EMILIA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
EMILIA KHRISTINA KIHA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Konvergensi Harga Pangan antar Wilayah di Indonesia adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir tesis ini.
Bogor, April 2012
RINDAYATI.
In Indonesia, the increase in food prices usually results in the rise in the inflation rate. To cope with this problem, a better food distribution among regions is absolutely required. This study aimed to describe the dynamics of food prices, to test the convergence level of food prices and to analyze the factors that influence the changes in food prices between regions in Indonesia. The data used were obtained from the Central Agency of Statistics and the Ministry of Agriculture from 2002 to 2009. The method used was analysis of dynamic panel data (First Difference-Generalized Methode Moment/FD-GMM). The results of the study showed that all commodities of food prices were convergent, soybean at the highest level and chili at the lowest, while the factors that influence changes in food prices were production rate, Gross Domestic Product (GDP), population and infrastructure.
Indonesia. Dibimbing oleh MUHAMMAD FIRDAUS dan WIWIEK RINDAYATI.
Produk Pangan pada umumnya mengikuti pola produksi musiman, sedangkan kebutuhan pangan harus dipenuhi sepanjang tahun.Selain itu produk pertanian pada umumnya cepat rusak (perishable). Dalam kondisi demikian maka aspek pengolahan dan penyimpanan menjadi hal penting dalam upaya penyediaan pangan secara kontinyu. Di Indonesia, produksi pangan tersebar menurut agroekosistem dan geografinya, sedangkan lokasi konsumen tersebar di seluruh pelosok tanah air, baik yang tinggal di daerah perkotaan maupun pedesaan. Dengan demikian aspek transportasi dan distribusi pangan menjadi sangat vital dalam rangka penyediaan pangan yang merata bagi seluruh penduduk Indonesia. Kurangnya penyediaan pangan mengakibatkan harga meningkat dan pada akhirnya akan meningkatkan laju inflasi.
Penelitian ini bertujuan (1) menggambarkan dinamika harga pangan antar wilayah dan antar waktu; (2) melihat konvergensi harga pangan antar wilayah dan antar waktu dan (3) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan harga pangan. Ruang lingkup penelitian adalah cakupan yang dianalisis adalah 26 provinsi di Indonesia kecuali beberapa provinsi baru seperti Banten, Kepulauan Riau Bangka-Belitung, Gorontalo, Sulawasi Barat, Maluku Utara dan Papua Barat dalam penelitian ini di gabungkan ke propinsi asalnya. Hal ini dikarenakan ke enam provinsi tersebut baru terbentuk pada akhir tahun 2004, sementara periode analisis dalam penelitian ini adalah tahun 2001 – 2010. Metode yang digunakan untuk menggambarkan dinamika harga pangan menggunakan rasio perubahan harga, inflasi dan rata-rata harga pangan serta untuk menguji konvergensi dan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan harga pangan menggunakan panel data dinamis FD-GMM.
tertinggi terdapat pada komoditi kacang kedelai dan terendah pada komoditi cabe merah; dan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perubahan harga pangan adalah jumlah produksi, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), jumlah penduduk dan panjang jalan.
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah;
b.
Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.EMILIA KHRISTINA KIHA
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Stud iIlmu Ekonomi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
NRP : H151090041
Program Studi : Ilmu Ekonomi
Disetujui,
Komisi Pembimbing
Muhammad Firdaus, SP, M.Si, Ph.D Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si
Ketua Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. R. NunungNuryartono, M.Si Dr. Ir. DahrulSyah,M.Sc.Agr
segala karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan karya ilmiah ini. Judul
yang dipilih dalam penelitian ini adalah Konvergensi Harga Panganantar Wilayah
di Indonesia. Penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Muhammad Firdaus, SP, M.Si, Ph.D selaku Ketua Komisi Pembimbing dan
Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang
dengan segala kesibukannya masih meluangkan waktu untukmemberikan
arahan dan bimbingan yang sangat bermanfaat bagi penulisan tesis ini;
2. Bapak Dr. Ir. Idqan Fahmi, M.Ec batas kesediaannya menjadi penguji luar
komisi;
3. Ketua dan sekretaris Program Studi Ilmu Ekonomi Sekolah Pascasarja IPB Dr.
Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si dan Dr. Lukytawati Anggraeni batas
bimbingan dan pengarahan selama menempuh kuliah;
4. Ketua STIE Kriswina Sumba bapak Dr. Muana Nanga MSi yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti kuliah di Magister
Program Studi Ilmu Ekonomi IPB;
5. Seluruh keluarga dan semua pihak yang telah membantu dan memberikan
motivasi dalam penyelesaian tesis ini serta Dia yang selalu ada untukku;
6. Para dosen dan stafdi Program Studi Ilmu Ekonomi, atas segala bantuannya;
7. Semua rekan di Program Studi Ilmu Ekonomi Sekolah Pascasarjana IPB untuk
semangat dan kebersamaannya selama menjalani kuliah;
Akhirnya, besar harapan penulis agar tesis ini dapat bermanfaat dan
memberikan kontribusi positif bagi dunia pendidikan.
Bogor, April 2012
pasangan Bapak Willem Gerson Kiha dan Ibu Bertha Mesakh. Penulis merupakan
anak kedua dari empat bersaudara.
Penulis menamatkan pendidikan dasar di SDM Payeti 3 kemudian
melanjutkan ke SMPN 1 Waingapu pada tahun 1993 dan lulus pada tahun 1996.
Setelah itu penulis melanjutkan ke SMAN 1 Waingapu pada tahun 1999 dan
melanjutkan pendidikan ke Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Kristen Wira Wacana
(STIE Kriswina) Sumba, tamat pada tahun 2004 dengan gelar Sarjana Ekonomi
(SE).
Selanjutnya penulis bekerja pada Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Kristen
Wira Wacana (STIE Kriswina) Sumba Provinsi Nusa Tenggara Timur dari tahun
2004 sampai sekarang. Pada tahun 2009, penulis di terima menjadi mahasiswa
program studi Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen di Institut
DAFTAR ISI ... xix
2.1.7 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harga Pangan ... 20
2.1.5.1. Jumlah Produksi ... 20
2.1.5.2.Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) ... 21
2.1.5.3.Jumlah Penduduk... 21
3.2.3 Analisis Panel Data Dinamis ... 32
3.3 Spesifikasi Model... 35
3.3.1 Dinamika Harga Pangan... 35
4.2.1 Dinamika Harga Pangan Pokok ... 37
4.2.2 Dinamika Harga Tanaman Pangan dan Holtikultura ... 41
4.2.3 Dinamika Produk Peternakan ... 45
4.2 Konvergensi Harga Pangan antar Wilayah dan antar Waktu ... 49
4.2.4 Konvergensi Harga Pangan Pokok ... 49
4.2.5 Konvergensi Harga Tanaman Pangan dan Holtikultura... 51
4.2.6 Konvergensi Harga Produk Peternakan ... 54
4.2.7 Perbandingan Konvergensi antar Wilayah dan antar Waktu.... 56
4.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perubahan Harga Pangan antar Wilayah dan antar Waktu di Indonesia ... 58
4.3.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perubahan Harga Pangan Pokok... 58
4.3.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perubahan Harga Tanaman Pangan dan Holtikultura... 62
4.3.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perubahan Harga Produk Peternakan ... 65
4.4 Implikasi Kebijakan ... 68
V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 71
5.1 Kesimpulan ... 71
5.2 Saran... 71
DAFTAR PUSTAKA ... 73
1 Harga Pangan Pokok yang Bergejolak dari Januari
2010-Januari 2011 ... 4
2 Sumbangan Inflasi dari Kelompok Barang yang Bergejolak (Volatile Foods) ... 5
3 Estimasi Konvergensi Harga Pangan Pokok menggunakan Metode Panel Data Dinamis FD.GMM... 49
4 Estimasi Konvergensi Harga Tanaman Pangan dan Holtikultura menggunakan Metode Panel Data Dinamis FD.GMM ... 52
5 Estimasi Konvergensi Produk Peternakan menggunakan Metode Panel Data Dinamis FD-GMM ... 55
6 Pengujian Validitas Instrumen dan Konsistensi Model Panel Data Dinamis FD-GMM dalam Estimasi Konvergensi antar Wilayah dan antar Waktu di Indonesia ... 57
