• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Pengelolaan Pekarangan Kampung 1 Analisis Demografi Kelompok Wanita Tan

Demografi KWT menggambarkan kondisi sosial dan ekonomi pengelola pekarangan kampung di masing-masing kabupaten. Variabel demografi tersebut meliputi rata-rata usia, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, dan jumlah pendapatan per bulan. Usia dapat mempengaruhi pola pikir dan kemampuan kerja (Purwanti 2007). Usia rata-rata anggota KWT di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon yaitu 50, 43, dan 44 tahun, yang mana pada rentang tersebut masih dapat dikatakan usia produktif. Kemudian dilihat dari tingkat pendidikannya, sebagian besar (52%) anggota KWT hanya lulusan Sekolah Dasar (SD), padahal tingkat pendidikan akan mempengaruhi kemampuan seseorang dalam memahami arti penting pengelolaan pertanian dan mencari solusi permasalahan (Adhawati 1997). Anggota KWT di Kabupaten Cirebon rata-rata memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi, daripada anggota KWT di Kabupaten Bandung dan Bogor. Hasil wawancara menunjukkan bahwa rata-rata orang yang berpendidikan lebih tinggi memiliki pendapatan per bulan yang lebih tinggi.

Jenis pekerjaan berhubungan dengan waktu yang tersedia untuk mengelola pekarangan, dan ternyata mayoritas responden adalah ibu rumah tangga yang lebih sering ada di rumah. Ibu rumah tangga diasumsikan memiliki kesempatan lebih leluasa untuk mengelola pekarangannya dari pada mereka yang bekerja di sawah, pabrik, atau sekolah. Namun, waktu mereka untuk mengelola pekarangan setiap hari antara 5 – 30 menit. Ternyata ada hal lain yang mempengaruhi kesempatan mengelola pekarangan yakni aktivitas sosial ibu-ibu, seperti arisan, pengajian di

majelis ta’lim, dan mengasuh anaknya. Waktu untuk mengelola pekarangan belum menjadi prioritas dalam keseharian mereka. Responden yang bekerja sebagai petani di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon hanya 10%, 27%, dan 3% sehingga banyak anggota KWT yang belum terbiasa dengan aktivitas pertanian. Anggota KWT yang bekerja sebagai petani di Kabupaten Bogor paling banyak daripada di kabupaten lainnya. Kondisi dan kemampuan anggota KWT dalam menjalankan program P2KP ini perlu menjadi catatan pendamping kelompok, yang ditindak- lanjuti dengan lebih banyak memberi perhatian dan arahan. Setiap kabupaten memiliki karakteristik demografi anggota KWT yang berbeda (Tabel 26).

Tabel 26 Demografi KWT pengelola pekarangan kampung

Kabupaten R at a- rat a U m ur

Pendidikan (%) Pekerjaan (%) Pendapatan per kelas (%)

Sek o lah Dasar SMP SMA Dip lo m a / Sar jan a Ib u R u m ah T an g g a Petan i W ir aswa sta Peg awa i L ain n y a R p 1 < 5 00 r ib u R p 50 0 ri bu < 1 j ut a R p 1 ju ta < 1 .5 j ut a R p 1. 5 ju ta < 2 ju ta R p 2 ju ta < 2 .5 j ut a R p 2. 5 ju ta < 3 ju ta Bandung 50 60 20 17 3 53 10 30 0 7 70 10 10 3 3 3 Rata-rata Rp 600 000 Bogor 43 50 23 20 7 40 27 23 3 7 70 3 3 3 7 13 Rata-rata Rp 816 000 Cirebon 44 47 20 26 7 57 3 34 3 3 63 7 10 3 3 13 Rata-rata Rp 834 000

Nilai pendapatan per bulan hasil wawancara hanya menggambarkan kondisi ekonomi responden. Ternyata lebih dari 67% anggota KWT memiliki penghasilan kurang dari Rp 500 000 per bulan, sehingga sangat rawan terjadi masalah ekonomi di rumah tangga apabila penghasilan utama keluarga terganggu. Penghasilan rata- rata anggota KWT di Kabupaten Cirebon paling tinggi (Rp 834 000) daripada di kabupaten lainnya. Penghasilan tersebut berasal dari wirausaha di bidang agribisnis dengan komoditas berupa telur bebek, udang, tape ketan, dan pangan olahan.

Berdasarkan analisis demografi anggota KWT berupa kondisi sosial dan ekonomi, dapat dinilai kualitas sumberdaya manusia (SDM) pengelola pekarangan kampung di masing-masing kabupaten. SDM di Kabupaten Bogor telah memiliki kemanpuan bertani paling baik, sedangkan SDM di Kabupaten Cirebon memiliki potensi paling baik dalam mengelola pekarangan kampung.

