• Tidak ada hasil yang ditemukan

Induksi mutasi dan seleksi in vitro purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk) untuk ketahanan terhadap suhu tinggi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Induksi mutasi dan seleksi in vitro purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk) untuk ketahanan terhadap suhu tinggi"

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

INDUKSI MUTASI DAN SELEKSI

IN VITRO

PURWOCENG (

Pimpinella pruatjan

Molk.)

UNTUK KETAHANAN TERHADAP SUHU TINGGI

NUR AJIJAH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Induksi Mutasi dan

Seleksi In Vitro Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.) untuk Ketahanan

terhadap Suhu Tinggi adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing

dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun.

Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari

penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka

pada bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2009

Nur Ajijah

(3)

ABSTRACT

NUR AJIJAH. Induction of Mutations and In Vitro Selection for High Temperature Resistance in Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.). Under the direction of YUDIWANTI W.E. KUSUMO and IRENG DARWATI.

Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk., P. alpina KDS.) is one of Indonesian medicinal plants. It is a high altitude endemic species. Planting expansion through the development of low and medium land tolerant variety is needed to optimize the use of purwoceng as a medicinal plant. Those varieties are not available yet. The purpose of this research was to achieve high temperature resistant (insensitive) varians of purwoceng through induction of mutations using ethyl methanesulphonate (EMS) and in vitro selection.

Four hundreds and thirty two somatic embryo explants (size 0.5 x 0.5 x 0.5 cm3) were treated with aquades (control) and 0, 0.1, 0.3, 0.5 and 0.7% (v/v) EMS solutions for 1 or 2 hours. EMS was dissolved in buffer sodium phosphate pH 7 0.M and DMSO (dimethyl sulfo-oxida) 4% (EMS 0%). Afterwards, those explants were selected at three room temperature levels i.e. 17.3 ± 0.5ºC, 23.3 ± 2.1ºC and 32.8 ± 1.7ºC for 3 months. The temperature of 17.3 ± 0.5ºC was used as control. Variables observed were explant fresh weight increment, percentage of explant forming shoot, number of shoot per explant, percentage of survive explant and phenotipic variations in shoots formed.

The result showed that the average of explant fresh weight increment, percentage of explant forming shoot and number of shoot per explant were decreased with increasing of temperature and EMS doses. The growth of purwoceng somatic embryos was inhibited at the temperature of 32.8 ± 1.7ºC and EMS dose 0.7% for 2 hours. The percentage of survive explant was also decreased by the increase of temperature selection. The average of survive explant at the end of selection reached 100 and 75-100% at control temperature and 23.3 ± 2.1ºC respectively, while at 32.8 ± 1.7ºC was only 0 - 25%. The resistant (insensitive) varians at 32.8 ± 1.7ºC were obtained from both EMS treated and untreated explants. The result also showed the increase of phenotipic variation in EMS treated shoots.

(4)

Molk.) untuk Ketahanan terhadap Suhu Tinggi. Dibimbing oleh YUDIWANTI W.E. KUSUMO dan IRENG DARWATI.

Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk. atau P. alpina KDS.) merupakan salah satu jenis tanaman obat asli Indonesia endemik dataran tinggi yang keberadaannya telah langka. Tanaman ini memiliki khasiat afrodisiak dan digunakan juga sebagai tonik untuk meningkatkan stamina tubuh. Dengan khasiat yang dimilikinya purwoceng memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai tanaman obat pengganti ginseng yang pemakaiannya di Indonesia cukup tinggi. Salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk mendukung pengembangan budidaya purwoceng adalah melalui pengembangan varietas purwoceng toleran dataran menengah atau rendah yang antara lain dapat diperoleh melalui pendekatan seleksi ketahanan terhadap suhu tinggi. Seleksi ketahanan terhadap suhu tinggi juga penting berkaitan dengan isu pemanasan global. Penelitian bertujuan mendapatkan varian embrio somatik/tunas purwoceng tahan (tidak sensitif) suhu tinggi melalui induksi mutasi dengan EMS dan seleksi secara in vitro.

Empat ratus tiga puluh dua eksplan embrio somatik berukuran sekitar 0.5 x 0.5 x 0.5 cm3 direndam di dalam 0%, 0.1%, 0.3%, 0.5% dan 0.7% (v/v) larutan EMS selama 1 atau 2 jam. Sebagai pelarut EMS digunakan bufer natrium fosfat pH 7 0.1 M dan DMSO 4% (EMS 0%). Aquades dengan lama perendaman yang sama digunakan sebagai kontrol. Setelah itu eksplan diseleksi pada 3 taraf suhu ruang yaitu rata-rata suhu siang 17.3 ± 0.5ºC, 23.3 ± 2.1ºC dan 32.8 ± 1.7ºC selama 3 bulan. Suhu 17.3 ± 0.5ºC digunakan sebagai kontrol. Penempatan perlakuan EMS pada masing-masing suhu seleksi menggunakan rancangan lingkungan acak kelompok dengan 4 ulangan. Masing-masing ulangan terdiri dari 4 botol kultur dan masing-masing botol kultur terdiri dari 3 eksplan. Kriteria seleksi didasarkan pada kemampuan eksplan bertahan hidup pada kondisi suhu seleksi. Embrio somatik yang mampu bertahan hidup sampai akhir seleksi dan tunas yang terbentuk dan mampu bertahan hidup sampai akhir seleksi dikategorikan sebagai embrio somatik dan tunas yang tahan.

Peubah yang diamati meliputi penambahan bobot segar eksplan, persentase eksplan membentuk tunas, jumlah tunas per eksplan dan persentase eksplan hidup yang diamati pada umur 1, 2 dan 3 bulan serta variasi fenotipe tunas yang diamati pada umur 3 bulan. Analisis ragam dilanjutkan dengan uji Jarak Berganda Duncan pada taraf α 0.05 menggunakan program SAS 9.1 dilakukan untuk mengetahui pengaruh perlakuan EMS terhadap pertumbuhan dan perkembangan eksplan pada masing-masing suhu seleksi.

(5)

yang nyata terhadap rata-rata persentase eksplan hidup umur 1, 2 dan 3 bulan pada suhu kontrol, 23.3 ± 2.1ºC dan 32.8 ± 1.7ºC.

Rata-rata penambahan bobot segar eksplan, persentase eksplan mem-bentuk tunas, jumlah tunas per eksplan serta persentase eksplan hidup semakin menurun dengan meningkatnya suhu seleksi. Rata-rata penambahan bobot segar eksplan, persentase eksplan membentuk tunas, jumlah tunas per eksplan dan persentase eksplan hidup umur 1, 2 dan 3 bulan paling rendah terdapat pada perlakuan suhu 32.8 ± 1.7ºC. Rata-rata persentase eksplan hidup umur 3 bulan pada suhu kontrol dan 23.3 ± 2.1ºC berturut-turut mencapai 100 dan 75-100%, sementara pada suhu 32.8 ± 1.7ºC hanya 0 - 25%. Suhu 23.3 ± 2.1ºC dengan lama periode seleksi selama 3 bulan tidak dapat digunakan untuk me-nyeleksi ketahanan terhadap suhu tinggi pada eksplan embrio somatik purwoceng karena pada kisaran suhu tersebut varian tahan dan tidak tahan tidak dapat dibedakan. Sebaliknya suhu 32.8 ± 1.7ºC dengan periode seleksi selama 3 bulan dapat digunakan untuk menyeleksi ketahanan terhadap suhu tinggi pada eksplan embrio somatik purwoceng karena telah mencapai heat killing

tempe-rature yaitu suhu tinggi yang menyebabkan kematian eksplan sebesar 50%,

sehingga pada kisaran suhu tersebut varian tahan (tidak sensitif) dan tidak tahan (sensitif) dapat dibedakan.

Eksplan yang bertahan hidup hingga umur 3 bulan pada suhu 32.8 ± 1.7ºC diperoleh baik pada perlakuan EMS maupun EMS 0% dan kontrol aquades yaitu pada perlakuan kontrol aquades selama 2 jam, EMS 0% selama 1 dan 2 jam, EMS 0.1% selama 1 dan 2 jam, EMS 0.3% selama 1 jam, EMS 0.5% selama 1 dan 2 jam serta EMS 0.7% selama 1 jam. Rata-rata persentase eksplan hidup paling tinggi diperoleh pada perlakuan EMS 0% selama 2 jam dan EMS 0.3% selama 1 jam yaitu 25%. Eksplan yang bertahan hidup ini diharapkan meru-pakan bentuk varian yang tahan terhadap suhu tinggi. Varian tahan yang ter-bentuk pada perlakuan kontrol aquades dan EMS 0% diduga merupakan ter-bentuk variasi somaklonal yang terinduksi baik selama penelitian berlangsung maupun sebelumnya. Varian tahan yang terbentuk pada perlakuan EMS diduga meru-pakan hasil mutasi yang terinduksi oleh perlakuan EMS, namun tidak tertutup kemungkinan varian tersebut juga merupakan bentuk variasi somaklonal atau merupakan hasil dari keduanya yaitu variasi somaklonal dan mutasi yang terinduksi oleh perlakuan EMS. Eksplan yang bertahan hidup hingga umur 3 bulan pada suhu 32.8 ± 1.7ºC tidak diperoleh pada perlakuan kontrol aquades selama 1 jam serta EMS 0.3 dan 0.7% selama 2 jam, diduga tidak ada varian tahan yang terinduksi pada ketiga perlakuan tersebut.

Eksplan yang bertahan hidup pada suhu 32.8 ± 1.7ºC umur 3 bulan sebagian besar telah membentuk tunas dan sebagian masih berupa embrio somatik. Sebagian besar tunas yang terbentuk pada suhu 32.8 ± 1.7ºC tidak dapat bertahan hidup sampai akhir seleksi (umur 3 bulan), hanya tunas yang tahan (tidak sensitif) yang dapat bertahan hidup sampai akhir seleksi. Eksplan yang membentuk tunas tahan umur 3 bulan diperoleh pada perlakuan kontrol aquades selama 2 jam, EMS 0% selama 1 dan 2 jam, EMS 0.1% selama 1 dan 2 jam, EMS 0.3% selama 1 jam, EMS 0.5% selama 2 jam serta EMS 0.7% selama 1 jam dengan jumlah tunas tahan berkisar antara 1 – 18 tunas per perlakuan. Jumlah tunas tahan paling banyak diperoleh pada perlakuan EMS 0% selama 2 jam dan EMS 0.3% selama 1 jam yaitu berturut-turut 18 dan 16 tunas.

