• Tidak ada hasil yang ditemukan

Suplementasi Tepung Duckweed (Lemna Minor) Sebagai Sumber Karoten Terhadap Kualitas Telur Dan Produktivitas Ayam Petelur Fase Akhir Produksi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Suplementasi Tepung Duckweed (Lemna Minor) Sebagai Sumber Karoten Terhadap Kualitas Telur Dan Produktivitas Ayam Petelur Fase Akhir Produksi"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

1

SUPLEMENTASI TEPUNG DUCKWEED (

Lemna minor

) SEBAGAI

SUMBER KAROTEN TERHADAP KUALITAS TELUR DAN

PRODUKTIVITAS AYAM PETELUR

FASE AKHIR PRODUKSI

HALWAN ASHARI ARSYAD

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

3

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Suplementasi Tepung duckweed (Lemna minor) sebagai Sumber Karoten terhadap Kualitas Telur dan Produktivitas Ayam Petelur Fase Akhir Produksi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2015

(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

HALWAN ASHARI ARSYAD. Suplementasi Tepung Duckweed (Lemna minor) sebagai Sumber Karoten terhadap Kualitas Telur dan Produktivitas Ayam Petelur Fase Akhir Produksi. Dibimbing oleh WIDYA HERMANA dan IWAN PRIHANTORO.

Penelitian ini bertujuan untuk menguji efek dari suplementasi duckweed terhadap kualitas telur dan nilai Malondialdehyde (MDA) telur pada ayam fase akhir produksi. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan yang terdiri atas 3 ekor ayam. Perlakuan yang digunakan adalah, P0 = pakan kontrol dengan premix kuning, P1 = pakan kontrol dengan premix putih, P2 = pakan kontrol dengan premix putih + 0.5% Lemna minor, P3 = pakan kontrol dengan premix putih + 1% Lemna minor. Peubah yang diamati adalah bobot telur, bobot kuning telur, bobot putih telur, bobot kerabang telur, tebal kerabang telur, yolk colour score (intensitas warna kuning telur), Haugh Unit (HU), MDA (Malondialdehyde). Hasil penelitian menunjukkan perlakuan tidak mempengaruhi kualitas telur, tetapi nyata berpengaruh (P<0.05) terhadap penurunan nilai MDA. Suplementasi tepung duckweed dalam ransum yang dapat mengoptimalkan produksi telur adalah 0.5%, namun nilai MDA telur terbaik pada penggunaan tepung duckweed sebanyak 1% dalam ransum. Penggunaan tepung duckweed tidak memberikan pengaruh negatif terhadap kualitas telur.

Kata kunci : ayam petelur, Lemna minor (Duckweed), kualitas telur, MDA

ABSTRACT

HALWAN ASHARI ARSYAD. Supplementation of Duckweed (Lemna minor) Meal as the Source of caroten to the Quality of Eggs and Productivity of Laying Hens in Final Production Phase. Supervised by WIDYA HERMANA and IWAN PRIHANTORO.

This research aimed to examine the effects of supplementation of duckweed meal on the quality and value Malondialdehyde (MDA) of egg in laying hens on final phase of production. The experimental design used in this research was completely randomized design (CRD) with 4 treatments and 4 replications consisted of 3 chickens. Treatments used were P0 = control diet with yellow premix, P1 = control diet with white premix, P2 = control diet with white premix + 0.5% Lemna minor, P3 = control diet with white premix + 1% Lemna minor. Parameters observed in this research were quality of eggs, egg weight, weight of egg yolk, weight of white eggs, eggshell weight, eggshell thickness, yolk color score, Haugh Unit and MDA (Malondialdehyde). The results showed that treatments did not affect the eggs quality, but significantly affected (P<0.05) in decreasing MDA value. Supplementation of duckweed meal in the ration that optimizing the egg production was 0.5%, but the best supplementation of duckweed to reduce MDA was 1% in the ration. The use of duckweed meal did not negatively affect the quality of the eggs.

(7)

3

(8)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan

pada

Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan

SUPLEMENTASI TEPUNG DUCKWEED (

Lemna minor

) SEBAGAI

SUMBER KAROTEN TERHADAP KUALITAS TELUR DAN

PRODUKTIVITAS AYAM PETELUR

FASE AKHIR PRODUKSI

HALWAN ASHARI ARSYAD

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(9)
(10)
(11)
(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan limpahan kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Suplementasi Tepung duckweed (Lemna minor) sebagai Sumber Karoten terhadap Kualitas Telur dan Produktivitas Ayam Petelur Fase Akhir Produksi. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk kelulusan dan memperoleh gelar Sarjana Peternakan di Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Malondialdehyde (MDA) merupakan hasil sampingan dari radikal bebas yang dapat membahayakan tubuh manusia. Tepung duckweed mengandung β -karoten yang cukup tinggi sehingga berpotensi dapat mengurangi kandungan Malondialdehyde (MDA) dan meningkatkan kualitas pada telur ayam. Besar harapan bagi penulis agar penelitian ini dapat bermanfaat bagi penelitian selanjutnya sebagai acuan dalam pengujian kandungan Malondialdehyde (MDA) dan kualitas pada telur ayam.

Penulis menyadari penulisan skripsi ini jauh dari kesempurnaan. Penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pembaca secara umumnya dan penulis khususnya.