4.3.2. Analisis Aktivitas Kelompok Wanita Tani

Kegiatan pengelolaan pekarangan kampung yang telah dilakukan oleh KWT dalam rangka program P2KP mencakup pemberdayaan masyarakat, pembibitan dan distribusi bibit ke pekarangan anggota, pemanenan dan pemanfaatan produk dari pekarangan, serta pemasaran produk pekarangan kampung. Pemberdayaan anggota KWT sebagai sumberdaya manusia pengelola pekarangan kampung penting untuk dilakukan karena pekarangan mempunyai hubungan yang kuat antara pemiliknya dengan tanaman dan hewan-hewan yang diternaknya (Arifin 2010).

Menurut hasil pengamatan serta wawancara di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon, diketahui kegiatan pemberdayaan anggota KWT berupa pelatihan budidaya tanaman pertanian di pekarangan. Mereka diberikan pencerdasan tentang fungsi dan manfaat pengelolaan pekarangan, cara mengelola pekarangan sebagai sumber pangan rumah tangga, serta budidaya tanaman dengan teknik vertikultur. Selain itu, mereka juga mendapat pelatihan pembibitan tanaman di kebun bibit kelompok dan pengolahan produk hasil pekarangan menjadi produk olahan pangan yang lebih bernilai ekonomis. Kegiatan-kegiatan tersebut dibimbing langsung oleh pendamping KWT yang merupakan penyuluh dari Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian (BP3), di bawah koordinasi Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan tingkat kabupaten. Di samping kegiatan KWT yang telah terprogram oleh BP3, biasanya KWT berinisiatif membuat kegiatan internal yang bertujuan mempererat kekompakan dan menambah fungsi kelompok, seperti arisan, masak bersama, dan simpan pinjam modal anggota.

Upaya pemanenan komoditas dari pekarangan kampung akan meningkatkan kuantitas produk sehingga dapat lebih menunjang ketahanan pangan, kepedulian, dan kesejahteraan masyarakat. Pekarangan satu dengan tetangganya dapat saling tukar (barter) komoditas pangan yang mereka perlukan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Kelebihan produksi pangan dari pekarangan kampung dapat dibagi- kan kepada orang yang membutuhkan sehingga menumbuhkan sikap peduli di masyarakat. Jumlah produk pekarangan kampung yang semakin banyak akan lebih ekonomis apabila dijual ke pasar. Sebagai contoh, dalam sekali panen buah mangga dari pekarangan kampung di Kabupaten Cirebon diperoleh rata-rata 406 kg. Contoh lainnya, pemanenan jambu kristal dari pekarangan kampung di Desa Cikarawang, Kabupaten Bogor, yang menghasilkan puluhan kilogram dalam sekali panen. Hasil panen tersebut apabila dijual ke pasar akan lebih mudah dan bernilai ekonomis.

37

Produk pekarangan kampung tidak hanya bahan mentah, tetapi juga pangan olahan. Produk pangan olahan yang dibuat oleh KWT bertujuan meningkatkan nilai guna dan ekonomi dari hasil panen di pekarangan kampung. Selain itu, pembuatan produk pangan olahan menjadi alternatif aktivitas pemberdayaan anggota KWT yang kondisi lingkungan pekarangannya kurang mendukung aktivitas pertanian, misalnya karena kekeringan atau tanah yang kurang subur. Bahan dasar produk pangan olahan KWT tidak terbatas dari pekarangan kampung yang dikelola, tetapi dapat bekerja sama dengan KWT dari desa lain yang memiliki sumberdaya berlebih. Sebagaimana yang telah dicatat pada kondisi KWT di masing-masing kabupaten, contoh produk pangan olahan yang dibuat oleh KWT di Kabupaten Bandung yaitu

telur asin dan “nasi” hanjeli (Gambar 21), kemudian contoh pangan dari Kabupaten Bogor yaitu keripik ubi ungu dan kue tradisional (Gambar 22), sedangkan pangan olahan KWT di Kabupaten Cirebon lebih beragam seperti tape ketan, manisan aneka buah, dan sirup buah mangga gedong gincu (Gambar 23).

Gambar 21 Contoh produk pangan olahan dari Kabupaten Bandung

Gambar 22 Contoh produk pangan olahan dari Kabupaten Bogor

Gambar 23 Contoh produk pangan olahan dari Kabupaten Cirebon

4.3.3. Analisis Kondisi Kebun Bibit Kelompok Wanita Tani

Keberlanjutan produksi dari pekarangan kampung ditunjang oleh beberapa komponen, diantaranya yaitu kebun bibit yang dikelola bersama oleh anggota KWT (Gambar 24). Berdasarkan pengamatan di lapangan, meskipun kebun bibit tersebut bukan satu-satunya komponen penunjang operasional pekarangan kampung, keter-

sediaan bibit tanaman sangat diperlukan bagi pekarangan, terutama komoditas yang berumur semusim. Pendamping KWT biasanya memberi rekomendasi komoditas pertanian yang cocok untuk dibudidayakan di pekarangan kampung. Benih tanaman tersebut biasanya dibeli dari toko pertanian terdekat atau dibantu penyediaannya oleh pendamping KWT.