(6)

diisolasi dan di subkultur pada media DKW + IBA 5 mg/l untuk embrio somatik dan DKW tanpa zat pengatur tumbuh untuk tunas dan diinkubasi pada suhu 23.3 ± 2.1ºC untuk perbanyakan. Sifat tahan pada embrio somatik dan tunas ini diharapkan bukan epigenetik melainkan hasil mutasi, baik mutasi yang terinduksi oleh perlakuan EMS maupun variasi somaklonal, sehingga ketahanannya bersifat permanen dan dapat diwariskan.

Hasil penelitian juga menunjukkan adanya peningkatan variasi fenotipe tunas pada perlakuan EMS dibandingkan kontrol aquades dan EMS 0%. Variasi yang ditemukan berupa tangkai daun besar, daun variegata dan albino. Varian tangkai daun besar ditemukan baik pada perlakuan EMS maupun kontrol aquades dan EMS 0%. Varian daun variegata dan albino hanya ditemukan pada perlakuan EMS. Varian tangkai daun besar kemungkinan merupakan bentuk variasi somaklonal, sedangkan varian daun variegata dan albino kemungkinan merupakan tipe variasi yang terinduksi oleh perlakuan EMS. Frekuensi variasi fenotipe tunas paling tinggi diperoleh pada perlakuan EMS 0.5% selama 1 jam yaitu 12% pada suhu kontrol dan 26.7% pada suhu 23.3 ± 2.1ºC yang terdiri dari varian tangkai daun besar, daun variegata dan albino. Adanya peningkatan variasi fenotipe tunas pada perlakuan EMS menunjukkan EMS mampu meng-induksi keragaman yang lebih tinggi dibandingkan kontrol aquades dan EMS 0%.

Variasi fenotipe tunas yang ditemukan pada suhu 32.8 ± 1.7ºC lebih sedikit dibandingkan pada suhu kontrol dan suhu 23.3 ± 2.1ºC. Hal ini disebabkan tunas yang berhasil hidup pada suhu 32.8 ± 1.7ºC hanya tunas yang tahan (tidak sensitif) terhadap suhu tersebut sedangkan sebagian besar varian kemungkinan tidak tahan.

(7)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(8)

UNTUK KETAHANAN TERHADAP SUHU TINGGI

NUR AJIJAH

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Megister Sains pada

Departemen Agronomi dan Hortikultura

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)
(10)

Nama

:

Nur Ajijah

NIM

:

A151060041

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Yudiwanti W.E. Kusumo, MS Dr. Ir. Ireng Darwati

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Agronomi

Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, MS Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

(11)

PRAKATA

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas

segala limpahan rahmat dan karuniaNya sehingga penelitian dan karya tulis ini

dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah seleksi in vitro

untuk ketahanan terhadap suhu tinggi, dengan judul Induksi Mutasi dan Seleksi

In Vitro Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.) untuk Ketahanan terhadap Suhu

Tinggi.

Penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis

sampaikan kepada Ibu Dr. Ir. Yudiwanti W.E. Kusumo, MS dan Ibu Dr. Ir. Ireng

Darwati yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk terlibat di

dalam penelitian ini serta telah memberikan dorongan, bimbingan dan arahan

dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan karya ilmiah. Ucapan terima kasih

juga penulis sampaikan kepada Ibu Dr. Ir. Nurul Khumaida, MS yang telah

memberikan masukan dan saran yang sangat berarti untuk perbaikan karya tulis.

Penghargaan dan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Ibu Susi,

Ibu Rohmah serta seluruh staf laboratorium kultur jaringan Kelompok Peneliti

Ekofisiologi Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (Balittro) Bogor yang

telah memberikan dukungan dan bantuan teknis dalam pelaksanaan penelitian,

juga kepada teman-teman pascasarjana angkatan 2006 atas dukungan dan

kerjasamanya selama menyelesaikan studi.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada Badan Litbang Pertanian

Departemen Pertanian RI yang telah memberikan kesempatan dan beasiswa

kepada penulis untuk melanjutkan studi pada program Megister di Sekolah

Pascasarjana IPB.

Ucapan terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada suami dan

anak-anakku Habil, Izza dan Maryam atas pengertian serta dukungannya yang

begitu besar selama menyelesaikan studi, juga kepada Umi dan Abi yang

senantiasa berdoa untuk kebaikan putra-putrinya.

Semoga karya tulis ini bermanfaat untuk menambah khasanah ilmu

pengetahuan khususnya dalam menghadapi isu pemanasan global.

Bogor, Januari 2009

(12)

Penulis dilahirkan di Majalengka pada tanggal 9 April 1970 dari Ayahanda

H. M. Ridwanullah dan Ibu Hj. Kusyati. Penulis merupakan putri ke tiga dari

enam bersaudara.

Penulis menyelesaikan pendidikan sarjana di program studi Agronomi IPB

pada tahun 1993. Tahun 2006 penulis mendapat beasiswa dari Badan Litbang

Pertanian Departemen Pertanian RI untuk melanjutkan studi pada program

Megister di program studi Agronomi Sekolah Pascasarjana IPB.

Penulis bekerja sebagai peneliti di Balai Penelitian Tanaman Rempah dan

Obat Bogor sejak tahun 1994 – 2006. Mulai tahun 2007 sampai sekarang

penulis bekerja di Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman

Industri Sukabumi dengan jabatan terakhir sebagai Peneliti Muda. Bidang

penelitian yang menjadi tanggung jawab penulis selama bekerja adalah plasma

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR ………...

DAFTAR LAMPIRAN ………...

PENDAHULUAN ………... Latar Belakang ………... Tujuan Penelitian ………... Hipotesis………. Manfaat Penelitian ………

TINJAUAN PUSTAKA ... Purwoceng ………... Mutasi pada Pemuliaan Tanaman ………... Cekaman Suhu Tinggi padaTanaman ………... Seleksi In Vitro untuk Ketahanan terhadap Suhu Tinggi ...

BAHAN DAN METODE ... Waktu dan Tempat ... Bahan Penelitian ... Metode ...

HASIL DAN PEMBAHASAN... Keadaan Umum Penelitian ... Pengaruh Suhu Seleksi dan EMS terhadap Pertumbuhan dan perkembangan Eksplan ... Varian Tahan Suhu 32.8 ± 1.7ºC ………... Keragaman Fenotipe Tunas ………...

SIMPULAN DAN SARAN ………... Simpulan ………... Saran ………...

DAFTAR PUSTAKA ………..

(14)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16

Kultur in vitro purwoceng yang digunakan sebagai sumber eksplan....

Kalus dan embrio somatik yang diinduksi dari eksplan daun ...

Kultur yang mengalami kontaminasi bakteri pada suhu 32.8 ± 1.7ºC ..

Pengaruh suhu seleksi dan EMS terhadap rata-rata penambahan bobot segar eksplan umur 1, 2 dan 3 bulan...

Pengaruh suhu seleksi dan EMS terhadap rata-rata persentase eksplan membentuk tunas umur 1, 2 dan 3 bulan...

Eksplan membentuk tunas umur 1, 2 dan 3 bulan pada suhu kontrol, 23.3 ± 2.1ºC dan 32.8 ± 1.7ºC ………..

Pengaruh suhu seleksi dan EMS terhadap rata-rata jumlah tunas per eksplan umur 1, 2 dan 3 bulan ...

Perbandingan jumlah tunas umur 3 bulan pada perlakuan kontrol aquades dan EMS 0.7% selama 2 jam pada suhu kontrol dan 23.3 ± 2.1ºC ...

Tunas umur 3 bulan yang telah berakar pada suhu kontrol dan 23.3 ± 2.1ºC …...………....

Pengaruh suhu seleksi dan EMS terhadap rata-rata persentase eksplan hidup umur 1, 2 dan 3 bulan ...

Perkembangan eksplan umur 1, 2 dan 3 bulan pada suhu 32.8±1.7ºC

Tunas tidak tahan (sensitif ) pada suhu 32.8 ± 1.7ºC ...

Tunas dan embrio somatik yang bertahan hidup umur 3 bulan pada suhu 32.8 ± 1.7ºC ...…..

Tunas dan embrio somatik tahan (tidak sensitif) suhu 32.8 ± 1.7ºC 3 bulan setelah perbanyakan pada suhu 23.3 ± 2.1ºC ………..

Variasi fenotipe tunas ………..

Tipe dan frekuensi variasi fenotipe tunas pada masing-masing perlakuan EMS dan suhu seleksi ………

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Diagram alir penelitian ..………. 55

2 Tabel komposisi media Murashige dan Skoog (MS) serta Driver,

Kuniyuki dan Walnut (DKW) ... 56

3 Tabel rekapitulasi uji F pengaruh perlakuan EMS terhadap pertumbuhan dan perkembangan eksplan umur 1, 2 dan 3 bulan

pada suhu kontrol ... 57

4 Tabel rekapitulasi uji F pengaruh perlakuan EMS terhadap pertumbuhan dan perkembangan eksplan umur 1, 2 dan 3 bulan

pada suhu 23.3 ± 2.1ºC ……… 58

5 Tabel rekapitulasi uji F pengaruh perlakuan EMS terhadap pertumbuhan dan perkembangan eksplan umur 1, 2 dan 3 bulan

pada suhu 32.8 ± 1.7ºC ……… 59

6 Tabel rata-rata penambahan bobot segar eksplan (g) pada masing-

masing suhu seleksi dan perlakuan EMS umur 1, 2 dan 3 bulan .. 60

7 Tabel rata-rata persentase eksplan membentuk tunas (%) pada masing-masing suhu seleksi dan perlakuan EMS umur 1, 2 dan 3

bulan ... 61

8 Tabel rata-rata jumlah tunas per eksplan umur 1, 2 dan 3 bulan

pada masing-masing suhu seleksi dan perlakuan EMS ... 62

9 Tabel rata-rata persentase eksplan hidup (%) umur 1, 2 dan 3 bulan

pada masing-masing suhu seleksi dan perlakuan EMS ... 63

10 Tabel frekuensi variasi fenotipe tunas (%) pada masing-masing

perlakuan EMS dan suhu seleksi... 64

(16)

Latara Belakang

Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk. atau P. alpina KDS.) merupakan

tanaman obat asli Indonesia endemik dataran tinggi. Habitat alami purwoceng

berada pada ketinggian 1 800 – 3 500 m dpl. (Heyne 1987), dan yang dikenal

sebagai daerah pengembangan budidayanya pada saat ini hanya Dataran Tinggi

Dieng dengan luasan terbatas. Di Dataran Tinggi Dieng purwoceng tumbuh

pada ketinggian 1 850 – 2 050 m dpl. dengan suhu antara 15 – 21°C (Rahardjo

et al. 2006).

