• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN RESILIENSI PADA MANTAN NARAPIDANA USIA REMAJA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "HUBUNGAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN RESILIENSI PADA MANTAN NARAPIDANA USIA REMAJA"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN RESILIENSI

PADA MANTAN NARAPIDANA USIA REMAJA

SKRIPSI

Oleh :

Ni Kadek Jesisca Frecilla 201010230311133

FAKULTAS PSIKOLOGI

(2)

HUBUNGAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN RESILIENSI

PADA MANTAN NARAPIDANA USIA REMAJA

SKRIPSI

Diajukan kepada Universitas Muhammadiyah Malang sebagai Salah Satu Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Ni Kadek Jesisca Frecilla NIM: 201010230311133

FAKULTAS PSIKOLOGI

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

1. Judul Skripsi : Hubungan Dukungan Sosial dengan Resiliensi pada Mantan Narapidana Usia Remaja

2. Nama Peneliti : Ni Kadek Jesisca Frecilla

3. NIM : 201010230311133

4. Fakultas : Psikologi

5. Perguruan Tingggi : Universitas Muhammadiyah Malang 6. Waktu Penelitian : 23 Mei – 21 Juli 2014

Skripsi ini telah diuji oleh dewan penguji pada tanggal 15 Agustus 2014

Dewan Penguji

Ketua Penguji : Dra. Tri Dayakisni, M.Si ( ) Anggota Penguji : 1. Ni’matuzahroh, S.Psi., M.Si ( ) 2. Dr. Latipun, M.Kes ( ) 3. Adhyatman Prabowo, M. Psi ( )

Pembimbing I Pembimbing II

Dra. Tri Dayakisni, M.Si Ni’matuzahroh, S.Psi., M.Si

Malang, 15 Agustus 2014 Mengesahkan

Dekan Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Hubungan Dukungan Sosial dengan Resiliensi pada Mantan Narapidana Usia Remaja”, sebagai salah satu syarat untuk mendapat gelar Sarjana Psikologi di Universitas Muhammadiyah Malang.

Dalam proses penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bimbingan dan petunjuk serta bantuan yang bermanfaat dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ibu Dra. Tri Dayakisni, M.Si selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang.

2. Ibu Dra. Tri Dayakisni, M.Si dan Ibu Ni’matuzahro, S.Psi., M.Si selaku pembimbing I dan pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu untuk membimbing dan memberikan arahan yang sangat bermanfaat sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan baik.

3. Ibu Hudaniah, S.Psi., M. Si selaku Dosen Wali yang telah mendukung dan memberikan pengarahan sejak awal perkuliahan serta memberikan banyak dukungan dan motivasi demi terselesaikannya skripsi ini.

4. Para dosen dan para karyawan Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang khususnya Ibu Tri Muji Ingarianti, M.Psi dan Ibu Diana Savitri, M.Psi yang telah memberikan semangat, motivasi, canda, dan nasehat sehingga penulis termotivasi untuk mengerjakan skripsi.

5. Ayahanda I Ketut Sunarsa dan Ibunda Fransisca Rita tercinta yang telah mendedikasikan seluruh hidupnya bagi penulis. Rasanya tak cukup membalas cinta dan pengorbanan yang ayahanda dan ibunda berikan selama ini. Terimakasih atas dukungan dan do’a serta kasih sayang yang berlimpah sehingga penulis selalu bersemangat untuk menyelesaikan skripsi dan semoga kelulusan ini menjadi langkah awal untuk selalu menjadi yang terbaik dan menjadi kebanggaan bagi Ayahanda dan Ibunda tercinta.

6. Kakak lelaki satu-satunya, I Putu Aan Pratama Sunarsa, S.Kom, yang selalu menjadi penyemangat dan memberikan waktu, nasehat, cinta serta kasih sayang yang berlimpah pada penulis.

7. Keluarga besar Laboratorium Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang, Ibu Siti Maimunah, S.Psi., MM., MA., selaku kepala Laboratorium Psikologi UMM serta Mbak Santi dan Mbak Ifa selaku staff laboratorium yang selama ini banyak memberikan ilmu, wawasan, nasehat, dan kasih sayang pada penulis, serta teman-teman asisten yang selalu setia berbagi suka maupun duka, tempat berbagi keluh kesah, tawa dan cerita serta senantiasa membantu dan memotivasi dalam proses pengerjaan skripsi. 8. Laboratorium Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang yang menjadi

(5)

berharga bisa bergabung sebagai asisten dan keluarga besar Laboratorium Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang.

9. Teman-teman angkatan 2010 Fakultas Psikologi khususnya kelas B, yang senantiasa berbagi ilmu, canda, dan tawa kepada penulis selama 3 tahun proses perkuliahan dan terimakasih atas segala bentuk dukungan yang telah diberikan pada penulis selama berada di Malang.

