• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Antara Dukungan Sosial dengan Kesepian pada Janda yang Ditinggal Mati Pasangannya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Antara Dukungan Sosial dengan Kesepian pada Janda yang Ditinggal Mati Pasangannya"

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Guna Memenuhi Persyaratan Sarjana Psikologi

Oleh: Rospita Afriyanti

(031301089)

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

SKRIPSI

Guna Memenuhi Persyaratan Sarjana Psikologi

Oleh: Rospita Afriyanti

(031301089)

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Juni 2008 Rospita Afriyanti : 031301089

Hubungan Antara Dukungan Sosial dengan Kesepian pada Janda yang Ditinggal Mati Pasangannya

Viii + 83 halaman, jumlah tabel 34 Bibliografi 42 (1983-2007)

Penelitian ini merupakan penelitian korelasional yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara dukungan sosial dengan kesepian pada janda yang ditinggal mati pasangannya. Dukungan sosial adalah kenyamanan fisik dan psikologis, perhatian, penghargaan, maupun bantuan dalam bentuk yang lainnya yang diterima individu dari orang lain ataupun dari kelompok, sedangkan kesepian adalah keadaan mental dan emosional yang terutama dicirikan dengan adanya perasaan kekurangan dan ketidakpuasan karena tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan seseorang dan terjadi kesenjangan antara hubungan sosial yang diinginkan dengan hubungan sosial yang dimiliki individu.

Subjek penelitian ini berjumlah 85 orang janda yang ditinggal mati pasangannya.Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah incidental

sampling. Data yang diperoleh dalam penelitian ini diolah dengan analisa korelasi

pearson product moment. Alat ukur yang digunakan adalah skala dukungan sosial yang disusun berdasarkan lima bentuk dukungan sosial yang dikemukakan oleh Sarafino (2002) dan skala kesepian yang disusun peneliti berdasarkan perasaan kesepian yang dikemukakan Rubenstein, Shaver, dan Peplau (dalam Brehm, 2002).

Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan negatif yang signifikan antara dukungan sosial dan kesepian pada janda yang ditinggal mati pasangannya dengan nilai korelasi rxy -0.643 dan p=0.000 yang artinya semakin tinggi dukungan sosial maka semakin rendah kesepian pada janda yang ditinggal mati pasangannya. Sebaliknya, semakin rendah dukungan sosial maka semakin tinggi kesepian pada janda yang ditinggal mati pasangannya. Kontribusi dukungan sosial terhadap kesepian pada janda yang ditinggal mati pasangannya adalah sebesar 41.3%.

Hasil tambahan penelitian menunjukkan perasaan kesepian yang paling tinggi dirasakan sampai yang paling rendah adalah menyalahkan diri, impatient

boredom,depresi, putus asa. Bentuk dukungan sosial yang paling tinggi sampai

paling rendah adalah dukungan penghargaan, dukungan emosional, dukungan kelompok, dukungan informasional, dukungan instrumen. Hasil tambahan penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan kesepian ditinjau dari umur, lamanya menjanda, pendidikan terakhir, dan jumlah penghasilan.

(4)

social dengan kesepiam pada janda yang ditinggal mati pasangannya adalah hasil karya saya sendiri dan merupakan jiplakan dari karya orang lain.

Apabila dikemudian hari ditemukan adanya kecurangan dalam karya ini, saya bersedia menerima sanksi apapun dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, Juni 2008

Yang membuat pernyataan

(5)

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya lah penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul Hubungan Dukungan Sosial dengan Kesepian Pada Janda yang

Ditinggal Mati Pasangannya tepat pada waktunya. Penulis juga mengucapkan

terima kasih kepada dosen pembimbing skripsi yaitu Ibu Rodiatul Hasanah, M.Si yang telah banyak memberikan arahan, waktu dan bimbingan. Penulis juga tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada Mamaku & saudara-saudaraku yang selalu memberi semangat, B’Jo yang selalu mengingatkan dan menyemangati penulis dalam menyusun proposal ini, tim kesepian (Astry, Sondang, Enna), secret_8 mire (kalianlah yang terbaik..he…he..), teman-teman sekos yang selalu memberi dukungan dan keceriaan setiap harinya serta semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan proposal ini.

Penulis menyadari banyak kekurangan dalam penelitian ini oleh karena itu penulis mengharapkan masukan dari semua pembaca dan semua pihak yang tertarik dengan penelitian ini demi perbaikan penelitian berikutnya. Akhir kata penulis ucapkan semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi semua pembaca.

Terima kasih.

Medan, Juni 2008

(6)

Kata Pengantar ... i

Daftar Isi ... ii

DaftarTabel...iv

BAB I. PENDAHULUAN I. A. Latar Belakang Masalah. . ... 1

I. B. Tujuan Penelitian. ... 9

I.C. Manfaat penelitian. ... 9

I.D. Sistematika Penulisan. ... 11

BAB II. LANDASAN TEORI II. A. Dukungan Sosial. ... 12

II. A. 1. Pengertian Kesepian. ... 12

II. A. 2. Sumber Dukungan Sosial ... 12

II. A. 3. Bentuk-Bentuk Dukungan Sosial. ... 13

II. A. 4. Pengaruh Dukungan Sosial. ... 15

II. B. Kesepian. ... 16

II. B. 1. Pengertian Kesepian. ... 16

II. B. 2. Tipe-tipe Kesepian. ... 17

II. B. 3. Penyebab Kesepian. ... 18

II. B. 4. Faktor yang Mempengaruhi Kesepian. ... 23

II. B. 5. Dinamika Perasaan Orang yang Kesepian. ... 26

(7)

II. C. 1. Definisi Janda. ... 31

II. C. 2. Masalah yang Dihadapi Janda yang Ditinggal Mati Pasangannya. ... 32

II. D. Hubungan Dukungan Sosial dengan Kesepian Pada Janda yang Ditinggal Mati Pasangannya. ... 34

BAB III. METODE PENELITIAN III. A. Identifikasi Variabel Penelitian. ... 35

III. B. Definisi Operasional Variabel ... 36

III. B. 1. Dukungan Sosial. ... 38

III. B. 2. Kesepian ... 39

III. C. Populasi dan Metode Pengambilan Sampel . ... 38

III. C. 1. Populasi Penelitian. ... 38

III. C. 2. Metode Pengambilan Sampel. ... 39

III. C. 3. Jumlah Sampel Penelitian... 39

III. D. Alat Ukur Penelitian. ... 39

III. D. 1. Skala Dukungan Sosial... 38

III. D. 2. Skala Kesepian. ... 39

III. D. 3. Uji Coba Alat Ukur. ... 39

a. Validitas Alat Ukur. ... 47

b. Reliabilitas Alat Ukur ... 47

(8)

III. E. Prosedur Pelaksanaan Penelitian. ... 53

III. E. 1. Persiapan Penelitian. ... 53

III. E. 2. Pelaksanaan Penelitian ... 54

III. E. 3. Pengolahan Data ... 54

III. F. Metode Analisa Data. ... 54

BAB IV. ANALISA DAN INTERPRETASI DATA IV. A. Gambaran Subjek Penelitian ... 56

IV. A. 1. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Umur ... 56

IV. A. 2. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Pendidikan Terakhir ... 57

IV. A. 3. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Lamanya Menjanda ... 57

IV. A. 4. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jumlah Pendapatan ... 58

IV. B. Hasil Penelitian ... 59

IV. B. 1. Hasil Uji Asumsi Penelitian ... 59

a. Uji Normalitas Sebaran ... 59

b. Uji Linearitas Hubungan ... 60

IV. B. 2. Hasil Utama Penelitian ... 61

(9)

b. Kategorisasi Data Penelitian ... 64

c. Gambaran Bentuk-Bentuk Perasan Ketika Kesepian ... 65

d. Gambaran Kesepian Berdasarkan Umur ... 65

e. Gambaran Kesepian Berdasarkan Pendidikan Terakhir ... 66

f. Gambaran Kesepian Berdasarkan Lamanya Menjanda ... 67

g. Gambaran Kesepian Berdasarkan Jumlah Pendapatan ... 68

h. Gambaran Tipe Kesepian ... 68

i. Gambaran Bentuk Dukungan Sosial ... 69

j. Gambaran Kesepian Berdasarkan Tingkat Dukungan Sosial yang Diterima ... 69

k. Gambaran Dukungan Sosial Berdasarkan Tingkat Kesepian ... 70

l. Perbedaan Kesepian Ditinjau dari faktor yang Mempengaruhi ... 71

m. Gambaran Hubungan Dukungan Sosial dengan Kesepian Pada Janda yang Ditinggal Mati Pasangannya ... 72

BAB V. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN ... 74

V. A. Kesimpulan ... 74

V. B. Diskusi ... 76

V. C. Saran ... 78

(10)

Tabel 1. Penjelasan Tentang Kesepian... 18

Tabel 2. Perasaan Ketika Kesepian. ... 23

Tabel 3. Kategorisasi Dukungan Sosial. ... 41

Tabel 4. Kategorisasi Kesepian ... 43

Tabel 5. Blue Print Skala Dukungan sosial ... 45

Tabel 6. Distribusi Aitem-aitem Skala Dukungan Sosial Sebelum Uji Coba ... 45

Tabel 7. Blue Print Skala Kesepian... 46

Tabel 8. Distribusi Aitem-aitem Skala Kesepian Sebelum Uji Coba. ... 47

Tabel 9. Distribusi Aitem Skala Dukungan Sosial Setelah Uji Coba. ... 49

Tabel 10. Perubahan Nomor Aitem Skala Dukungan Sosial. ... 50

Tabel 11. Ditribusi Aitem Skala Dukungan Sosial Untuk Penelitian.. ... 51

Tabel 12. Distribusi Aitem Skala Kesepian Setelah Uji Coba.. ... 51

Tabel 13. Perubahan Nomor Aitem Skala Kesepian.. ... 52

Tabel 14. Ditribusi Aitem Skala Kesepian Untuk Penelitian.. ... 53

Tabel 15. Penyebaran Subjek Penelitian Berdasarkan umur.. ... 56

Tabel 16. Penyebaran Subjek Penelitian Berdasarkan Pendidikan Terakhir. ... 57

Tabel 17. Penyebaran Subjek Penelitian Berdasarkan Lamanya Menjanda.. ... 58

Tabel 18. Penyebaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jumlah Pendapatan. ... 58