Bogor, Oktober 2015

(13)

3

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xiv

DAFTAR LAMPIRAN xiv

PENDAHULUAN 1

METODE 2

Materi 2

Ternak 2

Kandang Dan Peralatan 2

Pakan 2 Lokasi dan Waktu 4

Prosedur 4 Pembuatan dan Pemberian Tepung Duckweed 4 Pemeliharaan 5 Pengukuran Peubah Konsumsi dan Produksi Telur 5

Uji Kualitas Telur 5

Analisis Nilai Malondialdehyde (MDA) 5

Rancangan Percobaan dan Analisis Data 6

Perlakuan 6

Rancangan Percobaan 6

Analisis Data 6

Peubah yang Diamati 6

HASIL DAN PEMBAHASAN 6

Pengaruh Perlakuan terhadap Kualitas Telur 6

Bobot Telur 7

Kuning dan Putih Telur 7

Kerabang Telur 8

Skor Warna Kuning Telur (Yolk Color Score) 8

Haugh Unit (HU) 9

Pengaruh Perlakuan terhadap Nilai Malondialdehyde (MDA) 9

Pengaruh Perlakuan terhadap Performa Ayam 10

Konsumsi Pakan 10

Produksi Telur 11

SIMPULAN DAN SARAN 11

Simpulan 11

Saran 11

DAFTAR PUSTAKA 11

LAMPIRAN 14 RIWAYAT HIDUP 17

(14)

DAFTAR TABEL

1 Kebutuhan nutrien ayam petelur fase akhir produksi 2

2 Kandungan nutrien konsentrat, jagung, bekatul 3

3 Kandungan nutrien premix kuning, premix putih dan mineral 3

4 Susunan pakan perlakuan 4

5 Kandungan nutrisi Duckweed (% bahan kering) 5

6 Rataan kualitas telur Isa-Brown fase 4 (akhir produksi) selama 5 minggu 7

7 Performa ayam petelur Isa-Brown fase 4 (akhir produksi) 10

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil analisis ragam bobot telur 14

2 Hasil analisis ragam tinggi putih telur 14 3 Uji Duncan tinggi putih telur 14 4 Hasil analisis ragam HU 14 5 Uji Duncan HU 14

6 Hasil analisis ragam bobot putih telur 14

7 Hasil analisis ragam skor warna kuning telur 15 8 Hasil analisis ragam bobot kuning telur 15 9 Hasil analisis ragam bobot kerabang telur 15

10 Hasil analisis ragam tebal kerabang 15 11 Hasil analisis ragam persentase putih telur 15

12 Hasil analisis ragam persentase kerabang telur 16

13 Hasil analisis ragam persentase kuning telur 16

14 Hasil analisis ragam produksi telur 16

(15)

1

PENDAHULUAN

Ayam merupakan komoditas ternak utama di Indonesia yang efektif dalam menghasilkan daging dan telur sebagai sumber protein hewani. BPS (2014) menyatakan produksi telur pada tahun 2014 sekitar 1.3 milyar butir telur, sedangkan kebutuhan telur di Indonesia menurut Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian (2014) sebanyak 25.6 milyar butir telur, sehingga kebutuhan telur ayam di Indonesia belum terpenuhi. Selain produktivitas telur, kualitas telur juga perlu mendapat perhatian. Kualitas telur meliputi warna, bentuk, tekstur, keutuhan, kebersihan kerabang, kekentalan putih telur, warna kuning telur, posisi kuning telur, dan keberadaan noda–noda berupa binti–bintik darah pada kuning telur maupun putih telur (Umar 2000). Selain dari parameter tersebut kualitas telur juga dapat diukur dari nilai Malondialdehyde (MDA) sebagai hasil samping radikal bebas. Menurut Poerinanti (2014) β-karoten berperan dalam pembentukan vitamin A yang berfungsi sebagai antioksidan yang akan menekan nilai dari hasil sampingan radikal bebas berupa Malondialdehyde (MDA).

Selama ini peternak lebih tertarik menggunakan pakan komersial, karena lebih praktis dan terjamin kualitasnya. Pakan komersial memiliki nutrien yang lengkap dan seimbang, namun disisi lain harga pakan komersial relatif mahal (Rasyaf 2004). Sehingga dibutuhkan inovasi pakan yang dapat menekan biaya produksi dan meningkatkan produktivitas telur.

Salah satu bahan pakan yang potensial untuk meningkatkan kualitas dan produktivitas telur adalah Lemna minor yang dikenal dengan sebutan duckweed atau mata lele atau kiyambang. Duckweed merupakan tanaman air yang sering dianggap sebagai gulma oleh sebagian kalangan. Duckweed memiliki pertumbuhan yang sangat cepat. Tanaman ini dapat berkembang dua kali lipat dari jumlah awal hanya dalam waktu 24 jam. Laju produksi duckweed telah diprediksi sekitar 10–20 ton ha-1 tahun (Leng et al. 1995; Les et al. 1997).

Alasan utama penggunaan duckweed sebagai bahan pakan ialah tingginya kandungan β-karoten. Haustein et al. (1990) menyatakan penggunaan tepung duckweed pada ransum dapat meningkatkan pigmentasi kuning telur dikarenakan duckweed memiliki kandungan karotenoid berupa β-karoten, yang berfungsi dalam pembentukan vitamin A sebagai antioksidan yang akan menekan nilai dari hasil sampingan radikal bebas berupa Malondialdehyde (MDA). Selain itu, susunan asam amino dalam protein duckweed menyerupai protein hewani, sehingga membuat duckweed dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak yang berfungsi meningkatkan produktivitas ternak (Hillman dan Culley 1978). Menurut Anderson et al. (2011) duckweed dapat digunakan sebagai sumber protein dalam pakan. Selain itu diharapkan ayam petelur yang diberi pakan duckweed mempunyai kualitas telur dan konsumsi pakan yang lebih baik.

