• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengelolaan Pekarangan Kampung sebagai Agroekosistem untuk Menunjang Ketahanan Pangan dan Kesejahteraan yang Berkelanjutan.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengelolaan Pekarangan Kampung sebagai Agroekosistem untuk Menunjang Ketahanan Pangan dan Kesejahteraan yang Berkelanjutan."

Copied!
67
0
0

Teks penuh

(1)

PENGELOLAAN PEKARANGAN KAMPUNG

SEBAGAI AGROEKOSISTEM UNTUK MENUNJANG

KETAHANAN PANGAN DAN KESEJAHTERAAN

YANG BERKELANJUTAN

VIVANDRA PRIMA BUDIMAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengelolaan Pekarangan Kampung sebagai Agroekosistem untuk Menunjang Ketahanan Pangan dan Kesejahteraan yang Berkelanjutan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, April 2015

(4)

RINGKASAN

VIVANDRA PRIMA BUDIMAN. Pengelolaan Pekarangan Kampung sebagai Agroekosistem untuk Menunjang Ketahanan Pangan dan Kesejahteraan yang Berkelanjutan. Dibimbing oleh HADI SUSILO ARIFIN, NURHAYATI H.S. ARIFIN, dan MADE ASTAWAN.

Alih fungsi lahan pertanian menjadi pemukiman akan mengancam ketahanan pangan karena dapat menurunkan jumlah produksi pertanian. Di sisi lain, muncul harapan dari luas agregat pekarangan yang terus bertambah. Pekarangan sebagai agroekosistem memperhatikan komponen biotik dan abiotik untuk menghasilkan berbagai produk yang bisa menunjang ketahanan pangan. Pengelolaan pekarangan dalam suatu kawasan atau kampung akan meningkatkan manfaatnya. Sejumlah pekarangan pada satu kawasan atau komunitas masyarakat disebut pekarangan kampung. Pemerintah memfasilitasi pengelolaan pekarangan kampung dengan melibatkan kelompok wanita tani (KWT). Kontribusi pengelolaan pekarangan terhadap ketahanan pangan dihitung berdasarkan nilai ekonomi produknya untuk konsumsi, berbagi, dan dijual.

Tujuan penelitian ini adalah 1) menganalisis agroekosistem pekarangan kampung, 2) menganalisis pengelolaan pekarangan kampung, 3) menganalisis pemanfaatan dan nilai ekonomi produk pekarangan, serta 4) menyusun rekomen-dasi pengelolaan agroekosistem pekarangan kampung untuk menunjang ketahanan pangan dan kesejahteraan yang berkelanjutan. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2013 sampai Juni 2014 di Kabupaten Bandung (600 – 1 200 mdpl), Kabupaten Bogor (150 – 600 mdpl), dan Kabupaten Cirebon (0 – 150 mdpl).

Kelompok luas pekarangan yang paling banyak di Kabupaten Bandung yaitu ukuran sedang (50%) dengan rata-rata 317 m2, sedangkan pekarangan di Kabupaten Bogor dan Cirebon paling banyak berukuran sempit (67% dan 60%) dengan rata-rata 143 m2 dan 145 m2. Hampir setiap pekarangan memiliki zona depan sebagai tempat bertani dan bersosialisasi. Jenis tanaman strata I dan II mendominasi di ketiga kabupaten, yang berkorelasi dengan daya dukung pekarangan sempit dan sedang. Fungsi tanaman pangan lebih banyak daripada komoditas non-pangan. Nilai ekonomi rata-rata dari produk pekarangan per m2 dalam satu tahun di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon yaitu Rp 11 100, Rp 13 400, dan Rp 10 500. Kontribusi nilai ekonomi dari pekarangan kampung yang diperoleh rumah tangga terhadap biaya konsumsi per bulannya di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon yaitu 19.1%, 10.8%, dan 7.1%. Jenis komoditas pekarangan yang paling banyak berkontribusi terhadap nilai ekonomi yaitu buah (25.3%), ternak besar (24.8%), dan sayur (12.9%). Tanaman, ternak, dan ikan di pekarangan sebaiknya disesuaikan dengan kondisi lingkungan agar produksinya optimal. Keberlanjutan pengelolaan pekarangan kampung perlu didukung oleh tiga komponen inti, yaitu kelompok tani (aspek sosial), kebun bibit (aspek ekologi), dan koperasi desa (aspek ekonomi). Adapun rekomendasinya yaitu: 1) pemberdayaan KWT oleh tenaga pendamping, 2) revitalisasi kebun bibit kelompok agar pasokan bibit tetap tersedia, terutama tanaman sayur yang musiman dan buah-buahan, 3) pengembangan usaha koperasi unit desa untuk menampung produk pekarangan kampung.

Kata kunci:

(5)

SUMMARY

VIVANDRA PRIMA BUDIMAN. Management of “Pekarangan Kampong” as Agroecosystem to Support the Sustainable of Food Security and Prosperity. Supervised by HADI SUSILO ARIFIN, NURHAYATI H.S. ARIFIN, and MADE ASTAWAN.

There have been massive changes in land use from agricultural areas into urban areas in West Java province because increasing that will reduced the size of paddy fields and farm. On the other hand, total area of pekarangan or Indonesian home garden has continuously increased in line with the increase of settlement. Pekarangan as agroecosystems produce wide range of products in order to support food security in family level. A number of pekarangan in a village region or one society communities called pekarangan kampong. Management of pekarangan kampong will improve the ability for supporting food security as well as economic value. In this context, the economic value of the product showed contribution of pekarangan which calculated from saving, sharing, and selling.

The purpose of this study is to analyze the agro-ecosystem characteristics of pekarangan kampong, to analyze management of pekarangan kampong, to analyze utilization from the production of pekarangan management as supporting food security, and to designing a management strategy recommendation of pekarangan kampong as agro-ecosystem to support sustainable food security. The study was conducted in Bandung regency (600 - 1200 m asl) as high land, Bogor regency (150

– 600 m asl) as middle land, and Cirebon regency (0 – 150 m asl) as lowland, since September 2013 until June 2014.

Based on this research, about 50% of pekarangan in Bandung regency are categorized by medium size (between 120 – 400 m2). Then about 67% and 60% of pekarangan in Bogor and Cirebon regencies are categorized by small size (between 0 – 120 m2). The average size of pekarangan in Bandung, Bogor, and Cirebon regencies are 317 m2, 143 m2, and 145 m2 respectively. Almost every pekarangan has front zone where usualy used for agricultural practice and social activities. The results show average annual economic value from harvesting product of pekarang-an in Bandung is Rp 11 100 per m2, in Bogor is Rp 13 400 per m2 and in Cirebon is Rp 10 500 per m2. The contribution of economic income from pekarangan toward monthly consumption cost in Bandung, Bogor, and Cirebon regencies are 19.1 %, 10.8%, and 7.1% respectively. In total, the kind of pekarangan commodity that gave a lot contribution to the economic value was fruits (25.3 %), livestock (24.8 %), and vegetables (12.9 %). Selected crops, livestock, and fish in pekarangan should be adapted to the environmental conditions. The prime components of pekarangan kampong is women farmer group (social aspect), communal nursery (ecological acpect), and cooperation (economic aspect). The recommendation of management of pekarangan kampong to sustainable food security and prosperity is empower-ment women farmer group which guided by assistant, communal nursery revita-lization, and cooperation improvement to collect all products from pekarangan.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

PENGELOLAAN PEKARANGAN KAMPUNG

SEBAGAI AGROEKOSISTEM UNTUK MENUNJANG

KETAHANAN PANGAN DAN KESEJAHTERAAN

YANG BERKELANJUTAN

VIVANDRA PRIMA BUDIMAN

NRP: P052120171

Tesis

sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul : Pengelolaan Pekarangan Kampung sebagai Agroekosistem untuk Menunjang Ketahanan Pangan dan Kesejahteraan yang Berkelanjutan.

Nama : Vivandra Prima Budiman

NRP : P052120171

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Hadi Susilo Arifin, MS Ketua

Dr Ir Nurhayati H.S. Arifin, MSc Prof Dr Ir Made Astawan, MS

Anggota Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Pascasarjana Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Prof Dr Ir Cecep Kusmana, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(10)
(11)

3

PRAKATA

Bismillahirrahmaanirrahim.

Alhamdulillah, segala puji dan syukur kepada Allah Yang Maha Pengasih, atas segala karunia dan pertolongan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis berjudul “Pengelolaan Pekarangan Kampung sebagai Agroekosistem untuk Menunjang Ketahanan Pangan dan Kesejahteraan yang Berkelanjutan”. Shalawat serta salam ditujukan kepada Rasulullah Muhammad SAW beserta umatnya.

Penyusunan tesis ini dalam rangka memperoleh gelar Magister Sains dari Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL), Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tujuan tesis ini menganalisis dan menyusun rekomendasi pengelolaan pekarangan dalam suatu kawasan atau kampung yang diposisikan untuk menunjang ketahanan pangan dan kesejahteraan masyarakat.

Penulis mengucapkan terima kasih dan penghormatan kepada Prof. Dr. Hadi Susilo Arifin, M.S. selaku ketua Komisi Pembimbing serta Dr. Nurhayati HS Arifin, M.Sc. dan Prof. Dr. Made Astawan, M.S. selaku anggota komisi pembimbing yang mana beliau-beliau telah sangat berjasa memberikan banyak saran serta pelajaran yang sangat berharga dalam penyelesaian tesis ini. Terima kasih juga untuk Dr. Kaswanto, M.Si. selaku dosen penguji luar komisi. Tidak lupa penulis sampaikan terima kasih banyak kepada Azka L.Z. Azra sebagai rekan penelitian, enumerator (Refi, Ray, Irma, dkk), HSA students (Arkham, Erlin, Tyo, dkk), Izan Faruqi, rekan seperjuangan di PSL – IPB 2012 (Mas Riza, Mas Royo, Kak Ita, Mba Dini, dkk) dan seluruh pihak yang telah berkontribusi dalam penyusunan tesis ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih untuk adik-adik yang baik, Vinessa Prisma Budiman dan Vimella Pratiwi Budiman, serta sangat terima kasih untuk Papah, Dr. H. Dana Budiman, M.Si. dan Mamah, Hj. Elvi Andi, Bsc. yang telah memberi dukungan luar biasa, baik materiil, nasihat, maupun doa-doanya. Karya tulis ini merupakan salah satu bakti penulis atas cinta orang tuanya.

