• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Pengeluaran Pemerintah, Pdrb, Dan Upah Rill Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Di Sumatera Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Pengeluaran Pemerintah, Pdrb, Dan Upah Rill Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Di Sumatera Barat"

Copied!
169
0
0

Teks penuh

(1)

1.1Latar Belakang

Ketenagakerjaan merupakan masalah yang selalu menjadi perhatian utama pemerintah dari masa ke masa. Permasalahan ini menjadi penting mengingat erat kaitannya dengan pengangguran baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam masalah ketenagakerjaan menunjukkan bahwa semakin tinggi angka pengangguran maka akan meningkatkan probabilitas kemiskinan, kriminalitas, dan fenomena-fenomena sosial-ekonomi di masyarakat.

Pembangunan merupakan upaya perubahan struktural yang dimaksudkan untuk meningkatkan produktivitas dan menciptakan kesempatan kerja yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan penduduk. Tujuan pembangunan Indonesia itu sendiri adalah untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang adil, makmur, serta meningkatkan taraf hidup masyarakat Indonesia. Beberapa upaya yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam mencapai tujuan pembangunan adalah dengan pengentasan kemiskinan, pemerataan pendapatan serta penyediaan lapangan kerja baru bagi masyarakat. Namun demikian tidak semua penduduk memiliki kesempatan untuk terlibat dalam proses dan kegiatan pembangunan, sehingga masih ada yang tertinggal dan tidak terangkat dari kemiskinan.

(2)

1. Ketenagakerjaan merupakan salah satu sasaran pembangunan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009, sesuai triple track strategy (pro poor, pro growth, pro job).

2. Begitu pula pada RPJMN 2010-2014, sasaran pemerintah pada bidang ketenagakerjaan yaitu:

a. Menurunkan Tingkat Pengangguran Terbuka menjadi 5-6 persen. b. Menyelesaikan masalah ketenagakerjaan antara lain:

 Terbatasnya kesempatan untuk memperoleh Pekerjaan yang layak

 Kualitas angkatan kerja yang rendah

 Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) usia muda yang tinggi.

 TPT terdidik (di atas SLTA) masih tinggi.

Masalah ketenagakerjaan di Indonesia merupakan salah satu masalah makroekonomi. Dilihat dari dimensi regional beberapa permasalahan pengangguran adalah tidak adanya konvergensi dan tingkat pengangguran provinsi menunjukkan kecenderungan yang meningkat (Sari, 2011).

Tabel 1.1 Jumlah dan Persentase Pengangguran Terbuka Indonesia Dirinci Menurut Jenjang Pendidikan (juta orang)

JENJANG PENDIDIKAN

Februari 2010 Agustus 2010 Februari 2011

(3)

Berdasarkan Tabel 1.1 terlihat bahwa secara total persentase Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Indonesia sampai dengan bulan Februari 2011 sebesar 6,80 persen. Apabila kita bandingkan dengan target RPJMN 2010-2014 yang ingin dicapai maka dapat dikatakan bahwa TPT Indonesia masih jauh dari angka yang diharapkan dimana TPT terdidik (di atas SMA) masih tinggi.

Pembangunan di Provinsi Sumatera Barat yang berlangsung secara menyeluruh dan berkesinambungan telah meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Pencapaian hasil-hasil pembangunan yang sangat dirasakan masyarakat merupakan agregat pembangunan dari 19 Kabupaten/Kota di Sumatera Barat yang tidak terlepas dari peran pemerintah dan masyarakat. Namun di sisi lain berbagai kendala dalam memaksimalkan potensi sumber daya manusia dan sumber modal masih dihadapi oleh penentu kebijakan di tingkat provinsi maupun di kabupaten/kota. Salah satu masalah yang perlu disikapi secara tegas dan bijak adalah masalah ketenagakerjaan.

(4)

Gambar 1.1 Pertumbuhan Ekonomi Indonesia dan Sumatera Barat Tahun 2005-2010

Sumber: BPS, diolah.

Gambar 1.2 Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Indonesia dan Sumatera Barat Periode Agustus 2008 s/d Februari 2011

Sumber: BPS, diolah.

08 2008 02 2009 08 2009 02 2010 08 2010 02 2011

(5)

Menurut Wallis (2002), pertumbuhan ekonomi secara otomatis akan meningkatkan upah pekerja dan penyerapan tenaga kerja, karena meningkatnya permintaan tenaga kerja. Besarnya penyerapan tenaga kerja di Indonesia dan Sumatera Barat dapat dilihat dari tingginya angka Tingkat Pengangguran Terbuka.

Berdasarkan Gambar 1.2 terlihat bahwa Tingkat Pengangguran Terbuka Provinsi Sumatera Barat sangat berfluktuasi dibandingkan dengan TPT Indonesia. Pada periode Februari Tahun 2011 Tingkat Pengangguran Terbuka Sumatera Barat sebesar 7,14 persen di atas angka Indonesia yang sebesar 6,80 persen. Baik TPT Indonesia maupun Sumatera Barat keduanya menunjukkan angka yang sangat tinggi jika dibandingkan target yang telah ditetapkan dalam RPJM 2010-2014 yang sebesar 5 s/d 6 persen.

1.2Perumusan Masalah

Pertumbuhan ekonomi Indonesia khususnya Provinsi Sumatera Barat dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan, akan tetapi di sisi lain peningkatan ini justru tidak dapat menyerap banyak tenaga kerja. Selain itu jumlah penduduk juga terus bertambah yang menumpuk pada usia produktif, peningkatan jumlah angkatan kerja tanpa diikuti dengan penyediaan lapangan kerja akan mengakibatkan jumlah pengangguran semakin bertambah.

(6)

pendapatan yang memadai, tingkat keamanan dan kenyamanan kerja, serta keuntungan lain yang dapat diperoleh.

Untuk mencari solusi yang tepat dari permasalahan tersebut dibutuhkan kajian mengenai ketenagakerjaan yaitu penyerapan tenaga kerja beserta faktor-faktor yang memengaruhi. Kajian tersebut juga berguna untuk merumuskan strategi kebijakan dalam ketenagakerjaan pada masa yang akan datang. Bertolak dari uraian di atas, maka permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana keadaan ketenagakerjaan di Provinsi Sumatera Barat?

2. Bagaimana pengaruh pengeluaran pemerintah, PDRB, dan upah riil terhadap penyerapan tenaga kerja di Provinsi Sumatera Barat, dan seberapa besar pengaruh dari masing-masing faktor tersebut?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah, maka tujuan yang ingin dihasilkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis keadaan ketenagakerjaan di Provinsi Sumatera Barat.

2. Menganalisis pengaruh pengeluaran pemerintah, PDRB, dan upah riil terhadap penyerapan tenaga kerja di Provinsi Sumatera Barat serta besarnya pengaruh dari masing-masing faktor tersebut.

1.4 Manfaat Penelitian

(7)

bahan sekaligus rekomendasi mengenai strategi kebijakan yang optimal untuk mengurangi tingginya pengangguran di Indonesia khususnya Provinsi Sumatera Barat. Sedangkan bagi pembaca diharapkan bisa menjadi informasi dan bahan acuan untuk melakukan penelitian sejenis atupun lebih lanjut. Bagi penulis sendiri penelitian ini dapat dijadikan sebagai proses pembelajaran dalam penerapan ilmu yang telah dipelajari di bidang ekonomi.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

(8)

2.1 Tinjauan Teoritis

2.1.1 Ketenagakerjaan

Penduduk suatu negara dapat dibagi menjadi dua yaitu tenaga kerja dan bukan tenaga kerja. Tenaga kerja adalah penduduk yang berusia kerja (15 tahun ke atas), sesuai dengan UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003. Penduduk usia kerja dikelompokkan menjadi angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Dikatakan angkatan kerja adalah penduduk yang termasuk usia kerja yang mempunyai pekerjaan, atau mempunyai pekerjaan namun untuk sementara tidak bekerja dan yang mencari pekerjaan. Bukan angkatan kerja adalah penduduk dalam usia kerja yang tidak bekerja atau sedang tidak bekerja atau tidak mempunyai pekerjaan karena sekolah, mengurus rumah tangga serta menerima pendapatan tapi bukan merupakan imbalan langsung atas jasa kerjanya misal pensiunan.

(9)

Konsep bekerja menurut BPS adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh seseorang dengan maksud memperoleh dan membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan, paling sedikit satu jam (tidak terputus) dalam seminggu yang lalu. Kegiatan tersebut termasuk pula kegiatan pekerja keluarga tanpa upah yang membantu dalam suatu usaha/kegiatan ekonomi.

Gambar 2.1 Diagram Ketenagakerjaan

Sumber : Keadaan Angkatan Kerja di Provinsi Sumatera Barat Tahun 2010

2.1.2 Pengeluaran Pemerintah

(10)

pendidikan dan kesehatan masyarakat, mengatur kebijaksanaan perekonomian dengan negara lainnya.