7 Estimasi Tingkat Konvergensi antar Wilayah dan antar Waktu di Indonesia dengan Model Panel Data Dinamis FD-GMM ... 57
8 Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harga Pangan Pokok dengan Model Panel Data Statis... 60
9 Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harga Tanaman Pangan dan Holtikultura dengan Model Panel Data Statis ... 63
1 Perbandingan inflas iAgustus 2011 kota-kota di luar pulau Jawa dan Sumatera dengan nasional (2007=100) ... 2
2 Tingkat Inflasi Indonesia Periode Juli 2010 - Juli 2011... 3
3 Perkembangan Laju Inflasi dari Juli 2010 - Juli 2011 ... 3
4 Sistem Pemasaran Hasil Pertanian ... 12
5 Tori Cobweb yang Menuju fluktuasi yang jaraknya tetap ... 15
6 Tori Cobweb yang Menuju Titik Keseimbangan... 15
7 Tori Cobweb yang Menuju Eksplosi Harga ... 16
8 Kerangka Pemikiran Penelitian... 18
9 Harga Rata-rata Beras antar Propinsi di Indonesia dari tahun
2002 – 2010 ... 37
10 Harga Rata-rata Minyak Goreng antar Propinsi di Indonesia dari
tahun 2002 – 2010 ... 38
11 Harga Rata-rata Gula Pasir antar Propinsi di Indonesia dari tahun
2002 – 2010 ... 38
12 Rasio Perubahan Harga Pangan Pokok dan Inflasi di Indonesia dari tahun 2002 – 2010 ... 40
13 Harga Rata-rata Kacang Kedelai antar Propinsi di Indonesia dari
tahun 2002 – 2010 ... 42
14 Harga Rata-rata Bawang Merah antar Propinsi di Indonesia dari
tahun 2002 – 2010 ... 42
15 Harga Rata-rata Cabe Merah antar Propinsi di Indonesia dari
tahun 2002 – 2010 ... 43
16 Rasio Perubahan Harga Tanaman Pangan dan Holtikultura serta Inflasi di Indonesia dari tahun 2002 – 2010 ... 44
17 Harga Rata-rata Daging Ayam antar Propinsi di Indonesia dari
19 Harga Rata-rata Daging Sapi antar Propinsi di Indonesia dari
tahun 2002 – 2010 ... 46
1 Scripts Input dan Hasil Output Stata Estimasi Konvergensi dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perubahan Harga Beras di Indonesia dengan Model Panel Data Dinamis... 79
2 Scripts Input dan Hasil Output Stata Estimasi Konvergensi dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perubahan Harga Minyak Goreng di Indonesia dengan Model Panel Data Dinamis ... 80
3 Scripts Input dan Hasil Output Stata Estimasi Konvergensi dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perubahan Harga Gula Pasir di Indonesia dengan Model Panel Data Dinamis... 81
4 Scripts Input dan Hasil Output Stata Estimasi Konvergensi dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perubahan HargaKacang Kedelai di Indonesia dengan Model Panel Data Dinamis ... 82
5 Scripts Input dan Hasil Output Stata Estimasi Konvergensi dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perubahan Harga Bawang Merah di Indonesia dengan Model Panel Data Dinamis ... 83
6 Scripts Input dan Hasil Output Stata Estimasi Konvergensi dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perubahan Harga Cabe Merah di Indonesia dengan Model Panel Data Dinamis... 84
7 Scripts Input dan Hasil Output Stata Estimasi Konvergensi dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perubahan Harga Daging Ayam di Indonesia dengan Model Panel Data Dinamis ... 85
8 Scripts Input dan Hasil Output Stata Estimasi Konvergensi dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perubahan Harga Telur Ayam Di Indonesia dengan Model Panel Data Dinamis... 86
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pangan adalah kebutuhan pokok sekaligus menjadi esensi kehidupan
manusia, dimana dalam Undang-undang nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan
yang dirumuskannya sebagai usaha mewujudkan ketersediaan pangan bagi
seluruh rumah tangga, dalam jumlah yang cukup, mutu dan gizi yang layak, aman
dikonsumsi, merata serta terjangkau oleh setiap individu. Kecukupan pangan
menentukan kualitas sumber daya manusia dan ketahanan bangsa. Namun
kenyataannya Indonesia belum mencapai ketahanan pangan karena
ketergantungan terhadap pangan masih sangat tinggi, dimana dari pengeluaran
rata-rata rakyat Indonesia untuk makanan adalah masih cukup besar yaitu sebesar
50,62 persen pada tahun 2009 (BPS 2009).
Produk Pangan pada umumnya mengikuti pola produksi musiman,
sedangkan kebutuhan pangan harus dipenuhi sepanjang tahun. Selain itu produk
pertanian pada umumnya cepat rusak (perishable). Dalam kondisi demikian maka aspek pengolahan dan penyimpanan menjadi hal penting dalam upaya penyediaan
pangan secara kontinyu. Di Indonesia, produksi pangan tersebar menurut
agroekosistem dan geografinya, sedangkan lokasi konsumen tersebar di seluruh
pelosok tanah air, baik yang ditinggal di daerah perkotaan maupun pedesaan.
Dengan demikian aspek transportasi dan distribusi pangan menjadi sangat vital
dalam rangka penyediaan pangan yang merata bagi seluruh penduduk Indonesia.
Kurang meratanya penyediaan pangan bagi masyarakat menjadi memicu
kenaikan harga pangan. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa sistem produksi
dan sistem distribusi beberapa pangan terganggu karena kualitas sarana dan
prasarana transportasi banyak rusak. Beberapa media nasional dan daerah
melaporkan rusaknya jalan di beberapa ruas di Pantai Utara Jawa, buruknya jalan
Lintas Tengah dan Lintas Timur di Sumatera, sebagai dua poros utama jalur
distribusi pangan. Sementara aktivitas ekonomi di Pulau Jawa dan Sumatra
merupakan 84 persen penyumbang terhadap kinerja ekonomi nasional atau
Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Betapa besar dan dahsyatnya apabila
ditimbulkannya tidak hanya ditanggung konsumen di perkotaan, tetapi juga harus
ditanggung oleh petani di pelosok perdesaan. Kenaikan harga pangan ini sedikit
sekali yang dapat dinikmati petani karena persentase kenaikan harga di tingkat
konsumen jauh lebih besar dibandingkan dengan persentase kenaikan harga di
tingkat produsen.
Akibat harga pangan meningkat menyebabkan kenaikan pada tingkat inflasi,
dimana terjadinya perbedaan tingkat inflasi di berbagai wilayah di Indonesia.
Pada bulan Agustus 2011 tingkat inflasi sebesar 0.93 persen dengan Indeks Harga
Konsumen (IHK) sebesar 128,54. Inflasi tertinggi terjadi di Pangkal Pinang 3.05
persen dengan IHK 140.49 dan terendah terjadi di Denpasar 0,02 persen dengan
IHK 129.38 yang berarti inflasi tertinggi berada di pulau Sumatera dan inflasi
terendah berada di luar pulau Jawa yang dapat dilihat pada gambar 1 berikut ini :
Gambar 1 Perbandingan Inflasi Agustus 2011 Kota-kota di Luar Pulau Jawa dan Sumatera dengan Nasional (2007=100)
Tingkat inflasi yang terjadi selalu berbeda pada setiap daerah dan inflasi
daerah mempengaruhi 78 persen terhadap inflasi nasional, sehingga menyebabkan
secara nasional tingkat inflasi mempunyai kecenderungan untuk berfluktuasi
setiap bulannya yang dapat dilihat dari tingkat inflasi nasional dari bulan Juli 2010
Gambar 2 Tingkat Inflasi Indonesia Periode Juli 2010-Juli 2011
Berfluktuasinya tingkat inflasi pada gambar 2 diatas disebabkan karena
adanya perubahan harga pada barang bergejolak (volatile food), inflasi inti (core inflation) dan harga yang diatur pemerintah (administered prices).
1.2 Perumusan Masalah
Secara historis terlihat bahwa sumbangan barang bergejolak (volatile foods)
terhadap inflasi di Indonesia sangat signifikan dan menduduki urutan pertama
setelah inflasi inti (core inflation). Porsi sumbangannya cenderung meningkat dari 3.95 persen pada tahun 2009 menjadi 17.74 persen pada tahun
2010.
sementara porsi sumbangan inflasi inti (core inflation) dan harga yang diatur pemerintah (administered prices) hanya sebesar 4,28 % dan 5,40%. Besarnya sumbangan dari barang bergejolak (volatile foods) menyebabkan barang bergejolak (volatile foods) lebih berfluktuasi seperti dapat dilihat pada gambar 3.
Namun, mengingat jumlah komoditas yang digunakan untuk perhitungan
inflasi dari barang bergejolak (volatile foods) di Indonesia saat ini terdiri atas 61 komoditas maka penelitian ini menfokuskan pada beberapa komoditas pangan
yang memiliki peran besar dalam pembentukan inflasi secara nasional (volatile foods).