Gambar 24 Kondisi kebun bibit milik salah satu kelompok wanita tani di Kabupaten Bandung (kiri), Bogor (tengah), dan Cirebon (kanan)

Anggota KWT memilih sendiri komoditas pertanian yang dikembangkan di pekarangannya masing-masing. Sebelum membeli bibit, mereka bermusyawarah tentang tanaman apa yang akan ditanam, dan biasanya pendamping kelompok ikut memberikan saran. Komoditas yang banyak dibibitkan di Kabupaten Bandung dan Bogor yaitu tanaman sayur, bumbu, dan buah. Sedangkan kebun bibit di Kabupaten Cirebon membibitkan tanaman sayur, bumbu, dan ikan. Ketersediaan bibit tanaman dan hewan ternak sebaiknya sesuai dengan daya dukung pekarangan kampung sehingga dapat tumbuh dengan baik. Pembibitan ini belum banyak meng-hasilkan bibit komoditas lokal, misalnya talas bogor dan nanas bogor di Kabupaten Bogor atau mangga gedong gincu di Kabupaten Cirebon.

Kelemahan dalam pengelolaan modal kebun bibit kelompok menjadi masalah yang sering ditemui pada masing-masing kabupaten. Kondisi ini terjadi karena KWT hanya mengandalkan dana bantuan sosial dari pemerintah. Dana bantuan program P2KP memang diberikan selama 5 tahun, namun hanya setahun sekali dan biasanya pencairan dana tidak sesuai dengan jadwal yang ditentukan. Kurangnya modal untuk membeli benih tanaman pada pembibitan kesekian kalinya meng- akibatkan kebun bibit tidak berfungsi optimal. Kebutuhan lain untuk pembibitan tanaman pekarangan yaitu pupuk organik dan kantong polybag. Sebagai contoh, kebun bibit kelompok di Desa Bantarsari dan Grogol yang kekurangan modal sehingga tidak terpelihara telah berakibat pada penurunan jumlah komoditas yang ditanam di pekarangan, sehingga angka produksinya menjadi rendah. Berbeda halnya dengan kebun bibit di Desa Girimekar dan Cikarawang yang memiliki sumber modal lain, sehingga bibit untuk pekarangan kawasan tetap tersedia. Modal lain tersebut berasal dari penjualan bibit tanaman serta penjualan produk KWT.

Kebun bibit kelompok tani yang kebanyakan terbuat dari bambu yang mudah rusak dan tidak tahan lama. Penggunaan material tersebut karena menyesuaikan dengan anggaran yang telah ditentukan oleh BKP. Pada saat survei, hanya 45% kebun bibit milik KWT yang masih berfungsi dengan baik, sedangkan 55% lainnya sudah rusak (Gambar 25). Masalah lain terkait keberadaan kebun bibit kelompok yaitu status kepemilikan lahan. Keberadaan kebun bibit kelompok yang dibangun di atas lahan pribadi sangat tergantung pada kehendak pemilik lahan. Kebun bibit kelompok milik KWT di ketiga kabupaten yang berada di atas lahan pribadi ada sebanyak 77% dan hanya 23% yang berada di lahan milik desa (Tabel 27). Kondisi

39

kebun bibit kelompok dipengaruhi oleh aktivitas dan kepedulian anggota KWT, kemudian ketersediaan lahan, serta perhatian pemerintah desa.

Gambar 25 Contoh kebun bibit kelompok yang mengalami kerusakan fisik Tabel 27 Kondisi, status lahan, dan produk kebun bibit milik KWT

Kabupaten Kondisi fisik (%)

