• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Kadar Serum Laktat dan Defisit Basa Sebagai Indikator Morbiditas dan Mortalitas Pada Kasus Multipel Trauma di Rumah Sakit H. Adam Malik Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Kadar Serum Laktat dan Defisit Basa Sebagai Indikator Morbiditas dan Mortalitas Pada Kasus Multipel Trauma di Rumah Sakit H. Adam Malik Medan"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

1

Hubungan Kadar Serum Laktat dan Defisit Basa Dengan

Morbiditas dan Mortalitas pada Kasus Multipel Trauma di

Rumah Sakit H. Adam Malik Medan

TESIS

OLEH

Salamullah

NIM : 097102002

OLEH

Salamullah

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS ILMU BEDAH

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

2

Judul :Hubungan Kadar Serum Laktat dan Defisit Basa Sebagai Indikator Morbiditas dan Mortalitas Pada Kasus Multipel Trauma di Rumah Sakit H. Adam Malik Medan

Nama PPDS : dr. Salamullah

Nomor CHS :

Bidang Ilmu : Kedokteran / Ilmu Bedah Kategori : Bedah Orthopaedi

TESIS INI TELAH DIPERIKSA DAN DISETUJUI OLEH MEDAN, Oktober 2014

Pembimbing:

NIP: 19630924 198903 1 002 Dr. Chairiandi Siregar. SpOT(K)

Ketua Departemen Ilmu Bedah Ketua Program Studi Ilmu Bedah

Dr. Emir Taris Pasaribu,SpB(K)Onk

NIP: 19520304198002 1 001 NIP: 196103161986111001

Dr.Marshal,SpB,SpB-TKV(K)

(3)

3 Sudah Diperiksa Tesis Penelitian

Judul :Kadar Serum Laktat Setelah Resusitasi Sebagai Indikator Morbiditas dan Mortalitas Pada Kasus Multipel Trauma di Rumah Sakit H. Adam Malik Medan

Peneliti : dr.Salamullah Departemen : Ilmu Bedah

Institusi : Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

MEDAN, Oktober 2014

KONSULTAN METODOLOGI PENELITIAN FAKULTAS KEDOKTERAN USU

(4)

4

PERNYATAAN

Hubungan Kadar Serum Laktat dan Defisit Basa Sebagai Indikator

Morbiditas dan Mortalitas Pada Kasus Multipel Trauma di Rumah Sakit

H. Adam Malik Medan

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, November 2014

(5)

5

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT penulis panjatkan, karena berkat segala rahmat dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis akhir ini yang merupakan salah satu persyaratan tugas akhir untuk memperoleh keahlian dalam bidang Ilmu Bedah di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan. Selawat dan salam tak lupa penulis sampaikan kepada junjungan Rasulullah Muhammad SAW.

Dengan selesainya penulisan tesis ini, perkenankanlah penulis untuk menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :

Kedua orang tua, ayahanda H. M Nur Thaher dan ibundaHj. Cut Nadiah, terima kasih yang sedalam-dalamnya dan setulus-tulusnya, yang telah membesarkan dan mendidik penulis sejak kecil dengan penuh kesabaran, kasih sayang dan perhatian, dengan diiringi doa dan dorongan yang tiada hentinya sepanjang waktu, memberikan contoh yang sangat berharga dalam menghargai dan menjalani kehidupan.

Kepada ayahandadr.H. Mistar Ritonga Sp.F dan ibunda Hj. dr. Sri Rahmawati, abang, kakak, adik-adik dan seluruh keluarga besar, penulis mengucapkan terima kasih atas pengertian dan dukungan yang diberikan selama penulis menjalani pendidikan.

Terima kasih yang tak terkira kepada istriku tercintadr. Anggraini Ritonga M.Ked(Paru)Sp.P dan anakku Myiesha Nadhira Azalea danKana Syaumi Dafiya atas segala pengorbanan, pengertian, dukungan semangat, kesabaran dan kesetiaan dalam segala suka duka mendampingi penulis selama menjalani masa pendidikan yang panjang ini.

Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara dan Bapak Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara atas kesempatan yang telah diberikan kepada penulis untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Bedah di lingkungan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

(6)

6

Bedah, dr. Asrul S, SpB-KBD, yang telah bersedia menerima, mendidik dan membimbing penulis dengan penuh kesabaran selama penulis menjalani pendidikan.

dr.Chairiandi Siregar, SpOT(K) Ketua Program Studi Bedah Orthopaedi dan Traumatologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara sekaligus pembimbing penelitian saya,terima kasih yang sedalam-dalamnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya yang dapat penulis sampaikan, yang telah membimbing, mendidik, membuka wawasan penulis, senantiasa memberikan dorongan dan motivasi yang tiada hentinya dengan penuh bijaksana dan tulus ikhlas disepanjang waktu sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

Rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya saya sampaikan kepada guru-guru saya : Prof. Bachtiar Surya, SpB-KBD, Prof. Iskandar Japardi, SpBS(K), Prof. Dr. Abd. Gofar Sastrodiningrat, SpBS(K), Prof. Adril A Hakim, SpS,SpBS(K), Prof. Nazar Moesbar, SpB,SpOT, Prof. Hafas Hanafiah, SpB,SpOT, Alm.Prof Usul Sinaga, SpB, Alm.Prof Buchari Kasim, SpBP, dr. Asmui Yosodihardjo, SpB,SpBA, dr. Syahbuddin Harahap, SpB, DR. dr. Humala Hutagalung, SpB(K)ONK, dr. Gerhard Panjaitan, SpB(K)ONK, dr. Harry Soejatmiko, SpB,SpBTKV, dan seluruh guru bedah saya yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, di lingkungan RSUP H Adam Malik, RSU Pirngadi Medan dan di semua tempat yang telah mengajarkan ketrampilan bedah pada diri saya. Semua telah tanpa pamrih memberikan bimbingan, koreksi dan saran kepada penulis selama mengikuti program pendidikan ini.

Prof. Aznan Lelo, PhD, SpFK, yang telah membimbing, membantu dan meluangkan waktu dalam membimbing statistik dari tulisan tugas akhir ini.

Para Senior, dan sejawat peserta program studi Bedah yang bersama-sama menjalani suka duka selama pendidikan.

Para pegawai dilingkungan Departemen Ilmu Bedah FK USU, dan para tenaga kesehatan yang berbaur berbagi pekerjaan memberikan pelayanan Bedah di RSUP H Adam Malik, RSU Pirngadi, dan di semua tempat bersama penulis selama penulis menimba ilmu.

Akhirnya hanya Allah SWT yang dapat membalas segala kebaikan.

(7)

7 Terima kasih.

Medan, Desember 2014 Penulis

(8)

8

DAFTAR ISI

Halaman PERSETUJUAN TESIS

Pembimbing, Ketua Departemen, Ketua Program Studi ... i

Konsultan Metodologi Penelitian.. ... ii

PERNYATAAN ... iii

2.9.1. Klasifikasi fraktur... 20

2.9.2. Berdasarkan hubungan tulang dan jaringan sekitar... 20

2.10. Prinsip penanganan fraktur ... 21

2.11. Revised Trauma score dan Injury Severity Score... 23

2.12. Biokimia laktat ………... 25

2.13. Serum laktat indikator morbiditas dan mortalitas pada pasien multipel trauma ... 27

2.14. Laktat pada trauma ... 28

2.15. Pengukuran nilai gas darah ... 29

2.16. Base excess ( defisit basa ) ... 34

(9)

9

3.7.Persetujuan Setelah Penjelasan (Informed Consent)... 38

3.8. Etika Penelitian ... 38

3.9. Cara Kerja ... 38

3.9.1. Alokasi sampel ... 38

3.9.2. Pengukuran dan intervensi...38

3.9.2.1. Tahap persiapan ... 38

3.9.2.2. Tahap pelaksanaan ... 39

3.9.2.3. Tahap akhir penelitian ... 39

3.10. Identifikasi Variabel ... 39

3.10.1. Variabel bebas ... 39

3.10.2. Variabel tergantung ... 39

3.11. Definisi Operasional ... 40

3.12. Kerangka kerja ... 41

3.13. Rencana pengolahan dan analisis data ... 42

BAB 4. HASIL PENELITIAN 4.1. Deskripsi karakteristik penderita multipel trauma ... 43

4.2. Hubungan kadar serum laktat inisial terhadap morbiditas pada pasien multipel trauma ... 44

4.3. Hubungan kadar serum laktat setelah 24 jam terhadap morbiditas pada pasien multipel trauma ... 44

4.4. Hubungan kadar defisit basa inisial terhadap morbiditas pada pasien multipel trauma ... 45

4.5. Hubungan kadar defisit basa setelah 24 jam terhadap morbiditas pada pasien multipel trauma ... 46

4.6. Hubungan kadar serum laktat inisial terhadap mortalitas pada pasien multipel trauma ... 46

4.7. Hubungan kadar serum laktat setelah 24 jam terhadap mortalitas pada pasien multipel trauma ... 47

4.8. Hubungan kadar defisit basa inisial terhadap mortalitas pada pasien multipel trauma ... 47

4.9. Hubungan defisit basa setelah 24 jam terhadap mortalitas pada pasien multipel trauma ... 48

4.10. Hubungan kadar serum laktat dan defisit basa inisial terhadap morbiditas pada pasien multipel trauma ... 48

4.11. Hubungan kadar serum laktat dan defisit basa inisial terhadap mortalitas pada pasien multipel trauma ... 50

4.12. Hubungan kadar serum laktat dan defisit basa setelah 24 jam terhadap mortalitas pada pasien multipel trauma ... 50

4.13. Hubungan kadar serum laktat dan defisit basa setelah 24 jam terhadap morbiditas pada pasien multipel trauma ... 52

(10)

10

5. Pembahasan ... 53

BAB 6. SIMPULAN DAN SARAN 6.1. Simpulan ... 56

6.2. Saran ... 57

DAFTAR PUSTAKA ... 58

(11)

11

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

1. Susunan Peneliti ... 59

2. Rencana Anggaran Penelitian ... 60

3. Jadwal Penelitian ... 61

4. Naskah Penjelasan kepada Orang Tua /Kerabat Pasien lainnya ... 62

5. Persetujuan Setelah Penjelasan (PSP) ... 63

6. Persetujuan dari Komisi Etika Penelitian ... 64

(12)

12

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Deskripsi karakteristik penderita multipel trauma.