Tabel 19. Hasil Uji Normalitas Sebaran Variabel Dukungan Sosial dan Kesepian.. ... 60

(11)

Tabel 23. Kategorisasi Skor Dukungan Sosial dan Skor Kesepian.. ... 64

Tabel 24. Gambaran Bentuk Perasaan Ketika Kesepian.. ... 65

Tabel 25.Gambaran Skor Kesepian Berdasarkan Umur ... 66

Tabel 26. Gambaran Skor Kesepian Berdasarkan Pendidikan Terakhir.. ... 66

Tabel 27. Gambaran Skor Kesepian Berdasarkan Lamanya Menjanda. ... 67

Tabel 28. Gambaran Skor Kesepian Berdasarkan Jumlah Pendapatan... 68

Tabel 29. Gambaran Skor Kesepian Berdasarkan Tipe Kesepian.. ... 68

Tabel 30.Gambaran Skor Bentuk-Bentuk Dukungan Sosial... 69

Tabel 31. Gambaran Skor Kesepian Berdasarkan Tingkat Dukungan Sosial yang Diterima. ... 70

Tabel 32. Gambaran Skor Dukungan Sosial Berdasarkan Tingkat Kesepian. .... 70

Tabel 33. Perbedaan Kesepian Ditinjau dari Variabel Kontrol. ... 71

(12)
(13)

Juni 2008 Rospita Afriyanti : 031301089

Hubungan Antara Dukungan Sosial dengan Kesepian pada Janda yang Ditinggal Mati Pasangannya

Viii + 83 halaman, jumlah tabel 34 Bibliografi 42 (1983-2007)

Penelitian ini merupakan penelitian korelasional yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara dukungan sosial dengan kesepian pada janda yang ditinggal mati pasangannya. Dukungan sosial adalah kenyamanan fisik dan psikologis, perhatian, penghargaan, maupun bantuan dalam bentuk yang lainnya yang diterima individu dari orang lain ataupun dari kelompok, sedangkan kesepian adalah keadaan mental dan emosional yang terutama dicirikan dengan adanya perasaan kekurangan dan ketidakpuasan karena tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan seseorang dan terjadi kesenjangan antara hubungan sosial yang diinginkan dengan hubungan sosial yang dimiliki individu.

Subjek penelitian ini berjumlah 85 orang janda yang ditinggal mati pasangannya.Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah incidental

sampling. Data yang diperoleh dalam penelitian ini diolah dengan analisa korelasi

pearson product moment. Alat ukur yang digunakan adalah skala dukungan sosial yang disusun berdasarkan lima bentuk dukungan sosial yang dikemukakan oleh Sarafino (2002) dan skala kesepian yang disusun peneliti berdasarkan perasaan kesepian yang dikemukakan Rubenstein, Shaver, dan Peplau (dalam Brehm, 2002).

Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan negatif yang signifikan antara dukungan sosial dan kesepian pada janda yang ditinggal mati pasangannya dengan nilai korelasi rxy -0.643 dan p=0.000 yang artinya semakin tinggi dukungan sosial maka semakin rendah kesepian pada janda yang ditinggal mati pasangannya. Sebaliknya, semakin rendah dukungan sosial maka semakin tinggi kesepian pada janda yang ditinggal mati pasangannya. Kontribusi dukungan sosial terhadap kesepian pada janda yang ditinggal mati pasangannya adalah sebesar 41.3%.

Hasil tambahan penelitian menunjukkan perasaan kesepian yang paling tinggi dirasakan sampai yang paling rendah adalah menyalahkan diri, impatient

boredom,depresi, putus asa. Bentuk dukungan sosial yang paling tinggi sampai

paling rendah adalah dukungan penghargaan, dukungan emosional, dukungan kelompok, dukungan informasional, dukungan instrumen. Hasil tambahan penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan kesepian ditinjau dari umur, lamanya menjanda, pendidikan terakhir, dan jumlah penghasilan.

(14)

BAB I PENDAHULUAN

I. A. Latar Belakang Masalah

Pernikahan merupakan peristiwa dimana sepasang mempelai atau sepasang

calon suami-istri dipertemukan secara formal di depan penghulu atau kepala agama

tertentu, para saksi dan sejumlah hadirin untuk kemudian disahkan secara resmi sebagai

pasangan suami-istri dengan upacara atau ritus-ritus tertentu (Kartono, 1992).

Pernikahan merupakan salah satu kriteria keanggotaan peran-peran spesifik bagi

suami-istri sebagai bagian dalam keluarga (Burges & Locke dalam Dyer, 1983). Dalam

keluarga, seorang perempuan sebagai seorang istri memiliki peran sebagai pengasuh

anak dan mengurusi urusan-urusan rumah tangga, yang sering kali mengurangi

kesempatan mereka untuk bekerja di luar rumah, sedangkan seorang laki-laki sebagai

suami berkonsentrasi pada peran maskulinnya sebagai pencari nafkah bagi keluarganya

(Covan dkk., 1997).

Setelah menikah, orang-orang yang penting bagi seorang suami ataupun istri

adalah pasangannya, setelah itu anak, teman dan saudara (Johnson & Catalono dalam

Lemme, 1995). Seorang suami ataupun istri ini dapat kehilangan orang yang terpenting

dalam hidupnya ini (pasangannya) pada awal pernikahan, pertengahan pernikahan,

maupun ketika usia mereka telah tua. Salah satu hal yang dapat menyebabkan seorang

suami atau istri kehilangan pasangannya adalah kematian. Menurut Dayakisni (2003),

diantara orang-orang yang tidak menikah (yang belum menikah, ditinggal pasangan

karena bercerai dan juga karena kematian), yang paling kesepian adalah seseorang yang

(15)

dan Rahe (dalam Calhoun & Acocella, 1990) terlihat bahwa tingkat kesulitan

penyesuaian diri yang paling besar adalah penyesuaian diri terhadap kematian suami

atau istri. Hal ini berarti kehilangan pasangan karena kematian merupakan hal yang

paling menyebabkan seseorang mengalami stres. Kematian suami menyebabkan seorang

istri menjadi janda sedangkan kematian istri menyebabkan seorang suami menjadi duda.

Kehilangan pasangan, terutama karena kematian, lebih sering dialami oleh

perempuan. Hal ini dapat dilihat dari data Dinas Kependudukan Medan pada tahun 2005

dimana jumlah janda karena kematian suaminya sebesar 6,17%; sedangkan jumlah duda

karena kematian istrinya sebanyak 1,01%. Ada beberapa hal yang menyebabkan jumlah

janda lebih banyak dibanding jumlah duda, yaitu karena perempuan hidup lebih lama

daripada laki-laki, perempuan umumnya menikahi laki-laki yang lebih tua dari mereka

sendiri, adanya norma-norma sosial yang kuat yang menentang perempuan menikahi

laki-laki yang lebih muda, adanya norma-norma yang menentang perempuan yang telah

menjanda menikah lagi (Ollenburger & Moore, 1996)

Setelah pasangannya meninggal, seorang janda akan menghadapi beberapa

dimensi masalah. Bagi beberapa perempuan, penyesuaian mereka terhadap kehilangan

suami meliputi perubahan terhadap konsep diri mereka. Peran penting perempuan

sebagai seorang istri tidak akan ada lagi dalam kehidupan mereka setelah suaminya

meninggal dunia. Perempuan yang telah mendefinisikan dirinya sebagai seorang istri,

setelah kematian suaminya mengalami kesulitan untuk mendefinisikan dirinya sebagai

seorang janda. Oleh karena itu, bagi seorang perempuan, meninggalnya suami berarti

kehilangan orang yang mendukung definisi diri yang dimilikinya (Nock, 1987).

Secara finansial kematian pasangan selalu menyebabkan kesulitan ekonomi

(16)

ada biaya yang harus dikeluarkan misalnya untuk biaya dokter dan pembuatan makam

(Kephart & Jedlicka, 1991). Bagi seorang janda, kesulitan ekonomi, dalam hal ini

pendapatan dan keuangan yang terbatas, merupakan permasalahan utama yang mereka

hadapi (Glasser Navarne, 1999). Ketidakhadiran suami sebagai kepala keluarga dan

pencari nafkah bagi keluarga menyebabkan seorang janda harus mampu mengambil

keputusan dan bertanggung jawab sendiri, termasuk mencari nafkah bagi dirinya dan

juga anak-anaknya (Suardiman, 2001).

Dari segi fisik, kematian pasangan menyebabkan peningkatan konsultasi

medis, kasus rawat inap di rumah sakit, meningkatnya perilaku yang merusak

kesehatan, seperti merokok dan minum-minum, dan meningkatnya resiko kematian

pasangan yang ditinggalkan (Santrock, 1995). Rosenbloom & Whitington (dalam

Scannell-Desch, 2003) menemukan bahwa gizi buruk berhubungan dengan perubahan

kebiasaan makan pada janda. Selain kehilangan teman saat makan, dia juga tidak

merasakan lagi suasana yang menyenangkan saat makan bersama suami, dia menjadi

tidak peduli terhadap pemilihan makanan dan kualitas nutrisi. Mereka juga dilaporkan

tidak makan sebanyak tiga kali sehari dan makanan mereka adalah makanan yang tinggi

kalori dan rendah lemak.