(16)

2

METODE

Materi

Ternak

Penelitian ini menggunakan 48 ekor ayam petelur strain ISA-brown fase akhir produksi umur 78 minggu. Pemeliharaan ayam dialokasikan ke dalam 4 perlakuan dengan 4 ulangan secara acak, dan setiap ulangan terdiri dari 3 ekor ayam.

Kandang dan Peralatan

Kandang yang digunakan adalah kandang baterai sebanyak 16 petak masing-masing petak berisi 3 ekor ayam yang terbuat dari kawat dan dilengkapi dengan tempat pakan dan air minum. Ukuran setiap petak kandang adalah panjang 92 cm, lebar 47 cm dan tinggi 44 cm. Peralatan yang digunakan adalah lampu sebagai alat penerangan, timbangan, plastik ransum, termometer ruang, egg-tray dan ember plastik.

Peralatan yang digunakan untuk mengukur kualitas fisik telur adalah jangka sorong untuk mengukur tebal kerabang, Yolk Color Fan Robotmation, meja kaca, timbangan digital AND HL-100 kapasitas 100 gram x 0.01 gram, jangka sorong, dan kantong plastik.

Pakan

Pemberian pakan harus dapat memenuhi kebutuhan nutrien ayam petelur yang disesuaikan dengan umur ayam. Kebutuhan nutrien ayam petelur fase akhir produksi dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Kebutuhan nutrien ayam petelur fase akhir produksi Konsumsi 115 gram ekor-1 hari-1

Nutrien Jumlah

Protein Kasar (%) 15

Energi Metabolis (kkal kg-1) 2800

Kalsium (%) 4.4

Fosfor tersedia (%) 0.31

Natrium (%) 0.15

Asam Linoleat (%) 1.1

Metionin (%) 0.32

Lisin (%) 0.69

Sumber : Leeson dan Summers (2005)

(17)

3

Tabel 2 Kandungan nutrien konsentrat, jagung, bekatul (as fed)

Nutrien Konsentrat Jagung Bekatul

Air (%) 7.89 13.10 9.67

Hasil analisis proksimat Laboratorium Pusat Antar Universitas IPB (2015)

Pakan tambahan (feed additive) yang digunakan dalam pakan perlakuan adalah premix kuning, premix putih serta mineral. Kandugan nutrien yang terdapat dalam premix kuning, premix putih dan mineral ditampilkan pada Tabel 3.

Tabel 3 Kandungan nutrien premix kuning, premix putih dan mineral

Nutrien Premix Kuning Premix Putih Mineral

Vitamin A

Label premix kuning, premix putih dan mineral

(18)

4

Tabel 4 Susunan pakan perlakuan

*)Kandungan nutrien hasil perhitungan berdasarkan hasil analisis proksimat dari konsentrat, jagung, bekatul di Laboratorium PAU IPB (2015). 1)Berdasarkan label konsentrat dan label komposisi nutrien dan Leeson dan Summers (2005).

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2014 hingga bulan Februari 2015 di Laboratorium Agrostologi Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan Institut Pertanian Bogor, peternakan “Rena Farm” Jawa Timur dan di Laboratorium Fisiologi Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Prosedur

Pembuatan dan Pemberian Tepung Duckweed

Tanaman duckweed diproduksi dengan cara melakukan budidaya. Tanaman duckweed dibudidayakan dengan cara menanam pada kolam terpal dengan ukuran 1x1 meter. Kolam yang telah siap digunakan diisi dengan air hingga setinggi kurang lebih 20 cm dari dasar. Kolam yang telah diisi dengan air diberi pupuk kompos sekitar 500 gram. Setelah kolam diberi pupuk dilakukan penanaman bibit duckweed. Bibit duckweed yang ditanam sekitar 10 gram. Bibit duckweed diperoleh secara gratis dari tambak di daerah Ciamis. Setiap seminggu sekali selama 2 bulan dilakukan pemanenan tanaman duckweed secara berkala. Duckweed yang telah

(19)

5

dipanen diangin – anginkan dan dijemur hingga kering. Duckweed yang telah kering digiling hingga menjadi tepung duckweed. Pemberian tepung duckweed dicampur dengan pakan kontrol sesuai dengan perlakuan. Kandungan nutrien yang terdapat pada duckweed dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Kandungan nutrisi duckweed (% bahan kering) Abu (%) Protein kasar

BETN = Bahan ekstrak tanpa nitrogen

Hasil analisis proksimat Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, IPB (2015).

Pemeliharaan

Persiapan kandang dimulai dengan memasang kandang baterai yang terbuat dari kawat, kandang yang digunakan sebanyak 16 buah, setiap kandang berisi 3 ekor ayam. Sebelum kandang dan peralatan lainnya seperti tempat pakan dan air minum digunakan, dibersihkan terlebih dahulu, setelah itu dilakukan pengapuran pada kandang dan diberi disinfektan. 48 ekor ayam dibagi dalam 4 perlakuan dengan 4 ulangan, masing-masing ulangan terdiri dari 3 ekor.

Pengukuran Peubah Konsumsi dan Produksi Telur

Pemeliharaan dilaksanakan selama 6 minggu dengan masa adaptasi pakan selama 1 minggu. Selama penelitian air minum diberikan ad libitum. Pemberian pakan dan minum dilakukan sebanyak 2 kali dalam sehari yaitu pada pagi jam 07.00 WIB, dan sore hari jam 16.00 WIB. Telur yang diproduksi dicatat jumlahnya setiap hari. Penimbangan dan penghitungan pakan yang dikonsumsi dilakukan setiap satu minggu sekali.