Purwoceng dikenal memiliki khasiat afrodisiak (meningkatkan kemampuan

sexual) pada pria dan telah lama digunakan di dalam ramuan obat tradisional.

Seduhan purwoceng juga digunakan sebagai tonik untuk meningkatkan stamina

tubuh (Heyne 1987). Dengan khasiat yang dimilikinya, purwoceng memiliki

potensi untuk dikembangkan sebagai tanaman obat pengganti ginseng yang

pemakaiannya di Indonesia cukup tinggi. Impor ginseng Indonesia pada tahun

2005 mencapai 22 515 kg dengan nilai 1 801 599 US $ (BPS 2006).

Purwoceng telah dinyatakan sebagai tanaman obat langka (Rifai 1990).

Oleh karena itu pemerintah telah mengeluarkan larangan penggunaan simplisia

(sediaan bahan obat) purwoceng yang bukan berasal dari tanaman yang

dibudidayakan (DITJEN POM 2000). Salah satu upaya yang dapat ditempuh

untuk mendukung pengembangan budidaya purwoceng adalah melalui

pengembangan varietas purwoceng toleran dataran menengah atau rendah.

Dengan adanya varietas toleran dataran rendah atau menengah ini, alternatif

daerah pengembangan menjadi lebih luas tidak terbatas di dataran tinggi.

Varietas tersebut pada saat ini belum tersedia.

Sifat toleransi terhadap dataran rendah atau menengah antara lain dapat

diperoleh melalui pendekatan seleksi ketahanan terhadap suhu tinggi, karena

dataran menengah atau rendah pada umumnya memiliki suhu yang lebih tinggi

dibandingkan dataran tinggi. Seleksi ketahanan terhadap suhu tinggi juga

penting berkaitan dengan isu pemanasan global. Akibat pemanasan global suhu

di permukaan bumi diperkirakan akan naik sekitar 0.3°C per dekade (Jones et al.

1999 dalam Wahid et al. 2007) atau naik sekitar 1 dan 3°C dari keadaan suhu

(17)

2

Peningkatan suhu bumi ini akan mengancam kelangsungan hidup spesies

bahkan pada habitat alaminya sekalipun, termasuk puwoceng.

Induksi mutasi yang dilanjutkan dengan seleksi ketahanan terhadap suhu

tinggi secara in vitro antara lain telah dilakukan pada tanaman kentang dan

bawang putih dan telah berhasil diperoleh mutan toleran suhu tinggi (Das et al.

2000; Gosal et al. 2001; Zhen 2001a). Menurut Svetleva dan Crino (2005),

induksi mutasi yang digabungkan dengan kultur in vitro merupakan metode yang

menguntungkan karena dapat meningkatkan frekuensi terbentuknya variasi baru.

Secara teknis kultur in vitro dapat menghasilkan variasi somaklonal dan variasi

ini dapat ditingkatkan dengan menggunakan mutagen.

Salah satu jenis mutagen kimia yang paling banyak digunakan, paling

efektif serta telah digunakan pada berbagai jenis organisma mulai dari virus

sampai mamalia adalah EMS (ethyl methanesulphonate) (Sega 1984; Medina et

al. 2005). EMS umumnya menghasilkan mutasi titik atau mutasi gen, sedikit

mutasi yang terpaut dan sedikit kerusakan pada kromosom sehingga sangat

menguntungkan bagi kegiatan pemuliaan. Beberapa sifat penting telah berhasil

diperoleh melalui induksi mutasi secara in vitro menggunakan EMS antara lain

toleran salinitas pada krisantemum (Hosain et al. 2006) dan ubi jalar (Luan et al.

2007) serta ketahanan terhadap Fusarium pada abaka (Purwati 2006). EMS

juga telah digunakan secara in vitro untuk menginduksi keragaman pada

tanaman apukat (Yenisbar 2005) dan perbaikan sifat agronomi pada tanaman

anggur (Khawale et al. 2007). Secara in vivo, EMS antara lain telah berhasil

digunakan untuk menginduksi sifat ketahanan terhadap Xanthomonas oryzae pv

oryzae pada padi (Agrawal et al. 2005). Diharapkan EMS dapat menginduksi

sifat ketahanan terhadap suhu tinggi pada purwoceng.

Pada penelitian ini dilakukan induksi mutasi secara in vitro pada embrio

somatik purwoceng menggunakan beberapa taraf dosis EMS dilanjutkan dengan

seleksi in vitro pada beberapa taraf suhu.

Tujuan Penelitian

Penelitian bertujuan mendapatkan varian embrio somatik/tunas purwoceng

(18)

Hipotesis

Perlakuan EMS pada dosis tertentu akan menginduksi terbentuknya

varian embrio somatik/tunas purwoceng tahan (tidak sensitif) suhu tinggi.

Manfaat Penelitian

Varian embrio somatik/tunas purwoceng tahan (tidak sensitif) suhu tinggi

diharapkan dapat diregenerasikan menjadi tanaman dan digunakan sebagai

bahan perakitan varietas purwoceng toleran suhu tinggi atau toleran dataran

(19)

TINJAUAN PUSTAKA

Purwoceng Botani dan Karakteristik

Purwoceng merupakan tanaman terna setahun, habitus tanaman

membentuk roset dengan tangkai daun berada di atas permukaan tanah. Tajuk

tanaman menutupi permukaan tanah dengan diameter sekitar 37 cm. Tangkai

daun rapat menutupi batang tanaman seolah batang tanaman tidak ada, jumlah

tangkai daun sekitar 46 buah per tanaman. Pangkal tangkai daun umumnya

berwarna merah kecoklatan, hanya sekitar 2% populasi yang memiliki tangkai

daun kehijauan. Rata-rata panjang tangkai daun sekitar 18 cm (Rahardjo et al.

2006).

Klasifikasi botani purwoceng adalah sebagai berikut :

Divisi : Spermatophyta

Anak divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledoneae

Famili : Apiaceae

Marga : Pimpinella

Jenis : Pimpinella pruatjan Molk. Sinonim P. alpina KDS.

Purwoceng memiliki daun majemuk berpasangan berhadapan. Bentuk

anak daun membulat dengan tepi bergerigi. Warna permukaan atas daun hijau

dan permukaan bawah hijau keputihan. Purwoceng memiliki akar tunggang yang

membesar membentuk struktur seperti umbi pada tanaman ginseng tapi dengan

ukuran yang lebih kecil (Rahardjo et al. 2006).

Purwoceng merupakan tanaman berumah satu namun dapat menyerbuk

silang. Tanaman mulai berbunga pada umur 7 bulan dan mencapai 100%

berbunga pada umur 9 bulan. Bunga purwoceng merupakan bunga majemuk

berbentuk payung. Biji yang telah masak berwarna hitam, berukuran sangat kecil

sekitar 0.52 g per 1 000 butir biji (Rahardjo et al. 2006).

Daerah Asal dan Penyebaran

Purwoceng merupakan tumbuhan obat asli Indonesia endemik dataran

tinggi pada ketinggian 1 800 – 3 500 m dpl. Pada awalnya purwoceng terdapat

di Gunung Pangrango, Papandayan dan Tangkuban Perahu (Jawa Barat),

(20)

1935, Heyne 1987). Namun saat ini purwoceng hanya terdapat di Gunung

Gede (Jawa Barat) dan Pegunungan Dieng (Jawa Tengah) dan termasuk ke

dalam dua puluh empat tumbuhan langka di Jawa (Pusat Konservasi Tumbuhan

2007).

Rifai (1990) telah menggolongkan purwoceng sebagai salah satu tumbuhan

obat langka dengan kategori genting (endangered species). Tanaman ini

dikelompokkan sebagai jenis tumbuhan langka dalam kategori genting karena

populasinya di alam menurun lebih dari 50% dalam 10 tahun terakhir, terjadi

penurunan luas wilayah dan kualitas habitat, tingginya tingkat eksploitasi, luas

wilayah keberadaan populasi kurang dari 5 000 m2 karena mengalami fragmen-tasi berat (Mogea et al. 2001 dalam Rostiana et al. 2006). Tumbuhan dalam

kategori ini apabila tidak segera dilakukan perlindungan akan mengalami

kepunahan.

Daerah pengembangan budidaya purwoceng yang dikenal pada saat ini

hanya Dataran Tinggi Dieng, dengan luas areal yang terbatas. Di Dataran Tinggi

Dieng purwoceng hanya ditemukan di Desa Sikunang, yaitu di pekarangan

rumah petani dengan luas areal pertanaman antara 4 - 200 m2 atau rata-rata 37

m2 per petani (Ermiati et al. 2006).

Keberadaan spesies ini di negara lain tidak diketahui. Namun diketahui

spesies kerabat dekatnya yaitu Pimpinella tirupatiensis Bal dan Subr terdapat di

India, yang juga merupakan tanaman obat langka endemik dataran tinggi yang

akarnya digunakan sebagai afrodisiak (Prakash et al. 2001).

Kandungan Bahan Aktif dan Khasiat

Akar purwoceng diketahui mengandung turunan senyawa kumarin, sterol,

alkaloid, saponin (Caropeboka & Lubis 1975, Rostiana et al. 2003), flavonoid,

glikosida dan tanin (Rostiana et al. 2003), kelompok furanokumarin seperti

bergapten, isobargapten dan sphondin (Sidik et al. 1975), turunan kumarin

seperti xanthotoksin, mamersin, 6,8-dimetoksi umbelliferon (Hernani & Rostiana

2004), stigmasterol (Suzery et al 2004, Rahardjo et al. 2006, Rostiana et al.