Penulis sangat berharap tesis ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, sebagai upaya menjaga ketahanan pangan bangsa Indonesia, khusus-nya melalui upaya pengelolaan pekarangan kampung yang berkelanjutan. Semoga ke depannya bangsa Indonesia terus memiliki ketahanan pangan yang kuat.

Bogor, April 2015

(12)
(13)

i

DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR iii

DAFTAR TABEL iii

1. PENDAHULUAN 1

1.1.Latar Belakang 1

1.2.Perumusan Masalah 2

1.3.Tujuan Penelitian 3

1.4.Manfaat Penelitian 3

1.5.Ruang Lingkup Penelitian 4

1.6.Kerangka Pikir Penelitian 4

2. TINJAUAN PUSTAKA 5

2.1.Pengertian dan Fungsi Pekarangan 5

2.2.Biofisik Pekarangan 5

2.2.1. Ukuran Pekarangan 5

2.2.2. Zona Pekarangan 6

2.2.3. Keragaman Horizontal (Fungsi) 7

2.2.4. Keragaman Vertikal (Strata) 7

2.3.Agroekosistem 7

2.4.Ketahanan Pangan 8

2.5.Aspek Keberlanjutan 8

3. METODE PENELITIAN 9

3.1.Tempat dan Waktu Penelitian 9

3.2.Alat dan Bahan 10

3.3.Metode Pengumpulan Data 11

3.4.Metode Pengolahan Data 11

3.4.1. Analisis Karakteristik Pekarangan 11

3.4.2. Analisis Sosial 12

3.4.3. Analisis Hasil Pertanian dan Nilai Ekonomi 13

3.4.4. Penyusunan Rekomendasi Pengelolaan Pekarangan 13

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 15

4.1.Analisis Situasional 15

4.1.1. Kondisi Umum Kabupaten Bandung 15

4.1.2. Kondisi Umum Kabupaten Bogor 19

4.1.3. Kondisi Umum Kabupaten Cirebon 24

4.2.Analisis Karakter Agroekosistem Pekarangan 28

4.2.1. Analisis Lingkungan Agroekosistem Pekarangan 28

4.2.2. Analisis Ukuran Pekarangan 29

4.2.3. Analisis Zonasi Pekarangan 31

4.2.4. Analisis Keragaman Vertikal (Strata) Pekarangan 32 4.2.5. Analisis Keragaman Horizontal (Fungsi) Pekarangan 33

4.3.Analisis Pengelolaan Pekarangan Kampung 35

4.3.1. Analisis Demografi Kelompok Wanita Tani 35

4.3.2. Analisis Aktivitas Kelompok Wanita Tani 36

4.3.3. Analisis Kondisi Kebun Bibit Kelompok Wanita Tani 37

(14)

4.4.Analisis Pemanfaatan dan Nilai Ekonomi Produk Pekarangan Kampung 40 4.4.1. Analisis Pemanfaatan Produk Pekarangan Kampung 40 4.4.2. Analisis Nilai Ekonomi dari Produk Pekarangan Kampung 42 4.5.Rekomendasi Pengelolaan Pekarangan Kampung yang Berkelanjutan 43

5. KESIMPULAN DAN SARAN 46

5.1.Simpulan 46

5.2.Saran 47

(15)

iii

DAFTAR TABEL

1 Lokasi sampel kelompok wanita tani penerima program P2KP ... 10

2 Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ... 10

3 Data yang diperlukan dalam penelitian. ... 10

4 Analisis, standar, metode, dan analisis dalam mengolah data ... 14

5 Kondisi lingkungan desa lokasi penelitian di Kabupaten Bandung ... 16

6 Luas area, zonasi, dan fasilitas pekarangan di Desa Patrolsari, Girimekar, dan Bojongemas, Kabupaten Bandung... 17

7 Jumlah jenis tanaman, ternak, dan ikan di pekarangan kampung di Desa Patrolsari, Girimekar, dan Bojongemas ... 17

8 Kondisi pengelola pekarangan kampung di Desa Patrolsari, Girimekar, dan Bojongemas ... 19

9 Aktivitas KWT di Desa Patrolsari, Girimekar, dan Bojongemas ... 19

10 Kondisi lingkungan desa lokasi penelitian di Kabupaten Bogor ... 21

11 Luas area, zonasi, dan fasilitas pekarangan di Desa Situ Udik, Cikarawang, dan Bantarsari ... 21

12 Jumlah jenis tanaman, ternak, dan ikan di pekarangan kampung di Desa Situ Udik, Cikarawang, dan Bantarsari ... 22

13 Karakteristik pengelola pekarangan kampung di Desa Situ Udik, Cikara-wang, dan Bantarsari ... 23

14 Karakteristik KWT di Desa Situ Udik, Cikarawang, dan Bantarsari ... 23

15 Kondisi lingkungan desa lokasi penelitian di Kabupaten Cirebon ... 25

16 Luas area, zonasi, dan fasilitas pekarangan di Desa Bakung Lor, Grogol, dan Pegagan Lor ... 26

17 Jumlah jenis tanaman, ternak, dan ikan di pekarangan kampung di Desa Bakung Lor, Grogol, dan Pegagan Lor ... 26

18 Karakteristik pengelola pekarangan kampung di Desa Bakung Lor, Grogol, dan Pegagan Lor ... 27

19 Karakteristik KWT di Desa Bakung Lor, Grogol, dan Pegagan Lor ... 28

20 Kondisi umum lingkungan di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon ... 29

21 Keragaman tanaman pangan yang dominan di pekarangan kampung ... 29

22 Ukuran pekarangan di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon ... 30

23 Persentase frekuensi keberadaan zona pekarangan ... 31

24 Keragaman strata tanaman pekarangan ... 33

25 Keberadaan dan jumlah spesies hewan ternak di pekarangan ... 34

26 Demografi KWT pengelola pekarangan kampung ... 35

27 Kondisi, status lahan, dan produk kebun bibit milik KWT... 39

28 Persepsi masyarakat terhadap pemasaran kolektif dan koperasi desa ... 40

29 Hasil dan alokasi dari panen produk di pekarangan kawasan per tahun ... 41

30 Persentase kelompok komoditas per alokasi hasil panen dari pekarangan ... 41

31 Nilai ekonomi dan pemanfaatan produk pekarangan kampung per tahun ... 42

32 Persentase nilai ekonomi dari produk pekarangan kampung ... 42

(16)

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran penelitian ... 4

2 Gambaran umum fungsi pekarangan (Kehlenbeck et al. 2007) ... 5

3 Pembagian pekarangan berdasarkan zona (Arifin et al. 2009) ... 6

4 Lokasi penelitian di A) Kabupaten Bandung, B) Kabupaten Bogor, dan C) Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat... 9

5 Kondisi lingkungan desa dan lahan pertanian di Kabupaten Bandung ... 15

6 Kondisi dan contoh pemanfaatan pekarangan di Desa Patrolsari... 18

7 Kondisi dan contoh pemanfaatan pekarangan di Desa Girimekar ... 18

8 Kondisi dan contoh pemanfaatan pekarangan di Desa Bojongemas ... 18

9 Kondisi lingkungan desa dan lahan pertanian di Kabupaten Bogor ... 20

10 Kondisi dan contoh pemanfaatan pekarangan di Desa Situ Udik ... 22

11 Kondisi dan contoh pemanfaatan pekarangan di Desa Cikarawang... 22

12 Kondisi dan contoh pemanfaatan pekarangan di Desa Bantarsari ... 22

13 Kondisi lingkungan desa dan lahan pertanian di Kabupaten Cirebon ... 24

14 Kondisi dan contoh pemanfaatan pekarangan di Desa Bakung Lor ... 26

15 Kondisi dan contoh pemanfaatan pekarangan di Desa Grogol... 26

16 Kondisi dan contoh pemanfaatan pekarangan di Desa Pegagan Lor... 27

17 Pemanfaatan zona pekarangan untuk tanaman pangan dan non-pangan ... 32

18 Keanekaragaman vertikal (strata) tanaman pekarangan ... 32

19 Keanekaragaman horizontal (fungsi) tanaman pekarangan... 33

20 Perbandingan keanekaragaman tanaman pangan dan non-pangan... 34

21 Contoh produk pangan olahan dari Kabupaten Bandung ... 37

22 Contoh produk pangan olahan dari Kabupaten Bogor ... 37

23 Contoh produk pangan olahan dari Kabupaten Cirebon ... 37

24 Kondisi kebun bibit milik salah satu kelompok wanita tani di Kabupaten Bandung (kiri), Bogor (tengah), dan Cirebon (kanan) ... 38

25 Contoh kebun bibit kelompok yang mengalami kerusakan fisik ... 39

26 Model tiga pilar keberlanjutan pengelolaan pekarangan kampung ... 44

(17)

1.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia sebagai negara agraris dengan potensi sumberdaya alam yang ada, seharusnya mampu mewujudkan ketahanan pangan nasional serta kesejahteraan penduduknya. Mengacu pada definisi ketahanan pangan dari FAO (2010), maka ketahanan pangan nasional dapat diartikan sebagai kondisi ketika semua penduduk memiliki akses pangan yang cukup untuk hidup sehat dan aktif. Kebutuhan pangan penduduk Indonesia yang berjumlah 243.74 juta jiwa (BPS 2014) tidaklah sedikit dan merupakan tantangan besar bagi pemerintah. Selain itu, untuk menjaga daya beli pangan untuk konsumsi, maka kesejahteraan penduduk perlu ditingkatkan.

Permasalahan ketahanan pangan nasional yang dialami saat ini salah satunya adalah hasil panen menurun akibat berkurangnya lahan untuk aktivitas pertanian. Banyak ladang, kebun, dan sawah mengalami alif fungsi menjadi lahan terbangun seperti perumahan dan kawasan urban. Sensus Pertanian tahun 2003 menunjukkan hasil mengejutkan sebab selama tahun 2000 – 2002 telah terjadi konversi lahan pertanian seluas 563 000 ha atau sekitar 188 000 ha per tahun. Pengurangan luas lahan pertanian akibat konversi lahan mencapai 7.27 % selama tiga tahun atau rata-rata 2.42 % per tahun (Irawan 2005). Kemudian pada tahun 2010 – 2011 secara nasional telah terjadi konversi lahan pertanian seluas 355 360 hektar atau berkurang 1.97% dari tahun sebelumnya (BPS 2013). Kondisi demikian terjadi begitu masif terutama di Pulau Jawa, karena peningkatan kepadatan penduduk yang disebabkan oleh laju pertumbuhan penduduk. Jawa Barat sebagai provinsi dengan penduduk terbanyak di Indonesia, pertumbuhan penduduknya pada tahun 2000 hingga 2010 sebesar 1.9 % per tahun (BPS 2014). Pemerintah harus bijak dalam menyikapi alih fungsi lahan pertanian yang terjadi saat ini supaya kebutuhan tempat tinggal tetap terpenuhi namun tidak sampai mengancam ketersediaan pangan dalam negeri.