Uji Kualitas Telur

Pengujian kualitas telur dilakukan dengan cara mangambil sampel telur setiap ulangan. Sampel ditimbang untuk mengukur bobot telur, setelah itu telur dipecah dan diukur ketinggian putih telurnya. Setelah itu putih dan kuning telurnya dipisah. Putih telur dan kuning telur yang telah dipisah masing-masing ditimbang untuk mengetahui bobot putih telur dan bobot kuning telur. Kerabang telur kemudian dipisahkan dari shell membrane. Kerabang telur dan kulit ari yang telah dipisahkan masing-masing ditimbang untuk mengetahui bobot kerabang telur dan shell membrane. Pengukuran ketebalan dilakukan pada tiga titik yaitu ujung lancip, ujung tumpul, dan bagian tengah telur. Warna kuning telur diukur dengan menggunakan alat yolk color fan yang terdiri dari 15 skor warna dengan skala skor dari 1 (kuning pucat) hingga 15 (orange).

Analisis Nilai Malondialdehyde (MDA)

(20)

6

1 jam, kemudian dilakukan sentrifugasi dengan kecepatan 3.000 rpm selama 10 menit. Absorbansi diukur dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 532 nm.

Rancangan Percobaan dan Analisis Data

Perlakuan

Penelitian ini menggunakan 4 perlakuan dan 4 ulangan, berupa : P0 = pakan kontrol dengan premix (kuning)

P1 = pakan kontrol dengan premix putih + 0% tepung Duckweed P2 =pakan kontrol dengan premix putih + 0.5% tepung Duckweed P3 = pakan kontrol dengan premix putih + 1% tepung Duckweed Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan :

Model matematik yang digunakan berdasarkan Steel dan Torrie (1993) : Yij = µ + τi + ε ij

Keterangan :

Yij : nilai pengamatan untuk perlakuan pakan yang diberikan (P0, P1, P2 dan P3) ke-I dan ulangan ke-j

µ : rataan umum

τi : pengaruh perlakuan (P0, P1, P2, dan P3) ke-i

ε ij : Error perlakuan (P0, P1, P2, dan P3) ke-I dan ulangan ke-j Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis ragam (ANOVA). Perbedaan nyata dilanjutkan dengan Uji Duncan (Steel dan Torrie 1993). Data persentase bobot kuning telur, persentase bobot kerabang, persentase bobot shell membrane sebelum dilakukan ANOVA dilakukan tranformasi arcsin terlebih dahulu.

Peubah yang Diamati

a. Kualitas Telur : bobot telur (gram butir-1), bobot kuning telur (gram), bobot putih telur (gram), bobot kerabang telur (gram), bobot shell membrane, tebal kerabang telur (mm), Haugh Unit, yolk color score b. MDA (Malondialdehyde).

c. Performa : konsumsi pakan dan produksi telur

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Perlakuan Terhadap Kualitas Telur

(21)

7

(intensitas warna kuning telur), Haugh Unit (HU). Hasil analisis kualitas telur ayam dapat dilihat pada Tabel 6.

Bobot Telur

Hasil analisis ragam menunjukkan perbedaan antar perlakuan terhadap bobot telur. Rataan bobot telur dari 4 perlakuan berkisar antara 61.37-65.47 g butir-1. Rataan bobot telur perlakuan yang didapat dari hasil penelitian lebih berat daripada standar bobot telur ayam layer. Menurut Leeson dan Summer (2005) ayam layer fase akhir produksi dengan konsumsi protein 15-16 g memiliki bobot telur berkisar antara 55.31-58.15 g butir-1. Berdasarkan hasil yang didapat dari penelitian ini bobot telur P3 dengan penggunaan 1% tepung duckweed relatif lebih berat dibanding lainnya. Hal ini diperkirakan karena tepung duckweed memiliki kandungan protein yang tinggi, sehingga berkonstribusi positif terhadap kualitas protein pakan yang digunakan pada ayam. Menurut Amrullah (2003) peningkatan protein dalam ransum dapat menambah bobot total telur. Hasil analisis proksimat pada penelitian menunjukkan kandungan protein pada duckweed sebesar 22.40%. Menurut Widjastuti dan Kartasudjana (2006) protein dapat meningkatkan bobot telur karena pada saat telur tidak dibentuk, pada hari-hari tertentu, terjadi akumulasi protein, sehingga ketersediaan protein untuk membentuk satu butir telur pada hari berikut menjadi lebih banyak.

Tabel 6 Rataan kualitas telur ayam ISA-Brown fase akhir produksi selama 5 minggu

Peubah

Perlakuan

P0 P1 P2 P3

Bobot telur (g butir-1) 61.37±2.25 62.85±3.28 64.97±1.65 65.47±1.90 Bobot kuning telur (g) 17.37±1.23 16.67±0.34 16.73±1.08 17.07±0.71 Bobot kuning telur (%) 28.33±1.70 26.59±0.89 25.69±2.32 26.22±1.35 Bobot putih telur (g) 37.56±1.97 39.42±2.76 41.41±2.07 41.73±2.06 Bobot putih telur (%) 61.11±1.62 62.62±1.11 63.76±2.07 63.58±1.28 Tinggi putih telur (mm) 6.48±0.42b 7.49±0.29a 6.55±0.35b 6.88±0.34b Bobot kerabang telur

(g) 5.85±0.18 6.03±0.24 6.19±0.35 5.98±0.17 Bobot kerabang (%) 9.57±0.33 9.63±0.28 9.57±0.31 9.15±0.21 Bobot shell membrane 0.6±0.13 0.72±0.04 0.64±0.06 0.68±0.11 Bobot shell membrane