Keynes berpendapat tingkat kegiatan dalam perekonomian ditentukan oleh perbelanjaan agregat. Pada umumnya perbelanjaan agregat dalam suatu periode tertentu adalah kurang dari perbelanjaan agregat yang diperlukan untuk mencapai tingkat full employment. Keadaan ini disebabkan karena investasi yang dilakukan para pengusaha biasanya lebih rendah dari tabungan yang akan dilakukan dalam perekonomian full employment. Keynes berpendapat sistem pasar bebas tidak akan dapat membuat penyesuaian-penyesuaian yang akan menciptakan full employment. Untuk mencapai kondisi tersebut diperlukan kebijakan pemerintah. Tiga bentuk kebijakan pemerintah yaitu kebijakan fiskal, moneter dan pengawasan langsung. Kebijakan fiskal melalui pengaturan anggaran pengeluaran dan penerimaan pemerintah. Dalam masa inflasi biasanya kebijakan fiskal akan berbentuk mengurangi pengeluaran pemerintah dan meningkatkan pajak. Sebaliknya apabila pengangguran serius maka pemerintah berusaha menambah pengeluaran dan berusaha mengurangi pajak (Mankiw, 2007).

2.1.3 PDRB

(11)

suatu wilayah terutama yang dikaitkan dengan kemampuan wilayah tersebut dalam mengelola sumber daya yang dimiliki. Disebut domestik karena menyangkut batas wilayah dan dinamakan bruto karena telah memasukkan komponen penyusutan dalam perhitungannya. PDRB secara umum disebut juga agregat ekonomi, maksudnya angka besaran total yang menunjukkan prestasi ekonomi suatu wilayah. Dari agregat ekonomi ini selanjutnya dapat diukur pertumbuhan ekonomi. Untuk menghitung pertumbuhan ekonomi riil terlebih dahulu harus dihilangkan pengaruh perubahan harga yang melekat pada angka-angka agregat ekonomi menurut harga berlaku sehingga terbentuk harga agregat ekonomi menurut harga konstan.

Penelitian Okun (1980) dalam Dornbusch (1991) di Amerika Serikat yang dilatarbelakangi anggapan bahwa dari waktu ke waktu angkatan kerja mengalami pertumbuhan sehingga pengangguran akan naik kecuali jika output riil maupun kesempatan kerja mengalami pertumbuhan yang cukup pesat. Dalam bentuk pertumbuhan, Okun membuktikan bahwa tingkat pengangguran akan turun sebesar 0,4 persen setiap laju pertumbuhan PDB riil sebesar 1 persen per tahun. Hukum Okun ini merupakan hasil dari penelitian empiris sehingga hukum tersebut bukan merupakan hukum yang tetap, karena angka estimasi atas hubungan antara trend laju pertumbuhan output dan tingkat pengangguran akan berubah dari waktu ke waktu.

(12)

yang memiliki corak padat karya (labour intensive). Apabila struktur perekonomian suatu wilayah adalah capital intensive (padat modal), maka pertumbuhan ekonomi hanya akan meningkatkan kebutuhan modal dan tidak akan menyerap banyak tenaga kerja.

2.1.4 Upah Riil

Kaum ekonom klasik menyatakan, bahwa tenaga kerja/karyawan mendasarkan penawaran tenaga kerja atas upah riil (W/P). Oleh karena itu, kenaikan upah nominal tidak akan mengubah penawaran tenaga kerja apabila kenaikan upah tersebut disertai dengan kenaikan tingkat harga yang sepadan. Orang yang merasa lebih kaya karena kenaikan upah nominal dan kenaikan tingkat harga yang sama dikatakan terkena money illusion. Orang yang rasional tidak akan mengalami ilusi uang, karena mereka hanya mau mengubah penawaran tenaga kerja apabila terjadi perubahan dalam upah riil.

Burtt (1963) dalam bukunya berjudul “Labor Market, Unions and

Government Policies” menyatakan bahwa ada beberapa teori yang menjelaskan proses penentuan upah dan faktor-faktor yang mempengaruhi upah pekerja, diantaranya yaitu:

1. Teori Kebutuhan Hidup (Subsistence Theory)

(13)

kepentingan untuk menutup biaya hidup kebutuhan pekerja dan keluarganya. Keadaan upah di pasar tenaga kerja akan berfluktuasi di sekitar subsistence level. Penawaran tenaga kerja tidak akan meningkat atau menurun dalam hubungan jangka panjang (long run). Jika tingkat upah naik diatas biaya hidup minimum pekerja, maka akan meningkatkan penawaran tenaga kerja dan akan menurunkan tingkat upah. Apabila tingkat upah berada di bawah biaya hidup minimum maka hal ini akan menurunkan kekuatan penawaran tenaga kerja (labor force) dan kemudian tingkat upah akan naik menuju subsistence level kembali.

2. Teori Upah Besi (Iron Wage Theory)

Teori ini dikemukakan oleh Ferdinand Lassalle, yang menyatakan bahwa dengan adanya subsistence theory kepentingan pekerja tidak terlindungi. Oleh karena itu peran serikat pekerja dalam melindungi kepentingan pekerja menjadi hal yang sangat penting. Dengan adanya serikat pekerja tersebut, pekerja akan berusaha menuntut upah yang melebihi kebutuhan hidup dirinya dan keluarganya. Teori iron wage ini cenderung merugikan kepentingan pengusaha dan pekerja yang belum mendapatkan pekerjaan. Kenaikan upah akibat desakan serikat pekerja akan menurunkan permintaan tenaga kerja sehingga para penganggur akan semakin sulit mendapatkan pekerjaan dan para pengusaha akan disulitkan dengan kenaikan biaya produksi.

3. Wage Fund Theory

(14)

disediakan perusahaan untuk pembayaran upah. Peningkatan tabungan akan meningkatkan nilai investasi pada sektor-sektor ekonomi sehingga sektor-sektor ekonomi tersebut berupaya meningkatkan kapasitas produksinya, yaitu dengan meningkatkan jumlah tenaga kerja. Peningkatan modal (capital) ini berakibat meningkatnya upah pekerja karena permintaan tenaga kerja semakin meningkat.

Teori ini juga menjelaskan bahwa peningkatan jumlah penduduk akan mendorong tingkat upah cenderung turun, karena tidak sebanding antara jumlah tenaga kerja dengan penawaran tenaga kerja. Sehingga menurut teori ini tingkat upah dapat ditingkatkan hanya dengan mengurangi penawaran tenaga kerja dan dengan meningkatkan tabungan.

4. Marginal Productivity Theory

Teori ini menyatakan bahwa dalam rangka memaksimumkan keuntungan, tiap-tiap pengusaha menggunakan faktor-faktor produksi sedemikian rupa sehingga tiap faktor produksi yang dipergunakan menerima atau diberi imbalan sebesar nilai pertambahan hasil marginal dari faktor produksi tersebut. Pengusaha mempekerjakan sejumlah karyawan sedemikian rupa sehingga nilai pertambahan hasil marginal seorang pekerja sama dengan upah yang diterima pekerja tersebut. Teori ini menyatakan bahwa karyawan memperoleh upah sesuai dengan produktivitas marginalnya terhadap pengusaha.

(15)

maka penting untuk memahami mengapa pasar tenaga kerja tidak berada pada tingkat keseimbangan penawaran dan permintaan. Hal ini dapat dilihat berdasarkan Gambar 2.2, saat upah riil melebihi tingkat ekuilibrium dan penawaran pekerja melebihi permintaannya, maka perusahaan-perusahaan diharapkan akan menurunkan upah yang akan dibayar kepada para pekerja. Namun pada kenyataannya, hal ini tidak terjadi. Pengangguran struktural kemudian muncul sebagai implikasi karena perusahaan gagal menurunkan upah akibat kelebihan penawaran tenaga kerja (Mankiw 2007).

Gambar 2.2 Keseimbangan Pasar Tenaga Kerja

Sumber: Mankiw (2007).

(16)

Kekakuan upah ini terjadi sebagai akibat dari undang-undang upah minimum atau kekuatan monopoli serikat pekerja. Berbagai faktor tersebut berpotensi menjadikan upah tertahan di atas tingkat upah keseimbangan. Hal ini pada akhirnya mengakibatkan pengangguran. Undang-undang upah minimum menetapkan tingkat upah minimal yang harus dibayar perusahaan kepada para karyawannya. Kebijakan upah minimum ditengarai akan lebih banyak berdampak pada penganggur dengan usia muda (Mankiw 2007). Alasannya yaitu pekerja dengan usia lebih muda termasuk anggota angkatan kerja yang kurang terdidik dan kurang berpengalaman, maka mereka cenderung memilki produktivitas marginal yang rendah.

2.2 Tinjauan Penelitian Terdahulu

(17)

Kuntoro (2007) dalam penelitiannya mengenai “Hubungan Simultan Antara Tingkat Upah dan Penyerapan Tenaga Kerja serta Variabel yang Mempengaruhinya” menggunakan uji regresi data panel dengan model fixed effect. Penelitian dilakukan di 26 provinsi di Indonesia pada periode tahun 1997-2004. Kesimpulan yang dihasilkan yaitu pertumbuhan ekonomi dan tingkat perubahan harga signifikan mempengaruhi penyerapan tenaga kerja, adapun investasi fisik tidak signifikan mempengaruhi penyerapan tenaga kerja.