10.Teman-teman kost Perum. Bukit Cemara Tujuh Kav 39, Mbak Nana, Mbak Intan, Kak Emma, dll. Terimakasih atas kebersamaan, kebaikan, perlindungan, canda, teguran, dan dukungan semangat yang terus diberikan agar segera menyelesaikan skripsi ini.

11.Polres Balikpapan yang telah memberikan data-data yang berguna bagi penulis untuk melaksanakan penelitian.

12.Subjek penelitian yang bersedia meluangkan waktunya untuk membantu penulis dalam pelaksanaan penelitian.

13.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, yang telah banyak memberkan bantuan pada penulis dalam menyelesaikan skripsi.

Penulis menyadari tiada satupun karya yang sempurna, sehingga kritik dan saran yang membangun sangat diperlukan demi perbaikan karya skripsi ini. Harapan terbesar penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi peneliti khususnya dan pembaca pada umumnya.

Malang, 15 Agustus 2014 Penulis

(6)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

LEMBAR PENGESAHAN ... i

SURAT PERNYATAAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

ABSTRAK ... 1

PENDAHULUAN ... 2

Resiliensi ... 5

Aspek-aspek Resiliensi ... 6

Karakteristik Resiliensi ... 7

Sumber-sumber Resiliensi ... 7

Fungsi Resiliensi ... 8

Dukungan Sosial ... 9

Bentuk-bentuk Dukungan Sosial ... 10

Dukungan Sosial dengan Resiliensi ... 10

METODE PENELITIAN ... 11

Rancangan Penelitian ... 11

Subjek Penelitian ... 11

Variabel dan Instrumen Penelitian ... 11

Validitas dan Reliabilitas Instrumen ... 12

Prosedur Penelitian dan Analisa Data Penelitian ... 13

HASIL PENELITIAN ... 14

Deskripsi Data ... 14

Hasil Analisa Data ... 14

DISKUSI... 15

SIMPULAN DAN IMPLIKASI ... 17

DAFTAR PUSTAKA ... 18

(7)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Indeks Validitas Alat Ukur Penelitian ... 12

Tabel 2. Indeks Reabilitas Alat Ukur Penelitian ... 12

Tabel 3. Nilai T-Score Dukungan Sosial ... 14

Tabel 4. Nilai T-Score Resiliensi ... 14

(8)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Instrumen Penelitian ... 22

Lampiran 2. Blueprint Dukungan Sosial dan Skala Resiliensi ... 27

Lampiran 3. Validitas dan Reabilitas Instrumen ... 29

Lampiran 4. Data Kasar ... 33

Lampiran 5. Hasil Perhitungan t-test ... 40

(9)

DAFTAR PUSTAKA

Achour, M., & Nor, M. R. M. (2014). The effects of social support and resilience on life satisfaction of secondary school students.Journal of Academic and Applied

Studies (Special Issue on Applied Sciences), 4 (1), 12-20.

Agustiani, H. (2006). Psikologi perkembangan: pendekatan ekologi kaitannya

dengan konsep diri dan penyesuaian diri pada remaja. Bandung: PT Refika

Aditama.

Alam, S. (2013, July 23 th). Anak bermasalah hukum harus didampingi. Retrieved September 24, 2013, from http://rri.co.id/index.php/berita/62693/Anak-Bermasalah-Hukum-harus-Didampingi#.UkJ_FNI_t4M

Alam, S. (2013, July 23 th). KPAI beberkan latar belakang anak bermasalah hukum.

Retrieved September 24, 2013, from

http://rri.co.id/index.php/berita/62694/KPAI-beberkan-latarbelakang-anak-bermasalah-hukum#Ukj_Etl_t4M

Antara. (2012, June 27 th). Anak bermasalah hukum jangan kehilangan masa depan. Retrieved September 24, 2013, from http://www.beritasatu.com/hukum/56693-anak-bermasalah-hukum-jangan-kehilangan-masa-depan.html

Badriyah, L. (2013, May 31). Jumlah anak bermasalah dengan hukum meningkat. Retrieved September 24, 2013, from http://www.beritakriminal.net/jumlah-anak-bermasalah-dengan-hukum-meningkat/

Baharuddin, D. (2013, July 23 th). 600 lebih napi anak dapat remisi. Retrieved September 24, 2013, from http://health.liputan6.com/read/646880/600-lebih-napi-anak-dapat-remisi

Benard, B. (1991). Fostering resiliency in kids: Protective factors in the family,

school, and community. San Francisco: WestEd Regional Education Library.

Dewi, F. I. R., Djoenaina, V., & Melisa. (2004). Hubungan antara resiliensi dengan depresi pada perempuan pasca pengangkatan payudara (mastektomi). Jurnal

Psikologi, 2, 101 – 120.