2007), sitosterol (Rahardjo et al. 2006, Rostiana et al. 2007), dan vitamin E

(Rahardjo et al. 2006). Sementara ternanya mengandung stigmasterol dan

bergapten (Rahardjo et al. 2006, Rostiana et al. 2007), vitamin E (Rahardjo et al.

2006), saponin, alkaloid, glikosida, kumarin dan triterpenoid-steroid (Rostiana et

(21)

6

Bahan aktif sitosterol, stigmasterol, bergapten dan saponin dari tanaman

purwoceng telah berhasil diproduksi secara in vitro melalui kultur kalus dan akar

rambut dengan menggunakan skualena dan mevalonat sebagai prekursor

(Darwati 2007).

Turunan senyawa kumarin digunakan dalam industri obat moderen sebagai

analgetika (penghilang rasa sakit ), anti fungi, anti bakteri dan anti kanker (Sidik

et al., 1985 dalam Rostiana et al. 2006). Sedangkan senyawa yang diketahui

memberi efek afrodisiak diantaranya adalah turunan steroid, saponin, alkaloid,

tanin dan senyawa lain yang dapat melancarkan peredaran darah (Anwar 2001).

Hasil uji farmaklogis pada tikus menunjukkan pemberian ekstrak akar

purwoceng meningkatkan motilitas spermatozoa (Juniarto 2004) dan

mening-katkan kadar LH (Luteinizing Hormone) dan testoteron (Taufiqqurrachman &

Wibowo 2006). Peningkatan kadar testoteron ini disebabkan efek stimulasi

ekstrak purwoceng terhadap LH dan konversi fitosterol yang ada pada ekstrak

purwoceng menjadi testoteron pada jaringan hewan uji (Taufiqqurrachman &

Wibowo 2006). Testoteron merupakan hormon utama yang mempengaruhi

perilaku sexual pria. Hasil penelitian menunjukkan beberapa pria menjadi lebih

agresif, sensitif dan mampu untuk ereksi apabila kadar serum testoteronnya

cukup (Beck, 1993, Morales et al. 1997 dan Van Basten et al. 1997 dalam

Taufiqqurrachman & Wibowo 2006). Testoteron dibentuk dari ester kolesterol di

dalam sel Leydig testis, sisanya sekitar 5% dihasilkan oleh kortek adrenal di

mana prekursor seperti sterol dari tanaman akan dikonversi menjadi testoteron

di dalam jaringan pheripheral (Graner 1996 dalam Taufiqqurrachman & Wibowo

2006).

Mutasi pada Pemuliaan Tanaman

Mutasi didefinisikan sebagai perubahan material genetik yang diwariskan

(van Harten 1998; Montelone 1998; Hartl 1994). Sedangkan keseluruhan proses

yang menyebabkan timbulnya berbagai macam mutasi disebut mutagenesis.

Secara teori, seluruh perubahan yang terjadi pada sekuen DNA akan

menimbulkan perubahan kode genetik sehingga disebut mutasi (van Harten

1998; Chahal & Gosal 2006).

Berdasarkan proses terjadinya, mutasi terbagi menjadi dua yaitu mutasi

alami/spontan dan mutasi yang diinduksi. Mutasi spontan adalah mutasi yang

(22)

kapan akan terjadi (Hartl 1994). Mutasi spontan terjadi sebagai hasil proses

alami di dalam sel seperti kesalahan pada saat replikasi DNA atau hasil interaksi

dengan mutagen yang terdapat di lingkungan (Montelone 1998). Kesalahan

dalam replikasi DNA mencapai 1 per 102 gen yang berreplikasi. Namun karena

adanya mekanisme perbaikan, laju mutasi akibat kesalahan replikasi DNA

menjadi sekitar 1 per 108 sampai 109 lokus (Micke 1991

dalam van Harten 1998).

Mutasi spontan terjadi dengan laju yang sangat rendah dan bervariasi pada

setiap organisme. Laju mutasi spontan pada E. coli berkisar antara 10-5 - 10-9 (Hartl 1994), sedangkan pada tanaman Arabidopsis berkisar antara 10-7 - 10-8 pasang basa per generasi (Kovalchuk et al. 2000 dalam Greene et al. 2003).

Mutasi induksi adalah mutasi yang diketahui agen penyebabnya. Bukti

pertama yang menunjukkan bahwa agen dari luar dapat meningkatkan laju

mutasi diperlihatkan oleh Hermano Muller pada tahun 1927 dengan

meng-gunakan sinar X pada Drosophila. Setelah itu berbagai jenis agen fisik dan kimia

yang dapat meningkatkan laju terjadinya mutasi ditemukan (Hartl 1994). Mutasi

induksi terjadi dengan laju yang lebih tinggi dibandingkan mutasi spontan.

Mutagen fisik dan kimia diketahui dapat meningkatkan laju mutasi ratusan

sampai ribuan kali dibandingkan mutasi spontan (Broertjes & van Harten 1988;

van Harten 1998). Laju mutasi yang optimal untuk kegiatan pemuliaan adalah

sekitar 1 per 104 lokus (van Harten 1998).

Pada kegiatan pemuliaan tanaman, mutasi induksi digunakan untuk

menginduksi terjadinya mutasi pada lokus yang mengontrol sifat yang penting

secara ekonomi atau mengeliminasi gen-gen yang tidak diinginkan dari

galur-galur elit (Lippert et al. 1964 dalam Jabeen & Mirza 2004). Mutasi induksi dapat

memberikan tambahan keragaman genetik untuk melengkapi pemuliaan

tanaman konvensional (Odeigah et al. 1998). Pemanfaatan mutasi secara

langsung pada pemuliaan tanaman untuk menambahkan satu atau dua karakter

yang mudah diidentifikasi dapat dilakukan tanpa mengubah genotipe dasar dari

kultivar yang sudah adaptif. Hal ini menguntungkan karena tidak diperlukan

backcross yang berulang untuk merekonstruksi genotipe dasar dari kultivar

tersebut (Chahal & Gosal 2006). Menurut Chahal dan Gosal (2006), situasi ideal

untuk melakukan mutasi adalah apabila gen atau alel yang diinginkan tidak

terdapat pada plasma nutfah yang dimiliki atau gen tersebut terpaut dekat

(23)

8

dilakukan. Mutasi juga dilakukan untuk menginduksi dan mengintroduksi alel

yang tidak ada di dalam populasi alami.

Mutasi dapat dibedakan berdasarkan beberapa kategori. Yang paling

umum adalah pembagian mutasi berdasarkan besarnya sekuen DNA yang

berubah yaitu pada tingkat genom, kromosom dan gen (Broertjes & van Harten

1988). Mutasi pada tingkat genom berupa perubahan pada tingkat ploidi atau

jumlah kromosom, baik polilpoid maupun aneuploid. Sedangkan mutasi pada

tingkat kromosom berupa perubahan pada struktur kromosom yang disebabkan

oleh adanya delesi, inversi, duplikasi atau translokasi. Mutasi gen atau disebut

juga mutasi titik atau narrow sense mutation atau intragenic mutation adalah

perubahan yang terjadi di dalam gen yang diakibatkan oleh adanya perubahan

pada sekuen DNA di dalam gen tersebut seperti penambahan atau pengurangan

satu atau beberapa pasang basa atau penggantian satu pasang basa oleh yang

lainnya (van Harten 1998).

Pada kegiatan pemuliaan, mutasi yang diinginkan adalah mutasi pada

tingkat gen dan alelnya atau mutasi titik atau perubahan pada sejumlah kecil

segmen kromosom (van Harten 1998), sebab perubahan pada sejumlah besar

segmen kromosom sering menimbulkan pengaruh negatif seperti berkurangnya

fertilitas pada tanaman (Broertjes & van Harten 1988).

Mutasi titik yang diakibatkan oleh penggantian atau substitusi pasangan

basa akan menghasilkan silent mutation (mutasi diam atau mutasi yang tidak

kelihatan) apabila penggantian pasangan basa tidak menimbulkan perubahan

pada asam amino yang dikodekannya. Perubahan pada asam amino ini akan

mengakibatkan perubahan pada struktur dan fungsi protein yang disusunnya.

Substitusi basa juga dapat mengubah kodon penyandi asam amino menjadi stop

kodon atau disebut nonsense mutation, menghasilkan prematurely shortened

protein. Pengaruh dari nonsense mutation bervariasi tergantung seberapa

banyak protein terpotong dan seberapa besar pengaruhnya terhadap fungsi

protein tersebut. Substitusi basa dapat juga terjadi pada promotor atau daerah

regulator dari gen yang mungkin akan mempengaruhi transkripsi dan translasi

yang pada akhirnya akan mempengaruhi ekspresi gen (van Harten 1998;

Montelone 1998). Substitusi pasangan basa dapat terjadi antara purin dengan

purin atau pirimidin dengan pirimidin yang disebut transisi atau antara purin

dengan pirimidin atau sebaliknya yang disebut transversi (Hartl 1994; van Harten

(24)

Mutasi titik berupa penambahan dan pengurangan satu atau lebih (tapi

bukan tiga atau kelipatan tiga) nukletida pada daerah pengkode asam amino

akan mengakibatkan perubahan pada reading frame atau disebut dengan

frameshift mutation. Mutasi tipe ini akan menghasilkan protein yang tidak

fungsional atau protein yang berbeda dengan protein semula atau terjadi

pemendekan protein akibat terbentuknya stop kodon yang lebih awal (Montelone

1998).

Perubahan fenotipe yang dihasilkan akibat mutasi bervariasi, mulai dari

perubahan minor yang hanya terdeteksi dengan metode analisis biokimia sampai

perubahan drastis yang terjadi di dalam proses metabolisme yang esensial

sehingga menimbulkan kematian sel atau organsime (Hartl 1994).

Induksi Mutasi Secara In Vitro

Mutasi dapat dilakukan secara in vivo maupun in vitro (van Harten 1998).

Mutasi yang dikombinasikan dengan teknik kultur in vitro disebut in vitro

mutagenesis. Secara teknis, kultur in vitro dapat menghasilkan variasi

soma-klonal, variasi ini dapat ditingkatkan dengan menggunakan mutagen (van Harten

1998; Svetleva & Crino 2005; Chahal & Gosal 2006). Pada mutasi in vitro,

sebuah sel atau agregat sel dapat diberi perlakuan dengan mutagen kimia atau

fisik (Chahal & Gosal 2006).