Tidak hanya masalah konversi lahan pertanian, faktor kemiskinan penduduk juga dapat memicu kerawanan pangan. Hal tersebut karena penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan sulit memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. Pada tahun 2013 sebanyak 28.55 juta jiwa penduduk Indonesia masih termasuk dalam kategori miskin (BPS 2014). Adapun di Provinsi Jawa Barat, sebanyak 4.38 juta penduduk masih berada di bawah garis kemiskinan yang kebanyakan tersebar di perdesaan (BPS 2014). Harga barang konsumsi pangan yang terus meningkat dan tidak terjangkau mengakibatkan mereka banyak yang mengalami rawan pangan.

Ketika terjadi pembangunan perumahan yang menggantikan lahan pertanian, maka di sisi lain, jumlah luas agregat pekarangan akan meningkat. Kondisi tersebut dimungkinkan karena masyarakat Indonesia lebih menyukai pemukiman horizontal (landed), di mana penambahan rumah penduduk akan diikuti penambahan jumlah pekarangan. Berdasarkan data Kementerian Pertanian RI pada tahun 2010, luas total pekarangan di Indonesia mencapai lebih dari 10,3 juta hektar (Arifin 2013). Luasan tersebut merupakan modal potensial untuk menunjang ketahanan pangan.

(18)

rumah tangga. Agroekosistem pekarangan didefinisikan sebagai unit penggunaan lahan di sekitar rumah yang meliputi tanaman dan/atau hewan ternak serta lahannya sendiri, yang mengubah energi cahaya matahari, air, nutrisi, tenaga kerja, dan input pertanian lainnya menjadi produk-produk yang secara ekonomis bermanfaat bagi manusia (Arifin et al. 2009). Ekosistem buatan ini diharapkan bisa bermanfaat tidak hanya di sektor pangan, tetapi juga secara ekologi dan ekonomi bagi rumah tangga secara berkelanjutan. Pentingnya pekarangan untuk melawan masalah gizi buruk dan kerawanan pangan telah semakin menjadi perhatian (Kumar dan Nair 2004).

Pemerintah Indonesia sangat memperhatikan pemenuhan kebutuhan pangan seluruh penduduknya sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang (UU) No. 18 tahun 2012 tentang pangan. UU tersebut merupakan amandemen dari UU Pangan No. 7 tahun 1996 tentang pangan, serta Peraturan Pemerintah (PP) No. 68 tahun 2002 tentang ketahanan pangan. Upaya yang dilakukan pemerintah untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional sudah cukup berhasil, meskipun beberapa komoditas pangan pokok masih diimpor, misalnya beras, kedelai, dan daging sapi. Terkait kondisi demikian, pemerintah lalu membuat kebijakan Peraturan Presiden No. 22 tahun 2009 tentang kebijakan percepatan penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumberdaya lokal, yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Pertanian No. 43 tahun 2009 tentang gerakan percepatan penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumberdaya lokal. Oleh karena itu, Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian sejak tahun 2010 mencanangkan program Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) untuk meningkatkan keanekaragaman pangan yang bergizi seimbang, sehat, dan aman (B2SA) serta memanfaatkan komoditas pangan lokal.

Program P2KP menginisiasi pengelolaan beberapa pekarangan dalam suatu kawasan untuk menunjang ketahanan pangan masyarakat. Sejumlah pekarangan pada satu kawasan atau suatu komunitas masyarakat dapat disebut pekarangan kampung (Arifin 2013). Dalam program ini, BKP melibatkan kelompok wanita tani (KWT) di desa dan kelurahan sebagai pengelola pekarangan kampung. Setiap KWT beranggota minimal 10 orang atau 10 pekarangan yang disebut dasa wisma, serta memiliki satu kebun bibit kelompok. Program P2KP direncanakan berjalan selama 5 tahun sejak 2010 hingga 2015 (BKP 2012), yang mana setiap KWT mendapat dana bantuan modal dan pengembangan usaha secara bertahap di setiap tahunnya. Pengelolaan pekarangan kampung diharapkan bermanfaat menunjang ketahanan pangan dalam aspek sosial, ekologi, dan ekonomi bagi rumah tangga maupun masyarakat lokal secara berkelanjutan.

1.2. Perumusan Masalah

(19)

3

Keanekaragaman hayati pertanian yang ada di suatu pekarangan sebaiknya memperhatikan aspek agroekologi. Hal ini maksudnya adalah perlu ada kesesuaian antara komponen biotik dengan abiotik sehingga dapat membentuk agroekosistem pekarangan yang produktif. Komponen abiotik yang perlu diperhatikan yaitu iklim, suhu udara, kelembapan udara, curah hujan, ketersediaan air, dan jenis tanah. Beberapa komponen tersebut biasanya dipengaruhi oleh ketinggian tempat di atas permukaan laut dan letak geografis. Maka menarik untuk dikaji ada atau tidaknya perbedaan komoditas pertanian dan hasil panen dari pekarangan yang berada pada ketinggian dan letak yang berbeda. Tidak hanya itu, aspek sosial-budaya dalam hal organisasi masyarakat pada tiap lokasi pun dapat dikaji. Lokasi yang dimaksud ini diklasifikasikan menjadi dataran tinggi, sedang, dan rendah.

Idealnya klasifikasi ketiga lokasi penelitian berada dalam satu daerah aliran sungai (DAS) yang terdiri atas upper stream (hulu), middle stream (tengah), dan down stream (hilir). Lokasi pelaksanaan program P2KP telah ditentukan oleh BKP tingkat provinsi, yang mana tidak setiap desa/kelurahan di kabupaten/kota terpilih sebagai penerima program ini. Berdasarkan data dan rekomendasi dari BKP Jawa Barat tidak memungkinkan untuk mengambil sampel dalam satu DAS.

Kajian beberapa pekarangan kampung dibuat menyeluruh, yang mana fungsi pekarangan tidak hanya dipandang dari aspek ketahanan pangan, tetapi juga aspek sosial, ekonomi, dan ekologi. Pengelolaan pekarangan kampung yang dilakukan oleh KWT diharapkan dapat menjawab tantangan ketahanan pangan. Meskipun banyak KWT yang baru terbentuk saat sosialisasi program P2KP, mereka dituntut untuk menghasilkan pangan yang murah, beragam, dan aman dari pekarangannya. Adapun masalah yang dikaji adalah:

1. Bagaimana kondisi eksisting pekarangan kampung milik KWT? 2. Bagaimana pengelolaan pekarangan kampung oleh KWT?

3. Bagaimana kontribusi hasil pekarangan untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga sekaligus mengurangi belanja pangan rumah tangga, menambah income rumah tangga, dan membantu kebutuhan pangan masyarakat?

4. Bagaimana strategi pengelolaan pekarangan oleh masyarakat desa agar bisa menunjang kebutuhan pangan serta meningkatkan pendapatan rumah tangga secara berkelanjutan?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis karakteristik agroekosistem pekarangan kampung milik KWT. 2. Menganalisis pengelolaan pekarangan kampung oleh KWT

3. Menganalisis pemanfaatan dan nilai ekonomi produk pekarangan.

4. Menyusun rekomendasi pengelolaan agroekosistem pekarangan kampung untuk menunjang ketahanan pangan dan kesejahteraan yang berkelanjutan.

1.4. Manfaat Penelitian

(20)

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Aspek pekarangan yang ditinjau dalam penelitian ini meliputi ekologi, pola pengelolaan, pemanfaatan produk, dan nilai ekonomi produknya. Peninjauan aspek ekologi berdasarkan kondisi perbedaan zona ekologi pekarangan. Perbedaaan zona ekologi berimplikasi pada penentuan lokasi sampel yang berada di wilayah berbeda, yaitu dataran tinggi (500 - 1 000 mdpl), sedang (150 - 500 mdpl), dan rendah (0 - 150 mdpl). Sampel merupakan pekarangan KWT penerima bantuan program P2KP. Program tersebut sebagai pendorong pengelolaan pekarangan kampung, yang mana pendanaannya bersumber dari pemerintah pusat dan bekerja sama dengan Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan di tingkat kota atau kabupaten. Aspek sosial ditinjau untuk menganalisa peran kelembagaan, yakni KWT dalam mengelola pekarangan secara kolektif. Aspek ekonomi dihitung berdasarkan nilai ekonomi produk pekarangan dari aktivitas konsumsi, berbagi, dan penjualan. Nilai ekonomi produk pekarangan mengacu pada harga yang berlaku di pasar tingkat kabupaten.

1.6. Kerangka Pikir Penelitian

Masalah ketahanan pangan nasional melatarbelakangi penelitian agroeko-sistem pekarangan ini. Pengelolaan pekarangan dalam suatu kawasan sebaiknya dilakukan secara kolektif agar memberikan dampak positif bagi rumah tangga dan juga masyarakat sekitarnya. Dampak tersebut meliputi aspek ekologi, sosial, dan ekonomi. Aspek ekologi menyentuh kajian biofisik dari pekarangan. Aspek sosial menyentuh aspek kelembagaan pengelolaan pekarangan kampung oleh KWT. Kemudian aspek ekonomi menyentuh nilai ekonomi produk pekarangan yang dikonsumsi, dibagikan, dan dijual. Produk dari penelitian ini adalah rekomendasi pengelolaan pekarangan kampung untuk menunjang ketahanan pangan dan kese-jahteraan yang berkelanjutan (Gambar 1).