Kehidupan sosial mereka juga mengalami perubahan. Keluarga dan

teman-teman biasanya selalu berada di dekat janda pada masa-masa awal setelah kematian,

namun setelah itu mereka akan kembali ke kehidupan mereka masing-masing (Brubaker

dalam Papalia, Old & Feldman, 2001). Masalah yang sering muncul adalah tentang

hubungannya dengan teman dan kenalannya. Seorang janda sering tidak diikutsertakan

dalam suatu kegiatan sosial oleh pasangan menikah lain karena dia dianggap sebagai

(17)

bahwa mereka sering merasa aneh dan kurang nyaman ketika berada dalam situasi

dimana dia harus bersama-sama dengan orang yang berpasangan, yang

menyebabkannya semakin terpisah dari lingkungan sosialnya (Matlin, 2004).

Perempuan yang menjanda mungkin akan merasa tidak tertarik ataupun tidak nyaman

dalam situasi sosial dimana dulunya dia diterima. Hubungan dengan teman mungkin

akan rusak atau mengalami perubahan, terutama jika hubungan itu ada karena ada

kaitannya dengan pasangan yang telah meninggal (Belsky, 1990), misalnya seorang

janda mungkin tidak akan mengikuti lagi perkumpulan istri-istri di tempat suaminya

bekerja dahulu. Dia harus membangun hubungan sosial yang baru dan mencari teman

baru (Barrow, 1996).

Secara emosional, janda yang telah kehilangan suaminya juga kehilangan

dukungan dan pelayanan dari orang yang dekat secara intim dengannya (Barrow, 1996).

Selain itu, ada beberapa perempuan yang seolah-olah merasakan simptom-simptom

terakhir dari penyakit suaminya; ada yang mengenakan pakaian suaminya agar merasa

nyaman dan dekat dengan suaminya; dan beberapa lainnya tetap memasak dan mengatur

meja untuk suaminya walaupun suaminya itu telah meninggal (Heinemann dalam Nock,

1987). Beberapa janda mengatakan mereka tetap melihat dan mendengar suaminya

selama setahun. Mereka merasa marah pada suaminya karena telah meninggalkannya,

dan mencari-cari atau mengharapkan nasehat dari suaminya selama beberapa waktu

(Caine dalam Nock, 1987).

Kehilangan pasangan serta banyaknya masalah yang muncul menyebabkan

masa menjanda ini menjadi masa krisis. Seperti halnya masa krisis lainnya, dalam

menjalani masa menjanda ini seorang janda sangat membutuhkan dukungan sosial

(18)

bantuan dalam bentuk lainnya yang diterimanya individu dari orang lain ataupun dari

kelompok (Sarafino, 2002). Dukungan sosial yang dibutuhkan seseorang dapat berasal

dari keluarga, teman, perkumpulan di tempat kerja, dan dari anggota kegiatan-kegiatan

yang diikutinya (Lopata dalam Craig, 1996). Ada lima bentuk dukungan sosial yang

dapat diterima oleh individu, yaitu dukungan emosional, penghargaan, instrumental,

informasi, dan dukungan kelompok (Sarafino, 2002). Kelima bentuk dukungan sosial

inilah yang nanti digunakan untuk mengukur dukungan sosial yang diterima individu.

Hal yang paling penting dari suatu dukungan sosial adalah individu memiliki teman

berbicara, memiliki seseorang untuk memberikan nasehat, memiliki seseorang untuk

menghibur dan membangkitkan semangat.

Kematian pasangan yang dialami seorang janda menyebabkannya harus

mengatasi masalah seorang diri. Keadaan dimana seharusnya seorang perempuan dapat

berbagi beban dengan suami namun sekarang harus menghadapi semua masalah seorang

diri merupakan masalah terberat bagi seorang janda. Jika seorang perempuan merasa

terbebani dan memikirkan suatu permasalahan, dia sangat memerlukan orang lain untuk

diajak berbicara dan biasanya suamilah yang menjadi teman berbagi dan

bertukar-pikiran, namun suaminya sudah meninggal. Ketiadaan suami akan menyebabkannya

merasa tidak berdaya (An-Nuaimi, 2005). Karena suaminya telah meninggal, seorang

janda membutuhkan seseorang untuk berbagi, namun janda juga menghadapi

pemasalahan dalam kehidupan sosialnya. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya

janda yang telah ditinggal mati pasangannya akan menghadapi masalah sosial. Keluarga

dan teman-teman biasanya selalu berada di dekat janda pada masa-masa awal setelah

kematian, namun setelah itu mereka akan menjauh darinya dan kembali ke kehidupan

(19)

dalam Papalia, Old & Feldman, 2001). Dalam hubungannya dengan teman dan

kenalannya, seorang janda sering tidak diikutsertakan dalam suatu kegiatan sosial oleh

pasangan menikah lain karena dia dianggap sebagai ancaman oleh para istri (Freeman,

1984). Hubungan dengan teman mungkin akan rusak, terutama jika hubungan itu ada

karena ada kaitannya dengan pasangan yang telah meninggal (Belsky, 1990), misalnya

seorang janda mungkin tidak akan mengikuti lagi perkumpulan istri-istri di tempat

suaminya bekerja dahulu. Perempuan yang menjanda juga mengatakan bahwa mereka

sering merasa aneh dan kurang nyaman ketika berada dalam situasi dimana dia harus

bersama-sama dengan orang yang berpasangan, yang menyebabkannya semakin

terpisah dari lingkungan sosialnya (Matlin, 2004).

Orang-orang dengan dukungan sosial yang baik berkemungkinan kecil untuk

bereaksi secara negatif terhadap masalah-masalah hidup dibandingkan dengan

orang-orang yang mendapat dukungan sosial sangat sedikit (Lahey, 2007). Dalgard (dalam

Plotnik, 2005) mengatakan bahwa sistem dukungan sosial yang baik, misalnya memiliki

satu atau lebih teman dekat akan mengurangi efek dari kejadian yang menyebabkan

seseorang stres dan meningkatkan kesehatan mental individu. Jennison (dalam Plotnik,

2005) mengatakan bahwa kehadiran keluarga dan teman dapat meningkatkan

kepercayaan diri individu ketika menghadapi stres sehingga dia merasa mampu untuk

mengatasi masalahnya. Orang-orang yang kehilangan pasangannya berkemungkinan

besar untuk melakukan perilaku tidak sehat jika dia mendapatkan sedikit dukungan.

Menurut DiMatteo (1991), janda yang mendapatkan banyak dukungan akan merasa

bahwa dia memiliki banyak orang yang dapat dijadikannya teman untuk berbagi

sedangkan janda yang mendapatkan sedikit dukungan sosial akan merasa tidak berdaya

(20)

sehingga dia akan merasa tidak puas atas hubungan yang dimilikinya. Baron & Byrne

(2000) mengatakan ketika seseorang merasa kekurangan dan tidak puas atas hubungan

yang dimilikinya, dia akan kesepian. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Dykstra

(1995) dapat dilihat bahwa dukungan sosial merupakan faktor penting yang menentukan

kesepian yang dialami oleh seseorang yang hidup tanpa pasangan.

Kesepian merupakan suatu pengalaman subyektif dan tergantung pada

interpretasi individu terhadap hubungan sosial yang dimilikinya. Menurut Bruno (dalam

Dayakisni, 2003) kesepian dapat berarti suatu keadaan mental dan emosional yang

terutama dicirikan oleh adanya perasaan-perasaan terasing dan kurangnya hubungan

yang bermakna dengan orang lain. Kesepian timbul ketika seseorang memiliki

hubungan interpersonal yang lebih sedikit dibanding yang diinginkannya atau ketika

hubungan interpersonalnya tidak memuaskan keinginannya (Weiten & Llyod, 2006).

Orang yang merasa kesepian akan merasa ditiadakan dari kelompok, tidak

dicintai oleh orang-orang yang ada disekitarnya, tidak dapat berbagi tentang

masalah-masalah pribadi, ataupun berbeda serta terasing dari orang-orang di sekelilingnya (Beck

& Young; Davis & Fanzoi dalam Myers, 1996). Selain itu, individu yang mengalami

kesepian memiliki pandangan negatif terhadap depresi yang mereka rasakan,

menyalahkan diri sendiri atas hubungan sosial yang buruk, dan berbagai hal yang berada

di luar kendali (Anderson & Snoggrass, dalam Myers, 1999). Barg et al. (2006)

menemukan bahwa orang-orang yang mengatakan dirinya kesepian umumnya lebih

tertekan, ketakutan dan putus asa serta memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk

merasakan kesedihan dan sulit untuk bersenang-senang dibandingkan dengan orang

yang tidak kesepian. Kesepian yang terjadi akibat berpisah dengan orang yang kita

(21)

rasa geram yang membuat seseorang marah pada lingkungan dan juga pada dirinya

sendiri (Sears dkk., 1999). Menurut Rubeinstein, Shaver & Peplau (1979 dalam Brehm,

2002), ada 4 jenis perasaan yang dirasakan ketika seseorang kesepian yaitu putus asa,

depresi, impatient boredom, meyalahkan diri. Keempat perasaan inilah yang akan

digunakan untuk mengukur kesepian pada janda.

Menurut Brehm (2002), kesepian yang dialami oleh janda disebabkan oleh

keinginan-keinginan seperti keinginan untuk bersama dengan suaminya, keinginan

untuk dicintai oleh seseorang, keinginan untuk berbagi pengalaman sehari-hari dengan

seseorang, membutuhkan seseorang untuk berbagi beban dan pekerjaan, keinginan

untuk mencintai dan merawat seseorang, kerinduan terhadap masa lalu ketika bersama

suami, merasa kehilangan status, ketakutan akan ketidakmampuannya untuk

membangun hubungan pertemanan yang baru. Perasaan-perasaan ini akan menyebabkan

janda mengalami kesepian (Brehm, 2002).