Terdapat beberapa kelebihan metode induksi mutasi secara in vitro

dibandingkan metode konvensional (in vivo) antara lain 1) mutasi dapat

dilaku-kan pada tingkat sel sehingga peluang untuk terjadinya kimera lebih kecil karena

mutan yang dihasilkan berasal dari satu sel, 2) laju mutasi lebih tinggi karena

masing-masing sel mengalami kontak langsung dengan mutagen, 3) dapat

di-lanjutkan dengan seleksi secara in vitro dimana ribuan sel yang merupakan calon

tanaman dapat diseleksi pada sekala laboratorium sehingga seleksi terhadap

mutan menjadi lebih efesien (Chahal & Gosal 2006). Selain pada kultur sel,

mutasi secara in vitro juga dapat dilakukan pada eksplan multiseluler yang

ber-ukuran kecil terutama untuk menghindari kimera (van Harten 1998).

Induksi mutasi secara in vitro telah dilakukan pada banyak tanaman untuk

mendapatkan berbagai sifat yang diinginkan, baik menggunakan mutagen fisik

maupun kimia serta dilanjutkan dengan seleksi secara in vitro maupun tidak.

Induksi mutasi secara in vitro antara lain telah dilakukan pada tanaman kentang

(25)

10

dan Phytophthora infestans (Das et al. 2000; Gosal et al. 2001; Sharabash 2001;

Rashed et al. 2001), tanaman tebu untuk mendapatkan sifat ketahanan terhadap

kadar garam tinggi, penyakit red rot, genangan dan sifat tidak berbunga (Rashed

et al. 2001; Samad et al. 2001), tanaman bawang putih untuk mendapatkan sifat

ketahanan terhadap suhu tinggi (Zhen 2001a), ubi jalar untuk berbagai sifat

morfologi (Zhen 2001b), bitter potato untuk perbaikan sifat agronomis (Murillo &

Mendoza 2004), apokat untuk peningkatan keragaman genetik (Yenisbar 2005),

abaka untuk perbaikan produksi, kualitas serat dan ketahanan terhadap

Fusarium (Purwati 2006) serta anggur untuk perbaikan sifat agronomis dan

kualitas buah (Khawale et al. 2007).

EMS sebagai Mutagen

Mutagen adalah agen alami atau buatan manusia yang dapat mengubah

struktur atau sekuen DNA. Dikenal tiga jenis mutagen yaitu mutagen fisik, kimia

dan biologi. Mutagen kimia mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan

mutagen lainnya antara lain 1) sebagian besar mutasi yang terjadi adalah mutasi

titik, 2) kerusakan kromosom lebih kecil, dan 3) mutasi terjadi dengan laju yang

lebih tinggi (meningkatkan laju mutasi 5 – 10 kali lebih tinggi dibandingkan

radiasi) (Broertjes & van Harten 1988; van Harten 1998). Namun demikian

mutagen kimia juga mempunyai beberapa kekurangannya di antaranya 1)

pene-trasi pada jaringan multiseluler seringkali sulit, 2) rendahnya reproducibility dan

3) mutagen kimia perlu penanganan sangat hati-hati karena bersifat karsinogenik

(van Harten 1998). Pada mutagenesis secara in vitro, sulitnya penetrasi

muta-gen kimia pada jaringan multiseluler dapat diatasi dengan menggunakan kultur

sel atau eksplan multiseluler yang berukuran kecil.

EMS (CH3SO2OC2H5) merupakan jenis mutagen kimia yang paling

poten-sial (Chopra 2005), banyak digunakan dan paling efektif (Medina et al. 2005)

serta telah digunakan sebagai mutagen pada berbagai jenis organisma mulai dari

virus sampai mamalia (Sega 1984). Menurut von Arnim (2005), EMS banyak

digunakan sebab toksisitasnya tidak terlalu tinggi (moderate toxicity), memiliki

efektivitas yang tinggi untuk menginduksi banyak mutasi (multiple mutations) per

genom dan biasanya mutasinya berupa substitusi satu basa.

EMS merupakan senyawa pengalkil. Gugus alkil bereaksi dengan DNA

dengan cara mengalkilasi basa purin dan pirimidin. Alkilasi atau etilasi dapat

(26)

seharusnya berpasangan dengan sitosin menjadi berpasangan dengan timin

mengakibatkan perubahan kode genetik pada generasi sel berikutnya dari GC

menjadi AT (Sega 1984). Hasil penelitian Greene et al. (2003) pada tanaman

Arabidopsis menunjukkan 99% mutasi yang terjadi akibat EMS (20 – 40 mM

selama 10-20 jam pada biji) adalah perubahan dari GC ke AT dengan 53%

perubahan pada G dan 47% perubahan pada C. Intensitas mutasi cukup tinggi

yaitu terjadi pada 1/300 kilo basa atau 10 mutasi per gen.

Pada tanaman, EMS umumnya menyebabkan terjadinya mutasi titik,

namun dapat juga menyebabkan kehilangan sedikit segmen kromosom atau

delesi (Okagaki et al. 1991 dalam Saba & Mirza 2002). Bhat et al. (2007)

menemukan beberapa ketidaknormalan perilaku kromosom saat meiosis pada

tanaman Vicia faba yang mendapat perlakuan EMS 0.1 – 0.4% (v/v) selama 6

jam pada biji. Menurut Sega (1984), pada organisme tinggkat tinggi, EMS dapat

menimbulkan kerusakan pada kromosom meskipun mekanismenya belum jelas,

kemungkinan disebabkan terjadinya etilasi pada beberapa protein kromosom.

Gaulden (1987) dalam Bhat et al. (2007) menyebutkan bahwa pengaruh

langsung mutagen terhadap protein histon mengakibatkan ketidaksempurnaan

atau kesalahan pada pelipatan DNA. Namun demikian, secara umum EMS

mengakibatkan mutasi titik dan hanya sedikit kerusakan yang ditimbulkan pada

kromosom (Greene et al. 2003). Dengan demikian penggunaan EMS pada

pemuliaan tanaman sangat menguntungkan karena dapat mengubah lokus

tertentu tanpa menginduksi sejumlah besar mutasi yang terpaut dekat dengan

lokus tersebut (Saba & Mirza 2002).

Beberapa sifat penting telah berhasil diperoleh melalui mutasi induksi

menggunakan EMS antara lain pembungaan awal pada springrape (Thurling &

Depittayanan 1992), peningkatan hasil dan kandungan vitamin C pada cabe

(Pillai & Abraham 1996), toleran salinitas pada krisantemum (Hosain et al. 2006)

dan ubi jalar (Luan et al. 2007), toleran herbisida pada tanaman kedelai

(Sebastian et al. 1989) dan ketahanan terhadap Xanthomonas oryzae pv oryzae

pada padi (Agrawal et al. 2005). Penggunaan eksplan embrio somatik fase

globuler dan hati pada mutagenesis in vitro menggunakan EMS antara lain

telah dilakukan Purwati (2006) pada tanaman abaka dan berhasil mendapatkan

(27)

12

Cekaman Suhu Tinggi pada Tanaman

Di antara berbagai cekaman lingkungan, cekaman yang diakibatkan oleh

suhu merupakan yang paling banyak dihadapi oleh tanaman (Iba 2002). Suhu

berubah lebih cepat dibandingkan penyebab cekaman lainnya. Suhu juga

ber-variasi secara spasial dan temporal. Setiap jenis tanaman mempunyai suhu

optimum masing-masing untuk tumbuh, dan pola penyebarannya di alam

ditentukan oleh zone suhu di mana ia bisa hidup. Pada masa yang akan datang,

cekaman suhu tinggi akibat pemanasan global akan menjadi ancaman bagi

kehidupan hampir seluruh mahluk hidup di bumi termasuk tanaman.

Menurut Levitt (1980) tidak ada batasan kuantitatif untuk cekaman suhu

tinggi pada tanaman. Setiap jenis tanaman mempunyai batas toleransi yang

spesifik terhadap cekaman suhu. Namun demikian, Levitt (1980) mengemukakan

bahwa suhu 15°C di atas suhu optimum untuk pertumbuhan umumnya telah

mengakibatkan cekaman suhu tinggi pada tanaman yang mempunyai toleransi

paling rendah terhadap suhu tinggi (psychrophiles), pada jenis tanaman lain

cekaman suhu tinggi mungkin terjadi pada suhu kurang dari 15°C di atas suhu

optimum untuk pertumbuhan. Wahid et al. (2007) juga mengemukakan bahwa

cekaman suhu tinggi pada tanaman umumnya terjadi pada suhu 10-15°C di atas

suhu optimum untuk pertumbuhan.

Menurut Wahid et al. (2007), akibat langsung dari cekaman suhu tinggi

pada tanaman adalah terdenaturasinya protein dan peningkatan fluiditas

membran sel. Akibat tidak langsungnya adalah enzim-enzim menjadi tidak aktif,

sintesa protein terhambat dan kehilangan integritas membran. Disintegrasi

membran dapat menyebabkan terjadinya kebocoran ion dan solut (Levitt 1980).

Levitt (1980) juga mengemukakan bahwa pengaruh utama dari cekaman suhu

tinggi adalah berkurangnya kandungan ADP dan ATP. Keadaan ini

meng-akibatkan terjadinya penghambatan pada pertumbuhan atau kematian pada

tanaman. Menurut Wahid et al. (2007) pada tingkat cekaman suhu yang sangat

tinggi kerusakan atau bahkan kematian sel dapat terjadi dalam waktu beberapa

menit, sedangkan pada cekaman suhu yang tidak terlalu tinggi (sedang),

kerusakan atau kematian sel terjadi setelah periode waktu yang cukup lama.

Menurut Zhang et al. (2005), cekaman suhu tinggi dapat mengakibatkan

kerusakan yang tidak dapat balik pada PSII dan Rubisco. Hasil penelitian Zhang

(28)

Kloroplas dan fotosintesa yang terekspresi pada tanaman yang toleran,

dibandingkan pada tanaman yang sensitif terhadap suhu tinggi.