Tabel 4.2. Hubungan kadar serum laktat inisial terhadap morbiditas Tabel 4.3. Hubungan kadar serum laktat setelah 24 jam terhadap

morbiditas

Tabel 4.4. Hubungan kadar defisit basa inisial terhadap morbiditas Tabel 4.5. Hubungan kadar defisit basa 24 jam terhadap morbiditas Tabel 4.6. Hubungan kadar serum laktat inisial terhadap mortalitas Tabel 4.7. Hubungan kadar serum laktat setelah 24 jam terhadap

mortalitas

Tabel 4.8. Hubungan kadar defisit basa inisial terhadap mortalitas Tabel 4.9. Hubungan kadar defisit basa 24 jam terhadap mortalitas Tabel 4.10. Hubungan kadar serum laktat dan defisit basa inisial terhadap

morbiditas

Tabel 4.11. Hubungan kadar serum laktat dan defisit basa inisial terhadap mortalitas

Tabel 4.12. Hubungan kadar serum laktat dan defisit basa setelah 24 jam terhadap mortalitas

(13)

13

HUBUNGAN KADAR SERUM LAKTAT DAN DEFISIT BASA DENGAN MORBIDITAS DAN MORTALITAS PADA KASUS MULTIPEL TRAUMA DI

RUMAH SAKIT H. ADAM MALIK MEDAN

Salamullah1, Chairiandi Siregar2 1

PPDS Bedah Universitas Sumatera Utara, 2Departemen Bedah Orthopaedi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara-RSUP-HAM Medan

Latar belakang :Saat ini penelitian untuk mencari marker yang terbaik untuk diagnosa, prognosa, dan penanganan pasien-pasien trauma masih terus berlangsung.Pedoman untuk akhir dari resusitasi masih menjadi kontroversi.Dua marker yang sering digunakan untuk menilai keberhasilan resusitasi, yaitu defisit basa dan serum laktat.Serum Laktatadalah parameter yang sensitiveuntukmenilaiadekuat-tidaknyaoksigenasisel.Peningkatantingkat laktatmencerminkanhipoksia jaringandan metabolismeanaerobikberlangsungdalam tubuh danbiasanyadiatasi denganresusitasiyang memadai. Dan untuk menilai morbiditas dan mortalitas pasien multipel trauma, serum laktat lebih superior dibanding defisit basa.

Objektif : Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menilai hubungan kadar serum laktat dan defisit basa dengan morbiditas dan mortalitas pada kasus multipel trauma di rumah sakit H. Adam Malik Medan.

Metode : Penelitian ini merupakan studicross sectional yang dilakukan pada 31 orang pasien multipel trauma yang datang ke instalasi gawat darurat rumah sakit umum pusat H.Adam malik Medan dalam 12 jam pertama setelah kejadian. Pasien dilakukan resusitasi dengan protokol Advance Trauma Life Support (ATLS ) di instalasi gawat darurat. Serum laktat diambil dan diperiksakan sebelum dan setelah dilakukan resusitasi.Kadar serum laktat >2mmol/liter merupakan suatu yang abnormal dan kadar serum laktat >5mmol/liter dianggap suatu nilai yang signifikan dalam menyebabkan morbiditas dan mortalitas. Kadar defisit basa moderate (<-6) merupakan kadar yang signifikan dalam menyebabkan morbiditas dan mortalitas.

(14)

14

Kesimpulan : Kadar serum laktat dan defisit basa tidak hanya sebagai indikator yang menerangkan pasien dalam keadaan shock, tapi juga dapat digunakan sebagai indikator dalam menentukan morbiditas dan mortalitas pada pasien multipel trauma.

Kata kunci : Multipel trauma, serum laktat, defisit basa, morbiditas, mortalitas.

RELATIONSHIP BETWEEN SERUM LACTATE AND BASE DEFICIT WITH MORBIDITY AND MORTALITY IN MULTIPLE TRAUMA IN H. ADAM MALIK

GENERAL HOSPITAL MEDAN

Background:The search for the best marker or set of marker for the diagnosis, prognosis and treatment of trauma patients is still in process. The optimal guide to the end point of resuscitation remains controversial. The two most commonly used markers in assessing resuscitation remain base defisit and lactate. Lactate is a most sensitive parameter to assess the cell oxygenation. Increase of lactate’s level shows the tissue in hypoxia condition and anaerobic metabolism is taking place in the body. It is usually can be solved by adequate resuscitation. But in assessing morbidity and mortality, serum lactate more superior than base deficit.

Objective : The aim of the study is to determine correlation between serum lactate and base deficit with morbidity and mortality in multiple trauma in H. Adam Malik General Hospital.

Methods : This study is a cross sectional study which conducted in 31 multiple trauma patients that came to the emergency room of Adam Malik Hospital in the first 12 hours after accident. Resuscitation was done according to the ATLS protocol in the emergency room. Lactate serum was taken and examined before and after the resuscitation took place. Lactate serum >2 mmol/litre is a abnormal finding dan lactate serum >5 mmol/litre considered as a significant number that caused morbidity and mortality. And base deficit <-6 mmol/l considered as significant number that caused morbidity and mortality.

Results : from 31 samples in this study, there were 26 male patients (83,9%) and 5 female patients (16,1%) with mean age 32,55 ± 13,911 years old. There were 15 cases of mortality and 16 cases survive in this study, in which most of the patients have lactate serum >5 mmol/litre and base deficit <-6 mmol/l.

(15)

15

(16)

13

HUBUNGAN KADAR SERUM LAKTAT DAN DEFISIT BASA DENGAN MORBIDITAS DAN MORTALITAS PADA KASUS MULTIPEL TRAUMA DI

RUMAH SAKIT H. ADAM MALIK MEDAN

Salamullah1, Chairiandi Siregar2 1

PPDS Bedah Universitas Sumatera Utara, 2Departemen Bedah Orthopaedi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara-RSUP-HAM Medan

Latar belakang :Saat ini penelitian untuk mencari marker yang terbaik untuk diagnosa, prognosa, dan penanganan pasien-pasien trauma masih terus berlangsung.Pedoman untuk akhir dari resusitasi masih menjadi kontroversi.Dua marker yang sering digunakan untuk menilai keberhasilan resusitasi, yaitu defisit basa dan serum laktat.Serum Laktatadalah parameter yang sensitiveuntukmenilaiadekuat-tidaknyaoksigenasisel.Peningkatantingkat laktatmencerminkanhipoksia jaringandan metabolismeanaerobikberlangsungdalam tubuh danbiasanyadiatasi denganresusitasiyang memadai. Dan untuk menilai morbiditas dan mortalitas pasien multipel trauma, serum laktat lebih superior dibanding defisit basa.

Objektif : Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menilai hubungan kadar serum laktat dan defisit basa dengan morbiditas dan mortalitas pada kasus multipel trauma di rumah sakit H. Adam Malik Medan.

Metode : Penelitian ini merupakan studicross sectional yang dilakukan pada 31 orang pasien multipel trauma yang datang ke instalasi gawat darurat rumah sakit umum pusat H.Adam malik Medan dalam 12 jam pertama setelah kejadian. Pasien dilakukan resusitasi dengan protokol Advance Trauma Life Support (ATLS ) di instalasi gawat darurat. Serum laktat diambil dan diperiksakan sebelum dan setelah dilakukan resusitasi.Kadar serum laktat >2mmol/liter merupakan suatu yang abnormal dan kadar serum laktat >5mmol/liter dianggap suatu nilai yang signifikan dalam menyebabkan morbiditas dan mortalitas. Kadar defisit basa moderate (<-6) merupakan kadar yang signifikan dalam menyebabkan morbiditas dan mortalitas.

(17)

14

Kesimpulan : Kadar serum laktat dan defisit basa tidak hanya sebagai indikator yang menerangkan pasien dalam keadaan shock, tapi juga dapat digunakan sebagai indikator dalam menentukan morbiditas dan mortalitas pada pasien multipel trauma.

Kata kunci : Multipel trauma, serum laktat, defisit basa, morbiditas, mortalitas.

RELATIONSHIP BETWEEN SERUM LACTATE AND BASE DEFICIT WITH MORBIDITY AND MORTALITY IN MULTIPLE TRAUMA IN H. ADAM MALIK

GENERAL HOSPITAL MEDAN

Background:The search for the best marker or set of marker for the diagnosis, prognosis and treatment of trauma patients is still in process. The optimal guide to the end point of resuscitation remains controversial. The two most commonly used markers in assessing resuscitation remain base defisit and lactate. Lactate is a most sensitive parameter to assess the cell oxygenation. Increase of lactate’s level shows the tissue in hypoxia condition and anaerobic metabolism is taking place in the body. It is usually can be solved by adequate resuscitation. But in assessing morbidity and mortality, serum lactate more superior than base deficit.

Objective : The aim of the study is to determine correlation between serum lactate and base deficit with morbidity and mortality in multiple trauma in H. Adam Malik General Hospital.

Methods : This study is a cross sectional study which conducted in 31 multiple trauma patients that came to the emergency room of Adam Malik Hospital in the first 12 hours after accident. Resuscitation was done according to the ATLS protocol in the emergency room. Lactate serum was taken and examined before and after the resuscitation took place. Lactate serum >2 mmol/litre is a abnormal finding dan lactate serum >5 mmol/litre considered as a significant number that caused morbidity and mortality. And base deficit <-6 mmol/l considered as significant number that caused morbidity and mortality.

Results : from 31 samples in this study, there were 26 male patients (83,9%) and 5 female patients (16,1%) with mean age 32,55 ± 13,911 years old. There were 15 cases of mortality and 16 cases survive in this study, in which most of the patients have lactate serum >5 mmol/litre and base deficit <-6 mmol/l.

(18)

15

(19)

16

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Istilah multipel trauma merupakan istilah medis yang menggambarkan kondisi seseorang yang telah mengalami beberapa yang serius.Multipel trauma atau politrauma adalah apabila terdapat 2 atau lebih kecederaan secara fisikal pada regio atau organ tertentu, dimana salah satunya bisa menyebabkan kematian dan memberi dampak pada fisik, kognitif, psikologik atau kelainan psikososial dan disabilitas fungsional (Lamichhane P, et al., 2011).