Perasaan kesepian yang dirasakan laki-laki dan perempuan relatif sama,

namun perempuan lebih mengekspresikan dirinya sebagai orang yang kesepian

dibanding laki-laki. Hal ini disebabkan karena laki-laki dianggap kurang pantas untuk

mengekspresikan emosinya sehingga mereka tidak mau mengakui bahwa mereka

kesepian (Deaux, Dane, & Wrightsman, 1993). Selain itu, setelah istrinya meninggal,

duda cenderung untuk menikah lagi, sedangkan janda cenderung untuk tidak menikah

lagi. Janda cenderung merasakan kesepian dalam waktu yang lebih lama daripada duda

karena perempuan cenderung untuk tidak menikah lagi setelah pasangannya meninggal

(Lemme, 1995). Berdasarkan hasil penelitian Lopata, Heinnemann & Baum (dalam

Craig, 1996) ditemukan bahwa janda yang paling kesepian adalah janda yang telah

(22)

Siegelman & Rider (2003) bahwa beberapa bulan setelah kematian pasangan, pasangan

yang ditinggalkan akan mengalami permasalahan psikologis yang serius, namun setelah

itu akan terjadi proses adaptasi sehingga kesedihan, penderitaan, dan masalah psikologis

lainnya yang timbul setelah ditinggalkan pasangan akan berkurang, begitu juga kesepian

yang dialami oleh janda.

Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa setelah pasangannya meninggal,

seorang janda akan menghadapi berbagai masalah yang menyebabkannya membutuhkan

dukungan dari orang-orang di sekitarnya. Dukungan sosial yang diterima oleh janda

mungkin dapat mengurangi kesepian yang dialaminya. Berdasarkan penjelasan diatas,

maka penulis tertarik untuk meneliti hubungan dukungan sosial dengan kesepian pada

janda yang ditinggal mati pasangannya.

I. B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana hubungan dukungan

sosial dengan kesepian pada janda yang ditinggal mati pasangannya.

I.C. Manfaat penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan

praktis.

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan memiliki manfaat bagi kepentingan ilmu

pengetahuan yaitu sebagai media pengembangan teori khususnya Psikologi Klinis

dan Psikologi Sosial, terutama yang berkaitan dengan dukungan sosial dan

(23)

2. Manfaat Praktis

 Dari hasil penelitian ini penulis berharap pembaca, terutama janda yang

ditinggal mati pasangannya, dapat mengetahui gambaran kesepian pada

janda yang ditinggal mati pasangannya dan faktor-faktor yang

mempengaruhinya sehingga dapat memikirkan langkah yang dapat dilakukan

untuk mengurangi kesepian yang dialaminya.

 Memberi masukan bagi janda yang ditinggal mati pasangannya tentang

pentingnya dukungan sosial untuk kesepian yang dialaminya.

 Memberi masukan mengenai kesepian yang dialami oleh janda yang

ditinggal mati pasangannya bagi keluarga dan masyarakat yang ada di sekitar

janda yang ditinggal mati pasangannya, sehingga mereka mampu

memberikan dukungan yang dapat mengurangi kesepian yang dialami oleh

janda yang ditinggal mati pasangannya.

 Memberi masukan bagi perempuan yang masih memiliki suami mengenai

gambaran kesepian yang dialami oleh janda yang ditinggal mati

pasangannya, sehingga sudah memiliki gambaran masalah yang akan

dihadapinya ketika suaminya meninggal.

 Sebagai masukan kepada konselor pernikahan dalam menangani kesepian

(24)

I.D. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan dari penelitian ini adalah:

Bab I : Pendahuluan

Bab ini menjelaskan tetang latar belakang masalah penelitian, tujuan

penelitian, manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.

Bab II : Landasan Teori

Bab ini memuat pembahasan secara teoritis tentang dukungan sosial,

kesepian, janda, serta hubungan antara stres dengan kesepian pada janda

yang ditinggal mati pasangannya.

Bab III : Metode Penelitian

Bab ini terdiri atas identifikasi variabel penelitian, defenisi operasional

penelitian, sampel dan populasi, metode pengumpulan data, dan metode

analisa data.

Bab IV : Analisa dan Interpretasi Data Penelitian

Bab ini memuat tentang pengolahan data penelitian, gambaran umum subyek

penelitian, hasil penelitian, dan juga membahas data-data penelitian ditinjau

dari teori yang relevan.

Bab V : Kesimpulan, Diskusi dan Saran

Bab ini berisi tentang kesimpulan yang diperoleh dari penelitian, diskusi hasil

penelitian, serta saran-saran yang diperlukan, baik untuk penyempurnaan

(25)

BAB II

LANDASAN TEORI

II. A. Dukungan Sosial

II. A. 1. Pengertian Dukungan Sosial

Dalam menghadapi situasi yang penuh tekanan, seseorang membutuhkan

dukungan sosial. Ada beberapa tokoh yang memberikan definisi dukungan sosial.

Menurut Dimatteo (1991), dukungan sosial adalah dukungan atau bantuan yang berasal

dari orang lain seperti teman, keluarga, tetangga, rekan kerja dan orang lain.

Sarason, Sarason & Pierce (dalam Baron & Byrne, 2000) mendefinisikan

dukungan sosial sebagai kenyamanan fisik dan psikologis yang diberikan oleh

teman-teman dan anggota keluarga.

Dukungan sosial adalah pertukaran bantuan antara dua individu yang berperan

sebagai pemberi dan penerima (Shumaker & Browne dalam Duffy & Wong, 2003).

Definisi yang mirip datang dari Taylor, Peplau, & Sears (2000). Menurut mereka,

dukungan sosial adalah pertukaran interpersonal dimana seorang individu memberikan

bantuan pada individu lain.

Dukungan sosial adalah kenyamanan, perhatian, penghargaan, maupun bantuan

dalam bentuk lainnya yang diterimanya individu dari orang lain ataupun dari kelompok

(Sarafino, 2002).

Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan dukungan sosial adalah

kenyamanan fisik dan psikologis, perhatian, penghargaan, maupun bantuan dalam

(26)

II. A. 2. Sumber Dukungan Sosial

Dukungan sosial yang kita terima dapat bersumber dari berbagai pihak. Kahn &

Antonoucci (dalam Orford, 1992) membagi sumber-sumber dukungan sosial menjadi 3

kategori, yaitu:

a. Sumber dukungan sosial yang berasal dari orang-orang yang selalu ada sepanjang

hidupnya, yang selalu bersama dengannya dan mendukungnya. Misalnya:

keluarga dekat, pasangan (suami atau istri), atau teman dekat.

b. Sumber dukungan sosial yang berasal dari individu lain yang sedikit berperan

dalam hidupnya dan cenderung mengalami perubahan sesuai dengan waktu.

Sumber dukungan ini meliputi teman kerja, sanak keluarga, dan teman

sepergaulan.

c. Sumber dukungan sosial yang berasal dari individu lain yang sangat jarang

memberi dukungan dan memiliki peran yang sangat cepat berubah. Meliputi

dokter atau tenaga ahli atau profesional, keluarga jauh.

Dukungan sosial yang diterima oleh janda dapat berasal dari siapa saja, namun

yang lebih sering memberi dukungan adalah keluarga dan temannya yang juga telah

menjanda (Lemme, 1995).

II. A. 3. Bentuk-Bentuk Dukungan Sosial

Menurut Sarafino (2002), ada lima bentuk dukungan sosial, yaitu:

a. Dukungan emosional

Terdiri dari ekspresi seperti perhatian, empati, dan turut prihatin kepada

(27)

tentram kembali, merasa dimiliki dan dicintai ketika dia mengalami stres,

memberi bantuan dalam bentuk semangat, kehangatan personal, dan cinta

b. Dukungan penghargaan

Dukungan ini ada ketika seseorang memberikan penghargaan positif kepada orang

yang sedang stres, dorongan atau persetujuan terhadap ide ataupun perasaan

individu, ataupun melakukan perbandingan positif antara individu dengan orang

lain. Dukungan ini dapat menyebabkan individu yang menerima dukungan

membangun rasa menghargai dirinya, percaya diri, dan merasa bernilai. Dukungan

jenis ini akan sangat berguna ketika individu mengalami stres karena tuntutan

tugas yang lebih besar daripada kemampuan yang dimilikinya.

c. Dukungan instrumental

Merupakan dukungan yang paling sederhana untuk didefinisikan, yaitu dukungan

yang berupa bantuan secara langsung dan nyata seperti memberi atau

meminjamkan uang atau membantu meringankan tugas orang yang sedang stres.

d. Dukungan informasi

Orang-orang yang berada di sekitar individu akan memberikan dukungan

informasi dengan cara menyarankan beberapa pilihan tindakan yang dapat

dilakukan individu dalam mengatasi masalah yang membuatnya stres (DiMatteo,

1991). Terdiri dari nasehat, arahan, saran ataupun penilaian tentang bagaiman

individu melakukan sesuatu. Misalnya individu mendapatkan informasi dari

dokter tentang bagaimana mencegah penyakitnya kambuh lagi.

e. Dukungan kelompok

Merupakan dukungan yang dapat menyebabkan individu merasa bahwa dirinya

(28)

berbagi. Misalnya menemani orang yang sedang stres ketika beristirahat atau

berekreasi.