Data dari Badan Ketahanan Pangan diperoleh bahwa antara Januari 2010
sampai dengan Januari 2011 Sebanyak 15 jenis komoditas pangan pokok yang
paling banyak dikonsumsi masyarakat dilaporkan meningkat harganya, tiga
diantaranya melonjak di atas 90 persen seperti yang terlihat dalam Tabel 1.
Tabel 1 Harga Pangan Pokok yang Bergejolak dari Januari 2010-Januari 2011
Komoditas Pangan Pokok Harga (Rp) Kenaikan/Penurunan (%)
Cabe Merah 44,692/kg 115.00
Lebih detil, inflasi kelompok volatile foods tersebut didominasi oleh beberapa komoditas saja. Upaya untuk mengendalikan atau mengurangi volatilitas
harga komoditas pangan akan berhasil jika dapat diketahui faktor-faktor yang
mempengaruhi pembentukan harga dan penyebab volatilitas tersebut. Untuk itu
dari Tabel 2 sumbangan inflasi dari komoditas yang akan dijadikan sampel,
dimana pengambilan sampel ini dilandasi oleh bobot dan sumbangan terbesar
Tabel 2 Sumbangan Inflasi dari Kelompok Barang yang Bergejolak (Volatile
1 Beras 7.22 0.589 6.14 0.737 5.06 0.885
2 Minyak Goreng 1.56 0.538 1.41 0.672 1.27 0.806
3 Daging Ayam Ras 1.42 0.220 1.48 0.373 1.54 0.527
4 Telur Ayam Ras 0.80 0.163 0.80 0.263 0.81 0.364
5 Bawang merah 0.52 0.826 0.52 0.556 0.52 0.286
8 Kacang Kedelai 0.67 0.093 0.49 0.138 0.52 0.184
6 Cabe Merah 0.24 0.137 0.20 0.130 0.21 0.129
7 Gula Pasir 0.15 0.151 0.11 0.120 0.08 0.121
9 Daging Sapi 0.67 0.110 0.70 0.103 0.82 0.096
Sumber: Badan Pusat Statistik
Setelah mempertimbangkan bobot dan sumbangan inflasi dari komoditas
pangan pokok maka dalam penelitian ini akan diambil sembilan komoditas untuk
dibahas secara lebih mendalam, yaitu beras, daging ayam, daging sapi, bawang
merah, cabe merah, minyak goreng, gula pasir, telur ayam ras dan kacang
kedelai. Adapun yang menjadi permasalahan utama yang dibahas dalam
penelitian ini adalah bagaimana pergeseran pergerakkan harga apakah konvergen
atau divergen dari sembilan pangan pokok antar wilayah di Indonesia dan
faktor-faktor yang mempengaruhinya. Untuk menjawab permasalahan penelitian tersebut
adalah dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dirumuskan sebagai
berikut:
1. Apakah terjadi perbedaan pada harga pangan antar wilayah dan antar waktu
di Indonesia ?
2. Bagaimanakah pergerakan harga pangan antar wilayah dan antar waktu di
Indonesia apakah menuju konvergen atau divergen?
3. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi terjadinya perubahan harga pangan
antar wilayah dan antar waktu di Indonesia ?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah
dikemukakan maka penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menggambarkan dinamika perubahan harga pangan antar wilayah dan antar
2. Menguji konvergensi harga pangan antar wilayah dan antar waktu di
Indonesia
3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan harga pangan
antar wilayah dan antar waktu di Indonesia
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak yang
membutuhkan terutama sebagai:
1. Masukan bagi pemerintah Indonesia untuk menurunkan inflasi dari pangan,
menyusun kebijakan yang berkaitan dengan inflasi; dan
2. Bahan rujukan bagi peneliti selanjutnya.
1.5 Ruang Lingkup
Dalam penelitian ini cakupan yang dianalisis adalah 26 provinsi di
Indonesia kecuali beberapa provinsi baru seperti Banten, Kepulauan Riau
Bangka-Belitung, Gorontalo, Sulawasi Barat, Maluku Utara dan Papua Barat dalam
penelitian ini di masukan ke propinsi asalnya. Hal ini dikarenakan keenam
provinsi tersebut baru terbentuk setelah akhir tahun 2004, sementara periode
analisis dalam penelitian ini adalah tahun 2002 – 2010. Karena adanya
keterbatasan data, maka untuk provinsi-provinsi yang mengalami pemekaran
tersebut dilakukan agregasi ke provinsi induknya. Propinsi Banten diagregasi
dengan propinsi Jawa Barat, Bangka-Belitung dengan Sumatra Selatan,
Kepulauan Riau dengan Riau, Gorontalo dengan Sulawesi Utara, Sulawesi Barat
dengan Sulawesi Selatan, Maluku Utara dengan Maluku dan Papua Barat dengan
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Teori
2.1.1 Konvergensi
Menurut Hanie (2006), konvergensi (convergence) dapat diartikan suatu kecenderungan dari pergerakan satu atau lebih variabel yang menuju suatu titik
yang sama. Untuk mencapai integrasi ekonomi, kriteria konvergensi menjadi
salah satu syarat pembentukan mata uang tunggal, baik konvergensi nominal
(tingkat inflasi dan suku bunga) maupun konvergensi riil (pendapatan per kapita,
produktivitas pekerja, dan tingkat harga komparatif (Angeloni et al2005).
Pada umumnya terdapat dua konsep utama konvergensi di dalam berbagai
literatur mengenai konvergensi (Brata 2002). Kedua konsep tersebut adalah sigma
(σ) convergence dan beta (β) convergence. Sigma (σ) convergence mengukur tingkat dispersi dari harga pangan. Jika dispersi dari harga pangan mengalami
penurunan maka dikatakan bahwa kesenjangan harga pangan cenderung mengecil
atau terjadi konvergensi harga pangan.
Rey dan Montouri menyebutkan konsep konvergensi dari perspektif yang
lain, yaitu konvergensi stokastik (Brata 2002). Menurut Roy dan Montouri,
konvergensi stokastik (stochastic convergence) ini dapat ditemukan dalam penelitian-penelitian time series, sedangkan dua konsep konvergensi lainnya lebih banyak ditemukan dalam penelitian-penelitian cross-section.
Wibisono (2003) menyatakan bahwa pertumbuhan harga pangan didekati
dengan hipotesis konvergensi, yang terbagi atas dua hal yaitu absolute convergence dan conditional convergence. Absolute convergence diartikan sebagai konvergensi yang terjadi pada daerah dalam satu negara, yang walaupun
terjadi perbedaan dalam teknologi, preferensi dan intuisi antar wilayah, namun
perbedaan itu relatif lebih kecil dibanding dengan perbedaan antar negara.
Konvergensi absolut digunakan untuk studi antar wilayah dalam satu negara
(Barro dan Sala-i-Martin 1992). Hipotesis konvergensi absolut ini sulit diterima
karena dalam kenyataan perubahan harga pangan hanya dipengaruhi oleh tingkat
harga pangan tahun sebelumnya saja. Apabila dilakukan, maka model akan rawan
Menurut Rey dan Montouri konvergensi kondisional (condisional convergence) mengidentifikasikan bahwa dalam spesifikasi model mengikutsertakan sejumlah variabel selain tingkat harga pangan awal periode
yang diperkirakan berpengaruh terhadap tingkat perubahan harga (Parasati 2006).
Wibisono (2003) menyatakan dengan melakukan tes hipotesis konvergensi
kondisional maka akan dapat mendapatkan manfaat yang lebih besar, yaitu dapat
mengetahui faktor-faktor penentu apa saja yang mempengaruhi tingkat perubahan
harga antar wilayah dalam jangka panjang, dengan cara memasukkan
variabel-variabel terpilih yang dianggap mempengaruhi tingkat perubahan harga pangan
antar wilayah dalam persamaan. Konvergensi dikatakan kondisional apabila
tingkat perubahan harga lebih tinggi pada propinsi yang memiliki level harga
yang lebih rendah.
Dalam penelitian ini, konvergensi yang akan dihitung dan dianalisis adalah
konvergensi kondisional karena selain mengetahui besarnya tingkat konvergensi
harga pangan tetapi dapat mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi
konvergensi harga pangan tersebut.
2.1.2 Pangan
Pangan merupakan komoditas penting dan strategis karena pangan
merupakan kebutuhan pokok manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi
setiap rakyat Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam UU No. 7 Tahun 1996
tentang Pangan.
Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air ,
baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau
minuman bagi konsumi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku
pangan dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan
atau pembuatan makanan atau minuman.
