukum yang berupa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi a. Undang-Undang Dasar Negara Republik

12 1 Bahan Hukum Primer Bahan hukum premier yaitu norma atau kaidah dasar hukum, peraturan perundang-undangan yang mengikat dan berlaku di Indonesia dan terdiri dari: a Kitab