II. A. 4. Pengaruh Dukungan Sosial

Orford (1992) dan Sarafino (2002) mengatakan bahwa untuk menjelaskan

bagaimana dukungan sosial mempengaruhi kondisi fisik dan psikologis individu, ada

dua model yang digunakan yaitu:

a. Buffering Hypothesis

Sarafino (2002) mengatakan bahwa melalui model buffering hypothesis ini,

dukungan sosial mempengaruhi kondisi fisik dan psikologis individu dengan

melindunginya dari efek negatif yang timbul dari tekanan-tekanan yang dialaminya

dan pada kondisi yang tekanannya lemah atau kecil, dukungan sosial tidak

bermanfaat. Orford (1992) juga mengatakan bahwa melalui model ini, dukungan

sosial bekerja dengan tujuan untuk memperkecil pengaruh dari tekanan-tekanan atau

stres yang dialami individu, dengan kata lain jika tidak ada tekanan atau stres, maka

dukungan sosial tidak berguna.

b. Main Effect Hypothesis / Direct Effect Hypothesis

Menurut Banks, Ullah dan Warr (dalam Orford, 1992), model main effect hypothesis

atau direct effect hypothesis menunjukkan bahwa dukungan sosial dapat

meningkatkan kesehatan fisik dan psikologis individu dengan adanya ataupun tanpa

tekanan, dengan kata lains seseorang yang menerima dukungan sosial dengan atau

tanpa adanya tekanan ataupun stres akan cenderung lebih sehat. Menurut Sarafino

(2002) melalui model ini dukungan sosial memberikan manfaat yang sama baiknya

(29)

Dalam penelitian ini, model kerja yang digunakan untuk menjelaskan pengaruh dari

dukungan sosial adalah model buffering hypothesis.

II. B. Kesepian

II. B. 1. Pengertian Kesepian

Kesepian dapat terjadi pada siapa saja, baik anak-anak, remaja, dewasa dini,

dewasa madya, maupun pada orang yang sudah lanjut usia (Weiten & Lloyd, 2006).

Kesepian merupakan pengalaman subjektif dan tergantung pada setiap interpretasi

individu terhadap suatu kejadian (Perlman & Peplau dalam Dane, Deaux, &

Wrightsman, 1993).

Baron & Byrne (2000) mendefinisikan kesepian sebagai suatu reaksi emosional

dan kognitif karena memiliki hubungan sosial yang lebih sedikit dan kurang

memuaskan dibandingkan yang diinginkannya.

Menurut Bruno (dalam Dayakisni, 2003), kesepian dapat berarti suatu keadaan

mental dan emosional yang terutama dicirikan oleh adanya perasaan-perasaan terasing

dan kurangnya hubungan yang bermakna dengan orang lain.

Definisi yang hampir sama juga diberikan oleh Peplau & Perlman (dalam

Brehm, 2002) yang mengatakan bahwa kesepian itu merupakan perasaan kekurangan

dan ketidakpuasan karena adanya kesenjangan antara hubungan sosial yang kita

inginkan dengan hubungan sosial yang kita miliki. Menurut Taylor, Peplau & Sears

(2000) kekurangan ini dapat bersifat kuantitatif, misalnya seseorang tidak memiliki

seorang temanpun ataupun sedikit teman dibandingkan yang diinginkannya. Atau

(30)

hubungan sosial yang dibinanya hanya bersifat seadanya saja (superficial) atau

dirasakan kurang memuaskan dibandingkan yang diinginkannya.

Jadi dapat disimpulkan bahwa kesepian adalah keadaan mental dan emosional

yang terutama dicirikan dengan adanya perasaan kekurangan dan ketidakpuasan karena

tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan seseorang dan terjadi kesenjangan

antara hubungan sosial yang diinginkan dengan hubungan sosial yang dimiliki individu.

II. B. 2. Tipe-tipe Kesepian

Menurut Weiss (dalam Weiten & Llyod, 2006) ada dua tipe kesepian, yaitu:

a. Kesepian sosial

Dalam kesepian sosial, seseorang merasa tidak puas dan kesepian karena mereka

tidak memiliki hubungan pertemanan ataupun kenalan.

b. Kesepian emosional

Dalam kesepian emosional, seseorang merasa tidak puas dan kesepian karena

mereka tidak memiliki suatu hubungan yang mendalam dengan orang lain, atau

karena tidak adanya partner intim.

Berdasarkan sifat kemenetapannya, Shaver dkk. (dalam Deaux, Dane,

Wrightsman, 1993) membedakan 2 tipe kesepian, yaitu:

a. Trait loneliness, yaitu kesepian yang cenderung menetap (stable pattern), sedikit

berubah, dan biasanya dialami oleh orang-orang yang memiliki self-esteem yang

rendah dan memiliki sedikit interaksi sosial yang berarti.

b. State loneliness, yaitu kesepian yang bersifat temporer (sementara), biasanya

(31)

Berdasarkan durasinya, Young (dalam Weiten & Llyod, 2006) membedakan

kesepian menjadi 3, yaitu:

a. Transient loneliness (kesepian sementara), meliputi kesepian yang singkat dan

jarang terjadi, yang dapat dirasakan oleh banyak orang ketika kehidupan sosial

mereka tidak memiliki alas an yang adekuat.

b. Transitional loneliness (kesepian transisi), terjadi ketika seseorang yang telah

puas pada hubungan sosialnya yang sebelumnya menjadi kesepian setelah

mengalami kerusakan dalam jaringan sosialnya (karena kematian orang yang

dicintai, perceraian, atau pindah ke daerah yang baru).

c. Chronic loneliness (kesepian menahun), merupakan suatu kondisi yang

menyerang orang-orang yang tidak bisa puas terhadap jaringan interpersonalnya

selama bertahun-tahun.

Pada seorang janda yang ditinggal mati pasangannya, yang terjadi adalah

kesepian emosional karena suami yang menjadi partner intimnya tidak ada lagi, dimana

kesepian tersebut bersifat temporer dan berdasarkan durasinya maka kesepian yang

dialaminya adalah kesepian transisi. Sears et al. (1999) mengatakan bahwa kesepian

akibat berpisah dengan orang yang kita cintai dapat membangun suatu reaksi emosional

seperti kesedihan, kekecewaan, bahkan rasa geram yang membuat seseorang marah

pada lingkungan dan juga pada dirinya sendiri.

II. B. 3. Penyebab Kesepian

Ada beberapa hal yang dapat menyebabkan seseorang merasakan kesepian,

yaitu (Brehm, 2002):

(32)

Ada beberapa alasan mengapa kita merasa tidak puas atas hubungan yang

kita miliki. Rubenstein dan Shaver (dalam Brehm, 2002) menyimpulkan beberapa

alasan yang banyak dikemukakan oleh orang-orang yang merasakan kesepian,

yaitu:

1) Tidak terikat: tidak memiliki pasangan (suami atau istri); tidak memiliki

partner seksual; berpisah dengan pasangan (suami atau istri) atau

kekasih.

2) Terasing: merasa berbeda; tidak dimengerti; tidak dibutuhkan; tidak

memiliki teman dekat.

3) Sendirian: pulang ke rumah tanpa ada orang di rumah; selalu sendirian

4) Isolasi yang dipaksakan: dikurung di rumah; dirawat inap di rumah sakit;

tidak adanya transportasi.

5) Dislocation: jauh dari rumah; memulai pekerjaan atau sekolah baru;

terlalu sering pindah; sering bepergian.

Pada janda, kesepian yang dialaminya lebih disebabkan karena kehilangan

pasangannya (suaminya).

b. Terjadi perubahan dalam apa yang diinginkan seseorang dari suatu hubungan

Brehm (2002) menyimpulkan berdasarkan model Perlman dan Peplau

tentang kesepian, kesepian dapat muncul karena perubahan dalam pemikiran kita

tentang apa yang kita inginkan dari suatu hubungan. Pada suatu waktu dalam

kehidupan kita, hubungan sosial kita mungkin sangat memuaskan sehingga kita

tidak merasakan kesepian. Hubungan ini mungkin terus bertahan tetapi terjadi

(33)

Menurut Peplau dkk. (dalam Brehm, 2002) perubahan itu dapat muncul dari

beberapa sumber yang berbeda, yaitu:

1) Perubahan suasana hati

Jenis hubungan yang diinginkan seseorang ketika dia senang akan berbeda

dengan jenis hubungan yang diinginkannya ketika dia sedih.

2) Usia

Seiring dengan bertambahnya usia, perkembangan seseorang membawa

perubahan yang akan mempengaruhi harapan atau keinginannya terhadap

suatu hubungan. Jenis persahabatan yang sangat memuaskan ketika

seseorang berusia 15 tahun dapat menjadi tidak memuaskan ketika dia

berusia 25 tahun.

3) Perubahan situasi

Banyak orang yang tidak menginginkan suatu hubungan emosional yang

dekat ketika sedang mempersiapkan karirnya. Namun, ketika dia telah

merasa puas terhadap karirnya, mereka akan merasakan kebutuhan yang

besar akan suatu hubungan yang memiliki komitmen secara emosional.

Jadi, apapun alasannya, kita akan merubah pemikiran kita tentang apa yang kita

inginkan dari suatu hubungan, dan jika hubungan itu tidak turut berubah, maka

kita akan mengalami kesepian.

c. Self-esteem

McWhirter, Rubenstein dan Shaver (dalam Brehm, 2002) mengatakan bahwa

kesepian berhubungan dengan self-esteem yang rendah. Orang yang mengatakan

bahwa dia kesepian juga sering menganggap dirinya memalukan dan tidak pantas

(34)

merasa kesepian cenderung merasa tidak nyaman dalam situasi sosial yang

beresiko. Untuk mengantisipasi ketidaknyamanan ini mendorong orang yang

kesepian untuk mengurangi kontak sosialnya yang akan menyebabkannya

kesulitan dalam membangun hubungan sosial untuk mengurangi kesepian yang

dialaminya.

d. Perilaku interpersonal

Berbeda dengan orang yang tidak kesepian, orang yang kesepian menilai

orang lain secara negatif (Jones dkk. dalam Brehm, 2002). Mereka sangat tidak

menyukai orang lain (Rubenstein & Shaver dalam Brehm, 2002); tidak percaya

pada orang lain (Vaux dalam Brehm, 2002); menginterpretasikan tindakan dan

perhatian orang lain secara negatif (Hanley-Dunn dkk. dalam Brehm, 2002); dan

memiliki sikap bermusuhan (Check dkk. dalam Brehm, 2002).