Oleh karena itu terpenuhinya kebutuhan pangan di dalam suatu negara
merupakan hal yang mutlak harus dipenuhi. Selain itu pangan juga memegang
peranan penting dan strategis di Indonesia berdasarkan pada pengaruh yang
Ketahanan pangan bagi suatu negara merupakan hal yang sangat penting,
terutama bagi negara yang mempunyai penduduk sangat banyak seperti Indonesia.
Jumlah penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 220 juta jiwa pada tahun 2020
dan diproyeksikan 270 juta jiwa pada tahun 2025. Pengalaman sejarah
pembangunan Indonesia menunjukkan bahwa masalah ketahanan pangan sangat
erat kaitannya dengan stabilitas ekonomi (khususnya inflasi), biaya produksi
ekonomi agregat (biaya hidup) dan stabilitas politik nasional. Oleh karena itu,
ketahanan pangan menjadi syarat mutlak bagi penyelenggaraan pembangunan
nasional. Kecukupan pangan menentukan kualitas sumber sumber daya manusia
dan ketahanan bangsa. Oleh karena itu untuk membentuk manusia Indonesia yang
berkualitas, pangan harus tersedia setiap saat dalam jumlah yang cukup, merata,
aman, bermutu, bergizi, beragam, dan dengan harga yang terjangkau oleh daya
beli masyarakat (Suyastiri 2008).
Nindyowati (2001) menyebutkan bahwa secara garis besar ada 4 aspek
pokok ketahanan pangan, yaitu ketersediaan, aksesbilitas, keamanan, dan waktu.
Keempat aspek ini saling terkait satu dengan yang lainnya sehingga membentuk
sistem ketahanan pangan yang kokoh. Apabila terjadi ketimpangan dalam satu
asspek maka akan menimbulkan rapuhnya sistem ketahahan pangan masyarakat.
Tujuan pembangunan ketahanan pangan dirumuskan sebagai berikut :
1. membangun sistem ketahanan pangan wilayah yang tangguh melalui
penciptaan iklim kondusif bagi berfungsinya subsistem ketersediaan,
distribusi, dan konsumsi secara sinergis;
2. mengembangkan kerja sama kelembagaann untuk meningkatkan ketahanan
pangan rumah tangga, kabupaten/kota, provinsi, dan nasional;
3. meningkatkan kemampuan membangun sistem distribusi pangan untuk
menunjang penyebaran dan tingkat harga pangan yang terjangkau oleh daya
beli masyarakat;
4. meningkatkan kemampuan membangun ketersediaan dan cadangan pangan
dalam jumlah, mutu, dan keragaman yang cukup di seluruh wilayah; dan
5. meningkatkan penganekaragaman pangan dan produk-produk pangan olahan
sesuai potensi sumber daya lokal sehingga mendorong penurunan konsumsi
6. meningkatkan keberdayaan dan kemandirian masyarakat dalam mewujudkan
ketahanan pangan yang berkelanjutan, serta bertumpu pada sumber daya
kelembagaan dan budaya lokal;
7. meningkatkan kewaspadaan pangan masyarakat agar dapat mengenali dan
mengantisipasi secara dini masalah kerawanan pangan di wilayahnya.
Strategi yang diterapkan dalam rangka keberhasilan pembangunan
ketahahan pangan adalah sebagai berikut :
1. pemberdayaan ketahanan pangan masyarakat;
2. pengembangan sistem dan usaha agribisnis;
3. mewujudkan kebersamaan antara masyarakat sebagai pelaku dan pemerintah
sebagai fasilitator;
4. menumbuhkan ketahahan pangan pada tingkat rumah tangga, mengelola
produksi pangan dengan baik dalam memenuhi kebutuhan konsumsi
keluarga, dan mampu menyalurkan kelebihan produksi pangan untuk
memperoleh harga yang wajar. Di pihak lain, kesadaran masyarakat akan
pentingnya penganekaragaman pangan dengan mutu pangan yang dikonsumsi
harus semakin meningkat dalam mewujudkan ketahanan pangan pada tingkat
rumah tangga; dan
5. pemantapan koordinasi dan sinkronisasi pihak-pihak terkait dalam
perencanaan, kebijakan, pembinaan dan pengendalian.
Ada 2 cara yang dapat ditempuh untuk meningkatkan ketahanan pangan, antara
lain :
1. meningkatkan daya beli masyarakat miskin dengan menaikkan tingkat
produksi pangan secara keseluruhan. Peningkatan supply pangan dan daya
beli masyarakat merupakan hal secara keseluruhan. Peningkatan supply
pangan dan daya beli masyarakat merupakan hal yang tidka mudah karena
terkait dengan kebijakan yang akan dilakukan oleh suatu negara;
2. pendistribusian kembali supply pangan dari daerah surplus ke daerah defisit
pangan dengan menggunakan mekanisme yang dapat meningkatkan daya beli
massyarakat, khususnya masyarakat miskin yang kekurangan pangan, selain
menaikkan insentif untuk meningkatkan produksi pangan dalam jangka
Timmer (2008) menekankan bahwa pencapaian dan keberhasilan
memelihara ketahanan pangan, baik ditingkat rumah tangga maupun tingkat
nasional, akan menghasilkan penurunan kemiskinan dan juga kelaparan.
Pemerintah yang berhasil menurut Timmer adalah pemerintah yang mampu
mendukung ketahanan pangan untuk warga negaranya. Penurunaan kemiskinan
itu sendiri akan berhasil hanya jika ada kesanggupan politis dasar untuk
menciptakan pertumbuhan ekonomi yang cepat dan juga merata distribusinya.
Percepatan pertumbuhan ekonomi membutuhkan kondisi yang kondusif seperti
kestabilan makroekonomi, termasuk harga bahan pangan yang relatif stabil,
kebijakan perdagangan terbuka untuk barang dan jasa, ekonomi pasar yang
kompetitif.
2.1.3 Tata Niaga Pertanian
Istilah tata niaga diartikan sama dengan pemasaran atau distribusi, yaitu
semacam kegiatan ekonomi yang berfungsi membawa atau menyampaikan barang
dari produsen ke konsumen. Niaga berarti dagang, sehingga tataniaga berarti
segala sesuatu yang menyangkut “aturan permainan” dalam hal perdagangan
barang-barang. Perdagangan biasanya dijalankan melalui pasar maka tataniaga
disebut juga pemasaran.
Sistem pemasaran hasil pertanian adalah suatu sistem yang kompleks dalam
berbagai subsistem yang berinteraksi satu sama lain dan dengan berbagai
lingkungan pemasaran. Lima subsistem sistem pemasaran yaitu sektor produksi,
saluran pemasaran, sektor konsumsi, aliran (flow) dan fungsional berinteraksi satu sama lain dalam subsistem keenam, yaitu lingkungan. Pemasaran hasil pertanian
dihadapkan pada permasalahan spesifik, antara lain berkaitan dengan karakteristik
hasil pertanian, jumlah produsen, karakteristik konsumen, perbedaan tempat dan
efisiensi pemasaran.
Fungsi dan peranan tataniaga, yaitu mengusahakan agar pembeli
memperoleh barang yang diinginkan pada tempat, waktu, bentuk dan harga yang
tepat. Fungsi utama dari tataniaga adalah penganggkutan, penyimpanan,
Sistem pemasaran hasil pertanian dapat digambarkan sebagai berikut :
Sumber : Rahim 2008
Gambar 4 Sistem Pemasaran Hasil Pertanian
Hasil produksi komoditas pertanian mempunyai karekteristik yang
berbeda dengan produk lain seperti berikut :
1. Voluminous artinya memerlukan ruang dan biaya penyimpanan yang relatif
besar, biaya pengangkutan mahal, harga produk relatif sangat kecil
dibandingkan dengan volumenya, dan biaya total pemasarannya seringkali jauh
lebih besar secara proporsional dibandingkan dengan biaya produksinya.
2. Penawaran produknya relatif kecil:
3. Secara perorangan petani pada umumnya merupakan suplier kecil yang tidak
memiliki posisi tawar dalam menentukan harga. Penetapan harga pada
umumnya dikuasai oleh pelaku pasar lain
4. Mudah rusak / perishable. Produk agronomi dikenal tidak tahan lama dan sangat mudah rusak. Hal ini disebabkan antara lain oleh rendahnya kualitas
penanganan pasca panen, kandungan air yang relatif tinggi dan faktor-faktor
lain yang lekat dengan karakteristik biologis dan fisiologis produk agronomi
itu sendiri.