Penelitian untuk mencari marker yang terbaik saat ini untuk diagnosa, prognosa, dan penanganan pasien-pasien trauma masih terus berlangsung. Pedoman untuk akhir dari resusitasi masih menjadi kontroversi. Idealnya, suatu marker harus mampu menilai resusitasi yang adekuat, menilai hipoksia jaringan serta mampu memprediksi mortalitas dan hasil akhir dari pasien-pasien trauma. Secara umum, resusitasi pada kasus trauma dan tindakan operasi emergensi didasarkan pada kombinasi dari nilai laboratorium, tanda vital, dan keadaan klinis. Normalisasi tanda vital, seperti tekanan darah, frekuensi nadi dan urin output biasa digunakan sebagai monitor di akhir resusitasi (Farah A.Husain, et al., 2003).

Penelitian yang dilakukan oleh Scalea dan kawan-kawan (1994) menemukan bahwa pasien trauma berat dengan tekanan darah yang normal, dan urin output yang cukup, tapi masih dalam keadaan shock yang terkompensasi. Dua marker yang sering digunakan untuk menilai keberhasilan resusitasi, yaitu defisit basa dan serum laktat (Farah A.Husain, et al., 2003).

Defisit basa dapat dijadikan marker untuk menilai keberhasilan resusitasi, namun untuk menilai mortalitas dan morbiditas pasien trauma, serum laktat lebih superior dibandingkan dengan defisit basa (Farah A.Husain, et al., 2003). Defisit basa telah dipertimbangkan sebagai prediktor mortalitas dan beratnya cedera pada suatu kasus trauma yang menunjukkan suatu keadaan bahwa tidak adekuatnya perfusi dan telah terjadinya hipoksia pada jaringan (Yochai Levi, et al., 2013)

Banyak penelitian yang telah menunjukkan bahwa perubahan defisit basa yang signifikan dapat menjadi indikator dalam menentukan angka mortalitas pada pasien multipel trauma.

(20)

17

atau multipel trauma. Peningkatantingkat laktatmencerminkanhipoksia jaringandan metabolismeanaerobikberlangsungdalam tubuh danbiasanyadiatasi denganresusitasiyang memadai(Abramson, 1993). Penelitian yang dilakukan oleh Farah A. Husain dan kawan-kawan menunjukkan bahwa adanya hubungan antara kadar serum laktat baik inisial maupun setelah dilakukan resusitasi dengan angka morbiditas dan mortalitas. Dimana kadar serum laktat > 5 mmol/liter merupakan kadar yang signifikan dalam menyebabkan morbiditas dan mortalitas.

Olehsebabitu, peneliti merasa perlu dilakukan penelitian tentang hubungan serum laktat dengan defisit basa sebagai salah satu indikatoruntuk menilai mortalitas dan morbiditas pasien multipel trauma di rumah sakit H. Adam Malik Medan.

1.2. Rumusan Masalah

Apakah ada hubungan antara kadar serum laktat dan defisit basa dengan morbiditas dan mortalitas pada kasus multipel trauma.

1.3. Hipotesis

Ada hubungan antara kadar serum laktat dan defisit basa dengan morbiditas dan mortalitas pada kasus multipel trauma.

1.4. Tujuan

1.4.1. Tujuan Umum

Menentukan hubungan kadar serum laktat dan defisit basa dengan morbiditas dan mortalitas pada kasus multipel trauma.

1.4.2.Tujuan Khusus

1. Menentukan kadar serum laktat inisial pada pasien multipel trauma. 2. Menentukan kadar serum laktat 24 jam pada pasien multipel trauma. 3. Menentukan kadar defisit basa inisial pada pasien multipel trauma. 4. Menentukan kadar defisit basa 24 jam pada pasien multipel trauma.

5. Menentukan hubungan kadar serum laktat dan defisit basa inisial pada pasien multipel trauma.

6. Menentukan hubungan kadar serum laktat dan defisit basa 24 jam pada pasien multipel trauma.

(21)

18

8. Menentukan hubungan kadar serum laktat dan defisit basa 24 jam dengan hasil akhir pada pasien multipel trauma.

1.5. Manfaat

1.5.1. Bidang Akademik / Ilmiah

Meningkatkan pengetahuan peneliti dibidang orthopaedi khususnya dapat mengetahui apakah kadar serum laktat dan defisit basa dapat digunakan sebagai indikator dalam menentukan morbiditas dan mortalitas pada pasien multipel trauma.

1.5.2. Bidang Masyarakat

Dengan penelitian ini diharapkan dokter dapat segera menilai prognosis pasien trauma yang datang sehingga dapat segera memberikan pelayanan dan pengobatan yang tepat sehingga harapan hidup dapat ditingkatkan.

1.5.3. Bidang Pengembangan Penelitian

(22)

19

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pendahuluan

Traumaadalah penyebab paling umumkematian pada orangusia 16-44tahundi seluruhdunia(WHO,2004). Proporsiterbesardarikematian(1,2 jutapertahun)kecelakaan di jalan raya. Organisasi Kesehatan Dunia(WHO) memprediksi bahwapada tahun 2020, cederalalu lintas menduduki peringkatketiga dalampenyebabkematian dinidan kecacatan(Peden, 2004).

Multipel trauma adalah istilah medis yang menggambarkan kondisi seseorang yang telah mengalami beberapa serius. Multipel trauma atau politrauma adalah apabila terdapat 2 atau lebih kecederaan secara fisikal pada regio atau organ tertentu, dimana salah satunya bisa menyebabkan kematian dan memberi dampak pada fisik, kognitif, psikologik atau kelainan psikososial dan disabilitas fungsional (Lamichhane P, et al., 2011).

Multipel trauma atau politrauma adalah suatu istilah yang biasa digunakan untuk menggambarkan pasien yang mengalami suatu cedera berat yang diikuti dengan cedera yang lain, misalnya dua atau lebih cedera berat yang dialami pada minimal dua area tubuh. Kondisi yang penting dalam menggambarkan penggunaan istilah ini adalah pada keadaan trauma yang bisa disertai dengan shock dan atau perdarahan serta keadaan yang dapat membahayakan jiwa seseorang (Kroupa J, 1990). Beberapa penelitian terdahulu, diantaranya Border dan kawan-kawan mendefinisikan multipel trauma adalah cedera yang cukup signifikan mengenai dua atau lebih regio tubuh. Tscherne dan kawan-kawan mengatakan multipel trauma adalah dua atau lebih cedera berat dengan salah satunya atau semuanya dapat mengancam jiwa. Beberapa penulis mendefinisikan multipel trauma menggunakan pengukuran yang lebih objektif yaitu dengan menggunakan scoring Injury Severity Score ( ISS ), dimana dikatakan multipel trauma bila nilai ISS 15 sampai 26 atau lebih besar (Nerida

E, et al, 2013).

(23)

20

cedera(ISS 15-24) mencapairumah sakitmenunjukkanpeningkatan enam kali lipatdalam mortalitas padapasien berpenghasilanekonomi rendah.

Dalam sistem kesehatan yang canggih, korban dibawa ke rumah sakit terdekat kemudian dilakukan manajemen komprehensif di instalasi gawat darurat. Pengobatan berpusat pada evaluasi, resusitasi dan stabilisasi. Fase ini menyatu ke perawatan definitif dalam operasi, dengan mengontrol jalan napas, ventilasi, dan bedah (pengelolaan perdarahan). Cedera muskuloskeletal pada awalnya stabil, diikuti oleh pengobatan definitif. Level 2 atau 3 perawatan kritis mungkin diperlukan untuk meminimalkan komplikasi dan mencegah kematian, dan rehabilitasi berkepanjangan mungkin diperlukan untuk memenuhi kebutuhan korban dengan cedera otak dan kerusakan muskuloskeletal kompleks.

Kematian yang disebabkan oleh trauma itu secara klasik memiliki 3 penyebaran, yang berhubungan antara waktu kejadian dengan penanganan efektif yang dilakukan untuk mengatasi mortalitas :

1. Immediate deaths ( kematian yang segera )

Dimana pasien meninggal oleh karena trauma sebelum sampai ke rumah sakit. Misalnya cedera kepala berat, atau trauma spinal cord. Hanya sedikit dari pasien ini yang dapat hidup sampai ke rumah sakit, karena hampir 60% dari kasus ini pasien meninggal bersamaan dengan saat kejadian.

2. Early deaths

Dimana pasien meninggal beberapa jam pertama setelah trauma. Sebagian disebabkan oleh perdarahan organ dalam dan sebagian lagi disebabkan oleh cedera sistem saraf pusat. Hampir semua kasus pada trauma ini potensial dapat ditangani. Bagaimanapun, pada umumnya setiap kasus membutuhkan pertolongan dan perawatan definitif yang sesuai di pusat-pusat trauma. Khususnya pada institusi yang dapat melakukan resusitasi segera, identifikasi trauma, dan sarana pelayanan operasi selama 24 jam.

3. Late deaths

(24)

21

2.2. Manajemen Trauma

Manajemencederadiprioritaskanuntuk mengobaticedera yang mengancam nyawaterlebih dahulu, mengikuti urutanABCDE. Pengecualianiniadalahkorbanyang menderitaperdarahanperifer.Hal initelah menyebabkanpengembangandari urutanCABC, di manaCmerupakan singkatanuntuk bencanaperdarahan(Hodgetts, 2002). Mengancam jiwa, perdarahan eksternaldikendalikan, maka urutanABCyang biasadiikuti.

Pada korbandenganobstruksi jalan napasdalam beberapa menit,mengamankanjalan napas pasienselalumenjadi prioritas. Setelahjalan napasterbuka, korbanharus diberioksigendan dipasangventilasijika napastidak memadai (ATLS, 2004).

Selama manajemen berlangsung, asumsi selalu dibuat dimana kerusakan servikal dan tulang belakang mungkin dapat terjadi. Stabilitas tulang belakang leher harus dilindungi sampai leher dijamin bebas dari risiko cedera (Hodgetts, 2006).