Gusef, Y. (2011). Adaptasikehidupan sosial mantan narapidana dalam masyarakat. Skripsi, Universitas Andalas, Padang.

Henderson & Milstein. 2003. Resiliency in schools. California: Corwin Press.

Iskandar, M. A. (2013, July 23 th). Presiden penuhi empat hak pokok anak.

Retrieved September 24, 2013, from

(10)

Janas, M. (2002). Build resiliency: Intervention in school and clinic. Retrieved at November 11, 2013, from www.highbeam.com/library/doc3.asp

Kompas. (2012, July 30 th). Lebih dari 300 anak bermasalah dengan kasus hukum.

Retrieved September 24, 2013, from

http://indonesia.ucanews.com/2012/07/30/lebih-dari-300-anak-bermasalah-dengan-kasus-hukum/

Kumalasari, F., & Ahyani, L. N. (2012). Hubungan antara dukungan sosial dengan penyesuaian diri remaja di panti asuhan. Jurnal Psikologi Pitutur, 1, 21 – 31.

Lopez, S. J. (2009). Encyclopedia of positive psychology. Blackwell Publishing Ltd.

Natalia, D. L. (2013, July 23 th). 648 narapidana anak dapat remisi. Retrieved September 24, 2013, from http://www.antaranews.com/berita/386902/648-narapidana-anak-dapat-remisi

Reivich, K., & Shatte, A., (2002). The resilience factor: 7 keys to finding your inner

strenght and overcoming life’s hurdles. New York: Broadway Books.

Riddle, G. S., & Romans, J. S. C. (2010). Resilience among urban american indian adolescents: exploration into the role of culture, self-esteem, subjective well-being, and social support. American Indian and Alaska Native Mental Health

Research, 19, 1 – 19. Retrieved from www.ucdenver.edu/caianh

Salami, S. O. (2010). Moderating effects of resilience, self-esteem and social support on adolescents’ reactions to violence. Asian Social Science, 6, 101-110.

Santrock, J. W. (2012). Life-span development: perkembangan masa hidup edisi

ketiga belas jilid 1. Jakarta: Erlangga.

Saputri, M. A., & Indrawati, E. S. (2011). Hubungan antara dukungan sosial dengan depresi pada lanjut usia yang tinggal di panti wreda wening wardoyo jawa tengah. Jurnal Psikologi Undip, 9, 65 – 72.

Sarafino, E. P. (2011). Health Psychology. Biopsychosocial Interaction. (7th Edition). United States of America: John wiley & Sons, Inc.

Sirait, A. M. (2012). Psychology and Criminology: Peradilan Anak dalam Perspektif Psikologi dan Kriminologi. Poster session presented at University of

Muhammadiyah Malang for Psychology Faculty. Malang. Mei.

Smett, B. (1994). Psikologi kesehatan. Jakarta : PT Gramedia Wirasarana Indonesia.

(11)

Wilks, S. E. (2008). Resilience amid academic stress: the moderating impact of social support among social work students. Advances in Social Work, 9 (2), 106-125.

Winarsunu, T. (2009). Statistik dalam penelitian psikologi dan pendidikan. Malang: UMM Press.

Yanuari, C. (2006). Hubungan dukungan sosial dengan resiliensi. Skripsi, Universitas Muhammadiyah Malang, Malang.

Yulianti, S. A., & Widiasih, R. (2009). Gambaran orientasi masa depan narapidana remaja sebelum dan setelah pelatihan di rumah tahanan negara kelas 1 bandung. Jurnal Psikologi, 10, 97 – 104.

Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2012. Retrieved

September 24, 2013, from:

(12)

Anak merupakan potensi tumbuh kembang dan pewaris masa depan suatu bangsa. Di seluruh belahan dunia, anak berperan penting terhadap pertumbuhan suatu negara karena apabila suatu negara memiliki anak-anak yang berpotensi tinggi, tentu negara tersebut akan maju sehingga tumbuh kembang anak juga harus menjadi perhatian semua pihak, baik orangtua, para guru, pemerintah, dan seluruh elemen masyarakat tanpa terkecuali. Sebagai bangsa, populasi anak di Indonesia cukup signifikan mencapai 34%. Jumlah tersebut, menurut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dapat menjadi potensi aset bangsa yang berharga untuk masa depan. Namun demikian, bila salah asuh, maka anak-anak tersebut bisa jadi beban di masa depan (Antaranews, 2013). Maka dari itu, diharapkan semua orang terus berkomitmen dalam membangun generasi penerus bangsa yang sehat, cerdas, dan berakhlak mulia. Komitmen tersebut harus selalu dipegang teguh untuk membuat suatu bangsa menjadi bangsa yang besar sehingga dimulai dari pondasi yang kuat yaitu pada anak-anak. Untuk itu, anak patut diberikan pembinaan dan perlindungan secara khusus oleh negara dan undang-undang untuk menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental maupun sosial.