Pada tahun yang sama Nilasari (2007) melakukan penelitian mengenai

“Pengaruh Pengeluaran Pemerintah, Investasi, dan Upah Minimum Regional Terhadap Kesempatan Kerja di Jawa Barat studi kasus tahun 1986-2005”. Uji dilakukan dengan menggunakan regresi linier berganda model double-log. Kesimpulan yang dihasilkan dalam penelitian tersebut yaitu pengeluaran pemerintah dan upah minimum regional memberikan pengaruh positif terhadap kesempatan kerja, sedangkan investasi memberikan pengaruh negatif terhadap kesempatan kerja di Jawa Barat.

Sitanggang dan Nachrowi (2004) melakukan penelitian yang berjudul

(18)

Lembaga Penelitian Smeru (2004) dalam penelitian “Kebijakan Pasar Tenaga Kerja dan Hubungan Industrial untuk Memperluas Kesempatan Kerja”. Alat analisis yang digunakan yaitu analisis regresi linier berganda. Analisis tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa pertumbuhan ekonomi dan upah riil berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat pengangguran terbuka.

Smeru (2001) juga melakukan penelitian dengan judul “Dampak Kebijakan Upah Minimum terhadap Tingkat Upah dan Penyerapan Tenaga Kerja di Daerah Perkotaan Indonesia”. Uji dilakukan dengan menggunakan analisis regresi linier berganda. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa kenaikan upah minimum berdampak negatif terhadap penyerapan tenaga kerja. Temuan yang lebih penting lagi dari studi ini adalah bahwa dampak negatif dari upah minimum sangat dirasakan oleh kelompok yang mempunyai kerentanan tinggi terhadap perubahan dalam kondisi pasar tenaga kerja, seperti pekerja perempuan, pekerja muda usia, dan pekerja berpendidikan rendah.

Downes (1998) melakukan penelitian yang berjudul “An Economic

Analysis of Unemployment in Trinidad and Tobago”. Penelitian dilakukan pada

(19)

2.3 Kerangka Pikir

Berdasarkan identifikasi dan tujuan masalah yang telah dipaparkan sebelumnya, kemudian ditetapkan variabel-variabel yang dapat mempengaruhi penyerapan tenaga kerja yaitu pengeluaran pemerintah, PDRB, dan upah riil akan dilakukan analisis deskriptif dan inferensia. Gambaran tentang alur pemikiran penulis untuk memberikan jawaban sementara terhadap masalah yang diteliti, dapat digambarkan dalam diagram kerangka berpikir sebagai berikut:

Gambar 2.3. Kerangka Pikir

REKOMENDASI KEBIJAKAN PEMERINTAH PROV. SUMBAR

PDRB PENGELUARAN PEMERINTAH

PENYERAPAN TENAGA KERJA

ANALISIS REGRESI DATA PANEL

BERGANDA

UPAH RIIL (UPAH NOMINAL/IHK) RPJMN 2010-2014

MASALAH KETENAGAKERJAAN

(20)

2.4 Definisi Operasional

Adapun variabel-variabel yang digunakan antara lain: 1. Penyerapan tenaga kerja

Penyerapan tenaga kerja merupakan jumlah tenaga kerja yang dapat terserap dalam kegiatan ekonomi (produksi). Variabel ini didekati dengan jumlah penduduk yang bekerja.

Bekerja adalah kegiatan melakukan pekerjaan dengan maksud memperoleh penghasilan atau keuntungan paling sedikit selama satu jam dalam seminggu yang lalu. Bekerja selama satu jam tersebut harus dilakukan berturut-turut dan tidak terputus. Kegiatan bekerja ini mencakup orang yang sedang bekerja dan juga punya pekerjaan tetapi sementara tidak bekerja seperti: cuti, sakit, menunggu panen dan sejenisnya. 2. Pengeluaran Pemerintah

(21)

3. PDRB

PDRB atas dasar harga konstan (PDRB riil) menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada satu waktu tertentu sebagai tahun dasar.

4. Upah riil

Upah riil adalah upah yang diterima pekerja yang telah diperhitungkan dengan daya beli dari upah nominal yang diterima. Upah Riil dihitung dengan membagi nilai dari upah nominal dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) dikali 100. Upah nominal adalah upah yang diterima pekerja secara nominal. Sedangkan Indeks Harga Konsumen (IHK) merupakan salah satu indikator ekonomi untuk megukur tingkat perubahan harga barang-barang secara umum.

2.5 Hipotesis Statistik

Sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dikemukakan, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. Terdapat pengaruh yang positif antara pengeluaran pemerintah terhadap penyerapan tenaga kerja di Provinsi Sumatera Barat.

2. Terdapat pengaruh yang positif antara PDRB terhadap penyerapan tenaga kerja di Provinsi Sumatera Barat.

(22)

3.1 Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari data sekunder mulai dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2010. Data tersebut didapat dari beberapa sumber sebagai berikut:

1. Data Penyerapan Tenaga Kerja yang didekati dengan Penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja diperoleh dari publikasi Sumatera Barat Dalam Angka Tahun 2005 s/d 2010 dan Keadaan Angkatan Kerja di Sumatera Barat Tahun 2008-2010 yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Barat.

2. Data Pengeluaran Pemerintah diperoleh dari publikasi Statistik Keuangan Daerah Kabupaten/Kota yang diterbitkan oleh BPS RI.

3. Data PDRB diperoleh dari publikasi Produk Domestik Regional Bruto Sumatera Barat menurut Kabupaten/Kota yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Barat.

4. Data Upah Riil diperoleh dari hasil pembagian antara rata-rata pendapatan/gaji/upah nominal dengan indeks harga konsumen dikalikan 100, dimana:

(23)

 data Indeks Harga Konsumen (IHK) diperoleh dari publikasi Indeks Harga Konsumen Kota Padang Tahun 2005-2010 yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Barat.

3.2 Metode Analisis

Pengolahan atas data sekunder yang telah dikumpulkan dari berbagai sumber dilakukan menggunakan beberapa paket program statistik, seperti: Microsoft Excel 2010, dan EViews 6.0. Kegiatan pengolahan data menggunakan Microsoft Excel 2010 menyangkut pembuatan tabel dan analisis. Sementara itu pada pengolahan regresi data panel, penulis menggunakan paket program EViews 6.0.

3.2.1 Analisis Deskriptif

(24)

3.2.2 Analisis Regresi Data Panel

Analisis regresi data panel digunakan untuk melihat pengaruh pengeluaran pemerintah, PDRB dan Upah Riil terhadap Penyerapan Tenaga Kerja di Provinsi Sumatera Barat melalui persamaan strukturalnya.

Data panel diperoleh dengan menggabungkan data cross section dan time series. Penggunaan model regresi data panel memungkinkan peneliti untuk dapat menangkap karakteristik antar individu dan antar waktu yang bisa saja berbeda-beda.

Regresi dengan menggunakan panel data / data panel / pooled data, memberikan beberapa keunggulan dibandingkan dengan pendekatan standar cross section dan time series (Gujarati, 2004:637), diantaranya sebagai berikut:

1. Data panel mampu menyediakan data yang lebih banyak, sehingga dapat memberikan informasi yang lebih lengkap. Sehingga diperoleh degree of freedom (df) yang lebih besar sehingga estimasi yang dihasilkan lebih baik. 2. Dengan menggabungkan informasi dari data time series dan cross section

dapat mengatasi masalah yang timbul karena ada masalah penghilangan variabel (omitted variable).

3. Data panel mampu mengurangi kolinearitas antarvariabel.

4. Data panel lebih baik dalam mendeteksi dan mengukur efek yang secara sederhana tidak mampu dilakukan oleh data time series murni dan cross section murni.

(25)

6. Data panel dapat meminimalkan bias yang dihasilkan oleh agregat individu, karena data yang diobservasi lebih banyak.

Model regresi linear pada data panel dapat dituliskan sebagai berikut:

(3.1)

Dimana:

i = 1,……, N;

N adalah jumlah individu/cross-sectional units (kabupaten/kota)

t = 1,…….,T;

T adalah jumlah periode waktu (6 yaitu dari tahun 2005-2010)

Pada ada sebanyak k slope (tidak termasuk intersep) yang menunjukkan jumlah variabel bebas yang digunakan dalam model. Sedangkan merupakan efek individu yang dapat bernilai konstan sepanjang periode t atau bahkan berbeda-beda untuk setiap individu ke-i. Apabila diasumsikan sama untuk setiap unit, maka model itu dapat disebut juga sebagai model regresi klasik (classical regression model), dimana metode Ordinary Least Square (OLS) akan menghasilkan penduga yang konsisten dan efisien untuk dan . Apabila diasumsikan berbeda-beda antar cross-section unit, dan slope konstan, maka terdapat dua model regresi data panel yang mungkin yaitu model fixed effects atau model random effects. Apabila perbedaan intersep antar cross-sectional units tersebut merupakan variabel random

atau stochastic maka model random effects-lah yang sesuai.

(26)

(3.2) dimana

= time specific effects (residual yang terjadi karena pengaruh perbedaan waktu)

= individual specific effects (residual yang terjadi karena perbedaan karakteristik setiap individu)

= efek hanya pada observasi it.