5. Tergantung pada alam. Produk agronomi bersifat spesifik dalam kaitannya
signifikan terhadap produk agronomi. Produk tertentu hanya dapat ditanam
pada kondisi alam tertentu dan dipanen hanya di musim-musim tertentu.
Perubahan kondisi alam di luar kecenderungan alamiahnya akan berakibat pada
kegagalan panen. Berdasarkan sifat semacam ini produk agronomi tergolong
produk beresiko tinggi (Rahim 2008)
2.1.4 Volatilitas Harga Pasar
Harga yang terbentuk untuk suatu komoditas merupakan hasil interaksi
antara penjual dan pembeli. Harga yang terjadi sangat dipengaruhi oleh kuantitas
barang yang ditransaksikan. Dari sisi pembeli (demand, D) semakin banyak barang yang ingin dibeli akan meningkatkan harga, sementara dari sisi penjual
(supply, S) semakin banyak barang yang akan dijual akan menurunkan harga. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi perilaku permintaan maupun penawaran
dalam interaksi pembentukan harga. Namun untuk komoditas pangan/pertanian,
pembentukan harga tersebut disinyalir lebih dipengaruhi oleh sisi penawaran
(supply shock) karena sisi permintaan cenderung stabil mengikuti perkembangan trennya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi sisi penawaran komoditas
pangan/pertanian cenderung sulit untuk dikontrol. Menurut Suparmoko (1997) yang mempengaruhi penawaran suatu produk adalah jumlah barang yang
ditawarkan (produksi), harga barang, jumlah faktor produksi (input) yang tersedia,
keadaan alam, pajak dan teknologi. Sementara menurut Raharja dan Mandala
(2002) meliputi harga barang, harga barang lain berupa barang substitusi atau
komplemen, biaya produksi, teknologi produksi, jumlah pedagang/penjual, tujuan
perusahaan dan kebijakan pemerintah. Berbeda dengan Soekartawi (2002) bahwa
yang mempengaruhi penawaran produk pertanian meliputi harapan konsumen dan
elastisitas produksi. Upaya peningkatan produksi pertanian tidak dapat dilakukan
secara instan karena terkait dengan infrastruktur, luas lahan, teknologi dan
keahlian yang memerlukan investasi dan penanganan jangka panjang (Prastowoet al 2008). Sementara faktor distribusi dapat dipengaruhi secara lebih cepat dan jumlah investasi yang dibutuhkan relatif lebih kecil.Walaupun keberhasilan panen
pengaruh pola tanam terhadap perkembangan harga komoditas pertanian di
Amerika Serikat terlihat sangat dominan. Terdapat pola cyclical yang sistematis antara pola tanam dan variance harga komoditas. Variance harga membesar pada saat musim tanam dan mengecil pada saat musim panen. Sementara keberadaan
teknologi penyimpanan atas produk pertanian, khususnya untuk produk yang
mudah busuk/basi (durable products), akan mengurangi tekanan fluktutasi harga dari komoditas tersebut.
Tekanan sisi permintaan juga berpotensi meningkatkan harga komoditas
pertanian walaupun derajatnya relatif rendah dibanding tekanan dari sisi
penawaran. Sumber utama peningkatan permintaan komoditas pangan adalah
harga komoditas, pendapatan konsumen, harga yang berhubungan (komplementer
dan substitusi), selera konsumen (Salvatore 1996), jumlah penduduk, perkiraan
harga periode mendatang, upaya penjualana berupa promosi (Raharja dan
Mandala 2002) dan elastisitas permintaan yaitu harga, pendapatan serta silang
(Soekartawi 2002). Selain dipengaruhi oleh faktor penawaran dan permintaan
domestik, harga komoditas juga dapat dipengaruhi oleh harga komoditas di pasar
internasional. Pada rezim perdagangan bebas, harga komoditas domestik akan
bergerak mengikuti harga internasional, sehingga akan lebih volatile jika pemerintah tidak melakukan intervensi. Banyak negara reluctant untuk bergerak ke arah perdagangan bebas secara penuh untuk komoditas pangan/pertanian
karena komoditas tersebut merupakan komoditas penting yang dapat
menimbulkan instabilitas politik (Dawe 2001). Untuk itu banyak negara, termasuk
negara maju sekalipun seperti Jepang, yang masih memberikan proteksi berupa
larangan impor untuk komoditas tertentu maupun pemberian tarif impor.
Karakteristik penawaran dan permintaan untuk komoditas pangan/pertanian
memang ‘unik’ karena keduanya cenderung bersifat inelastic terhadap perubahan harga. Petani sebagai produsen tidak bisa serta merta meningkatkan produksinya
ketika harga mengalami peningkatan. Konsumen juga tidak bisa mengurangi
permintaannya ketika harga meningkat karena komoditas pangan/pertanian
tersebut menjadi kebutuhan pokok. Kondisi tersebut membuat harga komoditas
permintaan, termasuk indirect shock yang berpengaruh secara tidak langsung seperti gangguan distribusi.
Teori Cobweb (sarang laba-laba) terjadi pada produk pertanian karena
berfluktuasi pada musim ke musim, reaksi terlambat (time lag) dari produsen terhadap harga dan undurable goods. Teori Cobweb menjelaskan siklus harga dan produksi yang naik turun dalam jangka waktu tertentu, yang pada dasarnya
dapat dibedakan menjadi 3 siklus yaitu:
1. Siklus yang mengarah pada fluktuasi yang jaraknya tetap yang dapat
digambarkan pada gambar 5 di bawah ini.
P D S
P1 (1)
P0 (4) (2)
P2 (3)
S D
0 Q1 Q0 Q2 Q
Gambar 5 Tori Cobweb yang Menuju fluktuasi yang jaraknya tetap
2. Siklus yang mengarah pada titik keseimbangan yang dapat digambarkan pada
gambar 6 berikut ini;
D S
P1 1
P0 3 2
P2
S D
O Q1 Q0 Q2 Q
3. Siklus yang mengarah pada eksplosi harga, yaitu yang berfluktuasi dengan
jarak yang makin membesar dapat digambarkan pada gambar 7 berikut ini;
P D S
P1 1
P0 2
P2 3
S D
O Q1 Q0 Q2 Q
Gambar 7 Tori Cobweb yang Menuju Eksplosi Harga
Kondisi keseimbangan yang terjadi di pasar tentunya menjadi relatif
tidak stabil apabila ada kekuatan-kekuatan yang mendorong harga dan jumlah
barang atau komoditas yang pada akhirnya akan mencapai keseimbangan baru.
Berkaitan dengan aspek ini, di pasar ada kemungkinan akan terjadi kelebihan
barang atau komoditas yang ditawarkan (surplus) dan kekurangan barang atau
komoditas yang ditawarkan atau kelebihan barang atau komoditas yang diminta
(shortage).
Proses penyesuaian pasar menuju keseimbangan akan dipengaruhi oleh
beberapa kondisi antara lain: (1) Permintaan yang berubah, di mana penawaran
tetap; (2) Penawaran yang berubah, di mana permintaan tetap; dan (3) Permintaan
dan penawaran yang berubah secara simultan (Mubyarto, 1994)
2.1.5 Inflasi
Inflasi adalah gejala peningkatan tingkat harga pada level agregat dalam
perkekonomian secara terus menerus. Dengan demikian tingkat inflasi adalah
perubahan yang terjadi pada tingkat harga (Blancard 2004).
Di Indonesia, disagegasi inflasi IHK tersebut dikelompokan menjadi: Inflasi
dimonitor harganya secara periodik. Inflasi umum adalah komposit dari inflasi
inti, inflasi administered prices, dan inflasi volatile goods.
Inflasi inti (core inflation) : inflasi barang/jasa yang perkembangan harganya dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi secara umum, seperti
ekspektasi inflasi, nilai tukar, dan keseimbangan permintaan dan penawaran, yang
sifatnya cenderung permanen, persistent, dan bersifat umum serta dikendalikan
oleh Bank Indonesia.
Inflasi administered prices : inflasi barang/jasa yang perkembangan harganya secara umum dapat diatur pemerintah.
Inflasi volatile goods : Inflasi barang/jasa yang dominan dipengaruhi oleh shock (kejutan) dalam kelompok bahan makanan seperti panen, gangguang alam
dan faktor perkembangan harga komoditas pangan domestik maupun
perkembangan harga komoditas pangan internasional. Berdasarkan tahun dasar
2007, inflasi volatile goods masih didominasi bahan makanan, sehingga sering disebut juga sebagai inflasi volatile foods. Jumlah komoditasnya sebanyak 61 antara lain beras, minyak goreng, cabe, daging ayam ras, dan sebagainya. Dalam
penelitian ini penulis hanya mengambil 9 komoditas pangan yang mempengaruhi
inflasi.