(%) 0.99±0.26 1.17±0.06 0.99±0.09 1.05±0.15

Haugh Unit (HU) 77.76±2.64b 84.03±2.30a 77.84±2.49b 80.08±1.48ab

Yolk color score 9.60±0.28 10.25±1.06 9.45±1.06 9.60±0.16

Tebal kerabang (mm) 0.40±0.01 0.41±0.01 0.40±0.02 0.41±0.01

(22)

8

Kuning dan Putih Telur

Telur merupakan salah satu produk dari unggas yang memiliki kandungan gizi tinggi. Kuning telur merupakan sumber lemak pada telur. Hasil analisis ragam menunjukkan perlakuan tidak memberikan pengaruh terhadap bobot kuning telur. Hasil yang didapat dari penelitian menunjukkan bobot kuning telur berkisar antara 25.69%-28.33%. Putih telur merupakan sumber protein pada telur. Hasil analisis ragam menunjukkan perlakuan tidak memberikan pengaruh terhadap bobot putih telur. Hal ini dapat disebabkan oleh ayam yang digunakan telah berumur tua dan masuk fase akhir produksi sehingga mempengaruhi terhadap kualitas telur yang dihasilkan. Menurut Abbas (1989) kualitas internal telur akan mengalami penurunan karena faktor fisiologis, faktor genetik (umur), penyimpanan, bakteri pembusuk. Hasil yang didapat dari penelitian menunjukkan bobot putih telur berkisar antara 61.11%-63.76%. Bobot putih telur yang didapat dari hasil penelitian lebih tinggi dan bobot kuning telur lebih rendah dibandingkan pernyataan Ariyani (2006) bahwa telur terdiri atas 3 bagian yaitu kulit telur (egg shell) dengan persentase bobot 11%, putih telur (albumen) dengan persentase bobot 58%, kuning telur (yolk) dengan persentase bobot 31%. Bobot putih telur tertinggi berada pada perlakuan P2 dengan penggunaan 0.5% tepung duckweed. Tinggi putih telur dipengaruhi oleh tingkat kekentalan putih telur, semakin kental putih telur maka akan semakin tinggi putih telur. Hasil yang didapat dari penelitian menunjukkan kisaran tinggi putih telur antara 6.48 mm-7.59 mm. Tinggi putih telur tertinggi terdapat pada perlakuan P1. Hal ini disebabkan oleh pakan P1 yang menggunakan premix putih yang mengandung DL-Methionin, sehingga membuat putih telur lebih kental dan lebih tinggi. Wahju (1997) menyatakan methionin merupakan asam amino pembatas pertama yang sering mempengaruhi pembentukan struktur albumen dan mempengaruhi jala-jala ovomucin. Menurut Saputra et al. (2015) tinggi putih telur dipengaruhi oleh kekentalan putih telur, tetapi kekentalan putih telur lebih dipengaruhi oleh kemampuan ovomucin dalam mempertahankan kekentalan putih telur.

Kerabang Telur

(23)

9

Skor Warna Kuning Telur (Yolk Color Score)

Skor wana kuning telur merupakan salah satu faktor penting untuk menentukan kualitas telur oleh konsumen (Balnave dan Bird 1996). Hasil yang didapat dari penelitian menunjukkan bahwa perlakuan tidak mempengaruhi skor warna kuning telur yang dihasilkan, yaitu berkisar antara 9.45-10.25. Skor warna kuning telur yang didapat dari hasil perlakuan telah memenuhi skor warna kegemaran masyarakat. Menurut Djunu (2012), masyarakat menggemari warna kuning telur dengan skor berkisar 9-11.

Haugh Unit (HU)

Keenceran putih telur berhubungan dengan nilai Haugh Unit, semakin encer putih telur maka semakin rendah pula nilai Haugh Unit (Buckle et al. 1986). Telur dengan nilai HU dibawah 50 digolongkan ke dalam telur yang tidak layak konsumsi (Buckle et al. 1986). Hasil yang didapat dari perlakuan menunjukkan besarnya nilai HU berkisar antara 77.76-84.03. Hasil terbaik didapatkan pada perlakuan P1 sebesar 84.03±2.30. Nilai HU dari hasil perlakuan diatas batas minimum telur layak konsumsi karena nilai yang diuji adalah telur segar. Nilai HU lebih dipengaruhi oleh lamanya penyimpanan. Hal ini didukung dengan pernyataan Suradi (2006) bahwa nilai HU nyata dipengaruhi oleh lamanya penyimpanan. Berdasarkan nilai HU telur dikelompokkan kedalam 4 kualitas, yaitu kualitas AA, A, B dan C (Nesheim et al. 1979). Nilai HU digolongkan kualitasnya semua termasuk kualitas AA. Hal ini mengacu pada standar kualitas yang ditetapkan Nesheim et al. (1979) bahwa telur dengan nilai HU diatas 72 digolongkan kedalam kelas AA, nilai HU telur berkisar 60-72 termasuk kelas A, nilai HU telur 60-31 termasuk kelas B, nilai HU telur dibawah 31 termasuk kelas C.

Pengaruh Perlakuan terhadap Nilai Malondialdehyde (MDA)

Malondialdehyde (MDA) merupakan hasil peroksida lipid yang menyebabkan kerusakan pada lemak. Kerusakan itu terjadi karena adanya aktivitas radikal bebas dan menyebabkan oksidasi lipid mengalami peningkatan (Supartondo 2002). MDA juga dapat merusak protein dengan cara menghasilkan protein karbonil, hidroksileusin, hidrovalin dan nitrotirosin, sehingga menyebabkan protein mudah lisis (Supartondo 2002).