Untuk menyederhanakan analisis biasanya sering diasumsikan = 0 (tidak ada pengaruh spesifik waktu/no time specific effects/time invariant). Terdapat tiga jenis estimasi standar untuk regresi data panel yaitu common effects Model (pooled regression), fixed effects model (Least Square Dummy Variables estimation, LSDV estimation) dan random effects model.

3.2.2.1 Model Common Effects (Pooled Regression)

Model common effects merupakan pendekatan data panel yang paling sederhana, yakni dengan hanya mengkombinasikan data cross-section dalam bentuk pool.

untuk i = 1,2,…..,19 t = 1,2,…,6 (3.3)

(27)

berbagai kurun waktu. Kelemahan model ini adalah ketidakseuaian model dengan keadaan sebenarnya. Kondisi tiap obyek dapat berbeda dan kondisi suatu obyek satu waktu dengan waktu yang lain dapat berbeda. Pada model ini asumsi regresi linear klasik dengan metode OLS berlaku sepenuhnya.

3.2.2.2 Model Fixed Effects

Model ini mengasumsikan bahwa perbedaan antar individu dapat diakomodasi dari perbedaan intersepnya. Namun intersep masing-masing cross-section bersifat fixed, tidak random. Untuk mengestimasi model fixed effects dengan intersep berbeda antar individu, maka digunakan teknik variabel dummy. Model estimasi ini sering disebut dengan teknik Least Square Dummy Variable (LSDV). Model persamaan panel fixed effects dengan asumsi tidak ada pengaruh periode waktu (no time specific effects) dapat dituliskan sebagai berikut:

untuk i = 1,2,…..,19 t = 1,2,…,6 (3.4) Model pada persamaan (3.3) juga dapat dituliskan dalam bentuk stack model berdasarkan individu cross-section yaitu:

[ ] [ ] [ ] [ ] [ ] [ ] (3.5)

Dimana:

= vektor berukuran T x 1

= matriks berukuran T x k , dengan k adalah jumlah variabel bebas

(28)

= vektor berukuran T x 1

= vektor berukuran T x 1

Metode fixed effects, digunakan apabila error term terdiri dari:

(3.6)

3.2.2.3 Model Random Effects

Estimasi data panel dengan fixed effects melalui teknik variabel dummy sering menunjukkan ketidakpastian model yang digunakan. Untuk mengatasi masalah ini kita bisa menggunakan metode random effects yang mengasumsikan bahwa individual effects ( ) bersifat random dan tidak berkorelasi dengan variabel bebasnya. Dengan asumsi tidak ada pengaruh waktu (no time specific effects) maka dalam model random effects terdapat dua komponen residual, yaitu residual yang tidak terukur oleh pengaruh individu dan waktu ( ) dan residual secara individu ( ).

Persamaan regresi untuk model random effects dengan asumsi no time effects dapat ditulis sebagai berikut:

untuk i = 1,2,…..,19 t = 1,2,…,6 (3.7) dimana

Ada beberapa asumsi yang harus dipenuhi dalam model random effects, yaitu:

E( = E( = 0 ; E( , = 0 ; E( , ) = E( , ) = 0 E( ) = 0 dimana t ≠ s dan i ≠ j

(29)

3.2.2.4 Pemilihan Model Estimasi Data Panel

1. Signifikansi Fixed Effects Model

Signifikansi model fixed effects dapat dilakukan dengan statistik uji F. Statistik uji F digunakan untuk mengetahui apakah teknik regresi data panel dengan fixed effects lebih baik dari model regresi data panel tanpa variabel dummy(common effects) dengan melihat residual sum of squares (RSS).

Hipotesis yang digunakan adalah: H0 :

nilai intersep sama untuk setiap individu crosssection H1 : sekurang-kurangnya ada 1 intercept yang berbeda

Adapun statistik uji F-nya dapat dituliskan sebagai berikut:

(3.8)

dimana:

N = jumlah individu

k = jumlah variabel bebas/ regressor

= residual sum of squares teknik tanpa variabel dummy

= residual sum of squares teknik fixed effects dengan variabel dummy.

(30)

berlaku, sehingga teknik regresi data panel dengan fixed effects lebih baik dari model regresi data panel tanpa variable dummy (common effects).

2. Signifikansi Random Efects Model

Untuk mengetahui apakah model random effects lebih baik dari model common effects, dapat digunakan uji Lagrange Multiplier (LM) yang dikembangkan oleh Bruesch-Pagan. Metode ini didasarkan pada nilai residual dari metode common effects. Hipotesis null (H0) yang digunakan adalah bahwa intersep bukan merupakan variabel random atau stochastic. Dengan kata lain varians dari residual bernilai nol.

Adapun nilai Breusch-Pagan LM statistik dapat dihitung berdasarkan formula sebagai berikut:

[

∑ |∑ |

]

(3.9)

[

]

(3.10)

(31)

3. Signifikansi Hausman

Untuk mengetahui model yang terbaik antara fixed effects dengan random effects digunakan signifikansi Hausman. Uji signifikansi Hausman menggunakan hipotesis null residual persamaan panel tidak berkorelasi dengan variabel bebasnya yang berarti model random effects lebih baik dibandingkan model fixed effects.

Adapun nilai statistik Hausman dapat dihitung berdasarkan formula sebagai berikut:

̂ ̂ ̂ (3.11)

dimana ̂ ⌊ ̂ ̂ ⌋ dan ̂ ⌊ ̂⌋ ⌊ ̂

Statistik uji Hausman mengikuti distribusi statistik chi-square dengan derajat bebas sebanyak jumlah variabel independen (k). Jika nilai statistik Hausman lebih besar daripada nilai kritis statistik chi-square, maka hipotesis null akan ditolak, yang berarti estimasi yang tepat untuk regresi data panel adalah model fixed effects dibandingkan dengan model random effects.

3.2.2.5 Pengujian Asumsi

1. Asumsi Normalitas

(32)

menggunakan uji-t menjadi tidak sah. Pengujian dilakukan dengan uji Jarque Bera atau dengan melihat plot dari sisaan.

Hipotesis dalam pengujian normalitas adalah: H0 : error term mengikuti distribusi normal

H1 : error term tidak mengikuti distribusi normal.

Keputusan diambil dengan membandingkan nilai probabilitas Jarque Bera dengan taraf nyata α = 0,05. Jika nilai probabilitas Jarque Bera lebih dariα = 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa error term terdistribusi dengan normal.

2. Asumsi Autokorelasi

Autokorelasi adalah korelasi yang terjadi antar observasi dalam satu peubah atau korelasi antar error masa yang lalu dengan error masa sekarang. Metode untuk mendeteksi adanya korelasi serial dilakukan dengan dengan membandingkan nilai Durbin Watson (DW) dari penghitungan dengan nilai DW tabel.

Hipotesis dalam pengujian autokorekasi adalah: H0 : tidak ada Otokorelasi positif atau negatif

(33)

Tolak H0 bila

 Nilai d hitung atau nilai Durbin Watson Model lebih besar daripada nilai Durbin Watson table batas bawah (dL) yang berarti terdapat masalah otokorelasi positif (dw < dL)

 Atau, nilai d hitung atau nilai Durbin Watson Model terletak antara nilai (4–dL < dw < 4) yang berarti terdapat masalah otokorelasi negatif

Tidak tolak H0 bila

 Nilai d hitung atau nilai Durbin Watson Model terletak antara nilai (dU < dw < 4-dU)

3. Asumsi Homoskedastisitas

Heteroskedastisitas berarti bahwa variasi residual tidak sama untuk semua pengamatan. Heteroskedastisitas bertentangan dengan salah satu asumsi dasar regresi homoskedastisitas yaitu variasi residual sama untuk semua pengamatan.

(34)

3.2.2.6 Pengujian Parameter Model

Pengujian parameter model bertujuan untuk mengetahui kelayakan model dan apakah koefisien yang diestimasi telah sesuai dengan teori atau hipotesis. Pengujian ini meliputi koefisien determinasi (R2), uji koefisien regresi parsial (uji t) dan uji koefisien regresi secara menyeluruh (F-test/uji F).

1. Uji-F

Uji-F digunakan untuk melakukan uji hipotesis koefisien (slope) regresi secara menyeluruh/bersamaan. Uji-F memperlihatkan ada tidaknya pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen secara bersama-sama. Hipotesis dalam uji-F adalah :

Ho : β1 = β2 =….. = 0 H1 : β1 ≠ β2 ≠ … ≠ 0

Kriteria pengujiannya adalah jika nilai nilai > atau probabilitas F-statistic < taraf nyata, maka keputusannya adalah tolak H0. Dengan menolak H0 berarti minimal ada satu peubah bebas yang berpengaruh nyata terhadap tak bebas.

2. Uji-t

Setelah melakukan uji koefisien regresi secara keseluruhan, maka langkah selanjutnya adalah menguji koefisien regresi secara parsial menggunakan uji-t. Hipotesis pada uji-t adalah :

(35)

Keputusan dalam pengujian ini dilakukan dengan membandingkan nilai dengan atau dengan melihat nilai probabilitas dari . Jika nilai > atau jika nilai probabilitas t < α = 0,05 maka tolak H0, sehingga kesimpulannya adalah peubah bebas secara parsial signifikan memengaruhi peubah tak bebas.