Orang yang kesepian juga tidak memiliki kemampuan sosial yang baik

dengan orang lain (Solano & Koester dalam Brehm, 2002). Dalam interaksi sosial,

orang yang kesepian lebih pasif dibanding yang tidak kesepian, ragu-ragu untuk

mengekspresikan opininya di depan publik (Hansson & Jones dalam Brehm,

2002), secara sosial mereka tidak responsif dan tidak sensitif (Brehm, 2002). Dari

hasi penelitian Jones, Hobbs, & Hackenbury dalam Brehm, 2002) dapat dilihat

orang yang kesepian itu mempunyai percakapan yang sedikit dengan orang lain,

sedikit bertanya, lambat dalam merespon percakapan orang lain, kurang tertarik

untuk melanjutkan topik diskusi. Orang yang kesepian juga kelihatan ragu untuk

mengembangkan hubungan intimnya dengan orang lain, dan memiliki

(35)

Brehm, 2002) menambahkan bahwa laki-laki yang kesepian lebih agresif secara

fisik dibandingkan yang tidak kesepian.

Berdasarkan perilaku yang negatif dan janggal secara sosial atau perilaku

yang tidak diinginkan, orang-orang yang kesepian akan mendatangkan reaksi yang

negatif dari orang lain (Brehm, 2002). Teman berbicara orang yang kesepian

merasa bahwa dia tidak mengenal orang itu dengan baik (Solano dkk. dalam

Brehm, 2002) dan menganggap orang yang kesepian itu tidak mampu

bersosialisasi (Spitzberg & Canery dalam Brehm, 2002). Selain itu, orang yang

kesepian terlihat terperangkap dalam tingkat sosial yang menurun terus. Mereka

menolak orang lain, tidak memiliki kemampuan sosial dalan berperilaku dengan

orang lain, dan ditolak orang lain.

e. Atribusi Kausal

Menurut pandangan ini, kesepian akan terjadi lebih sering dan lebih lama

ketika seseorang yakin bahwa karakteristik yang mereka miliki menyebabkan

kesepian yang mereka rasakan (Michela dalam Brehm, 2002). Dari tabel di bawah

akan tampak perbedaan locus of causality terhadap kesepian.

Tabel 1

Penjelasan Tentang Kesepian

Stabilitas Locus of causality

Internal Eksternal

Stabil Saya kesepian karena saya tidak menarik.

Saya tidak pernah pantas untuk dicintai.

Orang-orang yang ada di sini bersikap sangat dingin dan impersonal. Tidak ada dari antara mereka yang dapat berbagi ketertarikan dengan saya. Saya rasa saya harus pindah dari sini.

Tidak stabil

Saya merasa kesepian sekarang, tetapi saya tidak ingin hal ini terus berlanjut. Saya ingin berhenti bekerja dan berjalan keluar serta bertemu dengan orang-orang yang baru.

(36)

Sumber: diadaptasi dari Intimate Relationship (hal. 413) oleh Sharon S. Brehm, New York:McGraw-Hill,Inc.

Jenis atribusi internal yang stabil menggambarkan orang-orang yang depresi-

dialah penyebab kesengsaraan yang dirasakannya dan hal tersebut tidak dapat diubah.

Atribusi ini menghalangi seseorang untuk bertemu dengan orang lain dan menjalin

pertemanan. Dalam atribusi eksternal yang tidak stabil menunjukkan adanya harapan

bahwa keadaannya akan berubah menjadi lebih baik.

II. B. 4. Faktor yang Mempengaruhi Kesepian

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya kesepian, khususnya pada

janda antara lain (dalam Brehm, 2002):

a. Usia

Banyak orang beranggapan bahwa semakin tua seseorang maka akan semakin

merasa kesepian. Tetapi telah banyak yang membuktikan bahwa stereotipe tersebut

keliru . Hasil penelitian oleh Perlman (1990, dalam Taylor, Peplau, & Sears, 2000)

menemukan bahwa kesepian lebih tinggi terjadi diantara remaja dan dewasa muda,

dan lebih rendah terjadi pada orang-orang yang sudah tua. Sejalan dengan

bertambahnya usia kehidupan sosial seseorang, maka mereka semakin stabil,

meningkatnya keterampilan sosial, dan lebih realistik dalam menjalani hubungan

sosial yang mereka inginkan (Brehm, 2002). Janda yang usianya lebih muda

cenderung lebih kesepian dan membutuhkan dukungan sosial yang lebih banyak

(37)

b. Status perkawinan

Secara umum, orang yang tidak menikah cenderung lebih merasa kesepian bila

dibandingkan dengan orang yang menikah (Page & Cole; Perlman & Peplau; Stack,

dalam Brehm, 2002). Ketika orang-orang yang tidak menikah dikelompokkan ke

dalam beberapa sub grup (tidak menikah, bercerai, janda), hasilnya menunjukkan

bahwa sesuatu yang berlawanan dimana orang yang tidak menikahlah yang lebih

rendah mengalami kesepian, tetapi kesepian yang terjadi pada orang yang telah

menikah lebih dikarenakan sebagai reaksi terhadap hilangnya hubungan perkawinan

(marital relationship) daripada ketidakhadiran dari pasangan suami atau istri pada

seseorang dan diantara orang-orang yang tidak menikah (yang belum menikah,

ditinggal pasangan karena bercerai dan juga karena kematian), maka yang paling

kesepian adalah seseorang yang ditinggal mati oleh pasangannya (Dayakisni, 2003).

c. Gender

Menurut Borys dan Perlman (dalam Brehm, 2002), laki-laki lebih sulit menyatakan

kesepian secara tegas bila dibandingkan dengan perempuan. Hal ini disebabkan oleh

streotipe gender yang berlaku dalam masyarakat. Kajian perbedaan kesepian antara

laki-laki dan wanita berinteraksi dengan status perkawinan (Brehm 2002). Diantara

pasangan yang menikah dilaporkan bahwa wanita (istri) lebih sering mengalami

kesepian dengan pria (suami) (Fredman; Peplau & Perlman; Rubenstein & Shaver

dalam Brehm, 2002). Sebaliknya pada kelompok orang yang belum menikah dan

kelompok orang yang bercerai ditemukan bahwa pria lebih sering mengalami

kesepian daripada wanita (Peplau & Perlman; Rubenstein & Shaver dalam Brehm,

2002). Menurut Brehm (2002) penemuan ini menunjukkan bahwa laki-laki

(38)

perempuan cenderung mengalami kesepian ketika ikatan perkawinan mengurangi

akses untuk terlibat pada jaringan yang lebih luas.

d. Karakteristik latar belakang yang lain

Hubungan antara orang tua dan anak dengan struktur keluarga berhubungan

kesepian. Rubenstein dan Shaver (dalam Brehm, 2002) menemukan satu

karakteristik latar belakang seseorang yang kuat sebagai prediktor kesepian.

Individu dengan orang tua yang bercerai akan lebih mengalami kesepian bila

dibandingkan dengan individu dengan orang tua yang tidak bercerai. Semakin muda

usia seseorang ketika orang tuanya bercerai semakin tinggi tingkat kesepian yang

akan orang itu alami saat dewasa. Tetapi, hal ini tidak berlaku pada individu yang

orang tuannya berpisah karena salah satunya meninggal. Individu yang kehilangan

orang tuanya karena meninggal ketika masih kanak-kanak lebih rendah mengalami

kesepian saat dewasa dibandingkan dengan individu yang orang tuanya berpisah

sejak masa kanak-kanak atau remaja. Brehm (2002) juga menyatakan bahwa proses

perceraian meningkatkan potensi anak-anak dengan orang tua yang bercerai untuk

mengalami kesepian saat anak-anak tersebut menjadi dewasa.

e. Faktor sosial ekonomi

Weiss (dalam Brehm, 2002) mengatakan bahwa tingkatan status ekonomi seseorang

akan mempengaruhi tingkat kesepian yang dialaminya. Status sosial ekonomi ini

berhubungan dengan seberapa besar pendapatan yang diperolehnya. Seseorang

dengan pendapatan yang rendah cenderung untuk lebih kesepian dibandingkan

dengan yang pendapatannya lebih tinggi. Semakin tinggi pendapatan seorang janda

maka dia akan memiliki tingkat sosial yang tinggi dan sering berpartisipasi dalam

(39)

kehilangan yang dialaminya. Semakin rendah pendapatan, maka seorang janda akan

merasa kurang percaya diri dan memiliki jaringan sosial yang lebih sedikit

dibanding yang lain (Barrow, 1996).

f. Tingkat pendidikan

Semakin tinggi tingkat pendidikan seorang janda maka dia akan memiliki tingkat

sosial yang tinggi dan sering berpartisipasi dalam berbagai kegiatan sehingga

semakin mudah dia menyesuaikan diri terhadap kehilangan yang dialaminya

(Barrow, 1996).

g. Lamanya menjanda

Kehilangan pasangan hidup merupakan suatu peristiwa yang sangat menyakitkan

dan merusak. Beberapa bulan setelah kematian pasangan, pasangan yang

ditinggalkan akan mengalami permasalahan psikologis yang serius, namun setelah

itu akan terjadi proses adaptasi sehingga kesedihan, penderitaan dan masalah

psikologis lain yang timbul setelah ditinggalkan pasangan akan berkurang

(Siegelman & Rider, 2003). Heinnemann & Baum (dalam Craig, 1996) mengatakan

bahwa janda yang paling kesepian adalah janda yang telah kehilangan suaminya

selama kurang dari 6 tahun.

II. B. 5. Dinamika Perasaan Orang yang Kesepian

Beck & Young, 1978; Davis & Fanzoi, 1986 (dalam Myers, 1996) mengatakan

merasakan kesepian berarti merasa ditiadakan dari kelompok, tidak dicintai oleh

orang-orang yang ada disekitarnya, tidak dapat berbagi tentang masalah-masalah pribadi,

(40)

kesepian sering merasa dirinya tertekan, gelisah, tegang, dan bosan (Saks & Krupat,

1998).