Inflasi dapat digolongkan menjadi empat golongan, yaitu inflasi ringan,
sedang, berat, dan hiperinflasi. Inflasi ringan terjadi apabila kenaikan harga
berada di bawah angka 10 persen setahun; inflasi sedang antara 10 persen-30
persen setahun; berat antara 30 persen – 100 persen setahun; dan hiperinflasi atau
inflasi tak terkendali terjadi apabila kenaikan harga berada di atas 100 persen
setahun.
Inflasi dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu tarikan permintaan atau
desakan biaya produksi. Inflasi tarikan permintaan terjadi akibat adanya
permintaan total yang berlebihan sehingga terjadi perubahan pada tingkat harga.
Bertambahnya permintaan terhadap barang dan jasa mengakibatkan bertambahnya
permintaan terhadap faktor-faktor produksi. Meningkatnya permintaan terhadap
faktor produksi itu kemudian menyebabkan harga faktor produksi meningkat.
Jadi, inflasi ini terjadi karena suatu kenaikan dalam permintaan total sewaktu
Inflasi desakan biaya terjadi akibat meningkatnya biaya produksi (input)
sehingga mengakibatkan harga produk-produk (output) yang dihasilkan ikut naik.
Meningkatnya biaya produksi dapat disebabkan 2 hal,yaitu kenaikan
harga,misalnya bahan baku dan kenaikan upah/gaji,misalnya kenaikan gaji PNS
akan mengakibatkan usaha-usaha swasta menaikkan harga barang-barang.
Berdasarkan asalnya, inflasi dapat digolongkan menjadi dua, yaitu inflasi
yang berasal dari dalam negeri dan inflasi yang berasal dari luar negeri. Inflasi
berasal dari dalam negeri misalnya terjadi akibat terjadinya defisit anggaran
belanja yang dibiayai dengan cara mencetak uang baru dan gagalnya pasar yang
berakibat harga bahan makanan menjadi mahal. Sementara itu, inflasi dari luar
negeri adalah inflasi yang terjadi sebagai akibat naiknya harga barang impor. Hal
ini bisa terjadi akibat biaya produksi barang di luar negeri tinggi atau adanya
kenaikan tarif impor barang.
Selain pembagian inflasi yang tersebut di atas, ada pula yang dikenal
dengan jenis inertia inflation, atau expectation inflation. Inertia inflation adalah kecenderungan bahwa setiap tahun (atau setiap periode) orang percaya akan
terjadi inflasi. Penduduk negara-negara maju, misalnya, percaya bahwa inflasi
diperkirakan 3 persen per tahun. Negara industri baru semisal Korea Selatan dan
Singapura diperkirakan memiliki tingkat inflasi sebesar 2 persen. Sedangkan
negara berkembang memiliki tingkat inflasi sekitar 7 persen. Inertia inflationjuga disebut expected inflation. Di luar itu, sebenarnya terdapat unexpected inflation. Inflasi jenis ini bisa negatif dan bisa pula positif.Unexpected inflationterjadi jika ada kejutan. Konsep inflasi inersia mengacu pada situasi di mana mekanisme
propagasi inflasi sudah terpasang dan merupakan penyebab utama inflasi
berlangsung dari waktu ke waktu.
Hutabarat (2005) menemukan bahwa perilaku inflasi di Indonesia
bersifat sangat persisten terutama disebabkan oleh pola pembentukan ekspektasi
inflasi yang masih didominasi oleh inflasi masa lalu (expectation adaptive). Menurutnya, pembentukan ekspektasi inflasi ini banyak diwarnai oleh inflasi cost push atau supply shocks yang tinggi dan sering terjadi, seperti kejutan harga minyak, kenaikan harga BBM, devaluasi dan fluktuasi berlebihan nilai tukar
karakteristik inflasi tersebut tidak mengalami perbaikan pada pasca krisis, baik
ditinjau secara time series, distribusi lintas komoditi pembentuk inflasi, maupun perbandingan dengan negara lain.
Menurut Dornbusch et al (2004) bahwa pelaku ekonomi membentuk ekspektasi laju inflasi berdasarkan ekspektasi adaftif dan ekspektasi rasional.
Ekspektasi rasional adalah ramalan optimal mengenai masa depan
denganmenggunakan semua informasi yang ada. Pengertian rasional adalah
suatutindakan yang logik untuk mencapai tujuan berdasarkan informasi yang ada.
Dalam Boediono (1997), pengaruh inflasi dapat memiliki dampak positif
atau negatif tergantung seberapa parah atau tidaknya tingkat inflasi tersebut.
Inflasi yang ringan atau moderat akan membuat perekonomian menjadi bergairah
karena dapat mendorong laju investasi yang kemudian membuka lapangan
pekerjaan sehingga dapat mengurangi pengangguran dan pada akhirnya
mendorong pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, inflasi yang tidak stabil akan
menciptakan ketidakpasian bagi para pelaku ekonomi dalam mengambil
keputusan untuk melaksanakan konsumsi, investasi, dan produksi yang pada
akhirnya akan menghambat pertumbuhan ekonomi. Oleh sebab itu, pengendalian
inflasi untuk mencapai kestabilan harga barang dan jasa merupakan prasyarat
penting dalam menciptakan kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi jangka
panjang.
Dalam kaitannya antara perubahan harga komoditas dan inflasi, Furlong
dan Ingenito (1996) meyakini bahwa harga komoditas dapat dijadikan sebagai
leading indicators inflasi. Alasannya adalah, pertama, harga komoditas mampu merespon secara cepat shock yang terjadi dalam perekonomian secara umum, seperti peningkatan permintaan (aggregate demand shock). Kedua, harga komoditas juga mampu merespon terhadap non-economic shocks seperti banjir, tanah longsor dan bencana alam lainnya yang menghambat jalur distribusi dari
komoditas tersebut.
2.1.6 Struktur Pasar
Atas kegiatan produksi, perubahan bentuk, penyimpanan dan distribusi
marjin keuntungan yang dapat ditetapkan oleh para agen ekonomi sangat
dipengaruhi oleh struktur pasar dari komoditas yang diperdagangkan. Struktur
pasar ditentukan oleh beberapa kriteria, yaitu (i) jumlah perusahaan/agen/penjual
yang beroperasi di pasar tersebut; (ii) ada tidaknya hambatan bagi
perusahaan/agen/penjual untuk masuk dan keluar dari pasar; dan (iii) karakteristik
dari komoditas yang diperdagangkan. Struktur pasar tersebut berpengaruh
terhadap kekuatan dari para agen/penjual di dalamnya untuk mempengaruhi harga
pasar. Secara teoritis, struktur pasar dapat berbentuk pasar monopoli, duopoli,
oligopoli, persaingan monopolistik (monopolictic competition), dan persaingan sempurna (perfect competition).
Pada struktur pasar yang bersifat monopoli, sebuah perusahaan atau agen
tunggal yang menguasai pasar memiliki keleluasaan dalam penetapan harga untuk
memperoleh marjin keuntungan yang optimal karena agen tersebut berperan
sebagai price setter. Sebaliknya, pada pasar komoditas yang bersifat persaingan sempurna (perfect competition) atau setidaknya highly competition, agen tersebut tidak mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi harga yang terjadi di pasar
karena lebih berperan sebagai price taker sehingga marjin keuntungan yang diperoleh sangat kecil. Sementara kemampuan agen/penjual untuk mempengaruhi
harga pada jenis pasar duopoli, oligopoli, dan persaingan monopolistik berada di
antara pasar monopoli dan persaingan sempurna.
Kondisi pasar persaingan sempurna terlihat di level petani pada saat
panen raya. Homogenitas dan melimpahnya komoditas pertanian yang akan dijual
membuat petani tidak mempunyai bargaining position untuk mempengaruhi harga dan pasrah sebagai price taker. Sebaliknya untuk level pedagang pengumpul/tengkulak yang jumlahnya relatif sedikit cenderung membentuk pasar
oligopoli sehingga mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi harga. Seringkali
para pedagang pengumpul/tengkulak tersebut membentuk sebuah kartel yang
dapat membuat kesepakatan dan membentuk harga pasar (Prastowo et al2008.