Toleransi tanaman terhadap suhu tinggi tampaknya ditentukan oleh tingkat

sensitifitas reaksi fotokimia yang berlangsung pada membran tilakoid. Membran

tilakoid merupakan membran sel yang paling sensitif terhadap cekaman suhu

tinggi. Membran tilakoid lebih sensitif terhadap kerusakan akibat suhu tinggi

dibandingkan membran kloroplas (chloroplast envelope), dan membran kloroplas

lebih sensitif dibandingkan membran plasma (Levitt 1980). Pusat reaksi,

kompleks pigmen antena-protein dan sebagian besar enzim-enzim yang terlibat

di dalam transfer elektron merupakan integral membrane protein yang

terintegrasi pada membran tilakoid (Taiz & Zeiger 2002). Transfer elektron

adalah bagian dari tahapan reaksi terang pada fotosintesis, elektron yang

diperoleh dari hasil pemecahan molekul H2O ini diperlukan untuk mereduksi

NADP+ menjadi NADPH dan mendorong terjadinya fosforilasi ADP menjadi ATP. Kapasitas transfer elektron oleh PSII lebih sensitif terhadap kerusakan akibat

suhu tinggi dibandingkan aktifitas lainnya. Perlakuan suhu tinggi sampai 44°C

tidak mempengaruhi transfer elektron oleh PSI, akan tetapi menurunkan transfer

elektron oleh PSII sebesar 25% (Levitt 1980). Penyebab perbedaan sensitifitas

antara PSI dan PSII terhadap kerusakan akibat suhu tinggi masih belum jelas,

namun diduga berkaitan dengan perbedaan tempat berlangsungnya kedua

reaksi tersebut dan perbedaan komposisi protein penyusun PSI dan PSII. PSI

dan PSII merupakan kompleks multisubunit klorofil-protein yang terintegrasi pada

membran tilakoid. PSII berlangsung di dalam lamela grana, sedangkan PSI

berlangsung di dalam lamela stroma dan pada tepi lamela grana (Taiz & Zeiger

2002). Menurut Dekker dan Boekema (2005) dalam Mullineaux (2005),

kom-posisi protein antara lamela grana dan lamela stroma sangat berbeda.

Menurut Zhang et al. (2005), respon tanaman terhadap suhu tinggi di

antaranya adalah penurunan sintesa protein normal dan percepatan transkripsi

dan translasi heat shock protein (HSP). Respon ini dapat teramati pada level

suhu 5°C di atas suhu optimum untuk pertumbuhan. Hasil penelitian Zhang et

al. (2005) menunjukkan pada saat mendapat cekaman suhu tinggi, tanaman

yang rentan lebih sering mengekspresikan gen-gen yang berhubungan dengan

metabolisme stres seperti gen yang mengontrol sintesa protein yang

(29)

14

berusaha bertahan dengan lebih banyak menggunakan metabolit melalui

glikolisis serta perombakan protein dan lipid.

Terdapat perbedaan anatomi dan morfologi antara tanaman Festuca yang

toleran dan yang sensitif terhadap suhu tinggi. Tanaman yang toleran

mem-punyai ukuran sel yang lebih besar, lebih banyak sel skelenkima dan kolenkima

(sel pendukung) di antara jaringan vaskuler dan epidermis dibandingkan varietas

yang rentan atau sensitif (Zhang et al. 2005).

Seleksi In Vitro untuk Ketahanan terhadap Suhu Tinggi

Mutagenesis in vitro yang dilanjutkan dengan seleksi secara in vitro untuk

katahanan terhadap suhu tinggi telah dilakukan antara lain pada tanaman

kentang (Das et al. 2000; Gosal et al. 2001) dan bawang putih (Zhen 2001a).

Penelitian-penelitian ini menunjukkan keberhasilan dalam memperoleh mutan

toleran suhu tinggi. Induksi mutasi secara in vitro untuk mendapatkan mutan

toleran suhu tinggi yang tidak dilanjutkan dengan seleksi secara in vitro

melainkan secara in vivo telah dilakukan pada tanamam nenas (Lokko &

Amoatey 2001). Pada tanaman kentang, induksi mutasi dilakukan pada setek

satu buku. Seleksi ketahanan terhadap suhu tinggi dilakukan pada populasi

M1V3 berdasarkan kemampuan mutan untuk membentuk umbi mikro pada suhu

28ºC, 8ºC lebih tinggi dari suhu optimum untuk pembentukkan umbi mikro yaitu

20ºC. Seleksi juga dilakukan berdasarkan kemampuan daun mempertahankan

persistensi klorofil secara in vitro. Mutan yang mampu membentuk umbi mikro

dan mempertahankan persistensi klorofil kemudian dievaluasi di lapang yang

beriklim panas dan diperoleh beberapa mutan yang toleran. Pada tanamam

bawang putih induksi mutasi dilakukan pada struktur globular kalus embriogenik

dan seleksi dilakukan berdasarkan kemampuan mutan untuk membentuk umbi

(bulb) secara in vitro pada suhu 32ºC. Pada tanaman nenas, induksi mutasi

dilakukan pada tunas pucuk dan diperoleh mutan yang mampu tumbuh pada

suhu 45ºC di lapang. Menurut Lokko dan Amoatey (2001), suhu 10ºC lebih

tinggi dari suhu optimum untuk pertumbuhan telah cukup untuk menginduksi

(30)

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juli 2007 sampai Juni 2008 di

laboratorium Kultur Jaringan Kelompok Peneliti Ekofisiolagi Balai Penelitian

Tanaman Obat dan Aromatik (Balittro) Bogor.

Bahan Penelitian

Bahan tanaman yang digunakan adalah eksplan daun dari tanaman

purwoceng aseptik yang telah mengalami periode kultur selama 2 tahun dengan

sub kultur setiap 2-3 bulan sekali (Gambar 1)

.

[image:30.595.243.391.322.434.2]

Gambar 1 Kultur in vitro purwoceng yang digunakan sebagai sumber eksplan.

Metode

Penelitian diawali dengan persiapan bahan tanaman berupa induksi

embriogenesis somatik dilanjutkan dengan aplikasi EMS dan seleksi in vitro pada

beberapa taraf suhu ruang.

Induksi Embriogenesis Somatik

Induksi embriogeneisis somatik dilakukan menggunakan metode yang dikembangakan oleh Rostika et al. 2005. Induksi embriogenesis somatik diawali

dengan induksi kalus dari eksplan potongan daun purwoceng berukuran sekitar

0.5 – 1 cm x 0.5 – 1 cm. Kalus diinduksi pada media Murashige dan Skoog (MS) dengan penambahan zat pengatur tumbuh 2,4-D 2 mg/l dan pikloram 0.5 mg/l,

gula 30 g/l dan pemadat phytagel 2 g/l dengan pH media 5.8. Setiap botol kultur

(31)

16

suhu 16-18ºC dalam kondisi gelap sampai terbentuk kalus. Kalus yang telah

terbentuk kemudian disubkultur pada media embriogenesis somatik yaitu media

Driver, Kuniyuki dan Walnut (DKW) dengan penambahan zat pengatur tumbuh

IBA 5 mg/l, gula 30 g/l dan pemadat phytagel 2 g/l dengan pH media 5.8. Setiap

botol diisi 4 potong kalus berukuran panjang dan lebar sekitar 1 cm x 1 cm.

Kultur kemudian diinkubasi pada suhu 16 - 18ºC dengan pencahayaan 2 buah

lampu TL masing-masing 40 watt selama 16 jam sampai terbentuk embrio

somatik.

Aplikasi EMS

Perlakuan EMS dimaksudkan untuk meningkatkan keragaman genetik

embrio somatik purwoceng. Sekitar 432 potong eksplan embrio somatik

berukuran sekitar 0.5 x 0.5 x 0.5 cm3 yang sebagian besar berada pada fase globular dan hati direndam di dalam larutan EMS 0, 0.1, 0.3, 0.5 dan 0.7% (v/v)

dengan lama perendaman 1 atau 2 jam. Larutan bufer natrium fosfat pH 7 0.1M

dan DMSO (dimethyl sulfo-oxida) 4% dipergunakan sebagai pelarut EMS (EMS

0%). Sebagai kontrol digunakan aquades dengan lama perendaman yang sama.

Masing-masing perlakuan terdiri dari 36 eksplan. Setelah diberi perlakuan EMS,

eksplan dibilas 3 kali dengan aquades steril (kecuali kontrol aquades), kemudian

diletakkan di dalam cawan petri yang telah diberi lapisan kertas saring steril.

Setelah itu eksplan ditanam pada media DKW dengan penambahan zat pengatur

tumbuh IBA 5 mg/l, gula 30 g/l dan pemadat phytagel 2 g/l dengan pH media 5.8

sebanyak 3 eksplan per botol. Dengan demikian setiap perlakuan terdiri dari 12

botol.

Seleksi In Vitro

Seleksi in vitro dilakukan di dalam 3 buah ruangan yang berbeda yaitu

ruang inkubasi kontrol dengan rata-rata suhu siang 17.3 ± 0.5ºC, ruang seleksi I

dengan rata-rata suhu siang 23.3 ± 2.1ºC dan ruang seleksi II dengan rata-rata

suhu siang 32.8 ± 1.7ºC. Suhu 17.3 ± 0.5ºC pada ruang inkubasi kontrol dan

suhu 23.3 ± 2.1ºC pada ruang seleksi I dikontrol dengan menggunakan AC,

sedangkan suhu 32.8 ± 1.7ºC pada ruang seleksi II diperoleh dengan

menggunakan bantuan lampu pijar yang dicat hitam sebagai sumber panas.

Lampu pijar diletakkan pada bagian atas rak kultur bersebelahan dengan lampu

(32)

ditanam pada media DKW + IBA 5 mg/l diinkubasi pada masing-masing suhu

seleksi dengan pencahayaan dua buah lampu TL masing-masing 40 watt selama

16 jam. Penempatan perlakuan EMS di dalam masing-masing suhu seleksi

menggunakan rancangan lingkungan acak kelompok dengan 4 ulangan.

Masing-masing ulangan terdiri dari 1 botol kultur dan Masing-masing-Masing-masing botol kultur terdiri

dari 3 eksplan. Seleksi dilakukan selama 3 bulan dengan subkultur setiap bulan.

Subkultur dilakukan pada media yang sama kecuali apabila telah terbentuk tunas

atau kecambah fase kotiledon akhir dan akar subkultur dilakukan pada media

DKW tanpa zat pengatur tumbuh. Untuk mengetahui kondisi suhu seleksi

dilakukan pengukuran suhu harian pada pukul 09.00, 12.00 dan 15.00 WIB.

