• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rekomendasi Pengelolaan Pekarangan Kampung yang Berkelanjutan 1 Konsep Pekarangan Kampung yang Berkelanjutan

Pekarangan di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon masih banyak yang belum mampu menunjang kebutuhan pangan rumah tangga. Jika untuk menunjang konsumsi pangan rumah tangga saja kesulitan, maka sulit untuk saling berbagi hasil panen, dan kecil kemungkinan pekarangan itu dapat menjual produknya. Kesulitan tersebut karena ukuran pekarangannya kurang dari 120 m2. Menurut Arifin (1998), ukuran kritis minimal suatu pekarangan ideal yaitu 100 m2, sebab apabila kurang dari itu maka tanaman dan hewan ternak yang dipelihara akan terbatas keragaman strata dan fungsinya. Tercatat 26.7% pekarangan di Kabupaten Bandung, 66.7% pekarangan di Kabupaten Bogor, dan 60% pekarangan di Kabupaten Cirebon yang termasuk kategori sempit. Berbeda halnya jika komoditas yang dibudidayakan adalah tanaman non-pangan atau hewan ternak besar yang khusus untuk dijual. Pada kondisi tersebut, kebutuhan pangan rumah tangga dapat dibeli dari hasil penjualan produk dari pekarangan.

Dalam konsep keberlanjutan penggunaan lahan, penggunaan terbaik yaitu suatu situasi keseimbangan atau integritas antara efisiensi, ekuitas, dan penggunaan sumberdaya alam (Miranda 2001). Penggabungan beberapa pekarangan di suatu kawasan akan meningkatkan jumlah dan jenis komoditasnya. Sebagai gambaran, suatu kampung biasanya memiliki komoditas unggulan seperti mangga yang ada di hampir setiap pekarangan di Kabupaten Cirebon, dan jambu biji atau jambu merah di Desa Cikarawang dan Bantarsari, Kabupaten Bogor. Tidak hanya bahan mentah, tetapi produk olahan warga juga bisa menjadi komoditas unggulan suatu kampung. Pekarangan kampung yang dikelola oleh kelompok masyarakat dalam satu kawasan dapat meningkatkan produksi secara agregat dengan memanfaatkan sumberdaya alam yang tersedia di lingkungan sekitarnya.

Kondisi pengelolaan pekarangan kampung serta kendala yang teridentifikasi saat survei dan wawancara kemudian dikemukakan pada forum diskusi kelompok atau focus group discussion (FGD) yang melibatkan pihak-pihak terkait. Pihak yang terlibat dalam FGD ini terdiri atas: a) Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan tingkat kabupaten, b) instansi (dinas dan badan) pemerintah daerah kabupaten yang terkait pelaksanaan program P2KP, c) pemerintah kecamatan, d) pemerintah desa,

e) penyuluh, dan f) KWT. FGD dilaksanakan di Kantor Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon untuk menampung aspirasi dari peserta terhadap permasalahan yang ada secara komprehensif.

Terdapat tiga isu penting dalam pengelolaan pekarangan kampung yang telah dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan program P2KP, yaitu: 1) pemahaman dan kondisi anggota KWT (masyarakat) terhadap pekarangan, 2) ketersediaan bibit tanaman dan hewan ternak atau ikan untuk pekarangan, serta 3) pemasaran produk hasil pekarangan kampung.

Hasil diskusi tersebut kemudian menentukan tiga komponen keberlanjutan pekarangan kampung sebagai solusi permasalahan yang terjadi, yaitu: 1) kelompok wanita tani (KWT), 2) kebun bibit kelompok, dan 3) koperasi. Arifin et al. (2009) menyatakan bahwa keseimbangan dan keberlanjutan lanskap pekarangan dapat dicapai dengan mengaplikasikan konsep triple bottom line benefit, yakni ekologi (lingkungan), sosial (masyarakat), dan ekonomi (pasar). Mengacu pada pendapat tersebut, kemudian ditetapkan bahwa komponen dalam pengelolaan pekarangan kampung dapat mewakili tiga pilar keberlanjutan (Gambar 26).

Gambar 26 Model tiga pilar keberlanjutan pengelolaan pekarangan kampung

4.5.2. Pengelolaan Agroekosistem Pekarangan Kampung untuk Menunjang Ketahanan Pangan dan Kesejahteraan yang Berkelanjutan

Komponen penting dalam konsep pekarangan kampung yang berkelanjutan adalah: 1) KWT, 2) kebun bibit kelompok, dan 3) koperasi. Dalam praktiknya, konsep tersebut dijabarkan dalam pengelolaan agroekosistem pekarangan kampung yang bertujuan untuk menunjang ketahanan pangan dan kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan. Adapun garis besar rekomendasi pengelolaannya terangkum menjadi tiga hal, yakni pemberdayaan KWT, revitalisasi kebun bibit kelompok, dan pengembangan koperasi.