(21)

5

2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian dan Fungsi Pekarangan

Pekarangan merupakan lahan dengan sistem terintegrasi dan mempunyai hubungan yang kuat antara manusia sebagai pemilik dan penghuninya dengan tumbuhan dan tanaman serta dengan hewan-hewan yang diternaknya (Arifin 2010). Pekarangan dapat dianalogikan sebagai miniatur praktik agroforestri skala rumah tangga (Arifin et al. 2009). Fungsi dasar pekarangan, khususnya di area perdesaan, yaitu sebagai sumber produksi pangan subsisten (Kumar dan Nair 2004). Secara umum, agroekosistem pekarangan memiliki fungsi produksi dan jasa lingkungan (Kehlenbeck et al. 2007). Fungsi produksi berkaitan dengan peran langsung dari konsumsi atau pemanfaatan tanaman dan hewan yang dibudidayakan, serta peran komersial dari penjualan komoditas pekarangan; sedangkan fungsi jasa lingkungan berkaitan dengan sosial, budaya, dan ekologi (Gambar 2). Pekarangan berfungsi untuk menghasilkan: 1) bahan pangan tambahan hasil sawah dan tegalan; 2) sayur dan buah-buahan; 3) unggas, ternak kecil, dan ikan; 4) rempah-rempah, bumbu, dan wangi-wangian; 5) bahan kerajinan tangan; dan 6) uang tunai (Deptan 2002). Selain itu, pekarangan juga memberi manfaat jasa lingkungan. Optimalisasi pemanfaatan pekarangan bisa ditekankan pada fungsi pekarangan yang berimbang secara produktif, baik sisi ekonomis maupun ekologis (Arifin 2013).

Gambar 2 Gambaran umum fungsi pekarangan (Kehlenbeck et al. 2007)

2.2. Biofisik Pekarangan

Biofisik pekarangan terdiri atas beberapa aspek, yaitu ukuran (luas), zonasi, keragaman vertikal (strata) tanaman, serta keragaman horizontal (fungsi) tanaman dan hewan di pekarangan (Arifin 1998, Arifin et al. 2009, 2010, Azra 2014).

2.2.1.Ukuran Pekarangan

(22)

et al. 2015). Pekarangan diklasifikasikan ke dalam empat ukuran, yaitu: (1) pekarangan sempit dengan luas kurang dari 120 m2, (2) pekarangan sedang dengan luas 120 m2 s.d. 400 m2, (3) pekarangan besar dengan luas 400 m2 s.d. 1000 m2, dan (4) pekarangan sangat besar dengan luas lebih dari 1 000 m2 (Arifin 1998; Arifin et al. 2012). Ukuran pekarangan yang lebih kecil biasanya ditemukan di kawasan perkotaan (urban) serta di lokasi yang lebih tinggi (Brownrigg 1985). Model dan penggunaan pekarangan sebagai ruang terbuka hijau (RTH) dipengaruhi oleh ukuran luas lahannya. Sebuah pekarangan agar dapat mengakomodasi semua struktur dan fungsi vegetasi, dibutuhkan luas minimum atau critical minimum size seluas 100 m2 (Arifin et al. 1997, 1998a; Arifin 1998). Pada pekarangan kota yang memiliki karakter ukuran sempit tentu diperlukan rekayasa dalam budidaya semisal dengan menanam buah di dalam pot (tabulampot), vertical garden, green screen garden, hanging garden, green roof garden, dan lain-lain (Arifin et al. 2009, 2010).

2.2.2.Zona Pekarangan

Model pekarangan rumah didasarkan pada pengetahuan dan kearifan lokal masyarakat setempat. Pekarangan sebagai tipe taman rumah Indonesia (Arifin dan Nakagoshi 2011) memiliki zona sebagai bentuk tata ruang sesuai lokasi geografis dan kondisi sosial budaya yang berlaku di lingkungan pekarangan. Pada umumnya pekarangan terdiri dari empat zona (Gambar 3), yaitu (1) pekarangan depan, (2) pekarangan samping kiri, (3) pekarangan samping kanan, serta (4) pekarangan belakang (Arifin 1998, 2002, Arifin et al. 1997, 2009). Seperti halnya pekarangan di Jawa Barat, suku Sunda menamai zona depan pekarangan mereka sebagai buruan, samping sebagai pipir, dan belakang sebagai kebon (Arifin 2009). Pembagian zona tersebut berguna dalam mempelajari bagaimana anggota rumah tangga meman-faatkan pekarangan. Zona depan merupakan tempat penting untuk sosialisasi dan pembelajaran nilai sosial budaya kepada anak-anak yang dilakukan oleh orang tua (Arifin 1998). Zona depan juga berfungsi sebagai tempat untuk ritual keagamaan dan upacara kebudayaan, pertemuan, serta arena bermain anak-anak (Abdoellah 1985). Zonasi ini menentukan pengelolaan pekarangan. Tanaman yang digunakan untuk estetika banyak ditemukan di zona depan, sedangkan tanaman-tanaman untuk agroforestri banyak ditemukan di zona samping dan belakang (Arifin et al. 1996). Hal ini didukung oleh Azra et al. (2014) yang menyatakan bahwa preferensi penanaman di zona depan lebih banyak untuk tanaman hias, sedangkan di zona belakang cenderung ditanami berbagai tanaman pangan.

Gambar 3 Pembagian pekarangan berdasarkan zona (Arifin et al. 2009) Zona Depan

Zona Samping

kiri

Zona Samping

kanan

(23)

7

2.2.3.Keragaman Horizontal (Fungsi)

Keragaman horizontal mengacu pada fungsi atau manfaat dari tanaman dan hewan yang ada di pekarangan. Tanaman pertanian di pekarangan diklasifikasikan berdasarkan keragaman horizontal (fungsi) menjadi 8 fungsinya (Karyono 1978, Arifin et al. 1997, 1998, 2009, 2012), yaitu (1) tanaman hias; (2) tanaman buah; (3) tanaman sayuran; (4) tanaman bumbu; (5) tanaman obat; (6) tanaman penghasil pati; (7) tanaman industri; (8) tanaman lain, yaitu tanaman yang tidak termasuk dalam kategori di atas. Penentuan kelompok tanaman berdasarkan fungsi ini dipengaruhi oleh preferensi pemilik pekarangan sebagai konsumen (Arifin 1997, 1998). Hewan ternak di pekarangan digolongkan berdasarkan ukurannya, yaitu ternak besar, ternak kecil, dan ikan air tawar (Azra 2014). Ternak besar yaitu hewan mamalia berukuran besar dengan berat lebih dari 10 kg serta memerlukan kandang yang ditempatkan di pekarangan secara khusus, contohnya sapi, kerbau, kambing, dan domba. Ternak kecil yaitu hewan mamalia berukuran kecil dengan berat kurang dari 10 kg dan unggas yang penempatan kandangnya bisa dipindah-pindahkan, contohnya kelinci, ayam, entog, bebek, itik, dan angsa.

2.2.4.Keragaman Vertikal (Strata)

Pekarangan di Indonesia selalu dicirikan dengan keragaman stratifikasi tumbuhan/tanaman yang cukup tinggi, mulai dari jenis rerumputan, herbaceous, semak, perdu, dan pohon tinggi (Arifin et al. 1997, 2010, 2012). Struktur tanaman pekarangan tersebut akan membentuk multilayer (berlapis) yang merepresentasikan sistem agroforestri (Arifin 1998). Berdasarkan keragaman vertikal (strata), tanaman pekarangan terdiri atas strata I s.d. V dengan ketinggian tajuk yang berbeda-beda (Arifin 1998). Strata I yakni tanaman yang tingginya kurang dari 1 m, kelompok semak/herba/rumput, misal talas, ubi jalar, jahe, tomat, cabai, terong, bayam, kangkung, semangka, dan nanas; strata II yakni tinggi tanaman 1-2 m, semak/herba, misal singkong, katuk, suji, rosella, ganyong, dan kacang panjang; strata III yakni tinggi tanaman 2-5 m, kelompok perdu kecil/semak, misal jeruk, lemon, pisang, pepaya, dan mengkudu; strata IV yakni tinggi tanaman 5-10 m, kelompok pohon kecil/perdu besar, misal jambu biji, nangka, rambutan, mengkudu, dan sawo; dan strata V yakni tanaman yang tinggi tajuknya lebih dari 10 m, kelompok pohon tinggi, misalnya petai, jengkol, durian, melinjo, salam, kelapa, sukun, dan duku.

2.3. Agroekosistem

Agroekosistem yaitu unit penggunaan lahan yang meliputi tanaman dan/atau hewan ternak serta lahannya sendiri, yang mengubah energi matahari, air, nutrisi, tenaga kerja, dan input pertanian lainnya menjadi produk-produk yang secara ekonomis bermanfaat bagi manusia; seperti bahan pangan, pakan, sandang, maupun papan (Arifin et al. 2009). Pekarangan adalah salah satu bentuk nyata dari sebuah agroekosistem. Produktivitas tanaman atau hewan ternak dan ikan dipengaruhi oleh kesesuaiannya dengan lingkungan tempat dibudidayakan.

(24)

Keanekaragaman hayati di dalam pengelolaan agroekosistem telah diseleksi oleh manusia dengan memilih spesies, varietas, dan ras yang lebih produktif, serta mengurangi spesies, varietas, dan ras yang kurang produktif. Langkah tersebut dilakukan karena agroekosistem tumbuh dan dikelola dengan tujuan memproduksi pangan, pakan, dan bahan baku (Moonen dan Barberi 2008).

2.4. Ketahanan Pangan

Mengacu pada Undang-undang No. 18 tahun 2012 tentang pangan, pangan didefinisikan sebagai segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman. Pada Perpres No. 68 tahun 2002 pasal 1 dan UU No. 18 tahun 2012 dijelaskan bahwa ketahanan pangan dapat diartikan sebagai kondisi di mana terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perse-orangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.