Pertukaran posisi botol kultur di dalam ulangan dilakukan setiap 2 kali seminggu

untuk lebih memeratakan suhu di antara botol kultur yang diinkubasi pada suhu

32.8 ± 1.7ºC.

Peubah yang diamati meliputi penambahan bobot segar eksplan (diamati

setiap bulan pada umur 1, 2 dan 3 bulan), persentase eksplan membentuk tunas

(diamati setiap bulan pada umur 1, 2 dan 3 bulan), jumlah tunas per eksplan

(diamati setiap bulan pada umur 1, 2 dan 3 bulan) dan persentase eksplan hidup

(diamati setiap bulan pada umur 1, 2 dan 3 bulan). Di samping itu dilakukan juga

pengamatan terhadap tipe dan frekuensi variasi fenotipe tunas umur 3 bulan

pada masing-masing perlakuan EMS dan suhu seleksi. Frekuensi variasi tunas

dihitung dengan cara berikut :

Jumlah tunas dengan tipe variasi fenotipe tertentu

Frekuensi variasi = --- X 100% Jumlah tunas yang diamati

Kriteria seleksi didasarkan pada kemampuan eksplan bertahan hidup

pada kondisi suhu seleksi. Embrio somatik yang mampu bertahan hidup atau

tunas yang terbentuk dan mampu bertahan hidup selama periode seleksi

dikategorikan sebagai embrio somatik dan tunas yang tahan atau tidak sensitif

terhadap suhu seleksi. Sebaliknya embrio somatik atau tunas yang tidak dapat

bertahan hidup atau mati selama periode seleksi dianggap sebagai embrio

somatik atau tunas yang tidak tahan atau sensitif terhadap suhu seleksi.

Analisis ragam dilanjutkan dengan uji Jarak Berganda Duncan pada taraf α 0.05 menggunakan program SAS 9.1 dilakukan untuk mengetahui pengaruh

perlakuan EMS terhadap pertumbuhan dan perkembangan eksplan pada

(33)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Penelitian Induksi Kalus dan Embriogenesis Somatik

Kalus purwoceng berhasil diinduksi dari eksplan daun pada media MS

dengan penambahan zat pengatur tumbuh 2,4-D 2 mg/l + pikloram 0.5 mg/l.

Inisiaisi kalus mulai terbentuk pada umur 1 minggu. Pada umur 4 minggu hampir

seluruh permukaan eksplan telah ditutupi oleh kalus. Kalus yang terbentuk

berwarna krem keputihan atau krem muda dengan struktur yang kompak

(Gambar 2A dan B). Setelah berumur 6 minggu kalus dipindahkan ke dalam

media induksi embriogenesis somatik yaitu media DKW dengan penambahan zat

pengatur tumbuh IBA 5 mg/l. Pada umur 6 minggu mulai terbentuk embrio

somatik fase globuler dan hati berwarna krem kehijauan (Gambar 2C dan D).

Embrio somatik pada fase ini kemudian digunakan sebagai bahan untuk induksi

mutasi dengan EMS dilanjutkan dengan seleksi in vitro pada suhu tinggi.

[image:33.595.185.440.407.662.2]

C D

Gambar 2 Kalus yang diinduksi dari eksplan daun pada media MS + 2,4-D 2 mg/l + pikloram 0.5 mg/l umur 4 minggu (A) dan 6 minggu (B) serta embrio somatik fase globuler (C) dan fase hati (D) yang diinduksi pada media DKW + IBA 5 mg/l

A B

(34)

Keadaan Suhu Ruang Seleksi

Hasil pengukuran suhu harian pada masing-masing ruang seleksi

menunjukkan rata-rata suhu siang hari di dalam ruang inkubasi kontrol adalah

17.3 ± 0.5ºC, ruang seleksi I 23.3 ± 2.1ºC dan ruang seleksi II 32.8 ± 1.7ºC.

Rata-rata suhu siang pada ruang inkubasi kontrol relatif stabil, sedangkan di

dalam ruang seleksi I dan II berfluktuasi seiring dengan perubahan suhu

ling-kungan. Pada ruang seleksi I rata-rata suhu pukul 12.00 dan 15.00 lebih tinggi

sekitar 0.2ºC dan 1.3ºC dibandingkan rata-rata suhu pukul 09.00. Demikian juga

pada ruang seleksi II, rata-rata suhu pukul 12.00 dan 15.00 lebih tinggi sekitar

0.9ºC dan 1ºC dibandingkan rata-rata suhu pada pukul 09.00 (Tabel 1).

Peng-gunaan AC yang intensif pada ruang inkubasi kontrol menyebabkan suhu pada

ruang tersebut lebih stabil dibandingkan suhu pada ruang seleksi I dan II. Pada

ruang seleksi I AC digunakan secara terbatas, sedangkan pada ruang seleksi II

tidak dipergunakan AC. Suhu pada ruang inkubasi kontrol merupakan suhu

[image:34.595.119.515.417.673.2]

yang selama ini digunakan untuk kultur in vitro purwoceng.

Tabel 1 Rata-rata suhu harian pada masing-masing ruang seleksi

Ruang seleksi Waktu pengukuran (WIB)

Rata-rata suhu (ºC)

Kontrol 09.00 17.3 ± 0.5

12.00 17.3 ± 0.5

15.00 17.3 ± 0.6

Rata-rata 17.3 ± 0.5

Ruang I 09.00 22.9 ± 2.0

12.00 23.1 ± 1.7

15.00 24.2 ± 2.2

Rata-rata 23.3 ± 2.1

Ruang II 09.00 32.2 ± 1.4

12.00 33.1 ± 1.6

15.00 33.2 ± 1.8

(35)

20

Keadaan Kultur

Sekitar 80% kultur yang diinkubasi pada suhu 32.8 ± 1.7ºC mengalami

kontaminasi. Sebagian besar kontaminan berupa bakteri (Gambar 3), hanya

sekitar 10% kontaminan berupa cendawan. Kontaminasi yang terjadi pada suhu

kontrol dan suhu 23.3 ± 2.1ºC sekitar 10% yang terdiri dari kontaminan bakteri

dan cendawan. Meskipun terkontaminasi, kultur pada suhu 32.8 ± 1.7ºC dapat

dipertahankan dan diamati sampai akhir seleksi karena perkembangan bakteri

[image:35.595.230.384.264.385.2]

relatif lambat, dan setiap bulan selalu dilakukan sub kultur ke dalam media baru.

Gambar 3 Kultur yang mengalami kontaminasi bakteri pada suhu 32.8 ± 1.7ºC

Pengaruh Suhu Seleksi dan EMS terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Eksplan

Indikasi pengaruh fisiologis dari mutagen pada mutagenesis secara in vitro,

dapat dilihat berdasarkan pengaruh penghambatannya terhadap pertumbuhan,

kemampuan hidup dan kemampuan regenerasi eksplan setelah aplikasi mutagen

dibandingkan kontrol tanpa perlakuan mutagen (van Harten 1998; Roux 2004).

Hasil penelitian menunjukkan pertumbuhan dan perkembangan eksplan

cen-derung semakin menurun dengan meningkatnya suhu seleksi dan dosis EMS

yang digunakan. Pertumbuhan dan perkembangan eksplan cenderung

terham-bat pada suhu 32.8 ± 1.7ºC dan dosis EMS 0.7% selama 2 jam.

Penambahan Bobot Segar Eksplan

Peubah bobot segar eksplan digunakan untuk mengukur pertumbuhan

tanaman baik secara in vitro maupun in vivo (van Harten 1998; Roux 2004;

Medina et al. 2005). Rata-rata penambahan bobot segar eksplan semakin

(36)

segar eksplan umur 1, 2 dan 3 bulan pada suhu kontrol berturut-turut berkisar

antara 0.1890 - 0.4892 g, 0.3659 - 1.6139 g dan 2.2859 - 6.1972 g. Pada suhu

23.3 ± 2.1ºC berkisar antara 0.1710 - 0.4429 g, 0.4497 - 1.9279 g dan 1.2287 -

3.5572 g dan pada suhu 32.8 ± 1.7 ºC berkisar antara 0.1393 - 0.4223 g, 0.1420

- 1.9263 g dan 0 - 0.3062 g. Suhu 32.8 ± 1.7ºC menunjukkan rata-rata

penam-bahan bobot segar eksplan paling rendah pada umur 1, 2 dan 3 bulan (Gambar

4).

Rata-rata penambahan bobot segar eksplan pada suhu kontrol dan suhu

23.3 ± 2.1ºC cenderung meningkat dengan semakin meningkatnya umur

eksplan, sedangkan rata-rata penambahan bobot segar eksplan pada suhu 32.8

± 1.7ºC cenderung menurun dengan meningkatnya umur eksplan atau

ber-tambah lamanya periode seleksi (Gambar 4). Hal ini menunjukkan suhu 32.8 ±

1.7ºC cenderung memberikan penghambatan terhadap pertumbuhan eksplan,

dan penghambatannya semakin besar dengan bertambah lamanya periode

seleksi. Menurut Sung et al. (2003), besarnya cekaman yang ditimbulkan oleh

suhu berbeda-beda tergantung dari intensitas derajat suhu, laju perubahan suhu

dan lamanya periode cekaman. Hasil penelitian Chalupa dan Durzan (1973)

dalam Chalupa (1987) dan Chalupa (1987) menunjukkan suhu memberikan

pengaruh terhadap pertumbuhan kalus tanaman Picea abies dan Pinus

banksiana. Suhu optimum untuk pertumbuhan kalus diperoleh pada suhu 25°C.

Suhu di bawah dan di atas suhu optimum menghambat pertumbuhan kalus yang

ditandai oleh rata-rata bobot segar dan bobot kering kalus yang lebih rendah

dibandingkan pada suhu 25°C.