Rekomendasi untuk pemberdayaan KWT yaitu :

1. KWT di setiap desa dan kelurahan diberikan pemahaman yang tepat tentang pertanian dan pengelolaan pekarangan kampung sesuai dengan kondisi atau kemampuannya. Penyesuaian tersebut melihat kenyataan bahwa masyarakat di perdesaan mungkin telah berpengalaman dalam hal pertanian namun kurang baik dalam manajemen organisasi dan sumberdaya, sedangkan masyarakat di

45

perkotaan biasanya lebih berpendidikan sehingga lebih mudah berorganisasi dan mengelola sumberdaya namun belum terbiasa dengan aktivitas pertanian. 2. Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan di tingkat kabupaten memfasilitasi

pengelola pekarangan kampung dengan adanya pendamping yang terampil. Tenaga pendamping dituntut untuk memiliki pemahaman yang baik dan benar tentang hal-hal yang mendukung pengelolaan pekarangan kampung. Selain itu, pendamping sebaiknya mampu bersahabat dengan seluruh anggota kelompok. 3. Tenaga pendamping secara intensif memberikan pelatihan dan pengarahan terkait pengelolaan pekarangan kampung. Teknik vertikultur perlu diketahui oleh seluruh anggota KWT dan diaplikasikan pada pekarangan sempit. KWT sebaiknya diberikan rekomendasi tanaman dan hewan ternak apa saja yang cocok untuk dibudidayakan di pekarangan dengan memperhatikan lingkungan sekitar. Pengelolaan pekarangan kampung sebagai agroekosistem diarahkan agar sesuai dengan daya dukung (luasan), kondisi lingkungan (lokasi), serta manfaat dan nilai jual produk yang akan dipanen.

Rekomendasi untuk revitalisasi kebun bibit kelompok yaitu:

1. Adanya dukungan dari pemerintah setempat, seperti menyediakan lahan untuk lokasi kebun bibit kelompok. Semestinya kebun bibit kelompok berada di atas tanah desa atau pemerintah dengan persetujuan perangkat desa atau kelurahan agar keberadaannya lebih terjamin. Sebisa mungkin dihindari pembangunan kebun bibit di atas tanah pribadi karena rawan konflik kepentingan yang bisa mengancam eksistensinya.

2. Bangunan kebun bibit sebaiknya terbuat dari material yang tahan lama dan berkualitas baik, supaya kebun bibit tidak cepat rusak. Perawatan bangunan kebun bibit kelompok dilakukan sebagai tanggung jawab bersama oleh seluruh anggota KWT.

3. Jenis tanaman pertanian yang akan dikembangkan sebaiknya tanaman semusim yang memiliki nilai ekonomi tinggi, baik berupa tanaman pangan, obat, bumbu, dan bahkan pakan ternak (Thakur et al. 2005). Berdasarkan analisis produksi dan mengacu pada pernyataan tersebut, pembibitan sebaiknya difokuskan pada tanaman buah, sayur, dan bumbu karena dapat dikonsumsi oleh rumah tangga dan nilai ekonominya relatif lebih besar.

4. Selain mempertimbangkan aspek konsumsi dan ekonomi, aspek konservasi keanekaragaman hayati juga penting diperhatikan. Maksudnya jangan sampai komoditas yang dibibitkan untuk pekarangan kampung akan mengeliminasi sumberdaya lokal atau spesies endemik. Konservasi keanekaragaman hayati diperlukan untuk keseimbangan ekosistem, karena pemanfaatan sumberdaya hayati untuk berbagai keperluan secara tidak seimbang akan menyebabkan makin langkanya beberapa jenis flora dan fauna (Supriatna 2008). Pekarangan sebagai agroekosistem yang berbasis agroforestri dapat menjadi salah satu metode konservasi secara eks-situ, khususnya untuk pertanian (Paruna 2012). Institusi pendidikan atau pihak akademisi dapat berkontribusi memberikan rekomendasi komoditas pekarangan.