Pemerintah telah membuat Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, yang antara lain mengamanatkan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (KPAI, 2013). Maka dari itu, semua pihak harus memberikan perhatian kepada semua anak-anak agar bisa mandiri, disiplin, kreatif, berinisiatif, cerdas, rajin, jujur, lincah bergaul, beragama, berpendidikan, memiliki moral yang baik, dan bermotivasi untuk maju. Tugas orangtua tidaklah semakin ringan terlebih di era global saat ini, dituntut untuk memberikan lingkungan sosial, pendidikan, dan tata pergaulan yang ramah bagi anak-anak sehingga dengan begitu anak-anak dapat tumbuh dan berkembang serta menyongsong masa depan yang cerah.

(13)

Jumlah anak di bawah umur yang bermasalah dengan hukum dari tahun ke tahun semakin meningkat. Dari data yang dilansir oleh Arist Merdeka Sirait (ketua Komnas Perlindungan Anak) menyebutkan bahwa pada periode 2008/2009 ada sekitar 4.000 anak yang menjalani penahanan di 14 lapas di Indonesia. Sedangkan pada periode 2009/2010, sebanyak 1.258 kasus bocah-bocah yang ‘melanggar’ hukum. Pada periode 2010/2011 jumlahnya meningkat menjadi 7.000 lebih kasus anak yang berhadapan dengan hukum. Dari data tersebut, dalam kurun waktu 1 tahun, terdapat peningkatan jumlah anak yang berhadapan dengan hukum sebanyak 57,14%. Berdasarkan data yang didapatkan dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, hingga Juni 2013 terdapat 2.209 tahanan anak, 3.541 orang narapidana anak, dan 1.238 klien anak yang menjalani pidana di lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan (Metrotvnews; Detiknews; & Antaranews, 2013). Hal ini tentu sangat memprihatinkan bagi semua pihak.

Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana bab 1 pasal 1 ayat 3 menyebutkan bahwa anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 tahun, tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Namun secara psikologis, rentang usia tersebut termasuk dalam rentang usia masa remaja

(adolescence) yaitu periode perkembangan transisi dari masa anak-anak hingga masa

dewasa awal (Santrock, 2012). Menurut Erikson, pada masa transisi ini, individu dihadapkan dengan penemuan siapa mereka, bagaimana mereka nantinya, dan kemana mereka menuju dalam kehidupannya (Santrock, 2012). Pada masa inilah, seorang remaja bukan sekedar mempertanyakan siapa dirinya, tapi bagaimana dan dalam konteks apa atau dalam kelompok apa ia bisa menjadi bermakna dan dimaknakan. Dengan kata lain, identitas seorang remaja tergantung pula pada bagaimana orang lain mempertimbangkan kehadirannya karena lebih bisa dipahami mengapa keinginan untuk diakui, keinginan untuk memperkuat kepercayaan diri, dan keinginan untuk menegaskan kemandirian menjadi hal yang sangat penting bagi remaja terutama mereka yang akan mengakhiri masa itu (Agustiani, 2006). Namun, ketika para remaja ini telah selesai menjalani masa penahanan di lapas (lembaga permasyarakatan) tentunya mereka akan mengalami penurunan kepercayaan diri karena telah mendapatkan julukan ‘anak nakal’ atau bergelar narapidana.

(14)

kepercayaan pada mantan narapidana dengan memberikan pandangan penuh curiga serta rasa cemas karena takut para mantan narapidana ini melakukan tindakan kejahatan kembali, walaupun perubahan yang positif telah ditunjukkan oleh mantan narapidana tersebut. Selain itu, persoalan pada diri mantan narapidana itu sendiri, yaitu rasa minder dan malu yang mengakibatkan para mantan narapidana tersebut kesulitan dalam berbaur dan mengubah pandangan buruk masyarakat terhadap dirinya.

Para mantan narapidana usia remaja ini tidak akan tangguh dalam menghadapi tantangan hidup saat ia telah bebas apabila mereka tidak memiliki kemampuan untuk bangkit dari keterpurukan atau resiliensi karena merasa diri mereka tidak berarti lagi. Resiliensi yang tinggi sangat dibutuhkan agar para narapidana remaja ini mampu bangkit dari keterpurukkan dan dapat menjalani kehidupannya kembali secara normal untuk memenuhi kebutuhan pada masa perkembangannya. Penelitian yang dilakukan oleh Dewi, dkk (2004) membuktikan bahwa ada hubungan yang negatif antara resiliensi dengan tingkat depresi. Apabila individu memiliki skor resiliensi tinggi, maka individu mempunyai skor depresi yang rendah, begitu juga sebaliknya. Hal ini menjelaskan bahwa seseorang yang memiliki resiliensi tinggi akan mengurangi tingkat depresinya sehingga resiliensi dapat membantu para mantan narapidana usia remaja ini agar tidak mengalami depresi akibat permasalahan yang mereka hadapi.