Pengaruh EMS terhadap rata-rata penambahan bobot segar eksplan pada

suhu kontrol nyata pada umur 2 bulan. Rata-rata penambahan bobot segar

eksplan cenderung semakin menurun dengan meningkatnya dosis EMS yang

digunakan. Rata-rata penambahan bobot segar eksplan umur 2 bulan paling

tinggi diperoleh pada perlakuan EMS 0.1% selama 2 jam yaitu 1.6139 g, namun

hanya berbeda nyata dengan kontrol aquades selama 2 jam serta EMS 0.3 dan

0.7% selama 2 jam yang berturut-turut menunjukkan penambahan bobot segar

0.5835 g, 0.6383 g dan 0.3659 g. Perlakuan EMS 0.1% selama 2 jam juga

cenderung menunjukkan rata-rata penambahan bobot segar eksplan paling tinggi

pada umur 1 bulan yaitu 0.4892 g, sedangkan rata-rata penambahan bobot segar

eksplan paling tinggi umur 3 bulan ditunjukkan oleh perlakuan EMS 0% selama

(37)

22

Keterangan : Ka-1 dan Ka-2 = Kontrol aquades selama 1 dan 2 jam E0-1 dan E0-2 = EMS 0% selama 1 dan 2 jam E1-1 dan E1-2 = EMS 0.1% selama 1 dan 2 jam E3-1 dan E3-2 = EMS 0.3% selama 1 dan 2 jam E5-1 dan E5-2 = EMS 0.5% selama 1 dan 2 jam

[image:37.595.114.486.95.694.2]

E7-1 dan E7-2 = EMS 0.7% selama 1 dan 2 jam

Gambar 4 Pengaruh suhu seleksi dan EMS terhadap rata-rata penambahan bobot segar eksplan umur 1, 2 dan 3 bulan. Huruf yang sama pada umur dan suhu seleksi yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Jarak Berganda Duncan pada taraf α = 0.05.

0 0.5 1 1.5 2 (g)

Ka-1 Ka-2 E0-1 E0-2 E1-1 E1-2 E3-1 E3-2 E5-1 E5-2 E7-1 E7-2

32.8±1.7°C23.3±2.1°C 17.3±0.5°C abcd cd abc ab abc a abcd

bcd abcd abcd abcd d b

b b a

b

b b b b b b b

0 1 2 3 4 5 6 7 (g)

Ka-1 Ka-2 E0-1 E0-2 E1-1 E1-2 E3-1 E3-2 E5-1 E5-2 E7-1 E7-2

32.8±1.7°C 23.3±2.1°C17.3±0.5°C 3 bulan 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 (g)

Ka-1 Ka-2 E0-1 E0-2 E1-1 E1-2 E3-1 E3-2 E5-1 E5-2 E7-1 E7-2

32.8±1.7°C23.3±2.1°C 17.3±0.5°C

1 bulan

(38)

statistik tidak nyata. Perlakuan EMS 0.7% selama 2 jam cenderung

menun-jukkan rata-rata penambahan bobot segar eksplan paling rendah pada umur 1, 2

dan 3 bulan, yaitu berturut-turut 0.1890 g, 0.3659 g, dan 2.3751 g (Gambar 4).

Hal ini menunjukkan EMS 0.7% selama 2 jam cenderung memberikan

peng-hambatan terhadap pertumbuhan eksplan yang diinkubasi pada suhu kontrol.

Pada suhu kontrol, pengaruh tekanan dari suhu seleksi dianggap tidak ada,

sehingga pengaruh penghambatan terhadap pertumbuhan eksplan dapat

dianggap sebagai pengaruh penghambatan dari EMS secara tunggal.

Rata-rata penambahan bobot segar eksplan pada suhu 23.3 ± 2.1ºC juga

cenderung semakin menurun dengan meningkatnya dosis EMS, namun demikian

pengaruhnya secara statistik tidak nyata pada umur 1, 2 dan 3 bulan. Perlakuan

kontrol aquades, EMS 0 dan 0.1% selama 2 jam cenderung menunjukkan

rata-rata penambahan bobot segar eksplan umur 1 bulan lebih tinggi dibandingkan

perlakuan lainnya. Demikian juga perlakuan EMS 0% selama 2 jam pada umur

2 bulan dan EMS 0.1% selama 1 dan 2 jam pada umur 3 bulan. Perlakuan EMS

0.7% selama 2 jam cenderung menunjukkan rata-rata penambahan bobot segar

eksplan paling rendah pada umur 1, 2 dan 3 bulan yaitu berturut-turut 0.1710 g,

0.4497 g dan 1.2287 g (Gambar 4).

EMS memberikan pengaruh nyata terhadap rata-rata penambahan bobot

segar eksplan umur 2 bulan pada suhu 32.8 ± 1.7ºC. Rata-rata penambahan

bobot segar eksplan umur 2 bulan paling tinggi ditunjukkan oleh perlakuan EMS

0% selama 2 jam yaitu 1.9263 g, berbeda nyata dengan kontrol aquades dan

perlakuan EMS lainnya yang berkisar antara 0.1420 – 0.4239 g. Tidak terdapat

perbedaan rata-rata penambahan bobot segar yang nyata di antara kontrol

aqudes dan perlakuan EMS lainnya (Gambar 4). Pengaruh perlakuan EMS pada

umur 1 dan 3 bulan secara statistik tidak nyata, namun demikian perlakuan EMS

0.1 dan 0.3% selama 1 jam cenderung menunjukkan rata-rata penambahan

bobot segar eksplan yang lebih tinggi berturut-turut pada umur 1 dan 3 bulan

(Gambar 4).

Adanya pengaruh penghambatan dari EMS terhadap pertumbuhan dan

perkembangan eksplan embrio somatik telah dikemukakan oleh peneliti

sebe-lumnya di antaranya Yenisbar (2005) dan Purwati (2006), sedangkan pengaruh

dorongan EMS pada dosis rendah terhadap pertumbuhan eksplan embrio

somatik apokat antara lain dikemukakan oleh Yenisbar (2005) dan terhadap

(39)

24

dosis rendah juga dilaporkan mendorong pertumbuhan kalus tanaman buncis

(Svetleva & Crino 2005). Menurut van Harten (1998) dosis mutagen merupakan

hasil perkalian antara konsentrasi dan lama periode perlakuan. Semakin tinggi

konsentrasi dan lama periode perlakuan maka semakin besar dosis mutagen

yang diterima oleh tanaman. Semakin tinggi dosis mutagen semakin tinggi efek

penghambatannya terhadap pertumbuhan dan perkembangan eksplan. Namun

demikian sensitifitas setiap material tanaman terhadap mutagen berbeda-beda

tergantung faktor genetik, fisiologis dan kondisi lingkungan pada saat dan setelah

aplikasi mutagen. Penghambatan ini diduga disebabkan oleh terjadinya

kerusakan DNA pada sel yang diberi perlakuan mutagen (Gichner 2003 dalam

Purwati 2006). Dorongan EMS pada dosis rendah terhadap pertumbuhan

eksplan diduga berkaitan dengan pengaruh stres yang ditimbulkan akibat

penggunaan EMS (Van et al. 2008). Menurut Pius et al. (1994) dalam Van et al.

(2008), EMS merupakan salah satu elemen stres, dan pengaruh dorongannya

terhadap daya regenerasi pada kultur jaringan somatik telah dilaporkan

sebe-lumnya. Gaj (2002) dalam Van et al. (2008) juga mengemukakan bahwa

pe-ngaruh dorongan EMS pada dosis rendah terhadap pertumbuhan eksplan bukan

disebabkan oleh pengaruh EMS secara langsung, melainkan diakibatkan oleh

pengaruh stres yang ditimbulkan akibat perlakuan EMS.

Penggunaan pelarut bufer natrium fosfat pH 7 0.1M dan DMSO 4% (EMS

0%) cenderung meningkatkan penambahan bobot segar eksplan. Bagaimana

larutan bufer natrium fosfat dapat meningkatkan penambahan bobot segar

eksplan masih belum jelas, apakah disebabkan NaH2PO4 dan Na2HPO4 yang

digunakan sebagai bahan pembuatan bufer menjadi sumber nutrisi tambahan

bagi eksplan, atau ada pengaruh lain. Hasil ini berbeda dengan yang diperoleh

Wang et al. (2007), di mana kontrol bufer fosfat pH 3 0.1M memberikan

penghambatan terhadap kemampuan hidup eksplan kalus jagung. Diduga pH

yang rendah pada penelitian Wang et al. bersifat toksik terhadap eksplan. Bufer

natr

Gambar

Gambar 1   Kultur in vitro purwoceng yang digunakan sebagai sumber eksplan.
Gambar 2   Kalus yang diinduksi dari eksplan daun  pada media MS + 2,4-D                     2 mg/l + pikloram 0.5 mg/l umur 4 minggu (A) dan 6 minggu (B) serta                    embrio somatik fase globuler (C) dan fase hati (D) yang diinduksi                    pada media DKW + IBA 5 mg/l
Tabel 1  Rata-rata suhu harian pada masing-masing ruang seleksi
Gambar 3   Kultur yang mengalami kontaminasi bakteri pada suhu 32.8 ± 1.7ºC
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kedua ciri ini dapat diamati dengan mata telanjang (Gandahusada, 1998). Waktu keaktifan mencari darah dari masing - masing nyamuk berbeda – beda, nyamuk yang aktif

Kembalinya dasar pengaturan hukum agraria kepada hukum asli Indonesia terdapat dalam Pasal 5 UUPA, bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang

Pembenahan pembiayaan secara preventif ini oleh account officer tetap harus diajukan kepada panitia pembiayaan untuk disetujui. Setelah disetujui, maka proses

Efek antidiabetik bawang putih (Allium sativum) lebih efektif dibandingkan dengan glibenklamid telah dibuktikan pada percobaan dengan tikus Wistar yang diinduksi Streptozotocin

századi Magyarországon a nemzeti romantika jegyében a latint és a németet fokozatosan a magyar nyelv váltotta a társadalmi élet szinte minden olyan terü- letén, mely az

bandeng, kakap putih dan kerapu macan, juga telah berhasil dipijahkan dan diproduksi benihnya antara lain berbagai jenis kerapu kerapu lumpur (E. corallicola),

,engingatkan kembali ke"ada ibu tentang "ers/nal $ygiene "ada balita  dengan membiasakan kebiasaan 9u9i tangan setela$ melakukan aktiitas?.

Berdasarkan pengertian di atas bahwa hasil yang dicapai oleh seorang aparatur menurut ukuran profesionalisme dalam pekerjaannya diaplikasikan dalam prilaku,