2.5. Aspek Keberlanjutan

Penggunaan terbaik dari lahan dalam konsep keberlanjutan (sustainability) dispesifikasikan sebagai satu situasi keseimbangan atau integrasi antara efisiensi, ekuitas, dan penggunaan sumberdaya alam (Miranda 2001). Pekarangan merupakan lambang keberlanjutan (Kumar dan Nair 2004). Aspek pangan dan ekonomi perlu diperhatikan mengingat hasil produksi dari pekarangan merupakan indikator keberhasilan pengelolaan pekarangan, selain itu cukup banyak hasil pekarangan yang berpotensi sebagai sumber pemasukan ekonomi bagi rumah tangga (Michon dan Mary 1994). Keseimbangan dan keberlanjutan lanskap pekarangan dapat dicapai dengan mengaplikasikan konsep triple bottom line benefit, yakni ling-kungan (ekologi), masyarakat (sosial-budaya), dan ekonomi (Arifin et al. 2009). Konsep tersebut dijabarkan sebagai berikut:

(25)

9

Konsep yang berpihak pada masyarakat diacu pada kesejahteraan secara rohani dan jasmani masyarakat itu sendiri (Arifin et al. 2009).

c. Dimensi ekonomi berhubungan dengan masalah efisiensi (penghematan) serta kesejahteraan seperti pendapatan, produksi, dan investasi. Pada konteks ketahanan pangan, penggunaan pekarangan sebaiknya layak secara ekonomi dalam arti memberikan hasil produksi yang optimal. Pengelolaan lahan harus diarahkan pada aktivitas produktif dan efisien.

3.

METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Provinsi Jawa Barat dengan mengambil sampel di tiga wilayah dengan ketinggian yang berbeda. Ketiga wilayah tersebut yaitu dataran tinggi (600 – 1 200 mdpl) yang diwakili oleh Kabupaten Bandung, dataran sedang (150 – 600 mdpl) yang diwakili oleh Kabupaten Bogor, dan dataran rendah (0 – 150 mdpl) yang diwakili oleh Kabupaten Cirebon (Gambar 4). Pada setiap kabupaten tersebut dipilih 3 kecamatan yang memiliki satu desa yang terdapat kelompok wanita tani (KWT) penerima program Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP). Lokasi sampel di Kabupaten Bandung berada di Desa Patrolsari, Girimekar, dan Bojongemas. Lokasi sampel di Kabupaten Bogor berada desa Situ Udik, Cikarawang, dan Bantarsari. Lokasi sampel di Kabupaten Cirebon berada di Desa Bakung Lor, Grogol, dan Pegagan Lor.

Sampel terpilih yaitu pekarangan milik anggota KWT penerima P2KP di desa tersebut. Masing-masing KWT memiliki 10 pekarangan anggota yang disebut dasa wisma. Satu wilayah atau kabupaten diwakili oleh 30 sampel pekarangan. Total sampel berjumlah 90 pekarangan berikut pemiliknya yang tersebar merata di sembilan kawasan (Tabel 1). Kegiatan penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2013 hingga bulan Juni 2014.

Sumber: Bakosurtanal 2003

Gambar 4 Lokasi penelitian di A) Kabupaten Bandung, B) Kabupaten Bogor, dan C) Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat

A

(26)

Tabel 1 Lokasi sampel kelompok wanita tani penerima program P2KP

No. Kabupaten Kecamatan Desa KWT

1 Bandung

(dataran tinggi)

Arjasari Patrolsari Mawar

2 Cilengkrang Girimekar Sauyunan

3 Solokanjeruk Bojongemas Melati 2

4 Bogor

(dataran sedang)

Cibungbulang Situ Udik Teratai

5 Dramaga Cikarawang Mawar

6 Rancabungur Bantarsari Rukun Tani

7 Cirebon

(dataran rendah)

Jamblang Bakung Lor Jambu Alas

8 Gunung Jati Grogol Bina Sri Lestari

9 Kapetakan Pegagan Lor Harum Sari

3.2. Alat dan Bahan

Penelitian ini menggunakan beberapa peralatan dalam bentuk perangkat keras (hardware) perangkat lunak (software) (Tabel 2). Perangkat keras digunakan saat melakukan survei lapang dan wawancara, sedangkan perangkat lunak digunakan pada pengolahan data yang terhimpun. Bahan-bahan yang digunakan berbentuk data yang diperlukan untuk analisis (Tabel 3).

Tabel 2 Alat-alat yang digunakan dalam penelitian

Alat Kegunaan

Perangkat keras (hardware)

Lembar kuisioner Catatan data sementara dari hasil survei di lapang Kamera digital Pengambilan data visual kondisi wilayah setempat

Meteran Pengukuran luas pekarangan dan tanaman

Abney level Pengukuran ketinggian tanaman

GPS Pengecekan lapangdan delineasi

Perangkat lunak (software)

Microsoft Excel 2013 Pengolahan data kuesioner dan analisis ekonomi

Tabel 3 Data yang diperlukan dalam penelitian.

Jenis Data Bentuk Data Sumber

Aspek Ekologi

1. Iklim - Statistik - Agroklimat 2. Kondisi umum pertanian - Statistik - BPS, BKP5K 3. Fisik pekarangan - Ukuran dan zona - Survei lapang 4. Biodiversitas pekarangan

kampung

- Daftar dan fungsi tanaman pekarangan

- Survei lapang dan wawancara

Aspek Sosial

(27)

11

3.3. Metode Pengumpulan Data

Metode penelitian yang digunakan yaitu survei lapangan, wawancara, dan diskusi kelompok atau focus group discussion (FGD). Penentuan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan cara purposive sampling. Pemilihan tiga kabupaten di Jawa Barat yaitu Kabupaten Bandung, Bogor, dan Kabupaten Cirebon mewakili kondisi lingkungan yang berbeda berdasarkan letak geografis dan ketinggiannya di atas permukaan laut (mdpl). KWT diseleksi berdasarkan rekomendasi dari Badan Ketahanan Pangan (BKP) Provinsi Jawa Barat dan kabupaten yang merupakan penerima program P2KP pada tahun 2011 dan 2012. Pada satu kabupaten dipilih tiga KWT, lalu dipilih 10 anggota sebagai responden oleh ketua KWT.

Metode survei dilakukan dengan pengamatan langsung ke pekarangan-pekarangan, kebun bibit kelompok, lingkungan pekarangan kampung, dan harga komoditas pertanian di pasar terdekat. Wawancara dilakukan kepada anggota KWT dan pihak terkait di tingkat desa dan kabupaten. Aktivitas wawancara terhadap pemilik pekarangan terkait beberapa aspek, yaitu: aspek ekologi (ukuran luas dan zonasi pekarangan, sumber air, keragaman tanaman dan hewan yang dipelihara), aspek pengelolaan pekarangan kampung, dan pemanfaatan produk pekarangan. Studi pustaka juga dilakukan sebagai informasi tambahan dan bahan analisis atau referensi kesesuaian komoditas pertanian di pekarangan dengan lingkungannya.

3.4. Metode Pengolahan Data

Tahap selanjutnya setelah data terhimpun yaitu dilakukan beberapa analisis, yaitu: 1) analisis ekologi pekarangan sebagai suatu agroekosistem, 2) analisis sosial pada pengelolaan pekarangan kampung, 3) analisis pemanfaatan dan nilai ekonomi produk dari pekarangan, serta 4) penyusunan strategi pengelolaan agroekosistem pekarangan kampung dalam menunjang ketahanan pangan yang berkelanjutan.

3.4.1.Analisis Karakteristik Pekarangan

Karakteristik pekarangan sebagai dasar dalam pengembangan pekarangan dianalisis secara deskriptif. Analisis karakteristik pekarangan yaitu (Arifin 1998, Arifin et al. 2013): 1) kondisi lingkungan (ketinggian, suhu, dan curah hujan); 2) klasifikasi ukuran sempit (< 120 m2), sedang (120 – 400 m2), besar (400 – 1000 m2), dan sangat besar (> 1000 m2); dan 3) agro-biodiversitas berdasarkan fungsi tanaman (hias, sayur, buah, pati, bumbu, obat, industri, dan lainnya). Selain itu juga dikaji keberadaan dan pemanfaatan hewan ternak dan ikan, baik jenis maupun jumlahnya; (7) sumber air; (8) pemeliharaan pekarangan (pemberian pupuk serta pengendalian hama dan penyakit). Jenis ternak dikelompokkan menjadi ternak besar dan kecil, yang mana ternak besar hanya spesies domba dan kambing, adapun ternak kecil yaitu ayam, bebek, angsa, dan kelinci. Pembatasan hewan besar agar tidak ada pencilan data pada angka bobot komoditas pekarangan, sehingga tidak termasuk spesies sapi dan kerbau.

3.4.1.1. Analisis Dominansi Tanaman Pekarangan

(28)

�� % = �ℎ �ℎ �×

�� % = �ℎ �� �ℎ �×

� � % = �� + ��

Nilai kerapatan dan frekuensi tersebut dihitung per spesies tanaman di setiap pekarangan. Terkait dengan fungsi dasar pekarangan sebagai penunjang ketahanan pangan rumah tangga maka hanya jenis tanaman pangan (obat, sayur, buah, bumbu, penghasil pati) yang dinilai SDR-nya. Setelah mengetahui angka SDR dari setiap spesies di pekarangan, lalu dibandingkan dengan spesies lainnya di dalam satu pekarangan kampung. Angka SDR rata-rata per spesies tanaman di pekarangan dalam suatu kabupaten diperoleh dari nilai SDR-nya per pekarangan kampung. Hal ini berguna untuk mengetahui spesies tanaman pangan apa yang paling banyak (mendominasi) di pekarangan kampung dalam suatu kabupaten. Semakin tinggi nilai SDR spesies tanaman berarti keberadaan spesiesnya semakin dominan.

3.4.1.2. Analisis Keragaman Shannon-Wiener

Komoditas pekarangan yang dianalisis meliputi tanaman, hewan ternak, dan ikan yang ditemukan di setiap pekarangan, yang kemudian diketahui nilai rata-rata keberadaannya untuk suatu kabupaten. Tanaman yang dianalisis terbatas pada jenis tanaman pangan, yaitu tanaman obat, sayur mayur, buah-buahan, bumbu, serta penghasil pati. Keragaman tanaman tersebut dianalisis dengan metode Shannon – Wiener (Azra et al. 2014), yang mana rumusnya sebagai berikut:

�′= − ∑ ln

�=1

Keterangan: H’ = Indeks keanekaragaman hayati Shannon-Wiener Pi = ni/n

ni = jumlah individu jenis ke-i

n = jumlah individu dari semua spesies ln = logaritma natural (bilangan alami) s = jumlah jenis yang ada

Nilai perhitungan indeks keragaman (H’) tersebut menunjukkan keragaman

spesies tinggi bila H’ > 3, keragaman spesies sedang dengan nilai 1 < H’ < 3, atau keragaman spesies rendah bila H’ < 1 di lokasi penelitian (Azra 2014). Semakin tinggi keragaman spesies maka agroekosistem itu semakin baik secara ekologi.