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi resiliensi, salah satunya yaitu pemberian dukungan (Riddle & Romans, 2010). Menurut Gottlieb dalam The

Encyclopedia of Positive Psychology (Lopez, 2009), dukungan tersebut didapat dari

orang-orang di sekitarnya seperti keluarga, teman sebaya, maupun masyarakat sekitar atau yang biasanya disebut dukungan sosial. Seorang individu tidak akan berhasil menyelesaikan masalah jika tidak ada dukungan dari orang lain. Dukungan yang diberikan oleh orang-orang di sekitar para remaja mantan napi ini dapat memberikan dampak pada kondisi atau keadaan psikologis remaja tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Saputri & Indrawati (2011) menemukan ada hubungan negatif antara dukungan sosial dengan depresi yaitu semakin tinggi dukungan sosial yang diterima, maka semakin rendah depresi yang dialami oleh seseorang. Dengan adanya dukungan sosial, individu tidak akan mengalami hambatan (stres) yang akan mengakibatkan depresi karena bila seseorang mempunyai orang lain untuk diajak bicara, dimintai nasehat dan simpati, dia akan menahan stres dalam menghadapi masalah-masalahnya di kehidupan sehari-hari. Sedangkan penelitian Kumalasari & Ahyani (2012) menunjukan bahwa adanya keterkaitan antara dukungan sosial dengan penyesuaian diri, semakin tinggi dukungan sosial diterima seseorang maka semakin baik pula penyesuaian dirinya. Hal ini dapat menjelaskan bahwa dengan mendapatkan dukungan sosial dari orang-orang di sekitar, maka para mantan narapidana usia remaja ini dapat mudah kembali untuk menyesuaikan diri di masyarakat.

(15)

diri. Dukungan sosial bukan sekedar pemberian bantuan, tetapi yang penting adalah bagaimana persepsi si penerima terhadap makna dari bantuan tersebut. Hal itu erat hubungannya dengan ketepatan dukungan sosial yang diberikan, dalam arti bahwa orang yang menerima sangat merasakan manfaat bantuan bagi dirinya karena sesuatu yang aktual dan memberikan kepuasan (Kumalasari & Ahyani, 2012). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Anchour & Nor (2014) menemukan bahwa ada hubungan positif antara dukungan sosial dengan resiliensi. Penelitian lainnya juga menunjukkan hal serupa, bahwa dukungan sosial secara signifikan mempengaruhi resiliensi (Wilks, 2008). Setiap informasi apapun dari lingkungan sosial yang menimbulkan persepsi individu bahwa individu menerima efek positif, penegasan, atau bantuan yang menandakan suatu ungkapan dari adanya dukungan sosial. Adanya perasaan didukung oleh lingkungan membuat segala sesuatu lebih mudah terutama pada menghadapi peristiwa yang menekan.

Pemberian dukungan biasanya diberikan oleh setiap orang pada kerabatnya atau bahkan orang yang tidak dikenal yang mengalami suatu keadaan atau peristiwa yang kurang menyenangkan, menyakitkan, atau menimbulkan keterpurukkan (Reivich & Shatte, 2002). Dukungan dari sosial dapat memberikan perasaan nyaman, diperhatikan, dihargai, mendapatkan pertolongan bagi orang-orang yang mendapatkan dukungan sehingga dapat diperkirakan bahwa dukungan sosial juga mampu meningkatkan resiliensi seseorang, termasuk mantan narapidana usia remaja ini. Apabila mantan narapidana usia remaja ini mendapatkan dukungan sosial maka mereka diharapkan mampu menjalani kehidupan normal kembali sehingga mampu memunculkan motivasi berprestasi bahkan mampu berkompetensi sosial dengan baik.

(16)