(24)

10

Nilai MDA dapat diperoleh dengan cara melakukan tes Malondiadehyde kuning telur di laboratorium. Menurut Poerinanti (2014), semakin tinggi nilai MDA maka semakin rendah nilai antioksidannya yang menunjukkan terjadi oksidasi pada bahan. Antioksidan berperan dalam menekan MDA yang terbentuk. Antioksidan dapat terbentuk dari pemanfaatan β-karoten yang diubah menjadi vitamin A dalam pakan. Hasil penelitian (Gambar 1), nilai MDA pada perlakuan P1 adalah yang tertinggi dengan nilai sebesar 385% diatas P0, dan nilai MDA P2 11.46% lebih tinggi dibandingkan P0. Hasil berbeda pada P3, dimana nilai MDA lebih rendah 90.29% dibanding P0. Hal ini dimungkinkan terjadi karena tepung duckweed memiliki kandungan β-karoten yang cukup tinggi sehingga peningkatan level tepung duckweed pada pakan mampu menurunkan kadar MDA dari telur. Berdasarkan analisis proksimat yang dilakukan kandungan β-karoten pada tepung duckweed sebesar 187 mg kg-1. Kandungan β-karoten dari duckweed dan jagung pada P1, P2 dan P3 secara berurutan adalah 5.65%, 6.01%, 6.59%.

Pengaruh Perlakuan terhadap Performa Ayam

Pengamatan performa ayam ISA-brown meliputi dua peubah, yaitu konsumsi pakan dan produksi telur. Hasil pengamatan performa ayam petelur ISA-Brown fase akhir produksi disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Performa ayam petelur Isa-Brown fase akhir produksi Peubah

Perlakuan

P0 P1 P2 P3

Konsumsi pakan g

ekor-1 hari-1 76.70±2.00 78.84±3.87 86.12±2.15 80.74±2.61 Produksi telur (%) 56.43±1.63c 65.71±1.10a 66.19±2.27a 61.67±2.11b P0 (ransum kontrol + premix (kuning)), P1 (ransum kontrol + premix (putih) + 0% tepung duckweed), P2 (ransum konrol + premix (putih) + 0.5% tepung duckweed), P3 (ransum control + premix (putih) + 1% tepung duckweed). Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05)

Konsumsi Pakan

(25)

11

sebanyak 0.5% dan 1%. Konsumsi serat kasar pada perlakuan P2 dan P3 yaitu sebesar 2.59 g dan 2.70 g.

Produksi Telur

Produksi telur ayam layer dapat diperoleh dari persentase jumlah telur harian atau Hen Day yang dihasilkan oleh setiap perlakuan. Menurut Lesson dan Summer (2005) siklus produksi ayam petelur dibagi menjadi 4, fase 1 umur (18-32 minggu), fase 2 (32-45 minggu), fase 3 (45-60 minggu), fase 4 (60-70 minggu). Ayam yang digunakan pada penelitian ini adalah ayam akhir produksi pada fase 4. Hasil produksi telur yang diperoleh dari pemberian perlakuan berkisar 56.43%-66.19%. Menurut penelitian Nurcholis et al. (2009) produksi telur ayam Isa-Brown fase 4 berkisar 70.5%-72.5%. Produksi telur pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan produksi telur hasil penelitian Nurcholis et al. (2009), tetapi produksi telur dari ayam yang diberi tepung duckweed menunjukkan adanya peningkatan produksi dibandingkan kontrol (P0). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa P1 dan P2 adalah yang tertinggi (65.71%-66.19%). Hasil ini menunjukkan bahwa pemanfaatan tepung duckweed 0.5% tidak berpengaruh negatif terhadap tingkat produksi telur. Pemberian tepung duckweed 1% (P3) nyata (P<0.05) menurunkan produksi telur (Tabel 6). Hal ini disebabkan adanya peningkatan konsumsi serat kasar pada (P3) sebanyak 0.11 g dibandingkan (P2). Peningkatan serat kasar akan menurunkan konsumsi pakan sehingga berdampak pada penurunan produksi telur ayam (Amrullah 2003).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Efektifitas pemberian tepung duckweed dalam ransum yang dapat mengoptimalkan produktivitas telur adalah 0.5%, namun nilai MDA telur terbaik pada penggunaan tepung duckweed sebanyak 1% dalam ransum. Penggunaan tepung duckweed tidak memberikan pengaruh negatif terhadap kualitas telur.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan meningkatkan taraf tepung duckweed agar terlihat pengaruh pemberian tepung duckweed terhadap kualitas telur yang didapat.

DAFTAR PUSTAKA

Abbas MH. 1989. Pengelolaan Produksi Unggas. Jilid Pertama. Padang (ID): Universitas Andalas.

(26)

12

Anderson KE, Lowman Z, Anne-Marie Stomp, Jay Chang. 2011. Duckweed as a feed ingredient in laying hen diets and its effect on egg production and composition. Int J Poult Sci. 10 (1): 4-7.

Ariyani E. 2006. Penetapan kandungan kolesterol dalam kuning telur pada ayam petelur. Bogor (ID): Temu Teknis Tenaga Fungsional Pertanian.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Produksi telur unggas dan susu sapi menurut provinsi (ton) 2007-2014. Jakarta (ID): Pusat Satistik [diunduh 24 Agustus 2015]. Tersedia pada: http://www.bps.go.id/.

Balnave D, Bird JN. 1996. Relative efficiencies of yellow caretenoids for egg yolk pigmentation. AJAS. 9 (5): 515 -517

Buckle KA, Edward RA, Fleet GH, Wooton M. 1986. Ilmu Pangan. Diterjemahkan oleh H.Purnomo dan Adiono. Jakarta (ID). UI. Press.