3. Koefisien Determinasi (R2)

Koefisien determinasi (Goodness of Fit) merupakan suatu ukuran yang penting dalam regresi, karena dapat menginformasikan baik atau tidaknya model regresi yang terestimasi. Nilai R2 mencerminkan seberapa besar variasi dari tak bebas dapat diterangkan oleh peubah bebas X atau seberapa besar keragaman peubah tak bebas yang mampu dijelaskan oleh model. Jika R2 = 0, maka variasi dari Y tidak dapat diterangkan oleh X sama sekali dan jika R2 = 1 berarti variasi dari Y secara keseluruhan dapat diterangkan oleh X.

3.2.2.7 Model Penelitian

Secara matematis pengaruh pengeluaran pemerintah, PDRB, upah riil dapat digambarkan dalam fungsi sebagai berikut :

(3.12) Keterangan:

Emp : Employment/ penyerapan tenaga kerja (jiwa)

G : Goverment Expenditure/ Pengeluaran Pemerintah (juta Rp.) PDRB : Produk Domestik Regional Bruto (milyar Rp.)

(36)

i : urutan kabupaten/kota t : series tahun 2005-2010

α : intersep

β1 - β3 : parameter pengeluaran pemerintah, PDRB, dan upah riil

(37)

4.1 Keadaan Geografi

Provinsi Sumatera Barat terletak di sebelah barat pulau Sumatera dan sekaligus berbatasan langsung dengan Samudera Indonesia, Provinsi Riau, Provinsi Jambi dan Provinsi Sumatera Utara. Secara geografis, Sumatera Barat terletak antara 0° 54’ LU dan 3° 30’ LS serta 98° 36’ dan 101° 53’ BT, tercatat memiliki luas daerah sekitar 42,297 ribu Km2. Luas tersebut setara dengan 2,20 persen dari luas Republik Indonesia.

Tabel 4.1 Luas Daerah dan Persentase Kabupaten/Kota di Sumatera Barat

Kabupaten / Kota Luas (km2) Persentase

SUMATERA BARAT 42.297,30 100,00

(38)

Sumatera Barat mempunyai 19 Kabupaten/Kota dengan Kabupaten Kepulauan Mentawai memiliki wilayah terluas, yaitu 6,01 ribu Km2 atau sekitar 14,21 persen dari luas Provinsi Sumatera Barat. Sedangkan Kota Padang Panjang, memiliki luas daerah terkecil, yakni 23,0 Km2 (0,05%).

4.2 Penduduk

Penduduk mempunyai peran besar dalam menjalankan roda kehidupan masyarakat jika dimbangi dengan sumber daya alam yang memadai. Jumlah penduduk suatu daerah sangat dipengaruhi oleh faktor kelahiran, kematian dan migrasi atau perpindahan penduduk.

Tabel 4.2 Jumlah dan Persentase Penduduk Sumatera Barat Dirinci Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2010 (jiwa)

Kabupaten/Kota Laki-laki Perempuan Jumlah Persentase

(1) (2) (3) (4) (5)

Provinsi Sumatera Barat 2.404.377 2.442.532 4.846.909 100,00

(39)

Berdasarkan hasil Sensus Penduduk Tahun 2010, jumlah penduduk Provinsi Sumatera Barat sebanyak 4.846.909 jiwa yang mencakup mereka yang bertempat tinggal di daerah perkotaan sebanyak 1.877.822 jiwa (38,74 persen) dan di daerah perdesaan sebanyak 2.969.087 jiwa (61,26 persen). Persentase distribusi penduduk menurut kabupaten/kota bervariasi dari yang terendah sebesar 0,97 persen di Kota Padang Panjang hingga yang tertinggi sebesar 17,20 persen di Kota Padang.

Gambar 4.1 Piramida Penduduk Provinsi Sumatera Barat Dirinci Menurut Kelompok Umur Tahun 2010 (jiwa)

Sumber: Data Sensus Penduduk 2010 – BPS Republik Indonesia.

(40)

Kepulauan Mentawai sebesar 108. Seks Rasio pada kelompok umur 0-4 sebesar 106, kelompok umur 5-9 sebesar 107, kelompok umur lima tahunan dari 10 sampai 64 berkisar antara 92 sampai dengan 106, dan kelompok umur 65-69 sebesar 78.

Median umur penduduk Provinsi Sumatera Barat tahun 2010 adalah 25,74 tahun. Angka ini menunjukkan bahwa penduduk Provinsi Sumatera Barat termasuk kategori menengah. Penduduk suatu wilayah dikategorikan penduduk muda bila median umur < 20, penduduk menengah jika median umur 20-30, dan penduduk tua jika median umur > 30 tahun (BPS, 2010).

(41)

5.1 Analis Deskriptif

5.1.1 Penyerapan Tenaga Kerja

Tenaga kerja sebagai salah satu dari faktor produksi merupakan unsur yang penting dan paling berpengaruh dalam mengelola dan mengendalikan sistem ekonomi, seperti produksi, distribusi, konsumsi maupun investasi. Adapun kondisi tenaga kerja di Sumatera Barat adalah sebagai berikut:

(42)

Tabel 5.1 Keadaan Tenaga Kerja di Sumatera Barat Tahun 2005-2010

Jenis Kegiatan/Type of

Activity 2005 2006 2007 2008 2009 2010

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas 3.139.890 3.161.612 3.225.756 3.325.258 3.383.457 3.306.264

Population 15 Years of Age and Over

Angkatan Kerja/Economically Active 1.963.332 2.501.800 2.106.711 2.127.512 2.172.002 2.194.040

Bekerja/Working 1.737.472 1.808.275 1.889.406 1.956.378 1.998.922 2.041.454

Pengangguran Terbuka /Unemploy. 225.860 243.525 217.305 171.134 173.080 152.586

TPAK/Tk. Partisipasi Angkatan Kerja 62,53 64,90 65,31 63,98 64,19 66,36

Labor Force Participation Rate (%)

Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) merupakan hasil bagi antara jumlah angkatan kerja dengan jumlah tenaga kerja. TPAK merupakan ukuran yang menggambarkan jumlah angkatan kerja untuk setiap 100 orang tenaga kerja. TPAK di Sumatera Barat berkisar antara 62-66 persen. Terjadinya fluktuasi TPAK ini disebabkan karena kondisi sosial ekonomi yang belum stabil, yang dapat mempengaruhi faktor-faktor produksi. Karena naik turunnya faktor produksi dapat mempengaruhi tinggi atau rendahnya permintaan dan penawaran tenaga kerja.

(43)

Sumatera Barat pernah mencapai angka 11,5 persen di tahun 2005, yang kemudian menurun di tahun-tahun berikutnya. Pada tahun 2010 TPT Sumatera Barat mencapai 6,95 persen. Walaupun TPT Sumatera Barat telah mengalami penurunan dari tahun ke tahun namun masih jauh dari keadaan/tingkat full employment (4 persen).

Gambar 5.1 Pertumbuhan Penyerapan Tenaga Kerja di Sumatera Barat Tahun 2005-2010

Sumber: BPS, diolah.

(44)

prasarana serta infrastruktur seperti jalan, bangunan, dan irigasi sehingga berdampak langsung terhadap lapangan pekerjaan. Gempa bumi Tahun 2007 hanya tercatat di 5 Kabupaten/Kota yaitu di Kabupaten Solok, Kota Solok, Kabupaten Tanah Datar, Kota Padang Panjang, dan Kota Bukitinggi, sehingga tidak sampai melumpuhkan perekonomian di Sumatera Barat. Demikian halnya pada tanggal 30 September 2009 juga terjadi gempa bumi besar di sebagian besar wilayah Sumatera Barat terutama di pusat pemerintahan dan perekonomian yaitu Kota Padang. Gempa bumi pada periode ini sempat melumpuhkan perekonomian di Sumatera Barat yang berdampak pada penurunan penyerapan tenaga kerja.

Gambar 5.2 Persentase Penduduk yang Berumur 15 tahun ke Atas yang Bekerja menurut Lapangan Pekerjaan UtamaTahun 2010

Sumber: BPS, diolah.

Berdasarkan Gambar 5.2 terlihat bahwa pada Tahun 2010 persentase penduduk berumur 15 tahun ke atas yang bekerja menurut lapangan pekerjaan utama dominan pada sektor pertanian dengan persentase sebesar 44 persen. Lapangan pekerjaan utama kedua adalah pada sektor perdagangan dengan

(45)

persentase sebesar 20 persen, sedangkan sektor industri dengan persentase sebesar 7 persen merupakan lapangan pekerjaan yang paling rendah menyerap tenaga kerja.

Gambar 5.3 Penyerapan Tenaga Kerja Berdasarkan Sektor/Lapangan Usaha di Sumatera Barat Tahun 2005-2010 (%)

Sumber: BPS, diolah.