3.4.2.Analisis Sosial

(29)

13

yaitu: 1) kurang dari Rp 500 000, 2) Rp 500 001 – Rp 1 000 000, 3) Rp 1 000 001

– Rp 1 500 000, 4) Rp 1 500 001 – Rp 2 000 000, 5) Rp 2 000 001 – Rp 2 500 000, dan 6) Rp 2 500 001 – Rp 3 000 000. Pendapatan ini tidak termasuk pendapatan bulanan dari suami atau anaknya. Besarnya pendapatan tambahan dari pekarangan akan dibandingkan dengan nilai pendapatan responden untuk diketahui persentase kontribusi hasil pengelolaan pekarangan terhadap pendapatan responden.

3.4.3.Analisis Hasil Pekarangan dan Nilai Ekonomi Produk

1. Analisis hasil dari panen tanaman, ternak, dan ikan di pekarangan dilakukan sebagai berikut:

a. Menghitung rata-rata produksi tanaman pekarangan per fungsi (Arifin 1998), ternak, dan ikan dalam satu tahun.

b. Digunakan kalender tanam sebagai referensi siklus tanaman semusim. c. Digunakan referensi umur panen hewan ternak dan ikan budidaya. d. Satuan-satuan lokal yang ditemui saat survei seperti ikat atau karung

dikalibrasi dengan satuan baku yakni kilogram (kg).

2. Analisis pemanfaatan hasil panen pekarangan dilakukan dengan pengelom-pokkan hasil atau produk dari pekarangan sesuai keinginan pemiliknya. Lalu diperoleh tiga kelompok pemanfaatan produk pekarangan, yaitu konsumsi rumah tangga, dibagikan ke tetangga, dan dijual ke pasar.

3. Analisis nilai ekonomi hasil panen di pekarangan dilakukan dengan cara: a. Harga komoditas pertanian yang digunakan adalah harga beli pada saat

survei di masing-masing kabupaten dalam satuan rupiah (Rp).

b. Penghematan rumah tangga dihitung melalui valuasi hasil panen dari pekarangan yang dikonsumsi oleh anggota rumah tangga dengan harga komoditas yang serupa di pasaran;

c. Kontribusi sosial dihitung melalui valuasi hasil panen yang diberikan ke tetangga atau saudara dengan harga komoditas yang serupa di pasar. d. Menghitung tambahan nilai ekonomi bagi rumah tangga dengan valuasi

hasil produksi pekarangan yang dijual ke pasar.

e. Pendapatan tambahan ini dihitung dalam waktu satu tahun, sehingga perhitungannya disesuaikan dengan jumlah panen dalam setahun.

3.4.4.Penyusunan Rekomendasi Pengelolaan Pekarangan

Penyusunan rekomendasi dimulai dari kajian tujuan pertama (karakteristik agroekosistem dan pengelolaan pekarangan kampung), kedua (hasil produksi dan nilai ekonomi produk pekarangan), dan kelembagaan serta kebijakan yang terkait pengelolaan pekarangan kampung. Tahap diskusi bersama pihak-pihak yang terkait pengelolaan pekarangan kawasan dilakukan untuk memperoleh informasi yang komprehensif. Pihak yang terkait tersebut yaitu KWT, penyuluh atau pendamping KWT, perangkat desa, dan Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan di kabupaten. Bentuk diskusi dilakukan personal maupun dalam forum grup diskusi yang mana menghadirkan pakar pekarangan dari institusi pendidikan. Perumusan dilakukan secara deskriptif berdasarkan informasi yang dihimpun dan data hasil analisis.

(30)

Tabel 4 Analisis, standar, metode, dan analisis dalam mengolah data

Tujuan Standar Metode Alat Analisis

1. Analisis karakteristik agroekosistem pekarangan kampung a. Kondisi b. Ukuran Klasifikasi Arifin (1998):

1. sempit (< 120 m2)

c. Zonasi Klasifikasi menurut Arifin (1998): a) zonasi depan, b)

2. Analisis pengelolaan pekarangan kampung Demografi ilmu pertanian, 3 & 4) waktu mengelola pekarangan dan status sosial, 5) kelanjutan suplai bibit tanaman 3. Analisis pemanfaatan dan nilai ekonomi produk pekarangan kampung

a. Hasil panen

4. Rekomendasi pengelolaan pekarangan kampung sebagai agroekosistem dalam menunjang ketahanan pangan dan kesejahteraan yang berkelanjutan

(31)

15

4.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Analisis Situasional

4.1.1. Kondisi Umum Kabupaten Bandung

Kabupaten Bandung merupakan wilayah yang berbatasan langsung dengan Ibu Kota Provinsi Jawa Barat, yakni Kota Bandung. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 176.240 ha (BPS Kab. Bandung 2013), yang terletak pada 107°22' – 108° 50' Bujur Timur dan 64°1' – 7°19' Lintang Selatan. Batas-batas administratif Kabupaten Bandung adalah:

• bagian Utara berbatasan dengan Kabupaten Bandung Barat dan Sumedang;

• bagian Timur berbatasan dengan Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Garut;

• bagian Selatan berbatasan dengan Kabupaten Garut dan Kabupaten Cianjur;

• bagian Barat berbatasan dengan Kabupaten Bandung Barat dan Kota Cimahi. Kabupaten Bandung terdiri atas 31 kecamatan dan 278 desa, yang mana tiga desa diantaranya sebagai lokasi penelitian, yaitu Desa Patrolsari di Kecamatan Arjasari, Desa Girimekar di Kecamatan Cilengkrang, dan Desa Bojongemas di Kecamatan Solokanjeruk. Penduduk di Kabupaten Bandung sebanyak 3.351 juta jiwa dengan tingkat kepadatan 19.01 orang/ha. Kepadatan penduduk Kecamatan Arjasari, Cilengkrang, dan Solokanjeruk yaitu 14.47, 16.37, dan 33.24 orang/ha (BPS Kab. Bandung 2013).

Sebagian besar wilayah Kabupaten Bandung merupakan pegunungan dan perbukitan yang mengelilingi Kota Bandung, dengan ketinggian antara 500 – 1 800 mdpl. Kabupaten Bandung beriklim tropis yang dipengaruhi oleh angin muson dengan curah hujan antara 1 500 – 4 000 mm/tahun. Ketinggian tempat berpengaruh terhadap suhu udara yang berkisar antara 12°C – 24°C. Kelembaban udara di Kabupaten Bandung yaitu 78% saat musim hujan dan 70% saat musim kemarau. Umumnya kondisi lingkungan desa di Kabupaten Bandung masih asri (Gambar 5).

(32)

4.1.1.1. Lingkungan Desa di Kabupaten Bandung

Desa Patrolsari berada di ketinggian 835 mdpl dan merupakan lokasi peneliti-an ypeneliti-ang tertinggi. Kondisi demikipeneliti-an berdampak pada suhu udara ypeneliti-ang sejuk dpeneliti-an udara yang cukup lembab sehingga sesuai untuk tumbuhan dataran tinggi. Akses jalan ke lokasi pekarangan sampel cukup jauh dari jalan arteri Kabupaten Bandung namun masih ada jalan kabupaten yang bisa dilalui kendaraan beroda empat dan truk beroda enam. Sumber air yang dimanfaatkan untuk pengairan pekarangan di Desa Patrolsari yaitu sumur (80%), kolam ikan, dan air hujan (Tabel 5). Desa Patrolsari memiliki komoditas pertanian unggulan yaitu tanaman hanjeli yang bisa dimanfaatkan sebagai sumber pati dan diolah menjadi berbagai pangan alternatif.

Desa Girimekar berada di ketinggian 750 mdpl dengan sebagian wilayah desa yang berupa lereng dataran tinggi, sehingga akses jalannya cukup terjal mencapai kemiringan 45o. Warga desa yang ingin membeli kebutuhan pangan harus pergi ke pasar dengan jarak sekitar 3 km, sehingga mereka mengandalkan warung terdekat. Sumber air yang dimanfaatkan untuk pengairan pekarangan di sana yaitu sumur, saluran irigasi, kolam ikan, dan air hujan (Tabel 5). Warga desa ini membuat saluran air dari mata air, namun lebih banyak mengandalkan air sumur (40%) terutama pada musim kemarau. Suhu udara yang sejuk dan tersedianya air akan mendukung pertumbuhan berbagai tanaman dataran tinggi, tidak terkecuali padi sawah. Potensi lokal sekaligus komoditas pertanian andalan desa ini yaitu padi dan cengkeh.

Desa Bojongemas berada di ketinggian yang kurang lebih sama dengan Kota Bandung yaitu 650 mdpl (Tabel 5), sehingga suhu udaranya masih cukup sejuk. Akses jalan menuju lokasi penelitian mudah dilalui karena dekat dari jalan arteri Kabupaten Bandung dan jalannya cukup lebar. Penggunaan lahan masih didominasi oleh pertanian, terutama berupa padi sawah dan kebun. Sumber air yang digunakan untuk pengairan pekarangan di Desa Bojongemas yaitu sumur, kolam ikan, dan air hujan. Ada 80% warga yang memanfaatkan air sumur, terutama selama musim kemarau. Pada saat musim hujan desa ini kerap mengalami banjir karena luapan dari sungai Citarum sehingga merusak tanaman pertanian. Bencana banjir juga merugikan pemilik kolam ikan karena banyak ikan yang hilang bila terjadi banjir. Komoditas pertanian andalan Desa Bojongemas yaitu padi sawah.

Tabel 5 Kondisi lingkungan desa lokasi penelitian di Kabupaten Bandung

Nama Desa Ketinggian (mdpl)

Jarak ke kota (km)

Sumber air pekarangan (%) Komoditas andalan sumur kolam irigasi hujan

Patrolsari 835 11.0 80 10 0 10 Hanjeli Girimekar 750 6.0 40 10 30 20 Cengkeh Bojongemas 650 8.0 80 20 0 0 Padi

4.1.1.2. Pekarangan Kampung di Kabupaten Bandung

(33)

17

zona belakang. Sebagian besar pekarangan di ketiga desa memiliki zona samping yang disebut pipir (Arifin 2009). Beberapa pekarangan memiliki kandang hewan ternak dan kolam ikan (Tabel 6). Kandang ternak unggas ditemukan di sebagian besar (80%) pekarangan warga Desa Patrolsari. Berdasarkan pengamatan, kandang hewan ternak dan kolam ikan lebih banyak diletakkan di zona samping dan belakang, sedangkan zona depan ditanami tanaman hias dan pangan.