Capeyron MFM, Julie C, Eric B, Jean P, Jean MR, Piere B. 2002. A diet cholesterol and deficient in vitamin E induces lipid peroxidation but does not enhance antioxidant enzyme expression in rat liver. J NutrBiochem 13:296-301.

Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian. 2014. Konsumsi daging ayam dan telur di masyarakat masih rendah. Jakarta (ID): Kementrian Pertanian [diunduh 24 Agustus 2015]. Tersedia pada: http:// http://pphp.pertanian.go.id/. Djunu SS. 2012. Kualitas telur ayam ras petelur yang diberi penambahan tepung

daun pada ransum. Laporan Hasil Penelitian Iptek Dana PNBP. Gorontalo (ID): Gorontalo University.

Haustein AT, Gilman RH, Skillcorn PW, Hannan H, Diaz F, Guevara V, Vergara V. 1990. Duckweed, a useful strategy for feeding chickens: performance of layers fed with sewage-grown lemnacea species. Poult Sci. 69 (2): 1835-1844.

Hillman WS, Culley DD. 1978. The uses of duckweed : The rapid growth, nutritional value, and high biomass productivity of these floating plants suggest their use in water treatment, as feed crops, and in energy-efficient farming . J American Sci. 66 (4): 442-451

Hy-Line International. 2007. Hy-Line Variety Brown Commercial Management Guide. Lowa (US): A Publication of Hy-Line International.

Leeson S, Summer JD. 2005. Commercial Poultry Nutrition. 3rd Edition. Nottingham (US): Nottingham University Press.

Leng RA, Stambolie JH, Bell R. 1995. Duckweed - a potential high – protein feed

resource for domestic animal and fish. Livestock Research For Rural Development

Edition. 10 (7): 1-20.

Les DH, Landolt E, Crawford DJ. 1997. Systematics of the lemnaceae (duckweed). inferences from micromolecular and morfological data plant system evolution. Pl Syst Evol. 204: 161 – 177

Nesheim MC, Austic RE, Card LE. 1979. Poultry Production. Ed ke-12. Philadelphia (US): Lea & Febiger.

Nurcholis, Hastuti D, Sutiono B. 2009. Tatalaksana pemeliharaan ayam ras petelur periode layer di Populer Farm Desa Kuncen Kecamatan Mijen Kota Semarang. JIP. 5 (2): 38-49.

Poerinanti ADW. 2014. Potensi sorgum sebagai pengganti jagung dengan penambahan tepung duckweed (Lemna minor) terhadap kualitas dan nilai Malondialdehyde (MDA) telur puyuh. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

(27)

13

Saputra R, Septinova D, Kurtini T. 2015. Pengaruh lama penyimpanan dan warna kerabang terhadap kualitas internal telur ayam ras. JIPT. 3 (10): 75 - 80

Stadelman WJ, Cotteril OJ. 1995. Egg Science and Technology. 4th Ed. New York (US). Food Products Press. An Imprint of the Haworth Press, Inc.

Steel RGD, Torrie JH. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika. Edisi Ke-3. Terjemahan. Jakarta (ID): PT Gramedia.

Supartondo. 2002. Antioksidan dan proses menua. Di dalam: Penatalaksanaan Pasien Geriatri/Usia Lanjut secara Terpadu dan Paripurna. Prosiding Temu Ilmiah Geriatri 2002, Jakarta 25 Mei 2002. Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran UI – Jakarta.

Suradi K. 2006. Perubahan kualitas telur ayam ras dengan posisi peletakan berbeda selama penyimpanan suhu refrigerasi. JIT. 6 (2): 136-139

Umar. 2000. Kualitas fisik telur ayam kampung segar di pasar tradisional, swalayan dan peternakan di Kotamadya Bogor. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Widjastuti T, Kartasudjana R. 2006. Pengaruh pembatasan ransum dan implikasinya terhadap performa puyuh petelur pada fase produksi pertama. J Indon Trop Agric. 31 (3): 162-166.

Wahju J. 1997. Ilmu Nutrisi Unggas. Ed ke-4. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press.

(28)

14

Lampiran 1 Hasil analisis ragam bobot telur

SK Db JK KT F hitung Sig

SK: sumber keragaman, JK: jumlah kuadrat, db: derajat bebas, KT: kuadrat tengah, Fhit: nilai F, sig: signifikansi

Lampiran 2 Hasil analisis ragam tinggi putih telur

SK Db JK KT F hitung Sig

SK: sumber keragaman, JK: jumlah kuadrat, db: derajat bebas, KT: kuadrat tengah, Fhit: nilai F, sig: signifikansi

Lampiran 3 Uji Duncan tinggi putih telur

Perlakuan N Subset Lampiran 4 Hasil analisis ragam HU

SK Db JK KT F hitung Sig

SK: sumber keragaman, JK: jumlah kuadrat, db: derajat bebas, KT: kuadrat tengah, Fhit: nilai F, sig: signifikansi

Lampiran 5 Uji Duncan HU

Perlakuan N Subset Lampiran 6 Hasil analisis ragam bobot putih telur

SK Db JK KT F hitung Sig

(29)

15

Lampiran 7 Hasil analisis ragam skor warna kuning telur

SK Db JK KT F hitung Sig

SK: sumber keragaman, JK: jumlah kuadrat, db: derajat bebas, KT: kuadrat tengah, Fhit: nilai F, sig: signifikansi