2.1.7 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harga Pangan
Studi empiris yang dilakukan oleh Deaton dan Laroque (1992), Chambers
dan Bailey (1996) dan Tomek (2000) menyimpulkan dua faktor yang sangat
berpengaruh terhadap pembentukan harga komoditas pangan/pertanian, yakni
faktor produksi/panen (harvest disturbance) dan perilaku penyimpanan
(storage/inventory behavior). Walaupun keberhasilan panen sangat dipengaruhi oleh kondisi musim/cuaca yang sifatnya uncontrolable, pengaruh pola tanam terhadap perkembangan harga komoditas pertanian di Amerika Serikat terlihat
sangat dominan. Terdapat pola cyclical yang sistematis antara pola tanam dan
variance harga komoditas. Variance harga membesar pada saat musim tanam dan mengecil pada saat musim panen. Sementara keberadaan teknologi penyimpanan
atas produk pertanian, khususnya untuk produk yang mudah busuk/basi (durable products), akan mengurangi tekanan fluktutasi harga dari komoditas tersebut.
2.1.7.2. Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) dari sisi Permintaan
Sumber utama peningkatan permintaan komoditas pangan adalah
peningkatan jumlah penduduk dan pendapatan (Tomek 2000). Namun untuk
negara maju, income effect kepada permintaan komoditas pertanian relatif kecil bila dibandingkan dengan negara berkembang yang mempunyai income elasticity
lebih tinggi. Sementara Borensztein et al (1994) berpendapat bahwa permintaan komoditas pertanian lebih dipengaruhi oleh aktivitas perekonomian (economic growth). Membaiknya pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan pendapatan masyarakat yang selanjutnya mendorong konsumsi. Kondisi ini memacu sektor
industri untuk meningkatkan produksi makanan sehingga permintaan komoditas
pertanian sebagai bahan baku meningkat.
2.1.7.3. Jumlah Penduduk dari sisi Permintaan
Pertumbuhan ekonomi China dan India, kedua negara dengan jumlah
penduduk terbesar, menyebabkan peningkatan permintaan yang luar biasa
terhadap bahan makanan sehingga akan menyebabkan kenaikan pada harga
pangan (Hasan 2008). Hal ini senada dengan hasil penelitian Siregar (2009)
bahwa Semakin bertambahnya penduduk dunia, terutama di negara di
permintaan akan komoditas-komoditas pertanian, sehingga mendorong
harga-harga komoditas tersebut untuk meningkat.
2.1.7.4. Infrastruktur dari sisi Penawaran
Beberapa teori pertumbuhan ekonomi sepakat mengenai arti penting dari
infrastruktur terhadap pembangunan regional, karena akan menjadi determinan
dalam pembangunan sistem pertumbuhan di tingkat lokal dan bagaimana
kemudian jalur pembangunan akan terbentuk. Tentu saja infrastruktur yang
dimaksud adalah infrastruktur ekonomi seperti fasilitas transportasi, jalan raya,
pelabuhan laut dan udara, rel kareta dan pembangkit tenaga listrik, karena secara
langsung akan berfungsi dalam meningkatkan produktivitas perusahaan (Cappelo
2007).
Beberapa studi telah diukur pengaruh kualitas jalan pada biaya
transportasi dan integrasi pasar. Loveridge (1991) menunjukkan bahwa perbaikan
proyek jalan di barat daya Rwanda mengurangi perbedaan harga antara dua pasar
dan meningkatkan korelasi harga mereka dari waktu ke waktu. Minten dan Kyle
(1999) menemukan bahwa biaya transportasi dua kali lebih tinggi di jalan buruk
dibandinkan dengan jalan beraspal di Zaire. Biaya tinggi transportasi di jalan
buruk mengakibatkan harga yang lebih rendah yang di terima petani dalam
menjual hasil panen mereka.
2.2 Penelitian Terdahulu
Busetti et al (2006) dalam Inflation Convergence and Divergence Within The Eropean Monetary Union (EMU). Penelitian ini menganalisis mengenai sifat konvergensi tingkat inflasi diantara negara-negara Uni Eropa
selama periode 1980-2004. Analisis yang digunakan dibagi menjadi dua bagian,
sebelum dan sesudah kelahiran mata uang euro. Analisis konvergensi pertama
menggunakan uji akar unit univariat dan multivariat pada perbedaan inflasi,
dengan alasan bahwa kekuatan dari pengujian ini meningkat jauh jika regresi
Dickey-Fuller tanpa intercept term. Analisis selanjutnya menyelidiki apakah kedua sub sampel dicirikan oleh tingkat inflasi yang stabil di negara-negara
Eropa. Pada saat menggunakan tes stationeritas pada tingkat diferensial untuk
inflasi, ditemukan bukti perilaku yang menyimpang. Secara statistik penelitian ini
yang lebih rendah terdiri dari Jerman, Perancis, Belgia, Australia, Finlandia.
Sedangkan kelompok inflasi yang lebih tinggi adalah Spanyol, Belanda, Yunani,
Portugal, dan Irlandia. Italia muncul untuk membentuk kelompok sendiri, berada
diantara dua kelompok lainnya. Hasil penelitian diperoleh Konvergensi terjadi
mulai pada tahun 1999 sejak munculnya mata uang tunggal (UERO) dengan
konvergensi tertinggi di Belanda, Spanyol, Yunani, Portugal dan Irlandia.
Hanie (2006) dalam Analisis Konvergensi Nominal dan Riil Diantara
Negara-Negara Asean-5, Jepang, dan Korea Selatan. Penelitian ini mengkaji
apakah konvergensi nominal dan konvergensi riil telah terjadi di negara-negara
ASEAN-5 (Indonesia, Filipina, Singapura, Malaysia, dan Thailand), Jepang, dan
Korea Selatan. Konvergensi nominal dianalisis dengan menggunakan variabel
Consumer Price Index (CPI), sedangkan analisis konvergensi riil menggunakan variabel Industrial Production Index (IPX). Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan VECM melalui simulasi Decomposition of Forecasting Error Varians dan simulasi Impulse Response Function. Selain itu, konvergensi juga analisis dengan menggunakan uji kausalitas Grenger dan matriks korelasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa konvergensi nominal terjadi di
negara-negara ASEAN-5 kecuali Indonesia, namun konvergensi ini belum begitu terlihat
diantara Korea Selatan dengan ASEAN-5. Selain itu, konvergensi riil terjadi
diantara negara-negara ASEAN-5, dan antara Korea Selatan dengan ASEAN-5
kecuali Indonesia.
Penelitian berikutnya Andersson et al (2009) dalam Determinants of Inflation and Price Level Differentials Across the Euro Area Countries. Penelitian ini menganalisa faktor-faktor penentu perbedaan inflasi perbedaan inflasi dan
tingkat harga di negara-negara kawasan euro. Estimasi panel dinamis untuk
periode 1999-2006 menunjukkan bahwa perbedaan dalam inflasi terutama
ditentukan oleh perkembangan yang berbeda dalam PDB per kapita atau tingkat
produktivitas, posisi siklus dan untuk beberapa tingkat pertumbuhan upah serta
perubahan dalam peraturan pasar produk. Penelitian ini juga menemukan
kekuatan penting dalam perbedaan tingkat inflasi, dapat dilihat dari sebagian
hubungan terkait dengan harga yang ditentukan dan peraturan pasar produk.
masing-masing negara kawasan eoru diatur oleh tingkat GDP per kapita, pada gilirannya
ditentukan oleh tingkat produktivitas dan konsumsi. Kekuatan dalam perbedaan
tingkat inflasi tampaknya sebagian dijelaskan oleh administered prices dan sampai batas tertentu oleh peraturan pasar produk.
Penelitian konvergensi indeks harga dilakukan oleh Ralhan dan
Dayanandan (2003) dengan level data panel periode 1978-2001 dari 10 provinsi
dan 15 kota di Kanada, dengan metode panel unit root test DF dan ADF. Hasil penelitian di peroleh Tingkat estimasi konvergensi di Kanada relatif lebih cepat
selama pasca-inflation targetingperiode 1991-2001 dari pada sebelumnya.