Tabel 6 Luas area, zonasi, dan fasilitas pekarangan di Desa Patrolsari, Girimekar, dan Bojongemas, Kabupaten Bandung

Nama Desa Luas (m

2) Zonasi (%) Fasilitas (%)

Min Maks Rata-rata Dpn Blk Ki Ka KTB KTK Kol Patrolsari 73 368 190 100 60 70 60 40 80 20 Girimekar 136 950 457 100 40 70 40 30 50 30 Bojongemas 20 565 212 100 70 50 40 20 60 40

Keterangan: Dpn = depan Blk = belakang Ki = samping kiri Ka = samping kanan KTB = kandang ternak besar KTK = kandang ternak besar Kol = kolam ikan

Keanekaragaman tanaman pekarangan berpengaruh terhadap strata tanaman. Kebanyakan tanaman yang dipelihara di pekarangan Desa Patrolsari, Girimekar, dan Bojongemas termasuk kelompok strata I dan II. Rata-rata di pekarangan setiap desa memiliki 32 jenis tanaman strata I, 18 jenis tanaman strata II, 12 jenis tanaman strata III, hanya 2 jenis tanaman strata IV, dan 11 jenis tanaman strata V. Kemudian menurut fungsinya, tanaman hias dan buah sebagai jenis yang paling beragam di pekarangan Desa Patrolsari (Gambar 6). Tanaman pekarangan di Desa Girimekar didominasi oleh jenis tanaman hias, bumbu, dan sayur (Tabel 7). Tanaman pangan yang dibudidayakan di desa tersebut sudah lebih spesifik untuk lingkungan dataran tinggi. Contoh tanaman yang ditemui di pekarangan dataran tinggi yaitu jahe merah, brokoli, lobak, blueberry, stroberi, dan hanjeli.

Tabel 7 Jumlah jenis tanaman, ternak, dan ikan di pekarangan kampung di Desa Patrolsari, Girimekar, dan Bojongemas

Nama Desa Strata Tanaman Fungsi Tanaman Ternak I II III IV V a b c d e f g h B K I Patrolsari 29 19 10 1 12 24 5 9 17 7 5 2 2 1 3 2 Girimekar 41 16 13 3 9 33 5 13 18 6 2 3 2 0 3 3 Bojongemas 26 18 12 2 13 12 5 16 18 9 5 2 1 1 3 2 Rata-rata 32 18 12 2 11 24 5 13 18 7 4 2 2 1 3 2

Keterangan: Fungsi Tanaman = hias (a), obat (b), sayur (c), buah (d), bumbu (e), pati (f), industri (g), dan lainnya (h)

Jenis Ternak = besar (B), kecil (K), ikan / udang air tawar (I)

(34)

Gambar 6 Kondisi dan contoh pemanfaatan pekarangan di Desa Patrolsari

Gambar 7 Kondisi dan contoh pemanfaatan pekarangan di Desa Girimekar

Gambar 8 Kondisi dan contoh pemanfaatan pekarangan di Desa Bojongemas 4.1.1.3. Kondisi Kelompok Wanita Tani di Kabupaten Bandung

Anggota KWT Mawar di Desa Patrolsari, KWT Sauyunan di Desa Girimekar, dan KWT Melati 2 di Desa Bojongemas, adalah suku Sunda. Seluruh anggota KWT Mawar, Sauyunan, dan Melati 2 sudah berstatus kawin, dengan usia rata-rata yaitu 45, 56, dan 48 tahun. Tingkat pendidikan anggota KWT Mawar yang lulusan SD (50%) masih lebih banyak daripada lulusan SMP (20%) dan SMA (30%). Tingkat pendidikan anggota KWT Sauyunan yang lulusan SD sebanyak 80%, sedangkan lulusan SMP dan SMA masing-masing hanya 10%. Tingkat pendidikan anggota KWT Melati 2 yang lulusan SD sebanyak 50%, lebih banyak daripada lulusan SMP (30%) dan SMA (10%), tetapi ada 10% anggota yang berpendidikan diploma.

(35)

19

Tabel 8 Kondisi pengelola pekarangan kampung di Desa Patrolsari, Girimekar, dan Bojongemas

Desa

Rata-rata usia

Pendidikan (%) Pekerjaan (%) Penghasilan

rata-rata per

Pengelolaan pekarangan kampung dilakukan oleh KWT di masing-masing desa. KWT Mawar yang berada di Desa Patrolsari dibentuk sejak tahun 2010, KWT Sauyunan di Desa Girimekar dibentuk pada tahun 2009, dan KWT Melati 2 sudah ada sejak tahun 2008. Pelatihan pekarangan merupakan kegiatan rutin KWT yang dibimbing langsung oleh tenaga pendamping dari Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan (BKPP) tingkat kabupaten. Selain itu, kegiatan rutin KWT bervariasi tergantung keinginan ketua dan anggotanya, misalnya membuat pangan olahan dan arisan kelompok (Tabel 9). KWT Mawar pernah mendapat bantuan bibit hanjeli yang kemudian dibudidayakan dan dapat dipanen dengan baik. Hasil panen hanjeli dapat diolah menjadi berbagai macam produk pangan alternatif sumber karbohidrat. KWT ini beberapa kali diminta oleh pihak Badan Ketahanan Pangan Provinsi Jawa Barat untuk membawa hasil olahan hanjeli pada kegiatan diversifikasi pangan di Gedung Sate, Kota Bandung. KWT Melati 2 mengembangkan produksi makanan ringan dan telur asin yang sebagian bahan bakunya diperoleh dari pekarangan. Tabel 9 Aktivitas KWT di Desa Patrolsari, Girimekar, dan Bojongemas

Desa KWT Tahun berdiri Kegiatan rutin Produk unggulan Patrolsari Mawar 2010 Pelatihan pekarangan,

membuat pangan olahan

Pangan olahan hanjeli Girimekar Sauyunan 2009 Pelatihan pekarangan,

simpan pinjam kelompok -

Bojongemas Melati 2 2008 Pelatihan pekarangan, membuat pangan olahan

Telur asin dan rangginang

4.1.2. Kondisi Umum Kabupaten Bogor

Wilayah Kabupaten Bogor hanya berjarak sekitar 30 km dari DKI Jakarta. Luas wilayah kabupaten ini yaitu 230.195 Ha (BPS Kab. Bogor 2014), yang terletak di antara 106º23'45” - 107º13'30” Bujur Timur dan 6º18' - 6º47'10” Lintang Selatan. Batas administratif wilayah pemerintahan Kabupaten Bogor adalah:

• sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Tanggerang dan Kota Depok;

• sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Bekasi dan Kab. Purwakarta;

• sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi dan Cianjur;

(36)

Kabupaten Bogor memiliki rentang topografi yang lebar yakni antara 50 – 2 500 mdpl. Iklim di Kabupaten Bogor jika mengikuti klasifikasi Schmidt dan Ferguson digolongkan pada iklim tropis A (sangat basah) dan tipe B (basah). Iklim tipe A berada di bagian Selatan dengan suhu 20oC sampai 22oC sedangkan iklim B di bagian Utara dengan suhu sekitar 25oC. Suhu udara harian berkisar antara 22.7 – 31.2 oC. Curah hujan rata-rata di wilayah Kabupaten Bogor yaitu 3 841 mm/tahun, dengan rentang antara 2 400 – 5 200 mm/tahun. Kelembapan udara rata-rata per tahun di kabupaten ini cukup tinggi yakni 83% (BPS Kab. Bogor 2014).

Gambar 9 Kondisi lingkungan desa dan lahan pertanian di Kabupaten Bogor Kondisi lahan pertanian di Kabupaten Bogor cukup subur, hal ini dibuktikan oleh banyaknya jenis tanaman tropis yang dapat tumbuh dengan baik. Akan tetapi, seiring dengan semakin banyaknya pendatang dan developer permukiman, lahan pertanian di Kabupaten Bogor yang berupa sawah maupun kebun, kini semakin berkurang luasnya karena beralih fungsi menjadi lahan terbangun. Tercatat luas sawah di Kabupaten Bogor terus berkurang dari 2008 hingga 2010, dan kini tidak lebih dari 48 484 ha (BPS Kab. Bogor 2011). Jenis tanah andosol, regosol, dan aluvial cocok digunakan sebagai media tanam. Meskipun mata pencaharian utama warga desa di Kabupaten Bogor adalah petani, namun kebanyakan hanya memiliki lahan kurang dari 1 ha, yang bekerja sebagai buruh tani pada lahan milik tuan tanah. Produk tanaman pangan masih menjadi komoditas unggulan kabupaten ini.