2.2.1. Airway

Jalan napas dibuka awalnya dengan 'manuver tangan ' angkat dagu dan dorong rahang, kepalatidak boleh dimanipulasi dan harus dalamposisi netral. Jika darah, air liur atau muntah ada dalamsaluran napas, suction harus digunakan. Jika secara manual,teknik yang digunakan tidak memadai, saluran udara orofaringealatau nasofaring (NP) pada jalan napas harus hati-hatiditempatkan untuk mencegah aspek posterior lidahmenghalangi faring.Jika manuver ini tidak berhasil, ada perangkat seperti Laringeal Mask Airway (LMA), yang dapat dimasukkan ke dalamsituasi sulit tertentu(Hodgetts, 2002).

Pengamanan jalan nafas secara definitif dengan intubasi atau krikotiroidotomi sangat sulit dilakukan dalam kondisi korban terjebak.

2.2.2. Breathing

Setelah jalan napas dibuka dan aman, penilaian pernapasan korban dibuat. Jikabernapas baik, oksigen diberikandengan laju alir 5 L/menit. Jika adakeraguan bahwa pernapasan tidak memadai, maka ventilasiharus didukung dengan bag-valve-mask (BVM). Ini harus memiliki reservoir yang melekat denganoksigen mengalir dari 15 L / menit.Kecukupan oksigenasi harus dinilai oleh penilaianklinis seperti warna bibir untuk mendeteksi sianosis, atau menggunakanpulse oksimetri. Kecukupan ventilasi dapatdinilai oleh penilaian klinis ekspansi dada dansuara napas, atau penggunaan elektronik endtidalkarbon dioksida (EtCO2) monitor(Clasper, 2004).

Tidak adanya bunyi nafas menunjukkan pneumothoraks atau hemothoraks.Sebuah

(25)

22

mengancam jiwa, dan harus segera didekompresi dengan jarum besar (14 gauge) kanula intravena melalui interkostal keduadi garis mid – clavicularis pada sela iga V-VI.

Open atau Sucking pneumothoraks harus ditutup dengan plester pada tiga sisi -sisi keempat terbuka untuk mencegah tension pneumotoraks berkembang. Ventilasi tekanan positif kemungkinan untuk mempercepat konversi tension pneumothoraksmenjadi pneumothorax sederhana. Jika korban yang diintubasi dan berventilasi, dan pneumothoraks dicurigai, simple thoracostomy dibuat di ruang intercostal 5, anterior garis mid-clavikularis. Hal ini memungkinkan tension pneumothoraks untuk di dekompresi.

2.2.3. Circulation

Perdarahan eksternal dikendalikanterutama oleh tekanan langsung dengan dressing, dan anggota tubuhdi elevasi jika memungkinkan. Metode lain yang digunakan adalah penggunaan tourniquet, dressintag hemostatik juga dapatdigunakan pada setiap tahap(Hodgetts, 2002).

Tornikettidak dianjurkan dalam perawatan pra-rumah sakit, karena signifikan menimbulkan risiko komplikasi serius. Tidak tepat diterapkantorniket dalam perdarahan karena hasil di distal ekstremitas menjadi iskemia, dan menyebabkan kerusakan tekanan langsung pada kulit, otot dansaraf. Namun, dengan cedera ekstremitas dapat mengakibatkanperdarahan(Hodgetts, 2006).

Shockcenderungmerupakan hasil dari perdarahanyang tidak terkendalibaik

eksternalatau ke internal (dada, perut, panggul, dan beberapatulang panjang). Kehilangancardiac outputjugadapat disebabkan olehtension pneumothoraxatautamponade jantung.Tamponade jantungpaling sering dikaitkandengantrauma tembus dadapada garisputtinganterioratauscapulaposterior.

Shock beratmenyebabkanaktivitas listrikpulseless(PEA) atauhenti jantungasystolicmerupakan indikasi untukthoracostomy bilateral danataupembukaanclam-shelldada.

(26)

23

- Pemberian cairan diperlambat sampai kecepatan maintenance

- Tidak ada indikasi bolus cairan tambahan yang lain atau pemberian darah - Pemeriksaan darah dan cross-match tetap dikerjakan

- Konsultasikan pada ahli bedah karena intervensi operatif mungkin masih diperlukan 2. Respon sementara

- Pemberian cairan tetap dilanjutkan, ditambah dengan pemberian darah - Respon terhadap pemberian darah menentukan tindakan operatif - Konsultasikan pada ahli bedah

3. Tanpa respon

- Konsultasikan pada ahli bedah - Perlu tindakan operatif sangat segera

- Waspadai kemungkinan syok non hemoragik seperti tamponade jantung atau kontusio miokard

- Pemasangan CVP dapat membedakan keduanya(ATLS, 2008)

Konsep laparotomi damage control untuk resusitasi pasien dengan trauma berat mulai dikembangkan pada tahun 1983 oleh Stone dan kawan-kawan di Grady Memorial Hospital A.S.terbukti berhasil menurunkan kematian akibat perdarahan massif yang mulai mengalami koagulopati. Moore dan kawan-kawan pada tahun 1993 mengembangkan teknik laparotomi bertingkat sebagai usaha damage control pada pasien perdarahan masif yang akan mengalami asidosis metabolik, hipotermia, dankoagulopati progresif yang disebut trias kematian atau lingkaran setan perdarahan massif. Rotondo dan kawan-kawan pada tahun 1993 kemudian menamakannya sebagai laparotomi damage kontrol.

Operasi damage kontrol adalah operasi yang terbatas, singkat dan bertahap sebagai bagian dari usaha penyelamatan jiwa atau resusitasi pada pasien dengan syok hemorragik berat yang telah atau akan mengalami gangguan metabolik pre operatif ataupun intraoperatif yang akan menyebabkan kematian dikamar bedah atau setelah di ICU. Ada tiga tahap damage kontrol :

Tahap I : Operasi singkat dan terbatas dikamar bedah sebagai bagian dari resusitasi, untuk menghentikan perdarahan dan mencegah kontaminasi, termasuk :

(27)

24

• Packing rongga badan yang berdarah bila telah terjadi koagulopati (non surgical bleeding)

• Reseksi bagian saluran pencernaan yang rusak berat tanpa reanastomosis. Ujung-ujung saluran cerna yang terbuka ditutup cepat dengan klip kulit, tali umbilikal atau jahitan jelujur. Hindari pembuatan kolostomi karena akan membuang waktu.

• Luka operasi pada leher, torakotomi, laparotomi atau pada tempat eksplorasi ekstremitas kulitnya tidak usah ditutup.

Tahap II :

Melanjutkan resusitasi di icu, termasuk : • Mengatasi hipotermi (rewarming)

• Menstabilkan fungsi kardiovaskuler dengan infus cairan, PRC, inotropik

• Mengatasi koagulopati kalau kalau masih ada, dan hanya akan berhasil baik bila hipotermia telah diatasi.

• Memperbaiki gagal paru dan ginjal.

Tahap III :

• Re operasi atau operasi definitif kalau mungkin

• Apakah ada cedera lain yang terlewati diagnosisnya, kalau ada segera atasi.

• Luka insisi operasi laparotomi, torakotomi, dan luka eksplorasi ditutup kembali bila keadaan telah memungkinkan. ( Warko karnadiharja, DSTC, 2010)

2.2.4. Disability

Dinilai menggunakanGlasgowComa Scale(GCS)dan penilaianuntuk ukuranpupildan ketidaksamaan.

2.3. Primary survey and resucitation

Setelah setiap tahap dalam ABC selesai, korban dievaluasi kembali untuk menilai kerusakan atau perbaikan. Pada saat penyelesaian penilaian pernapasan, jalan napas diperiksa ulang dan pernapasan ulang sebelum pindah ke sirkulasi.

(28)

25 Ada dua teknik untuk ini :

1. Manual, in-line imobilisasi. 2. Cervical collar (Earlam, 1997). B – Breathing

Segera setelah jalan napas dijamin, dada harus terbuka dan diperiksa dengan melihat, mendengar dan merasakan. Trakea dapat teraba dalam kedudukan supra sternal untuk mendeteksi penyimpangan yang disebabkan oleh tension pneumothorax, dan dada diperkusi untuk menilai hiper - resonansi pada tension pneumothorax atau hemothorax.

C - Circulation

Kontrol perdarahan, sirkulasi dinilai dengan mencari perdarahan eksternal dan terlihat tanda-tanda syok seperti pucat, dan penurunan tingkat kesadaran. Pada jantung, dilakukan auskultasi untuk mendeteksi jantung tamponade, dan perfusi rendah dinilai dengan meraba berkeringat dan mendinginkan kulit. Nadi perifer dan sentral nadi teraba untuk mendeteksi tachycardia. Perdarahan eksternal dikendalikan oleh tekanan, dan dua 14-gauge kanula digunakan untuk pemberian cairan dan darah.

D-Disability

Hal inijauh lebih tepatdari nilaiAVPU(Aware, verbalresponsif,Nyeriresponsif dantidak responsif)(Solomon,2010).

2.4. Secondary Survey

Survei sekunder adalah pemeriksaan secara rinci, evaluasi head-to-toe untuk mengidentifikasi semua cedera yang tidak dijumpai di primary survey. Ini terjadi setelah survei primer selesai, jika pasien cukup stabil dan tidak membutuhkan perawatan definitif (JRCALC,2008). Pentingnya survei sekunder adalah bahwa luka ringan dapat ditemukan selama survei primer dan resusitasi, tapi menyebabkan jangka panjang morbiditas jika diabaikan, misalnya dislokasi sendi kecil.

Komponen dari survei sekunder adalah: 1. Riwayat cedera

2. Pemeriksaan fisik 3. Pemeriksaan neurologis 4. Tes diagnostik lebih lanjut 5. Evaluasi ulang

(29)

26

Hanya 2% - 3% dari trauma tumpul yang menyebabkan cedera servikal, tetapi potensi untuk cedera neurologik membuatnya harus dikenal dengan baik dan penanganannya sulit. Tulang servikal subaxial (C3-C7) adalah tempat dimana terjadi dua-pertiga dari semua fraktur servikal dan tiga perempat dari semua dislokasi servikal. Seperti halnya dengan torakolumbal, klasifikasi dari cedera servical subaxial masih merupakan permasalahan besar, sering klasifikasi memfokuskan pada mekanisme cedera, dan tidak memperhatikan stabilitas ligament-ligament dan defisit neurologik. Baru-baru ini sebuah sistim klasifikasi juga telah dikembangkan, sama halnya seperti klasifikasi torakolumbal TLIC, yang dikenal dengan nama subaxial injury classification (SLIC), yang memfokuskan pada : morfologi cedera, defisit neurologik dan integritas discoligament complex (DLC), untuk memberikan petunjuk penanganan pada cedera servikal (Sastrodiningrat, 2012).