Sektor/lapangan Usaha yang paling banyak menyerap tenaga kerja di Sumatera Barat periode 2005-2010 adalah sektor pertanian, kehutanan, perburuan dan perikanan. Pada Tahun 2010, sektor ini dapat menyerap tenaga kerja sebesar 44,10 persen. Sedangkan urutan kedua adalah sektor perdagangan besar, eceran, rumah makan, dan hotel, disusul sektor jasa, lainnya, dan industri pengolahan. Sektor perdagangan besar, eceran, rumah makan, dan hotel Tahun 2010 dapat menyerap tenaga kerja sebesar 19,90 persen.

0,00

Perrdagangan Besar, Eceran, Rumah Makan dan Hotel

Jasa Kemasyarakatan, Sosial dan Perorangan

(46)

5.1.2 Pengeluaran Pemerintah

Pengeluaran pemerintah terdiri dari pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Pengeluaran rutin merupakan pengeluaran pemerintah untuk belanja pegawai, penyusutan maupun belanja barang (termasuk biaya perjalanan, pemeliharaan dan pengeluaran rutin lainnya). Pengeluaran pembangunan ditujukan untuk pembiayaan pembangunan sebagai kegiatan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan untuk menambah akumulasi modal masyarakat dalam bentuk sarana fisik maupun prasarana dasar. Dengan demikian pengeluaran pemerintah ini dapat mempengaruhi kesempatan kerja. Sebelum Tahun 2000 pengeluaran pemerintah menggunakan sistem tahun anggaran. Mulai tahun 2000 berdasarkan sistem tahun fiskal. Semenjak Tahun 2005 pengeluran rutin dan pengeluaran pembangunan digabung menjadi satu.

Tabel 5.2 Realisasi Belanja Daerah Pemerintah Provinsi Sumatera Barat Tahun 2005-2010 (juta rupiah)

Tahun Realisasi Belanja Daerah % Peningkatan

(1) (2) (3)

(47)

1,923 trilyun rupiah dengan persentase peningkatan sebesar 4,49 persen jika dibandingkan tahun sebelumnya. Peningkatan belanja pemerintah daerah diharapkan mampu lebih banyak menyerap tenaga kerja yang pada gilirannya akan mengurangi tingkat pengangguran di Sumatera Barat.

Gambar 5.4 Pertumbuhan Pengeluaran Pemerintah dan Penyerapan Tenaga Kerja di Sumatera Barat Tahun 2005-2010 (%)

Sumber: BPS, diolah.

(48)

5.1.3 PDRB

PDRB sebagai ukuran produktivitas mencerminkan seluruh nilai barang dan jasa yang dihasilkan suatu wilayah dalam satu tahun. Selama kurun waktu 2005-2010, PDRB yang dihasilkan Provinsi Sumatera Barat mempunyai tren meningkat karena adanya peningkatan produksi maupun harga. Pada tahun 2010 PDRB atas dasar harga berlaku Provinsi Sumatera Barat mencapai 87,22 triliun rupiah, meningkat sebanyak 10,47 triliun rupiah dibandingkan tahun 2009. Bila digolongkan menurut sektor lapangan usaha, maka sektor pertanian memberikan kontribusi terbesar terhadap pembentukan PDRB Provinsi Sumatera Barat. Dan pada tahun 2010 sektor pertanian memberikan kontribusi sebesar 20,79 triliun rupiah.

Tabel 5.3 PDRB Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Sumatera Barat Tahun 2005-2010 (milyar rupiah)

SEKTOR 2005 2006 2007 2008 2009 2010

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

Pertanian 11.433,00 13.396,52 14.754,87 17.379,93 18.381,92 20.792,32

Pertambangan &

Penggalian 1.514,21 1.829,48 2.059,94 2.356,17 2.556,10 2.763,86

Industri Pengolahan 5.084,34 6.055,97 7.179,24 8.597,36 9.279,51 10.197,21

Listrik, Gas & Air Bersih 666,71 754,79 822,19 863,21 898,66 924,62

Bangunan 2.472,64 2.972,40 3.290,15 3.941,92 4.317,98 5.498,73

Perdagangan, Hotel, &

Restoran 7.799,76 8.992,23 10.368,00 12.532,37 13.694,25 15.474,82

Pengangkutan &

Komunikasi 6.167,34 8.022,49 9.009,32 10.685,33 11.670,81 13.439,31

Keuangan, Persewaan

& Jasa Perusahaan 2.249,28 2.632,09 2.963,37 3.463,31 3.784,47 4.145,20

Jasa-jasa 7.287,29 8.373,62 9.351,98 11.134,91 12.169,26 13.985,18

PDRB ADHB 44.674,57 53.029,59 59.799,05 70.954,52 76.752,94 87.221,25

(49)

Berdasarkan Tabel 5.4 sektor pertanian sebagai basis utama perekonomian Sumatera Barat menyumbangkan kontribusi terbesar dengan rata-rata 24,64 persen selama periode 2005-2010. Bila dilihat secara rentang waktu dari Tahun 2005 ke Tahun 2010 terlihat bahwa struktur perekonomian di Sumatera Barat belum terjadi pergeseran struktur ekonomi yang signifikan. Sampai dengan Tahun 2010 struktur perekonomian Sumatera Barat masih didominasi oleh tiga sektor utama yakni sektor pertanian, sektor perdagangan, hotel dan restoran, serta sektor jasa-jasa. Peranan sektor-sektor tersebut secara total melebihi 50 persen dari total PRDB Sumatera Barat.

Tabel 5.4 Distribusi Persentase PDRB Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Sumatera Barat Tahun 2005-2010

SEKTOR 2005 2006 2007 2008 2009 2010

(50)

Gambar 5.5 Pertumbuhan Ekonomi dan Penyerapan Tenaga Kerja di Sumatera Barat Tahun 2005-2010 (%)

Sumber: BPS, diolah.

(51)

5.1.4 Upah Riil

Tingkat upah sangat erat hubungannya dengan tingkat kesejahteraan pekerja. Upah merupakan balas jasa yang diterima pekerja atas keikutsertaannya dalam suatu kegiatan ekonomi. Upah Riiladalah upah yang diterima pekerja yang telah diperhitungkan dengan daya beli dari upah nominal yang diterima.

Tabel 5.5 Rata-rata Upah Nominal dan Upah Riil Pekerja di Sumatera Barat Tahun 2005-2010 (rupiah)

Tahun Upah Nominal Upah Riil

(1) (2) (3)

2005 845.837 1.037.914

2006 997.956 1.111.905

2007 1.155.640 1.155.640

2008 1.213.302 1.097.614

2009 1.486.012 1.274.016

2010 1.529.383 1.197.731

Sumber: BPS, diolah.

(52)

sektor-sektor industri yang padat karya untuk lebih meningkatkan produksi sehingga akan lebih banyak menyerap tenaga kerja.

Gambar 5.6 Pertumbuhan Upah Riil dan Penyerapan Tenaga Kerja di Sumatera Barat Tahun 2005-2010 (%)

Sumber: BPS, diolah.

Pertumbuhan upah riil dan pertumbuhan penyerapan tenaga kerja pada rentang Tahun 2005 sampai dengan 2010 memperlihatkan pola/trend yang berlawanan arah. Hal ini berarti bahwa upah riil berkorelasi negatif dengan penyerapan tenaga kerja. Ketika upah riil naik maka akan menurunkan penyerapan tenaga kerja, demikian sebaliknya apabila upah riil turun maka penyerapan tenaga kerja akan meningkat. Walaupun upah nominal terus mengalami peningkatan (Tabel 5.5) akan tetapi upah riil mengalami fluktuasi. Fluktuasi upah riil dikarenakan adanya pengaruh inflasi.

(53)

5.2 Analis Regresi Data Panel

Analisis regresi data panel yang dilakukan adalah untuk mengidentifikasi besarnya pengaruh faktor-faktor yang memengaruhi penyerapan tenaga kerja menurut penyusunnya, baik dari pengeluaran pemerintah (G), Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), dan upah riil (WP).

Sebelum menganalisa lebih lanjut besarnya pengaruh faktor-faktor yang memengaruhi penyerapan tenaga kerja, terlebih dahulu dilakukan pengujian terhadap asumsi-asumsi model regresi. Setelah semua asumsi model regresi terpenuhi kemudian dilanjutkan pengujian terhadap model penelitian untuk memperoleh model estimasi terbaik. Pengolahan data untuk melakukan uji asumsi dan mendapatkan model dari fungsi tersebut dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Eviews versi 6.0.

5.2.1 Pengujian Asumsi

5.2.1.1 Asumsi Normalitas

(54)

Gambar 5.7 Hasil Uji Asumsi Normalitas

Sumber : Hasil Pengolahan dengan EViews 6.0.

Untuk mendapatkan hasil yang lebih pasti, asumsi kenormalan dari sisaan diuji dengan tes Bera. Hipotesis yang diajukan dalam pengujian Jarque-Bera adalah data sisaan berdistribusi normal. Sedangkan hipotesis alternatifnya adalah sisaan tidak berdistribusi normal. Nilai Jarque-Bera yang diperoleh dari hasil pengolahan adalah sebesar 0,918930 dengan nilai probabilitas sebesar 0,631621 atau lebih besar dari α = 0,05. Berdasarkan nilai tersebut maka keputusan yang diambil adalah tidak menolak hipotesis nol. Artinya data sisaan mengikuti distribusi normal, sehingga asumsi kenormalan dari sisaan dalam model sudah terpenuhi.