Lampiran 8 Hasil analisis ragam bobot kuning telur

SK Db JK KT F hitung Sig

SK: sumber keragaman, JK: jumlah kuadrat, db: derajat bebas, KT: kuadrat tengah, Fhit: nilai F, sig: signifikansi

Lampiran 9 Hasil analisis ragam bobot kerabang telur

SK Db JK KT F hitung Sig

SK: sumber keragaman, JK: jumlah kuadrat, db: derajat bebas, KT: kuadrat tengah, Fhit: nilai F, sig: signifikansi

Lampiran 10 Hasil analisis ragam tebal kerabang

SK Db JK KT F hitung Sig

SK: sumber keragaman, JK: jumlah kuadrat, db: derajat bebas, KT: kuadrat tengah, Fhit: nilai F, sig: signifikansi

Lampiran 11 Hasil analisis ragam persentase putih telur

SK Db JK KT F hitung Sig

SK: sumber keragaman, JK: jumlah kuadrat, db: derajat bebas, KT: kuadrat tengah, Fhit: nilai F, sig: signifikansi

Lampiran 12 Hasil analisis ragam persentase kerabang telur

SK Db JK KT F hitung Sig

(30)

16

Lampiran 13 Hasil analisis ragam persentase kuning telur

SK Db JK KT F hitung Sig

SK: sumber keragaman, JK: jumlah kuadrat, db: derajat bebas, KT: kuadrat tengah, Fhit: nilai F, sig: signifikansi

Lampiran 14 Hasil analisis ragam produksi telur

SK Db JK KT F hitung Sig

SK: sumber keragaman, JK: jumlah kuadrat, db: derajat bebas, KT: kuadrat tengah, Fhit: nilai F, sig: signifikansi

Lampiran 15 uji Duncan produksi telur

(31)

17

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Madiun, Jawa Timur pada tanggal 10 November 1992. Penulis merupakan anak ke-dua dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Susilo Hadi dan Siti Nursahada. Penulis menempuh pendidikan dasar di SDN Klegen 01 Madiun pada tahun 1999-2005. Pendidikan dilanjutkan di SMPN 01 Madiun pada tahun 2005-2008 kemudian melanjutkan pendidikan di SMAN 05 Madiun pada tahun 2008-2011. Penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2011 melalui jalur Ujian Talenta Mandiri (UTM). Selama

kuliah, penulis mengikuti beberapa kegiatan kampus seperti kepanitiaan seperti Dekan Cup 2013, Student Seminar, Fapet Goes to Village 2013, Feed Formulation Training 2014, Malam Keakraban INTP 49, Himasiter sebagai staf Biro Nutricom tahun 2012-2013 dan Himasiter sebagai staf Biro Keilmuan dan Keprofesian 2013-2014. Mengikuti seminar seperti Seminar Nasional “Fapet Golden Week’, International Feed Seminar 2012, Seminar Nasional Hari Susu Nusantara.

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, nikmat, dan hidayah-Nya penulis dapat menyelsaikan penelitian dan skripsi sebagai salah satu syarat mendapat gelar kesarjanaan dari program studi Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Shalawat dan salam senantiasa penulis curahkan kepada junjunan kita Nabi Muhammad SAW.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Widya Hermana, M.Si selaku dosen pembimbing akademik dan pembimbing skripsi, Dr. Iwan Prihantoro, S.Pt. M.Si selaku pembimbing skripsi atas segala bimbingan, kesabaran, dukungan, sumbangan ide dan materi yang telah diberikan. Terima kasih kepada Dr. Ir. Asep Sudarman, M.Rur. Sc selaku dosen pembahas seminar pada tanggal 29 Desember 2014, Dr. Ir. Heri Ahmad Sukria, M. Agr. Sc dan Dr. Rudi Afnan, S.Pt. M.Agr. Sc selaku dosen pembahas sidang pada tanggal 8 Oktober 2015.

Gambar

Tabel 3 Kandungan nutrien premix kuning, premix putih dan mineral
Tabel 4 Susunan pakan perlakuan
Tabel 6 Rataan kualitas telur ayam ISA-Brown fase akhir produksi selama 5 minggu
Gambar 1. Nilai Malondialdehyde (MDA) telur ayam

Referensi

Dokumen terkait

Kandungan kolesterol dalam kuning telur ayam yang mendapat perlakuan tepung daun mengkudu atau sari buah mengkudu dalam ransum, lebih rendah dibandingkan dengan kandungan

Berdasarkan analisis ragam, tingkat substitusi jagung dengan tepung singkong ke dalam ransum percobaan tidak memberikan pengaruh terhadap rataan nilai indeks yolk

Hipotesis penelitian adalah penggunaan tepung daun kayambang dalam ransum dapat meningkatkan kandungan protein, tetapi menurunkan kandungan lemak dan kolesterol

Sebanyak 40 ekor ayam ras petelur didistribusikan secara acak ke dalam empat macam perlakuan sebagai berikut: P0 : perlakuan diberi ransum tanpa suplementasi tepung

Hal ini sesuai dengan pendapat Yuwanta (2010) yang menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi bobot kuning telur yaitu umur ternak, nutrisi dalam pakan, berat

Penelitian dengan judul “Pengaruh Penggunaan Tepung Ampas Kecap dalam Pakan Ayam Petelur Umur 80 Minggu terhadap Kandungan Kolesterol, HDL dan LDL Kuning Telur”

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penambahan tepung daun kelor pada ransum itik terhadap kandungan kolesterol, protein, skor warna kuning telur dan

Kesimpulan dari penelitian ini adalah penggunaan tepung bunga rosella sampai level 6% dalam ransum ayam Arab meningkatkan skor warna kuning telur dengan rataan terbaik yaitu