Morfologi cedera pada SLIC sama dengan cedera torakolumbal: kompresi, distraksi, dan rotasi/ translasi, dengan memberikan skor angka yang meningkat sesuai dengan derajat keparahan. Defisit neurologik juga diklasifikasikan dengan cara yang sama. DLC berbeda dengan PLC, karena pada tulang servikal, anterior lungitudinal ligament (ALL) dan diskus intervertebralis juga terlibat bersama posterior longitudinal ligament (PLL), ligamentum flavum, ligamentum supraspinosum, ligamentum interspinosum, dan kapsul faset. Alignment faset yang abnormal dan pelebaran anterior disc space merupakan tanda kerusakan DLC. Sebaliknya, ligamentum interspinosum merupakan komponen yang paling lemah dari DLC, jadi pelebaran interspace saja tidak merupakan DLC compromise pada tulang servikal. Total skor ≤ 3 ditangani non operatif, sedangkan skor ≥ 5 memerlukan intervensi beda h (Sastrodiningrat, 2012).

Trauma yang diakibatkan kecelakaan lalu lintas, jatuh dari tempat yang tinggi serta pada aktivitas olahraga yang berbahaya boleh menyebabkan cedera pada beberapa bagian ini. Antara kemungkinan kecederaan yang bisa timbul adalah seperti berikut (Sastrodiningrat, 2012):

A. Dislokasi atlanto-oksipital (atlanto-occipital dislocation)

Kebanyakan penderita meninggal karena kerusakan batang otak dan apnea atau kerusakan neurologis yang menetap (kuadriplegia serta ventilator dependent)

B. Fraktur atlas (C1)

Merupakan kurang lebih 5% dari kasus fraktur servikal. Mekanisme terjadinya cedera adalah axial loading, seperti kepala tertimpa secara vertikal oleh benda berat atau penderita terjatuh dengan puncak kepala terlebih dahulu.

(30)

27

Cedera ini banyak ditemukan pada anak-anak, terjadi spontan setelah terjadinya cedera berat/ringan, infeksi saluran nafas atas, atau penderita dengan rheumatoid artritis.

D. Fraktur Axis (C2)

Merupakan 18% dari seluruh fraktur tulang servikal. Merupakan tulang vertebra terbesar sehingga mudah mengalami berbagai jenis fraktur, tergantung arah dan kekuatan trauma. E. Fraktur dislokasi ( C3-C7 )

Pada orang dewasa level C5 merupakan level tersering tulang servikal mengalami fraktur, sedangkan antara C5-C6 merupakan level tersering mengalami dislokasi.

F. Fraktur vertebra thorakalis ( T1-T10 ) Terbagi 4 :

1. Fraktur baji karena kompresi korpus anterior, terjadi akibat axial loading disertai dengan fleksi.

2. Fraktur burst disebabkan oleh kompresi vertikal-aksial

3. Fraktur chance, merupakan fraktur transversal pada korpus vertebra, disebabkan oleh fleksi dengan aksis anterior dari kolumna vertebralis dan sering dijumpai setelah kecelakaan dimana penderita hanya menggunakan lap belt saja tanpa shoulder belt. Biasanya berhubungan dengan cedera retroperitoneal dan cedera organ abdomen. 4. Fraktur dislokasi, relatif jarang pada daerah thorakal dan lumbal.

G. Fraktur thorako lumbal (T11-L1)

Biasanya disebabkan oleh kombinasi dari hiperfleksi akut dan rotasi, dan sebagai konsekuensinya fraktur ini biasanya tidak stabil. Sering terjadi pada penderita yang jatuh dari ketinggian atau pengemudi mobil yang memakai sabuk pengaman tetapi dalam kecepatan tinggi. Cedera pada daerah ini menyebabkan disfungsi dari kandung kencing dan usus serta penurunan sensasi dan motorik pada daerah ekstremitas bawah.

H. Fraktur lumbal

Kemungkinan terjadinya defisit neurologis komplit jarang dijumpai pada cedera ini.

2.6.Cedera Kepala (Traumatic Brain injury)

Definisi TBI yang kita kenal selama ini, adalah trauma yang mengenai kepala, dapat menyebabkan gangguan struktural dan atau gangguan fungsional sementara atau menetap. Center for Disease Control and Prevention (CDC) memperkirakan, setiap tahun di Amerika

(31)

28

Penyebab utama dari kematian yang berhubungan dengan TBI adalah kecelakaan lalu lintas, jatuh dan penyerangan / perkelahian (assaults). Klasifikasi mengenai berat ringannya TBI sangat penting untuk mengarti dan menjelaskan penanggulangan TBI. Beberapa sistem skoring dapat menilai status neurologik awal pada pasien TBI, diantaranya Glasgow Coma Scale (GCS), Trauma Score, Trauma Score Revised, dan Abbreviated Injury Scale (AIS). GCS terlepas dari berbagai kekurangannya, merupakan sistem yang paling banyak dipakai. GCS sederhana, merupakan skala praktis untuk menilai derajat kesadaran pasien TBI dan untuk memprediksi hasil akhirnya. Secara sederhana juga dapat mengklasifikasikan berat ringannya penderita TBI. TBI ringan, GCS 13-15, TBI sedang, GCS 9-12, dan TBI berat, GCS 3-8 (Sastrodiningrat, 2012).

TBI memicu sederetan kejadian pada tingkat selular dan molekular sehingga menimbulkan histochemical responses, molecular responses, dan genetic response yang menyebabkan secondary insult, terutama keadaan iskemia, dan memperberat cedera otak primer (primary braindamage). Akan tetapi sebaliknya, beberapa dari responses ini ada yang bersifat neuroprotective (Sastrodiningrat, 2012).

2.7.Trauma Thoraks

Trauma thoraks bisa terbagi dua yaitu :

a) Trauma thoraks yang langsung dapat mengancam jiwa 1. Tension pneumothoraks

Terjadi karena adanya one way valve (fenomena pentil) dimana kebocoran udara yang berasal dari paru-paru atau dari luar melalui dinding dada, masuk kedalam rongga pleura dan tidak dapat keluar lagi. Sehingga tekanan intra pleura meninggi, paru-paru menjadi kolaps, mediastinum terdorong ke kontralateral dan menghambat pengembalian darah vena ke jantung, dan akan menekan paru kontralateral.

2. Pericardial tamponade

Sering disebabkan oleh luka tembus, namun cedera tumpul juga dapat menyebabkan perikardium terisi darah, baik dari jantung, pembuluh darah besar maupun dari pembuluh darah perikard.

3. Open Pneumothoraks(Pneumothoraks Terbuka)

(32)

29

atmosfer. Jika defek pada dinding dada lebih besar dari 2/3 diameter trakea maka udara akan cenderung mengalir melalui defek karena mempunyai tahanan yang kurang atau lebih kecil dibandingkan dengan trachea. Akibatnya ventilasi terganggu sehingga menyebabkan hipoksia dan hiperkapnia.

4. Hemothoraks masif

Terjadi bila terkumpulnya darah dengan cepat lebih dari 1500cc di dalam rongga pleura. Sering disebabkan oleh luka tembus yang merusak pembuluh darah sistemik atau pembuluh darah pada hilus paru.

5. Flail chest

Terjadi ketika segmen dinding dada tidak lagi mempunyai kontinuitas dengan keseluruhan dinding dada. Terjadi bila adanya fraktur iga yang multipel pada dua atau lebih tulang iga dengan dua atau lebih garis fraktur (Oakley, 1998).

b) Trauma thoraks yang potensial dapat mengancam jiwa 1. Ruptur aorta

Sering menyebabkan kematian segera setelah kecelakaan mobil dengan tabrakan frontal atau jatuh dari ketinggian. Untuk penderita yang selamat sesampainya dirumah sakit kemungkinan sering dapat diselamatkan bila ruptur aorta dapat diidentifikasi dan secepatnya dilakukan operasi (Williams, 2004).

2. Cedera tracheobronkial

Sering disebabkan oleh cedera tumpul dan terjadi pada 1 inci dari karina. Sering ditemukan hemoptisis, emfisema subkutis dan tension pneumothoraks dengan pergeseran mediastinum. Adanya pneumothoraks dengan gelembung udara yang banyak pada WSD setelah dipasang selang dada harus dicurigai adanya cedera trakeo bronkial.

3. Cedera tumpul jantung

Dapat menyebabkan kontusio otot jantung, ruptur atrium atau ventrikel ataupun kebocoran katup.

4. Cedera diafragma

Ruptur diafragma traumatik lebih sering terdiagnosa pada sisi kiri karena obliterasi hepar pada sisi kanan atau adanya hepar pada sisi kanan sehingga mengurangi kemungkinan terdiagnosisnya ataupun terjadinya ruptur diafragma kanan

(33)

30

Merupakan kelainan yang paling sering ditemukan pada pada golongan potentially lethal chest injury. Kegagalan bernafas dapat timbul perlahan dan

berkembang sesuai waktu, tidak langsung terjadi setelah kejadian.

2.8.Trauma Abdomen

Abdomen dibagi 3 bagian (Tintinalli’s Emergency Medicine, 2004):

1. Rongga peritoneum : terdiri dari liver, lien, gaster, usus halus, sebagian duodenum, dan sebagian usus besar

2. Retroperitoneum : terdiri dari ginjal, ureter, pankreas, aorta dan vena cava.

3. Rongga pelvic : terdiri dari vesica urinaria, rectum dan genitalia interna pada wanita Trauma abdomen juga dapat dibagi dua yaitu :

1.Trauma tumpul ( Blunt abdominal trauma ) 2.Trauma tembus ( Penetrating abdominal trauma )

2.9.Trauma Musculoskeletal

Frakturadalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa (Solomon, 2010). Fraktur terbuka adalah fraktur dimana terdapat hubungan fragmen fraktur dengan dunia luar, baik ujung fragmen fraktur tersebut yang menembus dari dalam hingga kepermukaan kulit atau kulit dipermukaan yang mengalami penetrasi suatu objek yang tajam dari luar hingga ke dalam (Lamichhane, 2010).