Resiliensi

Janas (2002) mendefinisikan resiliensi sebagai suatu kemampuan untuk mengatasi kesulitan, rasa frustrasi, ataupun permasalahan yang dialami oleh individu. Individu yang resilien akan berusaha mengatasi permasalahan dalam hidup, sehingga dapat terbebas dari masalah dan mampu beradaptasi terhadap permasalahan tersebut (Dewi, dkk, 2004). Sedangkan menurut Grotberg (1999) resiliensi merupakan kapasitas manusia untuk menghadapi dan menjadi kuat atas kesulitan yang dialaminya sehingga dapat mengatasi tekanan dalam hidupnya. Reivich dan Shatte (2002) yang dituangkan dalam bukunya “The Resiliency Factor” menyatakan resiliensi adalah kapasitas untuk merespon sesuatu dengan cara yang sehat dan produktif ketika berhadapan dengan kesengsaraan (adversity) atau trauma, terutama untuk mengendalikan tekanan hidup sehari-hari. Resiliensi adalah hal yang penting ketika membuat keputusan yang berat dan sulit di saat-saat terdesak. Selanjutnya dijelaskan bahwa resiliensi merupakan mind-set yang mampu meningkatkan seseorang untuk mencari pengalaman baru dan memandang kehidupan sebagai proses yang meningkat. Orang yang resilien dapat menciptakan dan memelihara sikap positif untuk mengeksplorasi, sehingga seseorang menjadi percaya diri berhubungan dengan orang lain, serta lebih berani mengambil resiko atas tindakannya. Richardson, dkk (Henderson & Milstein, 2003) mendefinisikan resiliensi sebagai proses mengatasi masalah seperti gangguan, kekacauan, tekanan atau tantangan hidup, yang pada akhirnya membekali individu dengan perlindungan tambahan dan kemampuan untuk mengatasi masalah sebagai hasil dari situasi yang dihadapi.

Dari berbagai pengertian resiliensi yang telah dipaparkan dapat disimpulkan bahwa resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk bertahan dan tidak menyerah pada keadaan-keadaan yang sulit dalam hidupnya, serta berusaha untuk belajar dan beradaptasi dengan keadaan tersebut dan kemudian bangkit dari keadaan tersebut sehingga menjadi lebih baik.

Aspek-aspek Resiliensi

Menurut Benard (1991), resiliensi memiliki aspek-aspek sebagai berikut:

a. Kompetensi Sosial

Merupakan kemampuan seseorang untuk berinteraksi dengan orang lain di sekitarnya dengan cara mampu menanggapi atau merespon orang lain secara positif, fleksibel, memiliki empati dan kepedulian terhadap orang lain, serta memiliki kemampuan yang baik dalam berkomunikasi.

b. Kemampuan Menyelesaikan Masalah

(17)

c. Otonomi

Seseorang memiliki identitas yang jelas dan berharga, self-esteem (harga diri) dan self-efficacy (kepercayaan diri), disiplin diri, kemampuan untuk berdiri sendiri, serta resisten.

d. Kepekaan dalam Tujuan

Merupakan kemampuan untuk meyakini bahwa dirinya memiliki minat dan cita-cita untuk mewujudkan suatu tujuan demi masa depannya, antara lain kepentingan yang spesial, motivasi berprestasi, aspirasi pendidikan, harapan akan kesehatan, dan percaya terhadap sesuatu yang memaksa.

Karakteristik Resiliensi

Karakteristik Resiliensi menurut Wolin & Wolin (1999) adalah sebagai berikut:

a. Insight

Kemandirian adalah kemampuan untuk mengambil jarak secara emosional maupun fisik dari sumber masalah dalam hidup seseorang. Kemandirian melibatkan kemampuan untuk menjaga keseimbangan antara jujur pada diri sendiri dengan peduli pada orang lain.

c. Hubungan

Seseorang yang resilien dapat mengembangkan hubungan yang jujur, saling mendukung dan berkualitas bagi kehidupan atau memiliki role model yang sehat.

d. Inisiatif

Inisiatif melibatkan keinginan yang kuat untuk bertanggung jawab atas kehidupan sendiri atau masalah yang dihadapi. Individu yang resilien bersikap proaktif, bukan reaktif, bertanggung jawab dalam pemecahan masalah, selalu berusaha memperbaiki diri ataupun situasi yang dapat diubah, serta meningkatkan kemampuan untuk menghadapi hal-hal yang tidak dapat diubah.

e. Kreativitas

Kreativitas merupakan kemampuan memikirkan berbagai pilihan, konsekuensi, dan alternatif dalam menghadapi tantangan hidup. Individu yang resilien tidak terlibat dalam perilaku negatif, sebab ia mampu mempertimbangkan konsekuensi dari tiap perilakunya dan membuat keputusan yang benar.

f. Humor

(18)

g. Moralitas

Moralitas atau orientasi pada nilai-nilai ditandai dengan keinginan untuk hidup secara baik dan produktif. Individu yang resilien dapat mengevaluasi berbagai hal dan membuat keputusan yang tepat tanpa rasa takut akan pendapat orang lain. Mereka juga dapat mengatasi kepentingan diri sendiri dalam membantu orang yang membutuhkan.

Sumber-sumber Resiliensi

Menurut Grotberg (1999) ada beberapa sumber dari resiliensi yaitu sebagai berikut:

a. I Have (sumber dukungan eksternal)

I Have merupakan dukungan dari lingkungan di sekitar individu. Dukungan

ini berupa hubungan yang baik dengan keluarga, lingkungan sekolah yang menyenangkan, ataupun hubungan dengan orang lain diluar keluarga. Melalui

I Have, seseorang merasa memiliki hubungan yang penuh kepercayaan.