Rubenstein & Shaver (dalam Brehm, 2002) menyatakan bahwa ada 4 bentuk

perasaan yang dialami oleh individu yang kesepian, yaitu:

a. Putus asa

Putus asa merupakan suatu keadaan dimana seseorang merasakan kepanikan dan

ketidakberdayaan dalam dirinya sehingga dapat menimbulkan keinginan untuk

melakukan tindakan yang nekat. Adapun putus asa ini ditandai dengan perasaan

putus asa, tidak berdaya, takut, tidak adanya harapan, merasa dibuang, dan

merasa dikecam.

b. Depresi

Depresi adalah suatu keadaan dimana individu merasakan kesedihan yang

mendalam ataupun sedang dalam keadaan tertekan. Perasaan depresi yang terus

menerus dirasakan individu dapat juga menimbulkan keinginan untuk

mengakhiri hidupnya dengan melakukan bunuh diri (Phares, 1992). Depresi ini

ditandai dengan sedih, tertekan, merasa hampa, terisolasi, menyesali diri,

melankolik, terasing, ingin bersama orang yang spesial.

c. Impatient boredom

Merupakan suatu keadaan dimana individu merasakan kebosanan pada dirinya

sendiri sebagai akibat dari ketidaksabarannya ataupun kejenuhan terhadap

dirinya sendiri. Impatient boredom ini ditandai dengan perasaan tidak sabar,

(41)

d. Menyalahkan diri

Merupakan suatu keadaan dimana individu menyalahkan dirinya sendiri,

mengutuk dan mencela dirinya sendiri atas peristiwa atau kejadian yang dialami

karena dia tidak mampu menyelesaikannya). Menyalahkan diri ini ditandai

dengan merasa tidak menarik, benci pada dirinya, merasa bodoh, malu, tidak

aman.

Dari tabel di bawah ini akan terlihat perasaan-perasaan yang spesifik yang dirasakan

ketika seseorang kesepian.

Tabel 2

Perasaan Ketika Kesepian

Putus asa Depresi Impatient boredom Menyalahkan diri

Putus asa Sedih Tidak sabar Merasa tidak

menarik

Tidak berdaya Tertekan Bosan Benci pada dirinya

Takut Merasa hampa Ingin berada di

tempat lain

Merasa bodoh

Tanpa pengharapan

Terisolasi Gelisah Malu

Terbuang Menyesali diri Marah Tidak aman

Terancam Melankolik Sulit berkonsentrasi Terasing

Ingin bersama orang yang spesial

Sumber: diadaptasi dari Intimate Relationship (hal. 399) oleh Sharon S. Brehm, New York:McGraw-Hill,Inc.

II. B. 6. Karakteristik Orang yang Kesepian

Myers (1999) menyatakan orang yang mengalami kesepian secara kronis akan

kelihatan mengalami kegagalan diri dalam kognisi sosial dan perilaku sosial. Selain itu,

(42)

mereka rasakan, menyalahkan diri sendiri atas hubungan sosial yang buruk, dan

berbagai hal yang berada di luar kendali (Anderson & Snoggrass, dalam Myers, 1999).

Orang yang merasa kesepian selalu kesulitan dalam memperkenalkan diri,

membuat panggilan telepon, dan berpartisipasi dalam kelompok (Rock, Spitzberg, &

Hurt dalam Myers, 1999). Orang yang kesepian cenderung menjadi self-conscious dan

memiliki self-esteem yang rendah (Cheek, Melcior, & Vaux dalam Myers, 1999). Ketika

berbicara dengan orang asing, orang yang kesepian lebih banyak membicarakan dirinya

sendiri dan menaruh sedikit ketertarikan terhadap lawan bicaranya (Jones dalam Myers,

1999). Orang yang kesepian cenderung pemalu, self-conscious, introvert, tidak asertif,

dan memiliki self-esteem yang rendah (Jones dalam Saks & Krupart, 1998).

Dari beberapa pendapat tokoh tentang karakteristik orang kesepian, Brehm

(2002) menyimpulkan ada empat karakteristik orang-orang kesepian, yaitu:

a. Merasa tidak nyaman dalam situasi-situasi sosial

Orang yang kesepian merasa tidak nyaman dalam situasi-situasi sosial (Vaux

dalam Brehm, 2002), kesulitan dalam menikmati suatu pesta, sulit bergabung

dengan kelompok (Horowitz & French dalam Saks & Krupat, 1998). Taylor,

Peplau, dan Sears (2000) mengatakan bahwa kesepian dapat berkisar dari

perasaan ketidaknyamanan yang ringan sampai yang berat.

b. Membuat atribusi internal yang stabil terhadap kejadian dan perasaan yang tidak

menyenangkan

Jenis atribusi internal yang stabil menggambarkan bahwa orang-orang yang

depresi menganggap dialah penyebab kesengsaraan yang dirasakannya dan hal

tersebut tidak dapat diubah. Atribusi ini menghalangi seseorang untuk bertemu

(43)

menganggap dirinya tidak layak dan tidak pantas untuk dicintai (Brehm,

2002).Individu yang mengalami kesepian memiliki pandangan negatif terhadap

depresi yang mereka rasakan, menyalahkan diri sendiri atas hubungan sosial

yang buruk, dan berbagai hal yang berada di luar kendali (Anderson &

Snoggrass, dalam Myers, 1999).

c. Memiliki sikap negatif terhadap orang lain

Orang yang kesepian menilai orang lain secara negatif (Jones dkk. dalam

Brehm, 2002). Mereka sangat tidak menyukai orang lain (Rubenstein & Shaver

dalam Brehm, 2002); tidak percaya pada orang lain (Vaux dalam Brehm, 2002);

menginterpretasikan tindakan dan perhatian orang lain secara negatif

(Hanley-Dunn dkk. dalam Brehm, 2002); dan memiliki sikap bermusuhan (Check dkk.

dalam Brehm, 2002).

d. Pasif dan tidak responsif ketika bersama orang lain

Ketika berbicara dengan orang asing, orang yang kesepian lebih banyak

membicarakan dirinya sendiri dan menaruh sedikit ketertarikan terhadap lawan

bicaranya (Jones dalam Myers, 1999).

II. B. 7. Dampak Kesepian

Kesepian yang dialami oleh seseorang akan menyebabkan orang yang

kesepian ini akan menerima orang lain dalam cara yang negatif (Jones, Wittenberg, &

Reis, dalam Myers, 1999). Pandangan negatif ini nantinya akan mempengaruhi

keyakinan individu yang mengalami kesepian tersebut dan menyebabkan hilangnya

kepercayaan sosial serta menjadi pesimis terhadap orang lain yang mana hal itu justru

(44)

Rock, Spitzberg, & Hurt ( dalam Myers, 1999) menyatakan individu yang mengalami

kesepian selalu merasa kesulitan dalam memperkenalkan diri, membuat panggilan

telepon, dan berpartisipasi dalam kelompok. Individu yang mengalami kesepian juga

cenderung menjadi self-concious dan memiliki self-esteem yang rendah (Cheek,

Melcior, & Vaux dalam Myers, 1999). Saat mereka berbicara dengan orang lain,

individu yang kesepian cenderung lebih banyak membicarakan diri mereka sendiri dan

menaruh sedikit ketertarikan terhadap lawan bicaranya. Setelah pembicaraan selesai

kenalan baru tersebut akan memberikan kesan yang negatif terhadap individu yang

mengalami kesepian ini (Jones dalam Myers, 1999).

II. C. Janda

II. C. 1. Definisi Janda

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Chulsum dan Novia (2006)

memberikan definisi tentang janda yaitu seorang wanita yang diceraikan atau ditinggal

mati suaminya.

Masa menjanda ini merupakan masa yang umumnya dialami oleh wanita. Ada

beberapa hal yang menyebabkannya, yaitu (Ollenburger & Moore, 1996):

a. Wanita hidup lebih lama daripada pria

b. Wanita umumnya menikahi pria yang lebih tua dari mereka sendiri

c. Laki-laki tua lebih mungkin menikah kembali daripada wanita tua

d. Adanya norma-norma sosial yang kuat yang menentang wanita tua menikahi

pria muda, dan juga norma-norma yang menetang wanita tua menikah lagi.

Selain itu, Belsky (1997) menambahkan penyebab masa menjanda merupakan

(45)

cenderung tidak menikah lagi karena merasa bahwa mereka tidak akan pernah

menemukan lagi orang yang sebaik suaminya dulu.

II. C. 2. Masalah yang Dihadapi Janda yang Ditinggal Mati Pasangannya

Ada beberapa dimensi masalah yang dihadapi seorang janda setelah

pasangannya meninggal dunia. Secara finansial kematian pasangan selalu menyebabkan

kesulitan ekonomi walaupun dalam beberapa kasus istri merupakan ahli waris dari

suaminya, namun selalu ada biaya yang harus dikeluarkan misalnya untuk biaya dokter

dan pembuatan makam (Kephart & Jedlicka, 1991). Bagi seorang janda, kesulitan

ekonomi, dalam hal ini pendapatan dan keuangan yang terbatas, merupakan

permasalahan utama yang mereka hadapi (Glasser Navarne, 1999). Karena tidak

hadirnya suami sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah bagi keluarga, seorang

perempuan harus mampu mengambil keputusan dan bertanggung jawab sendiri,

termasuk mencari nafkah bagi dirinya dan juga anak-anaknya (Suardiman, 2001).

Dalam permasalahan fisik, tidak mengejutkan jika kematian pasangan

dihubungkan dengan perasaan depresi, meningkatnya konsultasi medis, kasus rawat

inap di rumah sakit, meningkatnya perilaku yang merusak kesehatan, seperti merokok

dan minum-minum, dan meningkatnya resiko kematian pasangan yang ditinggalkan

(Santrock, 1995).