Setelah patah tulang terjadi maka otot, pembuluh darah, dan jaringan lunak lainnya mengalami kerusakan. Sebuah respon sel dengan sel-sel inflamasi dan sel mesenkimal dibedakan yang menonjol dalam tiga sampai lima hari pertama. Peristiwa biologis yang menyebabkan fraktur yang komplek tidak sepenuhnya dipahami. Kebanyakan patah tulang sembuh dengan cara pembentukan kalus. Dalam penyembuhan fraktur pada tulang panjang menjalani proses klinis dalam lima tahap : inflamasi, proliferasi, pembentukan callus, konsolidasi, remodelling.

(34)

31

2.9.1. Klasifikasi Fraktur

Fraktur dapat dibedakan jenisnya berdasarkan hubungan tulang dengan jaringan disekitar, bentuk patahan tulang, dan lokasi pada tulang fisis.

2.9.2. Berdasarkan Hubungan Tulang dengan Jaringan disekitar

Fraktur dapat dibagi menjadi :

1. Fraktur tertutup (closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar.

2. Fraktur terbuka (open/compound), bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar.

Klasifikasi patah tulang terbuka yang dibuat oleh Gustillo and Anderson pada tahun 1976 sebagai berikut:

1. Tipe I

• Panjang luka < 1 cm, biasanya luka tusukan atau puncture dimana patokan ujung tulang menembus kulit.

• Kerusakan jaringan lunak sedikit dan tidak ada tanda-tanda Crushing Injury. • Fraktur biasanya simple, tranverse atau oblique pendek dan sedikit comminutive. 2. Tipe II

• Panjang luka > 1 cm dan tidak ada kerusakan jaringan lunak yang luas, flap atau infeksi.

• Terdapat Crushing Injury ringan – sedang.

• Fraktur comminutive sedang dan kontaminasi sedang. 3. Tipe III

• Ditandai dengan kerusakan jaringan lunak luas meliputi otot, kulit dan struktur neurovaskuler serta kontaminasi tinggi, sering disebabkan oleh trauma high velocity yang menyebabkan derajat comminutive dan instabilitas tinggi. Tipe III ini dibagi lagi menjadi

i. Tipe III a

(35)

32

Cedera luas, terdapat atau hilangnya sebagian dari pada jaringan lunak dan stripping periosteal dan bone expose, kontaminasi dan fraktur comminutive yang

berat. iii. Tipe III c

Meliputi semua fraktur yang terbuka yang berhubungan dengan kerusakan pembuluh darah yang harus di repair tanpa memandang cedera jaringan lunak.

2.10. Prinsip Penanganan Fraktur

Secara Umum Menurut Long (1996), penanganan pada fraktur dibagi menjadi beberapa hal antara lain:

1. Penanganan langsung

a. Pasang bidai sebelum memindahkan pasien atau pertahankan gerakan diatas dan dibawah tulang yang fraktur sebelum dan transplantasi

b. Tinggikan ekstremitas untuk mengurangi oedema c. Kirim pasien untuk pertolongan emergency

d. Pantau daerah yang cedera dalam periode waktu yang pendek untuk sedini mungkin dapat melihat perubahan waktu, pernafasan, dan suhu.

2. Imobilisasi a. X-Ray

b. Fiksasi eksternal bidai dan gips c. Traksi

d. Fiksasi internal jarum, plat, skrup, kawat e. Bone Scans, termogram atau MRI Scans

f. Arteriogram, dilakukan bila ada kerusakan vaskuler g. CCT kalau banyak kerusakan otot

3. Penanganan pada tulang terbuka

a. Debridemen untuk membersihkan kotoran atau benda asing b. Pemakaian toksoid tetanus

c. Kultur jaringan dan luka d. Kompres terbuka

e. Pengobatan dengan antibiotik

f. Penutupan luka bila ada benda infeksi

(36)

33

(anatomis) imobilisasi untuk mempertahankan bentuk dan memperbaiki fungsi bagian tulang yang rusak.

Cara-cara yang dapat dilakukan meliputi: 1. Reposisi atau reduksi

a. Manipulasi atau Close reduction adalah tindakan non bedah untuk mengembalikan posisi, panjang dan bentuk. Close reduksi dilakukan dengan lokal anestesi ataupun umum.

b. Open reduction adalah perbaikan bentuk tulang dengan tindakan pembedahan. Sering dilakukan dengan internal fiksasi menggunakan kawat, screws, pins, plate, intermedulari rods atau nail. Kelemahan tindakan ini adalah kemungkinan infeksi

dan komplikasi berhubungan dengan anestesia.

2. Traksi, alat traksi diberikan dengan kekuatan tarikan pada anggota yang fraktur untuk meluruskan bentuk tulang.

Ada dua macam yaitu:

a. Skin traction (traksi kulit) adalah menarik bagian tulang yang fraktur dengan menempelkan plaster langsung pada kulit untuk mempertahankan bentuk, membentuk menimbulkan spasme otot pada bagian yang cidera, dan biasanya digunakan untuk jangka pendek (48 – 72 jam).

b. Skeletaltraction adalah traksi yang digunakan untuk meluruskan tulang yang cedera pada sendi panjang untuk mempertahankan bentuk dengan memasukkan pins atau kawat ke dalam tulang.

3. Imobilisasi setelah dilakukan reposisi dan posisi fragmen tulang sudah dipastikan pada posisi baik hendaknya diimobilisasi dan gerakan anggota badan yang mengalami fraktur diminimalisir untuk mencegah fragmen tulang berubah posisi.

2.11. Revised Trauma Score dan Injury Severity Score

Revised Trauma Score (RTS) adalah sebuah skor fisiologis keparahan cedera. Data

yang diperoleh terdiri dari (Feliciano, 2008) 1. Glasgow Coma Scale (GCS)

2. Sistolik Tekanan Darah (SBP) 3. Tingkat pernapasan (RR)

GCS, SBP dan RR diberi nilai kode, RTS kemudian dihitung dengan menjumlahkan nilai-nilai kode.

(37)

34

Scale pressure

13-15 >89 10-29 4

9-12 76-89 >29 3

6-8 50-75 6-9 2

4-5 1-49 1-5 1

3 0 0 0

Di lapangan skor unweighted berkisar 0-12, skor kurang dari 11 merupakan indikasi

untuk transfer ke pusat trauma khusus.

Sebuah bentuk kode dari RTS digunakan untuk jaminan kualitas dan hasil prediksi.

Nilai untuk coded RTS berkisar 0-7,8408. (0 = mati 7,8408 = normal) Nilai RTS sangat bergantung terhadap Glasgow Coma Scale untuk mengkompensasi cedera kepala berat tanpa cedera multisistem atau perubahan fisiologis utama. Sebuah ambang RTS <4 telah diusulkan untuk mengidentifikasi pasien yang harus dirawat di pusat trauma, meskipun nilai ini mungkin agak rendah.

Keterbatasan RTS:

1. Menghitung bentuk kode di lapangan tidak praktis 2. Masalah dengan GCS pada pasien diintubasi 3. Pengaruh alkohol dan obat-obatan

4. Mengubah parameter fisiologis dengan resusitasi dari gangguan fisiologis tidak diperhitungkan.

Cedera Severity Score (ISS) adalah sebuah sistem penilaian anatomis yang memberikan skor keseluruhan untuk pasien dengan beberapa luka-luka. Setiap cedera diberikan sebuah AIS dan dialokasikan ke salah satu dari enam daerah tubuh (Kepala, Wajah, Dada, Abdomen, Ekstremitas (termasuk Pelvis), eksternal). Hanya skor AIS tertinggi di masing-masing daerah tubuh digunakan. 3 daerah tubuh yang paling terluka parah telah dinilai kuadrat dan ditambahkan bersama-sama untuk menghasilkan skor ISS.

(38)

35

Contoh perhitungan ISS ditunjukkan di bawah ini:

Region Injury

Abdomen Minor Contusion of Liver Complex Rupture Spleen

2

Injury Severity Score: 50

Skor ISS mengambil nilai 0-75. Jika cedera diberikan sebuah AIS dari 6 (cedera unsurvivable), skor ISS secara otomatis ditetapkan ke-75. Skor ISS hampir satu-satunya

sistem penilaian anatomi digunakan dan berkorelasi linear dengan mortalitas, morbiditas, lama tinggal di rumah sakit dan tindakan medis lainnya . Kelemahan adalah bahwa setiap kesalahan dalam AIS scoring meningkatkan kesalahan ISS. Banyak pola cedera yang berbeda dapat menghasilkan skor yang sama ISS dan cedera ke daerah tubuh yang berbeda yang tidak berbobot. ( David, et al 2008 )

2.12. Biokimia Laktat

Pemahaman bagaimana kadar laktat yang digunakan dalam praktek klinis, memerlukan pengertian tentang bagaimana proses tubuh dalam menghasilkan dan membersihkan laktat. Dalam keadaan normal, dengan sumber daya jaringan dan oksigenasi yang cukup, akan lebih banyak energi seluler diekstraksi secara aerob melalui siklus asam sitrat dan rantai transport elektron. Dalam hal ini, sel-sel mengubah piruvat menjadi asetil CoA melalui oksidatif dekarboksilasi.

(39)

36

Sebaliknya, ketika perfusi di jaringan menjadi tidak adekuat, maka terjadilah metabolisme anaerob untuk menghasilkan beberapa energi meskipun dalam jumlah yang sedikit. Pada kasus ini, piruvat di metabolisme menjadi laktat, yang akhirnya menghasilkan ATP yang lebih sedikit (2 vs 36) dibandingkan dengan proses normal yaitu melalui mekanisme aerob.