4.1.2.1. Lingkungan Desa di Kabupaten Bogor

(37)

21

Desa Bantarsari berada di ketinggian 165 mdpl dengan letak yang berdekatan dengan jalur utama antara Kota Bogor dan Kecamatan Parung. Penggunaan lahan pertanian didominasi oleh sawah, ladang, dan kebun. Sejak beberapa tahun yang lalu, warga desa membudidayakan jambu kristal yang sekarang menjadi komoditas andalan mereka. Sumber air yang digunakan warga untuk mengairi pekarangannya yaitu sumur (50%), sungai, kolam ikan, atau mengandalkan air hujan (Tabel 10). Tabel 10 Kondisi lingkungan desa lokasi penelitian di Kabupaten Bogor

Nama Desa Ketinggian (mdpl)

Jarak ke kota (km)

Sumber air pekarangan (%) Komoditas andalan sumur kolam sungai hujan

Situ Udik 460 10.0 50 20 30 0 Padi

Cikarawang 193 3.0 60 20 10 10 Jambu kristal Bantarsari 165 6.0 50 10 10 30 Jambu kristal

4.1.2.2. Pekarangan Kampung di Kabupaten Bogor

Ukuran rata-rata pekarangan di Desa Situ Udik (Gambar 11), Cikarawang (Gambar 12), dan Bantarsari (Gambar 13) berturut-turut adalah 175.1 m2, 93.5 m2, dan 160.2 m2. Adapun luas pekarangan terbesar di masing-masing desa tersebut yaitu 500 m2, 300 m2, dan 600 m2, sedangkan luas terkecilnya yaitu 40 m2, 10 m2, dan 6 m2 (Tabel 11). Beberapa pekarangan di Desa Situ Udik dan Bantarsari tidak memiliki zona depan karena letak rumahnya sangat berdekatan dengan jalan, sehingga ruang yang ada dimanfaatkan untuk akses keluar masuk orang maupun kendaraan. Seluruh pekarangan di Desa Cikarawang memiliki zona depan, namun hanya 20% pekarangan yang memiliki zona belakang (Tabel 11). Persentase keber-adaaan kandang ternak kecil (KTK) di ketiga desa ini lebih besar daripada kandang ternak besar (KTB). Pekarangan kampung yang paling banyak memiliki KTB yakni di Situ Udik, sedangkan yang paling banyak memiliki KTK yakni di Cikarawang. Tabel 11 Luas area, zonasi, dan fasilitas pekarangan di Desa Situ Udik, Cikarawang,

dan Bantarsari KTB = kandang ternak besar KTK = kandang ternak besar Kol = kolam ikan

(38)

Berbeda halnya dengan tanaman yang beraneka ragam, hewan ternak di pekarangan hanya terdiri dari beberapa spesies. Fasilitas kandang ternak kecil yang ada di pekarangan Desa Situ Udik, Cikarawang, dan Bantarsari hanya diisi ayam kampung (Gallus domesticus). Pemanfaatan kolam di pekarangan biasanya untuk budidaya ikan gurami, lele dumbo, dan ikan mas.

Tabel 12 Jumlah jenis tanaman, ternak, dan ikan di pekarangan kampung di Desa Situ Udik, Cikarawang, dan Bantarsari

Nama Desa Strata Tanaman Fungsi Tanaman Ternak I II III IV V a b c d e f g h B K I Situ Udik 24 21 11 2 10 20 7 9 15 12 1 2 4 1 1 2 Cikarawang 24 24 12 1 9 25 2 10 16 13 2 1 1 2 1 1 Bantarsari 34 18 8 2 8 14 4 19 13 15 2 0 3 0 1 3 Rata-rata 27 21 10 2 9 20 4 13 15 13 2 1 3 1 1 2

Keterangan: Fungsi Tanaman = hias (a), obat (b), sayur (c), buah (d), bumbu (e), pati (f), industri (g), dan lainnya (h)

Jenis Ternak = besar (B), kecil (K), ikan / udang air tawar (I)

Gambar 10 Kondisi dan contoh pemanfaatan pekarangan di Desa Situ Udik

Gambar 11 Kondisi dan contoh pemanfaatan pekarangan di Desa Cikarawang

(39)

23

4.1.2.3. Kondisi Kelompok Wanita Tani di Kabupaten Bogor

Mayoritas anggota KWT di Desa Situ Udik, Desa Cikarawang, dan Desa Bantarsari adalah orang Sunda. KWT Rukun Tani di Desa Bantarsari cukup banyak memiliki anggota yang berstatus warga pendatang karena lokasinya mudah diakses serta dekat dengan jalur utama menuju Kota Depok dan DKI Jakarta. Usia rata-rata anggota KWT di tiap desa yaitu 42, 42, dan 45 tahun. Tingkat pendidikan anggota KWT Teratai di Desa Situ Udik yang hanya lulusan SD sebanyak 50%, ada 20% lulusan SMP, ada 20% lulusan SMA, dan hanya 10% yang lulusan S1. Tingkat pendididkan anggota KWT Mawar di Desa Cikarawang yaitu 60% hanya lulusan SD, 30% lulusan SMP, 20% lulusan SMA, dan tidak ada responden yang lulusan D3/S1. Tingkat pendidikan anggota KWT Teratai yaitu 40% hanya lulusan SD, 20% lulusan SMP, 30% lulusan SMA, dan hanya 10% responden lulusan D3/S1.

Jenis pekerjaan mayoritas anggota KWT Teratai adalah IRT (50%), petani dan bekerja mandiri (wirausaha) masing-masing 20%, dan 10% responden yang bekerja sebagai karyawan. Anggota KWT Mawar yang menjadi IRT (40%) dan petani (40%), sedangkan 20% lagi berwirausaha. Ketua KWT Teratai dan Mawar juga berprofesi sebagai petani yang memiliki lahan garapan di luar pekarangannya. Anggota KWT Rukun Tani bekerja sebagai IRT (30%), berwirausaha (30%), dan petani (40%). Pendapatan rata-rata anggota KWT di Situ Udik yaitu Rp 950 000 per bulan, sedangkan di Desa Cikarawang hanya Rp 450 000 per bulan. Rata-rata anggota KWT di Desa Bantarsari memiliki penghasilan mencapai Rp 1 100 000 per bulan (Tabel 13).

Tabel 13 Karakteristik pengelola pekarangan kampung di Desa Situ Udik, Cikara-wang, dan Bantarsari

Nama Desa

Rata-rata usia

Pendidikan (%) Pekerjaan (%) Penghasilan

rata-rata per

KWT Teratai dibentuk pada tahun 2009, sedangkan KWT Mawar dan Rukun Tani dibentuk tahun 2011. Pelatihan pekarangan merupakan kegiatan rutin KWT yang dibimbing langsung oleh tenaga pendamping. Selain itu, biasanya kegiatan rutin KWT yaitu membuat pangan olahan (Tabel 14). Produk unggulan dari KWT Teratai yaitu pangan olahan yang sebagian bahan bakunya berasal dari pekarangan. Produk unggulan KWT Mawar yaitu jambu kristal dan keripik ubi ungu. Adapun produk unggulan KWT Rukun Tani yaitu produk olahan dari jambu kristal seperti asinan dan manisan jambu kristal, serta berbagai kue jajanan tradisional.

Tabel 14 Karakteristik KWT di Desa Situ Udik, Cikarawang, dan Bantarsari

Desa KWT Tahun berdiri Kegiatan rutin Produk unggulan Situ Udik Teratai 2009 Pelatihan pekarangan,

membuat kue dan arisan

Kue kering dan stroberi Cikarawang Mawar 2011 Pelatihan pekarangan,

membuat pangan olahan

Jambu kristal dan keripik ubi jalar Bantarsari Rukun Tani 2011 Pelatihan pekarangan,

membuat kue kering

(40)

4.1.3. Kondisi Umum Kabupaten Cirebon

Kabupaten Cirebon merupakan bagian dari wilayah Propinsi Jawa Barat yang terletak di bagian Timur dan berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Tengah. Luas wilayah Kabupaten Cirebon yaitu 99 036 ha yang berada pada posisi 108o40’

– 108o48’ Bujur Timur dan 6o30’ – 7o00’ Lintang Selatan. Batas-batas administratif wilayah Kabupaten Cirebon adalah:

• sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Indramayu

• sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Indramayu dan Majalengka

• sebelah Selatan berbatasan dengan wilayah Kabupaten Kuningan

• sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Brebes (Jawa Tengah)

Kabupaten Cirebon terdiri atas 40 kecamatan dan 424 desa, yang mana tiga desa diantaranya sebagai lokasi penelitian, yaitu Desa Bakung Lor di Kecamatan Jamblang, Desa Grogol di Kecamatan Gunung Jati, dan Desa Pegagan Lor di Kecamatan Kapetakan. Jumlah penduduk kabupaten ini sebanyak 2.293 juta jiwa dengan tingkat kepadatan 23.2 orang/ha. Adapun kepadatan penduduk Kecamatan Jamblang, Gunung Jati, dan Kapetakan yaitu masing-masing 23.4, 41.5, dan 9.9 orang/ha (BPS Kab. Cirebon 2014).

Wilayah Kabupaten Cirebon dapat dibagi menjadi dataran rendah yang umumnya terletak disepanjang Pantai Utara sedangkan dataran tinggi di daerah tengah hingga perbatasan Kabupaten Kuningan di kaki Gunung Ceremai. Bentang alam tersebut memiliki rentang topografi mulai dari pesisir pantai (0 mdpl) hingga dataran sedang (130 mdpl). Kabupaten ini beriklim tropis dengan suhu dan curah hujan dipengaruhi oleh daerah pesisir, dataran rendah, dan pegunungan. Suhu udara di Kabupaten Cirebon berkisar antara 24oC – 33oC, dengan curah hujan rata-rata yaitu antara 150 – 3 500 mm/tahun, tergantung pada letak dan ketinggian kawasan. Iklim di Kabupaten Cirebon memiliki curah hujan dan kelembapan udara yang relatif rendah, diantara penyebabnya yaitu dekat dengan pantai. Kondisi umum lingkungan kampung di kabupaten ini relatif kering (Gambar 13).

Gambar

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian
Gambar 2 Gambaran umum fungsi pekarangan (Kehlenbeck  et al. 2007)
Gambar 3 Pembagian pekarangan berdasarkan zona (Arifin et al. 2009)
Gambar 4 Lokasi penelitian di A) Kabupaten Bandung, B) Kabupaten Bogor, dan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Studi kasus Program Diploma III Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Malang,Pembimbing 1 : Rohmah Susanto,S.Kep,Ns.. Pembimbing II Siti:

Kecuali untuk pupuk kimia lain, koefisien determinasi (adjusted R 2 ) untuk urea dan TSP adalah cukup tinggi yaitu masing-masing 88,18 persen dan 86,88 persen. U ntuk

Gambar 5.2 Diagram Pie Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan Tentang Apa Itu Deteksi Dini Kanker Serviks pada Mahasiswi Semester 2 Tahun Ajaran 2017/2018

Dengan demikian, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dalam ketentuan Pasal 10 huruf a UUPK yang dipertegas dalam Pasal 23 Permen Nomor 70/M-DAG/PER/12/2013

menjalankan usaha pariwisata. Sedangakn dalam pasal 3 ayat 1 dinyatakan “ Pendaftaran usaha pariwisata meliputi seluruh jenis usaha dalam bidang usaha

Data kandungan ycdium AS1 yang disajikan pada Tabel 3 menunjukkan bahwa kandungan yodium &amp;lam AS1 satu hari setelah pemberian yodium dosis tinggi meningkat

Pemilikan barang bcrharga secara tidak langsung &amp;pat menggambarkan keadaan sosial ekonomi keluarga. Walaupn sampel )?mg dipilih adalah mmah tangga miskin dengan keadaan