5. Aktivitas pembibitan oleh KWT dilakukan tanpa tergantung pada dana bantuan sosial dari pemerintah pusat maupun daerah. KWT dituntut untuk mandiri dan kreatif dalam mencari modal pembibitan. Sumber modal pembibitan bisa dari

hasil penjualan bibit kepada anggota kelompok, keuntungan dari penjualan produk pekarangan kampung, dan keuntungan penjualan pangan olahan. Rekomendasi untuk pengembangan koperasi yaitu:

1. Koperasi berperan sebagai pengumpul produk-produk pekarangan kampung. Pihak koperasi diupayakan mau menerima produk dalam bentuk mentah atau hasil olahan, tentunya dengan harga yang layak sesuai mekanisme pasar. 2. Terkait dengan aspek ekonomi, hingga saat ini satu-satunya wadah organisasi

formal yang menggalang dan menghimpun sumberdaya untuk kekuatan di bidang ekonomi dan sosial di pedesaan adalah Koperasi Unit Desa (KUD) (Saragih 2010). Namun kenyataannya di lapangan banyak KUD yang tidak beroperasi karena masalah organisasi dan modal. Adapun KUD yang masih beroperasi belum menggarap produk pekarangan kampung. KUD diharapkan mau mengembangkan usaha di sektor agribisnis pekarangan kampung.

3. Hasil penjualan produk pekarangan menjadi modal kelompok untuk membeli benih dan pengembangan usahanya. Asas kekeluargaan dan gotong royong perlu dibina antara KUD dengan KWT sehingga perputaran modal berjalan lancar dan dapat mendukung keberlanjutan pekarangan kampung.

Pada praktiknya, sistem pengelolaan agroekosistem pekarangan kampung yang berkelanjutan melibatkan kebun bibit kelompok, pekarangan anggota, dan koperasi unit desa (Gambar 27).

Gambar 27 Sistem dalam pengelolaan pekarangan kampung yang berkelanjutan

5.

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan

Berdasarkan klasifikasi ukuran, 50% pekarangan di Kabupaten Bandung termasuk kategori sedang, dengan rata-rata luas 317.1 m2. Berbeda halnya dengan Kabupaten Bogor dan Cirebon yang sebanyak 66.7% dan 60% pekarangannya termasuk kategori sempit. Zona belakang pekarangan di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon paling banyak digunakan untuk budidaya tanaman pangan. Tanaman strata I dan II mendominasi di pekarangan ketiga kabupaten tersebut, sesuai dengan daya dukung pekarangan ukuran sempit dan sedang. Meskipun tanaman hias paling banyak ditemukan di semua pekarangan, namun keragaman tanaman pangan lebih banyak daripada non-pangan. Menurut analisis Shanon- Wienner, pekarangan di Kabupaten Bogor memiliki keanekaragaman tanaman pangan tertinggi (H’ = 1.95). Hal ini dipengaruhi oleh kondisi lingkungan ecotone yang lebih sesuai untuk lebih banyak spesies tanaman dan hewan.

47

Pemanfaatan hasil panen dari pekarangan di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon paling banyak untuk dijual daripada untuk dikonsumsi atau dibagikan, dengan persentase penjualan produk masing-masing 58%, 57%, dan 64%. Nilai ekonomi produk pekarangan di ketiga pekarangan tersebut masing-masing 70%, 77%, dan 70%. Produktivitas lahan menurut nilai ekonomi pekarangan per m2 per tahun yang tertinggi yaitu Kabupaten Bogor (Rp 13 400) dan yang terendah yaitu di Kabupaten Cirebon (Rp 10 500). Kontribusi nilai ekonomi pekarangan kampung yang diperoleh rumah tangga terhadap biaya konsumsi bulanannya di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon yaitu 19.1%, 10.8%, dan 7.1%.

Keberlanjutan pengelolaan agroekosistem pekarangan kampung dijabarkan pada tiga komponen, yaitu kelompok wanita tani (KWT), kebun bibit kelompok, dan koperasi. Diperlukan pemberdayaan KWT untuk meningkatkan kemampuan- nya sebagai pengelola pekarangan kampung. Diperlukan revitalisasi kebun bibit kelompok agar bibit untuk pekarangan tetap tersedia serta pembibitan difokuskan pada tanaman sayur dan buah karena produksinya tinggi, bisa dikonsumsi langsung dan lebih bernilai ekonomi. Diperlukan pemasaran kolektif melalui pengembangan usaha koperasi unit desa pada bidang agribisnis pekarangan kampung.

5.2. Saran

Pengelolaan pekarangan kampung bermanfaat untuk menunjang ketahanan pangan, menjaga kepedulian sosial, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Diperlukan perhatian dan peran pemerintah, masyarakat, dan koperasi untuk mewujudkan hal tersebut. Kajian tentang jasa lanskap dari agroekosistem pekarangan akan menambah nilai ekonomi pekarangan kampung.