Produksi laktat terjadi pada semua jaringan, yaitu musculoskeletal, otak, sel-sel darah merah, dan ginjal. Meskipun dalam kondisi dibawah normal yaitu disaat kaya akan oksigen, proses ini tetap terjadi dalam kadar yang sama. Kadar laktat dalam tubuh manusia normal, mampu dibersihkan dengan sangat cepat dengan kecepatan rata-rata diatas 320mmol/L/jam. Sebagian besar dimetabolisme dihati dan di ubah kembali dari laktat menjadi pyruvat. Tindakan ini menjaga kadar basal dari laktat tetap dibawah 1 mmol/L, baik di pembuluh darah arteri maupun vena.(Andra, et al., 2007).

Latihan berat, kejang, dan menggigil adalah contoh kondisi umum yang juga dapat menyebabkan asidosis laktat. Dalam kasus ini, tubuh membersihkan laktat dengan cepat dan peningkatan serum yang signifikan umumnya tidak terjadi. Dalam kondisi metabolik tertentu, peningkatan laktat karena penggunaan oksigen yang tidak adekuat lebih jarang dibandingkan dari pada suplai oksigen yang tidak memadai. Klinisi yang baik dapat memperkirakan hal ini sebagai salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya asidosis metabolik pada pasien. Daripada memikirkan laktat saja sebagai produk dari kurang adekuatnya perfusi darah, mungkin akan lebih baik menganggap laktat sebagai suatu marker dari metabolisme langsung selular. Terutama di instalasi gawat darurat untuk pasien dengan trauma atau sepsis. Penurunan jumlah darah, kehilangan darah, septik shock, dan SIRS dapat mempengaruhi kadar laktat. Dengan mengetahui peningkatan kadar laktat pada pasien lebih awal, dapat memberikan informasi berharga yang membantu menjadi pegangan dalam menentukan penilaian dan penanganan selanjutnya (Huckabee, 1961).

2.13. Serum Laktat Indikator Morbiditas dan Mortalitas pada Pasien Multipel

Trauma

(40)

37

sedikit adenosin trifosfat (ATP) molekul dari mekanisme aerobik biasa melalui asam trikarboksilat siklus pathway. Persistent asidosis laktat dikaitkan dengan tingkat yang lebih tinggi kegagalan pernapasan, sistem multi kegagalan organ dan kematian setelah trauma parah atau multipel trauma. Peningkatan tingkat laktat mencerminkan hipoksia jaringan dan metabolism anaerobik berlangsung dalam tubuh dan biasanya diatasi dengan resusitasi yang memadai.

Serial estimasi nilai laktat serum diperkirakan untuk membantu memprediksi morbiditas dan mortalitas pada korban trauma. Ada bukti untuk mendukung penggunaan tingkat laktat darah sebagai titik akhir resusitasi. Kehadiran kadar asam laktat meningkat pada serum dapat mengarahkan dokter yang merawat untuk waktu yang aman dan benar dari setiap intervensi bedah. Identifikasi awal dan tindakan resusitasi agresif ditujukan untuk memperbaiki disfungsi metabolic gangguan meningkatkan kelangsungan hidup dan mengurangi komplikasi pada pasien trauma terluka parah.

Dengan demikian, asidosis laktat mungkin menandakan adanya cedera jaringan paru terbuka atau klenik, mengakibatkan peningkatan morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan muskuloskeletal trauma. Penelitian ini menandakan apakah peningkatan laktat serum memiliki efek merusak pada hasil pada trauma poli dan pasien multipel trauma. ( Andra L, Blomkalns, 2007 )

2. 14. Laktat Pada Trauma

Beberapa penelitian menunjukkan manfaat pengukuran laktat pada pasien trauma dan kritis. Misalnya, Abramson et al. secara prospektif meneliti 76 pasien multipel trauma yang dirawat di ICU dan dilakukan pemeriksaan laktat dan bersihan laktat dalam 48 jam. Pada 27 pasien yang memiliki kadar laktat normal (< 2 mmol/L) dalam 24 jam dapat bertahan hidup dan hanya 3 dari 22 pasien (13,6%) pasien yang kadar laktat tidak menghilang dalam 48 jam dapat bertahan hidup. Waktu yang dibutuhkan untuk mengembalikan kadar laktat kembali ke dalam nilai normal dapat menjadi indikator dalam menentukan prognosis pada pasien dengan trauma berat. Dokter yang bertugas di bagian emergensi dan tenaga kesehatan emergensi harusnya dapat memberikan perhatian yang lebih pada saat resusitasi pada pasien trauma. Semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk bersihan laktat, semakin tinggi kemungkinan multi organ failure dan mortalitas.

MultipleOrganDysfunctionSyndrome(MODS) dapat didefinisikan

(41)

38

Sementara gagalnafas merupakan keadaan yangtidak memadai dalam pertukaran gasoleh sistempernafasan, dengan hasil bahwakadar oksigenarteri, karbon dioksidaatau keduanyatidak dapat dipertahankandalam rentang normalmereka (Burt, 2009). Sepsismerupakan komplikasiyang berpotensi mengancam nyawadariinfeksi. Sepsisterjadi ketikabahan kimia yang dilepaskanke dalam aliran darahuntuk melawaninfeksimemicu peradangandi seluruh tubuh. Peradangan inidapatmemicu aliranperubahanyang dapat merusakbeberapa sistemorgan, menyebabkan merekagagal (Mayo Foundation for Medical Education and Research, 2014).

Disimpulkan bahwa normalisasi kadar laktat pada 24 jam pertama setelah resusitasi dengan tujuan untuk meningkatkan pasokan oksigen dan curah jantung didapatkan 100% angka harapan hidup. Pada pasien yang membutuhkan waktu 24 - 48 jam didapatkan angka mortalitasnya sebesar 25% dan tidak ada pasien yang hidup apabila kadar laktat pasien diatas normal sampai lewat 48 jam(Abramson, 1993).

2.15.Pengukuran Nilai Gas Darah

Metode elektrokimia dasar untuk menganalisa gas-gas darah, pertama kali diuraikan pada tahun 1980an. Pengukuran gas-gas darah arteri ( arterial blood gases = ABGs ) dapat diaplikasikan secara klinis pada tahun 1950an melalui penemuan elektrode tekanan oksigen arterial (PaO2) oleh Clark, serta elektroda tekanan karbon dioksida arterial.

Keseimbangan Asam Basa

Keseimbangan asam-basa mengacu kepada pengaturan konsentrasi ion Hidrogen H+ di dalam cairan tubuh. Untuk secara tepat mempertahankan H+, pemasukan H+ melalui pembentukan asam oleh reaksi metabolisme di dalam tubuh harus secara terus menerus diseimbangkan dengan pengeluaran H+ melalui urin dan pengeluaran CO2 melalui sistem pernapasan (Sherwood, 2006).

Sistem penyangga kimiawi merupakan lini pertama, yang terdiri dari pasangan H

2CO3.HCO3 -

(42)

39

Sistem pernapasan, yang membentuk lini kedua, secara normal mengeliminasi CO 2

hasil metabolisme, sehingga tidak terjadi penimbunan H

2CO3 di dalam cairan tubuh. Sistem pernapasan akan berespon dalam beberapa menit dengan mengubah kecepatan pengeluaran CO

2. Peningkatan H +

yang berasal dari asam-asam non-karbonat merangsang pernapasan, sehingga lebih banyak CO

2 (penghasil H2CO3) yang dihembuskan ke luar untuk mengkompensasi asidosis dengan mengurangi produksi H+ dari H

2CO3. Sebaliknya, penurunan H+akan menekan aktivitas pernapasan, sehingga CO

2, dan demikian H2CO3 (penghasil H+) dapat tertahan di cairan tubuh untuk mengkompensasi alkalosis (Sherwood, 2006).

Ginjal adalah lini ketiga dan yang paling kuat. Ginjal memerlukan waktu beberapa jam sampai hari untuk mengkompensasi penyimpangan pH cairan tubuh. Ginjal dapat mengubah kecepatan pengeluaran H+ sebagai respon terhadap perubahan baik asam H

2CO3 maupun non-H

2CO3.Selain itu ginjal juga dapat mengatur HCO3 -

dalam cairan tubuh. Ginjal mengkompensasi asidosis dengan mengekskresikan kelebihan H+ di urin, sementara menambahkan HCO

3 -

baru ke dalam plasma untuk meningkatkan kapasitas penyanggaan HCO

3

-. Selama alkalosis, ginjal menghemat H+ dengan mengurangi sekresinya dalam urin. Ginjal juga mengeluarkan HCO

3 -

yang berada dalam keadaan berlebihan karenaHCO 3

- yang terikat ke H+ berkurang karena jumlahH+menurun(Sherwood, 2006).

Ion H + yang akan diekskresikan di urin harus disangga di cairan tubulus untuk mencegah meningkatnya gradient konsentrasi H+ yang kemudian dapat menghambat sekresi H+ lebih lanjut. Dalam keadaaan normal, H+ disangga oleh pasangan penyangga fosfat yang diekskresikan ginjal ke urin.

Konsentrasi ion Hidrogen dinyatakan dalam pH, yaitu logaritma 1/[H +]. pH darah arteri dalam keadaan normal 7,45 dan pH darah vena 7,35. Untuk pH darah rata-rata adalah 7,40. pH yang lebih rendah dari normal (dibawah 7,35) mengindikasikan keadaan asidosis. Sedangkan pH yang lebih tinggi dari normal (lebih dari 7,45) mengindikasikan alkalosis (Sherwood, 2006).

(43)

40

Untuk pengukuran gas darah dapat menggunakan sampel darah arteri. Menganalisis sebuah sampel darah arteri gas dengan menggunakan proses enam langkah (Tabel 2-1). Pertama menentukan dari pH sampel gas darah arteri apakasien memiliki asidemia, alkalemia, atau status normal. Asidemia jika pH darah arteri kurang dari 7,35 dan alkalemia jika pH lebih besar dari 7.45. Kedua menentukan dari PaCO2 apakah fungsi pernapasan pasien memberikan kontribusi atau kompensasi untuk asidemia atau alkalemia. Ketiga, dalam analisis gas darah arteri adalah untuk menentukan apakah pasien mengalami defisit bikarbonat atau kelebihan. Perhitungan ini dibuat oleh mesin arteri gas darah dan merupakan nilai yang diperkirakan. Mesin gas darah digunakan untuk menilai pH, PaCO2, dan tingkat bikarbonat. Perbedaan antara bikarbonat dihitung dalam keadaan ideal dan konsentrasi yang diharapkan dari 24 mEq / L untuk mengkategorikan status asam basa pasien. Secara khusus, perbedaan antara diamati dan diharapkan buffer bikarbonat menunjukkan bahwa pasien memiliki baik kelebihan atau defisit buffer bikarbonat. Pasien yang mengalami kekurangan bikarbonat memiliki kelebihan jumlah proton, sedangkan pasien yang memiliki kelebihan bikarbonat memiliki pengurangan proton. Pasien dengan asidemia berat (pH < 7,20) dan kelebihan bikarbonat besar (< -10 mEq/L) ditatalaksana dengan infus IV natrium bikarbonat. Pada pasien dengan alkalemia berat (pH > 7.60) dan kelebihan estimasi bikarbonat didefinisikan sebagai bikarbonat berlebih positif (> 10 mEq/L), diterapi dengan infus HCl (Townsend, 2007).