Hubungan seperti ini diperoleh dari orang tua, anggota keluarga lain, guru, dan teman-teman yang mencintai dan menerima diri anak tersebut.

b. I Am (kemampuan individu)

I am merupakan kekuatan yang terdapat dalam diri seseorang, meliputi

perasaan, tingkah laku, dan kepercayaan yang ada dalam dirinya. Mereka merasakan kebanggaan akan diri mereka sendiri. Individu yang resilien merasa bahwa mereka mempunyai karakteristik yang menarik dan penyayang sesama. Hal tersebut ditandai dengan usaha mereka untuk selalu dicintai dan mencintai orang lain.

c. I Can (kemampuan sosial dan interpersonal)

I Can merupakan kemampuan anak untuk melakukan hubungan sosial dan

interpersonal. Mereka dapat belajar kemampuan ini melalui interaksinya dengan semua orang yang ada di sekitar mereka. Individu tersebut juga memiliki kemampuan untuk berkomunikasi serta memecahkan masalah dengan baik. Mereka mampu mengekspresikan pikiran dan perasaan, mengendalikan perasaan dan dorongan dalam hati.

Fungsi Resiliensi

Beberapa penelitian telah menyatakan bahwa manusia dapat menggunakan resiliensi untuk hal-hal berikut ini (Reivich & Shatte, 2002):

a. Overcoming

(19)

b. Steering through

Orang yang resilien akan menggunakan sumber dari dalam dirinya sendiri untuk mengatasi setiap masalah yang ada, tanpa harus merasa terbebani dan bersikap negatif terhadap kejadian tersebut. Orang yang resilien dapat memandu serta mengendalikan dirinya dalam menghadapi masalah sepanjang perjalanan hidupnya. Penelitian menunjukkan bahwa unsur esensi dari

steering through dalam stres yang bersifat kronis adalah self-efficacy yaitu

keyakinan terhadap diri sendiri bahwa kita dapat menguasai lingkungan secara efektif dapat memecahkan berbagai masalah yang muncul.

c. Bouncing back

Beberapa kejadian dapat bersifat traumatik dan menimbulkan tingkat stres yang tinggi, sehingga diperlukan resiliensi yang lebih tinggi dalam menghadapai dan mengendalikan diri sendiri. Kemunduran yang dirasakan biasanya begitu ekstrim, menguras secara emosional, dan membutuhkan resiliensi dengan cara bertahap untuk menyembuhkan diri seperti menunjukkan task-oriented coping style dimana mereka melakukan tindakan yang bertujuan untuk mengatasi kemalangan tersebut, mereka mempunyai keyakinan kuat bahwa mereka dapat mengontrol hasil dari kehidupan mereka, dan orang yang mampu kembali ke kehidupan normal lebih cepat dari trauma mengetahui bagaimana berhubungan dengan orang lain sebagai cara untuk mengatasi pengalaman yang mereka rasakan.

d. Reaching out

Resiliensi berguna untuk mendapatkan pengalaman hidup yang lebih kaya dan bermakna serta berkomitmen dalam mengejar pembelajaran dan pengalaman baru. Orang yang berkarakteristik seperti ini melakukan tiga hal dengan baik, yaitu: tepat dalam memperkirakan risiko yang terjadi; mengetahui dengan baik diri mereka sendiri; dan menemukan makna dan tujuan dalam kehidupan mereka.

Dukungan Sosial

Menurut Sarafino (2011), dukungan sosial merupakan suatu kenyamanan, perhatian, penghargaan ataupun bantuan yang diterima individu dari orang lain maupun kelompok. Ia juga berpendapat bahwa akan ada banyak efek dari dukungan sosial karena dukungan sosial secara positif dapat memulihkan kondisi fisik dan psikis seseorang, baik secara langsung maupun tidak langsung. Johnson dan Jhonson (1991) mengemukakan dukungan sosial merupakan keberadaan orang lain yang dapat diandalkan untuk memberi bantuan, semangat, penerimaan dan perhatian, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan hidup bagi individu yang bersangkutan.

(20)

orang-orang yang akrab dengan subjek di dalam lingkungan sosialnya atau yang berupa kehadiran dan hal-hal yang dapat memberikan keuntungan emosional atau berpengaruh pada tingkah laku penerimanya sehingga secara emosional merasa lega karena diperhatikan, mendapat saran atau kesan yang menyenangkan pada dirinya.