5.2.1.2 Asumsi Autokorelasi

(55)

dengan error masa sekarang. Metode pemeriksaan atau deteksi autokorelasi dapat dilakukan uji Durbin-Watson. Hipotesis yang diajukan dalam kedua uji ini adalah model tidak mengandung autokorelasi baik positif maupun negatif. Sedangkan hipotesis alternatifnya adalah model mengandung autokorelasi.

Tabel 5.6 Hasil Uji Asumsi Autokorelasi

Cross-section fixed (dummy variables)

Weighted Statistics

R-squared 0.957986 Mean dependent var 13.51991 Adjusted R-squared 0.948395 S.D. dependent var 5.438854 S.E. of regression 0.229339 Sum squared resid 4.838863 F-statistic 99.89168 Durbin-Watson stat 1.830430 Prob(F-statistic) 0.000000

Sumber : Hasil Pengolahan dengan EViews 6.0.

Gambar 5.8 Kriteria Uji Asumsi Autokorelasi

(56)

keputusan yang diambil adalah tidak menolak H0 yang berarti tidak ada gejala autokorelasi baik positif maupun negatif di dalam model.

5.2.1.3 Asumsi Homoskedastisitas

Asumsi ketiga yang diuji dari model adalah homoskedastisitas atau varian konstan. Untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas dalam model dilakukan menggunakan metode General Least Square (Cross section Weights) yaitu dengan membandingkan sum square Resid pada Weighted Statistics dengan sum square Resid unweighted Statistics. Jika sum square Resid pada Weighted Statistics lebih kecil dari sum square Resid unweighted Statistics, maka terjadi heteroskedastisitas.

Dari hasil pengujian diperoleh nilai sum squared resid pada Weighted Statistics sebesar 4,838863 dimana nilainya lebih kecil dari sum square Resid unweighted Statistics yang sebesar 5,159940. Hal ini mengindikasikan adanya masalah heteroskedastisitas. Untuk mengatasi masalah heteroskedastisitas, model diestimasi dengan menggunakan white-heteroscedasticity.

Tabel 5.7 Hasil Uji Asumsi Homoskedastisitas

Cross-section fixed (dummy variables)

Weighted Statistics

R-squared 0.957986 Mean dependent var 13.51991 Adjusted R-squared 0.948395 S.D. dependent var 5.438854 S.E. of regression 0.229339 Sum squared resid 4.838863 F-statistic 99.89168 Durbin-Watson stat 1.830430 Prob(F-statistic) 0.000000

Unweighted Statistics

R-squared 0.934882 Mean dependent var 11.21061 Sum squared resid 5.159940 Durbin-Watson stat 1.606376

(57)

5.2.2 Pengujian Parameter Model

5.2.2.1 Uji F

Uji-F digunakan untuk melakukan uji hipotesis koefisien (slope) regresi secara menyeluruh/bersamaan. Uji-F memperlihatkan ada tidaknya pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen secara bersama-sama. Hipotesis nol (H0) yang diajukan dalam uji ini adalah nilai koefisien β1=β2=β3=0 yang berarti tidak ada pengaruh variabel bebas terhadap variabel tidak bebas. Hipotesis

alternatifnya adalah ada satu koefisien β≠0 atau minimal ada satu variabel bebas

yang memengaruhi variabel tidak bebas.

Kriteria pengujiannya adalah jika nilai nilai > atau probabilitas F-statistic < taraf nyata, maka keputusannya adalah tolak H0. Dengan menolak H0 berarti minimal ada satu peubah bebas yang berpengaruh nyata terhadap tak bebas.

Tabel 5.8 Hasil Uji F

Cross-section fixed (dummy variables)

Weighted Statistics

R-squared 0.957986 Mean dependent var 13.51991 Adjusted R-squared 0.948395 S.D. dependent var 5.438854 S.E. of regression 0.229339 Sum squared resid 4.838863

F-statistic 99.89168 Durbin-Watson stat 1.830430

Prob(F-statistic) 0.000000

Sumber : Hasil Pengolahan dengan EViews 6.0.

(58)

maka keputusan yang diambil adalah menolak hipotesis nol atau menerima hipotesis alternatif. Hal ini berarti ketiga variabel independent dalam model secara bersama-sama memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja. Pengujian ini masih belum cukup untuk menyimpulkan bahwa model ini adalah yang terbaik, sehingga masih perlu dilakukan pengujian secara parsial.

5.2.2.2 Uji-t

Setelah melakukan uji koefisien regresi secara keseluruhan, maka langkah selanjutnya adalah menguji koefisien regresi secara parsial menggunakan uji-t. Hipotesis yang diajukan dalam pengujian ini adalah masing-masing koefisien

persamaan bernilai nol atau βi=0. Artinya adalah tidak ada pengaruh dari variabel

independent Xi terhadap variabel dependent Y. Sedangkan hipotesis alternatifnya

adalah βi≠0 yang artinya ada pengaruh dari setiap variabel independent Xi terhadap variabel dependent Y.

Keputusan dalam pengujian ini dilakukan dengan membandingkan nilai dengan atau dengan melihat nilai probabilitas dari . Jika nilai > atau jika nilai probabilitas t < α = 0,05 maka tolak H0, sehingga kesimpulannya adalah peubah bebas secara parsial signifikan memengaruhi peubah tak bebas.

(59)

β2, β3 dalam persamaan memiliki nilai mutlak yang lebih besar. Keputusan yang diambil adalah menolak hipotesis nol pada semua pengujian koefisien. Hal ini berarti semua variabel bebas secara parsial memiliki pengaruh signifikan yang kuat terhadap variabel penyerapan tenaga kerja di Sumatera Barat.

Tabel 5.9 Hasil Uji-t

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 6.968477 1.311031 5.315265 0.0000 LOG(G) 0.235614 0.077469 3.041396 0.0031 LOG(PDRB) 0.761154 0.026763 28.44034 0.0000 LOG(WP) -0.675332 0.102880 -6.564269 0.0000

Sumber : Hasil Pengolahan dengan EViews 6.0.

5.2.2.3 Uji Koefisien Determinasi (R2)

(60)

5.2.3 Pemilihan Model Estimasi Data Panel

Pemilihan jenis model estimasi data panel terbaik yang digunakan dalam analisis didasarkan pada dua uji, yakni uji Chow dan uji Haussman. Uji Chow digunakan untuk memutuskan apakah menggunakan common effect atau fixed effect. Sedangkan keputusan untuk menggunakan fixed effect atau random effect ditentukan oleh uji Haussman.

Tabel 5.10 Hasil Uji Chow

Redundant Fixed Effects Tests Equation: Untitled

Test cross-section fixed effects

Effects Test Statistic d.f. Prob.

Cross-section F 3.220657 (18,92) 0.0001

Cross-section Chi-square 55.707116 18 0.0000

Sumber : Hasil Pengolahan dengan EViews 6.0.

Keputusan dalam pengujian ini menolak H0 jika atau

jika nilai Prob < α. Jika H0 ditolak maka Model Fixed Effect lebih baik daripada Common Effect. Dari tabel 5.10 diperoleh nilai sebesar 3,220657 yang lebih besar dari nilai sebesar 2,69. Demikian halnya dengan probabilitas 0,0001 yang lebih kecil dari α = 0,05. Karena menolak H0 maka Model Fixed Effect lebih baik daripada Common Effect.

(61)

Tabel 5.11 Hasil Uji Haussman

Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: Untitled

Test cross-section random effects

Test Summary Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.

Cross-section random 17.323482 3 0.0006

Sumber : Hasil Pengolahan dengan EViews 6.

Hasil penghitungan uji Hausman diperoleh nilai sebesar 17,323482. Nilai ini lebih besar dari nilai yang hanya 7,814. Jika dilihat nilai probabilitas sebesar 0.0006 lebih rendah dari α = 0,05. Dengan penolakan H0 maka model estimasi data panel yang digunakan adalah fixed effect.

5.2.4 Analisis Model Regresi Penyerapan Tenaga Kerja Data Panel

Model persamaan regresi penyerapan tenaga kerja data panel terbaik yang didapatkan dari hasil pengolahan menggunakan EViews 6.0 dengan model fixed effect adalah sebagai berikut:

Keterangan:

Emp : Employment/ penyerapan tenaga kerja

G : Goverment Expenditure/ Pengeluaran Pemerintah PDRB : Produk Domestik Regional Bruto

WP : Wage per Price/ Upah Riil i : urutan kabupaten/kota t : series tahun 2005-2010

(62)

Berdasarkan persamaan fungsi penyerapan tenaga kerja dapat dianalisis faktor-faktor yang memengaruhi penyerapan tenaga kerja di Provinsi Sumatera Barat selama rentang tahun 2005 s/d 2010 beserta nilai elastisitasnya. Faktor-faktor yang secara nyata memengaruhi besarnya penyerapan tenaga kerja ada tiga, yaitu pengeluaran pemerintah, besarnya Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) serta upah riil.