Tabel 2.1. Enam langkah pendekatan interpretasi arteri gas darah

Observasi Interpretasi Intervensi

Apakah nilai pH selain 7.40 ?

Asidosis jika < 7,35 Evaluasi klinis

berdasarkan penyebab Alkalosis jika > 7,45 Koreksi segera

Apakah pH < 7,20 atau >7,55 ?

Penyakit berat Koreksi segera

Apakah nilai Paco2 selain 40mmHg

Apakah nilai defisit basa selain nol ?

Bicarbonate loss/gain compensates atau kontribusi dari penyakit

(44)

41

Apakah pH urin Acid /alkaline urine Obat renal aktif atau ganti

Apakah anion gap < 12 mmol /L

Nilai diatas 12 mmol/l = laktat atau ketoasidosis

Koreksi masalah metabolik

Sindrom Klinis Gangguan Asam-Basa

Pada keadaan ini transportasi oksigen dari alveolus paru ke mitokondria sel tubuh cukup. Reaksi biokimia yang menghasilkan ATP tidak dapat dipertahankan pada tingkat yang diperlukan jika tekanan parsial oksigen tidak dipertahankan dalam mitokondria. Fosforilasi oksidatif mengubah oksigen menjadi karbon dioksida dan energi biokimia dilepaskan digunakan untuk mengkonversi ADP, proton, dan fosfat menjadi ATP. Pada orang dewasa normal, mitokondria mengkonsumsi 12 mmol oksigen per menit untuk mendukung fosforilasi oksidatif yang diperlukan untuk mempertahankan hidup. Proton akan menumpuk di ICF ketika ada gangguan fosforilasi oksidatif, dan konsentrasi proton intraseluler menjadi meningkat, enzim sel terganggu. Selain oksigen, fosforilasi oksidatif tergantung pada pengiriman bahan bakar dalam bentuk ikatan karbon - karbon dalam karbohidrat dan lemak. Glikolisis adalah serangkaian reaksi kimia dalam ICF yang mengkonversi molekul glukosa enam-karbon untuk sepasang molekul piruvat tiga-karbon. Dalam keadaan pengiriman oksigen yang cukup, piruvat memasuki siklus asam sitrat dan menghasilkan molekul yang dibutuhkan untuk mendukung fosforilasi oksidatif dalam mitokondria. Ketika pengiriman oksigen yang tidak memadai terjadi, piruvat tidak dapat melanjutkan maju ke dalam siklus asam sitrat. Karena tingkat piruvat peningkatan ICF, enzim shunt piruvat menjadi laktat ditambah proton. Laktat dan proton keluar ICF secara proporsional dengan keparahan defisit oksigen dalam mitokondria (Townsend, 2007).

(45)

42

Tatalaksana pada kasus ini dengan intervensi yang meningkatkan pengiriman oksigen. Beberapa penyebab spesifik syok adalah penurunan besar volume darah, disfungsi jantung yang menyebabkan curah jantung terganggu, dan vasodilatasi. Keberhasilan dalam mengoreksi asidemia dicapai dengan resusitasi yang mengoreksi penyebab utama dari shock (Townsend, 2007).

Asidemia metabolik pengenceran terjadi dalam situasi di mana volume besar solusi klorida natrium isotonic telah diabsorbsi dengan cepat. Pasien dengan jenis asidemia memiliki konsentrasi bikarbonat rendah, tingkat klorida tinggi, dan normal atau menurun anion gap (Townsend, 2007).

Asidosis laktat pada pasien sepsis adalah proses multifaktor dengan ketersediaan oksigen mitokondria berkurang dan disfungsi proses biokimia normal dalam sitosol. Lebih dari 12 jam syok septik dan lacticacidemia menyebabkan kegagalan global dan ireversibel fungsi sel dengan kegagalan organ dan kematian berikutnya (Townsend, 2007).

Tatalaksana Asam Basa

Penilaian status asam basa didasarkan pada pemeriksaan analisa gas darah, dan defisit basa yang terjadi berguna untuk menjadi panduan resusitasi (Mani& Abbas, 2010). Kontraktilitas miokardium akan terganggu pada saat asidosis karena pelepasan katekolamin endogen dan eksogen. Pada keadaan asidosis, kurva disosiasi oksihemoglobin bergeser ke kanan yang berarti perfusi oksigen ke jaringan berlangsung baik. Asidosis laktat ditatalaksana dengan terapi penggantian cairan. Koreksi asidosis metabolik didasarkan pada restorasi oksigen delivery yang optimal melalui transfusi, meningkatkan curah jantung, dan optimisasi saturasi oksigen di dalam darah (Bashir, 2002).

Hiperlaktatnemia

Peningkatan ini dapat terjadi oleh karena pengaruh cedera primer akibat kerusakan jaringan otak karena efek langsung dari trauma (sifat/jenis lesi), dan atau sekunder oleh rangkaian perubahan yang lebih kompleks misalnya peningkatan tekanan intra kranial, gangguan perfusi, gangguan metabolisme, proses inflamasi, pelepasan neurotransmitter eksitasi, gangguan keseimbangan ionik, yang pada akhirnya akan memperburuk metabolism energiotak. Dari sisi metabolism energy otak keadaan ini akan ditunjukkan dengan peningkatan produksi laktat otak, yang kemudian keluar ke sirkulasi sehingga terjadi hiperlaktatemia.

(46)

43

pasien yang laktatnya normal (≤2 mmol/l), selebihnya 49 pasien (64.5%) mengalamihiperlaktatemia.

2.16. Base Excess ( defisit basa )

Defisit basa adalah jumlah asam atau basa yang harus ditambahkan kedalam darah agar ph nya kembali menjadi 7,4 dan PaCO2 menjadi 40 mmhg pada keadaan saturasi O2 maksimal dan dan suhu 37oc. Ditambah lagi, pemberian ini hanya berlaku untuk buffer yang non karbonik didarah. Singkatnya defisit basa menggambarkan tentang komponen metabolisme dari gangguan asam basa. Nilai positif menandakan keadaan metabolisme alkalosis, sedangkan nilai negatif menandakan keadaan metabolisme asidosis. Defisit basa biasanya dalam bentuk grafik atau secara elektronik dari normogram yang dikembangkan oleh Siggard-Anderson dan membutuhkan penghitungan konsentrasi hemoglobin.

Defisit basa merupakan parameter metabolik yang sangat sensitif digunakan sebagai indikator terjadinya kehilangan darah dengan melalui pengukuran perfusi jaringan. Peningkatan defisit basa ini dapat terjadi paling awal sejak bila terjadi syok hemodinamik. Dairo mengklasifikasikandefisit basa ini ke dalam 3 kategori : Mild 3 s/d -5), moderate

(-6 s/d -9) dan Severe (< -10) dimana pengklasifikasian dapat menunjukkan korelasi yang kuat dengan kebutuhan transfusi, kegagalan organ dan kematian. Beberapa penelitian menunjukkan bila defisit basa<-6 menunjukkan korelasi yang kuat terjadi komplikasi akibat syok dan indikator dibutuhkan transfusi segera.

Namun penelitian yang menggabungkan ketiga parameter mencakup kadar laktat, defisit basa dan hipotensi sistolik pada pasien dengan perdarahan intra-abdomen trauma abdomen belum pernah dilakukan sebelumnya.

(47)

44

2. 17. Kerangka Teori

Kadar defisit basa meningkat Produksi Laktat Meningkat

Metabolisme Anaerob Hipoksia Jaringan Hipoperfusi Jaringan

Gambar

Tabel 2.1. Enam langkah pendekatan interpretasi arteri gas darah
Tabel 4.1. Data deskriptif subyek penelitian
Tabel 4.3. Hubungan kadar serum laktat setelah 24 jam terhadap morbiditas pada
Tabel 4.5. Hubungan kadar defisit basa 24 jam terhadap morbiditas pada pasien
+7

Referensi

Dokumen terkait

Syukur alhamdulillah kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul

Menurut Kotler (2007): menyatakan bahwa “D iperlukan investasi besar untuk mengembangkan hubungan relasional dengan konsumen. Dikatakan terdapat lima tahapan untuk

Dengan selesainya penelitian ini, maka Lembaga Penelitian Universitas Negeri Padang akan dapat memberikan informasi yang dapat dipakai sebagai bagian upaya penting dan kompleks

Dalam naskah Pedoman Penilaian oleh Pendidik dan Satuan Pendidikan SMA dinyatakan bahwa sebaiknya penilaian untuk SMA lebih banyak menilai higher order thinking skills (HOTS)

Pada hikayat dan novel indonesia, banyak menggunakan majas dan perumpamaan, serta menggunakan bahasa Melayu dengan penyusunan kalimatnya tidak sesuai EYD dan kata-kata

2) Sistem rekomendasi yang digunakan dan diterapkan dalam penelitian yang dilakukan yaitu sistem rekomendasi yang menggunakan metode item-based

Pembagian tingkat kerawanan banjir dari 143 titik di Kecamatan Muara Bangkahulu, diketahui bahwa sekitar 8,4 % zona kuning atau wilayah rawan banjir satu, 18,9% zona

Untuk usaha pertama, Sebaiknya bibit jamur atau baglog tidak membeli yang sudah jadi tetapi membuat sendiri dari awal sehingga akan mengurangi biaya produksi. Untuk usaha