Dari beberapa pendapat tokoh di atas dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial merupakan suatu kenyamanan, perhatian, penghargaan, informasi verbal atau non-verbal, saran, semangat, bantuan atau tingkah laku dari orang lain maupun kelompok terhadap penerimanya yang dapat memberikan keuntungan emosional atau berpengaruh pada tingkah laku sehingga secara positif dapat memulihkan kondisi fisik dan psikis karena merasa tenang dan lega telah diperhatikan, dicintai, mendapat saran atau kesan menyenangkan dan timbul rasa percaya diri, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Bentuk-bentuk Dukungan Sosial

Menurut Sarafino (2011) dukungan sosial terdiri dari empat jenis yaitu:

a. Dukungan emosional

Dukungan ini melibatkan ekspresi rasa empati dan perhatian terhadap individu, sehingga individu tersebut merasa nyaman, dicintai, dan diperhatikan. Dukungan ini meliputi perilaku seperti memberikan perhatian dan afeksi serta bersedia mendengarkan keluh kesah orang lain.

b. Dukungan penghargaan

Dukungan ini melibatkan ekspresi yang berupa pernyataan setuju dan penilaian positif terhadap ide-ide, perasaan dan performa orang lain.

c. Dukungan instrumental

Bentuk dukungan ini melibatkan bantuan langsung, misalnya yang berupa bantuan finansial atau bantuan dalam mengerjakan tugas-tugas tertentu. d. Dukungan informasi

Dukungan yang bersifat informasi ini dapat berupa saran, pengarahan, dan umpan balik tentang bagaimana cara memecahkan persoalan.

Dukungan Sosial dengan Resiliensi

Dalam kehidupan sehari-hari, seseorang yang menghadapi masalah dan tidak mampu menyelesaikannya biasanya rentan terkena stres. Stres yang dirasakan dapat menghambat aktivitas keseharian dan cenderung membuat seseorang merasa terpuruk akibat permasalahan yang dihadapinya. Oleh karena itu, dibutuhan resiliensi yang merupakan suatu kemampuan untuk bertahan, mampu beradaptasi, dan tidak menyerah, sehingga dapat bangkit dari keterpurukannya.

(21)

meredam efek stres, membantu orang mengatasi stres, dan menambah kesehatan. Dukungan sosial yang diterima dari orang terdekat seperti orang tua, anggota keluarga besar, teman sebaya, dan kerabat yang lainnya dapat menjadi hal penting yang dapat menolong seseorang untuk menghadapi permasalahannya.

Pada saat seorang yang sedang menghadapi suatu permasalahan mendapatkan dan merasakan dukungan sosial dari lingkungan sekitar, maka ia akan merasa bahwa banyak orang yang masih peduli terhadap dirinya, banyak orang yang tidak mengucil atau mengacuhkannya. Ia akan merasakan keperdulian dan kasih sayang, penerimaan, bimbingan, petunjuk, serta mendapatkan saran atau nasehat yang sangat dibutuhkan bagi dirinya. Ketika seseorang merasakan beberapa hal tersebut, maka kemampuan resiliensinya akan meningkat, akan tetapi apabila seseorang tersebut tidak merasakan adanya keperdulian dan kasih sayang dari lingkungan sekitarnya, perasaan didukung bahkan diacuhkan, maka hal ini dapat menyebabkan kemampuan resiliensinya menurun.

Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial memiliki hubungan dengan resiliensi. Dukungan sosial dapat memberikan perasaan nyaman, diperhatikan, dihargai, dan mendapatkan pertolongan sehingga secara efektif mampu membuat seseorang menghadapi permasalahan yang sedang menimpanya serta bangkit dari keterpurukannya.

Hipotesis

Referensi

Dokumen terkait

Hasil pengujian hipotesis diperoleh bahwa pembelajaran dengan menggunakan model kooperatif jigsaw memberikan peningkatan yang signifikan terhadap keterampilan peserta didik

PDVDODK HNRQRPL PDV\DUDNDW ORNDO VHNLWDU '$6 6HPHQWDUD SDGD NHQ\DWDDQQ\D SHUWLPEDQJDQ HNRQRPL GDODP NHJLDWDQ UHKDELOLWDVL GDQ SHQJKLMDXDQ DGDODK PHUXSDNDQ VWLPXOXV EDJL PDV\DUDNDW

Komponen- komponen tersebut saling berkaitan sehingga apabila terjadi perubahan pada salah satu komponen akan mempengaruhi seluruh system ekologi dari suatu

dengan materi. Dalam proses penyajian materi, guru mengajar siswa ikut terlibat aktif dalam proses pembelajaran dengan mengamati setiap gambar yang ditunjukan oleh guru

[r]

Untuk mendukung hal tersebut, dari berbagai penelitian beberapa tahun terakhir, ditemukan bahwa efek dari MSC ini bersifat parakrin dan dimediasi oleh

bahan sintetik atau bahan tidak hidup yang digunakan untuk menggantikan sel hidup. atau berfungsi untuk mengaktifkan sel hidup dalam suatu sistem hidup

Kesimpulan dalam penelitian ini adalah Koperasi Primer UPN “Veteran” Jawa Timur dalam mempertanggungjawabkan kinerja koperasi selama satu periode yang telah