Status kepemilikan

lahan (%) Bibit yang diproduksi

Baik Rusak Desa Pribadi

Bandung 33 66 0 100 - Bayam, selada, labu air, cabe

hijau, cabe merah, tomat, jahe, kunyit, pepaya, bawang daun

Bogor 33 66 33 66 - Kangkung, selada, labu air,

seledri, cabe, tomat, kunyit, jahe, jambu kristal, stroberi

Cirebon 66 33 33 66 - Kangkung, seledri, terong,

cabe, tomat, jahe, kunyit, dukuh, jambu biji, ikan gurami

4.3.4. Analisis Pemasaran Produk Pekarangan Kampung

Meskipun fungsi dasar pekarangan di area perdesaan yaitu sebagai sumber produksi pangan untuk menyambung kehidupan keluarga atau subsisten (Kumar dan Nair 2004), tidak sedikit pemilik pekarangan yang menjual hasil panen dari pekarangan berupa produk segar maupun hasil olahan. Produk tersebut merupakan kelebihan dari kebutuhan konsumsi ataupun sengaja dibudidayakan di pekarangan kerena memiliki nilai ekonomi. Penjualan berbagai macam produk pekarangan saat ini masih banyak secara individu. Tengkulak lebih berperan memasarkan produk pekarangan, misalnya pemasaran buah di Kabupaten Bogor dan Cirebon. Mereka membeli buah mangga atau jambu biji dengan sistem ijon, yang mana pembelian buah tanpa dihitung per kilogram namun dikira-kira harganya per pohon sebelum buah masak. Jarak antara rumah ke pasar juga menjadi kendala pemasaran karena akan menambah waktu dan biaya transportasi. Banyak pemilik pekarangan belum mampu melakukan pemasaran produknya secara efektif dan efisien, sehingga tidak memperoleh keuntungan maksimal.

Selain faktor persaingan usaha dengan tengkulak dan jarak pekarangan ke pasar, permasalahan utama dari pemasaran produk pekarangan adalah kuantitas produk yang akan dijual ke pasar. Penjualan hasil panen dari pekarangan menjadi tidak menguntungkan apabila nilai ekonomi produk yang dijual tidak sebanding dengan biaya produksi dan transportasinya. Sehingga untuk mendapat keuntungan

ekonomi diperlukan kuantitas produk hingga jumlah tertentu, yang sulit terpenuhi oleh satu pekarangan. BKP tingkat kabupaten kemudian menyikapi hal tersebut dengan memberi kesempatan kepada KWT sebagai pengelola pekarangan kampung untuk menjual produk KWT di pasar tani. Upaya ini belum mamberi solusi efektif karena pasar tani hanya dilaksanakan sebulan sekali di ibukota kabupaten.

Sebaiknya ada upaya dari KWT untuk menjual produk pekarangan kampung secara kolektif dan berkesinambungan sehingga biaya produksi bisa lebih rendah dan mereka dapat lebih sering memperoleh keuntungan. Pemasaran produk dengan cara tersebut dapat dilakukan langsung oleh KWT atau unit bisnis independen yang bergerak di bidang agribisnis, misalnya koperasi unit desa (KUD). Ide pemasaran ini tentu membutuhkan dukungan dari pihak KWT sebagai produsen. Berdasarkan hasil wawancara, masyarakat di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon rata-rata setuju (49%) apabila pemasaran produk pekarangan kampung dilakukan secara kolektif. Hanya 7% responden yang ingin menjual sendiri hasil pekarangannya.

Tantangan pemasaran kolektif yang menjadi perhatian adalah keberadaan lembaga koperasi. Benar bahwa pada masa kepemimpinan Presiden Soeharto telah banyak didirikan KUD, bahkan hampir setiap desa memiliki KUD dengan bantuan modal dari pemerintah. Pada saat ini jarang ditemui KUD yang masih beroperasi karena banyak koperasi yang mengalami masalah kepengurusan dan modal usaha. Menurut informasi dari responden, tidak ada KUD di tempat pelaksanaan program P2KP yang masih aktif. Tidak hanya itu, sejauh ini belum ada koperasi yang fokus menjangkau produk pekarangan atau pangan olehan KWT. Meskipun kondisinya demikian, masih mungkin melakukan pemasaran produk pekarangan kampung secara kolektif. Hal tersebut terlihat dari tingginya dukungan pengelola pekarangan terhadap adanya koperasi pekarangan, yang mencapai rata-rata 72% setuju dan 9% sangat setuju (Tabel 28). Persepsi masyarakat tersebut memberikan harapan bahwa koperasi dapat kembali diberdayakan untuk mengumpulkan serta memasarkan produk mentah dan olahan dari pekarangan kampung.

Tabel 28 Persepsi masyarakat terhadap pemasaran kolektif dan koperasi desa Kabupaten

Keinginan pemasaran kolektif (%) Dukungan koperasi pekarangan (%)

Tidak setuju Biasa saja Setuju Sangat setuju Tidak setuju Biasa saja Setuju Sangat setuju Bandung 0 23 47 30 0 17 67 17 Bogor 7 43 37 13 7 23 70 0 Cirebon 13 0 65 23 0 10 79 10 Rata-rata 7 22 49 22 2 17 72 9

4.4.Analisis Pemanfaatan dan Nilai Ekonomi Produk Pekarangan Kampung