5.2.4.1 PDRB

Faktor yang paling dominan dalam memengaruhi penyerapan tenaga kerja di Provinsi Sumatera Barat adalah PDRB yang dalam analisis ini diartikan sebagai pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi memiliki pengaruh positif terhadap penyerapan tenaga kerja, sehingga semakin meningkat pertumbuhan ekonomi akan semakin meningkat pula jumlah tenaga kerja yang terserap. Nilai koefisien pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan dalam persamaan fungsi penyerapan tenaga kerja adalah sebesar 0,7612. Nilai ini mencerminkan besarnya elastisitas pertumbuhan ekonomi terhadap penyerapan tenaga kerja. Artinya, peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar satu persen akan meningkatkan jumlah tenaga kerja yang terserap sebesar 0,7612 persen dengan asumsi variabel yang lain konstan.

(63)

Tambunan (2011) menyatakan bahwa selain dari sisi permintaan (konsumsi), dari sisi penawaran, pertumbuhan penduduk juga membutuhkan pertumbuhan kesempatan kerja (sumber pendapatan). Pertumbuhan ekonomi tanpa disertai dengan penambahan kesempatan kerja akan mengakibatkan ketimpangan dalam pembagian dalam pembagian dari penambahan pendapatan tersebut (ceteris paribus), yang selanjutnya akan menciptakan suatu kondisi pertumbuhan ekonomi dengan peningkatan kemiskinan. Pemenuhan kebutuhan konsumsi dan kesempatan kerja itu sendiri hanya bisa dicapai dengan peningkatan output agregat (barang dan jasa) atau PDRB yang terus-menerus. Dalam pemahaman ekonomi makro, pertumbuhan ekonomi adalah penambahan PDRB.

5.2.4.2 Upah Riil

Upah riil memiliki pengaruh negatif yang signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja. Hal ini dapat dilihat dari nilai koefisien upah riil dalam model yang sebesar -0,6753. Nilai koefisien tersebut juga menunjukkan besarnya elastisitas upah riil terhadap penyerapan tenaga kerja. Artinya setiap peningkatan upah riil sebesar satu persen justru akan menurunkan penyerapan tenaga kerja sebesar -0,6753 persen, dengan asumsi variabel lain dianggap tetap atau konstan.

(64)

kebijakan berkaitan penetapan upah minimum agar tidak terjadi dampak negatif yang tidak diinginkan.

Kenaikan upah minimum yang cepat di Indonesia telah mendorong perusahaan-perusahaan untuk menggunakan lebih banyak mesin dan tenaga kerja terampil dalam proses produksi. Hal ini menyebabkan berkurangnya kesempatan kerja bagi tenaga kerja tidak terampil, khususnya pekerja perempuan, usia muda, dan kurang terdidik.

Penelitian senada dilakukan oleh Smeru (2001 dan 2004) yang menyimpulkan bahwa kenaikan upah minimum riil berdampak negatif terhadap penyerapan tenaga kerja, dengan perkecualian bagi pekerja kerah putih. Dengan adanya kenaikan tingkat upah minimum maka perusahaan akan mengurangi sebagian tenaga kerja untuk digantikan dengan pekerja kerah putih. Hal ini juga menunjukkan bahwa setelah adanya kenaikan upah minimum perusahaan mengubah proses produksi yang padat tenaga kerja dengan proses produksi yang lebih padat modal dan lebih menuntut keterampilan. Karena adanya saling keterkaitan antara modal dan keterampilan, maka proporsi pekerja kerah putih yang lebih tinggi menandai adanya pemanfaatan teknologi yang lebih padat modal.

(65)

meningkatkan outputnya karena turunnya biaya produksi termasuk biaya faktor produksi tenaga kerja. Hal ini akan berdampak meningkatnya aggregat supply yang secara perlahan akan mereduksi pengangguran sehingga perekonomian dapat mendekati kondisi full employment (tingkat pengangguran kurang dari 4 persen). Namun pada saat kesejahteraan pekerja masih rendah, kebijakan seperti ini juga kurang efektif. Hal yang lebih realistis dilakukan adalah dengan menetapkan upah minimum sewajarnya yang diikuti dengan peningkatan skill pekerja agar produktivitasnya meningkat sebanding dengan kenaikan upah minimum.

5.2.4.3 Pengeluaran Pemerintah

Pengeluaran pemerintah juga berpengaruh secara signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja. Dengan asumsi variabel lain adalah tetap, kenaikan satu persen pengeluaran pemerintah dapat menaikkan penyerapan tenaga kerja di Sumatera Barat sebesar 0,2356 persen. Hal ini sesuai dengan teori bahwa kenaikan pengeluaran pemerintah dapat menaikkan penyerapan tenaga kerja.

(66)

atau fasilitas lain umumnya bersifat padat karya sehingga dapat menaikkan penyerapan tenaga kerja.

(67)

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil-hasil empiris dan pembahasan, sesuai dengan tujuan penelitian dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

1. Peningkatan jumlah penduduk di Sumatera Barat Tahun 2005-2010 meningkatkan jumlah penduduk usia kerja. Jumlah angkatan kerja yang bekerja juga mengalami peningkatan. Angkatan kerja yang bertambah tanpa adanya peningkatan penyerapan tenaga kerja dapat mengakibatkan pengangguran. Sektor/lapangan Usaha yang paling banyak menyerap tenaga kerja adalah sektor pertanian, kehutanan, perburuan dan perikanan serta sektor perdagangan besar, eceran, rumah makan, dan hotel.

2. Faktor-faktor yang secara nyata atau signifikan memengaruhi penyerapan tenaga kerja di Provinsi Sumatera Barat Tahun 2005-2010 adalah pengeluaran pemerintah dan besarnya Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang berpengaruh positif. Sedangkan upah riil berpengaruh negatif terhadap penyerapan tenaga kerja.

(68)

4. Sementara upah riil memiliki elastisitas sebesar -0,6753. Artinya penurunan upah riil sebesar satu persen akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja sebesar 0,6753 persen dengan asumsi variabel lain dianggap tetap atau konstan.

5. Sedangkan pengeluaran pemerintah menghasilkan elastisitas terendah yaitu sebesar 0,2356 persen. Artinya peningkatan pengeluaran pemerintah sebesar satu persen akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja sebesar 0,2356 persen dengan asumsi variabel lain dianggap tetap atau konstan.

6.2Saran

Berdasarkan kesimpulan dari hasil penelitian, maka beberapa saran dan rekomendasi yang diberikan adalah sebagai berikut:

1. Peningkatan output riil (PDRB ADHK) ataupun pertumbuhan ekonomi perlu ditingkatkan karena mampu menyerap tenaga kerja yang besar. Pemerintah Provinsi Sumatera Barat hendaknya merangsang sektor pertanian karena sektor ini banyak menyerap tenaga kerja. Salah satu cara adalah dengan penigkatan teknologi pertanian yang tepat guna.

(69)

menetapkan upah minimum sewajarnya dengan mempertimbangkan standar biaya hidup. Hal yang lebih realistis dilakukan adalah dengan menetapkan upah minimum sewajarnya yang diikuti dengan peningkatan skill pekerja agar produktivitasnya meningkat sebanding dengan kenaikan upah minimum. 3. Pengeluaran pemerintah hendaknya lebih diprioritaskan pada pengeluaran

(70)

OLEH HERY FERDINAN

H14114008

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

Gambar

tabel. Hipotesis dalam pengujian autokorekasi adalah:
Tabel 4.1 Luas Daerah dan Persentase Kabupaten/Kota di Sumatera Barat
Tabel 4.2 Jumlah dan Persentase Penduduk Sumatera Barat Dirinci
Gambar 4.1 Piramida Penduduk Provinsi Sumatera Barat Dirinci Menurut
+7

Referensi

Dokumen terkait

Metode yang digunakan dalam analisis pengaruh kredit perbankan terhadap penyerapan tenaga kerja sektor industri besar di provinsi Sumatera Utara adalah regresi linier

Untuk menganalisis pengaruh Upah minimum Provinsi, Inflasi dan PDRB terhadap Penyerapan Tenaga Kerja di Jawa Tengah 2014-2017 maka penelitian ini menggunakan analisis 35 data

Menurut Koncoro (2002) penyerapan tenaga kerja adalah banyaknya lapangan kerja yang sudah terisi yang tercermin dari banyaknya jumlah penduduk bekerja. Penduduk

Kesempatan kerja dapat tercipta apabila terjadi permintaan tenaga kerja di pasar kerja, sehingga dengan kata lain kesempatan kerja juga menujukkan permintaan

Pengertian Penyerapan tenaga kerja merupakan jumlah tertentu dari tenaga kerja yang digunakan dalam suatu unit usaha tertentu atau dengan kata lain penyerapan tenaga kerja

Berdasarkan pengujian data secara statistik melalui uji koefisien regresi secara individual, Tenaga Kerja dilihat dari nilai probabilitas sebesar (0.0000) dibandingkan

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyerapan Tenaga Kerja, antara lain, Produk Domestik Bruto (PDB). Bertumbuhnya suatu ekonomi merupakan peningkatan jangka panjang

Berdasarkan analisis model regresi data panel, diperoleh hasil bahwa ekspor produk industri makanan dan minuman memiliki pengaruh positif terhadap penyerapan tenaga kerja