2.3 Kerangka Pemikiran
Untuk membentuk suatu tingkat inflasi yang tetap, salah satu faktor yang
harus dipenuhi oleh Indonesia adalah mencapai konvergensi harga pangan. Dalam
hal ini, wilayah-wilayah di Indonesia harus mengetahui faktor yang mendukung
pembentukan konvergensi harga pangan antar wilayah tersebut. Berikut ini adalah
gambaran dari kerangka pemikiran dari penelitian ini :
Gambar 8 Kerangka Pemikiran Penelitian
9 Pangan Pokok
Penawaran Pemintaan
Jumlah Produksi, Infrastruktur
Konvergensi & Panel Data Dinamis
PDRB, Jumlah Penduduk,
Volatile Food Inflasi
Implikasi Kebijakan Adanya Perbedaan Harga Pangan
2.4 Hipotesis
Hipotesis yang dikemukakan dalam penelitian ini di dasarkan pada
teori-teori yang ada dan penelitian terdahulu yaitu sebagai berikut:
1. Konvergensi harga pangan terjadi antar wilayah di Indonesia.
2. Perubahan harga pangan dipengaruhi jumlah produksi (berhubungan
negatif), PDRB (berhubungan positif), jumlah penduduk (berhubungan
III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis dan Sumber Data
Penelitian ini menggunakan data sekunder time series dari tahun 2001 – 2010 dan cross section dari 26 propinsi di Indonesia (data panel), yang terdiri dari:
1. Harga konsumen dari 9 pangan pokok (beras, daging ayam, daging sapi,
bawang merah, cabe merah, minyak goreng, gula pasir, telur ayam ras dan
kacang kedelai) di 26 propinsi.
2. Jumlah produksi dari 9 pangan pokok di 26 propinsi.
3. Produk Domestik Regional Bruto atas harga konstan tahun 2000
4. Jumlah penduduk diperoleh dari hasil sensus tahun 2000 dan 2010 sedangkan
data jumlah penduduk tahum 2001–2009 merupakan hasil perkiraan.
5. Infrastruktur menggunakan proksi panjang jalan propinsi
Data yang digunakan berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian
Pertanian dan Kementerian Pekerjaan Umum.
3.2 Metode Analisis
3.2.1 Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif merupakan suatu teknik analisis yang sederhana yang
dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi suatu observasi dengan
menyajikan dalam bentuk ulasan, tabel maupun grafik dengan tujuan
memudahkan dalam menafsirkan hasil observasi. Analisis deskriptif pada
penelitian ini menggunakan rasio perubahan harga dan inflasi.
3.2.2 Analisis Panel Data Statis
Data panel adalah data yang memiliki dimensi ruang (individu) dan
waktu, yang merupakan gabungan antara data silang (cross section) dengan data runtut waktu (time series). Jika setiap unit cross section memiliki jumlah observasi time series yang sama maka disebut sebagai balanced panel. Sebaliknya jika jumlah observasi berbeda untuk setiap unit cross section maka disebut
Keunggulan dari penggunaan data panel dalam analisis ekonometrik
antara lain: (i) mampu mengontrol heterogenitas individu; (ii) memberikan
informasi yang lebih banyak dan beragam, meminimalkan masalah kolinieritas
(collinearity), meningkatkan jumlah derajat bebas dan lebih efisien; (iii) data panel umumnya lebih baik bila digunakan dalam studi dynamics of adjustment; (iv) data panel lebih baik dalam mengukur dan mengidentifikasi serta mengukur
efek yang tidak dapat dideteksi apabila menggunakan data cross section atau
timeseries murni; dan (v) data panel dapat digunakan untuk mengonstruksi dan menguji model perilaku yang lebih kompleks dibandingkan data cross section
atau time series murni.
Meskipun demikian, analisis data panel juga memiliki beberapa
kelemahan dan keterbatasan dalam penggunaannya khususnya apabila data panel
dikumpulkan atau diperoleh dengan metode survei. Permasalahan tersebut antara
lain: (i) relatif besarnya data panel karena melibatkan komponen cross section dan
time series menimbulkan masalah disain survei panel, pengumpulan dan manajemen data (masalah yang umumnya dihadapi di antaranya: coverage,
nonresponse, kemampuan daya ingat responden (recall), frekuensi, dan waktu wawancara; (ii) distorsi kesalahan pengamatan (measurement error) yang umumnya terjadi karena kegagalan respon (contoh: pertanyaan yang tidak jelas,
ketidaktepatan informasi, dan lain-lain); (iii) masalah selektivitas, yakni:
selfselectivity, nonresponse, attrition (jumlah responden yang terus berkurang pada survey lanjutan); dan (iv) cross section dependence (contoh: apabila
macropanel data dengan unit analisis negara atau wilayah dengan deret waktu yang panjang mengabaikan cross-country dependence maka dapat mengakibatkan kesimpulan-kesimpulan yang tidak tepat (miss leading inference).
Ada beberapa metode yang sering digunakan untuk mengestimasi
parameter model data panel statis. Metode sederhana yang sering digunakan
adalah pooled estimator atau dikenal sebagai metode least square yang umumnya digunakan pada model cross section dan time series murni. Sebagaimana dibahas sebelumnya bahwa data panel memiliki jumlah observasi lebih banyak
digabungkan menjadi pool data, regresi yang dihasilkan cenderung lebih baik dibandingkan regresi yang menggunakan data cross section dan time series murni. Akan tetapi, dengan mengabungkan data, maka variasi atau perbedaan baik antara
individu dan waktu tidak dapat terlihat. Hal ini tentunya kurang sesuai dengan
tujuan dari digunakannya data panel. Lebih jauh lagi, dalam beberapa kasus,
penduga yang dihasilkan melalui least square dapat menjadi bias akibat kesalahan spesifikasi data.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, ada dua metode yang biasanya
digunakan dalam pemodelan data panel, yakni metode efek tetap (fixed effects model) dan metode efek random (random effects model). Persamaan berikut:
...(3.1)
dengan gangguan acak diasumsikan mengikuti one-way error component model
sebagai berikut:
= + ...(3.2)
dan diasumsikan bahwa uit merupakan gangguan acak yang tidak berkorelasi
dengan Xit . Sedangkan i disebut sebagai efek individual (time invariant person specific effect). Beberapa aplikasi empiris data panel umumnya melibatkan satu di antara asumsi mengenai efek individual.
Pertama, bila i diperlakukan sebagai parameter tetap, namun bervariasi
antar i = 1,2,…, N , maka model ini disebut sebagai fixed effects model (FEM). Model efek tetap umumnya digunakan ketika terdapat korelasi antara intersep
individual dan variabel independen r. Secara umum model ini dapat diekspresikan
sebagai
...(3.3)
dengan asumsi bahwa uit ~ iid (0, ). Penduga dari model ini mampu menjelaskan
perbedaan atau variasi antar individu (differences within individual), karena model ini memungkinkan adanya perbedaan intersep pada setiap i. Penduga dari model ini ditentukan sebagaimana penduga least square dalam regresi namun dalam bentuk deviasi rata-rata individual. Menurut Verbeek (2000), dugaan untuk
paremeter dengan menggunakan FEM dapat diformulasikan sebagai
Sedangkan estimasi untuk intersep dituliskan sebagai
...(3.5)
Matriks kovarian untuk fixed effect estimator , dengan uit ~ iid (0, )
diberikan oleh:
...(3.6)
dengan
……….…...…..(3.7)
Pada dasarnya, FEM lebih menekankan pada perbedaan di antara individu,
yakni menjelaskan bagaimana berbeda dari , dan tidak menjelaskan kenapa
berbeda dari . Di sisi lain, asumsi parametrik mengenai , menekankan
bahwa perubahan yang terjadi dalam X memiliki pengaruh yang sama, apakah perubahan dari satu periode ke periode lainnya atau perubahan dari satu individu
ke individu lainnya.
Kedua, bila diperlakukan sebagai parameter random, maka model
disebut sebagai random effects model (REM). Dalam REM, perbedaan karakeristik individu diakomodasi oleh error dalam model. Secara umum model ini dapat diekspresikan sebagai:
...(3.8)
dengan = ߙ + dan memiliki rata-rata nol. Di sini, merepresentasikan gangguan individu (individual disturbance) yang tetap sepanjang waktu. Beberapa asumsi yang melekat dalam REM antara lain:
ܧ ( | ) = 0 ...(3.9)
( | ) = ...(3.10)
( | ) = 0; ݅, ݐ ...(3.11)
( ...(3.12)
...(3.13)
( ) ...(3.14)
Untuk menduga REM umumnya digunakan metode generalized least square (GLS). Misalkan kombinasi error dituliskan menjadi
dengan
...(3.16)
...(3.17)
...(3.18)
...(3.19)
Apabila gangguan sejumlah T untuk individu i dikumpulkan dalam bentuk vektor
maka dapat dituliskan bahwa
...(3.20)
dengan
...(
3.21)
Untuk keseluruhan observasi panel, matriks kovarian error
dapat diturunkan sebagai
...(3.22)
Dengan menyatakan matriks identitas berdimensi N dan merepresentasikan
Kronecker product. Misalkan Y pada persamaan (3.13) direpresentasikan sebagai
vektor stack dari b yang dibentuk dengan pola yang sama dengan w (dengan
struktur yang sama untuk X). Selanjutnya keseluruhan sistem yang dituliskan
sebagai