Bagi beberapa perempuan, penyesuaian mereka terhadap kehilangan suami

meliputi perubahan terhadap konsep diri mereka. Peran penting perempuan sebagai

seorang istri tidak akan ada lagi dalam kehidupan mereka setelah suaminya meninggal

dunia. Perempuan yang telah mendefinisikan dirinya sebagai seorang istri, setelah

(46)

janda. Oleh karena itu, bagi seorang perempuan, meninggalnya suami berarti kehilangan

orang yang mendukung sef-definition yang dimilikinya (Nock, 1987).

Kehidupan sosial juga mengalami perubahan. Keluarga dan teman-teman

biasanya selalu berada di dekat janda pada masa-masa awal setelah kematian, namun

setelah itu mereka akan kembali ke kehidupan mereka masing-masing (Brubaker dalam

Papalia, Old & Feldman, 2001). Masalah yang sering muncul adalah tentang

hubungannya dengan teman dan kenalannya. Seorang janda sering merasa dilupakan

dalam suatu kegiatan sosial oleh pasangan menikah lain karena dia dianggap sebagai

ancaman oleh para istri (Freeman, 1984). Penolakan dan penilaian negatif yang berasal

dari lingkungan ini dapat menyebabkan janda merasakan kesepian (Freeman, 1984).

Secara emosional, janda yang telah kehilangan kehilangan suaminya, juga

kehilangan dukungan dan pelayanan dari orang yang dekat secara intim dengannya

(Barrow, 1996). Selain itu, ada beberapa perempuan yang seolah-olah merasakan

simptom-simptom terakhir dari penyakit suaminya; ada yang mengenakan pakaian

suaminya agar merasa nyaman dan dekat dengan suaminya; dan beberapa lainnya tetap

memasak dan mengatur meja untuk suaminya walaupun suaminya itu telah meninggal

(Heinemann dalam Nock, 1987). Beberapa janda mengatakan mereka tetap melihat dan

mendengar suaminya selama setahun ataupun segera mengikuti kematian suaminya.

Mereka merasa marah pada suami karena telah meninggalkannya, dan mencari-cari atau

mengharapkan nasehat dari suaminya selama beberapa waktu (Caine dalam Nock,

1987). Pada janda, terdapat goncangan emosi yang mendalam serta perasaan

kehilangan, dan yang pasti, ada perasaan kesepian dan suatu keharusan untuk mengatur

kembali kehidupan, termasuk juga membangun suatu kehidupan sosial yang baru

(47)

bereaksi seperti merasa tidak berdaya tanpa suami, selalu larut dalam kesedihannya,

merasa bahwa setelah suaminya meninggal dia tidak akan dapat lagi menjalani

hidupnya, selalu membutuhkan suami untuk berbagi pekerjaan, merasa takut dan tidak

mampu untuk membangun hubungan pertemanan yang baru, serta menghindari interaksi

sosial setelah suaminya meninggal dunia.

II. D. Hubungan Dukungan Sosial dengan Kesepian pada Janda yang Ditinggal Mati Pasangannya

Kematian pasangan hidup biasanya tidak dapat dicegah, yang dampaknya

melibatkan kehancuran ikatan yang telah lama dijalin, munculnya peran dan status baru,

serta berbagai masalah lainnya. Tidak mengejutkan jika kematian pasangan

dihubungkan dengan perasaan depresi, meningkatnya konsultasi medis, kasus rawat

inap di rumah sakit, meningkatnya perilaku yang merusak kesehatan, seperti merokok

dan minum-minum, dan meningkatnya resiko kematian pasangan yang ditinggalkan

(Santrock, 1995). Dayakisni (2003), mengatakan bahwa diantara orang-orang yang tidak

menikah (yang belum menikah, ditinggal pasangan karena bercerai dan juga karena

kematian), yang paling kesepian adalah seseorang yang menjadi sendiri karena kematian

pasangannya.

Setelah pasangannya meninggal, seorang janda akan menghadapi beberapa

dimensi masalah, yaitu masalah konsep diri, fisik, finansial, sosial, dan emosional.

Ketika menghadapi masalah-masalah ini, seorang janda membutuhkan dukungan sosial

yang berasal dari keluarga, teman, tetangga, maupun rekan kerja. Menurut Sarafino

(2002) dukungan sosial adalah kenyamanan, perhatian, penghargaan, maupun bantuan

(48)

Ada lima bentuk dukungan sosial yang dapat diterima oleh individu, yaitu dukungan

emosional, penghargaan, instrumental, informasi, dan dukungan kelompok (Sarafino,

2002).

Hal yang paling penting dari suatu dukungan sosial adalah individu memiliki

teman berbicara, memiliki seseorang untuk memberikan nasehat, memiliki seseorang

untuk menghibur dan membangkitkan semangat. Jika seorang perempuan merasa

terbebani dan memikirkan suatu permasalahan, dia sangat memerlukan orang lain untuk

diajak berbicara dan biasanya suamilah yang menjadi teman berbagi dan

bertukar-pikiran, namun suaminya sudah meninggal. Ketiadaan suami akan menyebabkannya

merasa tidak berdaya (An-Nuaimi, 2005). Karena suaminya telah meninggal, seorang

janda membutuhkan seseorang untuk berbagi, namun janda juga menghadapi

pemasalahan dalam kehidupan sosialnya. Janda yang telah ditinggal mati pasangannya

akan mengahadapi masalah sosial. Keluarga dan teman-teman biasanya selalu berada di

dekat janda pada masa-masa awal setelah kematian, namun setelah itu mereka akan

menjauh darinya dan kembali ke kehidupan mereka masing-masing. Mereka tidak akan

selalu ada ketika dibutuhkan (Brubaker dalam Papalia, Old & Feldman, 2001). Dalam

hubungannya dengan teman dan kenalannya, seorang janda sering tidak diikutsertakan

dalam suatu kegiatan sosial oleh pasangan menikah lain karena dia dianggap sebagai

ancaman oleh para istri (Freeman, 1984). Hubungan dengan teman mungkin akan rusak,

terutama jika hubungan itu ada karena ada kaitannya dengan pasangan yang telah

meninggal (Belsky, 1990), misalnya seorang janda mungkin tidak akan mengikuti lagi

perkumpulan istri-istri di tempat suaminya bekerja dahulu. Perempuan yang menjanda

(49)

dalam situasi dimana dia harus bersama-sama dengan orang yang berpasangan, yang

menyebabkannya semakin terpisah dari lingkungan sosialnya (Matlin, 2004).

Orang-orang dengan dukungan sosial yang baik berkemungkinan kecil untuk

bereaksi secara negatif terhadap masalah-masalah hidup dibandingkan dengan

orang-orang yang mendapat dukungan sosial sangat sedikit (Lahey, 2007). Dalgard (dalam

Plotnik, 2005) mengatakan bahwa sistem dukungan sosial yang baik, misalnya memiliki

satu atau lebih teman dekat akan mengurangi efek dari kejadian yang menyebabkan

seseorang stres dan meningkatkan kesehatan mental individu. Jennison (dalam Plotnik,

2005) mengatakan bahwa kehadiran keluarga dan teman dapat meningkatkan

kepercayaan diri individu ketika menghadapi stres sehingga dia merasa mampu untuk

mengatasi masalahnya. Orang-orang yang kehilangan pasangannya berkemungkinan

besar untuk melakukan perilaku tidak sehat jika dia mendapatkan sedikit dukungan.

Menurut DiMatteo (1991), janda yang mendapatkan banyak dukungan akan merasa

bahwa dia memiliki banyak orang yang dapat dijadikannya teman untuk berbagi

sedangkan janda yang mendapatkan sedikit dukungan sosial akan merasa tidak berdaya

dalam mengatasi masalahnya dan merasa tidak ada orang yang memperhatikannya

sehingga dia akan merasa tidak puas atas hubungan yang dimilikinya. Baron & Byrne

(2000) mengatakan ketika seseorang merasa kekurangan dan tidak puas atas hubungan

yang dimilikinya, dia akan kesepian. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Dykstra

(1995) dapat dilihat bahwa dukungan sosial merupakan faktor penting yang menentukan

Gambar

Tabel 1 Penjelasan Tentang Kesepian
Tabel 2 Perasaan Ketika Kesepian
Tabel 3 Kategorisasi Dukungan Sosial
Tabel 4 Kategorisasi Kesepian
+7

Referensi

Dokumen terkait

 Merupakan satu-satunya file system 128-bit yang dapat menampung data dengan kapasitas hampir tidak terbatas, mampu menangani skala yang besar,.

Kesimpulan dalam penelitian ini adalah Koperasi Primer UPN “Veteran” Jawa Timur dalam mempertanggungjawabkan kinerja koperasi selama satu periode yang telah

Penelitian yang dilakukan oleh Ardiansyah (2013) tentang Pengaruh Corporate Governanace, Leverage dan Profitabilitas terhadap Manajemen Laba pada Perusahaan Manufaktur

.HWLJD SDQGDQJDQ KLGXS 3DQFDVLOD GLUXPXVNDQ GDODP NHVDWXDQ OLPD VLOD \DQJ PDVLQJPDVLQJ PHQJXQJNDSNDQ QLODL IXQGDPHQWDOGDQVHNDOLJXVPHQMDGLOLPDDVDV RSHUDVLRQDO GDODP PHQMDODQL

Pada kasus anak autis yang memasuki masa puber, orang tua dituntut untuk dapat menciptakan komunikasi yang baik agar dapat membantu perkembangan sang anak dalam

[r]

Penelitian ini diharapkan dapat menambah pemahaman dalam memperbanyak pengetahuan yang berhubungan dengan Komitmen Organisasi, Penerapan Sistem Pengendalian Intern

dengan materi. Dalam proses penyajian materi, guru mengajar siswa ikut terlibat aktif dalam proses pembelajaran dengan mengamati setiap gambar yang ditunjukan oleh guru